Anda di halaman 1dari 16

HUKUM DALAM KONTEKS PERUBAHAN SOSIAL

BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang Masalah

Diskursus mengenai perubahan hukum dan perubahan sosial dimulai dari sebuah
pertanyaan klasik: apakah perubahan hukum yang mempengaruhi perubahan sosial
atau sebaliknya, perubahan sosial yang mempengaruhi perubahan hukum? Pertanyaan
sederhana ini, paling tidak, akan menjadi guide dalam mempercakapkan tema
“hukum dan perubahan sosial”.

Asumsi pertama untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah bahwa hukum


menyesuaikan diri terhadap perubahan di masyarakat. Penulis mengajukan ungkapan
yang dikemukakan oleh Hugo Sinzheimer, sebagai dikutip oleh Achmad Ali, yang
mendukung asumsi tersebut bahwa: “Perubahan hukum senantiasa dirasakan perlu
dimulai sejak adanya kesenjangan antara keadaan-keadaan dan peristiwa-peristiwa,
serta hubungan-hubungan dalam masyarakat dengan hukum yang mengaturnya.
Bagaimanapun kaidah hukum tidak mungkin kita lepaskan dari hal-hal yang
diaturnya, sehingga ketika hal-hal yang seyogiyanya diaturnya tadi telah berubah
sedemikian rupa, tentu saja dituntut perubahan hukum untuk menyesuaikan diri agar
hukum masih efektif dalam pengaturannya”.

Perubahan hukum dalam konteks sebagai dimaksud di atas adalah perubahan pada
wilayah hukum tertulis atau perundang-undangan (law in books). Perubahan
demikian dikarenakan perundang-undangan bersifat statis dan kaku. Eksistensi
hukum positif di masyarakat yang direpresentasikan dalam konstruk perundang-
undangan dimaksudkan untuk menjaga harmonitas antara sistem-sistem dan dinamika
sosial dengan harapan-harapan masyarakat akan suatu tatanan kehidupan yang
berkeadilan. Eksistensi ini juga akan mengukuhkan anasir-anasir non yuridis lain
dalam suatu sistem hukum yang legitimatif. Karenanya, hukum harus senantiasa peka
dan akomodatif dengan setiap perubahan sosial yang terjadi. Ini pulalah yang oleh
Philip Nonet dan Philip Selznick diistiahkannya dengan hukum responsif; suatu
sistem hukum yang tanggap dengan setiap gerak perubahan yang terjadi di
masyarakat sekaligus tanggap dengan harapan-harapan dan kesadaran hukum
masyarakat.

Asumsi kedua adalah bahwa hukum sebagai alat untuk merubah masyarakat (law
as a tool of social engineering). Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa hukum,
sebagai dianggap perekayasa sosial, merupakan sesuatu yang lumrah, terutama karena
aksentuasi kajian saat ini sudah pada wilayah hukum modern yang memang
menganggap hukum, secara ideal, sebagai perekayasa sosial. Hukum sebagai
perekayasa sosial (law as a tool of social engineering) pada dasarnya merupakan
upaya penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan
masyarakat sebagaimana dicita-citakan atau untuk melakukan perubahan-perubahan
yang diinginkan. Kemampuan demikian identik dilekatkan pada hukum modern,
pasalnya hukum modern-lah yang mencoba melihat realitas, baik yuridis maupun non
yuridis, sebagai sebuah kesatuan dan saling berinteraksi secara resiprokal dalam
sistem hukum.

