Anda di halaman 1dari 9

KUALIFIKASI HUKUM PIDANA KHUSUS TERHADAP

TINDAK PIDANA PEMILU/ PILKADA


(TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA)

VANTRIANO OKTAVIAN GARAT

ABSTRAK
Dalam kemajuan dan globalisasi dunia kemjuan dalam proses pemulu juga terdapat
kemajuan yaitu pemilihan umum dan pilkada serentak yang telah diatur oleh undang-undang.
Namun dalam pelaksanaannya terdapat tantangan dalam tindak pidana pilkada. Faktor-faktor
terkait adalah UU Pemilihan dengan aturan limitasi waktu dan KUHP yang dibatasi KUHAP.
Selain daripada itu adalah faktor kualitas manusia yang jauh dari kualitas ideal yang mengakiatkan
gagalnya system peradila pidana pilkada dalam menjalankan fungsinya. Namun demikian sarana
non penal dapat membantu mewujudkan keadilan dan kepastian hukum. Tindakan yang dapat
diambil dalam menyikapi keadaan yang sedemikian rupa, maka dperlukan adanya pembenahan,
dan peningkatan kualitas keilmuan dalam penyelenggara pilkada. Selain itu diperukan pendekatan
integral antara sarana penal dan non penal yang sejalan dengan oerkembangan stelsel pidana
hukum administrasi.
Kata kunci: Pemilihan Serentak, Kode Penal, Non Penal.

A. PENDAHULUAN

Pemilihan terhadap Presiden dan Wakil Presiden secara serentak merupakan salah satu
peristiwa penting. Pertama kali digelar pada tahun 2015 dan dilanjutkan pada tahun 2017 dalam
skala nasional pilkada, dan pada tahun 2018, 2019 ditambahkan dengan pemilihan serentak
Presiden, Wakil Presiden, Kepala Daerah dan anggota legislatif lainnya. Peristiwa momentum
yang seara besar dan terorganisir serta terstruktur ini merupakan salah satu perwujudan nilai
demokrasi dan merupakan yang pertama kali di lakukan baik di Indonesia maupun di dunia.
Namun, masalah hukum pemilu ternyata merupakan masalah yang cukup kompleks apabila
dibandingkan dengan masalah hukum lainnya. Bukan hanya melibatkan banyak lembaga/ intitusi
namun masalah hukum pemilu memiliki banyak kategori masalah serta bentuk pelaksanaan setra
penanganannya. Dimana seringkali bentuk aturannta yang tidak menudukung, juga disebabkan
oleh fktor penegakan dan budaya hukum. Berbagai fakta diatas menunjukkan adanya pencegahan
tindak pidana pemilu/ pilkada yang ditangani dengan tindakan hukum administrasi. Oleh karena
itu penulis mengangkat topik penelitian “Kualifikasi Hukum Pidana Khusus dalam Tindak Pidana
Pemilu/ Pilkada”.

Masalah penegakan hukum (in abstracto & in concerto) merupakan masalah aktua; yang
mendapat sorotan tajam dari massa. Terkait masalah tersebut para ahli hukum mengambil peran
untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam penegakan hukum secara materiil dan
substansial seperti: terdapat perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), penegakan kebenaran,
kejujuran, keadilan, dan kepercayaan antar sesame, tidak terdapat penyalahgunaan kekuasaan ,
bebas dari praktik pilih kasih, penegakan hukum dan etika profesi yang merdeka, serta
pemerintahan ang berwibawa dan bersih.(Arief, Barda. 2007). Barda menegaskan bahwa:

“peran lainnya dalam meningkatkan kualitas penegakan hukum in abstracti, adalah


proses pembuatan produk perundang-undangan karena kesalahan atau kelemahan
pada tahapan kebijakan legislasi/ formulasi, merupakan kesalahan strategis yang
dapat menjadi penghambat upaya penegakan hukum in concreto. Dalam praktik
selama ini, banyak prodk legislative yang mengandung masalah, menjadi
penghambat dalam upaya penanggulangan kejahatan. Tidak jarang suatu UU yang
baru keluat sudah harus dicabut, diubah, da diperbaiki atau diamandemen”.
Fakta yang terjadi karena banyakya produk legislative yang bermasalah tentu saja
mengganggu upaya dalam penegakan hukum tindak pidana. Yang apabila dikatikan dengan fakta
yang ada menyeutkan bahwa hukum ditandai dengan adanya silang pendapat. Moeljatno
mengatakan, bahwa “pidana bisa disamakan dengan criminal act yang meliputi
pertanggungjawaban pidana. Dimana hukum pidana tidak melarang orang mati, tetapu melarang
orang mati dikarenakan tindakan atau perbuatan orang lain”. Susasana yang terbangun setelah
masa reformasi, teradi pula perkembangan dalam kaijakan politik hukum yang berkaitan dengan
pemilu. Salah satu yang sangat menonjol adalag adanya pelaksanaan pemilihan wakil raykyat dan
pejabat pemerintah secara langsung (UU Pemili/ Pilkada) yang adalah produk legislatif.

