Anda di halaman 1dari 7

Fathina ‘Azizah – 18112141059

Kesetaraan Gender untuk Meningkatkan Kesejahteraan Keluarga

Pendahuluan

Pada Februari 2020 lalu, Menteri Koordinator PMK mengatakan bahwa


9,4% atau sebanyak 5 juta keluarga di Indonesia termasuk dalam kategori
Keluarga Pra Sejahtera menurut data tahun 2019. Angka tersebut menjadi semakin
banyak karena adanya pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia, terdapat
penambahan 4,8 juta keluarga yang menerima bantuan pada April 2020. Fakta
tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan keluarga di Indonesia belum
bisa dikatakan sejahtera secara keseluruhan. Keluarga sejahtera adalah keluarga
yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi
kebutuhan hidup spiritual dan materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota
dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungan (Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 52 tahun 2009) dan tingkatan keluarga sejahtera dapat
diurutkan menjadi lima tingkatan yaitu: Tahapan Keluarga Pra Sejahtera (KPS),
Keluarga Sejahtera I (KS I), Keluarga Sejahtera II (KS II), Keluarga Sejahtera III
(KS III) dan Keluarga Sejahtera III Plus.

Berdasarkan pengertian pada UU No 52 Tahun 2009, keseimbangan antar


anggota keluarga menjadi salah satu indikator tercapainya keluarga sejahtera.
Perempuan memiliki potensi untuk menjalankan aktivitas yang produktif yang
dapat meningkatkan dan membantu ekonomi keluarga (Rahmah, et al., 2013) dan
perempuan telah memenuhi peran dalam kesehatan keluarga sebagai promotor dan
manajer (Goodwin, Garrett, & Galal, 2005). Hal diatas dapat terjadi jika adanya
peran yang setara pada perumpan dalam keluarga, tetapi data di lapangan
menunjukkan bahwa hingga 22 Mei 2020, Komisioner Komnas Perempuan
menyatakan terdapat 319 kasus kekerasan pada perempuan. Data tersebut
menunjukkan bahwa belum adanya keseimbangan antar anggota kelarga
khususnya antara suami dan istri dalam relasi keluarga. Fakta bahwa ketidakadilan
yang dialami perempuan pada relasi gender terlihat dalam banyak bentuk,
diantaranya perempuan yang diposisikan pada nomor-2, marjinalisasi, stereotip,
beban ganda, dan kekerasan terhadap perempuan (Sofiani, 2017).

Fenomena ketidakadilan terhadap perempuan dan penyebabnya

Ketidaksetaraan gender dan ketidakadilan yang dialami oleh perempuan


Indonesia seringekali memunculkan ketidakberdayaan, perasaan negatif yang
dialami perempuan karena tidak memiliki otoritas, status, dan makna tentang diri
sendiri (Arivia, 2006; Sofiani, 2017). Berbagai bentuk tentang ketidakberdayaan
perempuan dapat dilihat dalam beberapa fenomena yang terjadi bahkan hingga
saat ini seperti marjinalisasi. Marjinalisasi pada perempuan menyebabkan
perempuan terbatas dalam melakukan aktifitas yang produktif yang dapat
menghasilkan gaji/upah, bahkan terkadang pemberian gaji pada laki – laki dan
perempuan terdapat ketimpangan walaupun beban kerjanya sama. Selain itu,
pembagian sektor kerja di rumah yang sangat dikotomis bahwa perempuan
melakukan aktifitas domestik (mencuci, memasak, bersih-bersih) sedangkan laki –
laki bebas melakukan aktifitas produktif lainnya bahkan pembagian secara
dikotomis ini masuk ke ranah kerja. Hal ini menyebabkan posisi laki – laki
menjadi lebih superior dibandingkan perempuan dan tidak ada pembagian peran
yang setara pada keluarga, perasaan superior pada laki – laki dapat memicu
terjadinya kekerasan pada perempuan yang berbasi gender, dapat terjadi dalam
ranah domestik maupun publik, kekerasan fisik, psikologis, hingga seksual.

Pembagian pekerjaan domestik yang hanya diberikan kepada perempuan


tentu saja memunculkan beban ganda. Selain pekerjaan domestik, perempuan
harus melakukan pekerjaan reproduksi seperti hamil, melahirkan, hingga
menyusui. Terlebih pada perempuan yang juga menjadi wanita karir, beban yang
harus ditanggung tidak hanya pekerjaan doemstik dan reproduksi, tetapi juga
pekerjaan kantorannya. Beban kerja yang berlebih ini membatasi perempuan
dalam turut andil mendiskusikan kesejahteraan dan keputusan keluarga, karena
waktu mereka yang sudah habis untuk melakukan pekerjaan rumah, reproduksi,
bahkan kantor.

