Anda di halaman 1dari 248

KAIDAH FIQIH

EKONOMI SYARIAH
(KUMPULAN MAKALAH KAIDAH FIQIH EKONOMI SYARIAH)
KAIDAH FIQIH EKONOMI SYARIAH
(KUMPULAN MAKALAH KAIDAH FIQIH EKONOMI SYARIAH)

MATA KULIAH KAIDAH FIQIH EKONOMI SYARIAH


Dosen Pengampu : Bagus Rohmatulloh, ME.

TIM PENYUSUN
KONSEP DASAR KAIDAH KAIDAH TENTANG KEBUTUHAN MENDUDUKI
FIQIH KEMUDHARATAN POSISI DARURAT
Rosa Rosdiana Mumud Salimudin Poppy Lalita Apriliya

RUANG LINGKUP KAIDAH


KAIDAH TENTANG SETIAP YANG MEMBAWA
FIKIH
KEBIASAAN MANFAAT DIBOLEHKAN
Siti Aisyah
Feby Febrianti Dela Sena Putri
Anissah
KAIDAH TENTANG NIAT
HUKUM DASAR MUAMALAH
Wildan Aldi Fauzi
ADALAH BOLEH HUKUM ASAL DALAM
Maulana Fajar Sidik
Suci Nur Assifah TRANSAKSI ADALAH
KERIDHAAN
KAIDAH TENTANG YAKIN
UNGKAPAN DALAM AKAD Rivaldy Hermawan Putra
Agung Nugraha
ADALAH MAKSUD DAN
Asep Ismail Saleh
SUBSTANSI
Wardianto Darmawan
KAIDAH TENTANG
Ahsanudin Husnul Ma’ab
KEMUDAHAN
Neneng Nurholipah

EDITOR, SETTING LAYOUT DAN DESAIN SAMPUL


Abu Awwaab
KATA PENGANTAR
BAGUS ROHMATULLOH, ME.
Dosen Pengampu Mata Kuliah Kaidah Fiqih Ekonomi Syariah
Program Studi Ekonomi Syariah STAIPI Bandung

Segala puji adalah milik Allah SWT., karena itu di setiap kesempatan
dan suasana patutlah kita senantiasa panjatkan puji dan syukur kepada-Nya.
Hanya kepada-Nya pula patut dipersembahkan segala takbir, tahmid dan
tahiyat. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad
SAW. yang diutus membawa syariah yang mudah sebagai jalan dalam
menempuh kebahagiaan dunia dan akhirat menuju keridhaan-Nya.
Kaidah Fiqih Ekonomi Syariah merupakan kumpulan hukum universal
yang dibuat oleh para ulama dan sangat berguna memudahkan kita ketika
menyelesaikan permasalahan hukum ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.
Kaidah tersebut yang menjadi objeknya adalah harta atau muamalah
maliyah. Mengingat bahasan muamalah maliyah lebih banyak dibahas para
ulama dari pada bahasan lainnya dalam beragam kitabnya, maka kaidah fikih
muamalahpun lebih banyak dari pada kaidah fikih lainnya.

Kata Pengantar i
Oleh karena itu, memahami kaidah fikih muamalah merupakan
merupakan keniscayaan bagi pengkaji fikih muamalah, praktisi ekonomi
islam dan kademisi. Apalagi persoalan muamalah senantias berkembang
seiring perkembangan zaman dan sesuai karakter fikih itu sendiri yang
dinamis dan fleksibel. Karena karakter demikian, maka kaidah fikih pun,
terutama kaidah fikih muamalah tak menutup kemungkinan melahirkan
kaidah fikih muamalah baru, namun tetap berpola pada kaidah fikih yang
dikemukakan para ulama terdahulu.
Terima kasih kepada seluruh mahasiswa semester 6 ekonomi syariah
semoga dengan pembuatan makalah ini sebagai pengingat dan kenang-
kenangan untuk bekal di masa depan dan mudah mudahan apa yang sudah
dicurahkan memberikan manfaat bagi kita semua. Aamiin ya rabbal alamin

ii Bagus Rohmatulloh, ME.


PRAKATA

Sesungguhnya segala puji hanya milik Allah SWT. kita memuji,


meminta pertolongan, meminta ampunan dan bertaubat kepada-Nya. Kita
berlindung kepada Allah SWT. dari kejahatan diri dan keburukan perbuatan
kita. Siapapun yang diberi petunjuk oleh Allah SWT., maka tidak ada yang
bisa menyesatkannya. Dan siapa yang disesatkan-Nya maka tidak ada yang
bisa memberi petunjuk kepadanya. Kami bersaksi bahwa tiada Ilah yang hak
untuk disembah selain Allah SWT. dan tiada sekutu baginya. Dan Kami
bersaksi bahwa Muhammad SAW. adalah hamba dan Rasul-Nya.
Kami sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan buku yang berjudul
“Kaidah Fiqih Ekonomi Syariah: Kumpulan Makalah Kaidah Fiiqh
Ekonomi Syariah” tepat pada waktunya. Buku ini merupakan kumpulan
makalah mata kuliah kaidah fiqih ekonomi syariah yang dipelajari di
Program Studi Ekonomi Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam PERSIS
Bandung pada semester VI. Buku ini terdiri dari dua belas pokok bahasan
yang disajikan secara verbal dan sistematis. Adapun pokok bahasan yang
disajikan dalam buku ini adalah :
Bab 1 : Konsep Dasar Kaidah Fiqih

Prakata iii
Bab 2 : Ruang Lingkup Kaidah Fiqih
Bab 3 : Kaidah Tentang Niat
Bab 4 : Kaidah Tentang Yakin
Bab 5 : Kaidah Tentang Kemudahan
Bab 6 : Kaidah Tentang Kemudlaratan
Bab 7 : Kaidah Tentang Kebiasaan
Bab 8 : Hukum Dasar Muamalah adalah Mubah
Bab 9 : Ungkapan dalam Akad Adalah Maksud dan Substansi
Bab 10 : Kebutuhan Menduduki Posisi Darurat
Bab 11 : Setiap yang Membawa Manfaat Dibolehkan
Bab 12 : Hukum Asal dalam Transaksi adalah Keridlaan
Kami menyadari buku ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan kritik dan saran konstruktif dari berbagai pihak
demi penyempurnaan buku ini. Harapan kami semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca, terutama menambah wawasan mengenai
fiqih muamalah dari perspektif hadits.
Selanjutnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam menyelesaikan buku ini dengan baik. Terima kasih
secara khusus kami sampaikan kepada Bapak Bagus Rohmatulloh, ME. yang
telah membimbing kami dan berkenan memberikan kata pengantar untuk
buku ini. Para penulis yang telah mengorbankan waktu dan tenaganya demi
terrealisasinya buku ini, diantaranya Mumud Salimudin, Maulana Fajar
Sidik, Rivaldy Hermawan Putra, Wardianto Darmawan, Poppy Lalita
Aprilia, Neneng Nurholipah, Ahsanudin Husnul Ma’ab, Asep Ismail Saleh,
Wildan Aldi Fauzi, Suci Nur Assifah, Agung Nugraha, Rosa Rosdiana, Siti
Aisyah, dan Anissah. Semoga Allah memberkan balasan yang berlipat dan
menjadikan ilmu mereka bermanfaat.

iv Prakata
Demikian, semoga Allah SWT. memberikan kita kekuatan dan
keikhlasan untuk berjuang demi kemajuan umat di segala bidang kehidupan.
Aamiin.

Bandung, 28 Juni 2021


Tim Penyusun

Prakata v
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................... i


Bagus Rohmatullah, ME.
Dosen Mata Kuliah Kaidah Fiqih Ekonomi Syariah
Sekolah Tinggi Agama Islam PERSIS Bandung
PRAKATA ........................................................................ iii
DAFTAR ISI ..................................................................... v
BAB 1
KONSEP DASAR KAIDAH FIQIH ........................................ 1
Rosa Rosdiana
A. Pendahuluan .................................................................................. 1
1. Latar Belakang ........................................................................... 1
2. Rumusan Masalah ..................................................................... 2
3. Tujuan Penulisan ....................................................................... 2
B. Pembahasan ................................................................................... 3
1. Pengertian Qawaid Fiqhiyyah .................................................... 3
2. Perbedaan Qawaid Fiqhiyyah dengan Qawaid Ushuliyyah .......... 6
3. Perbedaan Qawaid Fiqhiyyah dengan Dhawabith Fiqhiyyah ....... 8
4. Hubungan antara Ushul Fiqh, Fiqh dan Qawaid Fiqhiyyah ......... 9

Daftar Isi v
5. Tujuan dan Pentingnya Mempelajari Qawaid Fiqhiyyah ............. 11
6. Dasar-Dasar Pengambilan Qawaid Fiqhiyyah ............................. 12
7. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Qawaid Fiqhiyyah ...... 12
C. Penutup .......................................................................................... 15
1. Kesimpulan ................................................................................ 15
2. Saran ......................................................................................... 16
D. Daftar Pustaka ................................................................................ 16
BAB 2
RUANG LINGKUP KAIDAH FIQIH ..................................... 19
Siti Aisyah
A. Pendahuluan .................................................................................. 19
1. Latar Belakang ........................................................................... 19
2. Rumusan Masalah ..................................................................... 20
3. Tujuan Penulisan ....................................................................... 20
B. Pembahasan ................................................................................... 20
1. Ruang Lingkup Qawaid Fiqhiyyah ............................................. 20
2. Perbedaan Qawaid Fiqhiyyah dan Ushul Fiqh ............................. 22
3. Hubungan Qawaid Fiqhiyyah dengan Fiqih, Ushul Fiqih dan
Qawaid Ushuliyyah .................................................................... 24
4. Tujuan Mempelajari Qawaid Fiqhiyyah ...................................... 26
C. Penutup .......................................................................................... 27
1. Kesimpulan ................................................................................ 27
2. Saran ......................................................................................... 28
D. Daftar Pustaka ................................................................................ 28
BAB 3
KAIDAH TENTANG NIAT .................................................. 31
Wildan Aldi Fauzi, Maulana Fajar Sidik
A. Pendahuluan .................................................................................. 31
1. Latar Belakang ........................................................................... 31
2. Rumusan Masalah ..................................................................... 32

vi Daftar Isi
3. Tujuan Penulisan ....................................................................... 32
B. Pembahasan ................................................................................... 32
1. Teks Kaidah tentang Niat ........................................................... 32
2. Dasar Hukum Kaidah ................................................................ 33
3. Pengertian Al-Umuru bi Maqashidiha ......................................... 37
4. Konsekuensi Niat ....................................................................... 38
5. Pengecualian Kaidah .................................................................. 39
6. Kaidah Cabang .......................................................................... 40
7. Penerapan Kaidah Tentang Niat ................................................. 42
C. Penutup .......................................................................................... 45
1. Kesimpulan ................................................................................ 45
2. Saran ......................................................................................... 46
D. Daftar Pustaka ................................................................................ 46
BAB 4
KAIDAH TENTANG YAKIN ............................................... 49
Agung Nugraha, Asep Ismail Saleh
A. Pendahuluan .................................................................................. 49
1. Latar Belakang ........................................................................... 49
2. Rumusan Masalah ..................................................................... 50
3. Tujuan Penulisan ....................................................................... 50
B. Pembahasan ................................................................................... 50
1. Teks Kaidah Tentang Yakin ........................................................ 50
2. Dasar Kaidah ............................................................................. 51
3. Definisi Kaidah Yakin ................................................................ 51
4. Uraian Kaidah Yakin ................................................................. 58
5. Macam-Macam Syak .................................................................. 61
6. Contoh Penerapan Kaidah Yakin ................................................ 62
C. Penutup .......................................................................................... 67
1. Kesimpulan ................................................................................ 67
2. Saran ......................................................................................... 68

Daftar Isi vii


D. Daftar Pustaka ................................................................................ 68
BAB 5
KAIDAH TENTANG KEMUDAHAN .................................... 71
Neneng Nurholipah
A. Pendahuluan .................................................................................. 71
1. Latar Belakang ........................................................................... 71
2. Rumusan Masalah ..................................................................... 74
3. Tujuan Penulisan ....................................................................... 74
B. Pembahasan ................................................................................... 74
1. Teks Kaidah tentang Kemudahan ............................................... 74
2. Dasar Hukum Kaidah ................................................................. 75
3. Pengertian Kaidah Kemudahan .................................................. 76
4. Kriteria Kesukaran dan Sebab Timbulnya Keringanan ................. 79
5. Macam-Macam Keringanan (Takhfif) ......................................... 83
6. Hukum Rukhsah ........................................................................ 84
7. Kaidah-Kaidah Cabang .............................................................. 85
8. Penerapan Kaidah dalam Bidang Muamalah ............................... 86
C. Penutup .......................................................................................... 89
1. Kesimpulan ................................................................................ 89
2. Saran ......................................................................................... 91
D. Daftar Pustaka ................................................................................ 91
BAB 6
KAIDAH TENTANG KEMUDHARATAN .............................. 93
Mumud Salimudin
A. Pendahuluan .................................................................................. 93
1. Latar Belakang ........................................................................... 93
2. Rumusan Masalah ..................................................................... 94
3. Tujuan Penulisan ....................................................................... 94
B. Pembahasan ................................................................................... 95
1. Teks Kaidah tentang Dharurat .................................................... 95

viii Daftar Isi


2. Makna Kaidah tentang Darurat .................................................. 95
a. Makna Teks Kaidah tentang Dharurat .................................... 95
b. Pengertian Dharurat ............................................................... 96
3. Dasar Hukum Kaidah tentang Dharurat ..................................... 97
4. Kedudukan Dharuriyah .............................................................. 99
a. Masyaqat dan Dharuriyah ...................................................... 99
b. Macam-Macam Dharuriyah ................................................... 99
c. Lima Dharuriyah ................................................................... 100
d. Derajat Kebutuhan Manusia ................................................... 104
e. Syarat Hajat dan Dharurat Bisa Merubah Hukum ................... 105
5. Kaidah-Kaidah Cabang .............................................................. 106
6. Aplikasi Kaidah dalam Fikih Muamalah ..................................... 111
a. Praktik Ihtikar ........................................................................ 111
b. Garansi Jual Beli Barang Elektronik ....................................... 113
c. Pelelangan Barang Jaminan Gadai ......................................... 114
d. Transaksi Lindung Nilai Syariah ............................................ 115
C. Penutup .......................................................................................... 116
1. Kesimpulan ................................................................................ 116
2. Saran ......................................................................................... 117
D. Daftar Pustaka ................................................................................ 117
BAB 7
KAIDAH TENTANG KEBIASAAN ....................................... 119
Feby Febrianti
A. Pendahuluan .................................................................................. 119
1. Latar Belakang ........................................................................... 119
2. Rumusan Masalah ..................................................................... 120
3. Tujuan Penulisan ....................................................................... 120
B. Pembahasan ................................................................................... 121
1. Teks Kaidah tentang Kebiasaan .................................................. 121
2. Dasar Hukum Kaidah Kebiasaan ................................................ 121

Daftar Isi ix
3. Pengertian Kaidah Kebiasaan ..................................................... 123
4. Cabang-Cabang Kaidah Kebiasaan ............................................. 125
5. Perbedaan Al-‘Adah dengan Al-‘Urf ........................................... 130
6. Syarat-Syarat Adat Bisa Menjadi Hukum .................................... 131
7. Kedudukan ‘Adah dan ‘Urf dalam Pandangan Fuqaha ................ 133
C. Penutup .......................................................................................... 134
1. Kesimpulan ................................................................................ 134
2. Saran ......................................................................................... 135
D. Daftar Pustaka ................................................................................ 135
BAB 8
HUKUM DASAR MUAMALAH ADALAH BOLEH .................. 137
Suci Nur Assifah
A. Pendahuluan .................................................................................. 137
1. Latar Belakang ........................................................................... 137
2. Rumusan Masalah ..................................................................... 139
3. Tujuan Penulisan ....................................................................... 139
B. Pembahasan ................................................................................... 139
1. Teks Kaidah ............................................................................... 139
2. Pengertian Kaidah dan Fiqih Muamalah ..................................... 139
3. Prinsip Dasar Muamalah ............................................................ 142
4. Kaidah-Kaidah Fiqih Muamalah ................................................ 143
5. Contoh Penerapan Kaidah .......................................................... 151
C. Penutup .......................................................................................... 155
1. Kesimpulan ................................................................................ 155
D. Daftar Pustaka ................................................................................ 157
BAB 9
UNGKAPAN DALAM AKAD ADALAH M MAKSUD DAN
SUBSTANSI ...................................................................... 159
Wardianto, Ahsanudin Husnul Ma’ab
A. Pendahuluan .................................................................................. 159
1. Latar Belakang ........................................................................... 159

x Daftar Isi
2. Rumusan Masalah ..................................................................... 160
3. Tujuan Penulisan ....................................................................... 160
B. Pembahasan ................................................................................... 161
1. Teks Kaidah ............................................................................... 161
2. Dasar Hukum Kaidah ................................................................. 161
3. Pengertian Akad ......................................................................... 164
4. Rukun, Syarat dan Substansi Akad ............................................. 167
5. Dinamika Akad dalam Transaksi Syariah ................................... 173
6. Himah Dibalik Akad-Akad Ekonomi Syariah ............................. 176
C. Penutup .......................................................................................... 185
1. Kesimpulan ................................................................................ 185
D. Daftar Pustaka ................................................................................ 186
BAB 10
KEBUTUHAN MENDUDUKI POSISI DARURAT .................... 187
Poppy Lalita Apriliya
A. Pendahuluan .................................................................................. 187
1. Latar Belakang ........................................................................... 187
2. Rumusan Masalah ..................................................................... 188
3. Tujuan Penulisan ....................................................................... 189
B. Pembahasan ................................................................................... 189
1. Teks Kaidah ............................................................................... 189
2. Dasar Hukum Kaidah ................................................................ 189
3. Pengertian Keadaan Darurat ....................................................... 191
4. Asas Dasar Keadaan Bahaya ...................................................... 196
5. Kaidah-Kaidah Darurat dan Penerapannya ................................. 198
6. Darurat Negara dalam Islam ....................................................... 202
C. Penutup .......................................................................................... 204
1. Kesimpulan ................................................................................ 204
D. Daftar Pustaka ................................................................................ 206

Daftar Isi xi
BAB 11
SETIAP YANG MEMBAWA MANFAAT DIBOLEHKAN .......... 207
Dela Sena Putri, Anissah
A. Pendahuluan .................................................................................. 207
1. Latar Belakang ........................................................................... 207
2. Rumusan Masalah ..................................................................... 210
3. Tujuan Penulisan ....................................................................... 210
B. Pembahasan ................................................................................... 210
1. Teks Kaidah ............................................................................... 210
2. Dasar Hukum Kaidah ................................................................. 211
3. Pengertian Kaidah ...................................................................... 212
4. Penerapan Kaidah Muamalah .................................................... 215
5. Peranan Kaidah dalam Merumuskan Kebijakan Ekonomi dan
Keuangan Islam ......................................................................... 216
6. Relevansi Kaidah dengan Konsep Istihab .................................... 217
C. Penutup .......................................................................................... 219
1. Kesimpulan ................................................................................ 219
2. Saran ......................................................................................... 220
D. Daftar Pustaka ................................................................................ 220
BAB 12
HUKUM DASAR DALAM TRANSAKSI ADALAH
KERIDHAAN ................................................................... 221
Rivaldy Hermawan Putra
A. Pendahuluan .................................................................................. 221
1. Latar Belakang ........................................................................... 221
2. Rumusan Masalah ..................................................................... 222
3. Tujuan Penulisan ....................................................................... 222
B. Pembahasan ................................................................................... 222
1. Teks Kaidah ............................................................................... 222
2. Dasar Hukum Kaidah ................................................................ 223
3. Makna Ridha dalam Bermuamalah ............................................. 223

xii Daftar Isi


4. Makna Kaidah ........................................................................... 225
5. Aplikasi Kaidah dalam Ekonomi Syariah .................................... 226
C. Penutup .......................................................................................... 227
1. Kesimpulan ................................................................................ 227
D. Daftar Pustaka ................................................................................ 228

Daftar Isi xiii


xiv Daftar Isi
BAB 1
KONSEP DASAR KAIDAH FIQIH
ROSA ROSDIANA

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kaidah fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum, yang
mengelompokkan masalah-masalah fiqih spesifik menjadi beberapa
kelompok, juga merupakan pedoman yang memudahkan
pemyimpulan hukum bagi suatu masalah, yaitu dengan cara
menggolongkan masalah-masalah yang serupa di bawah satu kaidah.
Berhubung hukum fiqih lapangannya luas, meliputi berbagai
peraturan dalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia
dengan khaliknya, dan hubungan manusia dengan sesama manusia,
yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan dengan situasi tertentu,
maka mengetahui kaidah-kaidah yang juga berfungsi sebagai
pedoman berfikir dalam menentukan hukum suatu masalah yang
tidak ada nash nya, adalah perlu sekali.