Dalam sudut pandang politik hukum, terdapat perkembangan dalam tindak pidana pemilu.
Yang mana mencakup luasnya cakupan tindak pidana pemilu, peningkatan jenis tindak pidana dan
peningkatan sanksi pidana (Santoso Topo, 2006). Namun perkembangan yang terjadi setelah
reformasi terhadap polituk hukum menimbulkan adanya perubahan pula pada system
penyelenggaraan dalam pemilu. Yang mana berubah menjadi pemilu langsung yang mana
sekarang dilaksanaakan secara massif dan terstruktur serta terorganisir dari sebelumnya pemilu
tidak langsung.

Sebagai sarana dalam mewujudkan ketertiban dengan landasan keadilan, kaidah-kaidah


hukum dirumuskan dalam bentuk aturan hukum yang disebut perundang-undangan. Yang dalam
buku hukum pidana dapat terlihat bahwa hukum pidana terbagi atas hukum pidana umum (KUHP)
dan hukum pidana khusus seperti hukum pidana administrasi (administrative penal law). Yang
mana prinsip utama dari semua hukum adalah untuk menjaga keutuhan masyarakat dalam
ketertiban, ketenangan, kesejahteraan dan kedamaian dalam masyarakat itu sendiri tanpa
menimbulkan masalah dan kerugian yang berujung pada penderitaan. Hukum pidana meripakan
ultimim remedium atau berarti upaya terkahir. Yang data diartikan sebagai sedapat mungkin
dibatasi, yang apabila hukum lain tidak dapat dipergunakan, maka hukum pidana baru dapat
diterapkan.

Oleh karena iti pertanyaan yang dapat timbul adalah bagaimana perkembangan ketentuan
pidana dalam kerangka hukum adiministrasi negara? Apakah keadilan dan kepastian hukum dapat
terwujud melalui penanggulangan tindak pidana pemilu melalui hukum pidana adminisrasi?

B. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normative dan
menggunakan bahan sekunder yang dapat menjelaskan informasi mengenai bahan hukum yang
digunakan dalam penelitian. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan
yang memiliki keterkaitan dengan Peran Hukum Administrasi Negara Dalam penanggulangan
Tindakan Pidana Pemilu/Pilkada. Pendekatan lain yang digunakan adalah pendekatan konsep yang
berguna untuk mempelajari konsep atau pandangan yang berkemang dalam ilmu hukum.

C. PEMBAHASAN
1. HUKUM PIDANA KHUSUS DALAM KERANGKA ADMINISTRASI NEGARA
Pidana dapat diartikan sebagai nestapa yang dikenakan oleh negara kepada individu
maupun kelompok yang melakukan pelanggarn terhadap ketentuan perundang-undangan.
Hulsman, memandang pidana sebagai ‘seruan untuk tertib’ dan Binsbergen juga menyatakan
pendapat yang memiliki arti menyerupai yakni ‘pernyataan bahwa si pelanggar bersalah’.
Sedangkan pidana dimaknai sebagai pengimbalan atau pebalasan terhadap pelanggaran yang
dilakukan oleh si pelaku. Pengertian tersebut merupakan pengertian secara dogmatis. Hukum
pidana mulai diterapkan sejak terjadinya kejahatan dalam lingkun masyarakat. Dimana kejahatan
tersebut timbul kaibat kekuasaan negara yang membentuk perundang-undangan. Dalam kaitannya
dengan pemilu, Monteswuieu berpendapat bahwa:

“kedaulatan hanya ada melalui [enggunaan ghak pilih sebagai gambaran kehendak
rayat, karenanya rakyat memiliki legitimasi yang kuat untuk bisa menentukan
pilihan orang-oranh yang dipercayakan, sehingga dapat menjalankan sebagian
kewenangan rakyat. Dengan demikian pemilu yang dianjurkan Montesquieu
adalah; pemilihan yang bersifat public dan ketetapan ini harus dipandang sebagai
hukum dasar dalam demokrasi”

