Anda di halaman 1dari 12

MEMAHAMI PRINSIP DASAR KEPAILITAN DALAM HUKUM

EKONOMI SYARIAH
( Sekilas Perbandingan dengan Prinsip Kepailitan dalam Undang – Undang
Nomor 37 Tahun 2004 )
Oleh
Hirmawan Susilo1 dan Rahmat Basmalah2
I Pendahuluan
Ketika debitor berada dalam keadaan tidak membayar, baik karena
ketidakmampuannya maupun karena tidak mau melaksanakan kewajibannya
terhadap prestasi, maka dikatakan sebagai tindakan wanprestasi. Terkait debitor
mempunyai banyak kreditor dan harta kekayaan debitor tidak cukup untuk
membayar lunas semua kreditor, maka para kreditor akan berlomba dengan segala
cara baik yang sesuai dengan prosedur hukum maupun yang tidak sesuai dengan
prosedur hukum, guna mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih dahulu.
Kreditor yang datang belakangan sudah tidak dapat lagi pembayaran karena harta
debitor sudah habis diambil oleh kreditor yang lebih dahulu. Hal ini sangat tidak
adil dan merugikan bagi kreditor maupun debitor sendiri. Berdasarkan alasan –
alasan tersebut, timbullah lembaga kepailitan yang mengatur tata cara yang adil
membayar tagihan – tagihan para kreditor.3
Sebagai sebuah negara hukum, sudah seharusnya pemerintah membuat
regulasi untuk mengatur aktifitas bisnis, serta tatacara manakala terjadi sengketa,
termasuk sengketa dalam kegiatan ekonomi syariah. Undang – Undang Nomor 3
Tahun 2006 pada pasal 49 huruf i menyebut dengan jelas, bahwa Pengadilan
Agama berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah.
Kewenangan sebagai penyelesai sengketa di bidang perbankan syariah, juga
dimuat dalam pasal 55 ayat 1 Undang – Undang 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah, terutama setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi

Hakim Pengadilan Agama Sumenep


1

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember


2

3
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepalitian, Prinsip, Norma Dan Praktik Di
Pengadilan, ( Jakarta : Kencara Prenada Media Group, 2008 ). Hlm. 4
Nomor 93/ PUU-X/ 2012 Tanggal 29 Agustus 2013, sehingga semakin
menegaskan kewenangan absolut peradilan agama di bidang ekonomi syariah.
Berbagai jenis perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut
prinsip syari’ah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 Undang - Undang Nomor
3 Tahun 2006 di atas, tidak mencantumkan kepailitan sebagai cakupan
kewenangan pengadilan agama dalam mengadili perkara tentang ekonomi syariah.
sedangkan Undang- Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 belum memenuhi
perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia yang sebagian besar
beragama Islam. Dalam Undang-undang tersebut tidak diatur kepailitan
berdasarkan sistem ekonomi syariah yang berbasis kepada hukum Islam.4
Perkara kepailitan yang para pihaknya melakukan akad atau perjanjian
menurut prinsip ekonomi syariah, dalam faktanya diadili oleh peradilan niaga
dalam lingkungan peradilan umum. Hal itu tidak lepas karena tidak adanya
pengaturan kepailitan dalam hukum ekonomi syariah di Indonesia. Peraturan
Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Pemberlakuan Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah ( KHES )5, dimana secara eksplisit disebutkan dalam
kompilasi tersebut bahwa seseorang atau sebuah badan hukum dinyatakan pailit
oleh pengadilan/ mahkamah sya’iyah dalam lingkungan peradilan agama.6
Penyebutan pailit atau disebut juga taflis dalam KHES ada dalam beberapa
pasal secara terpisah – pisah. Penyebutan tersebut tidak terfokus pada sebuah bab
4
Syamsudin Manan Sinaga, , Arbitrase Dan Kepailitan Dalam Sistem Ekonomi
Syariah, artikel pada Majalah Hukum Nasional Nomor 1 Tahun 2007, ( Jakarta : Pusat
Dokumentasi Dan Informasi Hukum Nasional, 2007). Hlm. 171.
5
Dalam penulisan ini selanjutnya disebut juga dengan KHES Ditetapkan tanggal
10 September 2008, Terdiri dari 3 buku, yaitu BUKU I SUBYEK HUKUM DAN
AMWAL, BUKU II TENTANG AKAD dan BUKU III ZAKAT DAN HIBAH.
6
Pasal 1 angka 6 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ( KHES ):” Muwalla
adalah seseorang yang belum cakap melakukan perbuatan hukum, atau badan usaha yang
dinyatakan taflis/ pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap “. Pasal 2 ayat (2) KHES: “ Badan usaha yang berbadan hukum
atau tidak berbadan hukum, dapat melakukan perbuatan hukum dalam hal tidak
dinyatakan taflis/ pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap”. Pasal 5 ayat (2) KHES : “ dalam hal badan hukum terbukti tidak
mampu lagi berprestasi sehingga menghadapi kepailitan atau tidak mampu membayar
utang dan meminta permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang, maka
pengadilan dapat menetapkan kurator atau pengurus bagi badan hukum tersebut atas
permohonan pihak yang berkepentingan “ Pasal 1 angka 8 KHES : “ Pengadilan adalah
pengadilan/ mahkamah syar’iyah dlam lingkungan peradilan agama “
yang khusus mengatur kepailitan dan bagaimana menegakkan hukum kepailitan
bidang ekonomi syariah. Hal itu menimbulkan kekosongan aturan hukum,
khususnya dalam peradilan perkara kepailitan yang pihak – pihaknya melakukan
akad perjanjian berdasar atas prinsip ekonomi syari’ah. Adanya Kekosongan
aturan tersebut, maka perlu didekati secara konseptual untuk memahami prinsip
hukum Islam dalam mengatur kepailitan, sekalihus sebagai perbandingan dengan
prinsip hukum kepailitan yang telah ada di Indonesia khususnya dalam Undang –
Undang Nomor 37 Tahun 2004
II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kepailitan Secara Umum
Kepailitan memiliki sejarah panjang tentang keberlakuannya Indonesia.
Hukum kepailitan yang semula berlaku di Indonesia adalah Faillissement
Verordening atau Peraturan Kepailitan yang termuat dalam Staatsblad Tahun 1905
No. 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348. Berbagai aturan perundang –
undangan silih berganti mengatur tentang kepailitan tersebut, hingga kemudian
yang terakhir lahirlah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Istilah kepailitan secara itimologi, berasal dari kata “pailit”. Selanjutnya
istilah “pailit” berasal dari kata Belanda failliet yang mempunyai arti ganda yaitu
sebagai kata benda dan kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu
faillite yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran, sedangkan orang
yang mogok atau berhenti membayar dalam bahasa Perancis Le faili. Kata kerja
failir artinya gagal. Sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata to fail
dengan arti yang sama, dan dalam bahasa latin disebut failure. Kemudian istilah
kepailitan dalam pengertian hukum, istilah faillet menandung unsur – unsur
tersendiri yang dibatasi secara tajam, namun definisi mengenai pengertian itu
tidak ada dalam undang – undang. Selanjutnya istilah pailit itu dalam bahasa
Belanda adalah faiyit, maka ada pula sementara orang yang menerjemahkannya
sebagai palyit dan faillissement sebagai kepailitan. Kemudian pada negara –
negara yang berbahasa Inggris untuk pengertian pailit dan kepailitan
mempergunakan istilah bankrupt dan bankruptcy.7
Bahasa Inggris menyebutnya dengan “ bankrupt” yang dalam Black’s
Law Dictionary8 didefinisikan dengan, Indebted beyond the means of payment ;
insolvent. Sedangkan kepailitan atau Bankruptcy adalah :
A statutory procedure by which a ( usu.insolvent ) debtor obtains
financial relief and undergoes a judicially supervised
reorganization or liquidation of the debtor’s assets for the benefits
of creditors.
( terjemahan bebas : sebuah prosedur hukum dimana seorang
debitor yang bangkrut mendapatkan bantuan finansial dan diawasi
secara hukum, atau likuidasi terhadap aset – aset debitor untuk
kepentingan para kreditor )
Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1998 Pasal 1 ayat ( 1 ) menyebutkan :
Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak
membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu an apat
ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang
berwenang sebagaimana dimaksud pasal 2 baik atas
permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau
lebih krediturnya
Undang – Undang Nomor 37 Tahun 2004 tersebut, mendefinsikan
kepailitan sebagai suatu sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan
hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang – undang. 9 Ketentuan
kepailitan merupakan aturan yang mempunyai tujuan untuk melakukan pembagian
harta debitor kepada para kreditornya dengan melakukan sita umum terhadap
seluruh harta d ebitor yang selanjutnya dibagikan kepada kreditor sesuai dengan
hak proporsinya. Ketentuan kepailitan ini merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari
ketentuan lebih lanjut dari ketentuan pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.
Pernyataan pailit harus melalui proses pemeriksaan di pengadilan setelah
memenuhi persyaratan di dalam pengajuan permohonannya. Pengadilan yang

