Anda di halaman 1dari 4

Intrusi Politik dalam Seleksi Hakim Agung

Oleh Achmad Fauzi


Ketua Pengadilan Agama Penajam
Mahasiswa Program Doktor FIAI UII Yogyakarta
Artikel ini dimuat di Koran Tempo tanggal 8 April 2022

Komisi Yudisial menyeleksi calon-calon hakim agung dan hakim ad hoc tindak
pidana korupsi yang nantinya dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat. Hakim agung
bukanlah jabatan politik yang terikat periodisasi. Tapi residu determinasi kekuasaan
politik dalam pengisian jabatan hakim agung bisa mencemari kemurnian hukum.

Menurut teori hukum murni (pure theory of law) yang dicetuskan Hans Kelsen (1881-
1973), hukum harus berupaya mensterilkan obyek penjelasannya dari hal ihwal yang
tidak bersangkut-paut dengan hukum, termasuk membersihkan hukum dari anasir
politik. Bagaimana sebaiknya perekrutan hakim agung dilakukan?

Kewenangan DPR untuk memberikan persetujuan dalam seleksi calon hakim agung
menunjukkan betapa intrusi kekuasaan politik telah bertransformasi menjadi forum
yang kental akan nuansa politis. Akibatnya, keputusan yang diambil selalu dapat
dibaca sebagai bagian dari aktivitas politik yang menyimpang dan mengabaikan
prinsip-prinsip meritokrasi (Thohari, 2004).
Tidak dapat dimungkiri bahwa DPR merupakan representasi anggota partai politik
yang terfragmentasi ke dalam fraksi-fraksi yang saling berseberangan dalam bingkai
koalisi dan oposisi. Persetujuan yang mereka ambil merupakan jelmaan kristalisasi
dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaing untuk memperjuangkan
kepentingan-kepentingannya, tidak terkecuali untuk mengamankan perkara korupsi
yang hingga kini semakin menggurita dalam lingkup kekuasaan politik.

Akibatnya, calon hakim agung yang memiliki reputasi baik, terampil, mumpuni, dan
berintegritas tinggi kandas karena tidak memiliki kedekatan politik di DPR. Hal itulah
yang menurunkan animo masyarakat untuk menjadi hakim agung. Begitu pula calon
hakim agung yang lulus akan berada di bawah bayang-bayang politik jika
persetujuannya didasari politik transaksional.

Alasan lainnya adalah sebagian anggota DPR tidak berlatar belakang hukum. Tapi,
dalam menjalankan kewenangan, mereka masih melakukan uji publik terhadap
hakim karier yang sudah puluhan tahun malang melintang menangani perkara
ataupun hakim non-karier yang berkecimpung di bidang hukum. Praktik
ketatanegaraan yang demikian menjadi rancu karena segala etape uji kompetensi,
rekam jejak, dan uji kelayakan sudah dilakukan secara komprehensif oleh Komisi
Yudisial, yang notabene merupakan lembaga non-politik yang dibentuk konstitusi
sebagai penunjang kekuasaan kehakiman.

Jika DPR ditahbiskan sebagai manifestasi dari keterwakilan aspirasi politik rakyat,
tentu daulat rakyat mendambakan hakim agung yang disetujui memiliki kompetensi
teknis yudisial yang mumpuni, berintegritas tinggi, dan memiliki wawasan hukum
yang luas. Menjadi sangat sulit bila tolok ukur, tim penguji, dan bobot substansi uji
publik tidak dilakukan oleh tim yang ahli di bidangnya serta independen dari urusan
politik. Intrusi kekuasaan politik dalam jangka panjang berimplikasi hukum pada
supremasi kemerdekaan personal, kemerdekaan substantif, dan kemerdekaan
kolektif kekuasaan kehakiman.

Proses perekrutan dan persetujuan calon hakim agung merupakan hulu dari segala
pembicaraan tentang reformasi kekuasaan kehakiman. Jadi, proses perekrutan dan
persetujuan hakim agung harus dipastikan steril dari berbagai konflik kepentingan
ataupun mekanisme politik yang merongrong kemerdekaan kekuasaan kehakiman.

Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari (2005) memberikan parameter bahwa
merdeka atau tidaknya lembaga kehakiman dapat dilihat dari apakah kekuasaan
kehakiman mempunyai ketergantungan terhadap lembaga lain selain dalam urusan
mengadili perkara yang memang sudah menjadi tugas dan wewenangnya. Di
samping itu, apakah lembaga tersebut mempunyai hubungan hierarkis secara formal
sehingga bisa ikut campur dan mempengaruhi kemerdekaan kekuasaan kehakiman.

Di negara-negara dengan model pemerintahan presidensial dan sistem politik


demokrasi seperti Indonesia, efektivitas pelaksanaan prinsip kemerdekaan
kekuasaan kehakiman cukup problematik ketika relasi tiga cabang kekuasaan
negara—eksekutif, legislatif, dan yudikatif—bertemu dalam satu bejana
ketatanegaraan. Dalam praktik ketatanegaraan modern, hal ini meniscayakan satu
kekuasaan negara tidak bisa terlepas secara mutlak dari kekuasaan lain.

Ketika suatu organ negara memegang kekuasaan secara mutlak tanpa adanya
saling kontrol dan saling mengimbangi, hal itu berpotensi terjadinya penyalahgunaan
kekuasaan. Maka, fungsi checks and balances diberlakukan untuk mewujudkan
pemerintahan yang demokratis berdasarkan hukum. Dalam praktiknya, fungsi itu
menyimpan karakter kekuasaan politik yang lebih hegemonik terhadap kekuasaan
yudikatif. Setidaknya potret trajektori kekuasaan kehakiman pada tiap rezim yang
acap dikooptasi oleh kekuasaan politik menjadi fakta politik yang sulit terbantahkan
bahwa kekuasaan eksekutif dan legislatif sangat berpengaruh terhadap kemurnian
asas kemerdekaan kekuasaan kehakiman.

Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif-tidaknya penegakan hukum


bergantung pada trigatranya: struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum.
Dengan adanya mekanisme politik dalam pelaksanaan kewenangan untuk
menyetujui atau tidak menyetujui calon hakim agung, hal ini berimplikasi hukum
pada kemerdekaan kekuasaan kehakiman sehingga struktur, substansi, dan budaya
hukum tidak dapat ditegakkan secara ideal.

*Penguatan Komisi Yudisial*

Penguatan wewenang Komisi Yudisial sebagai otoritas tunggal dalam menentukan


kelulusan calon hakim agung mutlak dilakukan demi mewujudkan kekuasaan
kehakiman yang merdeka dari semesta pengaruh kekuasaan-kekuasaan lain.
Pertama, Komisi Yudisial berperan memutus mata rantai persoalan teknis
kekuasaan kehakiman yang semula sangat birokratis dan tidak merdeka karena
melibatkan banyak cabang kekuasaan. Kedua, kehadiran Komisi Yudisial dalam
struktur kekuasaan kehakiman menjadi instrumen untuk menjauhkan proses
perekrutan calon hakim agung dari kepentingan-kepentingan politik.

Pembentukan Komisi Yudisial merupakan “jihad konstitusional” yang bertujuan agar


hukum tidak tercemar oleh berbagai anasir di luar hukum. Dengan begitu, hakim
agung, dalam menjalankan wewenangnya nanti, tidak terpengaruh oleh bujuk rayu,
ancaman, dan intervensi dari pihak lain.

Ide ini merupakan bentuk hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) supaya
Mahkamah Agung benar-benar menjadi peradilan yang agung. Tentu dibutuhkan
politik hukum dari kekuasaan politik untuk meninjau ulang pengaturan dalam
pengisian jabatan hakim agung agar lebih berorientasi pada filosofi negara hukum
yang menjamin kemurnian prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka.

Anda mungkin juga menyukai