Anda di halaman 1dari 17

Analisis 3

Artikel
Ayu Sekar Saraswati Putri
2105056050
01
Reformasi Penegakan
Hukum Perspektif
Hukum Progresif
Oleh : Lutfil Ansori
Latar Belakang

Hukum dan masyarakat adalah suatu hal yang tidak bisa


dipisahan satu sama lain. Berlakunya hukum itu
berlangsung di dalam suatu tatanan sosial yang disebut
dengan masyarakat. Masyarakat menghendaki hukum tidak
lagi menjadi alat untuk kepentingan penguasa, ataupun
kepentingan politik. Oleh karena itu dibutuhkan penegakan
hukum yang berkeadilan. Reformasi penegakan hukum
merupakan jawaban terhadap bagaimana hukum di
Indonesia diselenggarakan dalam kerangka pembentukan
negara hukum yang dicita-citakan.
Reformasi Hukum
Reformasi hukum merupakan jawaban terhadap bagaimana hukum di Indonesia
diselenggarakan dalam kerangka pembentukan negara hukum yang dicita-citakan.
Hukum mengemban fungsi ekspresif yaitu mengungkapkan pandangan hidup, nilai-
nilai budaya dan nilai keadilan.
Secara umum dalam rangka melakukan reformasi hukum tersebut ada beberapa hal
yang harus dilakukan antara lain:
a. Penataan kembali struktur dan lembaga-lembaga hukum yang ada termasuk
sumber daya manusia yang berkualitas;
b. Perumusan kembali hukum yang berkeadilan;
c. Peningkatan penegakkan hukum dengan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran
hukum;
d. Pengikutsertaan rakyat dalam penegakan hukum;
e. Pendidikan publik untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap hukum;
f. Penerapan konsep Good Governance.
Perjalanan reformasi hukum dikatakan belum berhasil optimal melihat realitas
penegakan hukum yang terjadi sampai hari ini. Kepastian hukum masih ditegakkan
melalui pendekatan peraturan atau undang-undang atau pendekatan legislatif.
Perubahan Paradigma: dari Berfikir Hukum Tekstual
ke Hukum Progresif

Reformasi paradigma dari berfikir hukum tekstual ke hukum progresif harus


dilakukan oleh para penegak hukum. Hukum progresif lahir dari rasa
ketidakpuasan kalangan hukum terhadap teori dan praktik hukum tradisional
yang berkembang. Untuk terlepas dari belenggu formalismpositifisme diperlukan
cara berhukum baru agar hukum mampu menangkap hakikat akan kebenaran,
keadilan dan kemanusiaan. Perkembangan hukum progresif tidak lepas dari
perkembangan tatanan hukum. Hukum progresif merubah cara berhukum dari
sekedar menerapkan hukum positif secara tekstual menjadi cara berhukum
dengan mendayagunakan hukum dengan tujuan, misi dan dimensi spiritual dan
sosial.
Penegakan Hukum yang Berkeadilan

Dalam konteks penegakan hukum, budaya hukum (legal culture) menjadi


elemen yang sangat penting. Budaya hukum adalah meliputi pandangan,
kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai
dan pengharapan dari sistem hukum yang berlaku.
Tujuan hukum secara teoretis mencakup tiga hal yaitu keadilan, kepastian,
dan kemanfaatan. Keadilan dapat dikatakan sebagai tujuan utama yang
bersifat universal.
Untuk mewujudkan hukum yang berkeadilan dibutuhkan reformasi dari
penegak hukum itu sendiri baik itu reformasi institusi maupun reformasi dari
individu para penegak hukumnya. Reformasi institusi yang ideal harus
mengacu pada tiga orientasi utama, yaitu prinsip demokrasi, rule of law, dan
hak asasi manusia.
02
Penegakan Hukum Ujaran Kebencian
Di Republik Indonesia
Oleh:
Andi Sepima
Gomgom T.P. Siregar
Syawal Amry Siregar
Latar Belakang

