KODIFIKASI ( 1 )
Dr. Anny Retnowati.SH.,M.Hum
definisi tentang hukum
3. Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH., hukum dilihat sebagai fenomena sosial budaya
yang riil dan fungsionil dalam masyarakat. Maka hukum lebih dilihat sebagai pola-
pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial empirik.
Perintah perilaku mewujudkan isi norma yang dapat menampilkan diri
dalam berbagai wajah. Penggolongan isi norma (pada umumnya)
adalah
– izin (toestemming), adalah pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang secara
umum dilarang.
Fenomena sosial budaya yang riil
Kejahatan atau perilaku menyimpang tidak selalu memiliki makna seragam bagi mereka
yang hendak mengontrol atau mencegahnya.
Makna kejahatan dan perilaku menyimpang dalam kebudayaan Indonesia dikonstruksi
secara sosial dan bukan sekedar hasil pilihan rasional bagi pelanggar hukum.
Makna kejahatan dalam sejarah kebudayaan Indonesia berbeda dari satu waktu ke waktu
lain, satu tempat ke tempat lain, selalu berubah sebagai hasil resiprosikal ( saling berbalas
)manusia dan struktur sosial yang berubah.
Misal pengertian pornografi satu daerah dan daerah lain bisa berbeda cara berpakaian
suku satu dan lainnya berbeda pula, untuk daerah tertentu pakaian wanita kelihatan
bahunya ( kemben )sebagai pakaian tradisional, untuk daerah tertentu sebagai larangan
/pelanggaran
Peran hukum
sebagai “as a tool of social norm “ Berperan memberi aturan untuk
ketertiban ( misal: dilarang mencuri diatur Pasal 362 KUHP )
sebagai “as a tool of social control” dalam arti berperan sebagai
alat untuk mempertahankan stabilitas masyarakat, atau
mempertahankan apa yang tetap dan diterima di dalam masyarakat
Sebagai “as a tool of conflict resolution” dalam arti sebagai
penyelesaian konfllik dalam masyarakat
berperan sebagai “as a tool of social engineering” yaitu sebagai alat
untuk merubah masyarakat, disini hukum berperan untuk
mengadakan perubahan dalam masyarakat. ( misal : new normal,
harus menggunakan masker apabila tidak menggunakan akan
dikenakan sanksi denda )
Pidana (Punishment)
Indonesia merupakan negara berdasarkan hukum (rechtsstaat) dan bukan negara yang
berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat).
Prinsip negara hukum ini secara umum telah diterima hampir di seluruh negara modern.
Indonesia sendiri menegaskannya dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945.
Konsekuensi dari ketentuan tersebut menjadikan peran hukum dalam pencapaian tujuan
bernegara dan berbangsa sebagai bagian penting yang tidak boleh dikesampingkan.
Hukum dipercaya sebagai sarana utama untuk mewujudkan tatanan sosial yang dicita-
citakan
Lanjutan..
Salah satu bagian penting dari upaya implementasi prinsip negara hukum adalah
proses penegakan hukumnya.
Idealnya, penegakan hukum harus bisa memenuhi tiga nilai dasar dari hukum
yaitu nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
Baik dalam tataran teoritis maupun praktis, ketiga nilai dasar ini tidak mudah
untuk diwujudkan secara serasi.
Pemenuhan nilai kepastian hukum, terkadang harus mengorbankan nilai keadilan
dan kemanfaatan.
Demikian pula pemenuhan nilai keadilan dan kemanfaatan di satu sisi, pada sisi
yang lain dapat mengorbankan nilai kepastian hukum.
Perkembangan Model Peradilan Pidana
Dalam literatur dikenal beberapa model peradilan pidana.
Pertama yaitu crime control model. Model ini didasarkan pada anggapan bahwa
penyelenggaraan peradilan pidana semata-mata untuk menindas perilaku kriminal (criminal
conduct), dan ini merupakan tujuan utama proses peradilan, karena yang diutamakan adalah
ketertiban umum (public order) dan efisiensi. Praktek ini mengandung kelemahan karena
praduga bersalahnya (presumption of guilt) sehingga sering terjadi pelanggaran HAM demi
efisiensi.
Model kedua yaitu Due Process Model. Di dalam model ini muncul nilai-nilai baru yang
sebelumnya kurang diperhatikan, yaitu konsep perlindungan hak-hak individual dan
pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan peradilan pidana. Sehingga melalui model ini
munculah asas yang sangat penting yaitu asas praduga tak bersalah (presumption of innoncent).
Kedua model awal ini diperkenalkan oleh Herbert L. Packer (Amerika Serikat) yang
didasarkan pada pemikiran mengenai hubungan antara negara dan individu dalam proses
kriminal yang menempatkan pelaku tindak pidana sebagai musuh masyarakat (enemy of the
society). Sedangkan tujuan utama dari pemidanaan adalah mengasingkan pelaku tindak pidana
dari masyarakat (exile function of punishment)
Pidana sebagai Pranata Sosial
1. Undang-undang (UU);
2. Kebiasaan;
3. Yurisprudensi;
4. Traktat (Perjanjian antar negara);
5. Perjanjian;
6. Doktrin.