Konsep Dasar Kaidah Fiqih 1


Dengan mempelajari kaidah fiqih secara mendalam, maka akan
mampu melakukan ilhaq, yakni menganalogikan berbagai macam
peristiwa dan problematika sosial dengan kaidah-kaidah fiqih,
sehingga dapat menyimpulkan hukum dari peristiwa dan problem
yang sedang dihadapi. Dan juga akan mampu melakukan takhrij,
yakni mengeluarkan berbagai macam permasalahan hukum dari
kaidah fiqih, dengan cara menjadikannya sebagai acuan bagi
permasalahan hukum yang ingin dihasilkan dari kaidah fiqih tersebut.
Dan hal ini tentu dengan syarat bahwa permasalahan tadi memiliki
titik temu yang sama dengan substansi kaidah.

2. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan Qawa’id Fiqhiyyah ?
b. Apa Perbedaan Qawaid Fiqhiyyah Dengan Qawaid Ushuliyyah ?
c. Apa Perbedaan antara Qawaid Fiqhiyah dengan Dhawabith Fiqhiyah ?
d. Bagaimana Hubungan Antara Ushul Fiqh, Fiqh dan Qawaid
Fiqhiyyah?
e. Apa Tujuan Dan Kepentingan Mempelajari Qawaid Fiqhiyyah ?
f. Apa saja Dasar-Dasar Pengambilan Qawaid Fiqhiyyah ?
g. Bagaimana Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembanagan Qawaid
Fiqhiyyah ?

3. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui pengertian dari Qawa’id Fiqhiyyah.
b. Untuk mengetahui Perbedaan Qawaid Fiqhiyyah Dengan Qawaid
Ushuliyyah.
c. Untuk mengetahui Perbedaan antara Qawaid Fiqhiyah dengan
Dhawabith Fiqhiyah.

2 Rosa Rosdiana
d. Untuk mengetahui Bagaimana Hubungan Antara Ushul Fiqh, Fiqh dan
Qawaid Fiqhiyyah.
e. Untuk mengetahui Tujuan Dan Kepentingan Mempelajari Qawaid
Fiqhiyyah.
f. Untuk mengetahui Apa saja Dasar-Dasar Pengambilan Qawaid
Fiqhiyyah.
g. Untuk mengetahui Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembanagan Qawaid
Fiqhiyyah.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Qawaid Fiqhiyyah
Qawaid Fiqhiyyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari dua
kata, yakni kata qawaid dan fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki

pengertian tersendiri. Secara etimologi, kata qaidah (‫)قاعدة‬, jamaknya

qawaid (‫)قواعد‬, berarti; asas, landasan, dasar atau fondasi sesuatu, baik

yang bersifat kongkret, materi, atau inderawi seperti fondasi bangunan


rumah, maupun yang bersifat abstrak, non materi dan non indrawi
seperti ushuluddin (dasar agama).1 Dalam kamus Besar Bahasa
Indonesia, arti kaidah yaitu rumusan asas yang menjadi hukum;
aturan yang sudah pasti, patokan; dalil.2 Qaidah dengan arti dasar atau
fondasi sesuatu yang bersifat materi terdapat dalam al-Qur’an surah
al-Baqarah ayat 127 :
ُ ‫يع الْ َعل‬
‫ِيم‬ َ َ‫ك أ‬
َّ ‫نت‬
ُ ‫الس ِم‬ َ َّ َّ ْ َّ َ َ َ َّ َ ُ َ ْ ْ َْ ُ َْ ُ ََْ ْ
ِ ْ‫ِيم الق َواع َِد م َِن اْلَي‬
‫ت ِإَوسماعِيل ربنا تقبل مِنا إِن‬ ‫ِإَوذ يرفع إِبراه‬

1
Mu’jam al-lughah al-‘Arabiyah, Mu’jam al-Wajid, t.tp.Wuzarah al Tarbiyah wa al-Ta’lim, t.th. h.
509.
2
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI, Kaidah,
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Distribusi (Diakses pada 16 April 2021)

Konsep Dasar Kaidah Fiqih 3


“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar
Baitullah bersama Ismail (seraya berdo`a): "Ya Tuhan kami terimalah
daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.”3
Kata fiqhiyyah berasal dari kata fiqh (‫ )الفقه‬ditambah dengan ya

nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan, atau penyandaran. Secara


etimologi fiqh berarti pengetahuan, pemahaman, atau memahami
maksud pembicaraan dan perkataannya.4
Al-Qur’an menyebut kata fiqh sebanyak 20 ayat, antara lain pada
surah at-Taubah Ayat 122 :
‫ك ف ِْرقَة لمِنْ ُه ْم َطآئ َف ٌة ل ِِلَ َت َف َّق ُهوا ْ ِف ل‬ ‫ُل‬ َ ْ َ َ ً َّ َ ْ ُ َ َ ُ ْ ُ ْ َ َ َ َ
َ ‫ال َن َف‬
‫ِين‬
ِ ‫ال‬ ِ ِ ٍ ِ ‫ِن‬
‫م‬ ‫ر‬ ‫وما َكن المؤمِنون ِِلنفِروا كآفة فلو‬

َ َ ْ َ َّ َ َ ْ َ َ ْ
‫َو ِِلُنذ ُِروا ق ْو َم ُه ْم إِذا َر َج ُعوا إِِلْ ِه ْم ل َعل ُه ْم َيذ ُرون‬

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya


(ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara
mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang
agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”5
Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa pengertian
qawaid fiqhiyyah menurut etimologi berarti aturan yang sudah pasti
atau patokan, dasar-dasar bagi fiqh. Sedangkan pengertian qawaid
fiqhiyyah menurut terminologi, al-Taftazany (w. 791 H) memberikan
rumusan, yaitu:
ُ َ ْ َ ٌّ ‫َّ َ ُ ْ ٌ ُ ى‬
ُ
‫أحاكمها منه‬ ‫ّلُك ين َط ِب ُق ىلع ُج ْز ِئيَّا ِت َها ِِلُتَ َع َّرف‬ ‫إنها حكم‬

3
QS al-Baqarah [2] : 127
4
Ibnu Manzur, Lisan al-Arab , t.tp. Dar al-Ma’arif, t.th. jld. IV, h. 3450.
5
QS at-Taubah [9] : 22

4 Rosa Rosdiana
“Suatu hukum yang bersifat universal yang dapat diterapkan kepada
seluruh bagiannya agar dapat diidentifikasikan hukum-hukum bagian
tersebut darinya.”6
Para ulama yang menyebutkan qawaid fiqhiyyah dengan
qadhiyyah memandang bahwa qawaid fiqhiyyah adalah aturan-aturan
yang mengatur perbuatan-perbuatan mukallaf. Karena itu qawaid
fiqhiyyah merupakan aturan-aturan yang berhubungan dengan
perbuatan para mukallaf. Para ulama yang menyebutkan qawaid
fiqhiyyah dengan rumusan hukum beralasan bahwa; qawaid fiqhiyyah
merupakan aturan yang mengatur tentang hukum-hukum syara’
sehingga tepat sekali apabila didefinisikan sebagai hukum, karena
memang mengandung hukum-hukum syara’. Disamping itu,
mayoritas hukum adalah qadhiyyah hukum merupakan bagian penting
dari sebuah qadhiyyah, karena menjadi parameter yang sangat penting
dan kebenaran sebuah qadhiyyah. Sedangkan para ulama yang
mendefiniskan qawaid fiqhiyyah dengan sebutan al-ashl, termasuk
ulama kontemporer, terlebih dahulu mengkompromikan definisi-
definisi yang telah ada, kemudian mereka melihat bahwa pada
dasarnya qawaid fiqhiyyah adalah aturan-aturan pokok tentang
perbuatan mukallaf yang dapat menampung hukum-hukum syara’. 7
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa pendapat para
ulama yang memandang qawaid fiqhiyyah disebutkan dengan al-hukm
atau al-ashl itulah pendapat yang tepat, karena dua istilah itu yang
menjadi ciri utama dari qawaid fiqhiyyah.

6
Al-Tahfazany, Al-Talwih “Ala al-Thadhih, Mesir, Mathba’ah Syan al-Hurriyah, jilid I, jt.th. h. 20
7
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah, Jakarta, Media Pratama, 2008, h. 13-14

Konsep Dasar Kaidah Fiqih 5


2. Perbedaan Qawaid Fiqhiyyah dengan Qawaid Ushuliyyah
Syihab al-Din al-Qarafi adalah ulama yang pertama kali
membedakan antara qaidah ushuliyyah dan qaidah fiqhiyyah. Al-Qarafi
menegaskan bahwa syariat yang agung diberikan Allah kemuliaan dan
ketinggian melalui pokok (ushul) dan cabang (furu’). Adapun pokok
dari syariat tersebut ada dua macam. Pertama, ushul fiqh. Ushul fiqh
memuat qaidah istinbath hukum yang diambil dari lafazh-lafazh
berbahasa Arab. Diantara yang dirumuskan dari lafazh bahasa Arab
itu qaidah adalah tentang kehendak lafazh amr untuk menunjukkan
wajib dan kehendak lafazh nahy untuk menunjukkan haram, dan sighat
khusus untuk maksud umum.
Kedua, qawaid fiqhiyyah yang bersifat kully (umum). Jumlah
qaidah tersebut cukup banyak dan lapangan yang luas, mengandung
rahasia-rahasia dan hikmah syariat. Setiap qaidah diambil dari furu’
(cabang) yang terdapat dalam syariat dan tidak terbatas jumlahnya.
Hal itu tidak disebutkan dalam kajian ushul fiqh, meskipun secara
umum mempunyai isyarat yang sama, tetapi berbeda secara
perincian.8
Perbedaan mendasar antara qawaid ushuliyyah dengan qawaid
fiqhiyyah, adalah; Qawaid ushuliyyah membahas tentang dalil-dalil
syar’iyyah yang bersifat umum. Sedangkan qawaid fiqhiyah adalah
qaidah-qaidah pembahasannya tentang hukum yang bersifat umum.
Jadi, qawaid ushuliyyah membicarakan tentang dalil-dalil syar’iyyah
yang bersifat umum, sedangkan qawaid fiqhiyyah membicarakan
tentang hukum-hukum bersifat umum.9 Perbedaan qawaid fiqhiyyah
dan qaidah ushul fiqh secara lebih terperinci dapat diketahui dalam
uraian di bawah ini:

8
Al-Qarafi, al-Furuq, Beirut, Dar al-Ma’rifah, t.th. Jilid I, h. 2, 3, dan 10.
9
Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, al-Riyadh, Mathba’ah al-Riyadh, juz XXIX, 1381 H, h. 167.

6 Rosa Rosdiana
a. Qawaid ushuliyyah adalah qaidah-qaidah bersifatumum yang dapat
diterapkan pada semua bagian bagian objeknya. sedangkan qawaid
fiqhiyyah adalah himpunan hukum-hukum yang dapat diterapkan
kepada mayoritas bagian-bagiannya. Namun terkadang
pengecualian dari kebiasaan yang berlaku umum tersebut.
b. Qawaid ushuliyyah atau ushul fiqh merupakan metode untuk meng-
istinbath-kan hukum secara benar dan terhindar dari keliru.
Kedudukannya persis sama dengan ilmu nahwu yang berfungsi
melahirkan pembicaraan dan tulisan yang benar. Qawaid ushuliyyah
sebagai metode melahirkan hukum dari dalil-dalil terperinci
sehingga objek kajiannya selalu berkisar tentang dalil dan hukum.
Misalnya, setiap amr atau perintah menunjukkan wajib dan setiap
nahy atau larangan menunjukkan haram.Sedangkan qawaid
fiqhiyyah adalah ketentuan (hukum) yang bersifat umum atau
kebanyakan yang bagian-bagiannya meliputi sebagian masalah fiqh.
Objek kajian qawaid fiqhiyyah selalu menyangkut perbuatan
mukallaf.
c. Qawaid ushuliyyah sebagai metode untuk menggali, menemukan
dan merumuskan hukum syara’ yang bersifat amaliyah. Sedangkan
qawaid fiqhiyyah merupakan himpunan sejumlah hukum-hukum
fiqh yang serupa dengan ada satu ‘illat (sifat) untukmenghimpunnya
secara bersamaan. Tujuan adanya qawaid fiqhiyyah adalah untuk
menghimpun dan memudahkan memahami fiqh.
d. Qawaid ushuliyyah ada sebelum ada fiqh. Sebab qawaid ushuliyyah
digunakan fukaha untuk melahirkan hukum fiqh. Sedangkan qawaid
fiqhiyyah ada setelah ada fiqh. Sebab, qawaid fiqhiyyah berasal dari
kumpulan sejumlah masalah fiqh yang serupa, ada hubungan dan
sama substansinya.

Konsep Dasar Kaidah Fiqih 7


e. Satu sisi qawaid fiqhiyyah memiliki persamaan dengan qawaid
ushuliyyah. Namun, dari sisi lain ada perbedaan antara keduanya.
Adapun segi persamaannya, keduanya sama-sama memiliki
bagian-bagian yang berada di bawah cakupannya. Sedangkan
perbedaannya, qawaid ushuliyyah adalah himpunan sejumlah
persoalan yang meliputi tentang dalil-dalil yang dapat dipakai
untuk menetapkan hukum. Sedangkan qawaid fiqhiyyah merupakan
himpunan sejumlah masalah yang meliputi hukum-hukum fiqh
yang berada di bawah cakupannya semata.10

3. Perbedaan Qawaid Fiqhiyyah dengan Dhawabith Fiqhiyyah


Kata dhawabith adalah jamak dari kata dhabith. Al-Dhawabith
diambil dari kata dasar al-Dhabith artinya menurut etimilogi yaitu:
Memelihara, mengikat, kekuatan, dan penguatan. Secara terminologi
dhawabith fiqhiyyah yaitu; Qadhiyyah kullyyah (proposisi universal)
atau ashl kullyyah (dasar universal) atau mabda kully (prinsip
universal) yang menghimpun furu’ dari satu bab (satu tema).11
Dengan demikian, dhawabith fiqhiyyah adalah setiap juz’iyyah
fiqhiyyah yang terdapat dalam satu bab fiqh. Atau prinsip fiqh yang
universal, yang bagian-bagiannya terdapat dalam satu bab fiqh.
Istilah qawaid fiqhiyyah dan dhawabith fiqhiyyah terkadang kurang
diperhatikan oleh para penyusun kitab qawaid fiqhiyyah, sehingga
keduanya kadang-kadang bercampur baur. Abd al-Ghani al-Nabusi
(w. 1143 H) berpendapat bahwa qaidah sama dengan dhabith, karena
secara realita bahwa para ulama terkadang suka menyebut qaidah atau
semakna dengannya terhadap dhabith. Selain karena perbedaan antara
keduanya sangat tipis.

10
Ade Dedi Rohayana, Op.cit. h. 31-32.
11
Syarif Hidayatullah, Qawaid Fiqhiyyah, Depok, Gramata, 2012, h. 27.

8 Rosa Rosdiana
Ibnu Nujaim membedakan antara qawaid fiqhiyyah dengan
dhawabith fiqhiyyah.Menurutnya qawaid fiqhiyyah menghimpun
beberapa furu’ (cabang/bagian) dari beberapa bab fiqh, sedangkan
dhawabith fiqhiyyah hanya mengumpulkan dari satu bab, dan inilah
yang disebut dengan ashal. Menurut al-Suyuthi dalam Asybah wa
Nadhair fi An Nahwi, bahwa qawaid fiqhiyyah mengumpulkan beberapa
cabang dari beberapa bab fiqh yang berbeda, sedangkan dhawabith
fiqhiyyah mengumpulkan bagian dari satu bab fiqh saja. Pada masa
sekarang istilah qaidah dan dhabith telah menjadi populer di kalangan
para ulama, sehingga mereka membedakan ruang lingkup keduanya.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa qawaid fiqhiyyah
lebih luas dari dhawabith fiqhiyyah, karena qawaid fiqhiyyah tidak
terbatas pada masalah dalam satu bab fiqh, tetapi semua masalah yang
terdapat pada semua bab fiqh. Sedangkan dhawabith fiqhiyyah ruang
lingkupnya terbatas pada masalah dalam satu bab fiqh. Sebab itulah
qawaid fiqhiyyah disebut qaidah ammah, atau kullyyah dan dhawabith
fiqhiyyah di sebut qaidah khasshshah. Misalnya qaidah; ‫المشقة تجلب التيسير‬
(kesulitan itu menimbulkan adanya kemudahan). qaidah ini
dinamakan qaidah fiqhiyyah, karena qaidah ini masuk dalam semua bab
fiqh, baik dalam masalah ibadah, mua- malah dan lainnya. Sedangkan
qaidah: ‫( ما جاز ت إجار ت ه جازتإعارته‬Apa yang boleh menyewakannya,
maka boleh pula meminjamkannya). Qaidah tersebut dinamakan
dhawabith fiqhiyyah, karena hanya terbatas pada rukun transaksi
(muamalah) dan dalam bab ‘ariyah (pinjaman), atau pinjam
meminjam.

