Anda di halaman 1dari 26

ALIRAN ALIRAN HUKUM PIDANA

Aliran Klasik 2. Aliran Modern 3. Aliran Neoklasik


1.

SUJASMIN / HK PENITENSIER / STHB

Aliran klasik ini, muncul sebagai reaksi terhadap anciem regime yang timbul pada abad ke 18 di Perancis dan yang banyak menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidaksamaan dalam hukum dan ketidakadilan. Pada aliran ini juga menghendaki hukum pidana yang tersusun secara sistematis dan menitikberatkan kepada kepastian hukum, kepada perbuatan dan tidak kepada orang yang melakukan tindak pidana. Jadi hukum pidana yang demikian dinamakan hukum pidana perbuatan (daadstrafrecht).
SUJASMIN / HK PENITENSIER / STHB 2

Salah satunya tokoh aliran klasik adalah Cecare Beccaria, lahir di Milano Italia pada tanggal 15 Maret 1738 telah menulis sebuah buku yang sangat termashur dengan judul dei delliti e delle pene (tentang kejahatan-kejahatan dan pidana-pidana) pada tahun 1764 dan diterbitkan di Inggris dengan judul on crime and punishment" pada tahun 1767, di samping tokoh lainnya adalah Jeremy Bentham.
SUJASMIN / HK PENITENSIER / STHB 3

Menurut Beccaria bahwa tiap individu menyerahkan kebebasan / kemerdekaannya secukupnya kepada negara agar masyarakat itu dapat hidup (berlangsung terus), oleh karena itu hukum seharusnya hanya ada untuk melindungi / mempertahankan keseluruhan kemerdekaan yang dikorbankan terhadap perampasan kemerdekaan yang dilakukan oleh orang lain. Prinsip dasar yang menuntun adalah kebahagiaan yang besar sama-sama digunakan / dibagi oleh jumlah rakyat yang terbesar. Dengan demikian doktrin hukum pidana harus sesuai dengan kejahatan dan filsafat yang sangat mempengaruhi Beccaria adalah filsafat kebebasan kehendak yang didasarkan atas paham hedonisme, prinsip kesenangan dan kesusahan, yaitu manusia memilih perbuatan-perbuatan yang akan memberikan kesenangan dan menghindari perbuatanperbuatan yang membawa kesusahan.
SUJASMIN / HK PENITENSIER / STHB 4

Pandangan mengenai perbuatan orang secara hedonistik ini dikatakan hukum pidana harus dirumuskan dengan jelas dan tidak memberikan kemungkinan bagi hakim untuk melakukan penafsiran. Hanya badan pengundang-undang yang dapat menetapkan pidana yang juga harus dirumuskan secara tertulis dan tertutup bagi penafsiran oleh hakim. Undang-undang harus diterapkan secara sama terhadap semua orang, oleh karena itu tidak dimungkinkan pembelaan terhadap penjahat. Hakim hanya semata-mata merupakan alat undang-undang yang hanya menentukan salah tidaknya seseorang dan kemudian menentukan pidana. Undang-undang menjadi kaku (rigid) dan terstruktur serta tentu saja tidak memihak/netral.
SUJASMIN / HK PENITENSIER / STHB 5

Aliran klasik ini berpijak pada tiga tiang : Asas legalitas, yang menyatakan bahwa tiada pidana tanpa undang-undang, tiada tindak pidana tanpa undang-undang, dan tiada penuntutan tanpa undangundang. Asas kesalahan, yang berisi bahwa orang hanya dapat dipidana untuk tindak pidana yang dilakukannya dengan sengaja atau kealpaan. Asas pengimbalan (pembalasan) yang sekuler yang berisi bahwa pidana secara konkrit tidak dikenakan dengan maksud untuk mencapai sesuatu hasil yang bermanfaat, melainkan setimpal dengan berat ringannya perbuatan yang dilakukan. Aliran klasik mempunyai karakteristik yaitu : Definisi hukum dari kejahatan, Pidana harus sesuai dengan kejahatan, Doktrin kebebasan kehendak, Pidana mati untuk beberapa tindak pidana, Tidak ada riset empiris, Pidana ditentukan secara pasti.

SUJASMIN / HK PENITENSIER / STHB

Aliran modern ini, yang tumbuh dan berkembang pada abad ke 19. Aliran ini pun disebut juga aliran positif karena pada aliran ini mencari sebab kejahatan dengan menggunakan metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati / mempengaruhi penjahat secara positif sejauh ia masih dapat diperbaiki. Dengan demikian pusat perhatian aliran ini adalah si pembuat atau disebut pula dengan hukum pidana orang (daderstrafrecht).

