Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

AYAT TENTANG JU’ALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Tafsir Ayat Ekonomi

Dosen Pembimbing:
Muhammad Saepurrohman, S.Sy, M.H

Disusun Oleh:
Syihab Abdul Basit
Muhammad Zaki Fadhil
Sugianto

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


SEKOLAH TINGGI EKONOMI MANAJEMEN BISNIS ISLAM
TAHUN AJARAN 2019-2020
i

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, wabihi nasta’inu wa‘ala umuriddunya waddin,


washalatu wassalamu ‘ala asrafil anbiyai walmursalin, wa’ala alihi wasahbihi
wassalam. Segala puji bagi Allah dzat yang maha agung yang telah memberi banyak
kenikmatan terutama nikmat umur panjang dan kesehatan jasmani maupun rohani
sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat beriring
salam semoga selalu terhaturkan kepada junjungan alam Nabiallah Muhammad SAW.
Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan, terutama karena
terbatasnya referensi buku dan cara penyusunan materi. Namun dengan penuh kesabaran
dan terutama atas pertolongan dari Allah SWT akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini membahas tentang “Tafsir Ayat tentang Ju’alah” yang menjadi tugas kami
untuk mempresentasikan pembahasan tersebut dikelas.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing Bpk.
Muhammad Saepurrahman, S.Sy, M.H, yang telah membimbing serta mengajarkan kami
juga yang telah banyak membantu penyusun agar dapat menyelesaikan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada
pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan
kritiknya.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh..

Bandung, 30 Desember 2019

Penulis
ii

Kelompok 13

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................................1
1.1. Latar Belakang............................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.......................................................................................2
1.3. Tujuan Penulisan........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3
2.1. Ju’alah.........................................................................................................3
2.1.1. Pengertian Ju’alah.....................................................................................3
2.1.2. Rukun dan Syarat Ju’alah........................................................................4
2.1.3. Sighah Akad Ju’alah..................................................................................6
2.1.4. Pembatalan Ju’alah...................................................................................6
2.1.5. Hikmah Ju’alah..........................................................................................7
2.2. Ayat-Ayat Ju’alah......................................................................................7
2.2.1. Surat Yusuf: 72...........................................................................................7
2.2.2. Surat Al-Maidah: 2....................................................................................7
2.2.3. Surat An-Nissa: 58.....................................................................................8
2.3. Kandungan Ayat Ju’alah..........................................................................8
2.3.1. Surat Yusuf: 72...........................................................................................8
2.3.2. Surat Al-Maidah: 2....................................................................................8
iii

2.3.3. Surat An-Nissa: 58.....................................................................................9


2.4. Fatwa DSN-MUI Tentang Ju’alah...........................................................9
BAB III PENUTUP..........................................................................................................12
3.1. Kesimpulan...............................................................................................12
3.2. Saran.........................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................19
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali seseorang mendapatkan musibah


berupa kehilangan barang-barang berharga dan tinggi nilainya. Terlepas dari apa
sebab hilangnya barang tersebut, yang jelas berbagai upaya dilakukan untuk
mengembalikan barang yang dimilikinya. Biasanya, pemilik barang membuat
pengumuman kepada masyarakat dengan menjanjikan imbalan/komisi tertentu bagi
siapa saja yang bisa mengembalikan barangnya.

Model muamalah tersebut di dalam Islam dikenal dengan istilah al Ju’alah.


Secara konsep, al Ju’alah terlihat lebih sederhana dibanding dengan muamalah
lainnya seperti ijarah (sewa-menyewa), mudharabah (bagi hasil), dan murabahah
(pembiayaan). Namun demikian, pada zaman ini konsep ju’alah berkembang pesat
terutam pada dunia pendidikan dan bisnis.

Dalam dunia dunia pendidikan misalnya, di berbagai instansi seringkali stake


holder memberikan k bagi para pelajar/mahasiswa yang kreatif melakukan penelitan
dan riset yang bermanfaat bagi perkembangan zaman. Demikian juga tak kalah
menarik dalam dunia bisnis, banyak sekali perusahaan berani membayar mahal bagi
karyawan yang mampu mencapai target tertentu dalam memproduksi barang dan
jasa.

Tidak sebatas itu, dalam dunia modern, konsep al Ju’alah berkembang


menjadi dasar kegiatan inovatif dan kreativitas yang berhadiah. Namun demikian,
harus dicermati bahwa tidak semua sayembara berhadiah sesuai dengan konsep al
Ju’alah yang dibolehkan di dalam Islam.