7
Viktor M. Situmorang, Hendri Sukarso, Pengantar Hukum Kepailitan di
Indonesia, ( Jakarta : PT Rineka Cipta, 1994 ). Hlm.18
8
Bryan A Garner, Black’s Law Dictionary, Ninth Edition ( Dallas, Texas,
Thomson Reuters : 2009 ) hlm. 166 .
9
Pasal 1 Ayat (1) Undang - Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ( UUK ).
dimaksud adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum10. Adapun
yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit adalah debitur, kreditur,
kejaksaan untuk kepentingan umum, Bank Indonesia jika menyangkut bank
sebagai debiturnya, serta Badan Pengawas Pasar Modal, bila debiturnya
menyangkut pasar efek11. Hukum Acara yang digunakan adalah hukum acara
perdata, kecuali ditentukan lain dalam Undang – Undang Kepailitan tersebut.12
Putusan kepailitan adalah bersifat serta merta dan konstitutif yaitu
meniadakan keadaan dan menciptakan keadan hukum baru, dimana dalam putusan
tersebut terdapat 3 hal yang esensial, yaitu :
1. Pernyataan bahwa si debitur pailit,
2. Pengangkatan seorang Hakim Pengawas yang ditunjuk dari hakim
pengadilan.
3. Kurator.
Adapun pengurusan harta pailit dapat dilakukan oleh :
1. Hakim Pengawas,
2. Kurator.
Asas dalam Undang - Undang tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang yaitu :
1. Asas Keseimbangan
2. Asas Kelangsungan Usaha
3. Asas Keadilan
4. Asas Integrasi
Prinsip hukum kepailitan yang berlaku secara universal dalam Undang –
Undang Kepailitan Indonesia. Beberapa prinsip hukum kepailitan dalam Undang –
Undang Kepailitan ( UUK ) di Indonesia antara lain :
1. Prinsip Keseteraan Kreditor ( Paritas Creditorium )
2. Prinsip Pembagian menurut Perbandingan Piutang Masing – Masing
Kreditor ( pari passu pro rata parte ).
3. Prinsip Klasifikasi Kreditor – Kreditor ;
10
Pasal 1 angka 7 UUK
11
Pasal 2 ayat 1 sampai 5 UUK
12
Pasal 299 5 UUK
Klasifikasi kreditor dalam kepailitan yaitu :
a. Kreditor Separatis.
b. Kreditor Preferen.,
c. Kreditor Konkuren
2.2 Kepailitan dalam Hukum Islam.
Pailit, dalam hukum Islam, dikenal dengan sebutan Taflis, yang berasal
dari kata Iflaas yaitu tidak memiliki harta, sedang orang yang pailit disebut Muflis
dan keputusan hakim yang menyatakan bahwa seorang jajtuh pailit disebut
Tafliis13. Ulama Fiqh juga mendefinisikan Taflis adalah Keputusan Hakim yang
melarang seseorang bertindak atas hartanya14.
M Hasbi Ash-Shiddieqy menyebutkan bahwa Taflis atau Iflas ialah banyak
hutang dari harta, hingga tak dapat harta itu membayar segala hutang. Hakim
boleh mencegah orang yang dihukum Muflis, untuk mentasharufkan hartanya,
agar tidak memelaratkan orang - orang yang memberi hutang kepadanya.
(mencegah Muflis dari mentasyarufkan hartanya dinamakan “Hajr atau Hijr”)15
Pengertian Taflis/ Pailit, menurut Wahbah Azzuhaili, sebagai berikut :
Berdasar segi bahasa ( Lughawi ) : adalah sebutan untuk orang yang bangkrut, dan
secara umum berarti orang yang tidak mempunyai harta sama sekali. Berdasar sisi
istilah hukum ( Syar’i ) : Keputusan Hakim yang menyatakan orang yang
berhutang sebagai orang yang bangkrut, yang ia dilarang untuk membelanjakan
hartanya, dan harus ditunjuk seseorang untuk mengatur harta – harta orang
tersebut dalam rangka pembayaran hutang – hutangnya.16
Muflis ( orang yang bangkrut ), dalam arti bahasa, adalah orang yang tidak
punya pekerjaan yang bisa menutupi kebutuhannya. Sedangkan pengertian istilah,
adalah orang yang dilarang oleh hakim untuk membelanjakan harta, karena dia
terliliu utang yang menghabiskan seluruh hartanya dan bahkan masih kurang,