SUJASMIN / HK PENITENSIER / STHB

Menurut aliran ini kenyataannya (secara konkrit) seseorang yang melakukan tindak pidana itu dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis, atau faktor lingkungan masyarakat. Jadi aliran ini berpedoman pada pandangan determinisme yang artinya manusia dipandang tidak mempunyai kehendak bebas, maka ia tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan dan dipidana. Oleh karena itu aliran ini menolak pandangan adanya pembalasan berdasarkan kesalahan yang subjektif. Pertanggungan jawab seseorang berdasar kesalahan harus diganti dengan sifat yang berbahayanya si pembuat. Bentuk pertanggungan jawab kepada si pembuat lebih bersifat tindakan untuk perlindungan masyarakat. Dengan demikian aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan mengadakan resosialisasi si pembuat. Tokoh utama aliran modern adalah Cecare Lombroso, Enrico Ferri dan Reffaele Garofalo.
SUJASMIN / HK PENITENSIER / STHB 8

Ciri-ciri aliran modern sebagai berikut : Menolak definisi hukum dari kejahatan, Pidana harus sesuai dengan pelaku tindak pidana, Doktrin determinisme, Penghapusan pidana mati, Riset empiris, Pidana yang tidak ditentukan secara pasti.

SUJASMIN / HK PENITENSIER / STHB

Aliran Neoklasik ini mempunyai basis yang sama dengan aliran klasik yakni kepercayaan kepada kebebasan kehendak manusia. Aliran ini juga berkembang pada abad ke 19. Menurut penganut aliran neoklasik ini beranggapan bahwa pidana yang dihasilkan oleh aliran klasik terlalu berat dan merusak semangat kemanusiaan yang berkembang pada saat itu. Sebagai contoh dalam ketentuan The French Penal Code 1791 yang sangat keras, yang kemudian diperbaiki pada tahun 1810. Perbaikan ini didasarkan kepada kebijaksanaan peradilan, dengan merumuskan pidana minimum dan maksimum dan mengakui apa yang dinamakan asas-asas tentang keadaan yang meringankan (principle of extenuating circumstances). Perbaikan lebih lanjut terjadi pada tahun 1819 yang memungkinkan lebih banyak kebijaksanaan peradilan berdasarkan keadaankeadaan objektif.
SUJASMIN / HK PENITENSIER / STHB 10

Aliran neoklasik ini mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku tindak pidana. Para penganut aliran ini kebanyakan sarjana Inggris menyatakan bahwa konsep keadilan sosial berdasarkan hukum tidak realistis, dan bahkan tidak adil pada aliran klasik. Salah satu hasil yang sangat penting dari aliran neoklasik adalah masuknya kesaksian ahli di pengadilan, untuk membantu juri dalam mempertimbangkan derajat pertanggungjawaban seseorang pelaku tindak pidana. Untuk pertama kali ahli ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam diizinkan tampil di pengadilan sekalipun putusan terakhir tetap di tangan juri atau hakim, apabila perkara tersebut diadili tanpa juri. Aliran neoklasik ini berorientasi kepada perbuatan dan orang atau hukum pidana yang berorientasi kepada daaddaderstrafrecht.
SUJASMIN / HK PENITENSIER / STHB 11

Adapun ciri ciri aliran neoklasik ini adalah : Modifikasi dari doktrin kebebasan kehendak yang dapat dipengaruhi oleh patologi, ketidakmampuan, penyakit jiwa dan keadaan keadaan lain. Diterima berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan. Modifikasi dan doktrin pertanggungjawaban untuk mengadakan peringanan pemidanaan, dengan kemungkinan adanya pertanggungjawaban sebagian di dalam kasus-kasus tertentu seperti penyakit jiwa, usia dan keadaan-keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan kehendak seseorang pada saat terjadinya kejahatan. Masuknya kesaksian ahli di dalam acara peradilan guna menentukan derajat pertanggungjawaban.
SUJASMIN / HK PENITENSIER / STHB 12

