Anda di halaman 1dari 10

“PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITOR KONKUREN DALAM PERKARA

KEPAILITAN DITINAJU DARI UNDANG UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004


TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG”

TUGAS METODOLOGI PENELITIAN ILMU HUKUM


Prof. Dr. Maria Sri Wulan Sumardjono, S.H., MCL., MPA.
Program Studi Magister Ilmu Hukum

Konsentrasi Hukum Bisnis

Diajukan oleh

Naskel Thiopulus Baharsyah Timotius

19/448170/PHK/10679

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS GADJAH MADA

KAMPUS JAKARTA

2020
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebelum terjadinya krisis moneter yang menimpa Indonesia pada tahun 1998,
pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat pesat, kurs rupiah cenderung relatif stabil. Demikian pula
iklim investasi baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing
(PMA) meningkat terus menerus. Stabilnya nilai rupiah ini membuat para investor dan pemerintah
selaku pihak yang berperan besar dalam pembangunan ekonomi cenderung mengabaikan pinjaman
terhadap mata uang asing khususnya Dollar Amerika Serikat. Dengan tidak adanya perlindungan
terhadap rupiah, belakangan membawa dampak yang kurang baik pada saat terjadinya resesi
ekonomi global pada tahun 1998.

Pada pertengahan tahun 1997 gejolak moneter yang terjadi di beberapa negara di Asia,
termasuk di Indonesia telah membawa pengaruh yang besar dalam berbagai sektor kehidupan
sosial di Indonesia. Seluruh tatanan kehidupan berbangsa telah terpengaruh oleh gejolak moneter
yang menimpa Indonesia yang kemudian berlanjut hingga tahun – tahun berikutnya.

Dalam bidang ekonomi gejolak moneter telah memporak – porandakan sendi – sendi
perekonomian. Dunia usaha merupakan dunia yang paling menderita dan mersakan dampak krisis
yang tengah melanda. Krisis ekonomi telah membawa pengaruh besar terutama kemampuan dunia
usaha untuk mempertahankan usahanya, bahkan termasuk kemampuan untuk memenuhi
kewajiban pembayaran utang mereka kepada para Kreditornya. 1
“Naiknya nilai tukar dollar
terhadap rupiah dengan sangat tinggi menyebabkan banyak perusahaan di Indonesia tidak mampu
membayar utangnya yang umumnya dilakukan dalam bentuk dollar. Akibatnya banyak perusahaan
di Indonesia mengalamai kebangkrutan.” 2 Demikian pula kegiatan produksi dan distribusi serta
kegiatan jasa yang mendukung dunia usaha ikut melemah. Hal inilah yang menimbulkan
permasalahan hukum jika produk untuk memberi kepastian dan perlindungan hukum bagi semua
pihak tidak lengkap dan sempurna

1
Bernadette Waluyo, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandar Maju,
Bandung, 1999, hal. V.
2
Bismar Nasution, Hukum Kepailitan di Indonesia, Buku Diktat Pegangan Mahasiswa Program Magister
Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2007, hal. 1.
Keadaan tersebut di atas memberikan gambaran bahwa berawal dari krisis moneter telah
mengakibatkan kesulitan ekonomi, yang selanjutnya menjadi krisis yang meluas ke pelbagai sektor
kehidupan sosial masyrakat di Indonesia. Lantas bagaimanakah peranan hukum untuk mengatasi
kesulitan ekonomi tersebut. Hal ini sesuai dengan teori Roscoe Pound yang menyatakan “law as
a tool of social engineering” yang berarti hukum sebagai alat pembangunan masyarakat. 3

Pemerintah menyadari sepenuhnya diperlukan suatu instrumen hukum untuk memfasilitasi


masalah utang piutang yang diperlukan oleh dunia usaha sebagai jaminan kepastian hukum
pembangunan hukum nasional, maka pemerintah melakukan perubahan – perubahan yakni yang
dengan salah satunya adalah melakukan revisi terhadap undang – undang kepailitan yang ada,
karena undang – undang kepailitan yang sebelumnya diatur dalam Faillissements Verordenening
Staatsblad 1905 : 217 jo. Staatsblad 1906 : 348 memiliki beberapa kelemahan.