Konsep law as a tool of social engineering diperkenalkan oleh Roscoe Pound


(sociological jurisprudence). Substansi dari konsep tersebut adalah bahwa untuk
menjadikan hukum sebagai alat perekayasa sosial, maka harus diaksentuasikan pada
hal-hal sebagai berikut:

1. Mempelajari efek sosial yang nyata dari institusi-institusi dan ajaran-ajaran


hukum.
2. Melakukan studi sosiologis dalam pembuatan undang-undang. Kooptasi
anasir-anasir non yuris seperti anasir sosiologis menjadikan perundang-
undangan sejalan dengan kenyataan faktual di masyarakat sekaligus dapat
menciptakan harmonisasi antara hukum sebagai patron dengan harapan-
harapan dan kesadaran hukum masyarakat.
3. Studi tentang pembuatan undang-undang yang efektif merupakan
keniscayaan. Pemahaman yang komprehensif mengenai teknik pembuatan
undang-undang yang baik (legal drafting) akan menghasilkan peraturan yang
akseptabel, akuntabel, dan efektif.
4. Memperhatikan sejarah hukum, yaitu studi yang tidak hanya melihat aspek
kekinian dari sistem hukum yang dibangun (melalui perundang-undangannya)
melainkan juga melihat implikasi sosial yang ditimbulkan pada masa lalu dan
bagaimana pemunculannya. Refleksi atas dimensi historis hukum akan
memberikan gambaran yang komprehensif tentang bagaimana seharusnya
hukum dibuat dan bagaimana agar hukum dapat bekerja secara efektif.
5. Kreatifitas dan kepekaan para yuris (hakim, jaksa, polisi, dan pengacara) pada
setiap kasus yang ditangani harus senantiasa dipertajam. Kereatifitas dan
kepekaan yuris sangat dibutuhkan demi pencapaian tujuan hukum tertinggi,
yaitu keadilan. Bagaiamanapun, masing-masing kasus memiliki keunikannya
tersendiri, sehingga membutuhkan analisis secara lintas sektoral, tidak hanya
analisis yang normtif-dogmatis, melainkan juga analisis sosiologis, psikologis,
budaya, dan anasir-anasir non yuris lain. Kreatifitas dan kepekaan dimaksud
harus sejalan dengan aturan-aturan umum yang mengikat yuris.

Sejalan dengan argumentasi Roscoe Pound, Adam Podgorecki, sebagai dikutip


Achmad Ali, mengemukakan empat asas utama yang harus diperhatikan dalam
mewujudkan hukum sebagai alat perekayasa sosial (law as a tool of social
engineering), yaitu:

1. Penguasaan yang baik dan menyeluruh terhadap situasi-situasi yang dihadapi.


2. Membuat suatu analisis tentang penilaian-penilaian yang ada serta
menempatkan dalam suatu urutan hirarki. Analisis dalam hal ini mencakup
pula asumsi mengenai apakah metode yang akan digunakan tidak akan lebih
memperburuk keadaan.
3. Melakukan verifikasi hipotesis-hipotesis, misalnya apakah suatu metode yang
digunakan nantinya memang akan membawa kepada tujuan sebagaimana
yang dikehendaki.
4. Pengukuran terhadap efek perundang-undangan yang ada.
Pertanyaan mendasar sekarang adalah apakah fungsi hukum sebagai
perekayasa sosial sekedar idealitas belaka atau memang konsep yang dapat
diaplikasikan dalam sistem hukum modern? Bukankah keyakinan dan realitas
selama ini menunjukkan bahwa hukum tertatih dalam mengejar, atau paling
tidak mengimbangi dinamika sosial kemasyarakatan yang kompleks dan cepat
berubah? Tidakkah hukum positif senantiasa mengalami kesulitan dalam
menafsir dan mengawal setiap gerak perubahan di masyarakat?

Perubahan yang ditimbulkan oleh hukum pada dasarnya berlangsung secara


bertahap. Karenanya, dapat dibuat suatu kerangka sosiologis yang dapat
dimanfaatkan untuk menjelaskan terjadinya perubahan sosial melalui suatu proses
yang cukup kompleks dan bukan lahir dari satu faktor tunggal. Hukum, meskipun
bukan entitas tunggal, merupakan agen penting dalam rangka perubahan sosial
menuju kehidupan masyarakat yang lebih baik. Dapat dimaklumi, mengingat hukum
memiliki kekuatan legitimatif dan memaksa yang harus dipatuhi masyarakat,
sehingga keberadaan hukum – dengan tidak melupakan dimensi lain – sejatinya
merupakan landasan kuat bagi tercapainya suatu cita, yaitu terwujudnya masyarakat
yang berkeadilan dan sejahtera.

