Anda di halaman 1dari 17

PENYELESAIAN KEPAILITAN PERBANKAN SYARIAH ANTARA

PENGADILAN NIAGA DAN PENGADILAN AGAMA

Mata Kuliah Politik Hukum Ekonomi Syariah


Dosen : Prof. Dr. Djawahir, MA.
Mahasiswa Magister Hukum Ekonomi Syariah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 Pasal 49 huruf
(i) dimana pasal dan isinya tidak dirubah dalam Undang-Undang Nomor
50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, dalam Undang-Undang tersebut
disebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang mengadili
dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam dalam bidang ekonomi syariah1, diantaranya :Bank
Syariah, Lembaga Keuangan Mikro syariah, Asuransi Syariah, Reasuransi
Syariah, Reksadana syariah, Obligasi syariah dan surat berharga berjangka
menengah syariah, Sekuritas Syariah, Pembiayaan syariah, Pegadaian
Syariah, Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syariah, dan Bisnis Syariah.
Perkembangan dunia usaha yang menggunakan akad-akad syariah
secara signifikan faktanya, mengakibatkan tidak sedikit terjadi sengketa di
antara para pelaku ekonomi syariah, sehingga Mahkamah Agung
mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 pada
tanggal 22 Desember 2016 Tentang Penyelesaian Perkara Ekonomi
Syariah.
Dasar dari sebuah ekonomi adalah merupakan kegiatan yang tidak

terlepas dari harta dan benda.2 Dikatakan kegiatan ekonomi apabila ada
sebuah transaksi ekonomi antara satu pihak dengan pihak yang lain, yang

1
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
2
Juhaya S Pradja, Ekonomi Syariah (Bogor: Pustaka Setia, 2012)
terkadang transaksi tersebut menimbulkan sebuah sengketa. Sengketa
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah segala sesuatu yang

menyebabkan perbedaan pendapat, pertikaian atau perbantahan. 3 Dalam


Kamus Inggris kata sengketa, perselisihan, pertentangan sama dengan

conflict atau dispute.4 Oleh karena itu kata lain dari sengketa adalah
konflik, secara bahasa kedua kata tersebut mengandung arti suatu
peristiwa yang menggambarkan tentang adanya perbedaan atau benturan
kepentingan antara dua pihak atau lebih. Konflik adalah keadaan dimana
apabila dua pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan
berkembang menjadi sebuah sengketa (wanprestasi) apabila pihak yang
merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya,
baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab
kerugian atau kepada pihak lain.
Orang atau badan hukum yang memperoleh pinjaman dari pihak
lain (orang lain atau badan hukum lain) disebut debitor sedangkan pihak
yang memberikan pinjaman tersebut disebut kreditor.5
Dalam perkembangannya tidak selamanya Debitor mempunyai
cukup dana untuk mengembalikan pinjaman yang diperolehnya dari
Kreditor. Sebagai contoh  di Indonesia  pada  Krisis Moneter yang terjadi
pada akhir tahun 1997. Akibat dari krisis tersebut banyak perusahaan 
mengalami kesulitan pembayaran utang yang telah jatuh tempo dan dapat 
ditagih. Apabila Debitor dalam kesulitan keuangan, tentu saja para
Kreditor akan berusaha untuk menempuh jalan untuk  mendapatkan
kembali dana   yang telah dikeluarkan. Dalam hal debitur tidak membayar
utang kreditornya dengan suka rela, maka kreditur akan menggugat debitur
secara perdata ke Pengadilan yang berwenang, dan seluruh harta debitor
menjadi sumber pelunasan utangnya kepada kreditor tersebut.

