Hukum acara pidana yang sekarang berlaku tidak dapat dilepaskan dari sejarah masa
lampau, apakah itu merupakan penerusan atau pembaruan ataupun koreksi terhadap peraturan
masa lampau. KUHAP yang dipandang sebagai produk nasioanl pada dasarnya merupakan
penerusan asas-asas hukum acara pidana yang ada di dalam HIR (Netherlands Strafvordering
1926) yang lebih modern. Demikian pula dengan susunan organisasi peradilan yang ada sekarang
ini juga merupakan kelanjutan dari organisasi peradilan pada masa-masa sebelumnya yang telah
diperbarui disesuaikan dengan alam kemerdekaan Indonesia.
Organisasi peradilan di masa perang untuk subjek-subjek hukum Indonesia terdiri dari
Pengadilan Distrik, Pengadilan Kabupaten, dan Landraard - pengadilan sehari-hari yang tertinggi
bagi orang Indonesia. Para pejabat pemerintah mengetuai dua pengadilan yang lebih rendah itu,
tetapi Ketua Landraad harus seorang ahli hukum yang berpendidikan hukum. Di tempat-tempat
yang ada Landraad-nya, di sana juga ada pengadilan tingkat pertama untuk keturunan Eropa
(residentiegerecht) dan di kedua pengadilan itu jabatan ketua dan paniteranya masing-masing
dipegang orang-orang yang sama. Pengadilan banding untuk keturunan Eropa adalah Raad van
Justitie dan Mahkamah Agungnya adalah Hoogerechtshof.1
Di samping susunan peradilan di atas masih terdapat Pengadilan Swapraja, yaitu badan
peradilan bagi golongan pribumi tertentu dalam suatu daerah yang disebut swapraja. Juga terdapat
Pengadilan Adat, suatu badan pengadilan bagi warga pribumi dalam suatu wilayah adat tertentu.2
Sementara itu aturan hukum yang mengatur mengenai beracara ini juga berbeda-beda. Hukum
acara pidana bagi golongan Eropa digunakan ‘Het Reglement op de Strafvordening’ disingkat
HIT. Jadi terjadi dualisme dalam proses acara, baik terhadap badan pengadilan maupun hukum
acaranya.3
1 Daniel S. Lev, Hukum dan PoliƟ k Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1990, hlm.3.
2 Loebby Loekman, Sejarah Perkembangan Hukum Pidana di Indonesia, Lebsi, Jakarta, 1996, hlm.11.
3 Ibid.
1. Pengadilan Negeri, yang merupakan peradilan tingkat pertama yang terdapat baik di kota besar
maupun di kabupaten;
2. Pengadilan Tinggi, yang merupakan peradilan banding yang terdapat dalam tiap provinsi;
3. Mahkamah Agung, yang merupakan peradilam kasasi yang berkedudukan di Jakarta.
Dengan undang-undang tersebut di atas, yakni Undangundang Nomor 1 Tahun 1951,
Pengadilan Swapraja dan Pengadilan Adat tidak ada lagi. Semua perkara baik perdata maupun
pidana, dimulai pemeriksaannya melalui Pengadilan Negeri. Juga dalam undang-undang di atas
disebutkan bahwa HIR sebagai pedoman dalam pelaksanaan hukum acara pidana bagi seluruh
golongan penduduk. Oleh sebab itu dalam pelaksanaan hukum acara pidana digunakan hukum
acara yang terdapat dalam HIR.4
Ketentuan HIR ini terus diberlakukan hingga tanggal 31 Desember 1981, yaitu sejak
diberlakukannya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981, yang dibuat sendiri oleh bangsa Indonesia. Dengan demikian telah ada hukum acara
pidana yang bersifat nasional dan berlaku untuk seluruh penduduk Indonesia. Dengan
dikeluarkannya KUHAP ini maka berakhir pulalah dualisme hukum acara yang berlaku di
Indonesia.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang oleh sebagian orang dikatakan
sebagai karya agung bangsa Indonesia, sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan
memberi jaminan perlindungan terhadap hak asasi bagi setiap orang yang berurusan dengan
perkara pidana. Tidak seperti HIR yang lebih mementingkan efi siensi, yaitu mencapai tujuan
secepat mungkin meskipun menyimpang dari prosedur, maka oleh KUHAP, yang lebih
diutamakan dan merupakan masalah dasar adalah bagaimana mencapai tujuan tersebut sedemikian
rupa sehingga pelanggaran terhadap martabat manusia sejauh mungkin dihindari.
