Disusun oleh:
Ishlahu Darussalam
20203012019
Dosen Pengampu:
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara yang menggunakan sistem ekonomi Islam,
keunggulan yang bisa dilihat yaitu pertumbuhan perbankan syariah selaku bagian
dari sistem ekonomi Islam semenjak tahun 1988 hingga saat ini. Meski kehadiran
perbankan syariah agak terlambat, tetapi pertumbuhan yang diperoleh perbankan
syariah mampu memberikan pengaruh yang signnifikan.
Perkembangan perbankan syariah telah berkembang pesat, akan tetapi
kontribusi keuangan syariah masih kecil dibandingkan dengan bank konvensional.
Namun tingkat perkembanganya tidak hanya dibidang perbankan, adapun bisnis
berbasis ekonomi syariah sudah merambah pada pegagadaian syariah, reksa dana,
asuransi syariah dan lain-lain. Melihat semakin banyak dan luasnya bisnis
berbasis syariah, maka aspek yang sangat penting untuk diupayakan keberadaanya
yaitu perlindungan hukum.
Para pelaku yang menggunakan jasa bisnis syariah harus melaksanakan
sesuai ketentuan syariah yang berlaku. Apabila terdapat perbedaan pendapat baik
itu dalam pelaksanaan atau pada penafsiran isi perjanjian, maka kedua belah pihak
harus berupaya untuk musyawarah, akan tetapi kemungkinan persilisihan akan
tetap berlanjut yang tidak dapat diselesaikan secara musyawarah. Kemungkinan
hal semacam ini semakin besar, terutama pada bisnis ekonomi syariah yang kian
beragam.1
Adanya sengketa, dalam proses bergulirnya ekonomi syariah adalah hal
yang wajar. Sengketa yang terjadi dalam perputaran ekonomi syariah pada era
kini telah memiliki beberapa ruang untuk penyelesaiannya. Salah satu ruang
penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Indonesia adalah Basyarnas (Badan
1
Wirdyaningsih, “Bank dan Asuransi Islam di Indonesia,” (Jakarta: Kencana, 2005), h. 6.
Arbritase Syariah Nasional). Badan ini merupakan badan non-litigasi untuk
menyelesaikan persengkataan ekonomi syariah di Indonesia.
Badan Abritase Syariah Nasional memiliki peran dalam menyelesaikan
masalah atau sengketa ekonomi syariah sebagai lembaga nonlitigasi. Salah satu
peran unggul Basyarnas dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah adalah
dengan mewujudkan win-win solution melalui kesepahaman antar pihak-pihak
yang bersengketa. Berbeda dengan penyelesaian sengketa melalui lembaga litigasi
yang lebih bersifat win or lose solution. Selain itu, ditemukan pula bahwa
keputusan Basyarnas dalam menyelesaikan sengketa ekonomi Syariah di
Indonesia memiliki cukup kekuatan hukum, baik secara hukum Islam (fiqh)
dengan berbagai landasan hukum Islam tentang arbritase, dan juga landasan
hukum formal dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa. Hal ini juga diperkuat
dengan berbagai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia
yang mendukung pelaksanaan penyelesaian sengketa oleh Basyarnas, seperti yang
tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 8 tahun 2008.
Agama Islam mengajarkan dalam menyelesaikan masalah harus
mengutamakan musyawarah agar menghasilkan suatu kesepakatan bersama.
Hukum Islam memberikan solusi untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak
yang berperkara dengan tiga cara. Pertama, harus mencapai kata sepakat atau bisa
dikatakan para pihak harus berdamai. Kedua, melalu dengan cara arbitrase
(tahkim), dalam Islam bahwa arbitrase dikenal istilah al-tahkim yang merupakan
bagian dari al-qadha’ (peradilan). Ketiga, melalui dengan al-qadha’ (peradilan),
maka yang memutuskan adalah Qadi (hakim).2 Sehingga dengan dasar tersebut
telah terbentuk lembaga penyelesaian sengketa syariah, akan tetapi dalam
penyelesaian sengketa syariah juga melibatkan lembaga yudikatif yang ditunjuk
untuk menyelesaikan sengketa syariah yaitu Pengadilan Agama.
PEMBAHASAN
A. Sejarah Basyarnas
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah perubahan dari
nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang merupakan salah satu
2
Ibid, h. 224.
wujud dari Arbitrase Islam yang pertama kali didirikan di Indonesia. Pendirinya
diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), tanggal 05 Jumadil Awal 1414
H bertepatan dengan tanggal 21 Oktober 1993 M. Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI) didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan sesuai dengan
akta notaris Yudo Paripurno, S.H. Nomor 175 tanggal 21 Oktober 1993.
Peresmian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dilangsungkan
tanggal 21 Oktober 1993. Nama yang diberikan pada saat diresmikan adalah
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). Peresmiannya ditandai dengan
penandatanganan akta notaris oleh dewan pendiri, yaitu Dewan Pimpinan Majelis
Ulama Indonesia (MUI) pusat yang diwakili KH. Hasan Basri dan H.S.