3
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
1990).
4
Hasan Echlos, John M dan Shadily, Kamus Inggris Indonesia Dan Indonesia Inggris
(Jakarta: Gramedia, 1996).
5
Sutan   Remy   Sjahdeini,   Hukum   Kepailitan   Memahami   Undang-Undang   Nomor   37
Tahun 2004 tentang Kepailitan, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2009), hal. 2.
Ekonomi syariah telah disebutkan dalam Kompilasi Hukum

Ekonomi Syariah Pasal 1 ayat 1.6 Dengan demikian sengketa ekonomi


syariah adalah merupakan suatu pertentangan antara satu pihak atau lebih
pelaku kegiatan ekonomi, dimana kegiatan ekonomi tersebut berlandaskan
pada prinsip-prinsip syariah dan ajaran hukum ekonomi syariah yang
ditimbulkan oleh adanya perbedaan pendapat tentang suatu hal yang dapat
mengakibatkan adanya sanksi hukum terhadap salah satu pihak yang
bersangkutan. Dan terjadinya suatu sengketa tersebut karena salah satu
pihak melakukan wanprestasi dan atau melakukan perbuatan malawan
hukum sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pihak yang lain.
Wanprestasi adalah kelalaian pihak debitor dalam memenuhi prestasi yang
telah ditentukan dalam perjanjian.
Masalah kepailitan dalam konteks fiqh bukan merupakan suatu hal
yag baru, para ulama terdahulu telah membahas mengenai penyelesaian
perkara kepailitan. Di dalam Islam kepailitan atau pailit disebut dengan At-
taflis, diambil dari kata al-fals jamaknya fulus. Al-fals adalah jenis uang
yang paling sedikit (uang recehan) yang terbuat dari tembaga. Fulus
biasanya dikesankan sebagai harta seseorang yang paling buruk dan mata
uang yang paling kecil.7 Dalam konteks ekonomi, istilah taflis diartikan
sebagai orang yang hutangnya lebih besar dari hartanya. Sedangkan secara
terminologi ahli fiqh, At-taflis (penetapan pailit) didefinisikan oleh para
ulama dengan : ”Keputusan hakim yang melarang seseorang bertindak
hukum atas hartanya” larangan itu dijatuhkan karena ia terlibat hutang
yang meliputi atau bahkan melebihi seluruh hartanya.
Nasabah yang dinyatakan pailit maka terjadilah sita umum atas
harta kekayaannya untuk kemudian berada pada kekuasaan kurator yang
bertugas untuk membereskannya sekaligus membayarkan piutang bank.8
Putusan pailit dari pengadilan membuat debitor tidak dapat menguasai,
6
Ekonomi Syariah adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang perorangan,
kelompokorang, badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum dalam rangka memenuhi
kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak komersial menurut prinsip syariah
7
Abdullah bin Abdurrahma Al Bassam. Syariah Bulughul Maram, (Jakarta: Pustaka
Azzam, Cetakan Pertama, 2006), h. 504.
8
Lihat pasal 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
mengelola, baik menjual ataupun menggadaikan hartanya.9 Dalam konsep
hukum Islam menjual harta debitur juga dijelaskan secara rinci, salah
satunya menurut pandangan imam Syafii, beliau membolehkan kreditur
menjual harta debitur guna membayar semua utang-utangnya.
Sebagaimana halnya pada bank konvensional, dalam menjalankan
usahanya bank syariah juga memiliki berbagai risiko seperti: risiko
pembiayaan (finance risk) pada bank konvensional disebut risiko kedit
(credit risk/default risk), risiko investasi (investment risk), risiko likuidasi
(liquidity risk), risiko operasional (operational risk), risiko penyelewengan
(fraud risk) dan risiko fidusia (fiduciary risk).5 Pada pembiayaan
misalnya, bank berada pada risiko yang diakibatkan oleh kegagalan atau
ketidakmampuan nasabah penerima pembiayaan mengembalikan jumlah
pembiayaan yang diterima dari bank beserta bagi hasil/margin sesuai
jangka waktu yang telah ditentukan atau dijadwalkan.10
Lembaga kepailitan di Indonesia sudah mulai diatur sejak zaman
Hindia Belanda. Dalam perkembangannya masalah kepailitan diatur dalam
peraturan pemerintah pengganti undang-undang No.1 tahun 1998 yakni
Undang-Undang No.4 tahun 1998, dan terakhir di atur dalam Undang-
Undang No. 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban
pembayaran utang, dalam Undang-Undang No.4 tahun 1998 maupun
Undang-Undang No.37 tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan
kewajiban pembayaran utang belum juga memenuhi perkembangan dan
kebutuhan hukum masyarakat Indonesia yang sebagian besar beragama
Islam karena dalam undang-undang tersebut belum adanya peraturan
tentang kepailitan berdasarkan sistem ekonomi syariah yang berbasis
kepada hukum Islam.11
Dalam transaksi ekonomi syariah, salah satunya adalah perbankan
syariah ketika salah satu pihak tidak dapat memenuhi apa yang menjadi
kewajibannya (debitur) maka pihak lainnya (kreditur) dapat mengajukan