Perlu dipahami dan dibedakan antara al Ju’alah, Ijarah, dan hadiah sehingga
tidak salah kaprah dalam menentukan hukum. Tiga muamalah tersebut memiliki
persamaan dan perbedaan masing-masing. Jadi, harus teliti dalam menghukuminya.
2

1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas penulis dapat menyimpulkan rumusan masalahnya


sebagai berikut:
1.2.1. Apa Definisi dari Akad Ju’alah?
1.2.2. Apa Rukun dan Syarat Ju’alah?
1.2.3. Apa Shigah Akad Ju’alah?
1.2.4. Bagaimana Terjadi Pembatalan Akad Ju’alah?
1.2.5. Apa Hikmah dari Ju’alah?
1.2.6. Apa Dalil Ayat Tentang Ju’alah?
1.2.7. Apa Kandungan Ayat Ju’alah?
1.2.8. Apa Fatwa DSN-MUI Mengenai Ju’alah Ini?

1.3. Tujuan Penulisan

Apapun tujuan penulisannya yaitu sebagai berikut:


1.2.1. Untuk Mengetahui Pembaca Mengenai Definisi dari Akad Ju’alah?
1.2.2. Untuk Mengetahui Pembaca Mengenai Rukun dan Syarat Ju’alah?
1.2.3. Untuk Mengetahui Pembaca Mengenai Shigah Akad Ju’alah?
1.2.4. Untuk Mengetahui Pembaca Mengenai Pembatalan Akad Ju’alah?
1.2.5. Untuk Mengetahui Pembaca Mengenai Apa Hikmah Dari Ju’alah?
1.2.6. Untuk Mengetahui Pembaca Mengenai Dalil Ayat Tentang Ju’alah?
1.2.7. Untuk Mengetahui Pembaca Mengenai Kandungan Ayat Ju’alah?
1.2.8. Untuk Mengetahui Pembaca Mengenai Fatwa DSN Mengenai Ju’alah?
3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Ju’alah

2.1.1. Pengertian Ju’alah

Manusia dalam kehidupannya selalu melaksanakan kegiatan sehari-hari,


kegiatan tersebut ada yang dilakukan orangnya sendiri dan ada juga yang
dilaksanakan orang lain, dengan kata lain menyuruh seseorang karena dia sendiri
tidak bisa melaksanakan sendiri. Kegiatan yang tidak bisa dilaksanakan sendiri
inilah kemudian menyuruh kepada orang lain yang harus diberi imbalan dalam
benttuk upah (ju’alah) atau pemberian.
Ju’alah (pemberian upah) menurut bahasa ialah apa yang diberikan kepada
seseorang karena sesuatu yang dikerjakannya. Jualah menurut Ibn Rusyd adalah
pemberian upah (hadiah) atas sesuatu manfaat yang diduga akan terwujud, seperti
mempersyaratkan kesembuhan dari seorang dokter, atau kemahiran dari seorang
guru, atau pencari/yang menemukan hamba yang lari.1
Menurut Abd Rahman al-Jaziri, yang dimaksud Ju’alah (pemberian upah)
adalah pemberian seseorang atau menyebutkan hadiah dalam jumlah tertentu
kepada orang yang mengerjakan perbuatan khusus, diketahui atau tidak diketahui.
Sebuah contoh, seseorang berkata: “barangsiapa membangun tembok ini untukku,
ia berhak mendapatkan uang sekian”. Maka orang yang membangun tembok
untuknya berhak atas hadiah (upah) yang dia sediakan, banyak atau sedikit.2
Secara terminologis, al-ju’lu berarti upah atau mengupah. Ja’altu lahu ju’lan
artinya aku membuat upah untuknya. Ji’alah juga dapat dibaca ja’alah. Ibnu Faris
menyatakan bahwa al-ja’lu, al-ja’alah artinya suatu pekerjaan yang ia lakukan.3
Secara syara’ sebagaimana dikemukan oleh Sayyid Sabiq : “Sebuah akad untuk
mendapatkan materi (upah) yang di duga kuat dapat diperoleh”.

1
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa al-hinayah al-muqtasid, Vol. 3 (Beirut: Dar al Jil, 1989, 101.
2
Abd. Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqhu ‘ala al-Madhahib al-Arba’ah, Vol. 3, (Beirut: Dar al-Fikr,
t.tp.), 326
3
Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar., hlm. 415.
4

Ji’alah secara etimologis yaitu memberikan upah kepada orang yang telah
melakukan pekerjaan untuknya, misalnya orang mengembalikan hewan yang
tersesat (dhalalah), mengembalikan budak yang kabur, membangun tembok,
menjahit pakaian, dan setiap pekerjaan yang mendapatkan upah. Menurut
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ji’alah adalah perjanjian imbalan tertentu dari
pihak pertama kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas atau pelayanan
yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama.4

2.1.2. Rukun dan Syarat Ju’alah

Rukun dan syarat ju’alah, yaitu:


1. Ja’il

Adalah pihak yang memberikan upah atau yang meminta pekerjaan.