Fungsi hukum sebagai perekayasa sosial pada dasarnya bukanlah idealisme


belaka, karena pada dasarnya hukum dapat bekerja secara efektif di masyarakat bila
dilandasi oleh interaksi massif antar tiap komponen dan kepekaan masing-masing
untuk memberi umpan balik (feedback) terhadap setiap masalah yang dihadapi yang
menyebabkan fungsi hukum tidak berjalan secara efektif. Hal ini yang kemudian
digambarkan oleh Seidman, sebagai dikutip oleh Satjipto Rahardjo, sebagai unifikasi
elemen-elemen dalam sistem hukum untuk menciptakan tatanatan hukum yang dapat
mengarahkan masyarakat pada bentuk kehidupan yang lebih baik dan berkeadilan.

Aksentuasi argumentasi hukum dalam fungsi perekayasaan sosial (social


engineering) adalah efektivitas hukum. Karenanya, bekerjanya hukum tidak terlepas
dari tingkah laku pemegang peranan, dalam hal ini masyarakat, tentang bagaimana
mereka memposisikan aturan-aturan hukum dalam aktivitas kesehariannya, tentang
bagaimana sebaiknya aturan hukum itu serta bagaimana penegakannya. Inilah yang
kemudian mendasari pemikiran bahwa masyarakat harus senantiasa memberikan
umpan balik (feedback) kepada pembuat dan pelaksana undang-undang untuk
mencapai keajegan (reliability) undang-undang.

b. Rumusan Masalah

Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, antara lain:

1. Bagaimanakah hukum berpengaruh dalam konteks perubahan sosial?


c. Kerangka Pemikiran

Perspektif hukum dalam konteks interaksi sosial dapat mengalami perubahan


dalam pengaturan dan penerapan. Hukum yang diharapkan bisa memecahkan
masalah secara adil dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, dalam kenyataan
bisa berubah ke arah pengaturan dan penerapan hukuman bagi siapa yang kuat dialah
yang menang. Inilah fenimena yang mewarnai penerapan hukum dalam konteks
sosial.

Perubahan dalam penerapan hukum itu merupaka fenomena yang berlangsung


secara alami, karena itu perlu dipahami apa yang sesungguhnya terjadi, mengapa hal
itu bisa terjadi dan bagaimana penerapan hukum itu berlangsung. Dikursus tentang
penerapan hukum dalam masyarakat merupakan topik yang menarik karena sering
bersifat kontroversial. Terdapat pakar yang berpendapat bahwa secara konseptual
perangkat hukum merupakan instrumen yang inhernt dalam kehidupan sosial, tetapi
dalam kenyataan hal itu terkesampingkan. Karena itulah masyarakat menuntut
perlunya tatanan hukum baru dalam rangka menjaga ketertiban sosial.

Studi tentang perubahan hukum sangat lekat dengan cara mengarahkan peran
manusia sebagimana yang diharapkan. Di sini posisi hukum menjadi multi dimensi
dalam kehidupan manusia, oleh karena itu dalam perubahan hukum juga menyangkut
secara langsung terhadap keperluan ketertiban sosial yang meliputi nilai dan norma
sosial, sistem kemasyaarakatan, kebiasaan dan relasi sosial yang belum maupun yang
sudah mapan, dan sistem kelembagaan sehingga meskipun ada pergeseran tetapi
pranata hukum diharapkan tetap terjaga.