4. Hubungan antara Ushul Fiqh, Fiqh dan Qawaid Fiqhiyyah


Hubungan qawaid fiqhiyyah, fiqh dan ushul fiqh beserta qawaid
ushuliyyah-nya tidak dapat dipisahkan. Ilmu ini saling berkaitan antara

Konsep Dasar Kaidah Fiqih 9


satu dengan yang lainnya. Karena dasarnya yang menjadi pokok
pembicaraan adalah hukum syara’(fiqh), yaitu ilmu-ilmu tersebut
berbicara tentang hukum syara’.
Ushul fiqh adalah sebuah ilmu yang mengkaji dalil atau sumber
hukum dan metode penggalian (istinbath) hukum dari dalil atau
sumbernya. Metode penggalian hukum dari sumbernya tersebut harus
ditempuh oleh orang yang berkompeten. Hukum yang digali dari
dalil/sumber hukum itulah yang kemudian dikenal dengan nama fiqh.
Jadi fiqh adalah produk operasional ushul fiqh. Sebuah hukum fiqh tidak
dapat dikeluarkan dari dalil/sumbernya (al-Qur’an dan Sunah) tanpa
melalui ushul fiqh. Ini sejalan dengan pengertian harfiah ushul fiqh,
yaitu dasar-dasar (landasan) fiqh.
Misalnya hukum wajib shalat dan zakat yang digali dari ayat
Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 43 yang berbunyi

‫واقيموا الصالة وءاتواالزكوة‬

dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat..


Firman Allah diatas berbentuk perintah yang menurut ushul fiqh,

perintah pada asalnya menunjukan wajib (‫) االصل ىف االمر للوجوب‬. Adapun

qawaid fiqhiyyah dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dalam


mengetahui hukum perbuatan seorang mukalaf. Ini karena dalam
menjalankan hukum fiqh terkadang mengalami kendala-kendala.
Misalnya kewajiban shalat lima waktu yang harus dikerjakan tepat
pada waktunya. Kemudian seorang mukalaf dalam menjalankan
kewajibannya mendapat halangan, misalnya ia diancam bunuh jika
mengerjakan shalat tepat pada waktunya. Dalam kasus seperti ini,
mukallaf tersebut boleh menunda shalat dari waktunya karena
jiwanya terancam. Hukum boleh ini dapat ditetapkan lewat

10 Rosa Rosdiana
pendekatan qawaid fiqhiyyah, yaitu dengan menggunakan qaidah :
‫( الضرر يزال‬bahaya wajib dihilangkan).

5. Tujuan dan Pentingnya Mempelajari Qawaid Fiqhiyyah


Mempelajari qawaid fiqhiyyah tentu ada tujuannya. Adapaun
tujuan mempelajari qawaid fiqhiyyah itu adalah agar dapat
mengetahui prinsipprinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok
masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari
masalah-masalah fiqh. Dari tujuan mempelajari qawaid fiqhiyyah
tersebut, maka manfaat yang diperoleh adalah; akan lebih mudah
menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi; akan lebih
arif dalam menerapkan materimateri hukum dalam waktu dan tempat
yang berbeda, untuk keadaan dan adat yang berbeda; Mempermudah
dalam menguasai materi hukum; Mendidik orang yang berbakat fiqh
dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami
permasalahan-permasalahan baru; Mempermudah orang yang
berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum
dengan mengeluarkannya dari tempatnya.
Adapun kepentingan Qaidah fiqh dapat dilihat dari dua sudut :
Pertama, dari sudut sumber, qaidah merupakan media bagi peminat fiqh
untuk memahami dan menguasai maqashid al-Syari’ah, karena dengan
mendalami beberapa nash-nash, ulama dapat menemukan persoalan
esensial dalam satu persoalan. Kedua, dari segi istinbath al-ahkam,
qaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum
terjadi. Oleh karena itu, qawaid fiqhiyyah dapat dijadikan sebagai salah
satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada
ketentuan atau kepastian hukumnya.

Konsep Dasar Kaidah Fiqih 11


6. Dasar-Dasar Pengambilan Qawaid Fiqhiyyah
Yang dimaksud dengan dasar pengembalian qawaid fiqhiyyah
ialah dasar-dasar perumusan qaidah fiqhiyyah, meliputi dasar formil
dan materiilnya. Dasar formil maksudnya apakah yang dijadikan
dasar ulama dalam merumuskan qaidah fiqhiyyah itu, jelasnya nash-nash
manakah yang menjadi pegangan ulama sebagai sumber motivasi
penyusunan qawaid fiqhiyyah. Adapun dasar materiil maksudnya dari
mana materi qaidah fiqhiyyah itu dirumuskan.
a. Dasar formil
Hukum-hukum furu’ yang ada dalam untaian satu qaidah yang
memuat satu masalah tertentu, ditetapkan atas dasar nash, baik dari
al-Quran maupun Sunnah. Jadi perumusan qaidah fiqhiyyah itu
berdasarkan pada al-Quran dan Sunnah dalam rangka untuk
mempermudah pelaksanaan istinbath dan ijtihad.
b. Dasar materiil
Dasar materiil atau bahan-bahan yang dijadikan rumusan
qaidah, Para ulama adakalanya mengambil dari sebuah Hadis,
seperti qaidah yang berbunyi:

‫الرضر يزال‬
Kemudharatan itu harus dihilangkan
Disamping qaidah fiqhiyyah yang dirumuskan dari lafazh
Hadis, seperti tersebut di atas, maka dapat dipastikan bahwa qaidah
fiqhiyyah itu hasil perumusan ulama.

7. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Qawaid Fiqhiyyah


Ali Ahmad al-Nadwi, seorang ulama ushul kontemporer,
menyebut dua periode penyusunan qawaid Fiqhiyyah yaitu; periode
kelahiran dan pembukuan.

12 Rosa Rosdiana
a. Periode Kelahiran.
Masa kelahiran dimulai dari pertumbuhan sampai dengan
pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih dimulai dari
zaman kerasulan sampai abad ketiga hijrah. Periode ini dari segi
fase sejarah hukum Islam, dapat dibagi menjadi tiga periode:
zaman Nabi Muhammad SAW., yang berlangsung selama 22
tahun lebih, zaman tabi’in, dan zaman tabi’it al-tabi’in yang
berlangsung selama lebih kurang 250 tahun. Pada masa kerasulan
adalah masa tasyri’ (pembentukan hukum Islam) merupakan
embrio kelahiran qawaid fiqhiyyah. Nabi Muhammad SAW.
menyampaikan Hadis yang jawami’ ‘ammah (singkat dan padat).
Hadis tersebut dapat menampung masalah-masalah fiqh yang
banyak jumlahnya.12 Berdasarkan hal tersebut, maka Hadis
Rasulullah Muhammad SAW. disamping sebagai sumber hukum,
juga sebagai qawaid fiqhiyyah. Demikian juga ucapan-ucapan
sahabat (atsar) juga dikategorikan sebagai jawami’al-kalim dan
qawaid fiqhiyyah oleh banyak ulama. al-Nadwi, menyebut beberapa
sabda Rasulullah SAW. yang telah berbentuk qaidah-qaidah,
terutama qaidah hukum.
Sahabat Abu Yusuf yaitu Muhammad bin al-Hasan al-
Syaibani (w. 189 H) juga melakukan rintisan yang sama. Hanya
saja yang ia lakukan adalah lebih banyak merupakan upaya ta’lil
(mencari alasan hukum). Hasil dari ta’lil adalah sangat berguna bagi
upaya peng-qaidah-an hukum, sebab banyak sekali illat hukum yang
ditemukan bisa berfungsi sebagai qaidah hukum.
Ibnu Nujaym (w. 970H.) dari ulama golongan Hanafiyyah
berpendapat bahwa: Sesungguhnya sahabat-sahabat kami (para
ulama Hanafiyyah), mempunyai keistimewaan merintis usaha

12
Ali Ahmad An-Nadwi, al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Damaskus, Dar al-Qalam, 1998, h. 89.

Konsep Dasar Kaidah Fiqih 13


dalam penyusunan qaidah ini. Dan orang mengikuti mereka dan
mereka pula bergantung kepada Imam Abu Hanifah dalam
masalah fiqh.
b. Periode Pembukuan
Pada abad ini terjadi penurunan dinamika berpikir dalam
bidang hukum dan mulai munculnya kecenderungan taqlid dan
melemahnya ijtihad. Hal ini merupakan akibat sampingan dari
tersisanya warisan fiqh yang amat kaya berkat pembukuan
pemikiran fiqh yang disertai dengan dalil-dalilnya, dan perselisihan
pendapat antar mazhab beserta hasil perbandingannya (tarjih).
Oleh karena itu, pekerjaan yang tersisa pada periode ini
adalah upaya takhrij, yaitu mempergunakan sarana metodologis
yang telah tersedia dalam mazhab tertentu untuk menghadapi
kasus-kasus hukum baru. Karena faktor mulai tampilnya qawaid
fiqhiyyah sebagai disiplin ilmu tersendiri, ditandai dengan
dihimpunnya qaidah-qaidah fiqhiyyah itu dalam karya yang terpisah
dari bidang lain, al-Nadwi memilih abad IV H. sebagai permulaan
era pertumbuhan dan pembukuan qawaid fiqhiyyah
Pada periode pembukuan, qawaid fiqhiyyah telah dibukukan
dan memastikan qawaid tersebut dapat diwariskan sebagai salah
satu khazanah ilmu Islam yang berharga. Abu Tahir al-Dabbas,
seorang fukaha yang hidup pada abad ketiga dan keempat Hijrah
adalah orang pertama yang mengumpulkan qawaid fiqhiyyah. Pada
waktu itu, ia telah mengumpulkan sebanyak 17 qaidah.29 Usaha ini
kemudian diteruskan oleh Abu al-Hasan al-Karakhi (w. 340 H.)
dengan menghimpunkan sejumlah 39 qaidah.30 Kemudian Abu
Zayd Abd Allah Ibn Umar al-Din al-Dabusi al- Hanafi (W. 430H.),
telah menyusun Kitab Ta’sis al-Nazar pada kurun kelima Hijrah.

14 Rosa Rosdiana
Kitab ini memuat sejumlah 86 qaidah fiqhiyyah berserta dengan
pembahasan terperinci berkenaan qawaid tersebut.
Dari kelompok fukaha Hanabilah, ulama yang terkenal,
antara lain tokoh yang terlibat dalam kegiatan menulis dalam
bidang ini adalah Najm al-Din al-Tufi (w. 177 H) yang telah
menulis kitab al-Qawaid al-Kubra dan al-Qawaid al-Sughra. Selain itu,
terdapat seorang lagi tokoh dari kalangan fukaha Hanbaliyyah yang
telah menyumbangkan kepada perkembangan ilmu ini, yaitu Abd
al-Rahman Ibn Rajab (w. 795 H). yang menulis kitab dengan judul
al-Qawaid fi al-Fiqh. Periode pertumbuhan dan perkembangan
berakhir dengan tampilnya al-Majllah al-Ahkam al-‘Adhiyyah pada
abad ke 11 H

C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Qawaid Fiqhiyyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari dua
kata, yakni kata qawaid dan fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki
pengertian tersendiri. Secara etimologi, kata qaidah (‫) قاعدة‬, jamaknya
qawaid (‫) قواعد‬. berarti; asas, landasan, dasar atau fondasi sesuatu, baik
yang bersifat kongkret, materi, atau inderawi seperti fondasi bangunan
rumah, maupun yang bersifat abstrak, non materi dan non indrawi
seperti ushuluddin (dasar agama).
Pendapat para ulama yang memandang qawaid fiqhiyyah
disebutkan dengan al-hukm atau al-ashl itulah pendapat yang tepat,
karena dua istilah itu yang menjadi ciri utama dari qawaid fiqhiyyah.
Hubungan qawaid fiqhiyyah, fiqh dan ushul fiqh beserta qawaid
ushuliyyah-nya tidak dapat dipisahkan. Ilmu ini saling berkaitan antara
satu dengan yang lainnya. Karena dasarnya yang menjadi pokok

Konsep Dasar Kaidah Fiqih 15


pembicaraan adalah hukum syara’(fiqh), yaitu ilmu-ilmu tersebut
berbicara tentang hukum syara’.
Adapun kepentingan Qaidah fiqh dapat dilihat dari dua sudut :
Pertama, dari sudut sumber, qaidah merupakan media bagi peminat fiqh
untuk memahami dan menguasai maqashid al-Syari’ah, karena dengan
mendalami beberapa nash-nash, ulama dapat menemukan persoalan
esensial dalam satu persoalan. Kedua, dari segi istinbath al-ahkam,
qaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum
terjadi. Oleh karena itu, qawaid fiqhiyyah dapat dijadikan sebagai salah
satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada
ketentuan atau kepastian hukumnya.

2. Saran
Masih banyak yang perlu dipelajari dalam kaidah-kaidah
Qawaid Fiqhiyyah, terutama pada pembahasan kaidah pertama
supaya mahasiswa lebih memahami bagaimana makna, sumberm dan
aplikasi yang terdapat dalam kaidah pertama Qawaid Fiqhiyyah.

D. DAFTAR PUSTAKA
Athiyyah Adlan, Athiyah Ramadhan, t.th. Maushu’ah al-Qawaid al-
Fiqhiyyah, Al-Iskandariyaimmah, Dar al-Iman.
Ibn Ibrahim, Khalid. t.th. Syarah manzhumah al-qawaid al-fiqhiyyah, juz 1,
t.tp.
Al-Nadwi, Ali Ahmad. 2013. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Damaskus: Dar al-
Qalam
Al-Khulayfi, Riyad bin Mansur. t.th. al-Minhaj fi Qawa’id al-Fiqhiyyah, juz
1. Maktabah Shamelah.
Al-Zarqa, Ahmad bin Muhammad, 1409 H/1999 M, Syarh al-Qawaid al-
Fiqhiyyah, Damaskus: Dar al-Qalam.

16 Rosa Rosdiana
Hidayatullah, Syarif. 2012. Qawaid Fiqhiyyah. Depok: Gramata

Konsep Dasar Kaidah Fiqih 17


18 Rosa Rosdiana
BAB 2
RUANG RINGKUP KAIDAH FIQIH
SITI AISYAH

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Bahwa permasalahan-permasalahan yang muncul dalam kehidupan
sehari-hari beragam macamnya. Tentunya ini mengharuskan agar didapati
jalan keluar untuk penyelesaiannya. Maka disusunlah suatu kaidah secara
umum yang diikuti cabang-cabang secara lebih mendetail terkait
permasalahan yang sesuai dengan kaidah tersebut. Adanya kaidah ini
tentunya sangat membantu dan memudahkan terhadap pemecahan
permasahalan yang muncul ditengah-tengah kehidupan di zaman modern
ini.
Maka, hendaklah mahasiswa memahami secara baik tentang konsep
disiplin ilmu ini karenanya merupakan asas dalam pembentukan hukum
Islam. Masih jarang diantara kaum muslim yang memahami secara baik
tentang pedoman penyelesaian hukum Islam. Menjadi kewajiban sebagai

Ruang Lingkup Kaidah Fiqih 19


seorang muslim untuk lebih memahami dan meyikapi persoalan hukum
dalam Islam karena proses kehidupan tidak terlepas dari kegiatan hukum.

2. Rumusan Masalah
Dengan adanya sedikkit gambaran di atas, dapat ditarik
kesimpulan yang kiranya pantas untuk dijadikan rumusan masalah
dalam makalah ini yaitu,
a. Apa Ruang lingkup Qawaid fiqhiyah ?
b. Apa Perbedaan Qawa’id Fiqhiyyah dengan Ushul Fiqih?
c. Apa Hubungan Qawa’id Fiqhiyyah, Ushul Fiqih dan Qawaid
Ushuliyah?
d. Apa Tujuan mempelajari Qawaid fiqhiyah?

3. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui Ruang lingkup Qawaid fiqhiyah ?
b. Untuk mengetahui erbedaan Qawa’id Fiqhiyyah dengan Ushul
Fiqih?
c. Untuk mengetahui Hubungan Qawa’id Fiqhiyyah, Ushul Fiqih dan
Qawaid Ushuliyah?
d. Untuk mengetahui Tujuan mempelajari Qawaid fiqhiyah?

B. PEMBAHASAN
1. Ruang Lingkup Qawaid Fiqhiyyah
Menurut M. az-Zuhayliy1 dalam berdasarkan cakupannya yang
luas terhadap cabang dan permasalahan fiqh, serta berdasarkan
disepakati atau diperselisihkannya qawa’id fiqhiyyah tersebut oleh

1
kitabnya al-Qawa’id al-fiqhiyyah

20 Siti Aisyah
madzhab-madzhab atau satu madzhab tertentu, terbagi pada 4 bagian,
yaitu:
a. Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Asasiyyah al- Kubra, yaitu qaidah-
qaidah fiqh yang bersifat dasar dan mencakup berbagai bab dan
permasalahan fiqh. Qaidah-qaidah ini disepakati oleh seluruh
madzhab. Yang termasuk kategori ini adalah :
 Al-Umuru bi maqashidiha.
 Al-Yaqinu la Yuzalu bi asy-Syakk.
 Al-Masyaqqatu Tajlib at- Taysir.
 Adh-Dhararu Yuzal,
 Al- ’Adatu Muhakkamah.
b. Al-Qawa’id al-Kulliyyah : yaitu qawa’id yang menyeluruh yang
diterima oleh madzhab-madzhab, tetapi cabang-cabang dan
cakupannya lebih sedikit dari pada qawa’id yang lalu. Seperti
kaidah: al-Kharaju bi adh-dhaman/Hak mendapatkan hasil
disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian, dan kaidah:
adh-Dharar al- Asyaddu yudfa’ bi adh-Dharar al-Akhaf Bahaya
yang lebih besar dihadapi dengan bahaya yang lebih ringan. Banyak
kaidah- kaidah ini masuk pada kaidah yang 5, atau masuk di bawah
kaidah yg lebih umum.
c. Al-Qawa’id al-Madzhabiyyah (Kaidah Madzhab), yaitu kaidah-
kaidah yang menyeluruh pada sebagian madzhab, tidak pada
madzhab yang lain. Kaidah ini terbagi pada 2 bagian :
 Kaidah yang ditetapkan dan disepakati pada satu madzhab.
 Kaidah yang diperselisihkan pada satu madzhab.
Contoh, kaidah : ar-Rukhash la Tunathu bi al- Ma’ashiy
Dispensasi tidak didapatkan karena maksiat. Kaidah ini masyhur
di kalangan madzhab Syafi’i dan Hanbali, tidak di kalangan
mazhab Hanafi, dan dirinci di kalangan madzhab Maliki.

