Anda di halaman 1dari 4

Bagaimana sebuah perilaku dalam masyarakat bisa dianalisa dalam kontek

Sosiologi Hukum

Pada awalnya sangat sulit untuk dipahami bahwa antara sosiologi dan hukum dapat
dipersatukan sementara ahli hukum memperhatikan masalah quid juris, sedangkan ahli
sosiologi mempunyai tugas untuk menguraikan quid facti berdasarkan fakta-fakta sosial
dalam masyarakat.

Sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari perilaku hukum dari warga masyarakat.
Menurut Soerjono Soekanto sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang
secara analitis dan empiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara
hukum dan gejala-gejala sosial lainnya (Soekanto, 1982). Sedangkan menurut Satjipto
Rahardjo, sosiologi hukum (sociology of law) adalah pengetahuan hukum terhadap pola
perilaku masyarakat dalam konteks sosialnya. (Rahardjo, 1979). Menurut R. Otje Salman
sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dan
gejala-gejala sosial lainnya secara empiris dan analitis.

H.L.A. Hart tidak mengemukakan definisi tentang sosiologi hukum, namun definisi yang
dikemukakannya mempunyai aspek sosiologi hukum. Hart mengungkapkan bahwa suatu
konsep tentang hukum mengandung unsur-unsur kekuasaan yang terpusatkan dalam
kewajiban tertentu di dalam gejala hukum yang tampak dari kehidupan bermasyarakat.
Menurut Hart, inti dari suatu sistem hukum terletak pada kesatuan antara aturan utama
(primary rules) dan aturan tambahan (secundary rules). Aturan utama merupakan ketentuan
informal tentang kewajiban-kewajiban warga masyarakat yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan pergaulan hidup. Sedangkan aturan tambahan terdiri atas (a) rules of recognition
yaitu aturan yang menjelaskan aturan utama yang diperlukan berdasarkan hierarki
urutannya. (b) rules of change yaitu aturan yang mensahkan adanya aturan utama yang
baru, (c) rules of adjudicatio yaitu aturan yang memberikan hak-hak kepada orang-
perorangan untuk menentukan sanksi hukum dari suatu peristiwa tertentu apabila suatu
aturan utama dilanggar oleh warga masyarakatnya.

Pengertian awalnya adalah manusia mempunyai naluri untuk hidup berdampingan satu
dengan lainnya atau naluri untuk hidup bersama dengan orang lain. Oleh karena itu,
kehidupan bersama tersebut akan menimbulkan keinginan dan hasrat untuk hidup secara
teratur, ketika keteraturan hidup tersebut dapat bersifat subyektif. Sering subyektifitas itu
menjadi sumber terjadinya konflik. Keadaan tersebut harus dicegah untuk mempertahankan
integrasi dan integritas masyarakat. Dari kebutuhan inilah dimunculkan aturan hidup,
norma, atau kaidah yang pada hakikatnya adalah pandangan nilai perilaku manusia yang
menjadi pedoman/patokan perilaku yang dianggap pantas. Pemikiran demikian bersumber
dari pemikiran normatif atau filosofis yang disebut sosiologi.

Konteks pendekatan sosiologi hukum lebih melihat hukum sebagai bangunan sosial (sosial
institution) yang tidak terlepas dari bangunan sosial lainnya. Hukum tidak dipahami sebagai
teks dalam undang-undang atau peraturan tertulis, tetapi sebagai kenyataan sosial yang
menafest dalam kehidupan. Hukum tidak dipahami secara tekstual normatif, tetapi secara
kontekstual. Sejalan dengan itu maka pendekatan hukum tidak hanya dilandasi oleh sekedar
logika hukum, tetapi juga dengan logika sosial dalam rangka seaching for the meaning.

Hukum secara sosiologis adalah penting dan merupakan suatu lembaga kemasyarakatan
(social institution) yang merupakan himpunan nilai- nilai,kaidah-kaidah dan pola-pola
perikelakuan yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia. Hukum sebagai
suatu lembaga kemasyarakatan, hidup berdampingan dengan lembaga-lembaga
kemasyarakatan lainnya dan saling mempengaruhi.

Jadi Sosiologi Hukum berkembang dengan anggapan dasar bahwa proses hukum
berlangsung dalam suatu jaringan atau sistem sosial yang dinamakan masyarakat. Artinya,
hukum hanya dapat dimengerti dengan jalan memahami sistem sosial terlebih dahulu dan
bahwa hukum merupakan suatu proses.

Sebagai sarana social engineering, hukum merupakan suatu sarana yang ditujukan untuk
mengubah perikelakuan warga masyaraka, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya. Salah satu masalah yang dihadapi dalam bidang ini adalah jika
terjadi apa yang dinamakan oleh Gunnar Myrdal sebagaisoftdevelopment, dimana hukum-
hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan, ternyata tidak efektif.Gejala-gejala tersebut
akan timbul, apabila ada faktor-faktor tertentu yang menjadi halangan. Faktor-faktor
tersebut dapat berasal dari pembentuk hukum, penegak hukum, para pencari keadilan
(justitiabelen), maupun golongan-golongan lain di dalam masyarakat.Faktor- faktor itulah
yang harus diidentifikasi karena merupakan suatu kelemahan yang terjadi kalau hanya
tujuan-tujuan yang dirumuskan, tanpa mempertimbangkan sarana-sarana untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut.