Perubahan hukum dalam kehdupan sosial merupakan suatu kenyataan yang terjadi
dalam usaha manusia untuk mencapai tujuan hidupnya. Perubahan hukum itu bisa
berbentuk evolusi, transformasi ataupun revolusi, tergantung dari dinamikanya.
Perubahan hukum juga bisa terjadi secara sepotong-sepotong (graduil) atau serempak
(radical). Perubahan hukum dan akibatnya terhadap kondisi masyarakat telah
menjadi fakta dalam kehidupan manusia, sebagai reaksi atas rangsangan dari luar
maupun dari dalam masyarakat sendiri. Akibat dari perubahan itu terhadap kehidupan
manusia menimbulkan efek positif ataupun negatif.

a) Kerangka Konseptual

Merumuskan konsep keadilan progresif ialah bagaimana bisa menciptakan


keadilan yang subtantif dan bukan keadilan prosedur. Akibat dari hukum modern
yang memberikan perhatian besar terhadap aspek prosedur, maka hukum di Indonesia
dihadapkan pada dua pilihan besar antara pengadilan yang menekankan pada
prosedur atau pada substansi. Keadilan progresif bukanlah keadilan yang menekan
pada prosedur melainkan keadilan substantif.
Setiap produk hukum merupakan percerminan dari konfigurasi politik yang
melahirkannya. Artinya setiap muatan produk hukum akan sangat ditentukan oleh
visi kelompok dominan (Penguasa). Oleh karena itu, setiap upaya melahirkan hukum-
hukum yang berkarakter responsif/populistik harus dimulai dari upaya demokratisasi
dalam kehidupan politik.1

Kehadiran hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu


yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum
progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran (searching for the truth)
yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif yang dapat dipandang sebagai konsep
yang sedang mencari jati diri, bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya
hukum di masyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan
kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20.

Adalah keprihatinan Satjipto Rahardjo terhadap keadaan hukum di Indonesia.


Para pengamat hukum dengan jelas mengatakan bahwa kondisi penegakan hukum di
Indonesia sangat memprihatinkan. Pada tahun 1970-an sudah ada istilah “mafia
peradilan” dalam kosakata hukum di Indonesia, pada orde baru hukum sudah
bergeser dari social engineering ke dark engineering karena digunakan untuk
mempertahankan kekuasaan. Pada era reformasi dunia hukum makin mengalami
komersialisasi. Menurut Satjipto Rahardjo, inti dari kemunduran di atas adalah makin
langkanya kejujuran, empati dan dedikasi dalam menjalankan hukum.

b) Kerangka Teori

Secara umum teori-teori sosiologi hukum berorientasi pada : (1) pembuatan


hukum; (2) faktor-faktor yang berkaitan dengan produk hukum; (3) pelanggaran
hukum yang meliputi siapa pelakunya, mengapa sampai terjadi beserta faktor-faktor

1
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hal. 368
yang memperngaruhinya; dan (4) reaksi terhadap pelanggaran hukum melalui proses
peradilan dan reaksi masyarakat.

Terdapat tiga perspektif teori yang berkembang dalam sosiaologi hukum,


yaitu (1) perspektif teori makro (macro theories). Dalam klasifikasi ini
mendeskripsikan korelasi antara hukum dengan struktur masyarakat. Termasuk dalam
perspektif ini adalah teori fungsional, teori konflik, teori interaksionisme simbolik,
teori anomie, teori penukaran; (2) perspektif teori meso, untuk mendeskripsikan
tentang struktur sosial beserta akibatnya dalam masyarakat sehingga seseorang
menjadi jahat. Termasuk dalam teori ini antara lain adalah sistem hukum dan sistem
peradilan, teori subculture, teori differential opportunity, dan (3) perspektif teori
mikro (micro theories) yang lebih konkret. Teori ini ingin menjawab mengapa
seseorang atau sekelompok oraang dalam masyarakat melakukan penyimpangan atau
kejahatan. Konkretnya teori-teori ini adalah Social Control Theory dan Social
Learning Theory.

