Anda di halaman 1dari 4

Kuasa Hukum 02

Prof. Dr. H. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc. (Pandangan Filsuf)

Immanuel Kant, dalam pandangan filosofisnya, menegaskan bahwa etika adalah landasan moralitas
dan praktik manusia. Baginya, norma etik berbeda dari norma hukum karena norma etik bersifat
universal dan didasarkan pada konsensus moral manusia, sementara norma hukum dapat bervariasi
tergantung pada sistem hukum yang berlaku di suatu masyarakat. Sementara itu, Thomas Aquinas
mengajukan bahwa norma hukum harus selaras dengan norma moral yang lebih tinggi. Baginya,
norma hukum yang bertentangan dengan norma moral tidak dapat dianggap sebagai hukum yang
sah. Ini menunjukkan bahwa norma etik memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan norma
hukum dalam hierarki moral. Dalam konteks hukum modern, seperti Mahkamah Konstitusi (MK),
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan profesi advokat, terdapat kode etik yang diatur oleh
undang-undang. Kode etik ini menjadi dasar dalam menilai pelanggaran etik, bukan pelanggaran
etika seperti yang dipahami oleh Immanuel Kant atau Thomas Aquinas. Ini menunjukkan adanya
perbedaan antara konsep etika dalam filsafat dan dalam konteks hukum serta profesi tertentu serta
merujuk terhadap pandangan Ibnu Hazm dan Imam Ghazali norma etik dalam filsafat dan norma
etik dalam pengertian norma Etik yang dibentuk atas perintah satu undang-undang yang
kedudukannya tidak akan mungkin lebih tinggi daripada undang-undang itu sendiri seperti kode etik
yang menjadi kewenangan mahkamah MKMK dan DKPP .

Prof. Dr. Otto Hasibuan, S.H., M.M., Ph.D (Pandangan Ilmuan)

Pemerintah dan DPR telah membuat keputusan untuk menerapkan program Bansos melalui proses
legislasi yang melibatkan berbagai partai politik. Keputusan ini dianggap sah karena didasarkan pada
undang-undang yang telah disepakati bersama. Namun, ada kritik terhadap program Bansos dengan
menghubungkannya dengan praktik politik korupsi yang seringkali terjadi di luar negeri, di mana
dana tersebut dialokasikan untuk kepentingan politik tertentu. Namun, dalam konteks Indonesia,
program Bansos dianggap berbeda karena dilaksanakan oleh pemerintah yang di-backup oleh
undang-undang dan melibatkan partisipasi semua partai politik. Oleh karena itu, pertanyaan muncul
mengapa pemerintah disalahkan jika melaksanakan program sesuai dengan ketentuan undang-
undang yang berbeda dengan Teori Pork Barrel, atau dikenal juga sebagai "teori drum pork",
merujuk pada praktik politik di mana anggota parlemen atau pejabat pemerintah mengalokasikan
dana atau proyek ke daerah mereka sendiri atau ke proyek-proyek yang mendukung pemilih mereka,
bukan berdasarkan pertimbangan kebutuhan yang sebenarnya atau manfaat bagi masyarakat secara
keseluruhan. Dalam konteks program bantuan sosial (Bansos), ada kekhawatiran bahwa praktik
semacam itu dapat terjadi, di mana dana atau bantuan dialokasikan sebagai alat politik untuk
memperoleh dukungan atau memperkuat basis politik, bukan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat secara menyeluruh. Oleh karena itu, kritik terhadap pemerintah dalam pelaksanaan
Bansos bisa muncul jika program tersebut dianggap lebih sebagai instrumen politik daripada upaya
untuk membantu masyarakat yang membutuhkan.

Prof. Dr. Otto Cornelis Kaligis, S.H., M.Hum., LL.M. (Pandangan Ilmuan)

Asas quuitaset konsentireviditur, yang artinya diam dianggap setuju dengan fakta hukum
yang diajukan dalam proses pendaftaran dan debat kampanye. Dia menganggap bahwa
semua pihak, termasuk pasangan calon nomor 1 dan nomor 3, mengetahui undang-undang
dan mengikuti proses debat dengan pasangan calon nomor 2. Dia menyatakan bahwa jika
pasangan calon nomor 3 memenangkan perkara ini, mereka tidak akan mengajukan
pertanyaan tersebut. Kemudian, dia menyoroti bahwa isi posita ke petitum dipenuhi dengan
narasi tentang dugaan kejahatan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi, yang diatur dalam
Bab 28 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang kejahatan jabatan. Dia menanyakan
apakah pernah ada laporan atau kasus yang melibatkan kejahatan jabatan ini, karena bukti
diperoleh dari fakta dalam proses hukum, bukan hanya dari narasi.

Dr. Hotman Paris Hutapea, S.H., LL.M., M.Hum (Pandangan Ilmuan)

Pak Hotman membahas kebutuhan akan audit oleh ahli digital forensik dalam praktik hukum,
terutama dalam kasus-kasus besar seperti kasus narkoba Jenderal Ted Minahasa. Dia menekankan
pentingnya sertifikasi internasional bagi ahli digital forensik untuk diakui di pengadilan. Salah satu
syarat mutlak adalah bahwa semua data yang diaudit harus diserahkan secara utuh kepada ahli
untuk diperiksa. Pak Hotman menyoroti pentingnya melakukan audit digital forensik secara
menyeluruh, terutama terkait dengan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), untuk
mengidentifikasi kelemahan dalam sistem. Dia menanyakan apakah ahli hanya membuat kesimpulan
dari publikasi media dan tuduhan tanpa melakukan audit digital forensik yang lengkap terhadap data
yang relevan.