Ruang Lingkup Kaidah Fiqih 21


d. Al-Qawa’id al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid, yaitu
kaidah yang diperselisihkan dalam satu madzhab. Kaidah-kaidah
itu diaplikasikan dalam satu furu’ (cabang) fiqh tidak pada furu’ yg
lain, dan diperselisihkan dalam furu’ satu madzhab.
Contoh, kaidah : Hal al-’Ibroh bi al-Hal aw bi al-
Maal?/Apakah hukum yang dianggap itu pada waktu sekarang
atau waktu nanti? Kaidah ini diperselisihkan pada madzhab Syafi’i.
oleh karena itu pada umumnya diawali dengan kata : hal/apakah.

2. Perbedaan Qawaid Fiqhiyyah dengan Ushul Fiqh


Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, perbedaan antara qawaid
fiqhiyyah dengan qawaid ushuliyyah adalah sebagai berikut:
a. Ilmu ushul fiqih merupakan parameter (tolak ukur) cara
berinstinbat fikih yang benar. Kedudukan ilmu ushul fiqih (dalam
fiqih) ibarat kedudukan ilmu nahwu dalam hal pembicaraan dan
penulisan, qawaid fiqhiyyah merupakan wasilah, jembatan
penghubung, antara dalil dan hukum. Tugas qawaid fiqhiyyah
adalah mengeluarkan hukum dari dalil-dalil yang tafshili
(terperinci). Ruang lingkup qawaid ushuliyyah adalah dalil dan
hukum seperti amr itu menunjukan wajib, nahyi haram, dan wajib
mukhayar bila telah dikerjakan sebagian orang, maka yang lainya
bebas dari tanggung jawab. Qawaid fiqhiyyah adalah qaidah
kulliyah atau aktsariyah (mayoritas) yang juz’i-juz’inya (farsial-
farsialnya) beberapa masalah fiqih dan ruang lingkupnya selalu
perbuatan orang mukalaf
b. Qawaid ushuliyyah merupakan qawaid kulliyah yang dapat
diaplikasikan pada seluruh juz’i dan ruang lingkupnya. Ini berbeda
dengan qawaid fiqhiyyah yang merupakan kaidah berbeda dengan
qawaid fiqhiyyah yang merupakan kaidah aghlabiyah (mayoritas)

22 Siti Aisyah
yang dapat diaplikasikan pada sebagaian juz’i-nya, karena ada
pengecualiannya.
c. Qawaid ushuliyyah merupakan dzari’ah (jalan) untuk
mengeluarkan hukum syara’ amali. Qawaid fiqhiyyah merupakan
kumpulan dari hukum-hukum serupa yang mempunyai ‘illat yang
sama, dimana tujuannya untuk menekatkan berbagai persoalan dan
mempermudah mengetahuinya.
d. Eksistensi qawaid fiqhiyyah baik dalam teori maupun realitas lahir
setelah furu’, karena berfungsi menghimpun furu’ yang berserakan
dan mengalokasikan makna-maknanya. Adapun ushul fiqih dalam
teori ditunut eksistensinya sebelum eksistensinya furu’, karena akan
menjadi dasar seorang fakih dalam menetapkan hukum. Posisinya
seperti al-Qur’an terhadap sunah dan nash al-Qur’an lebih kuat dari
zahirnya. Ushul sebagai pembuka furu’. Posisinyaseperti anak
terhadap ayah, buah terhadap pohon, dan tanaman terhadap benih.
e. Qawa’id fiqhiyyah sama dengan ushul fiqih dari satu sisi dan
berbeda dari sisi yang lain. Adapun persamaannya yaitu keduannya
sama-sama mempunyai kaidah yang mencakup berbagai juz’i,
sedangkan perbedaannya yaitu kaidah ushul adalah masalah-
masalah yang dicakup oleh bermacam-macam dalil tafshily yang
dapat mengeluarkan hukum syara’. Kalau kaidah fiqih adalah
masalah-masalah yang mengandung hukum hukum fiqih saja.
Mujtahid dapat sampai kepadanya dengan berpegang kepada
masalah-masalah yang dijelaskan ushul fiqih. Kemudidan bila
seorang fakih mengaplikasikan hukum-hukum tersebut terhadap
hukum-hukum farsial, maka itu bukanlah kaidah, namun, bila ia
menyebutkan hukum-hukum tersebut dengan qaidah-qaidah
kuliyyah (peristiwa-peristiwa universal)yang dibawahanya terdapat
berbagai hukum juz’i maka itu disebut kaidah. Qawaid kuliyyah

Ruang Lingkup Kaidah Fiqih 23


dan hukum-hukum juz’i benar-benar masuk dalam madlul (kajian)
fikih, keduanya menunggu kajian mujtahid terhadap ushul fiqih
yang membangunnya.

3. Hubungan Qawaid Fiqhiyah dengan Fiqih, Ushul Fiqih dan Qawaid


Ushuliyyah
Qawaid Fiqhiyah, fiqih, ushul fiqih dan qawaid fiqhiyah tidak
dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Keempat ilmu
tersebut saling terkait dengan perkembangan fiqih, karena pada
dasarnya yang menjadi pokok pembicaraan adalah fiqih.
Qawaid fiqhiyah, ushul fiqih dan qawaid ushuliyah adalah ilmu-
ilmu yang berbicara tentang fiqih. Dengan demikian kajian qawaid
fiqhiyah, ushul fiqih dan qawaid usuliyah tersebut adalah fiqih.
Menurut al-Baidhawy dari kalangan ulama syafiiyyah, ushul
fiqih adalah :

‫معرفة دال ئل الفقه امجاال وكيفية الستفادة منها وحال املستفيد‬

“Pengetahuan secara global tentang dalil-dalil fiqih, metode


penggunaanya, dan keadaan (syarat-syarat) orang yang menggunakannya.”
Definisi ini menekankan tiga objek kajian ushul fiqih, yaitu :
a. Dalil (sumber hukum)
b. Metode penggunaan dalil, sumber hukum, atau metode penggalian
hukum dari sumbernya.
c. Syarat-syarat orang yang berkompeten dalam menggali
(mengistinbath) hukum dan sumbernya.
Dengan demikian, ushul fiqih adalah sebuah ilmu yang mengkaji
dalil atau sumber hukum dan metode penggalian (istinbath) hukum
dari dalil atau sumbernya. Metode penggalian hukum dari sumbernya
tersebut harus ditempuh oleh orang yang berkompeten. Hukum yang

24 Siti Aisyah
digali dari dalil/sumber hukum itulah yang kemudian dikenal dengan
nama fiqih. Jadi fiqih adalah produk operasional ushul fiqih. Sebuah
hukum fiqih tidak dapat dikeluarkan dari dalil/sumbernya (nash al-
Qur’an dan sunah) tanpa melalui ushul fiqih. Ini sejalan dengan
pengertian harfiah ushul fiqih, yaitu dasar-dasar (landasan) fiqih.
Misalnya hukum wajib sholat dan zakat yang digali (istinbath)
dari ayat Al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 43 yang berbunyi

‫واقيموا الصالة وءاتواالزكوة‬

“dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat ...”


Firman Allah diatas berbentuk perintah yang menurut ilmu
ushul fiqih, perintah pada asalnya menunjukan wajib selama tidak ada
dalil yang merubah ketentuan tersebut (‫)االصل ىف االمر للوجوب‬.

Disamping itu qawaid fiqhiyah dapat dijadikan sebagai kerangka


acuan dalam mengetahui hukum perbuatan seorang mukalaf. Ini
karena dalam menjalanklan hukum fiqih kadang-kadang mengalami
kendala-kendala. Misalnya kewajiban shalat lima waktu yang harus
dikerjakan tepat pada waktunya. Kemudian seorang mukalaf dalam
menjalankan kewajibannya mendapat halangan, misalnya ia diancam
bunuh jika mengerjakan shalat tepat pada waktunya. Dalam kasusu
seperti ini, mualaf tersebut boleh menunda sholat dari waktunya
karena jiwanya terancam. Hukum boleh ini dapat ditetapkan lewat
pendekatan qawaid fiqhiyah, yaitu dengan menggunakan qaidah :
”‫ “الرضار يزال‬bahaya wajid dihilangkan. Ini adalah salah satu perbedaan

antara qawaid ushuliyah dengan qawaid fiqhiyah. Qawaid ushuliyah


mengkaji dalil hukum (nash al-Qur’an dan sunah) dan hukum syara,
sedangkan qawaid fiqhiyah mengkaji perbuatan mukalaf dan hukum
syara.

Ruang Lingkup Kaidah Fiqih 25


Demikianlah hubungan antara fiqih, qawaid fiqhiyah, ushul
fiqih dan qawaid ushuliyah. Hukum syara (fiqih) adalah hukum yang
di istinbath dari nash al-Qur’an dan sunnah melalui pendekatan ushul
fiqih yang diantaranya menggunakan qawaid ushuliyah. Hukum
syarak (fiqih) yang telah diistinbath tersebut diikat oleh qawaid
fiqhiyah, dengan maksud supaya lebih mudah difahami dan
identfikasi.

4. Tujuan Mempelajari Qawaid Fiqhiyyah


Tujuan mempelajari qawaid fiqhiyah itu adalah untuk
mendapatkan manfaat dari ilmu qawaid fiqhiyah itu sendiri, manfaat
qawaid fiqhiyah ialah:
a. Dengan mempelajari kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui
prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah
yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-
masalah fiqh.
b. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah
menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi.
c. Dengan mempelajari kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan
materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk
keadaan dan adat yang berbeda.
d. Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang
diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah
mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun
dengan cara yang tidak langsung.
e. Mempermudah dalam menguasai materi hukum.
f. Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan
yang banyak diperdebatkan.

26 Siti Aisyah
g. Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi
(ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahan
baru.
h. Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti
(memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari
tempatnya.

C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Menurut M. az-Zuhayliy dalam kitabnya al-Qawa’id al-
fiqhiyyah berdasarkan cakupannya yg luas terhadap cabang dan
permasalahan fiqh, serta berdasarkan disepakati atau
diperselisihkannya qawa’id fiqhiyyah tersebut oleh madzhab-
madzhab atau satu madzhab tertentu, terbagi pada 4 bagian,
a. Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Asasiyyah al- Kubra, yaitu qaidah-
qaidah fiqh yangg bersifat dasar dan mencakup berbagai bab dan
permasalahan fiqh. Qaidah-qaidah ini disepakati oleh seluruh
madzhab.
b. Al-Qawa’id al-Kulliyyah : yaitu qawa’id yang menyeluruh yang
diterima oleh madzhab-madzhab, tetapi cabang-cabang dan
cakupannya lebih sedikit dari pada qawa’id yang lalu. Seperti
kaidah: al-Kharaju bi adh-dhaman/Hak mendapatkan hasil
disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian, dan kaidah:
adh-Dharar al- Asyaddu yudfa’ bi adh-Dharar al-Akhaf Bahaya
yang lebih besar dihadapi dengan bahaya yang lebih ringan. Banyak
kaidah- kaidah ini masuk pada kaidah yang 5, atau masuk di bawah
kaidah yg lebih umum.

Ruang Lingkup Kaidah Fiqih 27


c. Al-Qawa’id al-Madzhabiyyah (Kaidah Madzhab), yaitu kaidah-
kaidah yang menyeluruh pada sebagian madzhab, tidak pada
madzhab yang lain.
d. Al-Qawa’id al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid, yaitu
kaidah yang diperselisihkan dalam satu madzhab. Kaidah-kaidah
itu diaplikasikan dalam satu furu’ (cabang) fiqh tidak pada furu’ yg
lain, dan diperselisihkan dalam furu’ satu madzhab.

2. Saran
Dengan terciptanya makalah ini semoga kita bisa lebih
memahami tentang Qawaid Fiqhiyah sehingga kita sebagai
mahasiswa dapat menggali hukum dengan cara dan metode yang
dilakukan olah para ulama salafus shalih, karena zaman sekarang
permasalahan-permasalahan agama khususnya yang berhubungan
dengan fiqih begitu moderen sehingga kita sebagai mahasiswa ditunut
untuk lebih memahami tentang fiqih khususnya pada makalah ini
yaitu tentang qawaid fiqhiyah yang dengannya semoga kita semua
dapat melaksanakannya
Akhirnya tiada gading yang tak retak, saya pemakalah
menyadari betul dengan makalah ini masih banyak kekurangan dan
kesalahan untuk itu saran dan kritik dari teman-teman sekalian akan
membantu saya dalam penysusnan makalah kedepannya, dan semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

D. DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Muhammad Asy-Syafii. 1983. ushul fiqh al-Islami. Iskandariyah :
muassasah tsaqofah al-Jamiiyah
Hasbi as-siddiqy. 1975. Pengantar Hukum Islam. Jakarta : bulan bintang
Asjmuni A. Rahman. 1976. Qaidah-Qaidah Fiqh. Jakarta : Bulan bintang

28 Siti Aisyah
Abd. Rahman Dahlan. Ushul Fiqih. Jakarta : Amzah
Ali Ahmad al Nadawy. 1994. al Qawi’id al Fiqhiyyah. Damascus : Dar al
Qalam
Ade Dedi Rohayana. 2008. Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah. Jakart a: Gaya Media
Pratama
Syarif Hidayatullah. Qawa’id Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi
Keuangan Syari’ah Kontemporer (Mu’amalat, Maliyyah islamiyyah,
mu’ashirah), Depok : Gramata Publishing
Asnin Syafiuddin. 2012. http://www.slideshare.net/asnin_syafiuddin/
01-02-pendahuluan oleh H. Asnin Syafiuddin, Lc. MA diposting
pada tanggal 10 september 2012.

Ruang Lingkup Kaidah Fiqih 29


30 Siti Aisyah
BAB 3
KAIDAH TENTANG NIAT
WILDAN ALDI FAUZI
MAULANA FAJAR SIDIK

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kaidah fiqih adalah suatu ilmu yang berkaitan penjelasan
tentang hukum-hukum yang umum. Kaidah fiqih boleh dita’rehkan
sebagai hukum syara’ secara keseluruhan yang merangkumi berbagai
masalah hukum fiqih. Terdapat berbagai kaidah fiqih yang telah
diperkenalkan oleh para ulama untuk menyelesaikan permasalahan-
permasalahan yang baru timbul dalam sehari-hari.
Kaidah-kaidah yang diperkenalkan jelas dapat memberi dampak
positif dalam memelihara kemaslahatan ummat sekarang. Terdapat
lima kaidah utama yang disepakati dikalangan fuqaha. Salah satunya
adalah ‫( اآلمور بمقاصدها‬segala sesuatu tergantung pada niatnya). Kaidah

Kaidah Tentang Niat 31


ini berasal dari banyak materi fiqih, karena di dalam fiqih, nilai suatu
perbuatan tergantung pada niatnya.
Dengan ini, maka kami membuat makalah ini untuk membahas
tentang Kaidah Niat tersebut agar kita bisa memahami lebih jauh
terkait kaidah ini.

2. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian dari Kaidah Niat (al umuru bi maqashidiha) ?
b. Apa Dasar-dasar Kaidah dalam Al-Qur’an dan Hadits ?
c. Bagaimana Konsekuensi Kaidah Niat tersebut ?
d. Bagaimana penerapan Kaidah tersebut ?
e. Apa pengecualian Kaidah tersebut ?
f. Bagaimana Kaidah turunan/cabang kaidah ini ?

3. Tujuan Penulisan
a. Untuk Mengetahui pengertian dari Kaidah Niat (al umuru bi
maqashidiha).
b. Untuk Mengetahui Dasar-dasar Kaidah dalam Al-Qur’an dan
Hadits.
c. Untuk Mengetahui Konsekuensi Kaidah Niat.
d. Untuk Mengetahui bagaimana penerapan Kaidah tersebut.
e. Untuk Mengetahui pengecualian Kaidah tersebut.
f. Untuk Mengetahui Kaidah turunan/cabang kaidah ini.

