Anda di halaman 1dari 11

BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL

Disusun oleh:

Ishlahu Darussalam
20203012019

Dosen Pengampu:

Dr. Abdul Mujib, M.Ag


NIP: 197012092003121002

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara yang menggunakan sistem ekonomi Islam,
keunggulan yang bisa dilihat yaitu pertumbuhan perbankan syariah selaku bagian
dari sistem ekonomi Islam semenjak tahun 1988 hingga saat ini. Meski kehadiran
perbankan syariah agak terlambat, tetapi pertumbuhan yang diperoleh perbankan
syariah mampu memberikan pengaruh yang signnifikan.
Perkembangan perbankan syariah telah berkembang pesat, akan tetapi
kontribusi keuangan syariah masih kecil dibandingkan dengan bank konvensional.
Namun tingkat perkembanganya tidak hanya dibidang perbankan, adapun bisnis
berbasis ekonomi syariah sudah merambah pada pegagadaian syariah, reksa dana,
asuransi syariah dan lain-lain. Melihat semakin banyak dan luasnya bisnis
berbasis syariah, maka aspek yang sangat penting untuk diupayakan keberadaanya
yaitu perlindungan hukum.
Para pelaku yang menggunakan jasa bisnis syariah harus melaksanakan
sesuai ketentuan syariah yang berlaku. Apabila terdapat perbedaan pendapat baik
itu dalam pelaksanaan atau pada penafsiran isi perjanjian, maka kedua belah pihak
harus berupaya untuk musyawarah, akan tetapi kemungkinan persilisihan akan
tetap berlanjut yang tidak dapat diselesaikan secara musyawarah. Kemungkinan
hal semacam ini semakin besar, terutama pada bisnis ekonomi syariah yang kian
beragam.1
Adanya sengketa, dalam proses bergulirnya ekonomi syariah adalah hal
yang wajar. Sengketa yang terjadi dalam perputaran ekonomi syariah pada era
kini telah memiliki beberapa ruang untuk penyelesaiannya. Salah satu ruang
penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Indonesia adalah Basyarnas (Badan

1
Wirdyaningsih, “Bank dan Asuransi Islam di Indonesia,” (Jakarta: Kencana, 2005), h. 6.
Arbritase Syariah Nasional). Badan ini merupakan badan non-litigasi untuk
menyelesaikan persengkataan ekonomi syariah di Indonesia.
Badan Abritase Syariah Nasional memiliki peran dalam menyelesaikan
masalah atau sengketa ekonomi syariah sebagai lembaga nonlitigasi. Salah satu
peran unggul Basyarnas dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah adalah
dengan mewujudkan win-win solution melalui kesepahaman antar pihak-pihak
yang bersengketa. Berbeda dengan penyelesaian sengketa melalui lembaga litigasi
yang lebih bersifat win or lose solution. Selain itu, ditemukan pula bahwa
keputusan Basyarnas dalam menyelesaikan sengketa ekonomi Syariah di
Indonesia memiliki cukup kekuatan hukum, baik secara hukum Islam (fiqh)
dengan berbagai landasan hukum Islam tentang arbritase, dan juga landasan
hukum formal dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa. Hal ini juga diperkuat
dengan berbagai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia
yang mendukung pelaksanaan penyelesaian sengketa oleh Basyarnas, seperti yang
tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 8 tahun 2008.
Agama Islam mengajarkan dalam menyelesaikan masalah harus
mengutamakan musyawarah agar menghasilkan suatu kesepakatan bersama.
Hukum Islam memberikan solusi untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak
yang berperkara dengan tiga cara. Pertama, harus mencapai kata sepakat atau bisa
dikatakan para pihak harus berdamai. Kedua, melalu dengan cara arbitrase
(tahkim), dalam Islam bahwa arbitrase dikenal istilah al-tahkim yang merupakan
bagian dari al-qadha’ (peradilan). Ketiga, melalui dengan al-qadha’ (peradilan),
maka yang memutuskan adalah Qadi (hakim).2 Sehingga dengan dasar tersebut
telah terbentuk lembaga penyelesaian sengketa syariah, akan tetapi dalam
penyelesaian sengketa syariah juga melibatkan lembaga yudikatif yang ditunjuk
untuk menyelesaikan sengketa syariah yaitu Pengadilan Agama.