Syaratnya adalah:
a. Pemilik langsung dari barang tersebut atau tugas yang diupahkan, atau
wakil dari pemilik asli.
b. Harus mukallaf, baligh, berakal dan punya hak tasharruf 5.

2. Amil

Yaitu pihak yang berhak atas upah yang telah dijanjikan tadi dari
pihak penerima. Tidak disyaratkan pihak amil (kedua) harus orang tertentu,
boleh saja bersifat umum. Begitu juga si Amil boleh satu orang atau
kelompok. Juga tidak disyaratkan untuk amil harus baligh dan berakal
hanya saja memiliki kemampuan untuk memenuhi permintaan pihak
kedua. Maka disini anak kecil tidak sah jika dia menjadi amil. Jika ja’il
menentukan amil secara spesifik namun orang lain yang melaksanakan
tugas tersebut maka ia tidak berhak mendapatkan upah.

3. Ijab
4
Mardabi, Fiqih Ekonomi Syariah; Fiqih Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 314
5
Hak tasharruf adalah kelayakan seseorang untuk melakukan transaksi dan muamalah dengan pihak
lain, yang dianggap sah secara syariat.
5

Yaitu setiap lafaz yang menunjukkan izin terhadap sebuah pekerjaan


dengan balasan berupa upah, contohnya, “bagi yang mampu menemukan
mobil saya yang hilang maka baginya Rp.1.000.000. boleh dengan isyarat
bagi orang bisu, begitu juga dalam bentuk iklan surat kabar dan lainnya.
Dalam lafaz ijab tidak diperbolehkan memakai tempo waktu, seperti “Bagi
siapa saja yang bisa menemukan mobil saya yang hilang hari ini maka ia
mendapatkan uang sekian”, maka dalam kasus ini tidak sah ju’alahnya.

4. Kabul

Yaitu sesuatu yang muncul dari amil, tidak disyaratkan berbentuk


lafaz. Jika amil satu orang maka cukup baginya untuk mengerjakan tugas
ju’alah maka sudah dihitung sebagai kabul.

5. Tugas

Tugas yang diminta oleh pihak pertama harus pekerjaan yang


memiliki kesulitan. Jika yang diminta adalah hal-hal yang sederhana tidak
dihitung sebagai ju’alah, permintaan untuk mengembalikan badan (perkara
mudah) maka tidak sah ju’alahnya.

6. Al-Ju’lu

Yaitu sejumlah bayaran yang telah disepakati oleh pihak pertama.


Tidak sah kecuali bayarannya telah ditentukan sejak awal, karena dari
tujuannya ju’alah termasuk akad mu’awadah. Maka tidak sah jika
bayarannya tidak disebutkan seperti halnya mahar yang diperbolehkan
untuk disebutkan ketika akad. Bagi yang tidak menyebutkan sejak awal
maka bagi pihak kedua berhak mendapatkan upah mitsli (rata-rata), karena
setiap akad yang wajib disebutkan agar dianggap sah, wajib senilai rata-
rata jika berubah menjadi akad fasid6.

6
Musthafa Dib Bugha, Fiqih Al-Mu’awadhat, Dar Musthafa, Damaskus, cetakan III, 2009, hal. 210
6

2.1.3. Sighah Akad Ju’alah

Akad ju’alah adalah komitmen berdasarkan kehendak satu pihak, sehingga


akad ju’alah tidak terjadi kecuali dengan adanya shigah dari yang akan memberi
upah (ja’il) dengan shigah-shigah dalam definisi di atas dan yang sejenisnya.
Shigah ini berisi izin untuk melaksanakan dengan permintaan yang jelas,
menyebutkan imbalan yang jelas, dan diinginkan secara umum serta adanya
komitmen untuk itu memenuhinya. Apabila seseorang pelaksana akad (‘amil)
memulai pekerjaan ju’alah tanpa izin dari pemberi upah atau ia memberi izin
kepada seseorang tapi yang mengerjakannya orang lain, maka orang itu tidak
berhak mendapatkan apa-apa. Hal itu karena pada kondisi pertama orang itu bekrja
dengan sukarela; dan pada kondisi kedua orang itu tidak melakukan apa-apa. Tidak
disyaratkan bagi ja’il harus seorang pemilik barang dalam ju’alah, sehingga
dibolehkan bagi selain pemilik barang untuk memberikan upah dan orang yang
dapat mengembalikan sesuatu itu berhak menerima upah tersebut7.

Juga tidak disayaratkan adanya ucapan qabul (penerimaan) dari ‘amil


(pelaksana), sekalipun ja’il telah mengkhususkan orang itu untuk melaksanakan
akad ju’alah tersebut, karena akad ini merupakan komitmen dari satu pihak
sebagaimana telah dijelaskan di atas. Akad ju’alah diperbolehkan dikhususkan
untuk orang tertentu saja atau untuk umum. Seorang ja’il juga dibolehkan untuk
memberikan bagi orang khusus imbalan tertentu dan bagi orang lain imbalan yang
berbeda8.

2.1.4. Pembatalan Ju’alah

Tiap-tiap keduanya, boleh membatalkan/menghentikan perjanjian sebelum


bekerja. Kalau yang membatalkannya orang yang bekerja dan dia tidak mendapat
upah walaupun dia sudah bekerja. Tetapi kalau yang membatalkan dari pihak yang

7
Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie, dkk, Fiqih
Islam Wa Adillatuhu, op-cit, h. 434.
8
Ibid.
7

menjanjikan upah, maka yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan
yang sudah dikerjakan9.

2.1.5. Hikmah Ju’alah

Ju’alah merupakan pemberian penghargaan kepada orang lain berupa materi


karena orang itu telah bekerja dan membantu mengembalikan sesuatu yang
berharga. Baik itu berupa materi (barang yang hilang) atau mengembalikan
kesehatan atau membantu seseorang menghafal al-Qur’an. Hikmah yang dapat
dipetik adalah dengan ji’alah dapat memperkuat persaudaraan dan persahabatan,
menanamkan sikap saling menghargai dan akhirnya tercipta sebuah komunitas yang
saling tolong-menolong dan bahu-membahu. Dengan ju’alah, akan terbangun suatu
semangat dalam melakukan sesuatu bagi para pekerja.
Terkait dengan ju’alah sebagai sesuatu pekerjaan yang baik, Islam
mengajarkan bahwa Allah selalu menjanjikan balasan berupa surga bagi mereka
yang mau melaksanakan perintahnya, seseorang akan memperoleh pahala dari
pekerjaan yang baik yang ia kerjakan.

2.2. Ayat-Ayat Ju’alah

2.2.1. Surat Yusuf: 72.

ِ ِِ ٍِ ‫ِ ِ مِح‬ ِ ِِ ِ
ٌ‫اع الْ َم ل ك َو ل َم ْن َج اءَ ب ه ْ ُل بَع ري َو أَنَا ب ه َز ع يم‬
َ ‫ص َو‬
ُ ‫قَ الُ وا َن ْف ق ُد‬
Artinya :
“Penyeru-penyeru itu berkata: “Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan
aku menjamin terhadapnya”.(Qs. Yusuf [12]: 72)

9
Saifulloh Al Aziz S, Fiqih Islam Lengkap, op-cit, h. 382
8

2.2.2. Surat Al-Maidah: 2

ُ ‫الت ْق َوى َوالَ َت َع َاونُ ْوا َعلَى اْ ِإلمْثِ َوالْعُ ْد َو ِان َو َّات ُقوا اللَّهَ إِ َّن اللَّهَ َش ِد‬
‫يد‬ َّ ‫َوَت َع َاونُ ْوا َعلَى الْرِب ِّ َو‬

ِ ‫الْعِ َق‬
‫اب‬
Artinya :
"...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya" (QS. al-Maidah [5]:
2)

2.2.3. Surat An-Nissa: 58

ِ ِ ‫ات إِىَل ٰ أ َْهلِ َها َوإِذَا َح َك ْمتُ ْم َبنْي َ الن‬


َ‫َّاس أَ ْن حَتْ ُك ُموا بِالْ َع ْدل ۚ إِ َّن اللَّه‬
ِ َ‫إِ َّن اللَّه يأْمر ُكم أَ ْن تُؤ ُّدوا اأْل َمان‬
َ َ ْ ُُ َ َ
ِ ‫نِعِ َّما يعِظُ ُكم بِِه ۗ إِ َّن اللَّه َكا َن مَسِ يعا ب‬
‫ص ًريا‬ َ ً َ ْ َ
Artinya :
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat”. (Qs. An-Nissa [4]: 58)

2.3. Kandungan Ayat Ju’alah

2.3.1. Surat Yusuf: 72

Penyeru-penyeru itu berkata, "Kami kehilangan piala (teko raja) dan bagi
siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh hadiah seberat beban unta
berupa bahan makanan (dan aku terhadapnya) tentang hadiah itu (menjadi
penjamin) yang menanggungnya”.10

