Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia dalam menjalani kehidupan di muka bumi ini tentunya tidak
terlepas dari kepentingan. Kepentingan disini diartikan sebagai suatu tuntutan
perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. Dalam rangka
pemenuhan dan melindungi kepentingan tersebut, manusia melakukan
kerjasama dengan manusia lain untuk memudahkan mewujudkannya.
Mengingat akan banyaknya kepentingan tadi maka tidak mustahil akan terjadi
konflik atau bentrokan antara sesama manusia karena kepentingannya saling
bertentangan. Selama tidak ada kepentingan manusia “conflict of human
interest” atau selama kepentingan manusia tidak dilanggar, maka tidak akan ada
yang mempersoalkan siapa yang benar dan siapa yang salah.1
Perlindungan dan pelaksanaan dari kepentingan itu dapat tercapai dengan
terciptanya pedoman atau aturan hidup yang menentukan bagaimana manusia
harus bertingkah laku dalam masyarakat sehingga tidak merugikan orang lain.
Pedoman atau aturan ini disebut norma atau yang kemudian diimplementasikan
sebagai hukum. Hukum selanjutnya mengatur hak dan kewajiban yang lahir dari
orang-orang yang melakukan hubungan hukum, baik berupa hukum tertulis
maupun yang tidak tertulis. Hukum tertulis dan tidak tertulis ini tidaklah cukup
hanya untuk dibaca, dillihat, atau diketahui saja, melainkan untuk ditaati dan
dilaksanakan.
Pokok dari pengertian hukum yang dijelaskan oleh C.S.T. Kansil adalah
hukum merupakan sekumpulan peraturan-peraturan yang sifatnya memaksa,
dan menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yakni
peraturan-peraturan yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib. Hukum
mempunyai sifat memaksa dan mengatur, hukum merupakan peraturan-
peraturan hidup kemasyarakatan (yang disebut norma atau kaidah) yang dapat
memaksa orang untuk mentaati tata tertib dalam lingkungan masyarakat, serta
memberikan sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa yang tidak
mau mematuhi peraturan tersebut.2
Suatu perjanjian berawal dari suatu perbedaan atau ketidaksamaan
kepentingan diantara para pihak. Perumusan hubungan perjanjian tersebut pada
umumnya senantiasa diawali dengan proses negosiasi diantara para pihak.
Melalui negosiasi para pihak berupaya menciptakan bentuk-bentuk kesepakatan
1
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Edisi ke_4, Liberty, Yogyakarta, 1996, Hal. 3
2
C.S.T. Kansil dan Christine Kansil , Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta,2002, Hal. 3-4.
untuk saling mempertemukan sesuatu yang diinginkan (kepentingan) melalui
proses tawar menawar. 3 Secara yuridis, perjanjian adalah suatu peristiwa
dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.4
Akibat peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut
yang dinamakan perikatan. Perjanjian ini menerbitkan suatu perikatan antara
dua orang yang membuatnya. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang
melahirkan perikatan. Memang perikatan itu paling banyak lahir dari perjanjian,
tetapi ada juga perikatan yang lahir dari Undang-Undang. 5 Dalam bentuknya,
perjanjian itu berupa suatu rangkaian perikatan yang mengandung janji-janji
atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia
sebesar 4,67 persen pada kuartal II 2015, melambat dari periode yang sama
tahun lalu (year on year) mencapai 5,12 persen. Perekonomian nasional juga
melambat jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang tumbuh 4,71
persen secara tahunan. 6
Kondisi perlambatan ekonomi telah menyebabkan banyak perusahaan atau
pelaku usaha yang kesulitan menjalankan kegiatan usahanya. Ketika kegiatan
usaha tersebut sebagian ditopang oleh dana pinjaman dari lembaga keuangan
(bank) ataupun kerja sama dengan pihak lainnya (supplier), perlambatan
ekonomi dapat mengakibatkan perusahaan kesulitan keuangan sehingga tidak
dapat memenuhi kewajibannya mengembalikan dana pinjaman kepada lembaga
keuangan (bank) ataupun tidak dapat memenuhi pembayaran kepada
suppliernya.
Dalam kondisi demikian, tidak tertutup kemungkinan terjadi benturan
kepentingan antara debitor dan kreditor yang jika tidak dapat diselesaikan
dengan baik akan menjadi sengketa mengenai utang piutang. Menurut Yahya
Harahap, benturan kepentingan dimaksud terjadi karena, di satu sisi kreditor
menghendaki agar pelaksanaan perjanjian diusahakan dengan sempurna secara
sukarela sesuai isi ketentuan perjanjian, namun di sisi lain adakalanya debitor

3
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Azas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, cet. 1.,
(Yogyakarta : Laksbang Mediatama, 2008), Hal. 1.