9
Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis untuk perusahaan Teori dan contoh kasus, Cet. Ke 7 (Jakarta:
Kencana, 2014), h. 121.
10
Dadan Muttaqin dan Fakhrudin Cikman, penyelesaian sengketa Perbankan Syariah,
(Yogyakarta: total Media, 2008), h. 40.
11
penyelesaian sengketa Perbankan Syariah, (Yogyakarta: total Media, 2008), h. 3.
gugatan ke Pengadilan Agama untuk meminta pemenuhan apa yang
menjadi haknya berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006. Namun bagaimana halnya jika pihak yang dibebani kewajiban
tersebut (debitur) dalam transaksi ekonomi syariah mempunyai lebih dari
satu kreditur yang piutangnya telah jatuh tempo dan debitur berada dalam
keadaan berhenti membayar. Situasi seperti ini menurut Undang-Undang
No. 37 Tahun 2004 telah terpenuhi unsur kepailitan dan merupakan
kewenangan dari Pengadilan Niaga. Putusan dari sengketa perbankan
syariah yang akan saya teliti pada karya ilmiah ini adalah sengketa antara
PT Bank Syariah Mandiri dan Tn. Korlison Sijabat. PT Bank Syariah
Mandiri yang berkedudukan dalam hukum sebagai kreditor memohon
penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang ditunjukkan
kepada Korlison Sijabat ke Pengadilan Niaga Medan yang kemudian
dikabulkan pada tanggal 08 April 2015 dengan putusan “No.01/Pdt-Sus-
PKPU/2015/PN Niaga Mdn”.
Hubungan hukum diantara pemohon dan termohon saat Korlison
Sijabat Bertindak atas nama orang perorangan menandatangani
pembiayaan. Bahwa termohon PKPU telah mendapat fasilitas pembiayaan
Musyarakah untuk modal kerja usaha penjualan material bahan bangunan
sebesar Rp. 12.700.000.000,- (Dua belas milyar tujuh ratus juta Rupiah),
dan fasilitas pembiayaan Murabahah untuk pembelian material penjualan
bahan bangunan sebesar Rp. 7.984.393.411,- (Tujuh milyar sembilan ratus
delapan puluh empat juta tiga ratus Sembilan puluh tiga ribu empat ratus
sebelas Rupiah), sehingga jumlah keseluruhan fasilitas pembiayan
Pemohon PKPU kepada Termohon PKPU adalah sebesar Rp.
20.684.393.411,- (Dua puluh milyar enam ratus enam ratus delapan puluh
empat juta tiga ratus Sembilan puluh tiga ratus Sembilan puluh tiga ribu
empat ratus sebelas Rupiah). Gugatan yang diajukan pemohon penundaan
kewajiban pembayaran utang (PKPU) dikarenakan pailit terhadap
termohon PKPU di Pengadilan Niaga Medan merupakan segketa
perbankan syariah dikarenakan transaksi keduanya dilakukan di salah satu
perbankan syariah di Indonesia dan transaksi yang terjadi diantara
keduanya berprinsip pada ketentuan prinsip syariah karena menggunakan
akad murabahah dan musyarakah. Terdapat fatwa-fatwa DSN-MUI yang
berkaitan dengan pembiayaan murabahah dan musyarakah yang memuat
tentang ketentuan pembiayaan guna menjamin pembiayaan yang tetap
sesuai dengan koridor yang telah ditentukan dalam hukum Islam, dan tentu
saja wajib dipertimbangkan dalam mengadili perkara kepailitan, yaitu:
1. Fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah;
2. Fatwa DSN No. 13/DSN-MUI/IX/2000 tentang Uang Muka Dalam
Murabahah;
3. Fatwa DSN No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Atas Nasabah
Mampu yang Menunda-Nunda Pembayaran;
4. Fatwa DSN No. 46/DSN-MUI/II/2005 tentang Potongan Tagihan
Murabahah (Khashm Fi Al-Murabahah);
5. Fatwa DSN No. 47/DSN-MUI/II/2005 tentang Penyelesaian Piutang
Murabahah Bagi Nasabah yang Tidak Mampu Membayar;
6. Fatwa DSN. No. 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadwalan
Kembali Tagihan Murabahah
7. Fatwa DSN No. 49/DSN-MUI/II/2005 tentang Konversi Akad
Murabahah;
8. Fatwa DSN No.08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan
Musyarakah
9. Fatwa DSN No.105/DN-MUI/X/2016 tentang Penjaminan
Pengembalian Modal Pembiayaan Mudharabah, Musyarakah, dan
Wakalah bil Istitsmar.
10. Fatwa DSN No.01/DSN-MUI/IX/2013 Tentang Pedoman
Implementasi Musyarakah Mutanaqisah dalam produk Pembiayaan
11. Fatwa DSN No.73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Musyarakah
Mutanaqishah
Dalam fatwa DSN No.17/DSN-MUI/IX/2000 yang membahas
tentang pembiayaan dan penundaan pembayaran utang dalam Murabahah
adalah: apabila nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan
menunda penyelesaian hutangnya. Jika nasabah menunda-nunda
pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan
kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase
Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Fatwa DSN No. 47/DSN-MUI/II/2005 tentang penyelesaian piutang
murabahah bagi nasabah yang tidak mampu membayar, pada bab pertama
fatwa ini memberikan solusi bagi nasabah yang tidak mampu membayar
yang telah disepakati dengan ketentuan:
1. Objek Murabahah atau jaminan dijual oelh nasabah kepada atau
melalui LKS dengan harga yang disepakati.
2. Nasabah melunasi sisa utangnya kepada LKS dari hasil penjualan
3. Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa utang maka LKS
mengembalikan sisanya kepada nasabah
4. Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa utag maka sisa utang tetap
menjadi utang nasabah
5. Apabila nasabah tidak mampu membayar sisa utangnya, maka LKS
dapat membebaskannya.
Fatwa DSN No.08/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan
musyarakah memutuskan pada ketentuan 3 point (d) bahwa kerugian harus
dibagi diantara para mitra secara proposional menurut saham masing-
masing dalam modal. Fatwa DSN No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentang
sanksi menunda-nunda pembayaran , dalam fatwa ini dijelaskan bawa
apabila nasabah dengan sengaja tidak membayar utang-utangnya padahal
ia mampu, maka nasabah berhak dihukum dengan memberikan denda atas