Beberapa kelemahan yang teradapat dalam Faillissements Verordenening adalah tidak


jelasnya batas waktu yang diberikan untuk menyelesaikan kasus kepailitan. Akibatnya untuk
meyelesaikan kasus kepailitan dibutuhkan waktu yang sangat lama. Jangka waktu untuk
penyelesaian utang melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pun sangat lama. 4

Dari segi implementasi, Faillissements Verordenening tampaknya lebih banyak digunakan


oleh masyarakat golongan non pribumi karena Faillissements Verordenening tersebut memang
awalnya diperuntukkan bagi golongan Eropa dan Timur Asing kecuali golongan Bumi Putera
tersebut melakukan penundukan secara sukarela.

Sebelum tahun 1998, aturan hukum mengenai kepailitan di Indonesia tidak dapat
memberikan kepastian hukum. Pada kenyatannya aturan kepailitan tersebut hanya merupakan
surat mati. 5 Indonesia tidak memliki perangkat hukum yang sanggup mengakomodir kebutuhan
terkait kepailitan6. Faillissements Verordenening dianggap tidak memadai untuk mengatasi

3
Manahan M. P. Sitompul, Tesis, Syarat – Syarat Pernyataan Pailit Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang –
Undang Nomor 4 tahun 1998 dan Penerapannya Oleh Pengadilan Niaga, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2001,
hal. 1.
4
Erman Radjaguguk, Perkembangan Peraturan Kepailitan di Indonesia, sebagai bahan pelatihan Bankruptcy
Law, pada tanggal 8 Oktober 2002, yang diadakan atas kerja sama Universitas Indonesia, Universitas Sumatera Utara,
Universitas Gadjah Mada, dan University of South Carolina, hal. 2-3.
5
Soerjono Soekantor, “Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia”,
Cetakan Ke Tiga, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1983, hal. 118.
6
Bisnis.com, “Kepailitan di Indonesia”, Kamis 27 Maret 2003
keadaan, di mana Debitor yang mengalami kesulitan likuiditas tidak mampu lagi membayar
utangnya. 7

Untuk membantu kondisi perekonomian Indonesia, Internasional Monetary Fund (IMF)


memberi bantuan pinjaman lunak (soft loans) kepada pemerintah Indonesia. IMF beranggapan
kesuksesan pemulihan dan reformasi perkonomian di Indonesia tergantung sepenuhnya pada
reformasi sistem hukum. 8

Indonesia membutuhkan kepercayaan dunia internasional terhadap iklim bisnis di


Indonesia, dan di lain pihak para Kreditor asing membutuhkan suatu aturan hukum yang cepat dan
dapat memberikan kepastian bagi penyelesaian utang – piutang pada berbagai perusahaan
Indonesia yang sebenarnya berada dalam kondisi bangkrut. Apabila mengandalkan penyelesaian
utang – piutang berdasarkan peraturan yang lama maka akan memakan waktu yang lama, berbelit-
belit dan tidak menjamin kepastian hukum.

Untuk menjawab itu semua, Pemerintah Indonesia pada tanggal 22 April 1998
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang (“Perppu”) No. 1 Tahun 1998
yang mulai berlaku sejak tanggal 20 Agustus 1998 dan selanjutnya Perppu No.1 Tahun 1998
tersebut dikuatkan menjadi Undang – Undang Nomor 4 tahun 1998 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Adanya UUK-PKPU ini diharapkan bisa menggantikan dan menyempurnakan aturan


perundangan kepailitan produk colonial maupun nasional yang dianggap tidak sesuai lagi dengan
perkembangan hukum masyarakat. Dengan penegasan ini maka diharapkan secara sosiologis bisa
memulihkan dan menimbulkan kepercayaan investor dan masyarakat kepada pemerintah.
Sementara secara yuridis memberikan kepastian dan kejelasan sebagai landasan hukum yang kuat
serta memberikan motivasi kuat pada hakim, panitera, advokat, kurator dan pengurus untuk
meningkatkan profesionalismenya. 9

Berdasarkan Pasal 1 angka (1) jo. Pasal 24 ayat (1) UUK-PKPU, kepailitan pada intinya
merupakan suatu sitaan secara menyeluruh (alagemen beslag) atas segala harta benda dari si