Dari ketiga aliran tersebut KUHP kita secara lebih luas menganut aliran neoklasik yaitu dengan berorientasi kepada perbuatan maupun orang, walaupun Pasal 1 ayat (1) KUHP yang penekanan yaitu untuk dapat dipidana telah diatur lebih dahulu adanya suatu tindak pidana. Di luar Pasal 1 ayat (1) KUHP telah pula mengenal pidana mati, hal-hal yang meringankan pemidanaan dan hal-hal yang memberatkan pemidanaan seperti adanya recidive, concursus, pemberatan jabatan dan sebagainya.
SUJASMIN / HK PENITENSIER / STHB 13

pendapat Marc Ancel tentang aliran perlindungan masyarakat baru (defence sociale nouvele). dalam bukunya yang berjudul Social Defence A Modern Approach to Criminal Problems menyatakan : Doktrin perlindungan masyarakat benar-benar menolak pandangan determinisme dari aliran modern. Di lain pihak kebijakan pidana juga tidak didasarkan atas gagasan teoritis tentang pertanggungjawaban, tetapi paling tidak pada pengakuan, penggunaan dan pengembangan atas rasa tanggung jawab yang merupakan bagian yang penting dari setiap manusia termasuk pelaku tindak pidana. Doktrin perlindungan masyarakat juga berpendapat bahwa klasifikasi penjahat merupakan hal yang sangat penting. Namun dalam hal ini gerakan perlindungan masyarakat baru menyatakan bahwa suatu tindak pidana berada di atas segala ekspresi kepribadian individual. Masalah kriminologis tidak banyak dipergunakan untuk menempatkan pelaku tindak pidana ke dalam suatu kerangka yang seolah olah sudah ditentukan, tetapi lebih bermanfaat untuk menyelidiki dan menjelaskan mengapa individu tertentu berada dalam keadaan tertentu, dengan susunan fisik tertentu melakukan perbuatan tertentu.
SUJASMIN / HK PENITENSIER / STHB 14

Doktrin perlindungan masyarakat tidak hanya menyegarkan kembali gagasan kebebasan kehendak dan pertanggungjawaban, tetapi juga memperkenalkan kembali secara berhasil seperangkat nilai nilai moral ke dalam kebijakan pidana dan hukum pidana yang oleh aliran positif dituntut untuk diabaikan. Hal ini disebabkan karena aliran positif hanya mempertimbangkan hal hal yang bersifat ilmiah murni. Masalah pertanggungjawaban atau kesalahan ini diajukan kembali ke dalam hukum pidana sekalipun tidak merupakan tujuan atau konsepsi abstrak tentang kesalahan sebagaimana dikenal melalui hukum pidana klasik. Dalam hal ini yang dituntut oleh aliran perlindungan masyarakat adalah kewajiban moral (moral obligation) dan masing masing individu mencoba untuk mendorong agar menyadari moralitas sosial, yang dalam hal ini menjadi subjek. Gerakan perlindungan masyarakat baru mencoba untuk mencapai adanya keseimbangan antara individu dan masyarakat, di dalam kebijakan pidana yang rasional, yang didasarkan atas gagasan bahwa masyarakat sendiri mempunyai kewajiban kewajiban terhadap warganegara. Penghargaan atas martabat manusia atau kebutuhan terhadap perlindungan kebebasan individu akan membawa ke arah pemeliharaan suatu sistem berdasarkan supermasi hukum. Sekalipun gerakan perlindungan masyarakat mendapatkan inspirasi dari ilmu pengetahuan modern khususnya ilmu ilmu sosial, namun gerakan ini tidak menghendaki adanya ketergantungan ilmiah, sebagaimana yang diinginkan oleh aliran positif terhadap hukum pidana dan kebijaksanaan pidana.
SUJASMIN / HK PENITENSIER / STHB 15

Sehubungan dengan aliran-aliran hukum pidana dan aliran perlindungan masyarakat tersebut di atas, secara tegas sangat berpengaruh bagi Indonesia untuk merumuskan tentang pedoman pemidanaan yang tidak kita jumpai di dalam KUHP kita, tetapi hanya dapat kita simpulkan dari beberapa rumusan KUHP. Misalnya pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP diancam dengan pidana penjara maksimum 15 tahun), pembunuhan yang memberatkan (Pasal 339 KUHP diancam dengan pidana penjara maksimal seumur hidup atau pidana penjara maksimal 20 tahun), dan pembunuhan yang direncanakan (Pasal 340 KUHP ancamannya lebih tinggi yaitu pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara maksimum 20 tahun). Contoh lain misalnya merampas nyawa orang lain dengan sengaja pidananya maksimum pidana penjara 15 tahun (Pasal 338 KUHP), sedangkan apabila dilakukan karena kealpaan atau kelalaian menyebabkan orang lain meninggal dunia dipidana penjara maksimum 5 tahun (Pasal 359 KUHP).
SUJASMIN / HK PENITENSIER / STHB 16