Saksi 03

Prof. Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M. (Pandangan Filsuf)

Perbedaan paradigma dalam desain konstitusional dan penyelesaian sengketa Pilpres,


menyoroti bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) tidak hanya berfokus pada konstitusi, tetapi
juga pada konstitusionalisme, yaitu nilai-nilai yang mendasari konstitusi. Mereka menentang
penggunaan sistem pembuktian hukum pidana dalam penyelesaian sengketa Pilpres, karena
menurut mereka tidak tepat dalam konteks tersebut. MK tidak beroperasi secara terisolasi
dan harus memperhatikan dinamika global serta perkembangan hukum tata negara di
negara lain MK tidak hanya sebagai Mahkamah Kalkulator akan tetapi pada
perkembangannya mempertimbangkan hal-hal yang sifatnya angka akan tetapi nilai
konstitusi bukan dalam arti tafsir sempit. Mereka menekankan perlunya menghindari
kesalahan dalam penegakan hukum dengan tidak memaksakan sistem pembuktian yang
tidak sesuai dengan konteks sengketa Pilpres. Harapannya agar saksi ahli menghargai
perbedaan pendekatan, nilai, dan paradigma yang mereka lakukan dalam upaya untuk
mencapai keadilan.

Prof. Dr. H. Henry Yosodiningrat, S.H., M.H. (Pandangan Ilmuan)

pertanyaan terkait kejadian yang tidak jelas, seperti siapa yang melakukan input data dan
kapan, serta melalui metode apa. Mereka mempertanyakan apakah audit forensik dapat
membantu mengungkap hal tersebut dan apakah kesalahan yang terjadi lebih disebabkan
oleh kesalahan manusia atau kesalahan teknis. Terakhir, mereka menyoroti keputusan KPU
yang tidak dipublikasikan dan meminta penjelasan mengapa hal tersebut disembunyikan
dari publik.

Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M. (Pandangan Ilmuan)

Mengacu pada Pasal 1 ayat 1 hingga ayat 35 PPMPR tanggal 25 September 2021 terkait
Mahkamah Konstitusi dan membahas syarat pembuktian dalam penyelesaian perselisihan hasil
pemilihan umum. Mereka mempertanyakan apakah pembuktian harus sesuai dengan hukum
pidana atau konstitusi, terutama terkait dengan nepotisme. Mereka menekankan perlunya
memahami asas legalitas dalam hukum administrasi, sambil merujuk pada putusan di negara-
negara lain seperti Kenya, Nigeria, Malawi, dan Austria, yang menunjukkan bagaimana
pembatalan hasil pemilihan umum diputuskan oleh pengadilan. Beliau menyoroti pentingnya
keseimbangan dalam pembuktian dan penerapan prinsip-prinsip hukum yang relevan dengan
konteks administrasi dan konstitusi.

Saksi 01

Dr. H. Refly Harun, S.H., M.H., LL.M (Pandangan Ilmuan)

perbedaan interpretasi antara Undang-Undang Dasar 1945 terkait dengan pemilihan umum dan
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Mereka merujuk pada risalah dan putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) sebagai panduan interpretasi konstitusi. Selanjutnya, orator mengemukakan pertanyaan terkait
dengan penunjukan penjabat oleh Presiden, yang mereka klaim dapat menggunakan kekuasaan
implisit untuk menunjuk siapa pun. Mereka mempertanyakan apakah ada ketentuan yang
membatasi penunjukan tersebut, serta apakah prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, seperti
transparansi dan akuntabilitas, juga harus diterapkan dalam penunjukan pejabat. Orator juga
mengacu pada putusan MK, khususnya putusan nomor 15 PUU 2022 dan 67/2021, yang
menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan demokrasi dalam pembentukan atau
pemilihan pejabat. Mereka menyimpulkan dengan bertanya apakah putusan tersebut harus
diabaikan oleh Presiden dengan alasan memiliki kekuasaan implisit sebagai kepala negara. tentang
kontroversi putusan MK nomor 90 yang dianggapnya sebagai putusan self-executing, namun
menyoroti bahwa ada prosedur yang harus diikuti untuk mendaftar sebagai calon presiden atau
wakil presiden. Dia menunjukkan bahwa ada upaya dari termohon untuk mengubah syarat usia
melalui KPU, tetapi ditolak karena belum berkonsultasi dengan DPR.
Dr. H. Bambang Widjojanto, S.H., M.H.

sistem di web rekap dari mobile apps seharusnya harus diverifikasi terlebih dahulu untuk
menghindari kemungkinan masalah. Selanjutnya, ditunjukkan bahwa terdapat banyak TPS yang
jumlah pemilihnya melebihi batas maksimal DPT, yang menunjukkan kemungkinan adanya
kecurangan. Kemudian, temuan bahwa aplikasi juga bermasalah dengan adanya fitur yang tiba-tiba
berubah tanpa persetujuan. Ada juga permasalahan terkait originalitas dan autentisitas hasil yang
dikirim dari mobile apps ke web rekap, karena metadata tidak ditemukan. Selain itu, disampaikan
pertanyaan terkait pendapat ahli terhadap mobile apps dalam konteks keamanan data, transparansi,
akuntabilitas, dan audit. Hal ini menunjukkan adanya masalah yang perlu diatasi terkait integritas
dan keamanan sistem.

Anda mungkin juga menyukai