Makalah ini akan mencoba memberikan penjelasan lebih lanjut tentang


beberapa hal: Pertama, kelembagaan BASYARNAS dalam penyelesaian sengketa
syariah di Indonesia. Kedua, mekanisme penyelesaian sengketa dan kekuatan
serta kelemahan hasil keputusan sengketa yang dihasilkan melalui proses arbitrase
oleh BASYARNAS.

PEMBAHASAN

A. Sejarah Basyarnas
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah perubahan dari
nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang merupakan salah satu

2
Ibid, h. 224.
wujud dari Arbitrase Islam yang pertama kali didirikan di Indonesia. Pendirinya
diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), tanggal 05 Jumadil Awal 1414
H bertepatan dengan tanggal 21 Oktober 1993 M. Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI) didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan sesuai dengan
akta notaris Yudo Paripurno, S.H. Nomor 175 tanggal 21 Oktober 1993.
Peresmian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dilangsungkan
tanggal 21 Oktober 1993. Nama yang diberikan pada saat diresmikan adalah
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). Peresmiannya ditandai dengan
penandatanganan akta notaris oleh dewan pendiri, yaitu Dewan Pimpinan Majelis
Ulama Indonesia (MUI) pusat yang diwakili KH. Hasan Basri dan H.S.
Prodjokusumo, masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Umum
Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebagai saksi yang ikut
menandatangani akta notaris masing-masing H. M. Soejono dan H. Zainulbahar
Noor, S.E. (Dirut Bank Muamalat Indonesia) saat itu.3
BAMUI tersebut di Ketuai oleh H. Hartono Mardjono, S.H. sampai beliau
wafat tahun 2003. Kemudian selama kurang lebih 10 (sepuluh) tahun Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjalankan perannya, dan dengan
pertimbangan yang ada bahwa anggota Pembina dan Pengurus Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI) sudah banyak yang meninggal dunia, juga bentuk
badan hukum yayasan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2001 tentang Yayasan sudah tidak sesuai dengan kedudukan BAMUI
tersebut, maka atas keputusan rapat Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia
Nomor : Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 nama Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI) diubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) yang sebelumnya direkomendasikan dari hasil RAKERNAS
MUI pada tanggal 23-26 Desember 2002. Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) yang merupakan badan yang berada dibawah MUI dan
merupakan perangkat organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di Ketuai oleh
H. Yudo Paripurno, S.H.

B. Landasan Kerja Basyarnas


Dasar hukum keputusan Basyarnas dalam penyelesaian sengketa ekonomi
syariah didasarkan pada ketentuan Pasal 55 UU No. 21 Tahun 2008 yang
menekankan bahwa Basyarnas juga dapat menghasilkan putusan yang bersifat
final dan mengikat (binding) maka tidak ada banding dan kasasi terhadap putusan
tersebut. Kemudian dapat didasarkan juga pada ketentuan Pasal 60 UU No. 30
Tahun 1999, yang menegaskan bahwa “Putusan arbitrase bersifat final dan
mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak”.
3
Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait: BAMUI,
Takaful dan Pasar Modal Syariah di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 154-
155.
Setelah terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor
93/PUU-X/2012, maka Basyarnas mempunyai kedudukan dalam penyelesaian
sengketa ekonomi syariah dan kekuatan hukum untuk pelaksanaan surat
keputusan Basyarnas adalah sah bersifat “final and binding” dan mengikat para
pihak berdasarkan asas “pactum compromitendo”, akan tetapi pelaksanaan surat
keputusan Basyarnas menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 tahun
2008 dan ketentuan Pasal 55 UU No. 21 Tahun 2008 tentang eksekusi putusan
Basyarnas, yang dimaksudkan adalah untuk menciptakan tertib hukum
berhubungan dengan penyelesaian sengketa di bidang ekonomi syariah yang
menjadi kewenangan Pengadilan agama.4
Pelaksanaan surat Keputusan Basyarnas dalam penyelesaian sengketa
ekonomi syariah setelah lahirnya putusan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor
93/PUU-X/2012, memiliki keterkaitan dengan kewenangan Pengadilan Agama
dalam pelaksanaan putusan Basyarnas yang didasari dengan Pasal 59-64 UU No.
30 Tahun 1999 dan ketentuan Pasal 55 UU No. 21 Tahun 2008 serta Pasal 54 UU
No. 50 Tahun 2009 yang menunjukkan bahwa pelaksanaan putusan Basyarnas
dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah memerlukan kewenangan
Pengadilan Agama agar pelaksanaan keputusan Basyarnas tersebut mempunyai
kekuatan hukum tetap, hal tersebut dimaksudkan untuk mencapai keselarasan
antara hukum materil yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam dengan lembaga
Peradilan Agama yang merupakan representasi lembaga Peradilan Islam, dan juga
selaras dengan para aparat hukumnya yang beragama Islam serta telah menguasai
hukum Islam.
Kemudian dalam ketentuan Pasal 49 UU No. 50 Tahun 2009 terdapat
keselarasan terhadap putusan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 93/PUU-
X/2012, yang telah menetapkan hal-hal yang menjadi kewenangan lembaga
Peradilan Agama, yaitu memutus dan menyelesaikan perkara tertentu bagi yang
beragama Islam dalam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat,
infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah. Dalam penjelasan Undang-Undang ini
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau
kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah yang meliputi bank
syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, sekuritas syariah,
pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dan dana pensiun, lembaga keuangan
syariah, dan lembaga keuangan mikro syariah yang berkembangdan tumbuh di
Indonesia.
Setelah lahirnya putusan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 93/PUU-
X/2012, bahwa kewenangan Pengadilan Agama terdapat kendala yuridis untuk
melaksanakan eksekusi putusan Basyarnas tentang sengketa ekonmi syariah yang

