Anda di halaman 1dari 6

Mahkamah Konstitusi Kuda Tunggang Politik?

Oleh : James Faot*

02 Juni 2023

Pengantar

Beberapa hari ini, ramai diperbincangkan di berbagai platfrom daring bahwa Mahkamah Konstitusi (MK)
akan meloloskan sistem Pemilu menjadi sistem proporsional tertutup. Rumor ini tidak hanya
kontroversial karena telah dinilai sebagai “preseden buruk” yang dapat dikategorikan sebagai
pembocoran rahasia negara, sebagaimana penilaian Menkopolhukam Mahfud MD yang juga pernah
menjabat sebagai Ketua MK Periode 2008-2013, tetapi juga telah dikaitkan dengan MK yang mungkin
sedang bermain politik atau rentan terhadap pengaruh kepentingan politik, sebagaimana penilaian Feri
Amsari, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas.

Tetapi, yang tidak kalah penting adalah rumor itu menjadi kontroversial karena telah ditarik lebih jauh
untuk menemukan kaitan kepentingan, untuk apa dan siapa legitimasi sistim pemilu tertutup dibuat?
Jika, rumor itu benar.

Isi dan Sumber Rumor

Mengenal latar belakang pembawa berita, mungkin dapat membantu penerima cukup yakin terhadap isi
pesan yang dia terima. Rumor ini telah muncul bukan dari mulut politisi busuk atau birokrat korup,
melainkan seorang yang telah mengumpulkan keberanian untuk menghadapi konsekuensi hukum yang
serius, walaupun ia mengklaim sumber informasinya kredibel. Penekanan ini penting sebagai pembeda
terhadap ‘solidaritas saling melindungi kejahatan elit’ yang sangat subur dalam kultur politik dan
birokrasi di Indonesia. Memeriksa latar belakang dan tindak-tanduk pembawa berita, memberikan kita,
setidaknya, sedikit kepercayaan.

Kabar kontroversial ini telah muncul pertama kali langsung dari mulut Deny Indrayana. Seorang Wakil
Menteri Hukum dan HAM, periode 2004-2014, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ia juga
pernah menjabat sebagai Sektretaris Satgas Mafia Hukum (2009-2011), dan Staf Khusus Presiden bidang
Hukum, HAM dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (2008-2011).

Jauh sebelum terjun ke dalam birokrasi pemerintahan, Ia adalah seorang aktifis kritis yang fokus pada
isu pemberantasan korupsi. Merupakan seorang konsultan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan
salah satu pendiri Indonesian Court Monitoring (ICM). Sebuah lembaga yang lahir karena keprihatinan
atas praktek mafia peradilan (judicial corruption).

Ia juga merupakan seorang profesor di Universitas Gadjah Mada dan aktif serta ikut mendirikan Pusat
Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum di kampus tersebut. Pukat telah cukup berperan sebagai
wadah yang menyuarakan semangat anti korupsi, terutama di era pemerintahan Presiden Joko Widodo
(Jokowi).

Sama sekali tidak ingin membabi-buta membenarkan berita yang disampaikan Deny Indrayana. Latar
belakang di atas, mungkin tidak cukup menjamin kebenaran. Sebab, banyak orang di negeri ini dengan
deretan latar belakang prestisius, terbukti juga secara moral dan hukum adalah penjahat.

1
Mungkin saja, terselip kepentingan lain, seperti penilaian beberapa media massa yang mengaitkan
pernyataannya dengan upaya menjegal langkah Anies Baswedan sebagai calon Presiden atau sebagai
karena Ia seorang loyalis Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tetapi, nampak jaun lebih objektif untuk
menilai motif pernyataannya sebagai bentuk keprihatinan terhadap kondisi politik tanah air yang
dikerumuni mafia hukum dan peradilan, korupsi dan yang terpenting adalah ancaman kembali
dihidupkannya otoritarianisme di era reformasi. Ia, semata-mata melakukan apa yang disebutnya di
tempat lain, sebagai bagian dari sistim kontrol publik. Setidaknya, apabila meletakkan Deny Indrayana
dan MK di atas timbangan kepercayaan publik, nampaknya, sisi timbangan akan berpihak pada pakar
hukum tata negara itu.