utangnya. Fatwa No.48/DSN-MUI/II/2005 tentang penjadwalan kembali
(rescheduling) tagihan murabahah, dalam fatwa ini rescheduling dapat
dilakukan bagi nasabah yang tidak mampu bayar dengan beberapa
ketentuan:
1. Tidak menambah jumlah tagihan yang tersisa
2. Pembebanan biaya dalam proses penjadwalan kembali adalah biaya
riil
3. Perpanjangan masa pembayaran harus berdasarkan kesepakatan kedua
belah pihak.
Proses peradilan hingga putusan dalam memutuskan perkara
kepailitan yang menggunakan akad musyarakah dan murabahah, melalui
permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang pada putusan
No.01/Pdt-Sus-PKPU/2015/PN Niaga Mdn tidak dapat diidentifikasi
adanya kesulitan Hakim Niaga karena semua proses tersebut dilandaskan
pada peraturan perundangundangan yang sama yaitu UU No.37 Tahun
2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang
(PKPU). UUKPKU No.37 Tahun 2004 mempertimbangkan 3 syarat
hingga akhirnya perkara ini diterima dan diputuskan di Pengadilan Niaga
Medan, yaitu:
1. Termohon memiliki utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih
(Pasal 222 ayat 2)
2. Pemohon memperkirakan bahwa termohon tidak dapat melanjutkan
membayar utangnya yang sudah jatuh tempo ( Pasal 222 ayat 3)
3. Termohon mempunyai lebih dari satu kreditor (Pasal 222 ayat 1)
Sebelum dinyatakan pailit oleh pihak pengadilan, nasabah
diberikantenggang waktu sesuai putusan agar dapat melunasi utang para
kerditor. Dan adanya konversi akad musyarakah menjadi musyarakah
mutanaqisah dalam putusan No.01/Pdt-Sus-PKPU/2015/PN Niaga Mdn.
Apabila syarat kepailitan sudah terpenuhi, dan termohon akhirnya
dinyatakan pailit dalam proses dipersidangan, maka kurator berhak
mengurus harta termohon sesuai dengan pasal 69 UUKPKPU guna
membayar utang-utang para kteditor.
Putusan No.01/Pdt-Sus-PKPU/2015/PN Niaga Mdn adalah bentuk
kerjasama antara debitor pailit dan kreditor adalah pembiayaan murabahah
dan musyarakah. Dalam peraturan perundang-undangan, lembaga
penyelesaian perkara perbankan syariah sendiri sudah diatur dalam Pasal
55 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, yaitu:
1. Penyelesaian sengketa Perbankan syari'ah dilakukan oleh Pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama;
2. Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa
selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa
dilakukan sesuai isi akad.
3. Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
boleh bertentangan dengan prinsip syariah.
Berdasarkan pengertiannya prinsip syariah adalah prinsip hukum
Islam dalam kegiatan perbankan yang berdasarkan pada fatwa yang
dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan
fatwa di bidang syari’ah.12 Prinsip syari’ah dalam kegiatan bank
difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia.13 Lebih jelas Peraturan Bank
Indonesia (PBI) No. 11/15/PBI/2009 menyebutkan bahwa, “Prinsip
Syari’ah adalah prinsip hokum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan pada fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syari’ah Nasional-
Majelis Ulama Indonesia.” Dengan demikian, di dalam memutuskan pailit
Pengadilan Niaga harus mempertimbangkan fatwa-fatwa DSN-MUI yang
berkaitan dengan pembiayaan murabahah dan musyarakah karena
menyangkut prinsip syariah itu sendiri.
Akan tetapi, dari pemaparan fatwa DSN diatas tidak adanya
penjelasan yang spesifik tetang tata cara penyelesaian perkara ekonomi
syariah, dan subjek hukum yang dinyatakan pailit, begitu juga dalam
kompilasi hukum ekonomi syariah (KHES) dan kompilasi hukum acara
ekonomi syariah (KHES). Perma No.2 tahun 2008 tentang KHES
menjelaskan pada Pasal 2 ayat (2) buku I, badan usaha yang berbadan
hukum atau tidak berbadan hukum, dapat melakukan perbuatan hukum
dalam hal tidak dinyatakan taflis/atau pailit berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam pasal ini
tidak dijelaskan syarat dan ketentuan badan hukum atau perorangan yang
dinyatakan jatuh pailit akan tetapi hanya menjelaskan subyek hukum
ekonomi syariah.
Pasal 5 ayat (2) buku I, dalam hal badan hukum terbukti tidak mampu
lagi berprestasi sehingga menghadapi kepailitan, atau tidak mampu
12
Pasal 1 angka 12 UU Perbankan Syariah.
13
Lihat pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankn Syariah.
membayar utang dan meminta pemohon penundaan kewajiban
pembayaran utang, maka pengadilan dapat menetapkan kurator atau
pengurus bagi badan hukum tersebut atas permohonan pihak yang
berkepentingan. Peraturan Mahkamah agung No.14 Tahun 2016 tentang
tatat cara penyelesaian sengketa ekonomi syariah yang tertuang dalam
KHAES, setelah melalui dua kali pembahasan terbentuklah rancangan
Perma akhirnya pada 21 Desember 2016 Perma tentang tata cara
penyelesaian perkara ekonomi syariah disetujui dengan menunda satu
pasal yaitu taflis/kepailitan.14 Hal ini menjelaskan bahwa belum adanya
kepastian hukum yang mengatur tentang penyelesaian kepailitan dalam
bidang ekonomi syariah termasuk didalammnya perkara kepailitan
perbankan syariah. Sedangkan pembahasan mengenai penyelesaian
kepailitan dalam Islam bukan merupakan perkara yang baru lagi,oleh
karena itu penulis mencoba menjelaskan prinsip syariah yang terkandung
dalam kitab-kitab fiqih yang selaras dengan prinsip ekonomi Islam dalam
penyelesaian perkara kepailitan. Atas dasar inilah penulis tertarik untuk
menelaah lebih dalam melalui karya ilmiah berupa tesis yang berjudul
PENYELESAIAN KEPAILITAN PERBANKAN SYARIAH DI
PENGADILAN NIAGA SERTA PENINJAUANNYA DALAM
PERSPEKTIF EKONOMI SYARIAH DI INDONESIA (Analisis
Putusan Nomor : 01/Pdt-Sus PKPU/2015/PN Niaga Mdn)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah


Berkaitan dengan hal tersebut diatas maka penulis membatasi
hanya terhadap putusan hakim dalam perkara ekonomi syariah putusan
Nomor : 01/Pdt-Sus PKPU/2015/PN Niaga Mdn.
Penelitian ini pun akan difokuskan pada beberapa masalah yang akan
dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah Pengadilan Niaga berwenang dalam menyelesaikan perkara
kepailitan perbankan syariah?
2. Apakah proses pengurusan dan atau pemberesan harta debitor pailit

14
Ahmad Safrudi dan ahmad Satiri, Teknik Penyelesaian Perkara, h. 318.
sudah berdasarkan prinsip syariah?
3. Apakah pertimbangan hukum dalam perkara nomor Nomor : 01/Pdt-
Sus PKPU/2015/PN Niaga Mdn telah sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah?
4. Bagaimanakah pertimbangan hukum putusan Nomor : 01/Pdt-Sus
PKPU/2015/PN Niaga Mdn dalam menyelesaikan perkara kepailitan
perbankan syariah?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas maka penelitian ini bertujuan
untuk:
1. Mengetahui Pengadilan Niaga berwenang dalam menyelesaikan
perkara kepailitan perbankan syariah.
2. Mengetahui proses pengurusan dan atau pemberesan harta debitor
pailit yang sesuai prinsip syariah.
3. Mengetahui pertimbangan hukum dalam perkara nomor Nomor :
01/Pdt-Sus PKPU/2015/PN Niaga Mdn telah sesuai dengan prinsip-
prinsip syariah?
4. Mengetahui pertimbangan hukum putusan Nomor : 01/Pdt-Sus
PKPU/2015/PN Niaga Mdn dalam menyelesaikan perkara kepailitan
perbankan syariah?