Ketidakberdayaan perempuan dalam relasi gender, tidak terjadi karena


kebetulan atau kodratnya, tetapi karena budaya dan struktur gender yang bias
(Sofiani, 2017). Budaya patriarki menjadi salah satu penyebab terjadinya
ketidakadilan dan ketidakberdayaan pada perempuan, patriarki adalah istilah yang
digunakan untuk mendeskripsikan sistem sosial dimana laki-laki sebagai
orang-orang yang lebih superior dan dapat mengontrol perempuan. Dikotomi
peran gender di masyarakat patriarki yang mana menjadikan laki – laki selalu
sebagai pemimpin di keluarga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga,
menghasilkan perempuan tidak memiliki otoritas atas diri sendiri atau keluarga.
Sebutan seperti konco wingking, manak masak macak, dan sebagainya merupakan
bentuk pembungkaman untuk mewujudkan ketidakberdayaan perempuan. Selain
itu, negara juga turut andil dalam ketidakadilan relasi gender. Struktur negara
yang tidak pro terhadap perempuan, sistem hukum yang diskriminatif, undang –
undang yang belum melindungi perempuan, menjadikan perempuan tidak berani
mengambil langkah hukum ketidak terdapat ketidakadilan yang menimpanya atas
nama gender.

Upaya meningkatkan peran perempuan secara setara dalam keluarga

Perempuan Indonesia perlu untuk ditingkatkan perannya dalam


pembangunan negara melalui sektor keluarga, mengingat 49,9% populasi di
Indonesia adalah perempuan dan 65% nya dalam usia produktif namun tidak
teroptimalisasi dengan baik karena kualitas sumber daya nya yang rendah
(Karlina, 2019). Pembagian peran dalam keluarga tidak seharusnya bersifat
dikotomis bahwa istri urusan domestik dan suami bekerja, perlu adanya
pembagian peran yang setara bagi suami dan istri.

Terdapat program P2WKSS (Peningkatan Peranan Wanita menuju


Keluarga Sehat Sejahtera) yang dicanangkan oleh pemerinta, program ini
menyasar pada perempuan dengan kesejahteraan rendah atau berasal dari tingkat
KPS/KS I. Tujuan umum P2WKSS adalah untuk meningkatkan peran perempuan
dalam pembangunan guna mewujudkan keluarga yang berkualitas, sedangkan
tujuan khusus P2WKSS diantaranya:

1. Meningkatkan derajat kesehatan perempuan


2. Meningkatkan status pendidikan perempuan
3. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan perempuan dalam ekonomi
produktif
4. Meningkatkan partisipasi perempuan dalam pelestarian lingkungan
5. Meningkatkan peran aktif perempuan dalam pembangunan masyarakat
6. Meningkatkan peran aktif perempuan dalam memahami wawasan
kebangsaan.
P2WKSS dapat meningkatkan ekonomi produktif, kualitas kesehatan melalui
psoyandu, dan optimalisasi perempuan dalam meningkatkan pemasukan keluarga
(Karlina, 2019). Maka dari itu, pentingnya peran pemerintah untuk
mensosialisasikan dan melaksanakan program P2WKSS pada seluruh KPS/KS I,
tidak hanya peluncuran modul program namun juga pelaksanaannya di lapangan.

Dalam meningkatkan intensitas peran perempuan yang setara dalam


keluarga, dibutuhkan pula kualitas sumber daya perempuan yang baik sehingga
peran perempuan akan semakin membantu tercapainya keluarga sejahtera. Seperti
yang terdapat pada tujuan khusus 1 dan 2 dalam P2WKSS, perempuan harus
memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak baik formal dan
informal. Pengetahuan yang dimiliki ibu maupun istri dapat meningkatkan
kesejahteraan keluarga melalui pola asuh dan mendidik anak, memperhatikan gizi
keluarga, turut andil dalam membuat keputusan keluarga, dan lain sebagainya.
Selain itu, dibutuhkan peningkatan sistem kesehatan dan melatih literasi kesehatan
perempuan seperti kondisi kehamilan, melahirkan, menyusui, gizi, dan
penanganan penyakit dasar karena perempuan seringkali menjadi tumpuan kondisi
kesehatan keluarga.

Adanya gerakan dan aktifitas untuk meningkatkan peran maupun kualitas


sumber daya perempuan tentunya membutuhkan kesadaran akan pentingnya
kesetaraan gender. Dikotomi peran gender, dimana laki-laki (suami) sebagai
kepala rumah tangga dan perempuan (istri) sebagai ibu rumah tangga,
mengakibatkan perempuan terkurung di ruang domestik, sedangkan laki-laki
bebas bergerak di ruang publik. Kondisi tersebut berdampak lebih luas di berbagai
bidang, baik sosial, ekonomi, politik, hukum, psikologis dan spiritual masyarakat.
Ironisnya, perempuan tidak pernah menyadari bahwa ketidakberdayaan mereka
merupakan hasil konstruksi sosial budaya, dengan sengaja dikonstruksi oleh
laki-laki, sehingga perempuan tidak memiliki posisi tawar dalam keluarga,
masyarakat, bahkan negara. Inilah kesadaran naif, yang melahirkan budaya "bisu"
di lingkungan perempuan. Perlunya mengkaji kritis budaya di Indonesia yang bias
pada laki – laki, yang sebaiknya dilakukan dengan beberapa cara antara lain:

Pertama, pandangan perempuan yang hanya berhak berada di ruang domestik,


sedangkan laki-laki berhak berada di ruang publik, harus dilihat sebagai hasil
sosialisasi masyarakat, atau hasil konstruksi sosial budaya. Artinya, pandangan
tersebut bukanlah sesuatu yang wajar, yang bersumber dari perbedaan biologis
antara perempuan dan laki-laki, melainkan dibentuk oleh sosial budaya (nurture).
Oleh karena itu, jika pandangan diubah, maka dikotomi sebagai penyebab
ketidakberdayaan perempuan, juga bisa diubah guna mewujudkan kesetaraan
gender.