pedoman pemidanaan terakhir telah diatur dalam Pasal 55 Konsep Rancangan KUHP tahun 2008 dan dijadikan pedoman bagi hakim dalam memutuskan suatu perkara pidana dengan dasar pertimbangan yang cukup rasional. Adapun pedoman pemidanaan tersebut berbunyi : (1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan : kesalahan pembuat tindak pidana; motif dan tujuan melakukan tindak pidana; sikap batin pembuat tindak pidana; apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana; cara melakukan tindak pidana; sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana; riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana; pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana; pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. (2) Ringannya perbuatan keadaan pribadi pembuat atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
SUJASMIN / HK PENITENSIER / STHB 17

Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 55 Konsep RKUHP tahun 2008 Ayat (1) Ketentuan dalam ayat ini memuat pedoman pemidanaan yang sangat membantu hakim dalam mempertimbangkan takaran atau berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan. Dengan mempertimbangkan hal-hal yang dirinci dalam pedoman tersebut diharapkan pidana yang dijatuhkan bersifat proporsional dan dapat dipahami baik oleh masyarakat maupun terpidana. Rincian dalam ketentuan ini tidak bersifat limitatif, artinya hakim dapat menambahkan pertimbangan lain selain yang tercantum dalam ayat (1) ini. Unsur "berencana" sebagaimana ditemukan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang lama, tidak dimasukkan dalam rumusan tindak pidana yang dimuat dalam pasal-pasal Buku Kedua. Tidak dimuatnya unsur ini tidak berarti bahwa unsur berencana tersebut ditiadakan, tetapi lebih bijaksana jika dijelaskan dalam penjelasan ayat (1) ini. Berdasarkan hal ini, maka dalam menjatuhkan pidana hakim harus selalu memperhatikan unsur berencana, kesalahan pembuat tindak pidana, motif, dan tujuan dilakukannya tindak pidana, cara melakukan tindak pidana, dan sikap batin pembuat tindak pidana. Ayat (2) Ketentuan dalam ayat ini dikenal dengan asas rechterlijke pardon yang memberi kewenangan kepada hakim untuk memberi maaf pada seseorang yang bersalah melakukan tindak pidana yang sifatnya ringan (tidak serius). Pemberian maaf ini dicantumkan dalam putusan hakim dan tetap harus dinyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
SUJASMIN / HK PENITENSIER / STHB 18

Pedoman pemidanaan ini, akan memudahkan hakim dalam menetapkan takaran pemidanaan. Apa yang tercantum dalam pasal tersebut sebenarnya merupakan daftar yang harus diteliti lebih dahulu, jadi merupakan semacam check list sebelum hakim menjatuhkan pidana. Daftar tersebut memuat hal-hal yang menyangkut pembuat dan hal-hal yang di luar pembuat. Apabila butirbutir yang tersebut dalam daftar itu diperhatikan, maka diharapkan pidana yang dijatuhkan dapat lebih proposional dan dapat dipahami baik oleh masyarakat maupun oleh si terpidana sendiri. Penjumlahan butir-butir di atas tidak bersifat limitatif. Hakim bisa saja menambahkan pertimbangannya pada hal-hal lain selain apa yang tercantum dalam pasal ini. Namun, apa yang disebutkan dalam pasal di atas paling sedikit harus dipertimbangkan.
SUJASMIN / HK PENITENSIER / STHB 19

Sudarto, sehubungan dengan pedoman pemidanaan mengemukakan sebagai berikut: Apa yang dicantumkan di dalam pasal ini sebenarnya merupakan suatu daftar yang harus diteliti (check list) sebelum hakim menjatuhkan pidana. Penelitian seperti ini senantiasa dilakukan dengan tertib dan seksama oleh seseorang pilot sebelum ia mengangkasa. Dalam daftar tersebut memuat hal-hal yang bersifat subjektif yang menyangkut orangnya dan juga hal hal yang bersifat objektif yang menyangkut hal hal yang di luar si pembuat. Dengan memperhatikan butir-butir tersebut diharapkan penjatuhan pidana lebih bersifat proposional dan lebih dipahami mengapa pidananya seperti yang dijatuhkan itu. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka tampak sekali pengaruh aliran neo klasik dalam menentukan pedoman pemidanaan yaitu hukum pidana yang berorientasi pada perbuatan dan orang (daaddaderstraftrecht).
SUJASMIN / HK PENITENSIER / STHB 20