Hak pilih merupakan hak yang dimiliki individu untuk turut serta dalam tatanan prosedue
pemilihan dengan cara memberikan hak suaranya. Hans Kelsen juga menyatakan bahwa hak yang
dimiliki waarga negara yang diberikan oleh tatanan hukum adalah hak pilitik. Ia juga menyebutkan
bahwa ‘pemungutan suara’ adalah suatu kewajibam. Pemilihan serentak yang berlangsung pada
tahun 2015 membutuhkan perbaikan dalam perundang-ndangan sebagia refleksi dan evaluasi.
Oleh karena situasi dan kondisi tersebut, maka diperlukan perangkat hukum yang mempunyai
kekhususan, untuk mendukung pelaksanaan pilkada, juga memuat ketentuan pidana berupa
sanksi bagi pihak-pihak yang melanggar. Berkaitan degan nilai khusus tyang sudah disebutkan,
maka hal ini akan berkaitan dengan ‘hukum pidana khusus’ dalam undang-undang pilkada.

Menurut Sudarto, tiga kelompok dapat menjadi kualifikasi sebagai Undang-Undang Pidana
Khusus, yaitu; pertama, undang-undang yang tidak dikodifikasikan. Kedua, peraturan-peraturan
hukum administrasi yang memuat sanksi pidana, ketiga undang-undang yang memuat hukum
pidana khusus yang didalamnya memuat delik-delik untuk kelompok terntentu yang berhubungan
dengan tindakan tertentu.

Sudarto juga menegaskan bahwa terdapat penyimpangan dari hukum pidana umum dalam
ketentuan hukum pidana khusus, yang terkait dengan sekelompok orang maupun perbuatan
tertentu. Asas-asas pokok yang terdapat dalam hukum pidana umum perlu diperhatikan sehingga
penyimpangan dapat ditemukan apabila diperlukan untuk keadaan khusu seperti kepentingan
militer.

Pasal 1 KUHPT juga menerangkan bahwa ketentuan dalam hukum pidana umum berlaku.
Pasal sperti bab IX pada KUHP buku I tidak terdapat dalam hukum pidana pemilu/pilkada, hukum
pidana ekonomi, hukum pidana fiskal, UU Perburuhan, UU agrarian. Dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa hal seperti ini nukam hukum pidana khusus, melainkan dapat dikualifikasikan
sebagai hukum administrative. Perluasan dari tugas penguasa mengakibatkan makin luas pula
delik seperti ini, maka dapat dikaltakan delik sepeti ini sebagai delik administrasi.

Kesimpulan yang dapat diambil bahwa yang dimaksudkan dengan undang-undang pidana
khusus adalah undang-undang pidana selain KUHP, yang meripakan induk dari peraturan hukum
pidana. Andi Hamzah mengartikan perundang-undangan khusus sebagai semua perundang-
undangan di luar KUHP beserta perundang-undangan pelengkapnya, baik perundang-undangan
pidana maupun hukum pidana akan tertapi akan tetap bersanksi pidana. Tujuan pengaturan
terhadap tindak pidana yang bersifat khusus adalah untuk mengisis kekurangan hukum yang tidak
tercakup pengaturannya dalam KUHP.

Menurut Pul Scholten dan P. Mostret, hukum pidana umum karena merupakan perundang-
undangan pidana dan berlaku umum dan yang termasuk dalam hukum pidana khusus adalah
hukum pidana pemerintahan.

2. PRINSIP PEMBERLAUAN HUKUM PIDANA KHUSUS DALAM HUKUM


NASIONAL

Dewasa ini perkembangan hukum pidana khusus di Indonesia menjado terkesan lain,
karena telah banyak undang-undang demikian, yang termasuk hukum pidana pemerintah adalah
seperti UU Narkotika, UU Pemilu/Pilkada, UU Tipikor, UU Perkawinan, Perburuhan dan
sebagainya. Yang mana merupakan perundang-undangan administrasi bersanksi pidana. Apabila
ktentuan pidana tersebut adalah suatu ketentuan pidana yan memiliki sifat khusus untuk mengatur
perilaku maka ketentian pidana yang bersifat khusus itulah yang harus diberlakukan.

Prinsip pemberlakuan ini adalah bahwa hukum pidana khisis lebih diutamakan dari pada
hukum pidana umum. Dikaitkan dengan undang-undang Adagius Lex Specialis Derogat lex
generalis merupakan asas yang penting yang juga memiliki arti ‘undang-undang yang datangnya
kemudian, mengalahkan undang-undang yang lebih dahulu’. Pada dasarnya, terdapat du acara
untuk memandang suatu ketentian pidana dapay dikatakan bersifat khusus atau tidak.

1. cara pandang ‘logis’, yaitu apabila ketentuan pidana tersebut juga memuat semua unsur
dari suatu ketentian pidana yang bersifat umum.