13
M Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam ( Fiqh Muamalah),
( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003). Hlm. 195
14
Ibid. Hlm. 196.
15
M Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum – Hukum Fiqh Islam,( Jakarta :
Bulan Bintang ) Hlm. 427.
16
Wahbah Az Zuhaili, Fiqhul Islam Waadillutuhu, ( Beirut : Daarul fikr juz 6,
tanpa tahun ). Hlm. 321.
MEMAHAMI PRINSIP DASAR KEPAILITAN DALAM HUKUM EKONOMI
SYARIAH
( Sekilas Perbandingan dengan Prinsip Kepailitan dalam Undang –
Undang Nomor 37 Tahun 2004 )
Oleh

Hirmawan Susilo1 dan Rahmat Basmalah2

I Pendahuluan
Ketika debitor berada dalam keadaan tidak membayar, baik karena
ketidakmampuannya maupun karena tidak mau melaksanakan
kewajibannya terhadap prestasi, maka dikatakan sebagai tindakan
wanprestasi. Terkait debitor mempunyai banyak kreditor dan harta
kekayaan debitor tidak cukup untuk membayar lunas semua kreditor,
maka para kreditor akan berlomba dengan segala cara baik yang
sesuai dengan prosedur hukum maupun yang tidak sesuai dengan
prosedur hukum, guna mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih
dahulu. Kreditor yang datang belakangan sudah tidak dapat lagi
pembayaran karena harta debitor sudah habis diambil oleh kreditor
yang lebih dahulu. Hal ini sangat tidak adil dan merugikan bagi kreditor
maupun debitor sendiri. Berdasarkan alasan – alasan tersebut,
timbullah lembaga kepailitan yang mengatur tata cara yang adil
membayar tagihan – tagihan para kreditor.3

1 Hakim Pengadilan Agama Sumenep


2 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember
3 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepalitian, Prinsip, Norma Dan Praktik Di
Pengadilan, ( Jakarta : Kencara Prenada Media Group, 2008 ). Hlm. 4

