Matriks demokrasi adalah alat untuk mengukur kualitas demokrasi yang dikembangkan oleh
Institute of Political Science and Sociology, Universitat Wurzburg, Jerman. Laman democracy matrix
adalah: https://www.democracymatrix.com
Matriks demokrasi menawarkan informasi untuk lebih dari 170 negara dalam periode antara 1900
dan 2021. Untuk dapat menentukan kualitas demokrasi suatu negara, keseluruhan 15 bidang matriks
dipelajari dalam matriks demokrasi.
Di satu sisi, tingkat tiga dimensi kunci demokrasi yang disurvey, yakni (1) kebebasan politik; (2)
kesetaraan politik; dan (3) kontrol politik dan hukum.
Di sisi lain, matriks tersebut menggambarkan fungsi lima institusi, yakni: (1) prosedur pengambilan
keputusan, (2) regulasi ruang publik, (3) komunikasi publik, (4) jaminan atas hak, dan (5) aturan
penyelesaian sengketa dan implementasnya.
Pengukuran yang terpilah dan terdiferensiasi ini memungkinkan untuk mengamati proses
transformasi dan mengidentifikasi kualitas serta profil demokrasi.
Tidak ada konsensus dalam politik, keilmuan dan masyarakat tentang apa arti demokrasi secara rinci.
Di mana demokrasi dimulai dan di mana berakhir? Oleh karena itu, berbagai definisi dan
pemahaman tentang konsep demokrasi dapat ditemukan dalam wacana-wacana yang selama
berabad-abad, dari Aristoteles hingga saat ini, telah membahas masalah tersebut. Ini bisa serupa,
tetapi mereka juga sebagian dapat saling bertentangan.
Dalam teori demokrasi, bagaimanapun, tiga ruang lingkup yang berbeda dalam konsepsi telah
menyatu, yang mengacu pada rentang konseptual yang berbeda (Bühlmann et al. 2012): definisi
minimal, definisi menengah dan definisi maksimal.
Dengan demikian, matriks demokrasi mendefinisikan demokrasi sebagai “suatu bentuk aturan
hukum”, yang memungkinkan penentuan nasib sendiri bagi semua warga negara, dalam arti
kedaulatan rakyat, dengan mengamankan partisipasi signifikan mereka dalam mengisi posisi
pengambilan keputusan politik (dan/atau dalam keputusan itu sendiri) dalam proses yang bebas,
kompetitif dan adil (misalnya pemilihan) dan mengamankan peluang untuk terus mempengaruhi
proses politik, dan dengan, secara umum, menjamin aturan politik tunduk pada pengawasan.
Partisipasi demokrasi dalam pemerintahan politik dengan demikian diekspresikan dalam dimensi
kebebasan politik, kesetaraan politik dan kontrol politik dan hukum (Lauth 2004: 100).
(2) Political Equality as Legal Equality of Treatment and Fair Participation in Political Decisions.
Dimensi kesetaraan dipahami sebagai kesetaraan politik, di mana di satu sisi mencakup
kesetaraan formal yang adil dari perlakuan terhadap warga negara oleh negara (egalitarianisme
hukum) dan di sisi lain, memfasilitasi kesempatan bagi semua warga negara untuk berpartisipasi
dalam lembaga-lembaga demokrasi formal yang relevan secara adil dan efektif (input
egalitarianism). Sedangkan dimensi kebebasan adalah kemungkinan partisipasi bebas dalam
sistem politik secara aktif, dimensi kesetaraan berkaitan dengan akses yang sama terhadap hak-
hak ini. Apakah semua warga negara memiliki akses untuk menggunakan hak-hak politik dan sipil
mereka secara adil dan efektif?
(3) Political and Legal Control as Political and Legal Oversight of the Government.
Jika dimensi kebebasan memberikan ekspresi pada preferensi individu warga negara dan
kepentingan terorganisir dalam dimensi kontrol politik dan hukum, tindakan agen ini sekarang
diarahkan pada pemantauan aktivitas pemerintah. Pengawasan tersebut berlaku untuk
pemerintah dan pejabat terpilih. Akuntabilitas vertikal dan horizontal harus dimasukkan dalam
dimensi control ini. Kontrol dilakukan melalui partisipasi politik warga negara atau organisasi
perantara di lingkungan politik atau masyarakat sipil (LSM) atau melalui media, yang
mengungkap pelanggaran aturan hukum di ruang publik dan, jika perlu, melakukan tindakan
hukum. Ini terjadi, terutama, melalui instansi pengawasan resmi dalam jaringan lembaga
pemerintah dan non-pemerintah. Sedangkan standar kontrol hukum adalah bahwa tindakan
pemerintah harus menghormati aturan hukum yang berlaku.
(2) Regulasi organisasi perantara: Kualitas Partai, Kelompok Kepentingan, dan Masyarakat Sipil
Organisasi perantara seperti partai politik, asosiasi dan masyarakat sipil harus terstruktur
sedemikian rupa sehingga mereka mampu mengartikulasikan, memilih dan menggabungkan
kepentingan sosial, untuk mengkomunikasikannya kepada lembaga pemerintah dan, pada saat
yang sama, untuk memungkinkan berlangsungnya efek umpan balik. Yang dipertaruhkan adalah
representasi preferensi warga yang paling inklusif. Pengikatan tunggal pembentukan kebijakan
dengan tindakan pemungutan suara tidak cukup untuk proses demokrasi. Sebab, di samping itu,
melalui pengaruh kepentingan-kepentingan yang terorganisir, harus ada perdebatan terus-
menerus tentang keputusan-keputusan politik selama periode legislatif. Sistem mediasi yang
demokratis harus memiliki keterbukaan yang memadai, sehingga kepentingan-kepentingan
tertentu tidak tersaring secara sistematis, melainkan memiliki kesempatan untuk diperlihatkan.
(5) Penyelesaian sengketa dan implementasinya: Kualitas Kekuasaan Efektif Pemerintah dan
Akuntabilitas Horisontal
Kita perlu memasukkan juga lembaga-lembaga pemerintah yang diberi kekuasaan untuk
menjalankan pemerintahan yang demokratis. Dua fungsi sangat penting di sini. Pertama, dalam
kerangka kekuasaan pemerintahan yang efektif, lembaga negara harus mampu mengambil
keputusan dan melaksanakan keputusan yang diambil secara demokratis. Ini menyiratkan
perlunya pemerintahan bebas yang efektif, yang dapat beroperasi secara independen dari para
pemain veto potensial (misalnya militer) yang tidak dibenarkan dalam demokrasi. Untuk
demokrasi bisa berfungsi aturan politik yang efektif harus ada. Dalam arti yang lebih luas, ini juga
menyangkut pemeliharaan monopoli negara atas penggunaan kekuatan (force), serta
kemampuan administrasi untuk bekerja secara efektif.
Kedua, semua aspek pengawasan yang terletak dalam sistem politik (misalnya parlemen,
ombudsman, pengadilan, auditor) harus dipertimbangkan dalam arti akuntabilitas horizontal.
Untuk berfungsinya demokrasi, sangat penting apakah lembaga-lembaga negara ini juga
memiliki kompetensi yang mereka butuhkan dan apakah mereka menggunakan kompetensi ini
dalam kerangka hukum yang disediakan dan tidak menyalahgunakannya.