Anda di halaman 1dari 3

Nama : Adesty Aulia

NPM : 18810101
FH Uniska Banjarbaru

Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) adalah
undang-undang yang mengatur tentang anak yang berhadapan dengan hukum. Substansi yang
diatur dalam UU SPPA antara lain menganai penempatan anak yang menjalani proses peradilan
dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling
mendasar dalam UU ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan
Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan
sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan
diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.

1. Definisi Anak di Bawah Umur


UU SPPA mendefiniskan anak di bawah umur sebagai anak yang telah berumur 12 tahun
tetapi belum berumur 18 tahun, dan membedakan anak yang terlibat dalam suatu tindak
pidana dalam tiga kategori:
a. Anak yang menjadi pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU SPPA).
b. Anak yang menjadi korban tindak pidana (Pasal 1 angka 4 UU SPPA).
c. Anak yang menjadi saksi tindak pidana (Pasal 1 angka 5 UU SPPA).

2. Sanksi Pidana
Sanksi pidana dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana anak terbagi atas Pidana
Pokok dan Pidana Tambahan (Pasal 71 UU SPPA).

Pidana pokok terdiri atas:


 Pidana peringatan;
 Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan diluar lembaga, pelayanan
masyarakat, atau pengawasan;
 Pelatihan kerja
 Pembinaan dalam lembaga;
 Penjara.

Pidana Tambahan terdiri dari :


 Perampasan keuntungan yang diperolah dari tindak pidana; atau
 Pemenuhan kewajiban adat.

3. Penahanan
Penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14
(empat belas) tahun, atau diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana
penjara tujuh tahun atau lebih (Pasal 32 UU SPPA).
Analisis Kasus Penganiayaan/Perundungan Audrey

Ada beberapa kemungkinan untuk menyelesaikan kasus penganiayaan yang terjadi pada
Aud (14), yaitu dengan cara damai diluar pengadilan (diversi) , dan sesuai dengan hukum
pidana yg berlaku di sidang pengadilan jika dugaan adanya kekerasan terbukti
(restorative).

Kesepakatan diversi dapat dilakukan untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa
pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban (pasal 10 UU SPPA).
Meski ada kesepakatan damai dari keluarga pihak korban dengan terduga pelaku, polisi
wajib harus melakukan penyidikan atas kasus yang berlaku. Dalam UU No.35 tahun 2014
tentang perubahan atas UU No. 23 tahun 2002 (UU Perlindungan Anak), pelaku
kekerasan terhadap Aud (14) jika terbukti bersalah, meski pelaku masih dibawah umur,
maka sesuai hukum yang berlaku, para pelaku dapat dihukum.

Kronologi

Berawal dari saling sindir di Instagram oleh korban dengan salah satu terduga pelaku.
terduga pelaku lalu mengajak untuk bertemu langsung menyelesaikan masalah tersebut
pada Jumat malam. Korban meminta untuk bertemu langsung pada Jumat siang pukul 11
waktu setempat. Dari pengakuan terduga pelaku tidak terjadi pengeroyokan, hanya ada
pemukulan satu lawan satu. Dari pengakuan Aud (14); 3 orang dari 12 orang terduga
pelaku dengan inisial E melakukan kekerasaan fisik berupa penyiraman air, menarik
rambut korban hingga terjaduh dari motor, lalu membenturkan kepala korban ke aspal,
terduga pelaku dengan inisial T memiting korban dan inisal E menendang perut korban.
Akibat dari kekerasan tersebut Aud (14) hingga saat ini dirawat di rumah sakit.

Hasil Visum

Visum dilakukan sepekan setelah dugaan penganiayaan terjadi, di rumah sakit tempat
korban dirawat. Dari hasil visum, kepala korban tidak bengkak dan tidak ada benjolan.
Tidak ada memar di mata dan penghlihatan normal. Perut datar, bekas luka tidak
ditemukan dan organ dalam abdomen tidak ada pembesaran. Dari pengakuan korban,
terduga pelaku sempat menekan alat kelamin korban. Namun, berdasarkan hasil visum,
tidak ada lebam, memar, maupun bekas luka pada alat kelamin korban.

Penyelesaian

Berdasarkan hasil visum yang sudah disebutkan diatas, dalam hal ini bisa saja
diselesaikan dengan cara damai, karena tidak terbukti adanya kekerasan pada tubuh
korban. Tapi pertanyaan saya, apakah hasil visum tersebut dapat dinyatakan valid setelah
dugaan penganiayaan terjadi setelah sepekan? Bukankah bisa saja bekas penganiayaan
fisik menghilang seiring terjadi penyembuhan jika sudah sepekan atau bahkan lebih.
Walaupun hasil visum dinyatakan demikian, jika memang terduga korban penganiayaan
sehat-sehat saja, mengapa hingga saat ini korban harus di rawat bahkan berhari-hari
berada di rumah sakit? Menurut saya, tetap saja meninggalkan sakit psikis di dalam diri
korban penganiayaan tersebut, bisa saja terjadi trauma sehingga butuh waktu untuk
memulihkan ke sediakala.

Dalam hal ini saya tidak membenarkan perilaku perundungan yang terjadi pada korban.

Berpedoman pada Pasal 58 ayat (1) UU No.39 tahun 1999 tentang HAM:

“ Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk
kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama
dalam hal pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung
jawab atas pengasuhan.”

Setiap anak juga berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan kekejaman, kekerasan,
dan penganiayaan (Pasal 13 ayat(1) poin d UU No.23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak).

Karena penderitaan psikis merupakan dampak dari perbuatan kekerasan, maka seseorang
yang mengintimidasi anak hingga menderita secara psikis dapat dijerat pasal tentang
larangan menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta
melakukan kekerasan terhadap anak yang terdapat dalam Pasal 76C UU No.35 tahun
2014.

Ancaman sanksi bagi larangan dalam Pasal 76C UU35/2014 terdapat dalam Pasal 80 UU
No.35 tahun 2014 yaitu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6
(enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000.

Anda mungkin juga menyukai