dimana bila seluruh harta yang dimilikinya dibagikan kepada para pemilik piutang
pasti tidak akan mencukupi.17 Para ulama mazhab sepakat bahwa seoran muflis
tidak dilarang menggunakan hartanya, sebesar apapun utangnya kecuali sesudah
adanya larangan dari hakim. Kalau dia menggunakan hartanya sebelum adanya
larangan hakim, maka tindakannya itu dinyatakan berlaku. Para Piutang dan siapa
saja tidak berhak melarangnya, sepanjang hal itu tidak dimaksudkan untuk
melarikan diri dari utang atau menggelapkan hak – hak orang lain yang ada pada
dirinya.
17
Muhammad jawad Mughniyah, Al Fiqh ‘Ala Madzahib Al Khamsah
diterjemahkan oleh Masykur A.B, Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, dalam Fiqh Lima
Mazhab ( Jakarta : Penerbit Lentera, 2005 ). Hlm.700.
Pailit dalam Ekonomi Syariah diucapkan dalam 2 ( dua ) konteks :
Pertama, apabila hutang yang dipinjamkan oleh seseorang ( kreditur ) ternyata
menghabiskan harta orang yang berhutang ( debitur ), sehingga hartanya tidak
sanggup untuk membayar atau melunasi hutangnya tersebut. Kedua, bagi
seseorang tidak mempunyai harta yang menjadi miliknya sendiri secara jelas18.
Penguasa/ pemerintah boleh menahan seseorang yang pailit untuk
membelanjakan hartanya, bahkan pemerintah tersebut boleh menjual harta orang
tersebut dan kemudian membagikanya kepada para kreditor.19
Terlepas dari KHES yang menyamakan arti kata taflis dengan pailit,
menurut penyusun kata yang sepadan dengan taflis tersebut adalah kata “
Bangkrut “, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti menderita
kerugian besar hingga jatuh (tentang perusahaan, toko, dan sebagainya); gulung
tikar: habis harta bendanya; jatuh miskin.20 Kata dalam kamus tersebut terkandung
arti habisnya harta yang juga sejalan dengan arti kata dari taflis sebagaimana
tersebut di atas.
Identifikasi yang dapat diambil dari uraian kata taflis di atas adalah, bahwa
taflis atau pailit atau bangkrut dalam hukum Islam mempunyai unsur – unsur
sebagai berikut :
1. Orang yang berutang ( debitor ).
Debitor yang dimaksud adalah debitor yang berada dalam keadaan
bangkrut, yang biasa disebut dengan istilah Muflis ;
2. Orang atau orang - orang yang punya piutang ( kreditor ),
Imam Maliki ( mazhab Maliki ) berpendapat bahwa kreditor ( orang yang
memberi utang ) boleh mencegah – melalui tuntutan pengadilan -
penggunaan hartanya orang yang bangkrut, yang dengan pencegahan itu
maka debitor yang bangkrut ( muflis ) secara otomatis tidak punya hak
kepemilikan harta dan dikatakan seperti anak yang baru tamyiz21

