1
Abdul Manan, Beberapa masalah Hukum dalam Praktek Ekonomi Syari’ah, Makalah diklat
Calon Hakim Angkatan ke-2 di Banten, 2007, hlm. 8
2. Waris
3. Wasiat
4. Hibah
5. Wakaf
6. Zakat
7. Infak
8. Sedekah dan
9. Ekonomi syariah”
Penjelasan pasal 49 pada point 9 adalah yang dimaksud dengan
ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi:
a. Bank Sayriah
b. Lembaga Keuangan Mikro Syariah
c. Asuransi Syariah
d. Reasuransi Syariah
e. Reksadana Syariah
f. Obligasi Syariah
g. Sekuritas Syariah
h. Pembiayaan Syariah
i. Pegadaian Syariah
j. Dana Pension Lembaga Keuangan Syariah
k. Bisnis Syariah.2
Sebagaimana lazimnya dalam menangani setiap perkara yang
diajukan kepadanya, hakim selalu dituntut mempelajari terlebih dahulu
perkara tersebut secara cermat untuk mengetahui substansinya serta ikhwal
yang senantiasa ada menyertai substansi perkara tersebut.
Hal ini perlu dilakukan guna menentukan arah jalannya
pemeriksaan perkara tersebut dalam proses persidangan nantinya. Untuk
itu hakim harus sudah mempunyai resume tentang perkara yang
ditanganinya sebelum dimulainya proses pemeriksaan dipersidangan.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam hal memeriksa perkara ekonomi
2
Zubairi Hasan, Undang Undang Perbankan Syariah, Titik Temu Hokum Islam Dan Hokum
Nasional, (PT raja Grafindo persada, Jakarta), hlm. 226
syariah khususnya perkara perbankan syariah ada beberapa hal penting
yang harus dilakukan terlebih dahulu antara lain yaitu :
1. Pastikan lebih dahulu perkara tersebut bukan perkara perjanjian
yang mengandung klausula arbitrase.
Pentingnya memastikan terlebih dahulu apakah perkara
tersebut termasuk sengketa perjanjian yang mengandung klausula
arbitrase atau bukan, tidak lain dimaksudkan agar jangan sampai
pengadilan agama yang memeriksa dan mengadili perkara yang
ternyata di luar jangkauan kewenangan absolutnya. Sementara
pemeriksaan terhadap perkara tersebut sudah berjalan sedemikian
rupa, atau bahkan sudah diputus.
Kewenangan absolut lingkungan peradilan agama tidak
menjangkau sengketa atau perkara perjanjian yang didalamnya
terdapat klausula arbitrase. Oleh karena itu, hal ini sangat penting
untuk diperhatikan dan dipastikan terlebih dahulu sebelum proses
pemeriksaan perkara tersebut berjalan lebih jauh. Bahkan
seharusnya hal ini dilakukan sebelum mengupayakan perdamaian
bagi para pihak. Jika perkara tersebut merupakan sengketa
perjanjian yang mengandung klausula arbitrase, maka tidak perlu
lagi hakim melanjutkannya dengan mengupayakan perdamaian
karena jelas perkara tersebut tidak termasuk wewenang absolute
lingkungan peradilan agama. Termasuk dalam hal mengupayakan
perdamaiannya, pengadilan agama tidak berwenang.
Perkara yang mengandung klausula arbitrase adalah jika
dalam perjanjian tersebut terdapat klausula yang pada prinsipnya
menyatakan bahwa apabila terjadi perselisihan atau sengketa
(disputes) di antara mereka mengenai perjanjian tersebut akan
diselesaikan dengan cara melalui suatu badan arbitrase yang telah
mereka tentukan, berarti perjanjian tersebut jelas mengandung apa
yang dinamakan dengan klausula arbitrase.
Adapun sikap yang tepat bagi pengadilan agama, jika
perkara tersebut merupakan sengketa perjanjian yang mengandung
klausula arbitrase sebelum memeriksanya lebih jauh adalah
menjatuhkan putusan negative berupa pernyataan hukum yang
menyatakan bahwa pengadilan agama tidak berwenang memeriksa
dan mengadili perkara tersebut.
2. Pelajari secara cermat perjanjian (akad) yang mendasari kerjasama
antar para pihak.
Setelah dipastikan bahwa perkara perbankan syariah yang
ditangani tersebut bukan merupakan perkara perjanjian yang
mengandung klausula arbitrase, lalu dilanjutkan dengan upaya
perdamaian bagi para pihak. Selanjutnya apabila upaya damai
ternyata tidak berhasil, hal penting lainnya yang harus dilakukan
adalah mempelajari lebih jauh perjanjian atau akad yang mendasari
kerjasama para pihak yang menjadi sengketa tersebut.