Kedua, perbedaan biologis bersifat kodrat dan tidak bisa diubah, melainkan
pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, dimana perempuan berperan
dalam ranah domestik dengan kewajibannya. dan peran laki-laki dalam ranah
publik dengan tugasnya merupakan konstruksi sosial yang selalu berubah sesuai
dengan kondisi masyarakat. Oleh karena itu, perlu dihindari percampuran antara
peran sosial (gender) sebagai fakta sosial dan peran biologis (seks) sebagai sifat
fakta. Pencampuran keduanya, akan membuat adanya ketimpangan gender antara
laki-laki dan perempuan.

Ketiga, stereotip yang dilekatkan pada perempuan, misalnya: perempuan memiliki


kelemahan dalam beragama, lemah akal, sebagai penggoda laki-laki, perempuan
sebagai sumber fitnah dan lain-lain, harus dipandang secara kritis, agar dapat
dipahami dalam perspektif yang berbeda, dari awal pemahaman.

Kesimpulan

Tingkat keluarga pra sejahtera maupun keluarga sejahtera di Indonesia


masih cukup tinggi, terlebih dengan adanya pandemi COVID-19 ini. Pada
pengertian keluarga sejahtera, keseimbangan relasi antar anggota keluarga
menjadi salah satu faktornya termasuk relasi antara suami – istri yang bebasis
gender. Seiring tingginya angka KPS dan KS I, data kasus kekerasan pada
perempuan baik fisik, psikologis, maupun seksual juga masih menunjukkan grafik
yang tinggi yang mana memberi informasi bahwa relasi antara suami dan istri
belumlah seimbang.

Ketidakseimbangan ini menyebabkan ketidakberdayaan perempuan seperti


adanya marjinalisasi, kekerasan, dan beban ganda pada perempuan. Perlunya
upaya untuk menghilangkan ketidakseimbangan pada relasi gender laki – laki dan
perempuan, sehingga tercipta perempuan yang berdaya dan dapat mengambil
peran untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Upaya yang dapat dilakukan
diantaranya penggencaran pelaksanaan program P2WKSS, memberi kesempatan
perempuan akan hak pendidikan dan kesehatan, juga yang terpenting mengkritisi
kembali budaya patriarki di Indonesia. Sebelum segala upaya dilakukan, saling
dukung antar perempuan harus dilakukan. “Women Support Women!”
Daftar Pustaka
Andriansyah, A. (2020, Mei 23). Selama Pandemi Corona, Perempuan dan Anak
Paling Sering Mengalami Kekerasan Seksual. Retrieved from VOA
Indonesia:
https://www.voaindonesia.com/a/selama-pandemi-corona-perempuan-dan-
anak-paling-sering-mengalami-kekerasan-seksual/5432763.html
BKKBN. (n.d.). Batasan dan Pengertian MDK. Retrieved from BKKBN:
http://aplikasi.bkkbn.go.id/mdk/BatasanMDK.aspx
Goodwin, P. Y., Garrett, D. A., & Galal, O. (2005). Women and Family Health:
The Role of Mothers in Promoting Children and Family Health.
International Journal of Global Health and Health Disparities, 30-42.
Kangsaputra, L. S. (2020, Februari 19). Retrieved from Okezone Lifestyle:
https://lifestyle.okezone.com/read/2020/02/19/196/2170958/menko-pmk-j
umlah-keluarga-pra-sejahtera-di-indonesia-masih-tinggi
Karlina, N. (2019). THE IMPACT OF WOMEN EMPOWERMENT IN WOMEN
ROLE INCREASED PROGRAM TOWARDS HEALTHY AND
PROSPEROUS FAMILY (P2WKSS) GARUT REGENCY. Humanities
and Social Science Review, 59-66.
Rahmah, N., Jusoff, K., Heliawaty, Meisanti, Monim, Y., Batoa, H., . . . Nalefo, L.
(2013). The Role of Woman in Public Sector and Family Welfare. World
Applied Science Journal, 72-76.
Sofiani, T. (2017). The Development Of Woman Based On Gender Relations in
Islam Towards a Prosperous Family : Study Of Muslim Women Indonesia.
International Confrence of Islam, Development, and Social Harmony in
Southeast Asia.
Sumantri, R. B., & Utami, E. (2018). Determination of Status of Family Stage
Prosperous of Sidareja District Using Data Mining Techniques. I.J
Intelligent System and Application, 1-10.
Sumarto, M. (2017). Welfare Regime Change in Developing Countries: Evidence
from Indonesia. Social Policy and Administration, 940-959.

Anda mungkin juga menyukai