Di samping itu Konsep RKUHP tahun 2008 juga memuat ketentuan-ketentuan yang disebut dengan aturan-aturan pemberian pidana (straftoemeting regels). Aturan aturan ini memuat hal-hal yang tidak mungkin dijatuhi pidana penjara, faktor-faktor yang memperingan pidana dan faktor-faktor yang memperberat pidana. Aturan aturan ini mengacu pada KUHP kita yang masih berlaku dan menambahkan dengan hal-hal baru. Kalau kita kaji ketentuanketentuan ini merupakan perwujudan dari individualisasi pemidanaan.
SUJASMIN / HK PENITENSIER / STHB 21

Pasal 71, yang berbunyi : Dengan tetap mempertimbangkan Pasal 54 dan Pasal 55, pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan jika dijumpai keadaan-keadaan sebagai berikut: terdakwa berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun atau di atas 70 (tujuh puluh) tahun; terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana; kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar; terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban; terdakwa tidak mengetahui bahwa tindak pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar; tindak pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain; korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut; tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu -ke-adaan yang tidak mungkin terulang lagi; kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain; pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya; pembinaan yang bersifat noninstitusional diperkirakan akan cukup berhasil untuk diri terdakwa; penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat beratnya tindak pidana yang dilakukan terdakwa; tindak pidana terjadi di kalangan keluarga; atau terjadi karena kealpaan.
SUJASMIN / HK PENITENSIER / STHB 22

Pasal 132, yang berbunyi : Faktor-faktor yang memperingan pidana meliputi : percobaan melakukan tindak pidana; pembantuan terjadinya tindak pidana; penyerahan diri secara sukarela kepada yang berwajib setelah melakukan tindak pidana ; tindak pidana yang dilakukan oleh wanita hamil; pemberian ganti kerugian yang layak atau perbaikan kerusakan secara sukarela sebagai akibat tindak pidana yang dilakukan; tindak pidana yang dilakukan karena kegoncangan jiwa yang sangat hebat; tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat sebagaimana dimak-sud dalam Pasal 39; atau faktor-faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat.
SUJASMIN / HK PENITENSIER / STHB 23

Pasal 133, yang berbunyi : Peringanan pidana adalah pengurangan 1/3 (satu per tiga) dari ancaman pidana maksimum maupun minimum khusus untuk tindak pidana tertentu. Untuk tindak pidana yang diancam pidana mati dan penjara seumur hidup, maksimum pidananya penjara 15 (lima belas) tahun. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, peringanan pidana dapat berupa perubahan jenis pidana dari yang lebih berat ke jenis pidana yang lebih ringan.

SUJASMIN / HK PENITENSIER / STHB

24

Pasal 134, yang berbunyi : Faktor-faktor yang memperberat pidana meliputi : pelanggaran suatu kewajiban jabatan yang khusus diancam dengan pidana atau tindak pidana yang dilakukan oleh pegawai negeri dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan; penggunaan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara Indonesia pada waktu melakukan tindak pidana; penyalahgunaan keahlian atau profesi untuk melakukan tindak pidana; tindak pidana yang dilakukan orang dewasa bersama-sama dengan anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun; tindak pidana yang dilakukan secara bersekutu, bersama-sama, dengan kekerasan, dengan cara yang kejam, atau dengan berencana; tindak pidana yang dilakukan pada waktu terjadi huru hara atau bencana alam; tindak pidana yang dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya; pengulangan tindak pidana; atau faktor-faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat. SUJASMIN / HK PENITENSIER / STHB 25

Pasal 135, yang berbunyi : Pemberatan pidana adalah penambahan 1/3 (satu per tiga) dari maksimum ancaman pidana. Pasal 136, yang berbunyi : (1) Jika dalam suatu perkara terdapat faktor-faktor yang memperingan dan memperberat pidana secara bersama-sama, maka maksimum ancaman pidana diperberat lebih dahulu, kemudian hasil pemberatan tersebut dikurangi 1/3 (satu per tiga). (2) Berdasarkan pertimbangan tertentu, hakim dapat tidak menerapkan ketentuan mengenai peringanan dan pemberatan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
SUJASMIN / HK PENITENSIER / STHB 26

Anda mungkin juga menyukai