Sementara itu dalam kaitan kohesi sosia di lingkungan masyarakat yang luas
dibatasi dalam hal : (1) Struktural berarti dalam pergaulan hidup ada kohesi sosial
(saling keterkaitan) jika pergaulan hidup itu mempunyai struktur sosial dan kultural;
(2) Fungsionalisme berarti dalam pergaulan hidup ada pengelompokan intermedier
lembaga kemasyarakatan, seperti gereja, sekolah, tentara, polisi, dan lain lain yang
mempertahankan dan menegakkan struktur serta menjalankan fungsi-fungsi tertentu.
BAB II
PEMBAHASAN
Hubungan antara hukum dan perubahan sosial bersifat timbal balik, dan

hukum dapat dilihat sebagai pengaruh dan yang menyebabkan perubahan social,

dalam bagian ini, hukum akan dianggap hanya sebagai alat atau instrument aktif

untuk membimbing dan membentuk perilaku masa depan dan bentuk-bentuk sosial-

yaitu, sebagai strategi perubahan sosial. Meskipun ide-ide Marx, Engels, dan Lenin

hukum yang epiphenomenon masyarakat kelas borjuis ditakdirkan untuk menghilang

atau runtuh dengan munculnya revolusi, UNI Soviet berhasil membuat perubahan

besar dalam masyarakat dengan menggunakan undang-undang.

Pengakuan terhadap supremasi hukum sebagai strategi perubahan menjadi


lebih menonjol dalam masyarakat kontemporer. Hal itu berlaku secara umum bahwa
hukum semakin tidak hanya mengartikulasikan tetapi menetapkan jalan untuk
perubahan social yang besar dan perubahan sosial yang berusaha dilakukan melalui
hukum adalah sifat dasar dari dunia modern. Dror berpendapat hukum secara tidak
langsung memainkan peran penting dalam perubahan sosial dengan membentuk
berbagai institusi sosial, yang pada gilirannya berdampak langsung pada masyarakat.

Dror berpendapat bahwa hukum memberikan pengaruh langsung terhadap


perubahan sosial, pada umumnya dilakukan dengan mempengaruhi atau
mengintervensi sesuatu yang memungkinkan perubahan dalam berbagai institusi
sosial.

Pada semua masyarakat modern, setiap kumpulan undang-undang dan


undang-undang yang didelegasikan itu penuh dengan ilustrasi penggunaan hukum
secara langsung, sebagai alat untuk perubahan sosial yang diarahkan. Perspektif yang
agak berbeda pada hukum dalam perubahan sosial disajikan oleh L. Friedman. Ia
mengacu pada perubahan melalui hukum dalam hal dua
jenis: Perencanaan dan Gangguan.

Perencanaan mengacu pada pembangunan arsitektur, dalam arti bentuk-


bentuk baru dalam tatanan sosial dan interaksi sosial. Gangguan mengacu pada
pemblokiran atau perbaikan sistem hukum yang ada dan dapat membawa pada
perubahan social yang positif atau negative, tergantung dari sudut pandang seseorang
dalam melihatnya.

William M. Evan dengan jelas mengartikulasikan bahwa, Sebagai instrumen


perubahan sosial, hukum memerlukan dua proses yang saling terkait. Yakni,
pelembagaan dan internalisasi pola perilaku. Dalam konteks ini, pelembagaan pola
perilaku berarti pembentukan norma dengan ketentuan untuk penegakan hukum, dan
internalisasi pola perilaku berarti penggabungan satu nilai atau beberapa nilai yang
tersirat dalam undang-undang. Hukum dapat mempengaruhi perilaku secara langsung
hanya melalui proses pelembagaan. Jika, institusionalisasi ini berhasil pada gilirannya
dapat memfasilitasi internalisasi sikap atau kepercayaan.