4
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, cet. 1., (Bandung : Mandar Maju, 2000), Hal. 4

5
Subekti, Hukum Perjanjian, cet.12., (Jakarta : Intermasa, 1979), Hal.1.

6
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150805114222-92-70171/pertumbuhan-ekonomi-
indonesia-melambat-ke-level-467-persen/, diakses pada tanggal 8 February 2016, Pukul 07.23 WIB.
ingkar dan tidak menepati pelaksanaannya, sehingga harus dipaksa
melaksanakan prestasi.7
Apabila pelaku usaha mengalami kesulitan keuangan yang dapat
mengakibatkan berhenti membayar utangnya, menurut Man S Sastrawidjaja
terdapat beberapa alternatif yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
permasalahan utang piutang antara debitor dengan kreditornya, yaitu :8
1. mengadakan perdamaian diluar pengadilan,
2. mengadakan perdamaian di dalam pengadilan (jika debitor di gugat secara
perdata),
3. mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU),
4. mengajukan perdamaian dalam PKPU,
5. mengajukan permohonan pailit, atau
6. mengajukan perdamaian dalam kepailitan.
Ema R Heryaman menyebutkan adanya alternatif lain untuk
menyelesaikan utang piutang selain melalui pengadilan (litigasi) seperti
alternatif- alternatif yang disebutkan di atas, yaitu melalui jalur alternatif
penyelesaian sengketa (alternative dispute resolution) seperti konsultasi,
negoisasi, mediasi, konsiliasi.9
Dari alternatif-alternatif tersebut, menurut Man S Sastrawidjaja yang
harus disosialisasikan sebagai jalan keluar mengatasi utang piutang yang harus
didahulukan adalah PKPU karena terdapat fungsi mendidik sehingga tepat jika
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU) diharapkan berperan sebagai
sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat, yaitu agar memiliki
kesadaran yang tinggi untuk menyelesaikan utang-utangnya dan mematuhi
dengan konsekuen serta konsisten terhadap kesepakatan-kesepakatan yang telah
dibuatnya.10

7
M Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung, Alumni, 1986, Hal. 58.

8
Man S Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung,
Alumni, 2014, Hal. 202

9
Ema R Heryaman, “Penyelesaian Utang Piutang Melalui PKPU Dalam Kaitannya Dengan Asas
Kelangsungan Usaha” dalam An An Chandrawulan & et al (ed), Kompilasi Hukum Bisnis, Bandung,
Keni Media, 2012, Hal. 490.

10
Man S Sastrawidjaja, Op cit, hlm. 204.
Dalam kaitan tersebut, Ema R Heryaman menambahkan bahwa PKPU
layak didahulukan dibandingkan alternatif lainnya karena adanya asas
kelangsungan usaha yang dianut UUKPKPU. Asas tersebut dinilai sangat
relevan mengingat dengan PKPU, debitor diberikan keringanan dalam berbagai
cara agar dapat melakukan pembayaran utang tanpa perlu melalui proses
kepailitan meskipun dalam pengaturan dan praktiknya terdapat kemungkinan
debitor dalam PKPU dinyatakan pailit.11
Pengaturan mengenai PKPU terdapat dalam UUKPKPU yang merupakan
pengganti dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan
(UUK). Menurut penjelasan umum UUKPKPU, salah satu pertimbangan
perlunya pengaturan kepailitan dan PKPU yaitu untuk menghindari adanya
kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara
menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau
keditor lainnya.
Memperhatikan tujuan pengaturan yang tercantum dalam penjelasan
umum UUKPKPU tersebut, menurut Man S Sastrawidjaja UUKPKPU
berfungsi untuk melindungi baik kepentingan kreditor maupun kepentingan
debitor. Perlindungan kepentingan kreditor yang diatur UUKPKPU memberikan
jaminan dan perlindungan hak-hak kreditor oleh UUKPKPU karena dapat
mencegah perbuatan-perbuatan debitor yang merugikan kreditor (para kreditor).
Sementara itu kepentingan debitor juga tetap terlindungi karena adanya
perlindungan atas hak-hak yang dimiliki debitor untuk menghindari perbuatan
main hakim sendiri yang mungkin dilakukan oleh kreditor (para kreditor)
ataupun perebutan harta debitor oleh kreditor (para kreditor), dan
dimungkinkannya debitor mengajukan perdamaian atau upaya hukum.12
Menurut Fred BG Tumbuan, PKPU adalah suatu cara untuk menghindari
kepailitan yang lazimnya bermuara dalam likuidasi harta kekayaan debitor.
Khususnya dalam hal perusahaan, penundaan kewajiban pembayaran utang
bertujuan memperbaiki keadaan ekonomi dan kemampuan debitor untuk
membuat laba, maka dengan cara seperti ini kemungkinan besar debitor dapat
membayar utangnya.13
Putusan pernyataan pailit mengakibatkan harta kekayaan debitor
dimasukkan dalam harta pailit sejak putusan tersebut dikeluarkan. Undang
11
Ema R Heryaman, Op cit, hlm. 492.