B. PEMBAHASAN
1. Teks Kaidah Tentang Niat
َ َ َ ‫َْ ا ا ْ ا‬
‫اص ِدها‬
ِ ‫المور بِمق‬
“Segala sesuatu itu bergantung pada tujuannya”

32 Wildan Aldi Fauzi | Maulana Fajar Sidik


2. Dasar Hukum Kaidah
a. Al-Quran
 Qur’an surah al-Bayyinah ayat 5:
َ‫الص ََلة‬
‫يموا ا‬ َ ‫ِين ُح َن َف‬
ُ ‫اء َويُ ِق‬ َ ‫ال‬‫ني َ َُل د‬
ِ َ ‫َو َما أُم ُِروا إ اَّل ِِلَ ْع ُب ُدوا ا‬
َ ‫اَّلل ُُمْل ِص‬
ِ
َ ْ ُ َ َٰ َ َ َ َ ‫َ ُ ْ ُ ا‬
ِ‫ِين الق دي ِ َمة‬ ‫ويؤتوا الزَكة ۚ وذل ِك د‬

Artinya : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya


menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang
lurus.”
 Qur’an surah al-Baqarah ayat 225:
ْ‫كم ب َما َك َس َبت‬
ُ ُ َُ ََ ْ ُ ََْ َ ْ‫ا َُ ُ ُ ُ دُ ا‬
ِ ‫كن يؤاخِذ‬
ِ ‫ا يؤاخِذكم اَّلل بِاللغوِ ِِف أيمان ِكم ول‬

ٌ ‫اَّلل َغ ُف‬
ٌ ‫ور َحل‬ ُ ُ ُُ
ُ ‫ك ْم َو د‬
‫ِيم‬ ‫قلوب‬

Artinya : “Allah tidak menghukum kamu disebabkan


sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah
menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk
bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun.”
 Qur’an surah al-Baqarah ayat 265:
ُ َ ً ‫اَّللِ َوتَثْب‬
‫د‬ َ ْ َ َ ْ ُ َُ َ َْ َ ُ ُ َ ‫َ َ َُ ا‬
ِ ‫يتا دم ِْن أنف‬
‫س ِه ْم‬ ِ ‫ات‬
ِ ‫ض‬ ‫ومثل اَّلِين ين ِفقون أموالهم ابتِغاء مر‬

َ‫ض ْع َف ْني فَإن ل ا ْم يُ ِصبْها‬ َ َ ُ ُ ْ َ َ ٌ َ ََ َ َ ََْ ‫َ ََ َا‬


ِ ِ ِ ‫كمث ِل جن ٍة بِربو ٍة أصابها وابِل فآتت أكلها‬

َ ُ َ ْ َ َ ُ ‫َ ٌ َ َ ٌّ َ د‬
ٌ ‫ون بَ ِص‬
‫ي‬ ‫وابِل فطل واَّلل بِما تعمل‬

Kaidah Tentang Niat 33


Artinya : “Dan perumpamaan orang-orang yang
membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk
keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran
tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan
buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka
hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang
kamu perbuat.”
 Qur’an surah an-Nisa ayat 100:
ً ً ِ ‫اغ ًما َكث‬ َ َُ َ َ ‫د‬
‫يا َو َس َعة َو َمن‬ ‫َي ْد ِِف األ ْر ِض مر‬ ِ ِ‫يل اَّلل‬
َ
ِ ِ ‫جر ِِف سب‬
ْ ‫َو َمن ُي َها‬
ِ
ْ َ‫ت َف َق ْد َو َق َع أ‬
ُ‫ج ُره‬ ُ ‫وَلِ ُث ام يُ ْدر ْك ُه ال ْ َم ْو‬
ِ ‫س‬
‫َْ ُ َ ً َ د‬
ُ ‫اَّللِ َو َر‬ ‫َل‬ ‫إ‬ ‫ا‬‫ر‬ ‫ج‬ ‫ا‬‫ه‬ ‫م‬ ِ ‫ه‬ ‫ت‬ ‫ي‬‫ب‬ ‫ِن‬
‫م‬ ‫ج‬
ْ َُْ
‫َير‬
ِ ِ ِ ِ

ً ‫ورا ارح‬
‫ِيما‬ ُ ‫اَّللِ َو ََك َن د‬
ً ‫اَّلل َغ ُف‬ ‫َ د‬
‫لَع‬

Artinya : “Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka


mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang
banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah
kepada Allah dan Rasul-Nya,kemudian kematian menimpanya
(sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap
pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”
 Qur’an surah an-Nisa ayat 114:
َ ْ َْ ُ ْ ‫َّل َم ْن أَ َم َر ب َص َدقَة أَ ْو َم‬
‫د اَْ ُ ْ ا‬ َ ‫ا‬
َ ْ ‫َّل َخ‬
‫صَل ٍح‬‫وف أو ِإ‬
ٍ ‫ر‬ ‫ع‬ ٍ ِ ِ ‫ي مِن َّنواهم إ‬
ٍ ِ ‫ث‬ ‫ك‬ ‫ِف‬
ِ ‫ي‬

ْ َ‫اَّلل فَ َس ْو َف نُ ْؤتِيهِ أ‬
‫د‬ َ ََْ َ َ ْ ْ َ ْ َ‫ب‬
ً‫جرا‬ ِ ‫ات‬ ِ ‫اس َو َمن َيف َعل ذل ِك ابتغاء َم ْرض‬
ِ ‫ني انلا‬

ً ‫َع ِظ‬
‫يما‬

34 Wildan Aldi Fauzi | Maulana Fajar Sidik


Artinya : “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan bisikan
mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia)
memberi sedekah, atau berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian
di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena
mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya
pahala yang besar."

b. Al-Hadits
 Hadits Riwayat Bukhari no. 4.682
َ َ ‫َ َ ا َْا‬ ْ
َّ َ ‫اْل‬ ْ ‫ِب َح ْفص اع َم َر ب‬ َ َْ ْ ‫َ ْ َ ْ ْا‬
:‫اهلل عنه قال‬ ‫اب ر ِِض‬ ‫ط‬ ‫ن‬ ْ
ِ ِ ٍ ِ ‫ْي المؤ ِم ِنْي أ‬
ِ ‫عن أ ِم‬
َ ْ َ َّ ‫َ ا ْ ا‬
َّ‫أل ْع َم اال بانلِّي‬ َْ ‫َ ْ ا َا‬
‫ات‬
ِ ِ ‫ ِإنما ا‬:‫هلل صىل اهلل عليه وسلم يقول‬
ِ ‫س ِمعت رسول ا‬
‫َ ْ اا‬ َ ‫َ ََ َ َ ْ َ َ ْ ْ اا‬ ْ ِّ ‫َ َّ َ ا‬
‫هلل َو َر اس ْو ِ ِِل ف ِهج َرته‬
ِ ‫ فمن َكنت ِهج َرته ِإَل ا‬.‫ئ ما نوى‬
ٍ ‫و ِإنما ِلُك ام ِر‬
‫ام َرأَة َينْك ا‬
َ‫حها‬ ْ َْ َ‫ْ َاا ا َْ ا ْا‬ ْ َ‫ َو َم ْن ََكن‬،‫إ ََل اهلل َو َر اس ْوِل‬
‫ت ِهجرته ِِلنيا ي ِصيبها أو‬
ِ ٍ ِِ ِ ِ
َ َ َ َ َ ‫َ ْ َاا‬
‫اج َر إَِلْ ِه‬ ‫ف ِهجرته إَِل ما ه‬

Artinya : “Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al


Khattab radhiallahuanhu, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah
shallahu`alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya setiap
perbuatantergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan
dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya
karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang
hijrahnya karena menginginkan kehidupan yang layak di dunia atau
karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai
sebagaimana) yang dia niatkan.”

Kaidah Tentang Niat 35


 Hadits Riwayat Ahmad no. 25.253
َّ َ ‫َ ْ َ ْ َ َ ْ َ ا َ َ َ َ ْ َ ْ ا َ ا َ َّ َ َّ َّ ا‬
‫اَّلل َعليْ ِه َو َسل َم‬ ‫اَّلل صىل‬
ِ ‫عن حفصة ابن ِة عمر قالت س ِمعت رسول‬
َ َّ َْ ‫ا‬ َ ‫ا ا‬ ْ َْ َ ْ ٌ ْ َ َْ ‫َ ا ا‬
‫يدون َر اجًل ِم ْن أه ِل َمكة َح ََّّت‬ ‫ْش ِق ي ِر‬
ِ ‫م‬ ‫ال‬ ‫ل‬ ‫ب‬ ‫ق‬
ِ ِ ِ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ش‬ ‫يقول يأ ِِت جي‬

َ ‫اْليْ َداء اخس َف به ْم فَ َر َج َع َم ْن ََك َن أَ َم‬


‫ام اه ْم َلَنْ اظ َر َما َف َع َل الْ َق ْوما‬ َ ْ ‫إ َذا ََكناوا ب‬
ِ ِِ ِ ِ ِ ِ
َ َ َّ َ ‫َ ا َ ا ْ ْ ا َ َ َ َ ا ْ َ ا ْ ا َ َ ا‬
ْ‫كيْ َف ب َم ْن ََك َن منْ اهم‬
ِ ِ ‫اَّلل ف‬
ِ ‫في ِصيبهم ِمثل ما أصابهم فقلت يا رسول‬
َ ْ َّ ‫ا ْ َ ْ َ ا َ َ ا ا ا ْ ا َّ ا ْ َ َ ا َّ َ ْ َ ا َّ ا ا‬
‫ئ َلَع نِيَّ ِت ِه‬
ٍ ِ ‫مستكرها قال ي ِصيبهم ُكهم ذلِك ثم يبعث اَّلل ُك‬
‫ر‬‫ام‬

Artinya : “Dari Hafshah binti Umar berkata; saya telah


mendengar Rasulullah shallaallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Datang sekelompok pasukan dari arah timur, mereka menginginkan
seorang lelaki dari penduduk Makkah. Tatkala mereka sampai di
Baida', mereka ditenggelamkan. Kemudian tatkala orang-orang yang
berada di depan mereka kembali untuk melihat apa yang diperbuat oleh
kaum tersebut, mereka pun ditimpa seperti apa yang menimpa mereka."
saya berkata; "Wahai Rasulullah! Bagaimana bila di antara mereka
ada yang dipaksa?" beliau bersabda: "Hal itu akan menimpa mereka
secara keseluruhan, dan Allah akan membangkitkan setiap orangnya
sesuai dengan niatnya."
 Hadits Riwayat Baihaqi dari Salman al-Farisi
َ ٌ ْ ‫نيَّ اة ال ْ ام ْؤ ِمن َخ‬
‫ْي ِم ْن ع َم ِل ِه‬ ِ ِ

Artinya : “Niat seorang mukmin lebih utama dari pada amalnya”

36 Wildan Aldi Fauzi | Maulana Fajar Sidik


3. Pengertian Al-Umuru bi Maqashidiha
Kaidah al-umuru bimaqashidiha merupakan kaidah yang pertama
dalam pembahasan qawa‘id fiqhiyyah. Asal dari kaidah itu adalah
sabda Nabi:

‫انمااألعمال بانليات‬

Artinya : “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung pada niatnya.”


Hadits ini menegaskan tentang urgensi niat dalam setiap amal
perbuatan manusia. Menurut al-Suyuti hadits tersebut merupakan
hadith shahih yang mashhur. Al-Suyuti mengutip pendapat asy-Syafi’i
bahwa hadis tentang niat ini berlaku untuk 70 bidang dalam bab-bab
fiqih.1
Kaidah pertama “ ‫األمور بمقاصدها‬ ”. Lafazh ‫األمور‬ dalam

kaidah ini merupakan bentuk jamak dari lafazh ‫األمر‬ yang artinya
“perbuatan” atau “tingkah”, baik perintah berbuat atau berucap.
Karena dalam kaidah itu berbentuk jamak ( ‫األمور‬ ), maka yang
dimaksud adalah perbuatan dalam arti gerakan anggota tubuh dan
juga perkataan. Jika yang dimaksud kaidah tersebut dalam pengertian
ini, maka yang dimaksud adalah perbuatan yang nyata (empiris).2
Menurut Muhammad Azam, bahwa lafazh “Amr” dalam kaidah
tersebut menunjukkan arti yang umum, mencakup semua amal
perbuatan yang bersifat duniawi dan sekaligus ukhrawi. Begitu juga
lafazh “maqashidiha” juga menunjukkan keumumannya, karena suatu
tujuan dari sebuah amal perbuatan dapat menyangkut sesuatu yang
dapat diharapkan pahalanya dan yang tidak didapatkan pahalanya.3

1
Darmawan, Kaidah-Kaidah Fiqhiyyah,(Surabaya: Revka Prima Media,2020), hlm. 5.
2
Abdul Aziz Muhammad Azam, Qawa‘id al-Fiqh al-Islami. (Kairo: al-Risalah al- Dauliyah, 1999),
hlm. 77.
3
Ibid., hlm. 79.

Kaidah Tentang Niat 37


Sedangkan definisi global dari kaidah tersebut sebagaimana yang
dikemukan oleh ‘Imad ‘Ali Jum‘ah, adalah hukum-hukum syari'at
dalam setiap transaksi urusan manusia bergantung pada tujuan dan
niatnya, karena terkadang seseorang melakukan sebuah perbuatan
dengan tujuan yang ditentukan, sehingga atas perbuatan tersebut
hukum ditentukan. Terkadang juga seseorang melakukan satu
perbuatan dengan tujuan lain, maka atas perbuatannya tersebut
dikenai hukum lain.4

4. Konsekuensi Niat
Redaksi kaidah yang artinya 'segala sesuatu tergantung pada
niatnya' ini rnemberikan pengertian bahwa ada pengaruh atau
konsekuensi yang selalu berkorelasi dengan niat atau tujuan. Terdapat
dua macam pengaruh atau konsekuensi yang selalu berkorelasi dengan
niat atau maksud dalam pembahasan ini.5
Pertama, pengaruh atau konsekuensi yang bersifat ukhrawi
(akhirat), yaitu pahala yang akan diberikan Allah Swt kepada orang
yang melakukan niatnya atau siksaan yang akan diberikan Allah Swt
kepada orang yang meninggalkan dengan niat atau maksud. Begitu
juga berkaitan dengan diterima atau ditolaknya sebuah amal
perbuatan di sisi Allah Swt. Pengaruh atau hasil inilah yang dimaksud
dari ungkapan sebagain ulama "la tsawdba ilia bi niyyah" (tidak ada
pahala apapun kecuali dengan niat).
Kedua, pengaruh atau tanggungjawab atau hak yang
konsekuensi yang bersifat dibebankan kepada seseorang, yaitu
pengaruh berupa hukum-hukum syari'at (wajib, haram, mubah, sah,

4
Imad ‘Ali Jum‘ah, al-Qawa‘id al-Fiqhiyyah al-Muyassarat, (Urdun: Dar al-Nafais li al-Nasr wa al-
Tawzi‘, 2002),hlm. 46.
5
Athiyyah Adlan, AI-Qawaid al-Qfiqhlyyah AI-Munadzimah W Mu'amala (Darul Iman : Kairo Mesir,
tthn), hlm. 33.

38 Wildan Aldi Fauzi | Maulana Fajar Sidik


batal, fasid, dan lain-lainnya). Pengaruh atau konsekuensi inilah yang
tampaknya dimaksud oleh kaidah pokok yang pertama ini, terutarna
dalam pemasalahan-permasalahan hukum ekonorni Islam, seperti
permasalahan transaksi-transaksi dan akad-akad.
'Athiyyah Adlan memberikan catatan, kaidah ini bukan berarti
kata-kata dan perbuatan itu tidak ada pengaruhnya sama sekali dan
yang berpengaruh hanya niatnya saja. Dalam hal ini perlu
dipertimbangkan kondisi, konteks, kebiasaan, dan hal-hal lain yang
memberikan sinyal bahwa ada niat yang tidak sama dengan ungkapan
atau kata-kata yang diungkapkan. Termasuk yang perlu
dipertimbangkan adalah pemilihan kata atau diksi, apakah kata yang
dipilih itu adalah kata yang memiliki makna pasti dan jelas ataukah
kata yang ambigu dan multi tafsir.6

5. Pengecualian Kaidah
Kaidah “ ‫ ” األموربمقاصدها‬memiliki pengecualian-pengecualian,
yaitu tindakan yang sudah tidak multi-tafsir. Untuk perbuatan
demikian, kaidah ini tidak berlaku. ‘Imad ‘Ali Jum‘ah mengklasifikasi
mustasnayat (pengecualian) dari kaidah yang pertama ini, menjadi
tiga:7
a) Niat saja tanpa disertai perbuatan nyata maka tidak dihukumi,
seperti lelaki berniat mentalaq istrinya, maka talaqnya tidak jatuh.
b) Bukan sesuatu yang telah menjadi kebiasaan dan menyerupai yang
lain, maka tidak disyaratkan niat, seperti iman, membaca Al-
Qur’an, dan berdzikir.

6
Ibid., hlm. 34.
7
Imad ‘Ali Jum‘ah, Op. Cit., hlm. 46.

Kaidah Tentang Niat 39


c) Mencuci wadah dari kotoran anjing tidak perlu niat, akan tetapi
cukup dengan membersihkannya, sesuai dengan kaidah ma
yaf‘aluhu fi ghairihi fala yahtaju ila niat.
Menurut Shalih As-Sadlan dan Imam Ibnu Qayyim Al-
Jauziyyah8, pengecualian (mustatsnayat) yang dimaksud adalah
permasalahan yang dikecualikan dari kaidah pokok pertama, yaitu
permasalahan-permasalahan yang tidak dapat dibedakan hukum
Fikihnya berdasarkan niat Dengan kata lain, niat tidak dapat
memberikan pengaruh atau konsekuensi terhadap yang diniati
tersebut Dalam jual beli, tidak ada pengaruh pemindahan
kepememilikan barang yang dijual atau uang sebagai alat tukar antara
pembeli dan penjual.
Termasuk pengecualian adalah transaksi atau akad yang
menggunakan kata-kata yang bermakna jelas dan pasti, bukan kata-
kata yang bisa bermakna ambigu atau multi makna, seperti jual beli
yang menggunakan kata "saya jual barang ini" atau hutang piutang
dengan menggunakan kata "saya hutangkan uang sekian" dan contoh-
contoh lainnya. Demikian ini menurut sebagian pendapat Ulama yang
tidak mensyaratkan niat atau maksud dalam transaksi yang
menggunakan kata-kata yang.jelas dan tidak ambigu, namun orang
yang mengucapkannya tetap harus menyadari dan mengerti apa
maksud dan tujuan dari katakata yang diucapkan kedua bibirnya.

6. Kaidah Cabang
Kaidah al-umuru bimaqashidiha merupakan kaidah universal,
yang berkembang dan membentuk beberapa kaidah furu’ (cabang):9

8
Shallh As-Sadlan, AI-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Flqhlyyah AI-Kubra, (Dar Balansia, Riyadh, 2001), hlrn.
58, Iihat juga pendapat lbnu Qayyim AI-Jauziyyah dalam l'lamu Muwaqqiln. (Darul Kubut ilmiyah :
Beirut, tthn), hlm 2/4.
9
Darmawan,. Op. Cit., hlm. 8.

40 Wildan Aldi Fauzi | Maulana Fajar Sidik


a) Kaidah dalam masalah transaksi.

.‫العربة يف العقود باملقاصد واملعاين ل با أللفاظ واملباين‬

“Yang diperhitungkan dalam transaksi adalah tujuan dan makna


bukan kata-kata dan bentuknya.”
Pengertian kaidah ini menunjukkan bahwa jika terjadi
perbedaan antara niat seseorang dan kata yang diucapkannya
dalam akad atau transaksi, maka yang dijadikan sebagai pegangan
atau acuan adalah niat atau maksudnya, bukan kata-kata atau
ucapannya. Dengan kata lain, hukum-hukum dalam transaksi
dalam pandangan Fikih lebih didasarkan kepada maksud dan niat
orang yang melakukan transaksi daripada kepada ucapan atau
bentuk kata-katanya.
b) Kaidah dalam masalah sumpah.