Bertitik tolak pada hal tersebut di atas, adalah suatu isyarat yang harus dilaksanakan oleh
pemegang peran dalam proses peradilan pidana, yaitu bahwa setiap tindakan haruslah berpedoman
dan mengikuti ketentuan proseduralnya yang dalam hal ini adalah hukum acara pidana itu sendiri.
Dengan menitikberatkan pada prosedur, pada satu sisi akan memberikan perlindungan kepada
tersangka dan terdakwa dari tindakan kesewenang-wenangan penguasa, dan pada sisi lain
4 Ibid, hlm.15.
memberikan batasan pada perbuatan dan aktivitas yang harus diikuti oleh semua pihak yang
terlibat dalam proses peradilan pidana.
Hadirnya KUHAP di Indonesia memang telah memberikan panduan untuk pertama kalinya
tentang bagaimana hukum pidana dijalankan, bahkan melalui proses dari awal (mencari
kebenaran) sampai pada Kasasi di Mahkamah Agung serta Peninjauan Kembali (herziening)7
secara jelas telah diatur. Meski begitu, kehadiran hukum pidana khusus selain hukum pidana
umum tidak hanya berkaitan dengan hukum materielnya saja, melainkan munculnya ketentuan
khusus tersebut juga pada dasarnya menjadi landasan baru terhadap beberapa ketentuan hukum
acara khusus bagi beberapa konteks tindak pidana tertentu. Ketentuan sebagaimana dimaksud
5 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafi ka, Jakarta, 2009, hlm.4.
6 Ahmad S Soema Di Praja, Pokok-Pokok Hukum Acara Pidana Indonesia, 1957, Alumni, Bandung, hlm.15.
7 Andi Hamzah, Op.Cit, 2009, hlm.3.
setidaknya dapat digambarkan dalam beberapa perkembangan atau penyimpangan proses beracara
dalam beberapa ketentuan berikut.
Menurut ketentuan KUHAP, terdakwa diwajibkan hadir di sidang pengadilan pada saat ia
dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum. Bahkan kitab induk ini juga telah menegaskan jika terdakwa
ternyata dipanggil secara sah tetapi tidak datang di dalam sidang dengan alasan yang sah, maka
pemeriksaan di pengadilan tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang
memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi.8 Tetapi ketentuan KUHAP ini ternyata justru
disimpangi dalam perkara korupsi, ekonomi, pencucian uang, maupun narkorika, dan perdagangan
orang. Menurut ketentuan undang-undang tersebut, peradilan dapat dilakukan secara in absentia,
yakni proses peradilan tanpa kehadiran terdakwa.9
Pertimbangan untuk mengadakan peradilan in absentia ini adalah untuk dapat merampas
barang-barang hasil kejahatan (berorientasi pada barang/uang dan bukan pada pelaku kejahatan).
Dalam praktiknya, ada kemungkinan tersangka meninggal dunia atau tidak dikenal. Pengertian
tidak dikenal di sini adalah sama sekali tidak diketahui baik orangnya maupun tempat tinggalnya,
ataupun tersangka diketahui orangnya namun tidak diketahui tempat tinggalnya.
8 Ishana Hanifah, Himpunan Lengkap Kitab Undangundang Hukum Perdata, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana, Laksana, Jakarta, 2014, hlm.624.