12
Man S Satrawidjaja, Op cit, Hal. 72.

13
Fred BG Tumbuan, “Ciri-ciri Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sebagaimana Dimaksud
Dalam Undang-Undang Tentang Kepailitan” dalam Rudy A Lontoh & et. al (ed), Penyelesaian Utang
Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung, Alumni, Hal. 243.
undang kepailitan tidak memberi ketentuan yang eksplisit mengenai berubahnya
status harta debitor menjadi harta pailit setelah adanya putusan pernyataan
pailit. Hal itu hanya tersirat dari ketentuan-ketentuan dalam undang-undang
kepailitan. Istilah harta pailit dipakai dalam berbagai pasal undang-undang
kepailitan.14
Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan
pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama
kepailitan (Pasal 21 UU Nomor 37 Tahun 2004). Ada dua macam harta debitor
yang tidak termasuk harta pailit. Harta tersebut adalah harta debitor yang
dimaksudkan dalam Pasal 21 UU Nomor 37 Tahun 2004 dan harta bukan milik
debitor.15 Selain dua macam tersebut, juga tidak termasuk harta pailit adalah
harta debitor yang telah menjadi jaminan hutang kreditor separatis. Harta yang
bukan milik debitor tetapi berada dalam pengawasannya, antara lain harta
dengan kontrak pinjam pakai, titipan, sewa menyewa, leasing, jaminan fidusia,
hak retensi, atau hak retensi kepemilikan.16 Pengurusan harta pailit dilakukan
oleh kurator yang ditetapkan dalam putusan pernyataan pailit tersebut.
Pelaksanaan pengurusan harta pailit oleh kurator bersifat seketika, berlaku saat
itu juga terhitung sejak putusan pailit diucapkan.17
Dalam melakukan pengurusan harta pailit, kurator dengan persetujuan
hakim pengawas dapat meminta penyegelan harta pailit kepada pengadilan.
Penyegelannya dilakukan oleh jurusita dan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi
yang salah satunya wakil dari pemerintah daerah setempat (Pasal 100 ayat (1)
dan 20 UUKPKPU. Salah satu tugas kurator dalam melakukan pengurusan harta
pailit adalah penjualan harta tersebut. UUKPKPU dalam Pasal 185
mengintrodusir dua cara penjualan harta pailit (aset-aset debitor), menjual
didepan umum dimaksudkan dibawah tangan dengan izin hakim pengawas.
Menjual didepan umum dimaksudkan bahwa penjualannya dilakukan oleh
kantor lelang dalam hal ini pejabat lelang. Sedangkan menjual dibawah tangan
dapat dengan berbagai cara antara lain lewat negosiasi, tender bebas atau tender
terbatas, iklan disurat kabar, pemakaian agen penjualan profesional. 18
Penjualan dibawah tangan harta pailit merupakan penjualan tanpa
terlibatnya pejabat kantor lelang. Penjualan harta pailit oleh kurator dapat
14
Sutan Remy Sjahdeni, Hukum Kepalitan, Memahami Failissemenet Verordening Junto Undang-undang
Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailtan, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 2008, Hal. 197.

15
Munir Fuady, Hukum Pailit, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2005, Hal. 149.

16
Op. Cit.. Hal. 150.

17
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Kepailitan, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 199, Hal. 62.
18
Op. Cit.. Hal. 54-56
terjadi karena alasan bahwa hasil penjualan tersebut untuk menutupi ongkos
kepailitan, penahanan barang mengakibatkan kerugian, harta pailit tersebut
tidak diperlukan untuk kelangsungan usaha debitor. Penjualan harta pailit oleh
kurator juga dapat terjadi karena penjualan tersebut dalam masa penangguhan
pelelangan jaminan hutang atau penjualan tersebut dalam rangka pemberesan
harta pailit.
Sedangkan pada dasarnya penjualan harta pailit harus dilakukan secara
penjualan lelang. Salah satu dasar hukumnya lelang Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
Dalam Pasal 1 angka 1, karena penjualan dibawah tangan tidak diatur jelas
dalam UUKPKPU maupun di Undang-Undang lain dalam hal tata cara
penjualan dibawah tangan itu sendiri, dalam hal ini Peneliti mengambil studi
kasus pada proses kepailitan yang terjadi pada PT Karya Cipta Putera Persada.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut diatas, peneliti tertarik untuk
meneliti lebih lanjut mengenai “Tinjauan Yuridis Mengenai Penjualan Dibawah
Tangan Harta Pailit”.
1.2 Perumusan Masalah
Perumusan masalah yang akan dibahas dalam tesis ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah ketentuan mengenai tata cara penjualan di bawah tangan
dalam hal penyelesaian permasalahan harta pailit?
2. Bagaimanakah upaya hukum yang ideal dalam menyelesaikan permasalahan
harta pailit ?
1.3 Pembatasan Masalah
Peneliti akan melakukan pembatasan masalah yang diteliti dalam
penelitian ini dalam ruang lingkup hukum perdata dengan mengacu kepada
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Pembatasan masalah ini
bertujuan agar peneliti dapat lebih fokus dalam menganalisis topik penelitian
ilmiah sehingga pembaca mengerti maksud yang ingin disampaikan oleh
peneliti.
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian Peneliti adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui ketentuan mengenai tata cara penjualan di bawah tangan
dalam hal penyelesaian permasalahan harta pailit.
2. Untuk mengetahui upaya hukum yang ideal dalam menyelesaikan
permasalahan harta pailit.