. ‫انلية يف اَلمْي ختصص اللفظ العام ول تعمم اْلاص‬

“Niat dalam sumpah dapat mengkhususkan lafazh yang umum dan


tidak menjadikan umum lafazh yang khusus."
Kaidah ini berlaku di dalam madzhab Malild dan Hambali.
Kaidah ini menunjukkan bahwa dalam permasalahan sumpah yang
menggunakan kata-kata yang tidak sesuai dengan niat atau tujuan
dari yang mengucapkannya, maka yang dijadikan acuan hukum
adalah niat dan maksudnya, bukan kata yang diucapkan.
Sedangkan menurut madzbah Syafi'i dan Hambali sumpah itu
didasarkan atas kata-katanya.10

10
Pudjihardjo dan Nur Faizin Muhith, Op. Cit., hlm 48-49.

Kaidah Tentang Niat 41


7. Penerapan Kaidah Tentang Niat
Niat itu tempatnya berada di dalam hati dalam setiap
permasalahan. Adapun cara berniat dan waktu melaksanakannya itu
berbeda-beda sesuai dengan perbuatan atau ucapan apa yang
dimaksudkan. Niat ini disyaratkan harus keluar dari orang yang sudah
tamyiz (mampu membedakan baik dan buruk), dan mengerti apa yang
diniati. Menurut Az-Zuhaili, kaidah ini berlaku untuk akad tukar
menukar, memindahkan kepemilikan harta (tamlik), syirkah,
membebaskan, perwakilan, garansi, dan lain sebagainya.11
Dalam permasalahan syirkah, niat menjadi acuan apakah sebuah
akad itu dianggap sah sehingga memiliki konsekuensi hukum Fikih
ataukah tidak sah sehingga tidak memiliki konsekuensi hukum.
Dalam transaksi syirkah, rekan atau mitra dalam akad syirkah yang sah
memiliki hak atas keuntungan dan kewajiban atas kerugian dari
syirkah-nya, namun apabila akad syirkah-nya tidak sah, maka rekan
atau mitra tidak mempunyai hak atas keuntungan atau kerugian
tersebut.
Contoh kasus, misalkan sebuah bank konvensional di Indonesia
menerima penawaran dari salah satu lembaga finance di Eropa.
Jelasnya, bank tersebut akan melakukan impor barangbarang dagang
yang cukup besar dari Amerika dengan pembayaran surat-surat
berharga yang akan dibayarkan sewaktu barang-barang impor itu telah
diterima oleh pihak bank. Pada saat itu, ada sebuah lembaga finance
(keuangan) syari'ah di Eropa menawarkan kerjasama dengan bank
konvensional tersebut dalam pembayarannya kepada pihak exportir di
Amerika untuk mendapatkan harga yang lebih rendah dibandingkan
kesepekatan pihak bank dengan pihak eksportir. Maka keuntungan

11
Pudjihardjo dan Nur Faizin Muhith, KAIDAH-KAIDAH FIKIH UNTUK EKONOMI ISLAM,
(Malang: UB Press, 2017), hlm. 37.

42 Wildan Aldi Fauzi | Maulana Fajar Sidik


dari transaksi jual beli secara ekspor impor itu menjadi hak antara
pihak eksportir dan lembaga finance syari'ah tersebut, sesuai presentase
modal atau saham yang dimiliki dalam transaksi tersebut, begitu juga
jika terjadi kerugian maka harus dihitung sesuai dengan modal atau
saham yang dimiliki kedua belah pihak. Demikian itu karena yang
terjadi adalah transaksi syirkah berdasarkan niat atau tujuan dari
lembaga finance syari'ah di Eropa tersebut, yaitu tujuan untuk mencari
keuntungan sesuai dengan nisbah kepemilikannya atau untung
ruginya.12
Dalam masalah tukar menukar atau memindahkan kepemilikan
(tamlik), kaidah ini berlaku dalam jual beli (bai'), sewa menyewa, dan
hibah. Semua transaksi tersebut dapat memberikan konsekuensi
hukum pemindahan kepemilikan dari satu pihak ke pihak lainnya jika
dilakukan dengan niat atau maksud. Dengan kata lain, benda yang
dijual dapat menjadi milik pembeli dan uang yang dibayarkan menjadi
milik penjual, barang yang disewa dapat dimanfaatkan oleh penyewa
dan uang sewa menjadi hak penuh pemilik barang, dan begitu juga
seterusnya. Sebaliknya, dalam kondisi atau keadaan tertentu, transaksi
tersebut tidak dapat memberikan konsekuensi tersebut apabila ada hal-
hal lain yang menunjukkan bahwa niat orang yang mengucapkannya
itu tidak dimaksudkan transaksi, melainkan diniatkan untuk hal-hal
yang lain, seperti niat saling bercanda, mencibir, menjatuhkan, atau
menyindir. Akad-akad atau transaksi-transaksi jual beli, sewa, dan
hibah seperti itu tidak dapat memberikan pengaruh hukum
dikarenakan tidak adanya niat atau tujuan dalam hati yang bersamaan
dengan ucapan akad atau transaksi itu.13

12
Ibid., hlm 37-38.
13
Ibid., hlm 38-39.

Kaidah Tentang Niat 43


Kaidah ini juga berlaku bagi penjual dalam jual beli, yaitu niat
dari seseorang untuk menjual atau tidak menjual merupakan bagian
yang menjadi pertimbangan dalam sah atau tidaknya akad jual beli
dalam kasus tertentu. Begitu juga niat pembeli dalam membeli juga
dapat menjadi pertimbangan dalam kasus-kasus tertentu.
Contoh kasus: ada seorang yang berkata kepada temannya
sambil bercanda: "ya sudah, saya jual saja rumahku 100 juta buat
kamu, harga pertemanan" kemudian dijawab: "oke, saya beli''.
Dikarenakan niat atau tujuannya hanya bercanda, perkataan
keduanya itu tidak dapat memberikan konsekuensi hukum. Dengan
kata lain, karena niat penjual dan atau pembeli hanya bercanda, maka
pembeli tidak boleh menuntut rumahnya untuk diserahkan dengan
ucapannya itu, begitu juga penjual tidak berhak menuntut pembeli
untuk memberikan uang 100 juta. 14
Kaidah ini juga berlaku dalam masalah hutang (dain). Orang
yang berhutang mempunyai tanggungan untuk membayar hutangnya.
Dalam kondisi seorang berhutang kepada orang yang sama berupa
dua macam hutang, yaitu hutang pertama berupa hutang tanpa barang
jaminan dan hutang kedua berupa hutang yang didapatkan dengan
memberikan jaminan tertentu kepada pemberi hutang.
Contoh kasus: pada tahun lalu, Ali berhutang kepada Umar
sebanyak 50 juta. Tahun ini, Ali juga hutang lagi kepada Umar
sebanyak 50 juta, namun kali kedua ini Umar meminta barang gadai
sebagai jaminan. Pada tahun berikutnya, Ali membayar 50 juta
kepada Umar dan hanya mengatakan bahwa dia membayar
hutangnya, tanpa menjelaskan hutang yang pertama atau hutang yang
kedua. Ketika terjadi perselisihan tentang barang gadaiannya, maka
niat atau maksud Ali sewaktu rnernbayar hutang rnenjadi rujukan

14
Ibid., hlm. 39.

44 Wildan Aldi Fauzi | Maulana Fajar Sidik


atau acuan. Jika Ali berniat rnembayar hutangnya yang kedua, maka
barang gadaiannya itu harus dikembalikan kepadanya, namun jika
berniat membayar hutangnya yang pertama maka barang gadaian itu
masih menjadi jaminan di tangan Umar.15
Niat juga dapat menentukan hukum halal atau haram dalam jual
beli, yaitu ketika jual beli barang yang dapat dipergunakan untuk
melakukan perbuatan halal dan juga dapat dipergunakan untuk
melakukan perbuatan haram. Contohnya seperti jual beli buah-
buahan anggur. Jual beli yang dilakukannya bisa menjadi haram jika
niat pembeli itu adalah membelinya untuk dibuat sebagai minuman
keras yang memabukkan. Pembeli harus mempertanggungjawabkan
di hadapan Allah Swt dan harus siap menerima siksaan kelak di
akhirat atas jual beli yang dilakukannya ini. Begitu juga penjual yang
mengetahui bahwa pembeli anggur tersebut akan menjadikannya
sebagai bahan membuat minuman keras, dia juga mendapatkan
hukum jual beli yang haram.16

C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Kaidah al-umuru bimaqashidiha merupakan kaidah yang pertama
dalam pembahasan qawa‘id fiqhiyyah. Asal dari kaidah itu adalah
sabda Nabi:

‫انمااألعمال بانليات‬

Artinya : “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung pada niatnya.”


Definisi global dari kaidah tersebut sebagaimana yang
dikemukan oleh ‘Imad ‘Ali Jum‘ah, adalah hukum-hukum syari'at

15
Ibid., hlm. 40.
16
Athiyyah Adlan, Op. Cit., hlm. 37.

Kaidah Tentang Niat 45


dalam setiap transaksi urusan manusia bergantung pada tujuan dan
niatnya, karena terkadang seseorang melakukan sebuah perbuatan
dengan tujuan yang ditentukan, sehingga atas perbuatan tersebut
hukum ditentukan. Terkadang juga seseorang melakukan satu
perbuatan dengan tujuan lain, maka atas perbuatannya tersebut
dikenai hukum lain.
Kaidah al-umuru bimaqashidiha merupakan kaidah universal,
yang berkembang dan membentuk beberapa kaidah furu’ (cabang):
a. Kaidah dalam masalah transaksi.
b. Kaidah dalam masalah sumpah

2. Saran
Dengan dibuatnya makalah tentang Kaidah Niat ini, penulis
berharap agar pembaca lebih memahami tentang kaidah niat baik
dalam beribadah maupun bermua’amalah, agar kita tidak tersesat
dalam kehidupan kita di dunia dan di akhirat kelak.

D. DAFTAR PUSTAKA
Adlan, Athiyyah. Tthn. AI-Qawaid al-Qfiqhlyyah AI-Munadzimah W
Mu'amala. Kairo : Darul Iman
As-Sadlan, Shallih. 2001. AI-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Flqhlyyah AI-Kubra.
Riyadh: Dar Balansia
Azam, Abdul Aziz Muhammad. 1999. Qawa‘id al-Fiqh al-Islami. Kairo:
al-Risalah al- Dauliyah
Darmawan, 2020. Kaidah-Kaidah FIQHIYYAH.Surabaya: Revka Prima
Media
Jum‘ah, 'Imad ‘Ali, 2002. al-Qawa‘id al-Fiqhiyyah al-Muyassarat. Urdun:
Dar al-Nafais li al-Nasr wa al-Tawzi‘.

46 Wildan Aldi Fauzi | Maulana Fajar Sidik


Pudjihardjo dan Nur Faizin Muhith. 2017. KAIDAH-KAIDAH FIKIH
UNTUK EKONOMI ISLAM. Malang: UB Press

Kaidah Tentang Niat 47


48 Wildan Aldi Fauzi | Maulana Fajar Sidik
BAB 4
KAIDAH TENTANG YAKIN
AGUNG NUGRAHA
ASEP ISMAIL SALEH

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Qowaid fiqhiyah merupakan salah satu kebutuhan bagi kita
semua, khususnya mahasiswa Fakultas Syariah. Dengan menguasai
kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah dalam
menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari
masalah-masalah fiqh yang lebih arif dalam menerapkan fiqh dalam
waktu dan tempat yang berbeada untuk kasus, adat kebiasaan,
keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam
menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan
lebih mudah dalam mencari solusi terhadap problem-problem yang
terus muncul dan berkembang dalam masyarakat. Hal ini tidak lain
karena kaidah fiqh sebagai hasil dari cara berfikir induktif, dengan

Kaidah Tentang Yakin 49


meneliti materi-materi fiqh yang banyak sekali jumlahnya yang
tersebar di dalam ribuan kitab fiqh.
Titik tolak pelaksanaan hukum Islam diatur oleh kaidah-kaidah
yang bersifat universal yang merupakan stasiun keberangkatan suatu
perbuatan. Sebagaimana ada kaidah yang menyatakan bahwa
keyakinan tidak terkalahkan oleh keraguan, karena setiap perbuatan
harus dilandasi oleh keyakinan, bukan oleh keraguan.

2. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan Qawa’id Fiqhiyyah ?
b. Apa pengertian dari lafadh yakin dan syakk secara etimologi dan
terminologi?
c. Bagaimana implementasi dari kaidah tersebut beserta landasan
yang dipakai?

3. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui pengertian dari Qawa’id Fiqhiyyah.
b. Mengetahui pengertian lafadh yakin dan syakk secara etimologi
dan terminologi.
c. Agar mampu mengimplementasikan isi dari kaidah tersebut

B. PEMBAHASAN
1. Teks Kaidah Tentang Yakin
ِّ ِّ ُ َُ َ ُ ‫َيَ ي‬
‫اْل ِقْي َل يزال بِالشك‬

“Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh kerag-raguan”

50 Agung Nugraha | Asep Ismail Saleh


2. Dasar Hukum Kaidah
Hadist riwayat Muslim (w.265) H dari Abu Hurairah ra yang
berbunyi:

‫ إذا وجد أحدكم يف بطنه شيئا فأشلك‬:‫قال رسول اهلل صىل اهلل عليه وسلم‬

‫ أخرج منه شيئ أم َل ؟ فال خيرجن من املسجد حىت يسىمع صوتاأو‬,‫عليه‬

) ‫جيد رحيا (رواه مسلم‬

Artinya: “Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang di


antara kamu menemukan sesuatu dalam perutnya, kemudian sesuatu itu
membingungkannya, apakah dari perutnya keluar sesuatu atau tidak? Maka,
janganlah orang tersebut keluar dari masjid (membatalkan shalat) sebelum
mendengar suara atau mencium bau (kentut)” (HR. Muslim)
Dari Sa’id al-Khudri ra, Rasulullah SAW bersabda,

‫إذا شك أحدكم يف صالته فلم يدركم صىل أثالثا أم أربعا فليطرح الشك‬

)‫واْلنب ىلع ماا ستيقن(رواه مسلم‬

Artinya: “apabila salah seorang di antara kalian merasa ragu dalam


shalatnya, apabila ia telah mengerjakan tiga atau empat raka’at, maka
buanglah keraguan dan peganglah apa yang meyakinkan”.

3. Definisi Kaidah Yakin


Secara etimologis, yakin adalah sebuah ilmu (pengetahuan) yang
tidak ada keraguan. Pada asalnya, yakin berarti al-istiqrar (sesuatu
yang menetap), seperti kalimat yakin al-mau fi al baudhi: iza istaqarra (air
menetap di telaga). Kata yakin dalam kalimat ini artinya adalah

Kaidah Tentang Yakin 51


istaqarra (menetap).1 Menurut Ibnu Manzur (w.711 H) dalam
kamusnya Lisan al-‘Arab, yakin adalah sebuah ilmu (pengetahuan),
sesuatu yang dapat menjauhkan keraguan, dan sesuatu yang nyata
(realistis); yakin kebalikan dari syakk, dan syakk lawannya
yakin.2 Menurut al-Jauhari, yakin adalah sebuah ilmu (pengetahuan)
dan hilangnya keraguan, seperti ‫(يقنت األمر يقنا‬saya benar-benar
meyakini perkara itu).
Secara terminologis, yakin adalah ‫(المطابق اإلعتقاد الجازم‬i’tiqad)
(keyakinan) yang pasti, kokoh/ teguh, dan sesuai dengan kenyataan/
realitas). Definisi ini mengemukakan tiga indikator yakin, yaitu pasti
(al-jazim), kokoh/ teguh (al-tsabit), dan sesuai dengan kenyataan/
realitas (al-mutabiq lil waqi’). Indikator pertama, yaitu kepastian (al-
jazim), dapat mengeluarkan sesuatu yang masih dugaan kuat (zann atau
galabah al-zann). Sesuatu yang masih dugaan kuat (zann) tidak masuk
kategori yakin. Indikator kedua, yaitu kekokohan/ keteguhan (al-tsabit),
dapat mengeluarkan i’ tiqad (keyakinan) seorang yang taklid (muqallid)
terhadap kebenaran. Hal ini karena i’ tiqad (keyakinan) seorang yang
taklid (muqallid) tidak berdasarkan argumentasi, sehingga rentan
untuk hilang atau berubah. Dengan demikian, kondisi seperti itu tidak
layak disebuat yakin. Indikator ketiga, yaitu sesuai dengan kenyataan
(realitas), dapat mengeluarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan
kenyataan yaitu al-jahl (ketidaktahuan).3
Menurut Muhammad al-Zarqa (w. 1357 H/1938M), pengertian
yakin dalam kaidah ini yang cocok (munasib) adalah pengertian secara
lugawi (etimologis), karena hukum-hukum fikh didasarkan kepada
sesuatu yang bersifat lahiriyah (konkrit). Dengan demikian, banyak

1
Al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Al-Ahkam, Juz II Tahqiq Muhammad Khadar Husen (Beirut: Dar Al-
Rasyad Al-Haditsah, t.th.), hlm. 31.
2
Al-Syuthi, Al Asybab wa al-Nadhair (Semarang: Toha Putra, t.th.), hlm. 6 dan 45.
3
‘Izzuddin bin ‘Abd Al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz I (Mesir: Dar al-Ma’arif,
t.th.), hlm. 4-5.

52 Agung Nugraha | Asep Ismail Saleh


sesuatu yang dalam pandangan syara’ yakin yang tidak dapat hilang oleh
keraguan, tetapi menurut akal (rasio), hal tersebut boleh jadi tidak
sesuai dengan kenyataan (realitas). Misalnya, sesuatu yang telah kuat
(jelas) berdasarkan bukti-bukti syara’, yang dalam pandangan syara’,
hal seperti ini telah yakin ibarat sesuatu yang telah jelas dengan kasat
mata. Padahal dalam pandangan akal (rasio), kesaksian para saksi
(bukti-bukti) adalah berita perorangan (khabar ahad) yang boleh jadi
ada kelupaan dan kebohongan. Namun demikian, kemungkinan
lemah (ihtimal dhaif) ini tidak membuat keyakinan tersebut berubah.
Kemungkinan lemah tersebut telah dibuang/ dihilangkan oleh sesuatu
yang kuat/ jelas (bukti-bukti) yang berlawanan dengan kemungkinan
lemah ini.4
Syakk adalah ‫(الترددبين النقيضين بال تر جيح ألحدهما على االخر‬keraguan
antara dua perkara/masalah yang berlawanan tanpa mengunggulkan
salah satunya). Apabila berdasarkan argumentasi (dalil) salah satunya
lebih unggul, dan keunggulannya itu mencapai tingkat kejelasan
(dhuhur) yang seorang berakal dan membangun hukum-nya
berdasarkan hal itu, tetapi kemungkinan (ihtimal) lain masih ada,
maka itu disebut dugaan kuat (dhann). Apabila kemungkinan (ihtimal)
lain itu tidak ada; dalam pengertian bahwa sudah tidak ada lagi
kemungkinan pemikiran, karena kemungkinan (ihtimal) lain itu sangat
lemah sekali, maka disebut dugaan sangat kuat (galib al-dhann/ galabah
al-dhann).5
Kaidah di atas sangat penting bagi hukum Islam, ia dapat
menunjukan bahwa hukum Islam adalah mudah dan tidak
memberatkan. Kaidah ini mengakui keyakinan dan meniadakan
keraguan yang seringkali timbul dari perasaan was-was, terutama

4
‘Izzuddin bin ‘Abd Al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz II hlm. 5-7.
5
Al-Suyuthi, Al Asybab wa al-Nadhair, hlm. 5.