Kalau hukum merupakan sarana yang dipilih untuk mencapai tujuan- tujuan tersebut, maka
prosesnya tidak hanya berhenti pada pemilihan hukum sebagai sarana saja.Perlu diketahui
batas-batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana (untuk mengubah atau mengatur
perikelakuan warga masyarakat).Sebab, sarana yang ada membatasi pencapaian tujuan,
sedangkan tujuan menentukan sarana-sarana yang tepat untuk digunakan. Adanya alat-alat
komunikasi tertentu, merupakan salah satu syarat bagi penyebaran serta pelembagaan
hukum. Komunikasi tersebut dilakukan secara formal, yaitu melalui suatu tata cara yang
terorganisasikan dengan resmi. Ada pula tata cara informal yang tidak resmi sifatnya. Inilah
yang dinamakan difusi, yaitu penyebaran dari unsur-unsur kebudayaan tertentu didalam
masyarakat yang bersangkutan. Proses difusi dapat dipengaruhi oleh:
1. Pengakuan, bahwa unsur kebudayaan yang bersangkutan (dalam hal ini hukum)
mempunyai kegunaan;
2. Ada tidaknya pengaruh dari unsur-unsur kebudayaan lainnya, yang mungkin
merupakan pengaruh negatif ataupun positif;
3. Sebagai suatu unsur yang baru, maka hukum tadi mungkin akan ditolak oleh
masyarakat, oleh karena berlawanan dengan fungsi unsur lama;
4. Kedudukan dan peranan dari mereka yang menyebarluaskan hukum, mempengaruhi
efektivitas hukum di dalam mengubah serta mengatur perikelakuan warga-warga
masyarakat.

Inilah yang merupakan salah satu batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana
pengatur atau pengubah perikelakuan.Untuk dapat mengidentifikasi masalah-masalah yang
berkaitan dengan penggunaan hukum sebagai sarana pengatur perikelakuan. Terutama,
masalah yang bersangkut paut dengan tata cara komunikasi, maka perlu dibicarakan perihal
struktur penentuan pilihan pada manusia, sarana-sarana yang ada untuk mengadakan social
engineering melalui hukum, hubungan antara hukum dengan perikelakuan, dan
sebagainya.Hukum berproses dengan cara membentuk struktur pilihan-pilihan para
pemegang peranan melalui aturan-aturan serta sarana-sarana untuk mengusahakan
konformitas (antara lain, berwujud sanksi). Proses tadi berjalan dengan cara:
1. Penetapan kaidah-kaidah hukum yang harus dipatuhi oleh pemegang peranan;
2. Perumusan tugas-tugas penegak hukum untuk melakukan tindakan- tindakan positif
atau negatif, sesuai dengan kepatuhan atau pelanggaran terhadap kaidah-kaidah
hukum.

Hans Kelsen hanya menguraikan pada hubungan antara kaidah- kaidah hukum
tersebut.Maka diperlukan kerangka yang lebih luas yang mungkin lebih banyak
mempertimbangkan masalah-masalah disekitar penegak hukum subyek-subyek hukum
lainnya. Untuk keperluan itu, dapat dikemukakan melalui langkah-langkah atau tahap-tahap
yang didasarkan pada hipotesis-hipotesis sebagai berikut:
1. Para pemegang peranan akan menentukan pilihannya, sesuai dengan anggapan-
anggapan ataupun nilai-nilai mereka terhadap realitas yang menyediakan
kemungkinan-kemungkinan untuk memilih dengan segala konsekuensinya.
2. Salah satu di antara faktor-faktor yang menentukan kemungkinan untuk
menjatuhkan pilihan adalah perikelakuan yang diharapkan dari pihak lain.
3. Harapan terhadap peranan-peranan tertentu dirumuskan oleh kaidah- kaidah.
4. Kaidah-kaidah hukum adalah kaidah-kaidah yang dinyatakan oleh para pelopor
perubahan atau mungkin juga oleh pattern-setting group.
5. Kaidah-kaidah hukum yang bertujuan untuk mengubah dan mengatur perikelakuan
dapat dilakukan dengan cara-cara meliputi, pertama, melakukan imbalan-imbalan
secara psikologis bagi pemegang peranan yang patuh maupun melanggar kaidah
hukum; kedua, merumuskan tugas- tugas penegak hukum untuk bertindak
sedemikian rupa; ketiga, mengubah perikelakuan pihak ketiga yang dapat
mempengaruhi perikelakuan pemegang peranan yang mengadakan interaksi;
keempat, mengusahakan perubahan pada persepsi, sikap, dan nilai pemegang
peranan.

Sumber Referensi :

https://pustaka.ut.ac.id/lib/wp-content/uploads/pdfmk/SOSI441603-M1.pdf

http://repository.unp.ac.id/17201/1/Bahan%20Ajar%20Sosiologi%20Hukum.pdf

https://eprints.uad.ac.id/15519/1/6.%20BUKU%20SOSIOLOGI%20HUKUM.pdf

Anda mungkin juga menyukai