2. cara pandang yudiris/sistematis’ yaitu walaupun ketentuan tersebut tidak memuat


semua unsur ketentuan umum, dapat dianggap sebagai ketentuan khusus apabila dengan
jelas dapat diketahui bahwa pembentuk undang-undang memang memberntuk
ketentuan tersebut sebagai ketentuan pidana yang bersifat khusus.

Dasar hukum dan keberlakuannya yang menyimpang dari ketentuan umum buku I KUHP,
dan ketentuan acara hukum formal, peraturan perundang-undangan tindak [idana khusus dapat
pula menyimpang dari undang-undang hukum acara pidana KUHAP. Pembentukan undang-
undang pemilu/pilkada memiliki sifat ‘kekhususan suatu ketentuan pidana’, yang diharapkan dapat
memebrikan jaminan hukum, jua menjawab kebuntuan yang lahir dari fenomena hukum terkait
election offences¸ yaitu semua pelanggaran yang berkaitan dengan pemulu yang telah diatur dalam
undang-undang.

3. KEBIJAKAN HUKUM ADMINISTRASI DALAM UU PEMILU/PILKADA

Undang-undang dapat diartikan sebagai serangkaian peraturan perundang-undangan yang


diperlukan dnegan tujuan menjamin penyelenggaraan Pilkada serentak di Indonesia, yanhg sesai
dengan prinsip-prinsip pemilu yang bersifat demokratis dan berlandas pada asas pemilu yaitu
langsung, umum, bebas rahasia, jujur dan adil. Seperti salah satu contohnya adalah undang-undang
pertama yang disahkan yaitu UU No.8 tahun 2015 yang juga digunakan untuk penyelenggaraan
pemilihan serentak, yang mana undang-undang ini berbentuk dan bersifat administrasi dimana
secara khusus menetapkan beberapa hal yaitu, tujuan, penggunaan system, mengatur proses
pelaksanaan, serta menetapkan peraturan teknis, dan memberikan prosedur dan pedoman dalam
pelaksanaan pemilu. Undang-undang ini dapat dikategorikan khusus karena memuat sanksi
administrative yang memuat ancaman pidana beripa ancaman penjara dan denda.

Dapat dilihat pula melalui rumusan pasal 179dan/atau pasal 184 UU No.8 tahun 2015 yaitu
sebagai salah satu ketentuan pidana yang bersifat khusus, yang mengatur secara lebih khusus
masalah yang terjadi dalam periode pelaksanaan pilkada. Yang menjelaskan tentang kejahatan
sepertu, memalsukan surat, menggunakan surat palsu, atau menyuruh orang lain untuk
menggunakan surat palsu yang dapat memberatkan.

Berikut beberapa pelanggaran dalam hukum pemilu, yakni pelanggaran kode etik
pemilihan umum, tindak pidana pemilu, sengketa pemilu, sengketa tata usaha negara pemilu, dan
perselisihan hasil pemilu. Seiring dengan perkembangan zaman dan globalisasi serta
perkembangan ilmu pengetahuan, memicu perkembangan kejahatan dalam pemilu. Termasuk
yang juga terjadi pada pemilu serentak ada tahun 2015 yaitu pemalsuan surat intelektual pada
pilkada.

Contoh lain pemalsuan surat adalah yang terjdi di Kabupaten Sragen, Jawa tengah. Yang
mana surat diduga palsu yang telah ditandatangani leh ketua umum DPP GOLKAR dan sekretaris
nya terhadap surat rekomendasi MODEL B.1. KWK PARPOL DPP-GOLKAR. Surat tersebut
dibuat dalam tahapan Pilkada dan dipergunaan dalam pendataran Pilkada sebagai pemenuhan
syarat bagi pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati.

Hal ini diawali dengan adanya ‘dualisme dukungan’ yang berupa surat rekomendasi, yang
dikeluarkan ole DPP GOLKAR kubu ARB kepada pasangan SURAMTO-GIYANTO untuk
pecalonan pasangan tersebut sebagai calon Bupati dan Wakil Bupati kabupaten Sragen. Akan
tetapi, disisi lain DPP GOLKAR kubu ARB juga memberkan surat rekomendasi kepada pasangan
FATCHUR RAHMAN-JOKO SUPRAPTO. Menanggapi keadaan dan permasalahan tersebut
KPUD Sragen segera melakukan verifiki factual kepada DPD Partai Golkar Provinsi Jawa Tengah,
sesuai dengan ketentuan ‘tidak adanya rekomendasi ganda’. Kasus tersbeut ditutup dengan
penolakan terhadap surat rekomendasi SURAMTO-GIYANTO yang tidak dapat menunjukkan
syarat minimal pendaftaran kepada KPUD.