7
Jerry Hoff, “Undang – Undang Kepailitan di Indonesia”, Tatanusa, Jakarta, 2000, hal.2.
8
John T. Dori, Indoensia’s Economic and Political Crisis : A Chalenge for U.S Leadership in Asia (1998), hal. 3
9
Esther Roseline, “Efektivitas Dalam Mencegah Kepalilitan”, http://www.hukumonline.com/
klinik_detail.asp?id=1746-html
Debitor Pailit10. Sitaan secara umum ini dilakukan atas semua harta benda daripada si Pailit untuk
11
kepentingan untuk semua Kreditornya. Sebagai upaya penyelesaian kewajiban pembayaran
utang. Prinsip structured creditors di dalam kepailitan membagi tiga jenis Kreditor, yaitu: Kreditor
Separatis, Kreditor Preferen dan Kreditor Konkuren.

Prinsip dasar hukum kepailitan berdasarkan pada ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang –
Undang Hukum Perdata (“KUHPer”). Pasal ini menyatakan bahwa segala barang – barang
bergerak dan tak begerak milik Debitor, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi
jaminan untuk perikatan – perikatan perorangan Debitor itu.

Tanggung jawab Debitor berdasarkan Pasal 1131 KUHPer inilah yang kemudian bermuara
pada lembaga kepailitan karena dalam lembaga kepailitan sebenarnya mengatur bagaimanakah
halnya jika seorang Debitor tidak dapat membayar utang – utangnya serta bagaimanakah
pertanggungjawaban Debitor tersebut, dalam kewenangannya dengan harta kekayaan yang masih
atau akan dimilikinya.

Faktor – faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban


pembayaran utang adalah yang Pertama, untuk menghindari perebutan harta Debitor apabila dalam
waktu yang bersamaan ada beberapa Kreditor yang menagih piutangnya kepada Debitor. Kedua,
untuk menghindari adanya Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya
dengan cara menjual barang Debitor pailit tanpa memperdulikan kepentingan Debitor dan/atau
Kreditor lainnya. Ketiga, untuk menghindari adanya kecurangan – kecurangan yang dilakukan
oleh salah seorang Kreditor atau Debitor itu sendiri.

Berdasarkan alasan tersebut, timbullah lembaga kepailitan yang mengatur tata cara yang
adil mengenai pembayaran tagihan – tagihan Para Kreditor.12

Meskipun UUK-PKPU diundangkan pada dasarnya untuk memperbaiki praktik kepailitan


di Indonesia, akan tetapi dalam praktiknya terdapat banyak permasalahan termasuk di dalamnya
masalah perlindungan konsumen. Tahun 2012, PT Telkomsel pernah dipailitkan meski putusan

10
Sudargo Gautama, “ Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru untuk Indonesia “, Citra Aditya Bhakti,
Bandung, 1998, hal. 3-4.
11
Adrian Sutedi, “Hukum Kepailitan”, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 24.
12
Kristiyani, “Kajian Yuridis atasPutusan Kepailitan Koperasi di Indonesia (Studi kasus Putusan Nomor :
01/Pailit/2008/Pengadilan Negeri Semarang)” Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Semarang, Semarang, 2008, hal. 22.
tersebut dibatalkan akan tetapi sempat membuat 112 juta pelanggannya menjadi resah13. Satu
tahun kemudian, ribuan konsumen maskapai penerbangan Batavia tertunda keberangkatannya
akibat perusahaan diputus pailit.14 Kemudian tahun 2014, putusan pailit terhadap PT Safir Mitra
Sejahtera, telah menyebabkan konsumen Rusunami Kemanggisan Residence hanya mendapatkan
ganti rugi sebanyak 15% padahal sudah membayar secara lunas15. Mei 2017, tiga kurator ditangkap
karena telah melakukan pencucian uang terkait harta pailit milik PT Asuransi Jiwa Bumi Asih
Jaya. Perbuatan para kurator ini tentu merugikan bagi konsumen karena mengurangi harta pailit 16.