D. Hasil Penelitian
Kepailitan dan PKPU dalam perspektif hukum perdata di

Indonesia

Pada bulan Juli 1997 terjadi krisis moneter di Indonesia yang diawali

dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar AS. Hal

itu mengakibatkan utang-utang para pengusaha Indonesia dalam valuta

asing terutama terhadap kreditor luar negeri menjadi membengkak,

sehingga mengakibatkan banyak debitor yang tidak mampu membayar

utang-utangnya. Disamping itu, kredit macet di perbankan dalam negeri


juga makin membumbung tinggi luar biasa. Mengingat upaya

restrukturisasi utang masih belum dapat diharapkan akan berhasil baik

sedangkan upaya melalui kepailitan dengan menggunakan Faillissements

Verordening yang berlaku sangat lambat prosesnya, maka para kreditor

khususnya kreditor luar negeri menghendaki agar peraturan kepailitan

Indonesia yaitu Faillissements Verordening secepatnya diganti atau

diubah. IMF sebagai pemberi utang berpendapat bahwa disamping upaya

penyelesaian kredit-kredit macet perbankan Indonesia, upaya mengatasi

krisis moneter Indonesia juga tidak terlepas dari keharusan penyelesaian

utang-utang luar negeri dari pengusaha Indonesia,. Oleh karena itu IMF

mendesak pemerintah, agar segera mengubah peraturan kepailitan yang

6
berlaku yaitu Faillissements Verordening.