Namun, sejauh mana dampak hukum itu dapat terasa dan sejauh mana hukum
itu relevan dengan suatu keadaan atau hanya berlaku dalam suatu keadaan tertentu.
Ketentuan berikut dapat dijadikan garis besar pada efektifitas hukum sebagai strategi
perubahan sosial. Pertama, hukum harus berasal dari sumber otoritatif dan
prestise.Kedua, hukum harus memperkenalkan pemikiran dalam istilah yang
dimengerti dan kompatibel dengan nilai-nilai yang ada. Ketiga, para pendukung
perubahan harus membuat referensi bagi masyarakat lain atau negara-negara lain, di
mana masyarakat itu ada dan hukum itu berlaku. Keempat, supremasi hukum harus
menunjukkan ke arah pembuatan perubahan dalam waktu yang relatif
singkat. Kelima, mereka (para penegak hukum) harus sangat berkomitmen terhadap
perubahan undang-undang atau hukum yang di maksud. Keenam, pelaksanaan hukum
harus mencakup sanksi-sanksi positif dan negatif. Ketujuh, supremasi hukum harus
masuk akal, tidak hanya dalam hal sanksi-sanksi yang diberikan tetapi juga dalam
perlindungan hak-hak orang-orang yang melanggar hukum2.

a) Hukum Sebagai Kaedah Sosial


Adanya hukum sebagai kaedah sosial tidak berarti bahwa pergaulan
antar manusia dalam masyarakat hanya diatur oleh hukum. Selain oleh
hukum, kehidupan manusia dalam masyarakat selain dipedomani moral
manusia itu sendiri diatur pula oleh agama , kaedah susila, kaedah kesopanan,
adat-kebiasaan dan kaedah-kaedah sosial lainnya. antara hukum dan kaedah-
kaedah sosial lainnya in, terdapat jalinan hubungan yang erat yang satu
memperkuat yang lainnya. Adakalanya hukum tidak sesuai atau serasi dengan
kaedah-kaedah sosial lainnya itu.
Akan tetapi dalam satu hal, hukum berbeda dari kaedah sosial yang
lainnya, yakni bahwa penataan ketetntuan-ketetntuannya dapat dipaksakan
dengan suatu cara yang teratur. Artinya, pemaksaan guna menjamin penataan
ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri tun duk pada aturan-aturan tertentu,
baik mengenai bentuk, cara maupun alat pelaksanannya.
Hal ini tampak dengan jelas dalam suatu negara, pemaksaan itu
biasanya berada di tangan negara dengan alat-alat perlengkapannya. Soal
pemaksaan ketaatan terhadap hukum ini membawa kita ke suatu masalah yang
pokok bagi penyelamatan dari hakekat hukum, yakni masalah hukum dan
kekuasaan. Permasalahan yang menyangkut berfungsinya hukum dalam
masyarakat tidak terlepas dari kenyataan apakah hukum tersebut benar-benar
berlaku atau tidak. Teori-teori hukum memaparkan tiga hal tentang
berlakunya hukum sebagai kaedah; pertama.kaedah hukum berlaku secara

2
http://riefq168.blogspot.com/2012/10/hukum-dan-perubahan-sosial_21.html diakses pada
tanggal 1 Oktober 2014
yuridis apabila penentuannya didasarkan atas kaedah yang lebih tinggi
tingkatannya Kedua kaedah hukum tersebut efektif, artinya dapat dipaksakan
berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh masyarakat (teori
kekuasaan). Ketiga kaedah hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya
sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.
b) Hukum Sebagai Pengendali Sosial
Masih banyak sarjana hukum indonesia yang berpendapat bahwa
hukum adalah suatu kaedah yang ekslusif dan autonom. Sebagai konsekuensi
dari pendangan tersebut banyak sarjana hukum indonesia hanya berfungsi
sebagai a tool of social control (alat pengawasan/control masyarakat) yang
secara pasif mengikuti perubahan masyarakat; manakala masyarakat berubah,
maka hukumpun berubah pula. Jadi hukum disini hanya merupakan
stabilisator yang bertugas menjaga keseimbangan hidup masyarakat. Namun
sebaliknya, konsepsi yang memandang hukum sebagai sistem yang memiliki
komponen substantif (kaedah-kaedah) dan komponen struktural dan kultural
memberikan fungsi hukum secara langsung dan aktif sebagai a tool off social
engenering yang dapat memaksakan perubahan masyarakat.