1.5 Metode
Metode Pendekatan Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan
metode pendekatan yuridis normatif yaitu metode pendekatan dengan
menggunakan kaidah-kaidah hukum yang berhubungan dengan hukum
kepailitan, jaminan dan keperdataan. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi penelitian
deskriptif analitis yaitu melukiskan fakta-fakta yang berupa data sekunder yang
berhubungan dengan hukum kepailitan, karena dengan data sekunder akan lebih
memungkinkan peneliti untuk memilih data-data atau informasi yang relevan
untuk mendukung penelitian. Sedangkan untuk memperkuat penelitian, peneliti
juga menggunakan data primer yang diperoleh dengan mewawancarai salah satu
kurator.
Tahapan Berdasarkan hal di atas, maka penelitian yang dilakukan ini
lebih mengutamakan pada tahapan penelitian berupa penelaahan kepustakaan
yaitu mencari sumber-sumber bahan penelitian yang berasal dari bahan-bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tertier. Bahan
hukum primer terdiri dari Peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan kepailitan yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sedangkan
Keperdataan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Bahan hukum sekunder
yang memberikan penjelasan menganai bahan hukum primer yaitu hasil-hasil
penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan seterusnya. Sedangkan bahan
hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder yaitu kamus hukum.
Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data Selain itu, dalam penelitian
ini peneliti akan menggunakan teknik pengumpulan data berupa studi dokumen
dan kepustakaan yang berasal dari buku-buku yang berhubungan dengan
permasalahan, jurnal-jurnal, surat kabar, makalah, korespondensi dan dari
internet dengan menggunakan analisis data yuridis normatif kualitatif.
1.6 Sistematika Penelitian
Penyusunan tesis ini dilakukan dengan sistematika penelitian yang terdiri dari
lima bab, yaitu sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan
Merupakan bab pendahuluan yang menguraikan mengenai latar belakang
masalah dan penelitian, identifikasi masalah yang dilanjutkan dengan uraian
mengenai tujuan penelitian serta kegunaan penelitian ini. Untuk mendukung
hal-hal yang akan dibahas, Peneliti juga menguraikan kerangka pemikiran yang
berisi teori, pendapat serta dibandingkan dengan dasar hukum yang ada. Adapun
metode penelitian Peneliti cantumkan sebagai dasar pengolahan data yang
digunakan untuk penelitian ini. Sistematika penelitian dicantumkan guna
memudahkan poin-poin yang akan dibahas dalam penelitian ini.
BAB II Kepailitan dan Upaya Hukum Penyelesaiannya
Dalam bab kedua ini peneliti akan menjelaskan mengenai tinjuan umum
mengenai kepailitan dan upaya hukum yang ideal dalam proses penyelesaian
kasus kepailitan, dalam hal ini upaya hukum yang dapat dilakukan oleh kreditor
dan debitor oleh tindakan kurator yang melakukan jual beli di bawah tangan
beserta ringkasan analisa terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
BAB III Penjualan di Bawah Tangan dan Lelang
Dalam bab ini akan menjelaskan mengenai tinjuan umum penjualan dibawah
tangan yakni peraturan perundang-undangan yang terkait penyelesaian harta
pailit. Selain tinjuan umum mengenai penjualan dibawah tangan bab ini akan
menjelaskan bagaimana tata cara lelang pada penyelesaian harta pailit dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Aspek-aspek lain seperti
kelebihan dan kekurangan penjualan dibawah tangan dengan membandingkan
dengan ketentuan mengenai penjualan dengan proses lelang.
BAB IV Penutup
Bab ini merupakan bab terakhir dalam penelitian tesis ini yang berisi tentang
kesimpulan dan saran yang merupakan hasil dari pembahasan bab-bab
sebelumnya dan untuk menjawab permasalahan yang telah peneliti bahas.

Anda mungkin juga menyukai