Kaidah Tentang Yakin 53


dalam masalah bersuci dan shalat. Was-was adalah penyakit kronis,
sehingga kalau sudah berat (akut) perasaan tersebut sangat susah untuk
dilepaskan. Kondisi ini akan sangat menyulitkan seorang mukallaf,
karena dengan perasaan was-was ia harus berusaha sekuatnya untuk
menjalankan kewajiban. Kaidah ini bermaksud menghilangkan
kesulitan tersebut.
Para ulama menyepakati (konsensus) kaidah ini, Imam al-Qarafi
(w.684 H) menyatakan sebagai berikut: “para ulama menyepakati kaidah
ini, yaitu kaidah yang menjelaskan bahwa setiap manusia yang diragukan
seperti sesuatu yang telah pasti ketidakadaannya.” Menurut al-Sarakhsi
dalam kitabnya Usul al-Sarakhsi, berpegang kepada keyakinan dan
meninggalkan keraguan merupakan asal (kaidah) dalam syari’at
(Islam).
Meskipun para ulama menyepakati kaidah ini, tetapi dalam
penerapannya mereka berbeda pendapat sesuai dengan perbedaan
sudut pandang dan metodologi istinbath. Imam Ibnu Daqiq al-Id
mengisyaratkan hal ini ketika ia menjelaskan hadis riwayat Abdullah
bin Zaid, ia menyatakan sebagai berikut: “Hadis ini merupakan asal
(kaidah) dalam mengamalkan asal dan membuang keraguan (syakk). Para
ulama menyepakati kaidah ini, tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal
cara (kaifiyat) penerapannya.”6
Contoh yang jelas untuk hal ini adalah terjadinya keraguan
setelah bersuci (taharah), apakah telah hadats atau belum. Menurut
jumhur ulama (hanafiyah, syafi’iyah, hanabilah, dan dhahiriyah), boleh
memegang asal (taharah) dan membuang keraguan (hadats) serta
melaksanakan shalat dalam kondisi seperti ini, karena taharah yang
diyakini dan hadats yang diragukan. Penjelasannya sebagai berikut:

6
Al-Suyuthi, Al Asybab wa al-Nadhair, hlm. 109.

54 Agung Nugraha | Asep Ismail Saleh


1. Dalam kitab al-Asybab wa al-Nadhair Ibnu Nujaim dijelaskan sebagai
berikut: “Siapa yang meyakin taharah, kemudian timbul keraguan,
apakah ia telah hadats, maka ia tetap dalam keadaaan taharah. Siapa
yang meyakini hadats, kemudian timbul keraguan apakah ia telah
taharah, maka ia tetap dalam keadaan hadats.”7 Menurut Ibnu ‘Abidin,
apabila seorang yakin bahwa ia telah bersuci, kemudian timbul
keraguan, apabila ia telah hadats, atau sebaliknya, maka ia (boleh)
memegang keyakinan (taharah).8
2. Al-Nawawi (w.676 H) dalam kitabnya al-Raudhah menyatakan
sebagai berikut: “Di antara kaidah yang telah membangun banyak
hukum (fiqh) adalah kaidah yang menetapkan keyakinan dan membuang
keraguan. Apabila seorang yakin bahwa ia telah bersuci, kemudian timbul
keraguan, apakah ia telah hadats, atau sebaliknya, maka ia (boleh)
memegang (mengamalkan) keyakinannya.”9
3. Dalam kitab Kasysyaf al-Qina’ dinyatakan sebagai berikut: “Siapa
yang yakin bahwa ia telah bersuci, kemudian timbul keraguan, apakah ia
telah hadats, atau sebaliknya, siapa yang yakin ia berhadats, kemudian
timbul keraguan, apakah ia telah bersuci, maka ia (boleh) memegang
keyakinan, yaitu taharah.”10 Abu Daud menyatakan, saya
mendengar Ahmad bin Hanbal ditanya tentang seseorang yang
ragu-ragu dalam wudhunya. Kemudian Ahmad bin Hanbal
menjawab: “Apabila ia telah berwudhu, maka ia tetap dalam wudhunya,
sehingga yakin bahwa ia telah berhadats; apabila ia telah hadats setelah
berwudhu, maka ia tetap dalam keadaan hadats, sehingga yakin bahwa ia
telah berwudhu.”11

7
Al-Suyuthi, Al Asybab wa al-Nadhair, hlm. 111.
8
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), hlm. 233-234.
9
Al-Subki, Al-Asybah wa al-Nadhair (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991 M), hlm. 11.
10
Badruddin al-Bakri, Al-I’tina’ fi al-Farq wa al-Istitsna’ (Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1991 M), hlm. 8-9.
11
Al-Zarkasyi. Al-Zarkasyi, Al-Mantsur fi al-Qawa’id, Juz I (Kuwait: Muassasah al-Khalij, 1982 M),
hlm. 66.

Kaidah Tentang Yakin 55


4. Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Muhalla menyatakan sebagai berikut:
“Siapa yang yakin bahwa ia telah berwudhu dan mandi besar (gusl),
kemudia timbul keraguan, apabila ia telah hadats atau telah terjadi sesuatu
yang mengharuskannya mandi besar, maka ia (dianggap) tetap dalam
keadaan taharah (suci). Ia tidak perlu memperbaharui (mengulangi)
kembali mandi besar dan wudhunya tersebut.”
Mazhab Maliki tidak sepakat dengan Mazhab Jumhur Ulama,
karena mereka melarang seseorang mengerjakan shalat yang disertai
keraguan dalam taharahnya (kesucian dari hadats). Menurut mereka,
yang menjadi asal adalah adanya kewajiban shalat, padahal tidak
mungkin melepaskan diri dari kewajiban dan tanggung jawab tersebut
kecuali dengan taharah yang meyakinkan.
Menurut Abu al-Abbas al-Qarafi (w.684 H), kewajiban shalat
adalah yakin, yang membutuhkan sebab (yang meyakinan) pula untuk
kebebasannya. Keraguan dalam syarat membawa keraguan terhadap
yang disyaratkan (masyrut), sehingga timbul keraguan dalam shalat
yang dikerjakan dengan taharah yang diragukan. Padahal, taharah
adalah sebab yang membebaskan (seseorang dari kewajiban shalat),
sehingga apabila taharah yang menjadi sebab kebebasan dari
kewajiban shalat diragukan, maka kewajiban shalatpun tentu (masih
ada).12
Sebagian ulama Mazhab Maliki berpendapat bahwa keraguan
dapat membatalkan wudhu, sebagaimana dijelaskan dalam kitab
Syarh al-Hattab berikut ini: “Keraguan dalam hadats menuntut kewajiban
wudhu, karena kewajiban shalat adalah yakin dan tidak akan terbebas
darinya kecuali dengan taharah yang yakin. Taharah adalah syarat sah
shalat. Dengan demikian, keraguan dalam syarat (dalam hal ini taharah)

12
Al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Juz II (Mesir: Mathba’ah al-Imam, t.th.), hlm. 64.

56 Agung Nugraha | Asep Ismail Saleh


membawa keraguan pula terhadap yang disyaratkan (masyrut), yaitu
shalat.”13
Pendapat Mazhab Maliki ini diperjelas dan diperinci oleh Abu al-
Barakat al-Dardiri. Menurut al-Dardiri, keraguan dapat membatalkan
(wudhu), karena kewajiban tidak dapat bebas kecuali dengan sesuatu
yang meyakinkan; bukan keyakinan yang disertai keraguan.
Keyakinan mencakup sesuatu yang masih dugaan kuat (dhann).
Keraguan yang menuntut kewajiban wdhu ada tiga bentuk, yaitu (1)
keraguan yang timbul setelah yakin bahwa sebelumnya ia mempunyai
wudhu, apakah ia telah hadats atau ada sebab lain yang membatalkan
wudhunya. (2) keraguan yang timbul setelah yakin bahwa sebelumnya
ia mempunyai hadats, apakah ia telah berwudhu atau belum. (3)
seseorang meyakini keduanya, yaitu taharah dan hadats, tetapi ragu
manakah dari keduanya yang paling dahulu.
Namun demikian, perbedaan pendapat antara jumhur ulama
dengan Mazhab Maliki terletak pada pandangannya, manakah yang
menjadi asal, apakah taharah (suci) atau baraah al-zimmah (bebas
tanggung jawab). Jumhur ulama memandang bahwa yang menjadi
asal adalah taharah, sehingga orang yang shalat dalam kondisi seperti
ini dapa menggugurkan kewajiban. Mazhab Maliki mewajibkan
wudhu jika ada keraguan, karena mengamalkan asal lain, yaitu
kewajiban shalat yang masih ada dalam tanggung jawab seseorang
kecuali dengan taharah yang meyakinkan.
Perbedaan pendapat mereka tidak membatalkan penggunaan
kaidah ini, karena perbedaan tersebut hanya berpangkal pada
perbedaan pandangan mereka dalam hal menentukan manakah yang
menjadi asal, bukan pada penggunaan asal. Pada dasarnya, mereka

13
Al-Zinjani, Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1984 M), hlm. 102-103 dan
449.

Kaidah Tentang Yakin 57


sepakat mengamalkan sesuatu yang menjadi asal, tetapi kadang-
kadang tidak sepakat dalam hal cara (kaifiyat) penggunaannya
terhadap masalah furu’.14

4. Uraian Kaidah Yakin


Dari kaidah yang merupakan garis besar ini dapat dibentuk
kaidah-kaidah yang lebih khusus yang pada dasarnya tidak
menyimpang dari kaidah pokok ini, kaidah- kaidah itu antara lain
ialah:
a. ‫األصل بقاءما اكن ىلع ما اكن‬

Yang menjadi asal adalah sesuatu yang ditetapkan pada asalnya.


Contoh: Apabila seseorang merasa yakin bahwa dalam
pakaiannya terdapat najis, tetapi ia tidak mengetahui di mana letak
najis tersebut, maka ia harus membasuh seluruh pakaiannya. Hal
ini karena keraguan (syakk) tidak dapat menghilangkan sesuatu
yang diyakini sebelumnya.15
b. ‫األصل براءةاذلمة‬

Yang menjadi asal adalah bebas dari tanggung jawab.


Contoh: apabila seseorang membeli pakaian baru, kemudain
merasa ragu apakah pakaiannya itu suci atau najis, maka yang ia
pegang adalah sucinya pakaian tersebut dan tidak wajib
membasuhnya.16

14
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, hlm. 236
15
Ibnu Nujaim, Al-Asyabah wa al-Nadhair, Tahqiq Muhammad Muthi’ al-Hafidz (Cet. I, Damaskus:
Dar al-Fikr, 1983 M/1403 H), hlm. 60.
16
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Bada’i al-Fawaid, Jilid III (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby, t.th.), hlm.
273-274

58 Agung Nugraha | Asep Ismail Saleh


c. ‫من شك أفعل شيئا أم َل فاألصل أنه لم ينفعله‬

Siapa yang merasa ragu, apakah ia telah mengerjakan sesuatu atau


belum, maka yang menjadi asal adalah belum mengerjakan sesuatu.
Contoh: Apabila seseorang terkena basah (balal), dan tidak
mengetahui apakah basahnya itu suci atau najis, maka ia tidak
wajib menelitinya. Begitu juga, ia tidak harus bertanya kepada
orang yang menyiramnya tersebut, apakah airnya suci atau najis.
Dengan demikian, apabila pada malam atau siang hari sandal
seseorang terkena basah, maka ia tidak seharusnya mencium bau
sandalnya tersebut atau menelitinya; ia hanya mengamalkan apa
yang diyakininya.17
d. ‫من تيقن الفعل وشك يف القليل أو الكثري محل ىلع القليل ألنه املتيقن‬

Siapa yang yakin bahwa ia telah mengerjakan (sesuatu), tetapi


merasa ragu, apakah pekerjaannya itu sedikit atau banyak, maka
peganglah yang sedikit karena itu meyakinkan.
Contoh: apabila seseorang ragu, apakah air (yang suci) itu
terkena najis atau tidak? Maka ia harus berpegang kepada
keyakinannya, yaitu sucinya air tersebut. Apabila ia yakin bahwa
air tersebut terkena najis, lalu timbul keraguan, apakah
kenajisannya itu telah hilang atau belum? Maka ia harus memegang
keyakinannya, yaitu najisnya air tersebut.18
e. ‫األصل العدم‬

Yang menjadi asal adalah ketiadaan perbuatan.


Contoh: apabila seseorang melihat sebuah batu, kemudian
timbul keraguan tentang musta’mal atau tidaknya batu tersebut,
maka ia boleh menggunakannya, karena yang menjadi asal adalah

17
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Bada’i al-Fawaid, hlm. 274.
18
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Bada’i al-Fawaid, hlm. 273.

Kaidah Tentang Yakin 59


suci. Namun, ia sunnah meninggalkan atau membasuh batu
tersebut.19
f. ‫األصل لك حادث تقديره بأقرب زمن‬

Yang menjadi asal dalam setiap kejadian adalah memperkirakannya


dengan waktu yang paling dekat dengannya.
Contoh: apabila orang yang berpuasa merasa ragu mengenai
terbenamnya matahari, maka ia tidak boleh membuka puasanya,
karena berpegang kepada asal adalah tetapnya siang. Sebaliknya
apabila seseorang merasa ragu mengenai terbitnya fajar, maka ia
boleh makan, karena yang menjadi asal tetaplah malam.20
g. ‫األصل يف األشياء اإلباحة حىت يدل ادلْلل ىلع اتلحريم‬

Segala sesuatu pada dasarnya boleh, kecuali bila ada dalil yang
mengharamkannya.
Ini menurut madzhab Syafii, sedangkan menurut madzhab
Hanafi sebaliknya yakni:‫األصل يف األشياء اتلحىت يدَلدلْلل ىلع اإلحبة‬

Segala sesuatu itu pada dasarnya haram, kecuali bila ada dalil yang
memperbolehkannya.
Contoh: ada seekor binatang yang kita belum dapat
mengetahui tenteng halal atau haramnya. Menurut Imam Syafii
halal sedangkan menurut Imam Hanafi mengharamkannya.21
h. ‫األصل يف الالكم احلقيقة‬

Yang menjadi asal dalam pembicaraan adalah yang haqiqah/


sebenarnya (bukan yang kiasan)

19
Al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Jilid I (Mesir: Mathba’ah al-Imam, t.th.), hlm. 132.
20
Ibnu Nujaim, Al-Asyabah wa al-Nadhair, hlm. 63.; Al-Suyuthi, Al Asybab wa al-Nadhair, hlm. 52.;
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Bada’i al-Fawaid, hlm. 272.
21
Moh. Adib Bisri, Al Faraidul Bahiyyah, (Kudus: Menara, t.th.), hlm. 11-12.

60 Agung Nugraha | Asep Ismail Saleh


Contoh: apabila seseorang yakin bahwa ia telah mengerjakan
sesuatu, tetapi merasa ragu, apakah pekerjaannya itu sedikit atau
banyak, maka ia harus memegang yang maka ia harus memegang
yang sedikit karena itulah yang diyakini. Hal ini seseorang merasa
ragu apakah ia telah mentalaq satu atau dua, maka ia harus
memegang yang satu.22

5. Macam-Macam Syak
Menurut Asy-Syaikh Al-Imam Abu Hamid Al-Asfirayiniy, syak
(keraguan) itu ada tiga macam yaitu:
a. Syak atas asal yang haram.
Misalnya: Ada seekor kambing di sembelih di daerah yang
berpenduduk campuran antara Muslimin dan Majusi. Kambing
tersebut hukumnya tidak halal, sebab asalnya haram.
b. Syak atas asal yang mubah.
Misalnya: Ada air berubah, yang mungkin disebabkan oleh
najis dan mungkin pula karena terlalu lama tergenang. Menurut
hukum, air tersebut dapat digunakan, sebab asalnya memang air itu
suci.
c. Syak atas seuatu yang tidak diketahui asalnya.
Misalnya: A berhubungan kerja dengan orang yang sebagian
besar uangnya adalah uang haram. Hukumnya boleh, sebab tidak
diketahui dari mana uang itu (yang digunakan untuk muamalah)
berasal.23
Sebagai catatan, Syak (ragu) dan Dhan (sangkaan) itu
pengaruhnya dalam hukum sama, misalnya: seseorang bertamu ke
rumah temannya. Sampai disana rumahnya tertutup, lalu timbul

22
Al-Zarkasyi, Al-Mantsur fi al-Qawa’id, hlm. 275.; Ibnu ‘Abidin, Radd al-Mukhtar ‘ala al-Durr al-
Mukhtar, Jilid III (Cet. II; Beirut: Dar al Fikr, t.th.), hlm. 283.
23
Moh. Adib Bisri, Al Faraidul Bahiyyah, hlm. 16.

Kaidah Tentang Yakin 61


dalam fikirannya “teman ini, boleh jadi pergi, dan mungkin malahan
sedang tidur”, ini namanya Syak, “tetapi kemungkinan besar masih
berada di rumah sebab kendaraannya ada”. Ini namanya Dhan.
Kaidah ‫ اليقين اليزال بالشك‬mempunyai bandingan, yakni ‫الميقن قد يزال‬
‫ بالشك‬. “yakin itu terkadang bisa hilang sebab bimbang.” Akan tetapi
kaidah ini hanya berlaku pada beberapa masalah bahkan Syaikh Abul
‘Abas Ahmad bin Al-Qash membatasi kaidah ini hanya pada sebelas
masalah, sedang Imam Nawawiy menambahnya dengan beberapa
masalah, begitu pula Imam Subkiy. Contoh: orang-orang akan
melakukan shalat Jum’at, tetapi mereka merasa ragu, apakah waktu
Jum’atan masih ataukah sudah habis?. Maka berdasar kaidah ini,
mereka harus shalat dhuhur saja.24

6. Contoh Penerapan Kaidah Yakin


a. Wali Nikah Dalam Perkawinan
Pengertian Wali Nikah, Kata wali dalam kamus besar bahasa
Indonesia diartikan sebagai pengasuh, orang tua atau pembimbing
terhadap orang atau barang.25 Perwalian dari bahasa Arab adalah
Al Walayah atau Al Wilayah yaitu hak yang diberikan oleh syariat
yang membuat si wali mengambil dan melakukan sesuatu, kalau
perlu secara paksa diluar kerelaan dan persetujuan dari orang yang
di perwalikan.
Menurut Amin perwalian dalam literatur fikih Islam disebut
dengan Al-Walayah atau Al-Wilayah seperti kata ad-dalalah yang
juga disebut ad-dilalah. Secara etimologis mengandung beberapa
arti yaitu cinta (al-mahabbah) dan pertolongan (an-nashrah) atau
bisa juga berarti kekuasaan atau otoritas.Seperti dalam ungkapan

24
Moh. Adib Bisri, Al Faraidul Bahiyyah, hlm. 16-17.
25
Porwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hlm. 92.