Adapun hukum perjanjian yang dapat dijadikan acuan
dalam hal ini, baik yang diatur dalam KUHPerdata dari Pasal 1233
sampai Pasal 1864 yang disebut dengan perjanjian nominaat
maupun hukum perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata,
seperti kontrak production sharing, kontrak join venture, kontrak
karya, leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim dan lain-lain
yang disebut dengan perjanjian innominaat, yakni perjanjian yang
timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam praktik kehidupan
masyarakat.3
Ketentuan-ketentuan hukum perjanjian tersebut dalam
penerapannya tentu saja harus relevan dengan ketentuan-ketentuan
hukum perjanjian dalam Islam baik yang diatur dalam Al-Quran,
As-Sunnah atau pendapat ulama dibidang tersebut. Dengan
perkataan lain dalam hal ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut
ternyata dalam penerapannya bertentangan dengan ketentuan-
ketentuan hukum Islam, maka hakim harus mengutamakan
ketentuan-ketentuan hukum Islam.
3
Salim, Hukum Kontrak : Teori Dan Tehnik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika,
2006), hlm 7.
B. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Jalur Non-Litigasi)
1. Musyawarah
2. Mediasi Perbankan
4
YS, “Sebaiknya Hanya Satu Peradilan”, Sharing, Mei 2011,hal 15
5
Gatot Soemanto, Arbitase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2006), hal 119
Dalam praktiknya, sebagai bagian dari proses mediasi,
mediator dapat berbicara langsung secara rahasia dengan masing-
masing pihak tanpa dihadiri oleh pihak lain. Hal ini menunjukkan
bahwa mediasi masih merupakan bagian yang berantai dengan
musyawarah atau negoisasi sebelumnya. Hanya saja pada mediasi
melibatkan pihak ketiga sebagai mediator, dan hal tersebut tidak ada
pada musyarawah atau negoisasi.
3. Arbitase Syariah
Arbitrase syariah adalah bentuk forum penyelesaian sengketa
perbankan berikutnya setelah musyawarah dan mediasi. Di Indonesia
terdapat sebuah lembaga arbitrase syariah yang bernama Badan
Arbitrase Syariah Nasional (disingkat Basyarnas). Basyarnas
merupakan sebuah wadah alternative penyelesaian sengketa atau
perkara di industri perbankan syariah, maupun juga di lembaga
keuangan syariah (LKS) lainnya. Basyarnas sebelumnya bernama
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), yang merupakan titik
awal kehadiran lembaga arbitrase Islam di Indonesia. Majelis Ulama
Indonesia (MUI) memrakarsai pendirian BAMUI pada 21 Oktber
1993. Kemudian pada 24 Desember 2003, nama BAMUI diganti
menjadi Basyarnas, berdasarkan keputusan rapat Dewan Pimpinan
6
Ibid, hal 132
Majelis Ulama Indonesia Nomor: Kep-09/MUI/XII/2003. Basyarnas
sendiri
merupakan salah satu perangkat dari organisasi MUI. Kedudukan
Basyarnas ditinjau dari segi Tata Hukum Indonesia UU No.
4 Tahun 2004 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman Pasal 10 ayat 1 dinyatakan bahwa “kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha
Negara”. Namun demikian, di dalam penjelasan pasal 3 ayat 1
undang-undang tersebut disebutkan antara lain, bahwa: “Penyelesaian
perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui
arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya
mempunyai kekuatan
eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk eksekusi
(executoir) dari pengadilan”.
Kewenangan Basyarnas sebagai lembaga permanen yang
didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia berfungsi menyelesaikan
kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang timbul dalam
hubungan perdagangan, industri, keuangan, dan jasa. Disamping itu
badan ini dapat memberikan suatu rekomendasi atau pendapat hukum
(bindend advice), yaitu pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu
persoalan tertentu yang berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian,
yang sudah barang tentu atas permintaan para pihak yang mengadakan
perjanjian untuk diselesaikan.7
Basyarnas memiliki keunggulan-keunggulan, diantaranya:
a. Dari sisi kerahasiaan, dimana penyelesaian sengketa di Basyarnas
dilakukan dalam sidang tertutup, sehingga menjamin rahasia dan
menjaga martabat masing-masing pihak, serta bisa menjaga
ukhuwah Islamiyah.
b. Memberikan kepercayaan kepada para pihak, karena
penyelesaiannya secara terhormat dan bertanggung jawab.