10
Tafsir Jalalain
9

2.3.2. Surat Al-Maidah: 2

(Bertolong-tolonglah kamu dalam kebaikan) dalam mengerjakan yang


dititahkan (dan ketakwaan) dengan meninggalkan apa-apa yang dilarang (dan
janganlah kamu bertolong-tolongan) pada ta`aawanu dibuang salah satu di antara
dua ta pada asalnya (dalam berbuat dosa) atau maksiat (dan pelanggaran) artinya
melampaui batas-batas ajaran Allah. (Dan bertakwalah kamu kepada Allah) takutlah
kamu kepada azab siksa-Nya dengan menaati-Nya (sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya) bagi orang yang menentang-Nya.11

2.3.3. Surat An-Nissa: 58

Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian, wahai orang-orang yang


beriman, untuk menyampaikan segala amanat Allah atau amanat orang lain kepada
yang berhak secara adil. Jangan berlaku curang dalam menentukan suatu keputusan
hukum. Ini adalah pesan Tuhanmu, maka jagalah dengan baik, karena merupakan
pesan terbaik yang diberikan-Nya kepada kalian. Allah selalu Maha Mendengar apa
yang diucapkan dan Maha Melihat apa yang dilakukan. Dia mengetahui orang yang
melaksanakan amanat dan yang tidak melaksanakannya, dan orang yang
menentukan hukum secara adil atau zalim. Masing-masing akan mendapatkan
ganjarannya.12

2.4. Fatwa DSN-MUI Tentang Ju’alah

FATWA
DEWAN SYARIAH NASIONAL
NO: 62/DSN-MUI/XII/2007
Tentang
AKAD JU’ALAH

11
Tafsir Jalalain
12
Tafsir Quraish Shihab
10

Menetapkan : FATWA TENTANG AKAD JU’ALAH


Pertama : Ketentuan Umum

Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan :


1. Ju’alah adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan
imbalan (reward/’iwadh//ju’l) tertentu atas pencapaian hasil
(natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan.
2. Ja’il adalah pihak yang berjanji akan memberikan imbalan
tertentu atas pencapaian hasil pekerjaan (natijah) yang
ditentukan.
3. Maj’ul lah adalah pihak yang melaksanakan Ju’alah.

Kedua : Ketentuan Akad

Akad Ju’alah boleh dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan


jasa sebagaimana dimaksud dalam konsideran di atas dengan
ketentuan sebagai berikut:

1. Pihak Ja’il harus memiliki kecakapan hukum dan kewenangan


(muthlaq al-tasharruf) untuk melakukan akad.

2. Objek Ju’alah (mahal al-‘aqd/maj’ul ‘alaih) harus berupa


pekerjaan yang tidak dilarang oleh syariah, serta tidak
menimbulkan akibat yang dilarang.
3. Hasil pekerjaan (natijah) sebagaimana dimaksud harus jelas dan
diketahui oleh para pihak pada saat penawaran.
4. Imbalan Ju’alah (reward/’iwadh//ju’l) harus ditentukan
besarannya oleh Ja’il dan diketahui oleh para pihak pada saat
penawaran, dan
5. Tidak boleh ada syarat imbalan diberikan di muka (sebelum
pelaksanaan objek Ju’alah)

Ketiga : Ketentuan Hukum

1. Imbalan Ju’alah hanya berhak diterima oleh pihak maj’ul lah


apabila hasil dari pekerjaan tersebut terpenuhi.
11

2. Pihak Ja’il harus memenuhi imbalan yang diperjanjikannya jika


pihak maj’ullah menyelesaikan (memenuhi) prestasi (hasil
pekerjaan/ natijah) yang ditawarkan.

Keempat : Ketentuan Penutup

1. Jika terjadi perselisihan (persengketaan) di antara para pihak, dan


tidak tercapai kesepakatan di antara mereka maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah
Nasional atau melalui Pengadilan Agama.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika
di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan
disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta

Pada Tanggal : 26 Zul Qa’dah 1428 H


06 Desember 2007 M
12

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

3.1.1. Ju’alah

3.1.1.1. Pengertian Ju’alah


Ju’alah diartikan sebagai sesuatu yang disiapkan untuk diberikan kepada
seseorang yang berhasil melakukan perbuatan tertentu,  atau juga diartikan sebagai
sesuatu yang diberikan kepada sesorang karena telah melakukan pekerjaan tertentu.
Ju’alah juga dapat dinamakan janji memberikan hadiah (bonus, komisi atau upah
tertentu), maka ju’alah adalah akad atau komitmen dengan kehendak satu pihak.
Dan berdasarkan landasah hukum tentang ji’alah, maka ju’alah hukumnya yaitu
mubah atau dengan kata lain boleh dilakukan akan tetapi dengan syarat-syarat
tertentu juga yang telah di tentukan ilmu fiqih yang diajarkan dalam agama islam.