Terlebih UUK-PKPU saat ini sangat mudah untuk memproses kepailitan. Pasal 8 ayat (4)
UUK-PKPU menyatakan bahwa permohonan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau
keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU telah terpenuhi. 17

Meskipun peraturan mengenai kepailitan sudah cukup lama ada dan di kenal di Indonesia,
namun pengaturannya belum memberikan keadilan dan keseimbangan bagi Kreditor dan juga
Debitor. Padahal sesuai tujuannya, hukum haruslah berusaha memberikan keadilan dan
keseimbangan. Oleh karena itu, walaupun tujuan dari penelitian ini hendak meneliti tentang
perlindungan hukum Kreditor, maka yang perlu diperhatikan adalah apakah perlindungan hukum
tersebut telah diberikan dalam proporsinya menurut keseimbangan yang pantas dan adil agar harta
Debitor pailit dapat digunakan untuk membayar kembali seluruh utang – utangnya kepada Para
Kreditornya secara adil, merata dan berimbang.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian – uraian tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam
tulisan ini yang perlu mendapat kajian lebih lanjut adalah :

13
Hanni sofia, 21 September 2012, “Ujian Pailit Bagi Raksasa Seluler”, http://www.antarakalbar.com/ berita/306424/
ujian-pailit-bagi-raksasa-seluler
14
“Kajian Yuridis Perlindungan Hak Konsumen terhadap Perusahaan Pailit (Studi Kasus Ganti Rugi Tiket Pesawat
Maskapai Batavia Air)”,
15
Sandra Terta, Skripsi : “Perlindungan Konsumen Satuan Rumah Susun Atas Putusan Pailit PT Mitra Safir Sejahtera
Selaku Pengembang Rusunami Kemanggisan Residence”, Universitas Esa Unggul, Jakarta, 2016, hal. 108.
16
Rezki Alvionitasari, 19 Mei 2017, “Ditangkap, 3 Kurator Pengadilan Negeri Jakarta Tersangka Kasus BAJ”,
https://nasional.tempo.co/read/news/2017/05/19/063876915/ditangkap-3-kurator-pengadilan-niaga-jakarta-
tersangka-kasus-baj
17
Zulkarnain Sitompul, “Bail-in : Meningkatkan Tanggung Jawab Pemilik dan Kreditur Bank”,
www.zulkarnainsitompul.com.
1. Bagaimanakah penggolongan dan kedudukan Para Kreditor dalam hukum kepailitan?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi Kreditor Konkuren ditinjau dari UUK-PKPU?
3. Hambatan apa yang dihadapi oleh Kreditor dalam perkara kepailitan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalah yang telah dikemukakan di atas maka tujuan yang hendak dicapai dalam
penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui penggolongan Kreditor dalam kepailitan


2. Untuk mengetahui bagaimana UUK-PKPU melindungi hak Kreditor Konkuren
3. Untuk mengetahui hambatan – hambatan yang akan dihadapi oleh Kreditor untuk menuntut
haknya kembali

D. Batasan Penelitian

Berdasarkan pelaksanaan penelitian, penulis akan melakukan analisa terhadap peraturan


perundangan, asas hukum dan sistem hukum yang berkaitan dengan pengaturan, perlindungan
hukum dan penangan permasalahan terkait perlindungan bagai Kreditor khsusunya Kreditor
konkuren terkait kepailitan atas Debitor.

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa manfaat teoritis dan praktis,
yaitu:

1. Secara Teoritis
Dapat memberikan sumbangan dan masukan pemikiran di bidang ilmu pengetahuan
hukum, khususnya hukum kepailitan terlebih dapat menambah wawasan dan khasanah
pengetahuan di bidang hukum khususnya hukum kepailitan tentang perlindungan hak-hak
Kreditor dalam kepailitan.
2. Secara Praktik
Penelitian ini ditujukan kepada para praktisi hukum baik yang bersentuhan langsung
maupun tidak langsung seperti, perusahaan, kurator, pengacara, hakim, notaris, konsultan
hukum agar lebih mengetahui tentang hukum kepailitan terlebih perlindungan hukum bagi
Kreditor Konkuren dalam kepailitan.
F. Keaslian Penulisan