4
Ridzky Adityanto, “Kedudukan Basyarnas Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan
Syariah”, Lambung Mangkurat, Vol. 1 No. 2 2016, h. 146.
meliputi: kontrak (akad perjanjian), sumber hukum fikih, fatwa Dewan Syariah
Nasional (DSN), Yurisprudensi Pengadilan Agama, dan hukum kebiasaan.

C. Pedoman dan Prosedur Penyelesaian Sengketa oleh Basyarnas


Arbitrase Indonesia mempunyai pedoman sesuai dengan ketentuan yang
sudah ditetapkan dari tiga kriteria, yaitu:
1. Arbiter yang ditunjuk untuk mengurus sengketa harus mempertemukan
para pihak yang berkepentingan secara seimbang, propsional, dan tidak
merugikan (menguntungkan) salah satu pihak. Oleh karena itu, para
arbiter berusaha menegakkan keadilan yang sesungguhnya berdasarkan
syariah, yaitu sesuai ajaran Al-Quran dan sunah Nabi.
2. Poin-poin yang terkandung dalam Pancasila harus menjadi salah satu
refrensi utama dalam menyelesaikan sengketa melalui arbitrase
syariah.
3. Dipandang dari sudut sistem hukum Indonesia, Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Nasional Syariah
(BASYARNAS) harus memiliki status yang sama karena kedua
lembaga tersebut harus diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia.5

Prosedur dan proses penyelesaian sengketa lembaga keuangan syariah


melalui Basyarnas harus berlandaskan pada UU No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Peraturan Prosedur Basyarnas (dulu BAMUI). Mengenai ketentuan
umum prosedur penyelesaian sengketa UU No. 30 Tahun 1999 adalah:6
1. Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para
pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada
itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di
Pengadilan Negeri.
2. Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif
penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu
kesepakatan tertulis.
3. Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para

5
H.M. Tahir Azhary, Bunga Rampai Hukum Islam (Jakarta: IND-HILL-CO, 1992) h.
240.

6
Undang-Undang ARBITRASE dan Alternatif penyelesaian sengketa (UU RI No.30
Tahun 1999), BAB II pasal 12.
pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan
seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.
4. Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas)
hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui
seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator
tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak
dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.
5. Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau lembaga
alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh)
hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai.
6. Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator
sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dengan memegang teguh
kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 ( tiga puluh ) hari harus
tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh
semua pihak yang terkait.
7. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis
adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad
baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan.
8. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (7) wajib selesai dilaksanakan dalam waktu
paling lama 30 ( tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
9. Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sampai dengan ayat (6) tidak dapat dicapai, maka para pihak
berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha
penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad–hoc.