Apa yang dikatakan Deny Indrayana? Pernyataan yang disampaikannya melalui akun Instagram
pribadinya @dennyindryana99, pada Minggu, 28 Mei 2023 kemarin dan telah dinilai kontroversial itu,
dapat ringkasan pentingnya, begini: “Pagi ini saya mendapatkan informasi penting. MK akan
memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, kembali memilih tanda gambar
partai saja.” Di tempat lain, ketika menjelaskan kembali pernyataannya itu, Ia menegaskan penilaiannya
tentang sistem proporsional tertutup yang ia kaitkan dengan otoritarianisme Orde Baru. Baginya, hal itu
persoalan serius, karena dua hal. Pertama, sistim pemilu bukan wilayah kewenangan MK, melainkan
Presiden, DPR dan DPD. Sebagai open legal policy, sebaiknya penentuan sistem pemilu diserahkan pada
pembuat undang-undang, yakni Presiden dan DPR. Kedua, mengingat proses pemilu legislatif sedang
berjalan, maka putusan MK di tengah jalan itu, akan mengganggu proses pemilu legislatif atau
diistilahkan oleh yang lain sebagai ‘chaos’ politik.

Dari mana sumber informasi ini? Dijelaskan lebih jauh berdasarkan informasi yang diperolehnya itu,
menyebutkan bahwa putusan MK itu telah didukung enam hakim MK, dengan tiga hakim berbeda
pendapat atau dissenting opinion. Namun, Ia tidak menyebutkan Siapa sumbernya? Tetapi, Ia menjamin
bahwa sumbernya memiliki kredibilitas. Dan sayangnya, itu bukan Hakim Konstitusi.

Manuver Partai Politik untuk Sistim Pemilu Tertutup

Pada 3 Februari 2023, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), melalui Sekretaris Jenderalnya,
Hasto Kristiyanto, telah membuat pernyataan resmi bahwa mereka menghendaki agar pemilu legislatif
dilaksanakan dengan sistim proporsional tertutup. Dalam pandangan mereka, sistem pemilu
proporsional terbuka berpotensi melanggengkan politik anggaran. Maksudnya adalah anggota-anggota
legislatif memainkan politik anggaran untuk mendukung kepentingan elektoral mereka. Dengan alasan
itu, PDIP bersikukuh mendorong untuk diberlakukannya sistem proporsional tertutup dalam pemilu
legislatif 2024. Dan, dalam sekejap, pernyataan tersebut telah mengudang reaksi yang sebaliknya dari
mayoritas partai di DRP.

Sebelumnya, telah muncul pandangan bahwa wacana sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024,
bermula dari pengajuan gugatan uji materi UU Pemilu ke MK dan telah terregistrasi di MK dengan
nomor perkara 114/PUU-XX/2022. Satu dari enam pemohon, Demas Brian Wicaksono (pemohon I)
merupakan kader PDIP. Pokok gugatan itu terkait Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 yang
mengatur tentang pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan
dengan sistem proporsional terbuka.

Sejak didaftar, MK telah menggelar sidang dengan agenda mendengarkan keterangan DPR, Presiden,
dan pihak terkait KPU, pada 26 Januari 2023. Dalam kesempatan itu, DPR telah memberikan penilaian
mereka bahwa penerapan sistem proporsional tertutup, justru dapat merusak internal partai politik itu

2
sendiri. Sebaliknya, tidak benar, jika dalil pemohon menyatakan bahwa sistim proporsional terbuka telah
menjadi sebab terdistorsinya peran partai politik.

Namun, dalam sidang tersebut PDIP menyatakan sikap yang berbeda dari delapan perwakilan fraksi
partai lainnya. Mereka meminta majelis hakim MK untuk mengabulkan upaya uji materil UU Pemilu yang
pada intinya adalah menggugat sistem proporsional terbuka. Menggunakan Pasal 22E ayat 3 UUD 1945,
PDIP membangun dalil untuk mendukung sistim proporsional tertutup. Mereka menilai karena partai
politik yang diberikan kewenangan menentukan calon legislatif, maka sudah seharusnya partailah yang
menentukan siapa yang harus dipilih menjadi calon anggota DPR dan DPRD sebelum dipilih oleh rakyat.
Demikian pula, mereka menekankan pentingnya sistim proporsional tertutup untuk membangun
demokrasi yang substansial termasuk di dalamnya seperti proses kederisasi yang genuine untuk
menghasilkan pemimpin politik. Tugas partai yang terakhir di sebut ini, mungkin harus dikaitkan
keberhasilan mereka menciptakan pemimpin-pemimpin politik seperti Puan Maharani, Gibran Rakabumi
Raka dan Bobby Nasution. Pembaca tentu setuju bahwa mereka telah melalui suatu proses kaderisasi
partai yang genuine tadi, bukan karena elektabilitas, apalagi nepotisme. Atau, mungkin mereka
menginginkan sistem proporsional tertutup agar kekuasaan pimpinan dan pemilik partai menjadi sangat
dominan, sehingga anggota DPR harus terus bertanya dan meminta izin sebelum suatu hal mereka
bicarakan, sebagaimana disaksikan jelas dari pengakuan kader PDIP dan anggota DPR RI, Bambang Pacul.

Tetapi, semua dalil di atas sangat normatif. Sebagian partai politik di Indonesia dapat berbicara
demikian, jika mereka menyimpan kepentingan tertentu. Kepentingan dalam wacana sistim
proporsional tertutup, tidak dapat ditemukan di panggung depan politik. Sebaliknya, ia harus dicari di
belakang panggung. Seperti kata Deny Indrayana sendiri, pada kesempatan yang lain setelah
pernyataannya yang dipandang kontroversial itu. Menurutnya, karena pola kekuasaan saat ini
ditentukan oleh festivalisasi dan sensasionalisasi, maka tidak ada substansi yakni intelektualisasi di
depan panggung festival politik. Walaupun, di belakang panggung pun hanya akan ditemukan substansi
berupa intrik-intrik politik.

Jika kita masih mengingat manuver-manuver politik–setidaknya sejak setahun belakangan–yang terkait
dengan pemilu, wacana sistim proporsional tertutup berjalan beriringan dengan wacana penundaan
pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden Jokowi selama tiga periode, termasuk perpanjangan
masa jabatan anggota legislatif. Selain PDIP, terdapat juga empat partai koalisi pemerintah yakni Partai
Amanat Nasional (PAN), Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Solidaritas Indonesia
(PSI). Partai-partai ini tampil sebagai pembela wacana-wacana tadi dengan beragam rasionalisasi.
Misalnya, karena situasi pandemi Covid-19, fluktuasi kondisi ekonomi nasional dan efisiensi anggaran
negara yang dikaitkan dengan membengkaknya biaya pemilu 2024.

Dengan demikian, tidak lagi memadai untuk meletakkan pernyataan Deny Indrayana, hanya dalam
batasan kritik terhadap MK dan sistim proporsional tertutup dalam pemilu. Rangkaian-rangkain ini
mejelaskan grand design politik yang kompleks dan mengarah pada upaya pelanggenggan kekuasaan.
Beberapa tahun terakhir, penilaian-penilaian kritikus politik dan ekonomi serta mayoritas publik yang
bersikap kritis telah menemukan fokus serangan pada kekuasaan rezim Jokowi, yang sangat mungkin
kuat dikendalikan oleh oligarki bisnis dan politik. Dalam analisisnya, Deny Indrayana, menilai bahwa
kekuatan oligarki inilah yang berada dibelakang langkah-langkah politik Presiden Jokowi. Kekuatan-
kekuatan bisnis modal besar, seperti dalam proyek Ibu Kota Negara (IKN) melihat keberlanjutan
pemerintahan yang sejalan dengan strategi bisnis mereka yang perlu dipertahankan.

Walaupun demikian, terdapat juga kritik yang memberikan fokus pada Jokowi sebagai aktor utama dari
grand design politik nasional. Termasuk di sini adalah agenda melindungi diri setelah tidak lagi berkuasa.

3
Beberapa manuver yang telah dibuat dan berhasil misalnya, mempersiapkan keluarganya duduk dalam
kekuasaan politik seperti pada kasus Gibran Rakabumi Raka dan Bobby Nasution dan upaya menendang
Puan Maharani dari atas panggung pencalonan presiden dalam pemilu yang akan datang dan
menempatkan Ganjar Pranowo, yang sering di juluki “The Next Jokowi”.

Serta sederet manuver lain yang diungkapkan Deny Indrayana dalam podcast di Refly Harun Channel itu,
seperti kasus pembegalan partai politik, termasuk partai Demokrat yang melibatkan Moeldoko dan
sebelumnya dalam tulisannya terkait keterlibatan aktif Presiden Jokowi yang ikut ‘cawe-cawe’ adalah
salah satu ancaman nyata bagi demokrasi, yang disebutnya sebagai “9 Strategi dan 10 Sempurna”.
Baginya, target utama Jokowi ialah sedapat mungkin hanya ada dua pasangan colon presiden pada
2024. Di mana, keduanya merupakan ‘all president’s men’. Oleh karena itu, calon yang diidentifikasi
berseberangan dengan kepentingan Jokowi, harus dieliminasi sejak awal.

Namun dalam pemaparan 10 strategi itu, telah melibatkan upaya yang lebih luas dengan cakupan
wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Pertama, menjadikan pandemi
sebagai salah satu pintu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Kedua, muncul
ide mengubah konstitusi guna memungkinkan lebih dari dua periode berkuasa. Ketiga, menggunakan
KPK dalam rangka merangkul kawan dan memukul lawan. Keempat, memanfaatkan kasus hukum
sebagai nilai tawar politik. Kelima, pimpinan parpol yang tidak sejalan diintervensi. Ini dikaitkan dengan
pembegalan partai Demokrat dan Anies Baswedan. Keenam, mempersiapkan komposisi hakim MK
sebagai antisipasi dan memenangkan sengketa. Ketujuh, tidak cukup hanya mendukung Ganjar
Pranowo, mendukung pula Prabowo Subianto. Kedelapan, mempersiapkan opsi membuat Anies
tersangka dalam kasus Formula E. Kesembilan, membegal Partai Demokrat melalui Moeldoko, yang
adalah seorang Kepala Staf Kepresidenan (KSP). Jokowi dinilai dengan sengaja membiarkan ambisi
Moeldoko merampas Partai Demokrat. Ia menilai, sebagai Presiden, Jokowi dengan sangat mudah
menghentikan langkah kudeta itu. Dan kesepuluh, yang dipandangnya seagai langkah menyempurnakan
yaitu Jokowi dinilai berbohong kepada publik. Ia menjelaskan bahwa Presiden Jokowi yang berulang kali
menyatakan kalau capres urusan ketum, bukan urusannya, malah menginisiasi koalisi besar dan
dikemudian hari menegaskan tidak akan bersikap netral dalam pemilihan presiden 2024. Jokowi mau
“cawe-cawe”.

Meragukan Kredibilitas MK

Walaupun demikian, dalam beberapa tahun terakhir MK telah menjadi institusi yang menarik banyak
perhatian publik. Ini bukan karena prestasinya dalam menegakkan konstitusi. Sebaliknya, perhatian
publik yang besar itu, justru diberikan karena banyaknya kontroversi dan telah mengakumulasi
pembentukan preseden buruk terhadapnya.

Ambil beberapa kasus untuk meletakkan MK di atas timbangan kepercayaan publik, agar diperoleh dasar
untuk meragukan kredibilitas MK yang dikaitkan dengan rumor telah diputuskannya sistim proporsional
tertutup pemilu 2024.

Pertama, meragukan komitmen MK terhadap pemberantasan korupsi. Tidak hanya terkait dengan
judisial review Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) mengenai Tes Wawasan
Kebangsaan (TWK). Tes ini telah dinilai inkonstitusional karena telah digunakan oleh kekuasaan sebagai
instrumen mengeliminasi pegawai KPK yang tidak sejalan bahkan mungkin akan mengancam kekuasaan.
Dalam upaya uji materi, MK justru memenangkan kubu kekuasaan yang disimbolkan oleh ketua KPK Firli
Bahuri.

4
Baru-baru ini, kita juga telah menyaksikan bahwa MK telah memutuskan untuk memperpanjang masa
jabatan pimpinan KPK Firli Bahuri dan kawan-kawannya. Dari masa jabatan empat tahun menjadi lima
tahun. Padahal, bukan rahasia bahwa KPK dikuasai oleh pimpinan yang cenderung bermasalah dalam
komitmen mereka terhadap pemberantasan korupsi dan objektifitas penanganan kasus. Keputusan MK
ini, dalam konteks kolusi kekuasaan di era Jokowi, telah dinilai publik sebagai langkah gratifikasi yang
bertentangan dengan moral dan hukum. Apakah gratifikasi ini berhubungan dengan upaya menjinakkan
KPK yang telah menjerat para hakim seperti yang terjadi beberapa waktu sebelumnya? Nampaknya, hal
itu masih merupakan misteri.