Apabila dibandingkan dengan delik dalam padal 263 KUHP ayar (1) dan (2) tentang
pemalsuan dokumen/surat dan pasal 55 KUHP tentng penyertaan, maka kasus tersebut diatas telah
memenuhi syarat suatu delik, yaitu

1. terpenuhinya semua unsur delik yang terdapat di dalam rumusan


2. perbuatan dapat dipertanggungjawabkan oleh pelaku
3. tindakanpelaku haris dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja.
4. pelaku dapat dihukum.
5. syarat-syarat penyertaan seperti pada pasal 55 KUHP merupakan syarat yang
harus terpenuhi, setelah tndakan seseoranng itu memenuhi semua unsur yang
terdapat di dalam rumusan delik.
Ketentuan yang berlaku pada KUHP sebagai induk dari ketentuan pidana yang berlaku,
tidak boleh diterapkan karena bersifat umum namun adapula bentuk khusus dalam UU NO.8 tahun
2015 yang juga emmilki delik pemalsuan surat yang dimuat oada pasal 179 dan pasal 184. Dalam
kasus Sragen, ada kekhususan tersendiri yang secara sistematis ini dilanggar oleh penyidik,
penuntut umum dan haim dalam penanggulangan tindak pidana PemilU/Pilkada, karena lemahnya
pengetahuan terhadap asas-asas hukum pidana dikalangan penegak hukum.

Dilihat dari pemberlakuannya, meskipun tidak terlihat penjelasan secara rinci dalam
undang-undang, namun terdapat enejlasan dalam asas lex posterior derogate lex priore yang
memiliki arti ‘undang-undang yang datang kemudian mengalahkan undang-undang terdahulu’.
Contoh nyatanya adalah UU NO.8 tahun 2015 yang datang kemudian setelah UU NO.1 tahun
1946. Selain itu ada pula asas lex specialis derogate lex generalis yang memiliki pengertian
‘peraturan khusus dapat mengenyampingkan peraturan umum’. Dari penjelasa tersebut memilki
kesimpulan yakni lex generalis akan diberlakuka apabla terkjadi pelanggaran dan tindak pidana
terhadap ketentuan yang berkaitan dengan pemilu, sedagkan lex specialis adalah sebutan untuk
ketentuan pudana dalam undang-undang yang bersifat administrative.

PENUTUP

Melalui penelitian ini, maka penulis mendapatkan tiga permasalahan. Yang pertama,
legislator yang mengabaikan pidana sebagai ultimum remedium dan UU yang identic dengan
administrative penal law. Yang mana legislator menitikberatkan pemidanaan dalam perumusan
perundang-undangan. Kedua, produk legislasi yang menyamaratakan proses limitasi waktu
pelaporan terhadap semua jenis pelanggaran pemilihan serentak dengan jalur fast track. Yang
mana menjadi pusat kontradiktif antara UU Pemilu/Piljkada dengan KUHP. Ketiga, keadilan dan
kepastian hukum terwujud lewat peran hukum administrasu melalui instrument hukum
administrasi dalam penegakan hukum pemilu.

DAFTAR PUSTAKA
Bakhri, Syaiful. 2016: Pencapaian Pemidanaan Yang Adil “Suatu Problematika Kemandiran
hakim Pidana”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Hukum Pidana,
Jakarta: UMJ Press.

Djanim, Rantawan. 2015: Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), Makalah Materi
Kuliah Magister Ilmu Hukum, UMJ.

HS, Salim. Erlies Septiana Nurbani. 2014: Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan
Disertasi, Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Hollyson, Rahmat MZ, Sri Sundari. 2015: Pilkada Penuh Euforia, Miskin Makna, Jakarta: Bestari
Buana Murni

Huda, Chairul. 2015: Tinjauan Ekonomi Hukum Terhadap Tindak Pidana Administratif, Makalah
Seminar oleh Chairul Huda, UMJ, 14 November 2015.

Karim, Sarbinnor et, al. 2014: Independen, Sang Pendobrak H. Sudarsono, Jakarta: Indomedia
Global Mandiri.

Kelsen, Hans. 2008: Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Bandung: Nusa Media.

https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum. Diunggah 16 November 2015

http://www.kpu.go.id/Acara Rapat Koordinasi (Rakor). Diunggah 10 November 2015

http://www.news.liputan6.com/kpu-resmikan-pelaksanaan-pilkada-serentak-2015. Diunggah 15

November 2015.

Anda mungkin juga menyukai