Pandangan bahwa hukum tidak dapat digunakan sebagai alat untuk


melakukan perubahan dianut leh savigny. Ia dengan tegas menyangkal kemungkinan
penggunaan hukum sebagai alat melakukan perubahan. Pendapatnya didasarkan atas
konsepsinya mengenai hukum. Yaitu melihat hukum sebagai suatu yang tumbuh
alamiah dari pergaulan masyarakat itu sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa savigny
adalah pemuka mazhab sejarah dalam hukum yang mengatakan bahwa hukum
merupaka perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat (Volkgeis) yaitu bahwa
semua hukum berasal dari adat-istiadat dan kepercayaan, dan bukan dari pembentuk
undang-undang.

Masih banyak sarjana yang menganggap bahwa hukum selalu ketinggalan dari
perubahan sehingga hukum tidak dapat melakukan perubahan terhadap masyarakat,
namun apakah keadaannya memang demikian dalam arti bahwa hukum tidak dapat
digunakan sebagai sarana untuk mengubah masyarakat?

Kesadaran untuk menggunakan hukum sebagai sarana yang sengaja dipakai


untuk tujuan-tujuan yang dikehendaki, beranjak dari inti pemikiran yang
dikemukakan oleh Roscoe Pound yang dikenal dengan law as a tool off social
engenering , yang di Indonesia mulai muncul sekitar tahun 1970 oleh seorang pakar
hukum yang pada berbagai kesempatan mencoba untuk menarik perhatian orang
mengenai penggunaan hukum sebagai sarana perubahan Dalam masyarakat. Dalam
prasaran yang dikemukakan pada seminar lembaga ilmu pengetahuan indonesia
mengenai pengaruh faktor sosial budaya dalam pembangunan nasional permulaan
tahun 1970, ia sudah menyampaikan pendapatnya yang mengatakan bahwa hukum
tidak dapat memainkan peranan penting dalam proses pembaharuan. Di Indonesia
fungsi hukum di dalam pembangunan adalah sebagai sarana pembaharuan
masyarakat. Hal ini didasarkan atas anggapan bahwa adanya ketertiban di dalam
pembangunan merupakan sesuatu yang dipandang penting dan sangat diperlukan.

Disamping itu hukum sebagai tata kaedah dapat berfungsi sebagai sarana
untuk menyalurkan arah kegiatan warga masyarakat ke dalam tujuan yang
dikehendaki oleh perubahan terencana tersebut. Sudah tentu fungsi tersebut
seharusnya dilakukan disamping fungsi hukum sebagai sarana sistem pengendalian
sosial.
BAB III

PENUTUP

a. Kesimpulan

Teori-teori hukum primordial berusaha merumuskan hukum sesederhana dan


seaplikatif mungkin dengan maksud agar hukum dapat dipahami dan
diimplementasikan dengan baik dalam mengawal dinamika kemasyarakatan. Masing-
masing berdiri pada pondasi pemikirannya, yang tidak jarang esoterik, karena ketika
diperhadapkan pada kenyataan masyarakat, konsep yang diajukan ternyata menemui
kegamangan; suatu gejala dimana konsep hukum tidak dapat mengawal dan
mengendalikan aspek-aspek non yurdiis di masyarakat. Ketidakmampuan ini, antara
lain ditunjukkan dengan tertinggalnya hukum oleh perubahan masyarakat – yang
dalam makalah ini diistilahkan sebagai perubahan sosial – yang bergitu cepat dan
signifikan hingga menyentuh dimensi nilai yang abstrak, dan bahkan universal.