9 Marwan Efendy, Peradilan in AbsenƟ a dan Koneksitas, Timpani, Jakarta, 2010, hlm.5.
10 Wempi Jh. Kumedong, “Kemungkinan Penyidikan Delik Aduan Tanpa Pengaduan”, Jurnal Hukum Unsrat, Volume 23 Nomor
Adanya ketentuan ini menimbulkan kritik dari para ahli hukum dan masyarakat pada
umumnya karena pembuat undangundang memberi kebebasan terlalu luas kepada aparat penyidik
untuk menahan seseorang. Bagi tersangka tentu saja merupakan beban tersendiri oleh penahanan
itu karena terlalu lama harus menunggu ketidakpastian apakah ia akan disidangkan atau tidak.
d. Ketentuan mengenai Hak Ingkar dan Pembukaan Rahasia Bank
Menurut KUHAP hak ingkar dimiliki oleh dokter, notaris, lawyer, dan petugas agama.
Sementara itu untuk tindak pidana korupsi dipersempit hanya petugas agama saja. Ketentuan ini
tentu saja menyimpang dari KUHAP tersebut. Dalam perkara korupsi ini juga dimungkinkan
adanya pembukaan rahasia bank (lifting bank secrecy), yang oleh KUHAP dilarang. Pembukaan
rahasia perbankan ini oleh Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimungkinkan
untuk dilakukan jika ada ijin tertulis dari Menteri Keuangan atas permintaan dari Kapolri ataupun
Jaksa Agung secara tertulis kepada Menteri Keuangan. Sejalan dengan hal tersebut, ketentuan
dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang mengatur yang seirama, yakni
penerapan pembukaan rahasia bank.
Kedua ketentuan tersebut tentunya lahir bukan tanpa alasan, yakni faktor sulitnya aparat
penegak hukum menanggulangi kedua jenis tindak pidana tersebut dengan sifat dampak yang
sangat besar. Pembukaan rahasia bank ini bertujuan untuk mempermudah aparat dalam mencari
atau melacak harta kekayaan serta menggunakan rahasia bank tersebut dalam pembuktian
kesalahan terdakwa di persidangan. Pembukaan rahasia bank ini menjadi elemen penting dalam
proses penyidikan dan pembuktian dalam rangka pemeriksaan tindak pidana korupsi dan
pencucian uang.
Hukum acara pidana dalam KUHAP pada dasarnya menganut prinsip bahwa siapa yang
menyatakan seseorang bersalah maka ia wajib membuktikan.11 Prinsip tersebut merupakan prinsip
yang berlaku secara umum dalam hukum pidana, dimana Jaksa Penuntut Umum wajib
membuktikan dakwaan terhadap seorang terdakwa.12 Prinsip tersebut berlaku sebagai menifestasi
pemberlakuan asas presumtion of innocence (praduga tak bersalah) sebagaimana diatur dalam
Pasal 66 KUHAP, sehingga lumrah jika beban pembuktian seharusnya diberikan kepada aparat
yang menuduh untuk membuktikan tuduhannya tersebut.
Namun berbeda dengan perkara tindak pidana korupsi, pembuktian justru dapat menjadi
beban yang harus dibuktikan oleh setiap orang yang tertutuduh melakukan tindak pidana korupsi.
Kondisi ini kemudian sering disebut sebagai pembuktian terbalik, asas presumtion of innocence
dalam konteks ini berubah menjadi presumption of guilt (praduga bersalah)13 yang menekankan
bahwa seseorang yang dituduh melakukan korupsi dianggap bersalah kecuali ia dapat
membuktikan sebaliknya. Artinya, terjadi penyimpangan terhadap ketentuan dalam KUHAP yang
mengharuskan jaksa untuk membuktikan tuntutannya dan tidak diberikan kesempatan kepada
terdakwa untuk membuktikan hal sebaliknya dari tuntutan Jaksa.