Kehadiran teknologi informasi yang demikian canggih telah memberikan


nuansa baru dengan menyentuh hampir semua aspek kehidupan.
Teknologi telah memberi kemudahan bagi masyarakat untuk melakukan
aktivitas sehari-hari dalam memenuhi kebutuhannya, serta memudahkan
interaksi antar sesama manusia di mana pun berada. Perkembangan
teknologi telah menyebabkan tindak kejahatan juga semakin mudah
dilakukan sehingga semakin marak terjadi. Salah satu tindak pidana yang
sering terjadi di tengah masyarakat dengan memanfaatkan atau
menyalahgunakan teknologi informasi adalah ujaran kebencian melalui
media sosial. Penyalahgunaan teknologi informasi untuk menyebarkan
ujaran kebencian sering dilakukan untuk tujuan pribadi.
Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana
Ujaran Kebencian
Petugas kepolisian memahami tugasnya sebagai penegak hukum
yang memiliki peran penting dalam penanganan ujaran kebencian.
Oleh karena itu aparat kepolisian selalu dalam kondisi siap menerima
setiap laporan atau pengaduan dari masyarakat pada setiap jam kerja
yang telah ditetapkan serta dengan segera menindaklanjuti setiap
laporan yang diterima. Penangkapan terhadap tersangka dalam
perkara penyebaran ujaran kebencian adalah suatu keterpaksaan,
seperti karena tersangka tidak berniat baik atau tidak kooperatif dalam
penyidikan. Oleh karena itu, sepanjang tersangka memiliki niat baik
dalam menghadapi proses hukum maka penyidik kepolisian tidak
akan melakukan penangkapan ataupun penahanan terhadap
tersangka.
Fakto Kendala Kepolisian dalam
Penegakan Hukum Ujaran Kebencian

1. Pelakunya Tokoh Masyarakat


2. Dianggap mengekang kebebasan berpendapat
3. Simcar Tanpa Registrasi pengguna
4. Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap larangan penyebaran
kebencian
5. Adanya akun palsu
UU Tentang Ujaran Kebencian

Aturan hukum tentang ujaran kebencian melalui media social diatur


dalam UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11
Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Pada pasal 28 ayat (2) UU ITE dinyatakan bnahwa: Setiap orang
dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas
suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Sedangkan ancaman
pidana diatur dalam pasal 45 ayat (2) adalah dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp. l.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
03
PENEGAKAN HUKUM
SANKSI ADMINISTRASI
TERHADAP PELANGGARAN
PERIZINAN

Oleh: Ivan Fauzani Raharja, S.H., M.H.


Latar Belakang

Sanksi merupakan bagian penutup yang penting di dalam


hukum. Hal ini merupakan suatu bentuk pemaksaan dari
administrasi negara (pemerintah) terhadap warga negara
dalam hal adanya perintah-perintah, kewajiban-
kewajiban,atau larangan-larangan yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh
administrasi negara (pemerintah).
Sanksi administrasi yang dapat dikenakan
terhadap pelanggaran perizinan ada beberapa
macam yaitu paksaan Pemerintahan
(bestuurdwang), penarikan kembali
keputusan yang menguntungkan, pengenaan
uang paksa oleh Pemerintah (dwangsom),
pengenaan denda administratif (administratif
boete).
Penetapan sanksi administrasi terhadap pelanggaran di bidang
perizinan bentuknya bermacam-macam yang pada umumnya
sudah secara definitif tercantum dalam peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasarnya.
Dalam hal telah terjadi pelanggaran perizinan dan akan
dikenakansanksipaksaan pemerintah (bestuurdwang), maka
organpemerintah harus mengkajifaktapelanggaranhukumnya,
yang dalam hal ini dapatdibedakandalamdua jenis, yaitu
pelangggaran yang tidak bersifat substansial dan
pelanggaranyangbersifat substansial. Penjatuhansanksi terhadap
pelanggaran yang bersifat substansial dan pelanggaran yang
bersifat tidak substansial dapat menjadi tidak sama. Terhadap
pelanggaran yang tidak bersifat substansial ini maka organ
pemerintah masih dapat melakukan legalisasi. Terhadap
pelanggaran yang bersifat substansial, Pemerintah dapat
langsung menerapkan paksaan pemerintahan (bestuurdwang).
Referensi
Ansori, L. (2018). Reformasi Penegakan Hukum Perspektif Hukum Progresif. Jurnal
Yuridis, 4(2), 148-163.

Sepima, A., Siregar, G. T., & Siregar, S. A. (2021). Penegakan Hukum Ujaran
Kebencian Di Republik Indonesia. Jurnal Retentum, 2(1), 108-116.

Raharja, I. F. (2014). Penegakan hukum sanksi administrasi terhadap pelanggaran


perizinan. INOVATIF| Jurnal Ilmu Hukum, 7(2).

Anda mungkin juga menyukai