3.1.1.2. Rukun dan Syarat Ju’alah

Rukun dan syarat ju’alah, yaitu:


1. Ja’il
Adalah pihak yang memberikan upah atau yang meminta pekerjaan.
Syaratnya adalah:
c. Pemilik langsung dari barang tersebut atau tugas yang diupahkan, atau
wakil dari pemilik asli.
d. Harus mukallaf, baligh, berakal dan punya hak tasharruf 13.
2. Amil
Yaitu pihak yang berhak atas upah yang telah dijanjikan tadi dari
pihak penerima. Tidak disyaratkan pihak amil (kedua) harus orang tertentu,
boleh saja bersifat umum. Begitu juga si Amil boleh satu orang atau
kelompok. Juga tidak disyaratkan untuk amil harus baligh dan berakal hanya

13
Hak tasharruf adalah kelayakan seseorang untuk melakukan transaksi dan muamalah sengan pihak
lain, yang dianggap sah secara syariat.
13

saja memiliki kemampuan untuk memenuhi permintaan pihak kedua. Maka


disini anak kecil tidak sah jika dia menjadi amil. Jika ja’il menentukan amil
secara spesifik namun orang lain yang melaksanakan tugas tersebut maka ia
tidak berhak mendapatkan upah.
3. Ijab
Yaitu setiap lafaz yang menunjukkan izin terhadap sebuah pekerjaan
dengan balasan berupa upah, contohnya, “bagi yang mampu menemukan
mobil saya yang hilang maka baginya Rp.1.000.000. boleh dengan isyarat
bagi orang bisu, begitu juga dalam bentuk iklan surat kabar dan lainnya.
Dalam lafaz ijab tidak diperbolehkan memakai tempo waktu, seperti “Bagi
siapa saja yang bisa menemukan mobil saya yang hilang hari ini maka ia
mendapatkan uang sekian”, maka dalam kasus ini tidak sah ju’alahnya.
4. Kabul
Yaitu sesuatu yang muncul dari amil, tidak disyaratkan berbentuk
lafaz. Jika amil satu orang maka cukup baginya untuk mengerjakan tugas
ju’alah maka sudah dihitung sebagai kabul.
5. Tugas
Tugas yang diminta oleh pihak pertama harus pekerjaan yang
memiliki kesulitan. Jika yang diminta adalah hal-hal yang sederhana tidak
dihitung sebagai ju’alah, permintaan untuk mengembalikan badan (perkara
mudah) maka tidak sah ju’alahnya.

6. Al-Ju’lu
Yaitu sejumlah bayaran yang telah disepakati oleh pihak pertama.
Tidak sah kecuali bayarannya telah ditentukan sejak awal, karena dari
tujuannya ju’alah termasuk akad mu’awadah. Maka tidak sah jika
bayarannya tidak disebutkan seperti halnya mahar yang diperbolehkan untuk
disebutkan ketika akad. Bagi yang tidak menyebutkan sejak awal maka bagi
pihak kedua berhak mendapatkan upah mitsli (rata-rata), karena setiap akad
yang wajib disebutkan agar dianggap sah, wajib senilai rata-rata jika
berubah menjadi akad fasid14.
14
Musthafa Dib Bugha, Fiqih Al-Mu’awadhat, Dar Musthafa, Damaskus, cetakan III, 2009, hal. 210
14

3.1.1.3. Sighah Akad Ju’alah

Akad ji’alah adalah komitmen berdasarkan kehendak satu pihak, sehingga


akad ji’alah tidak terjadi kecuali dengan adanya shigah dari yang akan memberi
upah (ja’il) dengan shigah-shigah dalam definisi di atas dan yang sejenisnya.
Shigah ini berisi izin untuk melaksanakan dengan permintaan yang jelas,
menyebutkan imbalan yang jelas, dan diinginkan secara umum serta adanya
komitmen untuk itu memenuhinya. Apabila seseorang pelaksana akad (‘amil)
memulai pekerjaan ji’alah tanpa izin dari pemberi upah atau ia memberi izin kepada
seseorang tapi yang mengerjakannya orang lain, maka orang itu tidak berhak
mendapatkan apa-apa. Hal itu karena pada kondisi pertama orang itu bekrja dengan
sukarela; dan pada kondisi kedua orang itu tidak melakukan apa-apa. Tidak
disyaratkan bagi ja’il harus seorang pemilik barang dalam ji’alah, sehingga
dibolehkan bagi selain pemilik barang untuk memberikan upah dan orang yang
dapat mengembalikan sesuatu itu berhak menerima upah tersebut15.