Sebagai hasil desakan IMF tersebut, akhirnya pemerintah

menerbitkan Perpu Nomor 1 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-

Undang tentang Kepailitan yang menambah dan mengubah peraturan

kepailitan sebelumnya yaitu Faillissements Verordening. Setelah

diterbitkannya Perpu kepailitan pada tanggal 22 April 1998, maka 5 bulan

kemudian Perpu kepailitan diajukan ke DPR dan pada tanggal 9

September 1998 Perpu tersebut disahkan menjadi Undang-Undang

Nomor 4 tahun 1998 dan sekarang berubah menjadi UU Nomor 37 tahun

2004.

Pengaturan secara khusus tentang kepailitan di Indonesia, diatur dalam

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Dalam UU Kepailitan

disebutkan dalam pasal 1 ayat (1), kepailitan adalah sita umum atas

kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan

oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur

dalam undang-undang. Pengertian pailit yang disebutkan dalam Pasal 1

Angka 1 UUK memberikan rumusan bahwa pernyataan pailit merupakan

suatu putusan pengadilan, ini menunjukkan bahwa sebelum adanya

putusan pernyataan pailit oleh pengadilan, seorang debitor tidak dapat

dinyatakan dalam keadaan pailit. Setelah adanya pengumuman putusan

pailit maka berlakulah ketentuan pasal 1131 KUH Perdata.

Hukum kepailitan yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 37 tahun

2004 menganut prinsip persaingan usaha dimana undang-undang tidak

memandang keadaan debitor itu solven atau insolven, asalkan memenuhi

beberapa persyaratan yaitu debitor yang mempunyai dua atau lebih

kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh

waktu dan dapat ditagih, maka keadaan itu secara kumulatif dapat

dinyatakan pailit oleh Hakim Niaga. Oleh karena perkara kepailitan dan

PKPU ini bersifat voluntair, maka target penyelesaian perkara

diminimalisir waktunya, hal ini bertujuan untuk memperlancar prinsip

persaingan usaha dan bisnis yang sedang berlangsung.

Sedangkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

merupakan alternatif penyelesaian utang untuk menghindari kepailitan.

Menurut Munir Fuady Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

ini adalah suatu periode waktu tertentu yang diberikan oleh undang-

undang melalui putusan Pengadilan Niaga, dimana dalam periode waktu


tersebut kepada kreditor dan debitor diberikan kesepakatan untuk

memusyawarahkan cara-cara pembayaran utang-utangnya dengan

memberikan rencana perdamaian (composition plan) terhadap seluruh

atau sebagian utangnya itu, termasuk apabila perlu merestrukturisasi

utangnya tersebut. Dengan demikian Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang (PKPU) merupakan semacam moratorium atau dikenal dengan

legal moratorium.

Permohonan PKPU dapat diajukan oleh kreditor maupun debitor kepada

Pengadilan Niaga. Permohonan PKPU dapat diajukan sebelum ada

permohonan pailit yang diajukan oleh debitor maupun kreditor atau dapat

juga diajukan setelah adanya permohonan pailit asal diajukan paling

lambat pada saat sidang pertama pemeriksaan permohonan pernyataan

pailit. Namun jika permohonan pailit dan PKPU diajukan pada saat yang

bersamaan maka permohonan PKPU yang akan diperiksa terlebih dahulu.

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dibedakan bahwa dalam

kepailitan, harta debitor akan digunakan untuk membayar semua utang-

utangnya yang sudah dicocokkan, sedangkan dalam PKPU, harta debitor

akan dikelola sehingga menghasilkan dan dapat digunakan untuk

membayar utang-utang debitor.

Mengenai persinggungan kewenangan yang terjadi antara Pengadilan

Niaga dan Pengadilan Agama dalam memeriksa dan mengadili perkara

kepailitan dan PKPU pada lembaga keuangan syariah sebenarnya terletak

pada ranah tercampurnya wilayah hukum perdata umum (konvensional)