Ketetapan prosedur yang disebutkan di atas untuk menjaga agar


penyelesaian sengketa melalui arbitrase maupun arbitrase syariah tidak berlarut-
larut, maka dalam penyelesaian arbitrase diusahakan untuk menghindari upaya
hukum banding, kasasi hingga peninjauan kembali.
Proses penyelesaian sengketa bisnis syariah di luar Alternative Dispute
Resolution (ADR) dan arbitrase syariah juga dapat melalui Peradilan Agama.
Berdasarkan perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama UU No.
3 Tahun 2006 yaitu Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
shadaqah.7 Kemudian kewenanganya diperluas dalam bidang ekonomi syariah
yang meliputi: asuransi syariah, reasuransi syariah, dana pensiun Lembaga
Keuangan Syariah, perbankan syariah, dan sebagainya.
Semakin banyak Lembaga Keuangan Syariah yang didirikan di seluruh
Nusantara, maka peraturan perundang-undangan sebaiknya memberikan aturan
khusus (lex spesialis) kepada Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).
Dengan demikian, basyarnas sebagai lembaga penyelesaian sengketa yang
menggunakan hukum perikatan Islam dapat mengeluarkan legal opinion dalam
bidang hukum ekonomi syariah.

D. Hasil Penyelesaian Perkara dalam Basyarnas


Keputusan yang dihasilkan dari proses arbitrase melalui BASYARNAS,
dapat dilaksanakan dengan memiliki kekuatan hukum pengesahan oleh
Pengadilan Agama. Apabila salah satu atau kedua belah pihak yang bersengketa
tidak puas terhadap keputusan yang dihasilkan dari proses arbitrase
BASYARNAS, maka dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.8
Penyelesaian sengketa melalui Basyarnas lebih menekankan pada
perdamaian dan berdasar kesepakatan para pihak. Prosedur yang dilakukan tidak
berbelit dan mudah dimengerti, pihak yang bersengketa lebih bebas untuk
memilih tindakan apa yang akan ditempuh. Basyarnas juga menghasilkan putusan
yang bersifat final dan mengikat (binding) sehingga tidak ada banding dan kasasi
terhadap putusan tersebut.9

E. Kekuatan dan Kelemahan


Badan Arbitrase Syariah Nasional merupakan lembaga penyelesaian
sengketa eknomi syariah, akan tetapi tidak akan lepas dari suatu kelebihan atau
kekuatan dan kekurangan untuk menyelesaikan sengketa antar pihak, maka dari
segi keunggulan Basyarnas sebagai berikut:10

7
Mardani, “Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah”, Mimbar Hukum, Vol. 22, No. 2
2010, h. 305-306.

8
Mosgan Situmorang, “Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional di Indonesia”
(Enforcement of National Arbitration Award Indonesia), Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol.
17 No. 4, Desember 2017, h. 310.

9
Vinny Arviani Variza, “Kekuatan Mengikat Keputusan BASYARNAS dalam
Penyelesaian Sengketa Perbangkan Syariah di Semarang Jawa Tengah”, Skripsi, Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, 2011, h. 9.
10
Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait: BAMUI,
Takaful dan Pasar Modal Syariah di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 167.
1. Membutuhkan waktu yang singkat, karena proses pengambilan
kebutusan dengan cepat tanpa melalui prosedur yang rumit dan dengan
biaya yang rendah. Keputusan Basyarnas untuk menyelesaikan
sengketa selambat-lambatnya 180 hari (6 bulan).
2. Dari segi kerahasiaan, Basyarnas menyelesaikan sengketa dalam
pertemuan tertutup untuk menjamin kerahasiaan dan melindungi
martabat kedua belah pihak.
3. Para pihak memiliki kepercayaan yang besar terhadap arbiter, karena
diproses orang yang ahli pada bidangnya.
4. Arbiter harus memiliki kepercayaan penuh terhadap pihak yang
bersengketa, karena menyelesaikan sengketa harus secara bertanggung
jawab dan terhormat.
5. Pihak yang bersengketa secara sukarela harus menyerahkan
penyelesaian sengketa kepada arbiter yang dipercaya, sehingga para
pihak juga akan dengan sukarela mentaati dan melaksanakan
keputusan arbiter sesuai dengan kesepakatan para pihak yang
menunjuk arbiter.11

Mengenai ketentuan umum lembaga arbitrase pada UU No. 30 Tahun


1999 mempunyai kelebihan, antara lain:12
1. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak.
2. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural
dan administrative.
3. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya
mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup
mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil.
4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan
masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase.
5. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan
dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung
dapat dilaksanakan.

