Intrusi Politik Dalam Seleksi Hakim Agung
Intrusi Politik Dalam Seleksi Hakim Agung
INTRUSI tindak pidana korupsi yang nantinya dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat.
Hakim agung bukanlah jabatan politik yang terikat periodisasi. Tapi residu
POLITIK determinasi kekuasaan politik dalam pengisian jabatan hakim agung bisa
mencemari kemurnian hukum.
DALAM
Menurut teori hukum murni (pure theory of law) yang dicetuskan Hans
SELEKSI Kelsen (1881-1973), hukum harus berupaya mensterilkan obyek
penjelasannya dari hal ihwal yang tidak bersangkut-paut dengan hukum,
HAKIM termasuk membersihkan hukum dari anasir politik. Bagaimana sebaiknya
perekrutan hakim agung dilakukan?
AGUNG
Kewenangan DPR untuk memberikan persetujuan dalam seleksi calon
hakim agung menunjukkan betapa intrusi kekuasaan politik telah
OLEH
bertransformasi menjadi forum yang kental akan nuansa politis.
ACHMAD FAUSI Akibatnya, keputusan yang diambil selalu dapat dibaca sebagai bagian dari
aktivitas politik yang menyimpang dan mengabaikan prinsip-prinsip
KETUA PENGADILAN AGAMA PENAJAM, meritokrasi (Thohari, 2004).
MAHASISWA PROGRAM DOKTOR
Tidak dapat dimungkiri bahwa DPR merupakan representasi anggota
FIAI UII YOGYAKARTA,
partai politik yang terfragmentasi ke dalam fraksi-fraksi yang saling
berseberangan dalam bingkai koalisi dan oposisi. Persetujuan yang mereka
ambil merupakan jelmaan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang
ARTIKEL INI DIMUAT DI
saling bersaing untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingannya,
KORAN TEMPO tidak terkecuali untuk mengamankan perkara korupsi yang hingga kini
semakin menggurita dalam lingkup kekuasaan politik.
TANGGAL 8 APRIL 2022
Akibatnya, calon hakim agung yang memiliki reputasi baik, terampil, mumpuni,
dan berintegritas tinggi kandas karena tidak memiliki kedekatan politik di DPR.
Hal itulah yang menurunkan animo masyarakat untuk menjadi hakim agung.
Begitu pula calon hakim agung yang lulus akan berada di bawah bayang-bayang
politik jika persetujuannya didasari politik transaksional.
Alasan lainnya adalah sebagian anggota DPR tidak berlatar belakang hukum.
Tapi, dalam menjalankan kewenangan, mereka masih melakukan uji publik
terhadap hakim karier yang sudah puluhan tahun malang melintang menangani
perkara ataupun hakim non-karier yang berkecimpung di bidang hukum. Praktik
ketatanegaraan yang demikian menjadi rancu karena segala etape uji
kompetensi, rekam jejak, dan uji kelayakan sudah dilakukan secara
komprehensif oleh Komisi Yudisial, yang notabene merupakan lembaga non-
politik yang dibentuk konstitusi sebagai penunjang kekuasaan kehakiman.
Jika DPR ditahbiskan sebagai manifestasi dari keterwakilan aspirasi politik rakyat,
tentu daulat rakyat mendambakan hakim agung yang disetujui memiliki
kompetensi teknis yudisial yang mumpuni, berintegritas tinggi, dan memiliki
wawasan hukum yang luas. Menjadi sangat sulit bila tolok ukur, tim penguji, dan
bobot substansi uji publik tidak dilakukan oleh tim yang ahli di bidangnya serta
independen dari urusan politik. Intrusi kekuasaan politik dalam jangka panjang
berimplikasi hukum pada supremasi kemerdekaan personal, kemerdekaan
substantif, dan kemerdekaan kolektif kekuasaan kehakiman.
Proses perekrutan dan persetujuan calon hakim agung merupakan hulu dari
segala pembicaraan tentang reformasi kekuasaan kehakiman. Jadi, proses
perekrutan dan persetujuan hakim agung harus dipastikan steril dari berbagai
konflik kepentingan ataupun mekanisme politik yang merongrong kemerdekaan
kekuasaan kehakiman.
Ide ini merupakan bentuk hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) supaya
Mahkamah Agung benar-benar menjadi peradilan yang agung. Tentu dibutuhkan
politik hukum dari kekuasaan politik untuk meninjau ulang pengaturan dalam
pengisian jabatan hakim agung agar lebih berorientasi pada filosofi negara
hukum yang menjamin kemurnian prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka.