Anda di halaman 1dari 17

Public Choice Theory dan Aplikasinya dalam Sistem Legislasi Indonesia

Pramudya A. Oktavinanda1

Abstrak
Makalah ini memperkenalkan konsep-konsep dasar Public Choice Theory dan berbagai
aplikasinya dalam konteks hukum Indonesia. Public Choice Theory adalah suatu teori hukum
yang menggabungkan pendekatan ilmu politik dan ekonomi dalam menganalisis perilaku
legislator, hakim dan pemerintah dalam suatu sistem hukum dan politik. Dalam Public Choice
Theory, para legislator/pelaku politik diasumsikan sebagai makhluk rasional yang berpotensi
untuk senantiasa mengutamakan kepentingannya sendiri (self interested) dengan jalan
memaksimalkan manfaat atau utilitas yang dapat ia terima sesuai dengan kondisi sumber daya
yang tersedia. Melalui asumsi dasar tersebut, Public Choice Theory kemudian menyusun
berbagai model yang dapat digunakan untuk memperkirakan pilihan-pilihan yang akan diambil
oleh legislator sesuai dengan institusi politik dimana mereka berada. Penulis berpendapat
bahwa penggunaan Public Choice Theory akan sangat membantu dalam mengembangkan
institusi politik (dalam hal ini DPR dan proses legislasi) di Indonesia. Alih-alih bertumpu pada
pendekatan normatif yang menafikan sifat dan perilaku dasar manusia, Public Choice
Theory ingin menunjukkan bahwa penyusunan suatu sistem legislasi yang rasional dan
bermanfaat bagi masyarakat dapat saja dilakukan sepanjang memperhitungkan dengan seksama
bagaimana legislator akan bertindak dan mengambil keputusan, hal mana dapat dilakukan
misalnya melalui penyusunan mekanisme check and balance yang tepat antara berbagai
lembaga negara serta mekanisme pengambilan keputusan antar fraksi dalam penyusunan
peraturan perundang-undangan.
Kata Kunci: Public Choice Theory, Law and Economics, Legislasi, Hubungan Antar Lembaga
Negara, Penyusunan Undang-Undang
A.

Pendahuluan

Kita sering mendengar berita mengenai partai politik yang mengalihkan dukungannya secara
tiba-tiba dari satu kandidat ke kandidat yang lain dalam proses pemilihan pemimpin politik,
termasuk pemilihan kepala daerah. Salah satu contoh terbaru adalah ketika Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) yang pada awalnya sempat menunjukkan dukungan kepada pasangan Jokowi1

Advokat dan kandidat PhD di University of Chicago Law School. Untuk pertanyaan dan komentar lebih lanjut,
penulis dapat dihubungi melalui email di pramoctavy@uchicago.edu

Electronic copy available at: http://ssrn.com/abstract=2158542

Ahok (setelah mengalami kekalahan di putaran pertama), tiba-tiba berbalik arah mendukung
pasangan Foke-Nara pada Pilkada DKI Jakarta 2012.2
Lebih menarik lagi, mengapa PKS mengambil keputusan tersebut walaupun beberapa konstituen
PKS sendiri mengatakan bahwa kemungkinan pasangan Jokowi-Ahok memenangkan Pilkada
DKI lebih besar ketimbang Foke-Nara?3 Belum lagi fakta bahwa di putaran pertama, PKS juga
cukup gencar menyerang kebijakan-kebijakan Foke sebagai petahana.4
Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan, bagaimana sebuah partai politik besar dan dipenuhi
dengan kader-kader terdidik, membuat keputusan di mana calon yang mereka dukung adalah
mantan lawan mereka dan kemungkinan kalahnya cukup tinggi? Kita dapat memperkirakan
bahwa tidak mungkin suatu partai membuat keputusan politik secara sembarangan tanpa
mempertimbangkan berbagai aspek. Jikalau partai politik tersebut membuat aksi politik tanpa
membuat pertimbangan yang matang, sudah dipastikan bahwa karir politik partai tersebut sudah
lama berakhir dikarenakan mismanajemen.
Dengan demikian, walau terlihat seperti sikap yang tidak konsisten, pilihan PKS seharusnya
bukanlah tanpa perhitungan. Bagi PKS, nampaknya mendukung pasangan Foke-Nara masih tetap
lebih bermanfaat bagi PKS dibandingkan harus mendukung pasangan Jokowi-Ahok.
Sebagaimana dikatakan Anis Matta, pilihan tersebut diambil karena basis massa terbesar PKS
mendukung Foke dan karena ada kontrak politik tertentu dengan Foke yang pada prinsipnya
menguntungkan PKS.5

Terdiri dari rangkaian artikel dari berbagai media sebagai berikut: Bisnis Indonesia: Jokowi Temui Hidayat,
Pertanda Pilkada Putaran Kedua, 11 Juli 2012 (http://www.bisnis.com/articles/pilkada-dki-jokowi-temui-hidayatpertanda-pilkada-dua-putaran), Tempo: PKS Mendukung Foke, Apa Kata Hidayat Soal Jokowi?, 11 Agustus 2012
(http://www.tempo.co/read/news/2012/08/11/228422860/PKS-Dukung-Foke-Apa-Kata-Hidayat-Soal-Jokowi), dan
Viva
News:
"Konstituten
Menengah
Atas
PKS
Dukung
Jokowi",
13
Agustus
2012
(http://fokus.news.viva.co.id/news/read/343843--kekalahan-di-pilkada-dki-tak-pengaruhi-2014).
3

Disarikan dari artikel Tribun News: Pendiri PKS Prediksi Jokowi-Basuki Menang Pertarungan, 17
September 2012 (http://m.tribunnews.com/2012/09/17/pendiri-pks-prediksi-jokowi-basuki-menang-pertarungan).
4

Berita lengkapnya dapat dilihat dalam Merdeka.com: "Dulu Sering Gempur Foke, Kini Hidayat Berbalik", 11
AgustusAgustus 2012 (http://www.merdeka.com/jakarta/dulu-sering-gempur-foke-kini-hidayat-berbalik.html).
5

Lebih lengkapnya dapat dilihat dalam Viva News: "Konstituten Menengah Atas PKS Dukung Jokowi", 13
Agustus 2012 (http://fokus.news.viva.co.id/news/read/343843--kekalahan-di-pilkada-dki-tak-pengaruhi-2014).

Electronic copy available at: http://ssrn.com/abstract=2158542

Dari gambaran singkat di atas, terlihat bahwa pertimbangan untung rugi memiliki peranan yang
sangat besar bagi suatu partai politik dalam membuat keputusan dibandingkan dengan
mengusung nilai-nilai normatif tertentu. Pertanyaan utamanya, mengapa demikian dan apakah
hal tersebut wajar?
B.

Public Choice Theory

Pertimbangan untung rugi oleh para pelaku politik sesungguhnya merupakan hal yang wajar dan
sesuai dengan asumsi dasar dari Public Choice Theory sebagaimana akan dibahas di bawah ini.
Public Choice Theory secara sederhana bisa diartikan sebagai disiplin ilmu yang menganalisis
ilmu politik dengan kerangka berpikir ilmu ekonomi untuk kemudian diaplikasikan ke dalam
ilmu hukum (Stearns dan Zywicki, 2009: 1). Public Choice Theory dapat dikatakan sebagai
perkembangan lebih lanjut dari aliran Hukum & Ekonomi (Law & Economics), yang
memanfaatkan analisis ekonomi dalam menjawab tiga pertanyaan besar mengenai: (i) definisi
hukum; (ii) asal-muasal hukum dan cara hukum memperoleh keberlakuannya; dan (iii) kriteria
hukum yang baik (Mercuro dan Medema, 2006: 5).
Apabila Law & Economics menggunakan pendekatan ekonomi secara langsung dalam
menganalisis berbagai doktrin hukum, Public Choice Theory menerapkan pendekatan ekonomi
ke dalam institusi politik yang relevan sebelum kemudian digunakan untuk menganalisis doktrin
hukum (Stearns dan Zywicki, 2009: 2)
Asumsi ekonomi dasar yang digunakan dalam Public Choice Theory juga sama dengan Law &
Economics, yaitu bahwa setiap manusia, termasuk agen politik, bersifat rasional, dalam artian
setiap individu akan bertindak untuk memaksimalkan manfaat/utilitas pribadi dengan
meminimalisir biaya yang dikeluarkan (Stearns dan Zywicki, 2009: 5, dan Posner, 2011: 3 ).
Dengan kata lain, setiap manusia akan memperhitungkan untung rugi dari tindakannya.
Perhitungan untung rugi tersebut itu tidak selalu berarti setiap manusia secara sadar melakukan
perhitungan yang rumit dan mendalam untuk setiap tindakannya, melainkan dapat pula
diperhitungkan dalam bawah sadarnya (Becker, 1990: 7). Selain itu, tidak pula berarti setiap

manusia diharuskan memiliki informasi yang lengkap sebelum mengambil keputusan (Posner,
2011,. 4).
Untuk mencegah salah paham, penggunaan ilmu ekonomi yang dimaksud dalam makalah ini
tidak melulu berhubungan dengan uang, melainkan ekonomi dalam pengertian umum, yaitu
mengenai alokasi sumber daya yang terbatas secara efisien (Becker, 2008: 1).
Asumsi dasar mengenai rasionalitas ini merupakan dasar kerangka berpikir yang perlu dipahami
secara benar untuk memahami Public Choice Theory. Dengan menggunakan asumsi dasar
tersebut, kita dapat melihat kasus PKS di atas sebagai suatu gambaran umum bahwa para agen
politik terus berusaha untuk memaksimalkan manfaat (yang bisa berupa tambahan suara ketika
pemilu, keuntungan pribadi) dengan meminimalisir biaya yang dikeluarkan (bisa berupa reputasi,
ataupun biaya dalam arti umum).
C.

Sistem Politik dan Ilmu Ekonomi

Dengan menggunakan prinsip rasionalitas di atas, kita memahami bahwa setiap agen politik
ingin memaksimalkan manfaat yang ia terima. Salah satunya bisa berupa dalam bentuk
memperoleh kekuasaan politik yang sebesar-besarnya (Tullock dan Buchanan, 2004: 22). Untuk
itu, tentunya dibutuhkan suatu "mata uang", voting atau hak suara.
Dalam suatu sistem demokrasi, voting adalah mata uang yang sangat berharga bagi para agen
politik. Untuk bisa masuk dalam lembaga legislatif, dibutuhkan hak suara dari masyarakat
umum. Dalam lembaga legislatif pun hak suara menjadi penentu apakah suatu undang-undang
atau kebijakan akan berlaku secara sah dan mengikat masyarakat.
Tetapi proses pengambilan suara tidak lah semudah itu. Para agen politik harus bersaing keras
untuk memperoleh suara terbanyak di masyarakat dan menghadapi permasalahan yang lebih
rumit lagi ketika mencoba mengambil keputusan secara kolektif.
Bayangkan sebuah skenario fiktif dari pemilihan ketua RT 07 yang terdiri dari 3 calon yaitu
Amin, Bahri, dan Chairul. Pemilihan ketua RT ini ternyata hanya dihadiri oleh 3 orang warga

yaitu, Daud, Effendi, dan Fakhri. Ketika hendak memilih, masing-masing warga memiliki
gambaran tentang calon yang dipilih dan membuat rangking dari masing-masing kandidat.
Daud memilih Amin sebagai pilihan pertamanya, lalu Bahri sebagai pilihan kedua, dan Chairul
sebagai pilihan terakhir.
Effendi memiliki pemikiran lain, bagi Effendi, Bahri adalah calon ketua RT ideal, kemudian
diikuti oleh Chairul dan Amin sebagai pilihan terakhir.
Sedangkan Fakhri adalah pendukung setia Chairul. Bagi Fakhri, memilih Chairul lebih baik
daripada Bahri dan Amin, walaupun kalau terpaksa, Amin tetap lebih baik daripada Bahri bagi
Fakhri.
Skema di atas dapat disederhanakan sebagai berikut:
1.

Daud: Amin > Bahri > Chairul

2.

Effendi: Bahri > Chairul > Amin

3.

Fakhri: Chairul > Amin> Bahri

Setelah memilih (pemilihan ketua RT ini menggunakan sistem demokrasi di mana suara
mayoritas menang), panitia tidak bisa memutuskan siapa pemenang dalam pemilihan ketua RT
ini, dikarenakan masing-masing kandidat memperoleh satu suara.
Panitia pun mengusut dan mempertanyakan secara musyawarah mufakat, dan Daud, Effendi, dan
Fakhri pun berdebat soal siapa pemimpin yang paling tepat menurut mereka. tetapi dengan posisi
sebagaimana disebutkan di atas, panitia tidak berhasil menemukan titik temu di antara para
pemilih. Mengapa?
Karena apabila disarikan, ada 2 pendukung yang menyatakan bahwa Amin lebih baik dari Bahri,
ada 2 pendukung yang menyatakan bahwa Bahri lebih baik dari Chairul, dan ada 2 pendukung
yang menyatakan bahwa Chairul lebih baik dari Amin. Dengan sendirinya telah terjadi suatu
lingkaran setan.

Prinsip dasar konsistensi preferensi adalah apabila A > B, dan B > C, maka seharusnya A > C.
Namun hal ini tidak terjadi di sini karena sekalipun A > B dan B > C, tetapi C > A.
Contoh di atas adalah salah satu pembahasan utama dalam Public Choice Theory, yaitu Voting
Paradox (Levmore, 1999: 260-261). Voting Paradox adalah situasi di mana masing-masing
pemilih berada dalam lingkaran yang tidak berujung diakibatkan dari sistem voting itu sendiri.
Formalisasi teori ini sudah ada dari abad ke-18 dan diajukan pertama kali oleh Marquis de
Condorcet. Oleh karena itu Voting Paradox juga dikenal sebagai Condorcets Paradox (Katz,
2011: 4-5).
Mari kita kembali kepada pemilihan ketua RT 07. Dikarenakan ricuh dari pemilihan tersebut,
maka RT 07 masih belum memiliki ketua, dan berita ini terdengar oleh petinggi RT dari RT 08,
Ghafur dan Halim. Ghafur menginginkan agar persatuan antara RT 07 dan RT 08 terjaga, dan
bagi dia, Amin adalah kandidat yang tepat dikarenakan Amin memiliki rencana membangun
jembatan lintas sungai agar kegiatan ekonomi antara RT 07 dan RT 08 bisa terbangun.
Di lain pihak, Halim adalah pemilik usaha kapal yang khawatir bahwa agenda Amin untuk
membangun jembatan, bisa mematikan usaha sekoci penyebrangan miliknya. Dia mendengar
bahwa Bahri dan Chairul bukanlah kandidat yang menginginkan persatuan RT 07 dan RT 08.
Dengan agenda tersebut Ghafur dan Halim, mulai mendatangi RT 07 dan mencari tahu preferensi
warga terhadap calon pemimpin mereka sambil berusaha mempengaruhi Daud, Effendi dan
Fakhri untuk mengubah preferensi mereka. Dari perspektif Public Choice Theory, tindakan yang
dilakukan oleh Ghafur dan Halim adalah tindakan yang disebut sebagai Rent-Seeking, dan
mereka berdua disebut sebagai Interest Group.
Secara singkat, Rent-Seeking Behavior dapat diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh
suatu pihak untuk memperoleh manfaat tertetu dengan jalan mempengaruhi para pembuat
keputusan politik (Tullock, 2005: 9-10),6 sedangkan Interest Group diartikan sebagai kelompok

Dalam bukunya, Gordon Tullock menggunakan contoh sebuah perusahaan pembuat besi baja yang berusaha
mempengaruhi pemerintah Amerika Serikat untuk melarang impor besi dari Korea Selatan dengan alasan merusak
lingkungan. Tujuannya? Membatasi jumlah besi yang beredar di Amerika Serikat dan menaikkan harga besi baja
sehingga meningkatkan profit perusahaan yang bersangkutan.

tertentu di luar pengambil keputusan politik yang membawa dan memperjuangkan kepentingan
tersebut secara terorganisir (Tullock, 2005: 46-47).
Interest Group tidak melulu berusaha mencari keuntungan berupa uang. Kepentingan tertentu
yang diwakili oleh Interest Group juga bersifat netral dan tidak selalu berkonotasi negatif. Bisa
saja permintaan tersebut berupa permintaan monopoli dari suatu perusahaan, ataupun permintaan
penutupan pabrik rokok oleh LSM kesehatan.
Kasus fiktif di atas menggambarkan dua topik utama dari Public Choice Theory yang akan
dibahas dalam makalah ini, yaitu Voting Paradox dan Rent-Seeking/Interest Group. Public
Choice Theory akan menjelaskan dari sudut pandang ekonomi, bagaimana dua fenomena yang
acapkali muncul di dunia politik bisa terjadi dan bagaimana cara menanggulangi permasalahan
yang bisa timbul dikarenakan kedua fenomena tersebut.
D.

Voting Paradox

Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, konsep Voting Paradox menunjukkan
bahwa dalam suatu proses voting selalu terbuka kemungkinan terjadi permasalahan dalam
hierarki preferensi yang mengakibatkan tidak tercapainya kesepakatan baik secara mutlak
maupun secara mayoritas.
Konsep Voting Paradox kemudian diformalkan oleh Kenneth Arrow, salah satu penerima hadiah
Nobel di bidang Ekonomi, melalui Arrows Impossibility Theorem.

Teorema yang telah

dibuktikan secara matematis ini (Geanakoplos, 2005: 212-215 dan Nambiar, Varma, dan Saroch,
1992: 61-62) pada prinsipnya menunjukkan bahwa pengambilan keputusan secara kolektif tidak
dapat memenuhi secara bersamaan seluruh syarat yang diperlukan untuk memiliki suatu institusi
politik yang baik (Stearns dan Zywicki, 2009: 138).
Syarat-syarat tersebut adalah: (i) kebebasan setiap pemilih untuk mengeluarkan hak suaranya
sesuai dengan preferensi mereka masing-masing (absence of domain restriction); (ii) hierarki
preferensi berjalan secara ordinal, dari yang paling tinggi ke paling rendah (transitivity); hierarki
preferensi merujuk kepada preferensi dari lebih dari satu pemilih (non-dictatorship), suatu opsi
dinilai semata-mata berdasarkan nilai intrinsiknya dan bukan dari opsi lain yang sebenarnya
7

tidak relevan (independence of irrelevant alternatives), dan bahwa opsi yang menerima
preferensi lebih tinggi dari masing-masing pemilih tidak menerima ranking yang lebih rendah
dalam keputusan kolektif (positive responsiveness) (Grofman, 2008: 86).
Kita akan melihat aplikasi dari konsep di atas dalam sistem pengambilan keputusan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat ("DPR").
D.1

Voting Paradox dalam Pengambilan Keputusan Legislator Indonesia

Merujuk pada Bab XVII dari Tata Tertib DPR mengenai Tata Cara Pengambilan Keputusan
("Tata Tertib"), proses pengambilan keputusan di DPR menggunakan prinsip musyawarah
mufakat. Apabila prinsip musyawarah mufakat tersebut tidak menghasilkan keputusan, maka
berdasarkan Pasal 275 jo 245 dan 277 Tata Tertib, pengambilan keputusan akan didasarkan pada
suara terbanyak dimana kuorum rapat adalah minimum dihadiri lebih dari separuh anggota rapat
yang terdiri atas separuh unsur fraksi, dan disetujui oleh lebih dari separuh anggota yang hadir
dalam rapat.
Marik kita asumsikan bahwa dalam DPR hanya terdapat 3 partai. Partai A, berideologi religius,
Partai B, berideologi sekuler dan pro-kebebasan, Partai C, berideologi ekonomi kerakyatan. Pada
saat itu DPR sedang membahas mengenai kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Setelah
berembuk cukup lama dan tidak ditemukannya kata sepakat, maka munculah tiga pilihan yang
meminta masing-masing anggota sidang untuk memilih salah satu dari tiga pilihan berikut:
1.

menaikkan harga BBM saat ini juga;

2.

menolak kenaikan harga BBM sama sekali; atau

3.

menunda kenaikkan BBM sampai jangka waktu tertentu.

Masing-masing kader partai berembuk dan tentunya menggunakan berbagai perhitungan politik
untuk menentukan pilihan paling tepat sehingga masing-masing partai bisa memaksimalkan
utilitas mereka. Hasilnya adalah: Partai A memiliki preferensi Opsi 3 > Opsi 1 > Opsi 2, Partai
B memiliki preferensi Opsi 1 > Opsi 3 > Opsi 2, dan Partai C memiliki preferensi Opsi 2 > Opsi
3 > Opsi 1. Jelas bahwa musyawarah untuk mufakat tidak akan tercapai.

Apabila DPR memutuskan untuk melakukan pemungutan suara secara bersamaan terhadap 3
opsi tersebut (dan dengan demikian mempertahankan absence of domain restriction), dapat
dipastikan bahwa suara mayoritas tidak akan tercapai karena terjadi Voting Paradox dimana Opsi
1 > Opsi 2, Opsi 2 > Opsi 3, tapi Opsi 3 > Opsi 1. Dengan sendirinya, proses pengambilan
keputusan itu telah melanggar unsur transitivity.
Dalam prakteknya, sangat jarang bagi kita (atau malah tidak pernah) melihat terjadinya Voting
Paradox dalam pengambilan keputusan DPR. Mengapa? Pasal 277 Ayat (2) dan (3) Tata Tertib
menyatakan bahwa dalam hal suatu masalah tidak dapat diputuskan melalui pemungutan suara,
maka dapat dilakukan pemungutan suara secara berjenjang.
Proses tersebut menghilangkan kemungkinan terjadinya Voting Paradox, tetapi sayangnya
terdapat pelanggaran terhadap persyaratan absence of domain dan potensi pelanggaran terhadap
persyaratan non-dictatorship.
Bayangkan misalnya Partai C menjadi pemimpin sidang dan berhak untuk menentukan agenda
sidang. Partai C mengetahui bahwa secara mayoritas, Opsi 3 tidak akan bisa mengalahkan Opsi
2, tetapi mereka tahu bahwa Opsi 1 akan mengalahkan Opsi 2. Partai C dapat meminta
dilakukannya pemungutan suara terlebih dahulu terhadap Opsi 1 versus Opsi 2 dimana
setelahnya baru diadakan pemungutan suara terhadap Opsi 3.
Karena Opsi 2 kalah di pemungutan tahap pertama, Partai C hampir dapat memastikan bahwa
Opsi 3 yang kemudian akan menjadi pemenang dalam pemungutan suara tahap 2. Partai C dalam
perspektif Public Choice Theory, disebut sebagai Agenda-Setter yang memanfaatkan kondisi
Voting Paradox untuk mendukung posisinya sendiri dalam pengambilan keputusan (Mueller,
2008: 36 dan Romer dan Rosenthal, 2009: 105).
Contoh kasus di atas dapat digunakan untuk setiap jenis pengambilan keputusan di DPR,
termasuk ketika kita membahas suatu rancangan undang-undang.

D.2

Kesimpulan Voting Paradox dan Arrows Impossibility Theorem

Secara garis besar dapat dikatakan bahwa Voting Paradox (yang kemudian diformalisasikan
dengan Arrows Impossibility Theorem) menunjukkan bahwa demokrasi ideal yang diasumsikan
akan menunjukkan "kehendak rakyat" tidak akan dapat dicapai (Levmore, 2005: 779). Hal
tersebut sayangnya merupakan konsekuensi logis dari perilaku rasional masing-masing agen
politik di mana pilihan yang muncul akan didasarkan atas pertimbangan biaya dan manfaat.
Voting Paradox juga menunjukkan bahwa sistem demokrasi memiliki celah inheren yang dapat
dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk memenangkan kepentingannya sendiri. Hal inilah
yang juga menyebabkan munculnya perilaku Rent-Seeking dari para Interest Group sebagaimana
akan kita bahas di bawah ini.
Ada banyak mekanisme yang dapat digunakan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan
sebagaimana disebutkan di atas, misalnya melalui mekanisme voting untuk menentukan urutan
agenda sidang, menciptakan sistem proses pengambilan keputusan ganda (misalnya seperti
sistem bikameral di Amerika Serikat), dan peningkatan kuorum untuk pengambilan keputusan
tertentu. Hal ini akan dibahas oleh penulis di lain kesempatan.
E.

Rent-Seeking dan Interest Group

Perilaku Rent-Seeking dan munculnya Interest Group adalah konsekuensi logis dari sebuah
sistem yang demokratis dimana perang pengaruh antar para pihak memiliki posisi yang sangat
penting dalam mencapai suatu keputusan politik.
Hal ini yang selalu ditakutkan oleh James Madison, salah satu Bapak Bangsa Amerika Serikat.
Madison mengkhawatirkan munculnya faksi-faksi terorganisir yang akan beraliansi dengan
pemangku kekuasaan demi memuaskan kepentingan mereka sendiri sambil mengorbankan
mayoritas masyarakat (Hamilton, Madison, dan Jay , 2008: 49).
Apa yang ditakutkan oleh James Madison sering terjadi di berbagai belahan dunia, terutama di
negara demokrasi di mana proses pembentukan undang-undang melibatkan proses pengambilan
keputusan politik yang cukup rumit.

10

Kisah RT 07 yang disebutkan di awal merupakan penggambaran sederhana dari keberadaan


Interest Group dan Rent-Seeking. Dalam skala yang lebih besar, kasus lobi perusahaan di bidang
industri tertentu, seperti misalnya rokok atau farmasi, terhadap proses penyusunan undangundang dapat menjadi contoh yang baik.
E.1

Mengapa Rent-Seeking dan Interest Group Bisa Ada?

Alih-alih menganggap Rent-Seeking dan Interest Group sebagai perilaku menyimpang, penulis
berpendapat bahwa keberadaan kedua hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar dan
seharusnya senantiasa dipertimbangkan oleh para penggiat perbaikan kinerja legislasi.
Bagaimana perilaku Rent-Seeking dan Interest Group bisa muncul? Pertama, sebagaimana telah
dibahas sebelumnya, kita telah berasumsi bahwa setiap agen politik akan berusaha untuk
memaksimalkan manfaat yang ia terima dan manfaat itu termasuk juga keuntungan yang bisa
didapatkan dengan jalan menggunakan kekuasaan politik yang dimiliki oleh agen politik yang
bersangkutan untuk memenuhi keinginan Interest Group yang bersangkutan. Mengingat proses
persaingan mendapatkan suara sangat sulit, keberadaan Interest Group menjadi sangat penting.
Kedua, dari sudut pandang Voting Paradox, terdapat celah inheren dalam proses demokrasi yang
memungkinkan perang pengaruh berjalan secara alamiah. Terlebih lagi, dalam proses
pertarungan politik pun sebetulnya terdapat Policy Paradox, suatu kondisi dimana dalam tiap
penyusunan suatu kebijakan terdapat pertentangan nilai-nilai dasar/abstrak yang sama kuat
(Stone, 2002: 12).
Contoh sederhana: rokok membahayakan kesehatan masyarakat, namun di sisi lain memberikan
penghidupan bagi masyarakat tertentu dan memberikan pendapatan yang sangat besar bagi
pemerintah dalam bentuk bea dan cukai untuk dapat digunakan bagi pembangunan. Nilai-nilai
mana yang harus didahulukan?
Kebingungan dalam menentukan prinsip mana yang harus didahulukan dapat menciptakan
instabilitas di level pengambilan keputusan, khususnya ketika tidak ada dukungan mayoritas
terhadap preferensi tertentu. Hal tersebut dapat menarik minat Interest Group untuk berinvestasi

11

mencari dukungan bagi kepentingan mereka karena berarti potensi untuk mempengaruhi suatu
fraksi politik akan lebih besar (Levmore, 1999: 261-262).
Ketiga, Interest Group memiliki keunggulan sebagai pihak yang terorganisir, sehingga biaya
untuk berkoordinasi di antara mereka menjadi jauh lebih kecil dibandingkan dengan masyarakat
secara keseluruhan yang tersebar dan sulit untuk berkoordinasi yang sering disebut sebagai
collective action problem (Wheelan, 2002: 138).7
Permasalahan koordinasi di atas juga dapat dimanfaatkan oleh Interest Group untuk mengambil
kesempatan dari Free Riders. Dalam konteks ini, Free Riders adalah pemilik suara yang berpikir
bahwa dirinya kemungkinan besar berada dalam posisi mayoritas, sehingga merasa tidak perlu
untuk memberikan suara karena akan ada orang lain yang akan melakukan hal tersebut untuk
mewakili mereka (Stearns dan Zywicki, 2009: 14 15).
Contoh sederhana: dalam suatu pemilihan penyanyi idola, salah satu kandidat yang dijagokan
ternyata kalah karena ternyata kebanyakan pendukungnya berasumsi bahwa si kandidat sudah
pasti menang dan akan ada orang lain yang memilih kandidat tersebut sehingga mereka tidak
mau meluangkan waktu untuk memilih si kandidat.
E.2

Rent-Seeking, Interest Group dan Proses Legislasi

Untuk menggambarkan secara lebih akurat konsekuensi dari keberadaan Rent-Seeking dan
Interest Group, khususnya terhadap perilaku legislator dalam mengambil keputusan dan
dampaknya terhadap masyarakat, penulis akan menggunakan model Wilson-Hayes, yang sering
juga disebut sebagai Static Model: Wilson-Hayes Matrix.
Secara singkat, Wilson-Hayes Matrix menggambarkan pola distribusi biaya dan manfaat dari
suatu proses legislasi terhadap berbagai kelompok dalam masyarakat dan prediksi perilaku

Charles Wheelan menggunakan contoh petani-petani dalam grup kecil di Amerika yang berhasil
mempertahankan subsidi untuk sebuah produk yang sebenarnya sudah hampir tidak dipakai lagi. Semua karena
mereka lebih kecil dan dengan demikian sangat gigih memperjuangkan kepentingannya sementara masyarakat
kebanyakan yang tidak merasa dibebani (karena jumlah subsidi itu menjadi sangat kecil nilainya apabila dibagikan
kepada seluruh penduduk Amerika) tidak terlalu peduli sehingga membiarkan subsidi itu berlangsung untuk waktu
yang sangat lama.

12

legislator sehubungan dengan distribusi biaya dan manfaat tersebut. Dalam hal ini, terdapat 4
kategori sebagai berikut:
1. kondisi dimana manfaat dan biaya legislasi akan sama-sama terdistribusi secara luas
terhadap masyarakat;
2. kondisi dimana manfaat legislasi hanya akan didistribusikan kepada golongan tertentu
namun biayanya akan terdistribusi secara luas kepada masyarakat umum;
3. kondisi dimana manfaat legislasi akan didistribusikan secara luas kepada masyarakat
umum namun biayanya akan dibebankan hanya kepada golongan tertentu; serta
4. kondisi dimana manfaat legislasi hanya akan terdistribusi kepada kelompok tertentu dan
biayanya akan ditanggung oleh kelompok lainnya.
Berikut adalah Tabel lengkap dari Wilson-Hayes Matrix (Stearns dan Zywicki, 2009: 69):

Widely-Distributed Costs

Widely Distributed Benefits

Narrowly Conferred Benefits

Karakter Legislasi:

Karakter Legislasi:

Legislasi paling ideal di mana

Terdapat kelompok yang terorganisir

tekanan dari berbagai pihak sangat

yang

kecil dan keputusan yang diambil

pengambilan

memang

menyebabkan

bermanfaat

bagi

masyarakat umum.

mempengaruhi

proses

keputusan

yang

kerugian

bagi

masyarakat (widely distributed cost)


dan manfaat hanya bagi pihak
tertentu

(narrowly

conferred

benefits)
Contoh:
Contoh: pemberian subsidi khusus
Undang-undang jaminan sosial

pada industri-industri tertentu atau


restriksi impor untuk produk-produk
tertentu

Narrowly Conferred Costs

Karakter Legislasi:
Bisa

Karakter Legislasi:

diartikan

mayoritas,

di

sebagai
mana

tirani

Pengambilan

keputusan

hanya

manfaat

menguntungkan sekelompok orang

dirasakan oleh banyak pihak, dan

dan merugikan sekelompok orang

ada sekelompok masyarakat yang

13

menanggung akibatnya.
Contoh:

aturan

yang lain.
distribusi

kepemilikan lahan kepada publik


yang merugikan pihak tertentu

Contoh: organisasi buruh versus


organisasi pengusaha

Wilson-Hayes Matrix memprekdisikan bahwa dalam banyak kasus, mayoritas peraturan yang
dibuat oleh suatu badan legislatif akan paling banyak berada di zona: Narrowly Conferred
Benefits - Widely-Distributed Costs. Sebaliknya zona Widely Distributed Benefits - WidelyDistributed Costs justru mendapatkan porsi yang kecil dikarenakan kurang menarik bagi para
legislator (manfaat pribadi bagi agen politik tidak jelas, apalagi jika misalnya kebanyakan
pemilik suara bersikap acuh tak acuh).
Kembali pada kasus RT 07 di mana misalnya lobi Halim berhasil dan Bahri menjadi ketua RT
07. Hal ini menyebabkan jembatan penghubung antara RT 07 dan RT 08 tidak terbangun
sehingga menguntungkan bisnis Halim. Halim berhasil mendapatkan Economic-Rent dengan
mempengaruhi proses voting dari RT 07, namun biayanya harus ditanggung oleh warga RT 07
dan RT 08 yang tidak memperoleh jembatan yang sebenarnya bisa bermanfaat bagi kegiatan
perekonomian mereka.
Apabila biaya yang kemudian dibebankan kepada warga RT 07 dan RT 08 sebagai akibat dari
ketiadaan jembatan ternyata tidak terlalu besar jika dibagi bersama-sama, insentif bagi para
warga untuk mempertahankan haknya akan menjadi sangat rendah dan dengan sendirinya
memberikan kesempatan bagi Halim untuk terus menarik keuntungan.
Hal ini dapat diaplikasikan pula ke dalam konteks yang lebih besar, khususnya ketika kita
berbicara mengenai penyusunan peraturan perundang-undangan dan bagaimana cara menyusun
insentif yang tepat kepada masyarakat sehingga mereka akan lebih berminat untuk berpartisipasi
dalam proses politik, termasuk menciptakan Interest Group sendiri yang menyokong
kepentingan masyarakat pada umumnya..

14

F.

Kesimpulan

Sekalipun terdapat banyak topik menarik lainnya yang menjadi pembahasan Public Choice
Theory, seperti misalnya interpretasi undang-undang, peranan lembaga kehakiman dan eksekutif,
dan sebagainya, dua topik sentral yang menjadi pondasi dasar dari Public Choice Theory dan
harus dipahami terlebih dahulu adalah: fenomena Voting Paradox dan keberadaan perilaku RentSeeking dan Interest Group.
Public Choice Theory berusaha untuk membahas kedua permasalahan tersebut dalam kerangka
berpikir ekonomi yang menekankan pada aspek perilaku rasional dari agen politik. Dibandingkan
membahas perilaku politik dari sudut pandang normatif (dimana kita mengharapkan perilaku
ideal dari agen politik), Public Choice Theory lebih berkonsentrasi pada bagaimana kita dapat
menyusun suatu suatu sistem politik yang sehat dan memenuhi kriteria check and balance
berdasarkan pada realitas yang ada.
Penulis berharap bahwa Public Choice Theory akan menjadi ide yang berpengaruh dalam
pendidikan hukum dan politik di Indonesia. Makalah ini hanya merupakan pengantar yang masih
bersifat umum dengan harapan dapat menarik minat para sarjana hukum untuk mengeksplorasi
ranah ini secara lebih mendalam.
Akhir kata, penulis ingin mengingatkan mengapa pendekatan Public Choice Theory dapat
mengisi kekosongan yang ditimbulkan oleh pendekatan normatif semata dalam memahami
perilaku legislator dengan mengambil kutipan dari James Madison dalam Federalist Paper, If
men were angels, no government would be necessary (Hamilton, Madison, dan Jay , 2008:
257).

15

Daftar Pustaka
Becker, Gary, 1990, The Economic Approach to Human Behavior, Chicago, The University of
Chicago Press.
Becker, Gary, 2008, Economic Theory, New Brunswick, Transaction Publishers.
Geanakoplos, John, 2005, Three Brief Proofs of Arrows Impossibility Theorem, Economic
Theory, Vol. 26.
Grofman, Bernard, 2008, "Kenneth Arrow" dalam Charles K. Rowley dan Friedrich Schneider
(ed.), Readings in Public Choice and Constitutional Political Economy, New York, Springer.
Hamilton, Alexander, James Madison, dan John Jay, 2008, The Federalist Papers, New York,
Oxford University Press.
Katz, Leo, 2011, Why The Law is So Perverse, Chicago, University of Chicago Press.
Levmore, Saul, 1999 Voting Paradoxes and Interest Group, Journal of Legal Studies, Vol 28.
Levmore, Saul, 2005 Public Choice Defended, University of Chicago Law Review, Vol 72.
Mueller, Dennis C., 2008, "Public Choice: An Introduction" dalam Charles K. Rowley dan
Friedrich Schneider (ed.), Readings in Public Choice and Constitutional Political Economy, New
York, Springer.
Nambiar, K.K., Pramod K. Varma, dan Vandana Saroch, 1992, A Graph-Theoretic Proof of
Arrows Dictator Theorem, Applied Mathematic Letters, Vol.5, No. 6.
Posner, Richard, 2011, Economic Analysis of Law, 8th ed, New York, Aspen Publisher.
Romer, Thomas dan Howard Rosenthal, 1999, "Political Resource Allocation, Controlled
Agendas, and the Status Quo" dalam James M. Buchanan dan Robert D. Tollison (ed.), The
Theory of Public Choice II, Ann Arbor, The University of Michigan Press.

16

Stearns, Maxwell L. dan Todd J. Zywicki, 2009, Public Choice Concepts and Applications in
Law, St. Paul, West Thomson Reuters.
Stone, Deborah, 2002, Policy Paradox: The Art of Political Decision Making, New York, W.W
Norton & Company.
Tullock, Gordon dan James M. Buchanan, 2004, The Calculus of Consent: Logical Foundations
of Constitutional Democracy, Indianapolis, Liberty Fund.
Tullock, Gordon, 2005, The Rent-Seeking Society, Indianapolis, Liberty Fund.
Wheelan, Charles, 2002, Naked Economics: Undressing the Dismal Science, New York, W.W
Norton & Company.

17

Anda mungkin juga menyukai