ke ranah hukum perdata khusus yang menggunakan prinsip hukum

ekonomi syariah, akibatnya ekspansi penerapan hukum perdata umum ke


wilayah hukum ekonomi syariah menimbulkan unsur ketidakpastian

hukum. Selama ini, kepailitan yang diterapkan adalah dalam perspektif

umum yaitu semua individu atau koorporasi yang mengalami kepailitan

sehingga tidak membedakan apakah kepailitan itu konvensional ataukah

diikat dengan akad-akad ekonomi syariah dalam kontraknya. Sedangkan

dalam perspektif hukum ekonomi syariah itu sendiri, kepailitan yang

terjadi pada lembaga keuangan syariah ataupun individu yang melakukan

perjanjian dengan akad ekonomi syariah dipandang sebagai bagian dari

bentuk “sengketa” yang menjadi yurisdiksi Pengadilan Agama dalam

pengertian umum pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2006 tentang Peradilan Agama. Mengutip pendapatnya M. Natsir Asnawi

bahwa sepanjang tidak dijelaskan detail atau rinciannya maka pemaknaan

kata “sengketa” harus tetap dalam pemaknaan secara umum yaitu

melingkupi segala bentuk sengketa yang telah dan mungkin terjadi dalam

bidang ekonomi syariah.

Di sisi lain, persinggungan kewenangan itu juga terjadi akibat perluasan

kompetensi Pengadilan Agama ke ranah hukum publik dalam konteks

hukum ekonomi syariah. Asas personalitas keislaman bukan lagi

difahami sebagai individu muslim an sich, namun sudah ditafsiri sebagai

personalitas non-muslim atau badan hukum konvensional yang dengan

suka rela menundukkan dirinya dan mengikatkan perjanjian kontraknya

berdasarkan akad-akad ekonomi syariah.

Perluasan kompetensi Pengadilan Agama ke ranah hukum ekonomi

syariah telah menembus batas wilayah hukum perdata umum yang selama

ini masih menjadi hukum panutan bagi masyarakat Indonesia sehingga


potensi tercampurnya wilayah hukum perdata umum dengan hukum

ekonomi syariah semakin terlihat jelas.

Dengan demikian, maka titik singgung mengadili dalam perkara

kepailitan dan PKPU pada lembaga keuangan syariah terletak pada

terjadinya persentuhan kewenangan antara Pengadilan Niaga dan

Pengadilan Agama, dimana dalam Undang-Undang Nomor 37 tahun

2004 mengharuskan penyelesaian perkara kepailitan dan PKPU diputus

oleh Pengadilan Niaga dengan tidak membedakan antara kepailitan pada

lembaga keuangan konvensional dengan lembaga keuangan syariah,

sedangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006

mengamanatkan penyelesaian sengketa ekonomi syariah kepada

Pengadilan Agama dan frasa kata sengketa ekonomi syariah dalam

Undang-Undang dimaksud adalah segala jenis sengketa keperdataan

lainnya dalam lapangan ekonomi syariah, termasuk dalam hal ini

sengketa kepailitan dan PKPU berdasarkan akad syariah.

Kesimpulan/Rekomendasi

Perkara kepailitan dan PKPU yang lahir berdasarkan akad syariah adalah

mutlak menjadi kompetensi Pengadilan Agama. Hal ini didasarkan pada

dua argumentasi yaitu lex specialist dan teori kewenangan. Keberadaan

PERMA no 2 tahun 2008 mengesampingkan ketentuan UU Kepailitan

yang norma hukumnya belum menjangkau subtansi hukum ekonomi

syariah. Berdasarkan teori kewenangan jelas adanya batas kewenangan

mengadili. UU Kepailitan hanya berkompetensi mengadili perkara

kepailitan dan PKPU pada lembaga keuangan konvensional sedangkan


UU Peradilan Agama mengadili segala sengketa ekonomi syariah

termasuk kepailitan dan PKPU pada lembaga keuangan syariah.

Penulis merekomendasikan, agar UU Kepailitan sekarang direvisi dengan

memasukan konten kepailitan syariah dan menunjuk Pengadilan Agama

sebagai yudex pactie-nya. Untuk jangka pendek, MA membentuk

Pengadilan Koneksitas dimana hakim-hakim Pengadilan Agama yang

memiliki sertifikasi ekonomi syariah ditempatkan dalam majelis yang

menangani perkara kepailitan dan PKPU berdasarkan akad ekonomi

syariah.

Anda mungkin juga menyukai