Prodjokusumo, masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Umum
Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebagai saksi yang ikut
menandatangani akta notaris masing-masing H. M. Soejono dan H. Zainulbahar
Noor, S.E. (Dirut Bank Muamalat Indonesia) saat itu.3
BAMUI tersebut di Ketuai oleh H. Hartono Mardjono, S.H. sampai beliau
wafat tahun 2003. Kemudian selama kurang lebih 10 (sepuluh) tahun Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjalankan perannya, dan dengan
pertimbangan yang ada bahwa anggota Pembina dan Pengurus Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI) sudah banyak yang meninggal dunia, juga bentuk
badan hukum yayasan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2001 tentang Yayasan sudah tidak sesuai dengan kedudukan BAMUI
tersebut, maka atas keputusan rapat Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia
Nomor : Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 nama Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI) diubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) yang sebelumnya direkomendasikan dari hasil RAKERNAS
MUI pada tanggal 23-26 Desember 2002. Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) yang merupakan badan yang berada dibawah MUI dan
merupakan perangkat organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di Ketuai oleh
H. Yudo Paripurno, S.H.
4
Ridzky Adityanto, “Kedudukan Basyarnas Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan
Syariah”, Lambung Mangkurat, Vol. 1 No. 2 2016, h. 146.
meliputi: kontrak (akad perjanjian), sumber hukum fikih, fatwa Dewan Syariah
Nasional (DSN), Yurisprudensi Pengadilan Agama, dan hukum kebiasaan.
5
H.M. Tahir Azhary, Bunga Rampai Hukum Islam (Jakarta: IND-HILL-CO, 1992) h.
240.
6
Undang-Undang ARBITRASE dan Alternatif penyelesaian sengketa (UU RI No.30
Tahun 1999), BAB II pasal 12.
pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan
seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.
4. Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas)
hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui
seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator
tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak
dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.
5. Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau lembaga
alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh)
hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai.
6. Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator
sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dengan memegang teguh
kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 ( tiga puluh ) hari harus
tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh
semua pihak yang terkait.
7. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis
adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad
baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan.
8. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (7) wajib selesai dilaksanakan dalam waktu
paling lama 30 ( tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
9. Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sampai dengan ayat (6) tidak dapat dicapai, maka para pihak
berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha
penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad–hoc.
7
Mardani, “Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah”, Mimbar Hukum, Vol. 22, No. 2
2010, h. 305-306.
8
Mosgan Situmorang, “Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional di Indonesia”
(Enforcement of National Arbitration Award Indonesia), Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol.
17 No. 4, Desember 2017, h. 310.
9
Vinny Arviani Variza, “Kekuatan Mengikat Keputusan BASYARNAS dalam
Penyelesaian Sengketa Perbangkan Syariah di Semarang Jawa Tengah”, Skripsi, Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, 2011, h. 9.
10
Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait: BAMUI,
Takaful dan Pasar Modal Syariah di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 167.
1. Membutuhkan waktu yang singkat, karena proses pengambilan
kebutusan dengan cepat tanpa melalui prosedur yang rumit dan dengan
biaya yang rendah. Keputusan Basyarnas untuk menyelesaikan
sengketa selambat-lambatnya 180 hari (6 bulan).
2. Dari segi kerahasiaan, Basyarnas menyelesaikan sengketa dalam
pertemuan tertutup untuk menjamin kerahasiaan dan melindungi
martabat kedua belah pihak.
3. Para pihak memiliki kepercayaan yang besar terhadap arbiter, karena
diproses orang yang ahli pada bidangnya.
4. Arbiter harus memiliki kepercayaan penuh terhadap pihak yang
bersengketa, karena menyelesaikan sengketa harus secara bertanggung
jawab dan terhormat.
5. Pihak yang bersengketa secara sukarela harus menyerahkan
penyelesaian sengketa kepada arbiter yang dipercaya, sehingga para
pihak juga akan dengan sukarela mentaati dan melaksanakan
keputusan arbiter sesuai dengan kesepakatan para pihak yang
menunjuk arbiter.11
11
Jaih Mubarok, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: Pustaka Bani Quraisy, 2004), h.
153.
12
Undang-Undang ARBITRASE dan Alternatif penyelesaian sengketa (UU RI No.30
Tahun 1999).
1. Kemungkinan muncul keputusan yang saling bertentangan pihak satu
dengan yang lain, karena tidak adanya sistem “precedent” terhadap
keputusan sebelumnya, dan juga karena unsur fleksibilitas dari arbiter.
Maka keputusan arbitrase tidak prediktif.13
2. Apabila ada pihak yang salah dan tidak mau melaksanakan putusan
arbitrase, maka diperlukan mandat dari pengadilan untuk
melaksanakan penyelesaian atas putusan tersebut.14
3. Hanya tersedia dengan baik terhadap perusahaan-perusahaan bonafide.
4. Dapat menyembunyikan sengketa dari “public scrutiny”.
5. Kurangnya kekuatan untuk menghadirkan bukti, saksi dan sebagianya.
6. Kurangnya kekuatan untuk menggiring para pihak ke settlement.
7. Kurangnya unsur finality.15
KESIMPULAN
13
Mardani, “Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah”, Mimbar Hukum, Vol. 22, No. 2
2010, h. 306.
14
Tim Dosen STISNU Nusantara, editor: Muhamad Qustulani, Modul Mata Kuliah
Arbitrase Penyelesaian Sengketa (Tangerang: PSP Kusantara Press, 2018), h. 21.
15
Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), h. 95.
satu kelemahan penyelesaian secara arbitrase oleh BASYARNAS adalah
keputusan yang dicapai masih membutuhkan pengesahan oleh Pengadilan Agama
agar dapat memiliki kekuatan hukum tetap.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
H.M. Tahir Azhary, 1992, Bunga Rampai Hukum Islam, Jakarta: IND-HILL-CO.
Tim Dosen STISNU Nusantara, editor: Muhamad Qustulani, 2018, Modul Mata
Kuliah Arbitrase Penyelesaian Sengketa, Tangerang: PSP Kusantara
Press.
Jurnal
Mardani, 2010, “Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah”, Mimbar Hukum, Vol.
22, No. 2.
Peraturan Perundang-Undangan