2.1.1.4. Pembatalan Ju’alah


Tiap-tiap keduanya, boleh membatalkan/menghentikan perjanjian sebelum
bekerja. Kalau yang membatalkannya orang yang bekerja dan dia tidak mendapat
upah walaupun dia sudah bekerja. Tetapi kalau yang membatalkan dari pihak yang
menjanjikan upah, maka yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan
yang sudah dikerjakan16.

3.1.1.5. Hikmah Ju’alah


Ju’alah merupakan pemberian penghargaan kepada orang lain berupa materi
karena orang itu telah bekerja dan membantu mengembalikan sesuatu yang
berharga. Baik itu berupa materi (barang yang hilang) atau mengembalikan
kesehatan atau membantu seseorang menghafal al-Qur’an. Hikmah yang dapat
dipetik adalah dengan ji’alah dapat memperkuat persaudaraan dan persahabatan,
menanamkan sikap saling menghargai dan akhirnya tercipta sebuah komunitas yang
15
Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie, dkk, Fiqih
Islam Wa Adillatuhu, op-cit, h. 434.
16
Saifulloh Al Aziz S, Fiqih Islam Lengkap, op-cit, h. 382
15

saling tolong-menolong dan bahu-membahu. Dengan ju’alah, akan terbangun suatu


semangat dalam melakukan sesuatu bagi para pekerja.
Terkait dengan ju’alah sebagai sesuatu pekerjaan yang baik, Islam
mengajarkan bahwa Allah selalu menjanjikan balasan berupa surga bagi mereka
yang mau melaksanakan perintahnya, seseorang akan memperoleh pahala dari
pekerjaan yang baik yang ia kerjakan.

3.1.2. Ayat-Ayat Ju’alah

3.1.2.1. Surat Yusuf: 72.

ِ ِِ ٍِ ‫ِ ِ مِح‬ ِ ِِ ِ
ٌ‫اع الْ َم ل ك َو ل َم ْن َج اءَ ب ه ْ ُل بَع ري َو أَنَا ب ه َز ع يم‬
َ ‫ص َو‬
ُ ‫قَ الُ وا نَ ْف ق ُد‬
Artinya :
“Penyeru-penyeru itu berkata: “Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan
aku menjamin terhadapnya”.(Qs. Yusuf [12]: 72)

3.1.2.2. Surat Al-Maidah: 2

ُ ‫الت ْق َوى َوالَ َت َع َاونُ ْوا َعلَى اْ ِإلمْثِ َوالْعُ ْد َو ِان َو َّات ُقوا اللَّهَ إِ َّن اللَّهَ َش ِد‬
‫يد‬ َّ ‫َوَت َع َاونُ ْوا َعلَى الْرِب ِّ َو‬

ِ ‫الْعِ َق‬
‫اب‬
Artinya :
"...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya" (QS. al-Maidah [5]:
2)

3.1.2.3. Surat An-Nissa: 58


16

ِ ‫ات إِىَل ٰ أ َْهلِ َها َوإِ َذا َح َك ْمتُ ْم َبنْي َ الن‬


ۚ ‫َّاس أَ ْن حَتْ ُك ُموا بِالْ َع ْد ِل‬ ِ َ‫إِ َّن اللَّه يأْمر ُكم أَ ْن ُتؤ ُّدوا اأْل َمان‬
َ َ ْ ُُ َ َ
ِ ‫إِ َّن اللَّه نِعِ َّما يعِظُ ُكم بِِه ۗ إِ َّن اللَّه َكا َن مَسِ يعا ب‬
‫ص ًريا‬ َ ً َ ْ َ َ
Artinya :
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat”. (Qs. An-Nissa [4]: 58).