Dari segi kekuatan arbitrase di atas, juga terdapat beberapa kelemahanya,


sebagai berikut:

11
Jaih Mubarok, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: Pustaka Bani Quraisy, 2004), h.
153.

12
Undang-Undang ARBITRASE dan Alternatif penyelesaian sengketa (UU RI No.30
Tahun 1999).
1. Kemungkinan muncul keputusan yang saling bertentangan pihak satu
dengan yang lain, karena tidak adanya sistem “precedent” terhadap
keputusan sebelumnya, dan juga karena unsur fleksibilitas dari arbiter.
Maka keputusan arbitrase tidak prediktif.13
2. Apabila ada pihak yang salah dan tidak mau melaksanakan putusan
arbitrase, maka diperlukan mandat dari pengadilan untuk
melaksanakan penyelesaian atas putusan tersebut.14
3. Hanya tersedia dengan baik terhadap perusahaan-perusahaan bonafide.
4. Dapat menyembunyikan sengketa dari “public scrutiny”.
5. Kurangnya kekuatan untuk menghadirkan bukti, saksi dan sebagianya.
6. Kurangnya kekuatan untuk menggiring para pihak ke settlement.
7. Kurangnya unsur finality.15

KESIMPULAN

Lembaga Arbitrase syariah nasional dibentuk dengan nama Badan


Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) pada tanggal 23 Oktober 1993 dalam
bentuk badan hukum yayasan atas keputusan rapat Dewan Pimpinan Majelis
Ulama Indonesia Nomor : Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003
diubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dengan
kewenangan menyelesaikan sengketa dibidang ekonomi syariah dan sifat dari
putusan badan ini bersifat final dan mengikat para pihak.Adapun pelaksanaan
putusan tersebut dilaksanakan secara suka rela. Sedangkan Pengadilan Agama
Sejak tahun 2006, setelah diubahnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, kewenangan Pengadilan Agama
menjadi diperluas. Disamping berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, dan
shadaqah, dan ekonomi syariah serta diberikan kewenangan melaksanakan
putusan apabila diajukan oleh salah satu pihak setelah adanya putusan tetap
lembaga arbitrase.

Penyelesaian sengketa oleh BASYARNAS adalah penyelesaian sengketa


secara non litigasi. Memiliki kelebihan singkatnya waktu dan mekanisme
penyelesaian dibanding dengan penyelesaian melalui pengadilan. Adapun salah

13
Mardani, “Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah”, Mimbar Hukum, Vol. 22, No. 2
2010, h. 306.

14
Tim Dosen STISNU Nusantara, editor: Muhamad Qustulani, Modul Mata Kuliah
Arbitrase Penyelesaian Sengketa (Tangerang: PSP Kusantara Press, 2018), h. 21.

15
Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), h. 95.
satu kelemahan penyelesaian secara arbitrase oleh BASYARNAS adalah
keputusan yang dicapai masih membutuhkan pengesahan oleh Pengadilan Agama
agar dapat memiliki kekuatan hukum tetap.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

H.M. Tahir Azhary, 1992, Bunga Rampai Hukum Islam, Jakarta: IND-HILL-CO.

Jaih Mubarok, 2004, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Pustaka Bani


Quraisy.

Munir Fuady, 2003, Arbitrase Nasional, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Tim Dosen STISNU Nusantara, editor: Muhamad Qustulani, 2018, Modul Mata
Kuliah Arbitrase Penyelesaian Sengketa, Tangerang: PSP Kusantara
Press.

Warkum Sumitro, 2004, Asas-Asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga


Terkait: BAMUI, Takaful dan Pasar Modal Syariah di Indonesia, Jakarta:
Raja Grafindo Persada.

Wirdyaningsih, 2005, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana.

Jurnal
Mardani, 2010, “Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah”, Mimbar Hukum, Vol.
22, No. 2.

Mosgan Situmorang, 2017, “Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional di


Indonesia” (Enforcement of National Arbitration Award Indonesia),
Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol. 17 No. 4, Desember.

Ridzky Adityanto, 2016 “Kedudukan Basyarnas Dalam Penyelesaian Sengketa


Perbankan Syariah”, Lambung Mangkurat, Vol. 1 No. 2.

Vinny Arviani Variza, 2011, “Kekuatan Mengikat Keputusan BASYARNAS


dalam Penyelesaian Sengketa Perbangkan Syariah di Semarang Jawa
Tengah”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

Peraturan Perundang-Undangan

Keputusan Rapat Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor :


Kep-09/MUI/XII/2003.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 93/PUU-X/2012.

Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang


no.7 Tahun 1989.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif


Penyelesaian Sengketa.

Anda mungkin juga menyukai