7
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2002), hal 105-156
c. Para pihak menaruh kepercayaan yang besar pada arbiter, karena
ditangani oleh orang-orang yang ahli dibidangnya.
d. Efisiensi waktu, karena proses pengambilan putusannya cepat,
dengan tidak melalui prosedur yang berbelit-belit serta dengan
biaya yang murah. Basyarnas harus bisa memutus sengketa yang
masuk dalam waktu paling lambat 180 hari (6 bulan).
e. Keputusan bersifat final and binding, sehingga masing-masing
pihak harus menerima dan melaksanakan keputusan yang ada, dan
tidak ada lagi upaya hukum selanjutnya, baik berupa banding
maupun kasasi. Hal ini juga menjunjung efisiensi waktu.
f. Para pihak menyerahkan penyelesaian sengketanya secara
sukarela kepada orang-orang (badan) yang dipercaya, sehingga
para pihak juga secara sukarela akan melaksanakan putusan
arbiter sebagai konsekuensi atas kesepakatan mereka mengangkat
arbiter.8
8
Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait: BAMUI, Takaful
dan Pasar Modal Syariah di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2004), 167
tertata, kesekretariatan yang selalu siap melayani para pihak yang
bersengketa, dan arbiter yang mampu membantu penyelesaian
persengketaan dengan tepat sasaran dan memuaskan. Kondisi interen
yang baik
tersebut akan bertambah baik apabila didukung dengan law
enforcement dari pemerintah tentang putusan yang final and binding
dalam penyelesaian sengketa di arbitrase.
4. Peradilan Umum
Pada Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang
Kekuasaan Kehakiman secara tegas telah disebutkan bahwa
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum merupakan bagian dari
pelaksana kekuasaan kehakiman (lembaga litigasi). Namun dalam
konteks penyelesaian sengketa perbankan syariah, Peradilan Umum
diposisikan sejajar bersama-sama alternative penyelesaian sengketa
non litigasi lainnya. Hal ini terkesan “unik” karena sebuah badan
litigasi ditempatkan pada posisi non litigasi. Sebaliknya akan menjadi
lebih rancu lagi, jika pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum
pada penyelesaian sengketa perbankan syariah tetap diposisikan
9
Ibid, hal 168
sebagai salah satu forum litigasi. Karena sengketa perbankan syariah
juga telah diamanatkan sebagai bagian dari kompetensi lembaga
litigasi lain (yaitu Peradilan Agama). Maka apabila Peradilan Umum
juga berperan serta sebagai penyelesaian sengketa secara litigasi, hal
tersebut akan bertentangan dengan asas kepastian hukum. Sebab tidak
mungkin satu kompetensi yang sama dijalankan oleh dua lembaga
litigasi yang berbeda. Dapat dikatakan hal ini menjadi dualisme
wewenang peradilan.
Untuk itu, lebih tepat jika pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum diposisikan sebagai salah satu pilihan forum non
litigasi penyelesaian sengketa perbankan syariah. Namun pada
prakteknya, semenjak disahkannya Undangundang No. 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama, tidak ada perkara perbankan syariah yang
diajukan di Peradilan Umum.
Tetapi pada sisi lain pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum memegang peranan tunggal untuk mengeksekusi putusan
arbitrase syariah. Berdasarkan pasal 59 Undang-undang No. 48 Tahun
2009 dan penjelasannya dijelaskan bahwa dalam hal putusan arbitrase
syariah tidak dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak, maka
eksekusi putusan dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum. Pasal ini mereduksi sebagian kompetensi Peradilan
Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah, karena
eksekusi putusan arbitrase syariah pada asalnya merupakan bagian
dari penyelesaian sengketa perbankan syariah itu sendiri.10
10
Sangadji, Z.A, KOMPETENSI BADAN PERADILAN UMUM DAN PERADILAN PERDATA TATA USAHA
NEGARA Dalam Gugatan Pembatalan Sertifikat Tanah, (Jakarta: Citra Aditya, 2003), hal 112
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Zubairi. Undang Undang Perbankan Syariah, Titik Temu Hokum Islam
Dan Hokum Nasional. Jakarta: PT raja Grafindo persada
Manan, Abdul. Beberapa masalah Hukum dalam Praktek Ekonomi Syari’ah.
Banten: Makalah diklat Calon Hakim Angkatan ke-2
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2002)
Salim. 2006. Hukum Kontrak : Teori Dan Tehnik Penyusunan Kontrak. Jakarta:
Sinar Grafika