Pada konteks inilah, mempercakapkan hukum dan perubahan sosial mendapatkan


momentumnya. Tak pelak, baik akademisi maupun praktisi hukum dipaksa untuk
melakukan semacam ritual intelektual yang berbeda untuk mengoreksi kembali teori
atau doktrin-doktrin hukum yang diajukan oleh pakar-pakar hukum terdahulu.
Menjadi sebuah keniscayaan, manakala melihat realitas, bahwa hukum senantiasa
tertatih dalam mengawal kehidupan masyarakat yang tidak lain adalah subjeknya.
Oleh sebagian orang, yang diibaratkan dalam sebuah anekdot, bahwa dinamika
masyarakat (perubahan sosial) seperti mobil yang berusaha dikejar oleh hukum yang
diibaratkan seperti sepeda ontel yang tertatih dan kehabisan akal untuk berusaha,
paling tidak, beriringan dengan mobil tersebut.

Hukum dan perubahan sosial dewasa ini menjadi kajian yang sering
dipercakapkan oleh intelektual hukum, tidak terkecuali di Indonesia. Kesadaran
bahwa perubahan sosial sebagai determinan utama dalam menentukan bentuk dan
karakter hukum yang seharusnya diterapkan berkembang seiring dengan keprihatinan
sebagian pihak bahwa hukum cenderung tidak mampu mengawal perubahan-
perubahan yang terjadi di masyarakat. Hukum, sementara sebagian pihak masih
menilai cukup baik, menunjukkan kecenderungan massif ke arah positivisme hukum
yang telah jauh meninggalkan akar historisnya, yaitu masyarakat.

Tidak perlu jauh mencari contoh, karena dalam konteks Indonesia sekalipun,
contoh demikian sangat banyak. Satu contoh misalnya, hukum pidana Indonesia yang
masih menjadikan KUHP Belanda (Wetoboek van Strafrecht) sebagai patron sudah
sangat tidak up to date dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia. KUHP sudah
jauh tertinggal oleh rasa keadilan masyarakat dan tidak lagi dapat mengakomodir
aspirasi hukum masyarakat bertajuk “kesadaran hukum”.

b. Saran

Sebagai penutup dari makalah ini saya menyampaikan beberapa saran :

1. Bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, yang perlu difahami
adalah fungsi hukum menurut filsafat kita. Yakni hukum berfungsi untuk
melindungi masyarakat kita, bukan memerintahkan begitu saja.Hukum juga
seharusnya dari rakyat dan bersifat kerakyatan serta menempatkan hukum
dalam konteks sosialnya yang lebih besar. Untuk itu seharusnya ada
keterlibatan dari elemen masyarakat dalam pengambilan keputusan hukum.
2. Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan, untuk itu mengharapkan adanya masukkan untuk penyempurnaan
makalah ini.
Daftar Bacaan

 Buku-buku

Ali, A. 1996. Menguak Tabir Hukum: Suatu Tinjauan Filosofis dan Sosiologis.
Jakarta: Chandra Pratama.

-------. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence).
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009

Pasamai, S. 2009. Sosiologi dan Sosiologi Hukum: Suatu Pengetahuan Praktis dan
Terapan. Makassar: Umitoha Ukhuwah Grafika.

Rahardjo, S. 2009. Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoretis dan
Pengalaman-pengalaman di Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.

-----------------. 2009. Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia.


Yogyakarta: Genta Publishing.

Saifullah. 2007. Refleksi Sosiologi Hukum. Bandung: Refika Aditama.

Salman, O. 2009. Filsafat Hukum: Perkembangan dan Dinamika Masalah. Bandung:


Refika Aditama.

 Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

 Website

http://riefq168.blogspot.com/2012/10/hukum-dan-perubahan-sosial_21.html diakses pada


tanggal 1 Oktober 2014

http://lembagapengkajianhukum.wordpress.com/2010/01/26/hukum-dan-perubahan-
sosial/ diakses pada tanggal 1 Oktober 2014

Anda mungkin juga menyukai