3.1.3. Kandungan Ayat Ju’alah

3.1.3.1. Surat Yusuf: 72


Penyeru-penyeru itu berkata, "Kami kehilangan piala (teko raja) dan bagi
siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh hadiah seberat beban unta
berupa bahan makanan (dan aku terhadapnya) tentang hadiah itu (menjadi
penjamin) yang menanggungnya”.17

3.1.3.2. Surat Al-Maidah: 2


(Bertolong-tolonglah kamu dalam kebaikan) dalam mengerjakan yang
dititahkan (dan ketakwaan) dengan meninggalkan apa-apa yang dilarang (dan
janganlah kamu bertolong-tolongan) pada ta`aawanu dibuang salah satu di antara
dua ta pada asalnya (dalam berbuat dosa) atau maksiat (dan pelanggaran) artinya
melampaui batas-batas ajaran Allah. (Dan bertakwalah kamu kepada Allah) takutlah
kamu kepada azab siksa-Nya dengan menaati-Nya (sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya) bagi orang yang menentang-Nya.18

3.1.3.3. Surat An-Nissa: 58


Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian, wahai orang-orang yang
beriman, untuk menyampaikan segala amanat Allah atau amanat orang lain kepada
17
Tafsir Jalalain
18
Tafsir Jalalain
17

yang berhak secara adil. Jangan berlaku curang dalam menentukan suatu keputusan
hukum. Ini adalah pesan Tuhanmu, maka jagalah dengan baik, karena merupakan
pesan terbaik yang diberikan-Nya kepada kalian. Allah selalu Maha Mendengar apa
yang diucapkan dan Maha Melihat apa yang dilakukan. Dia mengetahui orang yang
melaksanakan amanat dan yang tidak melaksanakannya, dan orang yang
menentukan hukum secara adil atau zalim. Masing-masing akan mendapatkan
ganjarannya.19

2.4. Fatwa DSN-MUI Tentang Ju’alah

Menetapkan : FATWA TENTANG AKAD JU’ALAH


Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan :
1. Ju’alah adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan
imbalan (reward/’iwadh//ju’l) tertentu atas pencapaian hasil
(natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan.
2. Ja’il adalah pihak yang berjanji akan memberikan imbalan
tertentu atas pencapaian hasil pekerjaan (natijah) yang
ditentukan.
3. Maj’ul lah adalah pihak yang melaksanakan Ju’alah.
Kedua : Ketentuan Akad
Akad Ju’alah boleh dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
jasa sebagaimana dimaksud dalam konsideran di atas dengan
ketentuan sebagai berikut:

1. Pihak Ja’il harus memiliki kecakapan hukum dan kewenangan


(muthlaq al-tasharruf) untuk melakukan akad.

i. 2. Objek Ju’alah (mahal al-‘aqd/maj’ul ‘alaih) harus berupa


pekerjaan yang tidak dilarang oleh syariah, serta tidak
menimbulkan akibat yang dilarang.
3. Hasil pekerjaan (natijah) sebagaimana dimaksud harus jelas dan
diketahui oleh para pihak pada saat penawaran.
19
Tafsir Quraish Shihab
18

4. Imbalan Ju’alah (reward/’iwadh//ju’l) harus ditentukan


besarannya oleh Ja’il dan diketahui oleh para pihak pada saat
penawaran, dan
5. Tidak boleh ada syarat imbalan diberikan di muka (sebelum
pelaksanaan objek Ju’alah)
Ketiga : Ketentuan Hukum

1. Imbalan Ju’alah hanya berhak diterima oleh pihak maj’ul lahu


apabila hasil dari pekerjaan tersebut terpenuhi.
2. Pihak Ja’il harus memenuhi imbalan yang diperjanjikannya jika
pihak maj’ullah menyelesaikan (memenuhi) prestasi (hasil
pekerjaan/ natijah) yang ditawarkan.

Keempat : Ketentuan Penutup


1. Jika terjadi perselisihan (persengketaan) di antara para pihak, dan
tidak tercapai kesepakatan di antara mereka maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah
Nasional atau melalui Pengadilan Agama.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika
di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan
disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta

Pada Tanggal : 26 Zul Qa’dah 1428 H


06 Desember 2007 M

3.2. Saran

Berdasarkan makalah ini sekarang kita telah memiliki landasan hukum yang
kuat mengenai Ju’alah disertai Fatwa DSN-MUI tentang Ju’alah yang menjadi
landasan bagi kegiatan muamalat bagi kehidupan sehari-hari. Dan dalam penulisan
19

makalah ini penulis menyadari bahwa didalam malakah masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
dapat membangun penulisan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa al-hinayah al-muqtasid, Vol. 3 (Beirut: Dar al Jil,

1989, 101.)

Abd. Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqhu ‘ala al-Madhahib al-Arba’ah, Vol. 3, (Beirut: Dar

al-Fikr, t.tp.)

Mardabi, Fiqih Ekonomi Syariah; Fiqih Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012)

Musthafa Dib Bugha, Fiqih Al-Mu’awadhat, Dar Musthafa, Damaskus, cetakan III, 2009

Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie, dkk,

Fiqih Islam Wa Adillatuhu

Saifulloh Al Aziz S, Fiqih Islam Lengkap

Anda mungkin juga menyukai