18
Habib Nazir, Muhammad Hasanudin, Ensiklopedi Ekonomi Dan Perbankan
Islam, ( Jakarta : Kafa Publising, 2004 ).Hlm 622.
19
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz 2 diterjemahkan oleh Abu Usamah
Fakhtur ( Jakarta : Pustaka Azzam ). Hlm. 280.
20
http://kbbi.web.id/bangkrut, diakses tanggal 5 Januari 2017, pukul 16.09
21
Ibid
3. Adanya utang – utang yang belum dibayar.
4. Adanya ketetapan Qadhi/ hakim bahwa orang yang berutang dalam
keadaan bangkrut atau tidak mampu membayar utang.
a. Orang yang bangkrut dilarang untuk bertindak atas harta – hartanya
yang dapat merugikan para kreditor ( Al Hajr ) :
b. Hendaknya diumumkan keadaan pailit/ taflis dan pemberlakuan
al-hajr terhadap muflis,
c. Penunjukan seseorang untuk mengurus harta orang yang
dinyatakan bangkrut serta mengatur pembagian harta tersebut
(Kurator ).
5. Pemberlakuan prinsip kreditor yang didahulukan atas harta debitor pailit ;
Prinsip tersebut tergambar dengan jelas dalam hadits hadis yang mengatur
bahwa barang siapa yang mendapatkan hartanya masih utuh pada
seseorang yang pailit – atau seorang yang pailit – maka ia lebih berhak
atas barangnya itu daripada orang lain.Hal itu mengatur adanya hak
istimewa kreditor yang hubungan utang piutangnya dengan debitor diikat
dengan adanya benda yang ada pada debitor, dimana kreditor yang
merupakan pemilik barang yang masih belum dilunasi utangnya oleh
debitor, paling berhak mengambil barang tersebut sebagai pelunasan
utang, daripada kreditor yang lain.
III KESIMPULAN
Prinsip – prinsip kepailitan dalam hukum Islam yang telah dinormakan
sejak awal lahirnya agama Islam atau zaman kenabian, lalu diteruskan dengan
metode pengambilan hukum oleh para sahabat nabi, tabi’in serta ulama – ulama
setelah masa tersebut dengan metode ijtihadnya baik melalui Ijma, Qiyas,
maslahah mursalah atau lainnya. Hal itu telah sekian ratus bahkan ribuan tahun
lamanya. Tentu saja untuk diterapkan sebagai aturan hukum, prinsip – prinsip
kepailitan tersebut perlu diadaptasi sesuai dengan perkembangan zaman.
Secara umum, terdapat banyak persamaan antara kepailitan secara umum
dengan kepailitan/ taflis dalam hukum ekonomi Islam. Perbedaan yang paling
mendasar adalah adanya selisih pengertian atau ada perbedaan dalam cakupan
pengertian kata antara taflis dengan pailit dalam undang – undang kepailitan di
Indonesia Pengertian taflis meliputi keadaan tidak membayar karena jumlah
harta debitor tidak lagi mencukupi untuk membayar utang – utangnya pada
kreditor, sehingga diputuskan oleh hakim sebagai debitor yang muflis, dan
kepadanya dilarang untuk berkuasa atas hartanya. Kepastian adanya keadaan
seperti itu tidak terdapat dalam cakupan pengertian pailit dalam Undang – Undang
Kepailitan, yang mendefinsikan kepailitan sebagai suatu sita umum atas semua
kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh
kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang
– undang Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar
lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU

Bryan A Garner, Black’s Law Dictionary, Ninth Edition ( Dallas, Texas,


Thomson Reuters : 2009 )

Habib Nazir, Muhammad Hasanudin, Ensiklopedi Ekonomi Dan Perbankan


Islam, ( Jakarta : Kafa Publising, 2004 )

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz 2 diterjemahkan oleh Abu Usamah Fakhtur (
Jakarta : Pustaka Azzam ).

M Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam ( Fiqh Muamalah),


( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003).

M. Hadi Shubhan, Hukum Kepalitian, Prinsip, Norma Dan Praktik Di


Pengadilan, ( Jakarta : Kencara Prenada Media Group, 2008

M Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum – Hukum Fiqh Islam,( Jakarta : Bulan


Bintang)

Muhammad jawad Mughniyah, Al Fiqh ‘Ala Madzahib Al Khamsah


diterjemahkan oleh Masykur A.B, Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, dalam Fiqh
Lima Mazhab ( Jakarta : Penerbit Lentera, 2005 ).

Syamsudin Manan Sinaga, , Arbitrase Dan Kepailitan Dalam Sistem Ekonomi


Syariah, artikel pada Majalah Hukum Nasional Nomor 1 Tahun 2007, ( Jakarta :
Pusat Dokumentasi Dan Informasi Hukum Nasional, 2007)

Viktor M. Situmorang, Hendri Sukarso, Pengantar Hukum Kepailitan di


Indonesia, ( Jakarta : PT Rineka Cipta, 1994 ).

Wahbah Az Zuhaili, Fiqhul Islam Waadillutuhu, ( Beirut : Daarul fikr juz 6,


tanpa tahun ).
B. ATURAN PERUNDANG – UNDANGAN
1. Undang – Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
2. Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagaimana diubah dengan Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
perubahan kedua dengan Undang – Undang Nomor 50 Tahun 2009
3. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah.
4. KUH Perdata

Anda mungkin juga menyukai