Kedua, meragukan independensi MK. Tahun lalu, Presiden dan DPR telah menghadiahi para hakim
konstitusi perpanjangan masa jabatan menjadi 15 tahun. Padahal, telah ada upaya publik untuk menagih
ketegasan dan komitmen hakim incumbent agar tidak dijebak dalam conflict of interest. Misalnya,
Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi mengajukan uji materi terhadap Revisi Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi (revisi UU MK). Namun upaya mereka tidak dikabulkan.

Membaca tujuan besar di balik UU tersebut, pakar Hukum Tata Negara, Zainal Arifin Mochtar, menilai
bahwa produk itu pastinya tidak untuk kepentingan MK secara institusi, melainkan hanya untuk
‘menyenangkan’ individu hakim. Publik sangat memahami makna kata ‘menyenangkan’ itu.

Keraguan terhadap independensi MK juga dapat dilihat dalam kasus kemenangan Hakim Konstitusi
Anwar Usaman sebagai Ketua MK. Dengan posisi 5 banding 4, dalam penilaian Deny Indrayana, itu telah
menunjukkan dukungan ke arah strategi Presiden Jokowi, yang tidak lain adalah Kakak Ipar dari Ketua
MK sendiri. Demikian pula, ketidakindependennya KM juga terlihat jelas dalam kasus pemberhentian
hakim Aswanto, karena menolak atau memutuskan konstitusional bersyaratnya UU Ciptaker. UU ini
adalah salah satu UU utama dari Presiden Jokowi.

Contoh-contoh kasus di atas, cukup untuk memberikan gambar tentang saling kait-mengaitnya
kepentingan kekuasaan politik dan kekuasaan peradilan. Dalam kondisi ini, sangat sulit untuk dihindari
kecurigaan publik terhadap hal-hal yang nampak janggal dalam interaksi kekuasaan dan MK. Seperti
dalam kasus perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK, menurut pakar hukum Veri Amsari bahwa dalam
putusan MK mengenai masa jabatan pimpinan KPK terkesan politis. Dan, itulah yang mendorong
kecurigaan terhadap putusan MK, jangan-jangan memang terkait dengan berbagai peristiwa politik
menuju pemilu 2024.

MK Kuda Tunggang Politik?

Mungkin, penilaian Rocky Gerung hanyalah spekulasi liar. Tetapi, kepingan-kepingan peristiwa di tahun-
tahun politik ini, memberikan gambaran yang cukup jelas bahwa pengaruh politik menekan institusi
seperti MK dan menggoda para “Wakil Tuhan di Dunia” itu untuk menyimpangkan komitmen mereka
terhadap tegaknya konstitusi.

Dalam sebuah kesempatan podcast di Refly Harus Channel, Deny Indrayana mengelaborasi
pernyataannya itu, di mana Ia memaparkan bahwa sistim proporsional tertutup yang akan diputuskan
oleh MK itu, akan menjadi ‘pintu masuk’ menunda pemilu. Sebab, dengan diubahnya sistim pemilu
menjadi proporsional tertutup, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan memerlukan waktu untuk
menyiapkan teknisnya. Dan karena, kebutuhan persiapan teknis tersebut, maka pemilu akan ditunda
sampai dua hingga tiga tahun ke depan.

Menyikapi pernyataan Deny Indrayana, sebaiknya itu dilihat sebagai upaya kontrol publik terhadap
kekuasaan. Bukan, menyikapinya secara reaktif dengan memolisikannya karena berbeda dan bersikap

5
kritis terhadap kekuasaan. Tetapi faktanya, pada 29 Mei 2023, Deny Indrayana telah dilaporkan ke Polda
Metro Jaya oleh Koordinator Paguyuban BCAD, Musa Emyus, pada 29 Mei 2023, dengan tuduhan
membocorkan rahasia negara berupa putusan MK dalam uji materi sistem pemilu.

Juga, pernyataan Deny Indrayana terkait MK yang telah memutuskan sistim proporsional tertutup untuk
pemilu legislatif di 2024, harus dimaknai sebagai tantangan terhadap MK, bahwa pernyataan itu sama
sekali keliru. Hal ini, tidak saja akan menghentikan polemik yang telah berkembang dalam diskursus
publik, tetapi juga merupakan pembuktian kredibilitas MK. Sebab, mereka masih tetap independen dan
konsisten berdiri menjaga tegaknya kontitusi. Bukan sebagai kuda tunggang politik.

*Penulis adalah Ketua Koperasi Media Rakat Flobamorata

Anda mungkin juga menyukai