11M. Abdul Kholiq AF, Asas PembukƟ an Terbalik dalam Penyelesaian Kasus Kejahatan Korupsi, Jurnal Hukum, Volume 9
Nomor 20, Juni 2002, hlm. 58.
12 Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana dalam Praktek, Cetakan Ke ga, Djambatan dan YLBHI, Jakarta, 2002, hlm. 20.
Selain perkembangan dalam ranah hukum prosedural, bentuk-bentuk konkret lainnya dari
perkembangan hukum pidana formil di Indonesia adalah dengan melihat beberapa struktur instansi
peradilan pidana yang kini tumbuh selain yang dikenal secara konvensional. Kajian terhadap
struktur baru institusi pengadilan ini selain untuk mengetahui mengenai jenis-jenis baru
pengadilan pidana, melainkan juga sebagai pembeda antara penegakan hukum pidana secara
umum dengan hukum pidana khusus dalam sebuah lembaga peradilan khusus. Beberapa
diantaranya meliputi pengadilan tindak pidana korupsi dan pengadilan pelanggaran HAM berat.
a. Ketentuan mengenai Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Ketentuan mengenai pengadilan tindak pidana korupsi mulanya diatur dalam Pasal 53
Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun kemudian Mahkamah
Konstitusi (MK) menegaskan bahwa kedudukan pengadilan tindak pidana korupsi haruslah diatur
secara khusus di luar ketentuan undang-undang tersebut, 14 sehingga pada tahun 2009 kemudian
berlakulah Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.15
Pemberlakuan undangundang tersebut, khususnya yang diatur dalam ketentuan Pasal 3
menyatakan bahwa pengadilan tindak pidana korupsi berkedudukan di setiap ibu kota
kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang
bersangkutan.
14
Mahkamah Kons tusi, Putusan Mahkamah Kons tusi No. 012-016-019/PUUIV/2006. hlm. 290.
15 Hasril Hertanto, “Evaluasi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Studi atas Kebutuhan, Peran dan
Kualitas Putusan Hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dan Bandung Pasca Pemberlakuan Undang-
Undang No. 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi)”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun
ke-44 Nomor 1, Januari-Maret 2014, hlm,3.
korupsi, tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah korupsi, dan tindak
pidana lain yang secara tegas dalam undang-undang ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.
b. Ketentuan mengenai Pengadilan HAM
Dalam konteks pelaksaan pengadilan HAM ini, terdapat dua macam lembaga peradilan
yang setidaknya dikenal, yaitu pengadilan HAM yang bersifat permanen dan pengadilan HAM
Ad-hoc. Keduanya dapat dibedakan sebagai berikut; pertama, pengadilan HAM permanen
memiliki kewenangan untuk memeriksa dan mengadili setiap perkara pelanggaran HAM berat
yang terjadi setelah pemberlakuan Undang-Undang tentang Pengadilan HAM ini; kedua,
sedangkan pengadilan HAM Ad-hoc merupakan pengadilan yang ditujukan untuk memeriksa dan
memutus perkara pelanggaran HAM berat sebelum disahkannya Undang-Undang tentang
Pengadilan HAM. Menariknya, keberadaan pengadilan Adhoc ini merupakan penyimpangan dari
asas legalitas dengan prinsip non-retroaktifnya.16 Tentunya pembentukan pengadilan HAM Adhoc
ini juga memiliki mekanismenya sendiri, yakni sebagaimana tercantum dalam Pasal 43 ayat (2)
Undang-Undang tentang Pengadilan HAM yang menjelaskan bahwa pengadilan HAM Ad-hoc
dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berdasarkan peristiwa tertentu dengan
Keputusan Presiden.
Nurul Huda, Status Penyelenggaraan Peradilan HAM di Indonesia Berbasis Hukum Internasional, MMH, Jilid 44
16