No Peneliti dan Judul Objek Penelitian Hasil Penelitian Perbedaan dengan


Penelitian Penelitian Penulis

1 Tesis Penelitian ini berfokus Berdasarkan Pasal 8 Penelitian penulis


Wisnu Ardytia : pada hak Kreditor untuk ayat (1) huruf b berfokus pada

Perlindungan Hukum dimintai pendapat dalam UUK-PKPU, bagaimana UUK-

Kreditor Dalam persidangan keterangan Kreditor PKPU menjamin

Kepailitan (Studi permohonan pailit yang hanya formalitas dan perlindungan hukum

Kasus Terhadap diajukan oleh Debitor hakim tidak terikat bagi Kreditor konkuren

Peninjauan Kembali untuk memanggil mengingat bahwa

Reg.No.07 Kreditor untuk dalam UUK-PKPU dan

Pk/N/2004)” dimintai keterangan Pasal 1132 KUHPer


dalam persidangan dikenal akan
2 Tesis Penelitin ini berfokus Banyak perusahaan pembagian kedudukan
Zaenudin : pada Kreditor pemegang asuransi tidak Kreditor, dan Kreditor
Perlindungan Hukum polil terkait hak hak mencantumkan Konkuren merupakan
Terhadap Pemegang mereka dan langkah - klausa terkait Kreditor “Terlemah”
Polis Dalam langkah yang dapat kedudukan dan/atau karena mereka tidak
Kepailitan mereka tempuh terkait perlindungan bagi mempunyai hak
Perusahaan Asuransi kedudukan mereka pemegang polis jaminan kebendaan
sebagai Kreditor apabila perusahaan atas barang milik
asuransi karena Debitor (Kreditor
banyak perusahaan Separatis) maupun
asuransi menggagp didahulukan pelunasan
bahwa perusahaan utang - utangnya atas
asuransi sangat kecil penjualan barang –
untuk pailit walaupun barang si Debitor
secara nyata banyak (Kreditor Preferen)
perusahaan asuransi mengingat bahwa
yang mengalami tujuan hukum sendiri
kepailitan adalah keadilan.

Tulisan Penulis terkait “Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Konkuren Dalam Perkara
Kepailitan Ditinaju Dari Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang” memiliki persamaan tema dengan yang dengan penulis
lainnya yaitu :

1. Tesis “Perlindungan Hukum Kreditor Dalam Kepailitan (Studi Kasus Terhadap


Peninjauan Kembali Reg.No.07 Pk/N/2004)” karya Wisnu Arditya, Program Studi
Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang.
Permasalahan dalam tesis ini adalah :
1. Bagaimana perlindungan hukum Kreditor atas kepailitan yang diajukan Debitor?
2. Bagaimana penyelesaian harta pailit Debitor kepada Para Kreditor sehubungan dengan
Debitor mepailitkan diri?
Kesimpulan yang diambil oleh penulis dari penelitian ini adalah:
Bahwa UUK-PKPU tidak memberikan kesempatan kepada Kreditor untuk membatah
permohonan Pailit yang diajukan oleh Debitor, sehingga tercipta ruang untuk Debitor
dan beberapa Kreditor rekanan Debitor untuk bermain curang. Dengan demikian Debitor
bisa lepas dari kewajiban membayar seluruh utang – utangnya dikarenakan Debitor
hanya menyisakan sedikit bahkan kekayaanya untuk membayar utangnya. Dengan
demikian terlepas apakah Kreditornya Separatis, Preferen maupun Konkuren, Para
Kreditor tersebut bisa saja tidak mendapatkan kembali hak mereka

2. Tesis “Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Polis Dalam Kepailitan


Perusahaan Asuransi” karya Zaenudi, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,
Medan. Permasalahan dalam tesis ini adalah :
Permasalahan dalam tesis ini adalah :
1. Bagaimana kedudukan pemegang polis dalam kepailitan perusahaan asuransi?
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pemegang polis dalam kepailitan
perusahaan asuransi?
Kesimpulan yang diambil oleh penulis dari penelitian ini adalah:
Berdasarkan UU No.2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, kedudukan pemegang
polis merupakan Kreditor yang kedudukannya lebih tinggi daripada Kreditor lainnya
kecuali negara. Namun pada praktiknya dikarenakan banyaknya perusahaan asuransi
yang tidak mencantumkan kedudukan pemegang polis jika perusahan pailit,
menyebabkan pemegang polis setara dengan Kreditor Konkuren yang tidak memiliki
jaminan kebendaan / didahulukan. Sehingga perlindungan terhadap pemegang polis
hanya bisa bergantung perjanjian asuransi para pihak dan juga pasal 36 UUK-PKPU.

Anda mungkin juga menyukai