62 Agung Nugraha | Asep Ismail Saleh


al-wali yakni orang yang mempunyai kekuasaan untuk mengurus
sesuatu.26
Perwalian dalam istilah fikih disebut wilayah yang berarti
penguasaan dan perlindungan.Yang dimaksud perwalian adalah
penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang
untuk menguasai dan melindungi orang atau barang.27 Dalam fikih
sunnah dijelaskan bahwa wali adalah suatu ketentuan hukum yang
dapat di paksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang
hukumnya, wali ada yang khusus dan ada yang umum. Wali
khusus adalah yang berkaitan dengan manusia dan harta
bendanya.28
Dalam literature – literature fiqih klasik dan kontemporer,
kata al- wilayah dugunakan sebagai wewenang seseorang untuk
mengelola harta dan mengayomi seseorang yang belum cakap
bertindak hukum. Dari kata inilah muncul istilah wali bagi anak
yatim. Dan orang yang belum cakap bertindak hukum. Istilah al-
wilayah juga dapat berarti hak untuk menikahkan seorang wanita
dimana hak itu dipegang oleh wali nikah.29
Adapun yang dimaksud dengan perwalian disini adalah
perwalian terhadap jiwa seseorang wanita dalam hal
perkawinannya.
Masalah perwalian dalam arti perkawinan, mayoritas ulama
berpendapat bahwa wanita itu tidak boleh menikahkan dirinya
sendiri dan tidak pula mengawinkan wanita lainnya karena akad
perkawinan tidak di anggap sah apabila tanpa seorang wali,30

26
Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), hlm. 134.
27
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 89.
28
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 7( Bandung: Al-Ma’arif, 1997), hlm. 11.
29
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), hlm. 35
30
Dedy Junaidi, Bimbingan Perkawinan, (Jakarta: Akademi pressindo, 2003), hlm. 104

Kaidah Tentang Yakin 63


pendapat ini dikemukakan oleh Imam Maliki dan Imam Syafi’i
bahwa tidak ada pernikahan tanpa wali, dan wali merupakan syarat
sahnya pernikahan.31
Menurut madzhab Hanafi, wali tidak merupakan syarat
sahnya untuk suatu pernikahan, tetapi sunnah saja hukumnya
boleh ada wali boleh tidak ada wali, yang terpenting adalah harus
ada izin dari orang tua pada saat akan menikah baik pria maupun
wanita.
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
tidak jelas mengatur tentang wali nikah, tetapi disyaratkan harus
ada izin dari orang tua bagi yang akan melangsungkan pernikahan
dan apabila belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun disebutkan
bahwa : perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai.32
b. Kawin Hamil
Yang dimaksud dengan “kawih hamil” di sini ialah kawin
dengan seseorang wanita yang hamil di luar nikah baik dikawini
oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki yang
menghamilinya maupun oleh laki-laki yang menghamilinya.
Ketentuan tentang kawin hamil atau peristiwa perkawinan
yang telah didahului kehamilan calon istri diatur dalam pasal 53
Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:
a. Seorang wanita hamil diluar nikah dapat dikawinkan dengan
pria yang menghamilinya.
b. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebutkan pada ayat (1)
dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran
anaknya.

31
Slamet Abidin – Aminudin, Fiqh Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 82
32
M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Peradilan Agama, dan menurut
Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,2006), hlm. 12.

64 Agung Nugraha | Asep Ismail Saleh


c. Dengan dilangsungkan perkawinannya pada saat wanita hamil,
tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung
lahir.33
Ketentuan ini menarik untuk diperbandingkan dengan
pemikiran ulama dalam kitab-kitab fikih. Ketentuan ini bermakna
positif sebagai perlindungan hukum bagi anak yang tidak berdosa
yang ada dalam kandungan si wanita. Dengan kawin hamil ia
memiliki nasab yang jelas.
Allah berfirman dalam QS An Nur : 3
Artinya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan
perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan
yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau
laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang
yang mukmin”.34
Hukum kawin dengan wanita yang hamil di luar nikah para
ulama berpendapat, sebagai berikut:
a. Para ulama Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i berpendapat
bahawa perkawinan keduanya sah dan boleh bercampur sebagai
suami istri, dengan ketentuan, pria itu yang menghamilinya dan
kemudian ia mengawininya.
b. Ibnu Hazm berpendapat bahwa keduanya boleh (sah)
dikawinkan dan bolehpula bercampur, dengan ketentuan, bila
telah bertaubat dan menjalanihukuman dera (cambuk), karena
keduanya telah berzina.35
Selanjutnya mengenai pria yang kawin dengan wanita yang
dihamili oleh orang lain, terjadi perbedaan pendapat para Ulama:

33
Tim Citra Umbara, UU No.1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Citra Umbara,2009)
34
Departemen Agama RI, Alqur’an dan Terjemahannya (Surabaya: Mekar Surabaya, 2004)
35
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 124-
125.

Kaidah Tentang Yakin 65


a. Abu Yusuf, mengharamkan yakni tidak membolehkan
mengawini wanita hamil akibat zina, karena hamil akibat zina
mencegah persetujuan, maka mencegah akadnya juga. Seperti
pencegahan terhadap nasab.36 Dan bila dikawinkan maka
perkawinannya batal.
b. Ibnu Qudamah sependapat dengan Imam abu Yusuf dan
menambahkan bahwa seorang pria tidak boleh mengawini
wanita yang diketahui berbuat zina dengan orang lain, kcuali
dengan 2 Syarat:
 Wanita tersebut telah melahirkan bila ia hamil. Jadi dalam
keadaan hamil ia tidak boleh kawin.
 Wanita tersebut telah menjalani hukuman dera (cambuk)
terlebih dahulu, apakah ia hamil atau tidak.
c. Imam Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaibani mengatakan
bahwa perkawinannya itu sah, tetapi haram baginya bercampur,
selama bayi yang dikandungnya belum lahir.37
d. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’I berpendapat bahwa
perkawinan itu dipandang sah. Karena tidak terikat dengan
perkawinan orang lain (tidak ada massa iddah). Wanita itu boleh
juga dicampuri, karena tidak mungkin nasab (keturunan) bayi
yang dikandung itu ternodai oleh sperma suaminya. Sedangkan
bayi tersebut bukan keturunan orang yang mengawini ibunya
itu.
Dengan demikian status anak itu adalah sebagai anak zina,
bila pria yang mengawini ibunya itu bukan pria yang
menghamilinya. Namun bila pria yang mengawini ibunya itu
adalah pria yang menghamilinya maka terjadi perbedaan pendapat:

36
Dr Wahbah Zuhaili Al fiqh Al Islami wa Adillatuh, (Juz IX, Dar Al Fikr, 1997), h. 2649
37
Abdul Rahman GHozali, Fiqh Munakahat, h. 127.

66 Agung Nugraha | Asep Ismail Saleh


a. Bayi itu termasuk anak Zina, bila ibunya dikawini setelah usia
kandungannya berumur 4 bulan ke atas. Bila kurang dari 4
bulan, maka bayi itu adalah anak suaminya yang sah.
b. Bayi itu termasuk anak Zina. Karena anak itu adalah anak diluar
Nikah walaupun dilihat dari segi bahasa, bahwa anak itu adalah
anaknya karena hasil dari sperma dan ovum bapak dan ibunya
itu.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud
dengan wali nikah adalah orang yang mewakili perempuan dalam
hal melakukan akad pernikahan, karena ada anggapan bahwa
perempuan tersebut tidak mampu melaksanakan akadnya sendiri
karena dipandang kurang cakap dalam mengungkapkan
keingnannya sehingga dibutuhkan seorang wali untuk melakukan
akad nikah dalam pernikahan.

C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa rasa
yakin akan mengarahkan manusia menuju kunci kesuksesan dan
keberhasilan dalam menggapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.
Keyakinan merupakan sugesti yang sangat kuat mempengaruhi dalam
setiap lagkah yang akan dilalui oleh manusia. Dalam pembahasan
diatas telah di bahas bahwa hukum yang sudah berlandaskan
keyakinan tidak bisa di pengaruhi oleh keraguan yang timbul
kemudian.
Yang di maksud yakin dalam hal ini adalah tercapainya
kemantapan hati pada satu objek hukum yang telah di kerjakan, baik
kemantapan itu sudah mencapai kadar pengetahuan yang mantap atau
hanya persepsi yang kuat (dhann). Terlepas dari kaidah-kaidah yang

Kaidah Tentang Yakin 67


telah di bahas sebelumnya bahwa sejarah telah menjadi saksi
bagaimana para filosof, pemikir, cendekiawan dan lain sebagainya
tentunya mempunyai keyakinan yang kuat dalam setiap apa yang
mereka lakukan serta mempunyai landasan pijak sebagai penyangga
atas keilmuan yang mereka miliki.
Dan aplikasi kaidah ini dalam bidang al-ahwal al-syaksiyyah
menjadi penting akan kemantapan hati seorang ayah dalam
membuktikan bahwa anak perempuannya tersebut adalah anak yang
sah, anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah sehinggan
ayah/bapaknya berhak menjadi wali bagi anak perempuannya
tersebut setelah ia dewasa dan ingin melangsungkan pernikahan.

2. Saran
Setelah kita mengetahui mengenai makna kaidah fikih tentang
yakin penulis berharap kita dapat mengimplementasikannya kaidah
tersebut dalam menyelesaikan permasalahan kontemporer dalam
kehidupan sehari-hari baik dalam bidang muamalah maupun bidang
yang lainnya.
Selanjutnya penulis berharap makalah ini dikembangkan secara
lebih mendalam mengenai aplikasi kaidah yakin dalam perekonomian
islam kontemporer.

D. DAFTAR PUSTAKA
‘Abd Al-Salam ,‘Izzuddin. Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam. Juz I.
Mesir: Dar al-Ma’arif, t.th.
‘Abidin, Ibnu. Radd al-Mukhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar. Jilid III. Cet. II.
Beirut: Dar al Fikr, t.th.
Abidin, Slamet – Aminudin. Fiqh Munakahat. Bandung: Pustaka Setia,
1999.

68 Agung Nugraha | Asep Ismail Saleh


al-Bakri, Badruddin. Al-I’tina’ fi al-Farq wa al-Istitsna’. Beirut-Lebanon:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991 M.
al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim. Bada’i al-Fawaid. Jilid III. Beirut: Dar al-
Kitab al-‘Araby, t.th.
Al-Nawawi. Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab. Jilid I. Mesir: Mathba’ah al-
Imam, t.th.
Al-Nawawi. Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab. Juz II. Mesir: Mathba’ah al-
Imam, t.th.
Al-Subki. Al-Asybah wa al-Nadhair. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1991 M.
Al-Syathibi. Al-Muwafaqat fi Al-Ahkam. Juz II. Beirut: Dar Al-Rasyad Al-
Haditsah, t.th.
Al-Syuthi. Al Asybab wa al-Nadhair. Semarang: Toha Putra, t.th.
Al-Zarkasyi. Al-Mantsur fi al-Qawa’id. Juz I. Kuwait: Muassasah al-Khalij,
1982 M.
Al-Zinjani. Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul. Beirut: Muassasah al-Risalah,
1984 M.
Bisri, Adib. Al Faraidul Bahiyyah. Kudus: Menara, t.th.
Departemen Agama RI. Alqur’an dan Terjemahannya. Surabaya: Mekar
Surabaya, 2004.
Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2008.
Junaidi, Dedy. Bimbingan Perkawinan. Jakarta: Akademi pressindo, 2003.
Muchtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan
Bintang, 1994.
Nujaim, Ibnu. Al-Asyabah wa al-Nadhair. Cet. I. Damaskus: Dar al-Fikr,
1983 M/1403 H.
Porwadarminta. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
1995.

Kaidah Tentang Yakin 69


Ramulyo, M. Idris. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum
Peradilan Agama, dan menurut Hukum Islam. Jakarta: Sinar
Grafika,2006.
Rohayana, Ade Dedi. Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah. Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2008.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah 7. Bandung: Al-Ma’arif, 1997/
Suma, Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: Raja
Grafindo, 2004.
Summa, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di dunia Islam.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Tim Citra Umbara, UU No.1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Bandung:
Citra Umbara,2009.
Zuhaili, Wahbah. Al fiqh Al Islami wa Adillatuh. Juz IX, Dar Al Fikr,
1997.

70 Agung Nugraha | Asep Ismail Saleh


BAB 5
KAIDAH TENTANG KEMUDAHAN
NENENG NURHOLIPAH

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Agama Islam adalah agama universal. Agama Islam yang
universal ini dapat ditemukan dalam kitab suci Al-Quran yang berisi
ajaran dan petunjuk bagi kemaslahatan umat manusia serta meraih
kebahagiaan di dunia dan akherat. Al-Quran diturunkan oleh Allah
SWT kepada nabi Muhammad SAW sebagai Rasul terakhir untuk
menyempurnakan ajaran Rasul sebelumnya. Berdasar dan
berpedoman dari al-Quran inilah Nabi menjalani kehidupannya.
Segala tingkah laku, perkataan dan perbuatan Rasul adalah
merupakan implementasi dari ajaran-ajaran al-Quran. Dari perkataan,
tingkah laku dan pengakuan (qaulan wa fi’lan wa taqriran) Rasulullah
inilah umat Islam dapat belajar dan memahami ajaran Islam.1

1
Prof. Dr. KH. Said Aqil Siraj, MA Sekapur sirih buku, “Islam Agama Yang Mudah”
http://www.syauqipress.com/index.php (12 maret 2013)

Kaidah Tentang Kemudahan 71


Allah SWT sebagai musyarri’ (pembuat syariat) memiliki
kekuasaan yang tiada tara, dengan kekuasaan-Nya itu, Dia mampu
menundukkan ketaatan manusia untuk mengabdi pada-Nya. Agar
dalam realisasi penghambaan itu tidak terjadi kekeliruan maka Dia
membuat aturan-aturan khusus yang disebut sebagai syariah demi
kemaslahatan manusia sendiri. Tentunya syariah itu disesuaikan
dengan tingkat kemampuan dan potensi yang dimiliki seorang hamba,
karena pada dasarnya syariah itu bukan untuk kepentingan Tuhan
melainkan untuk kepentingan manusia sendiri.2
Hukum Islam adalah terjemahan dari Islamic Law. Dalam Islam
sebenarnya tidak dikenal istilah “Hukum Islam”, tetapi syariah Islam
(asy- Syari’ah al-Islamiyyah) atau fiqih Islam (al-Fiqh al-Islami). Syariah
Islam secara umum berarti agama Islam itu sendiri, tetapi kemudian
dalam perkembangannya dipakai sebagai pemahaman para fuqaha’
(ahli fikih) berdasarkan Qur’an dan Sunnah serta ijtihad mereka
sendiri terhadap af’al al- mukallafin (perbuatan orang dewasa),
menyangkut salah satu dari lima “kaedah hukum” (al-ahkam al-
khamsah), yaitu wajib, sunat, haram, makruh dan mubah. Dengan
demikian syari’at atau Fiqih Islam menyangkut semua perbuatan
orang dewasa, baik kehidupan yang sangat pribadi seperti kebersihan
fisik. Atau kehidupan keluarga dan rumah tangga, maupun kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Inilah yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris sebagai Islamic Law (Hukum Islam) atau Islamic
Jurisprudence (ilmu hukum Islam).3
Allah Swt adalah Dzat yang Maha Mengetahui batas kekuatan,
kemampuan, serta potensi manusia menetapkan syari’ah yang sesuai

2
Mukhlis Usman, Kaedah-Kaedah Ushuliyah dan Fiqhiyah. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997),
h. 124.
3
http://islamic-law-in-indonesia.blogsfot.com/2010/02/sejarah-dan-perkembanganhukum
islam.html (5 Maret 2013)

72 Neneng Nurholipah
dengan kemampuan mereka dan bukan kemauan hawa nafsu mereka.
Agama Islam tidaklah menghendaki kesukaran, namun justru datang
dengan membawa kemudahan.4 Sesungguhnya syariah tidak
menuntut seseorang untuk melakukan sesuatu yang menjatuhkannya
pada kesulitan, atau sesuatu yang tidak sesuai dengan karakter dan
hati nuraninya. Kemudahan dan keringanan adalah tujuan dasar dari
“pemilik syariah yang bijaksana” dalam memberlakukan syariah
Islam.5
Kemudahan merupakan salah satu prinsip penting dalam Islam.
Ia merupakan anugerah Allah SWT, diberikan agar manusia tetap
bersemangat dan tekun dalam menjalankan ajaran agama, terutama
dalam situasi sulit. Prinsip taysir (kemudahan) sangat jelas dalam
Islam. Setiap kesulitan, pada dasarnya, menuntut kemudahan (al-
masyaqqah tajlib al-taysîr). Setiap ibadah dalam Islam disediakan
kemudahan-kemudahan. Dalam terminologi Fiqih, kemudahan-
kemudahan itu dinamakan “Rukhshah,” yaitu pengurangan beban
sebagai wujud kasih sayang Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya.
Meskipun mudah dan disediakan banyak kemudahan, namun
kemudahan itu bukan sesuatu yang gratis (free of charge). Kemudahan-
kemudahan itu menuntut persyaratan dan kondisi-kondisinya sendiri.
Misalnya, adanya masyaqqah (kesulitan) seperti telah dikemukakan.
Berbagai kemudahan agama itu diberikan oleh Allah SWT
untuk tujuan dan maksud yang mulia. Pertama, memastikan agar
manusia dapat menjalankan agama tanpa susah payah dalam dimensi
ruang dan waktu. Kedua, mendorong dan memotivasi manusia agar
rajin dan semangat menjalankan agama, lantaran bisa dilakukan
dengan mudah dan tanpa kesulitan, agama itu mudah maka tidak

4
Buletin Islam Al Ilmu Edisi No: 32/VIII/IX/1432
5
Ibid.

Kaidah Tentang Kemudahan 73


boleh ada opini yang menggambarkan bahwa agama (beragama) itu
seolah-olah menyusahkan. Inilah pandangan yang ditolak Allah
SWT.6

2. Rumusan Masalah
a. Apa itu kaidah kemudahan ?
b. Apa saja dasar hukum dari kaidah kemudahan ?
c. Bagaimana kriteria dan sebab timbulnya kesulitan ?
d. Apa saja jenis-jenis kemudahan ?
e. Bagaimana hukum rukhsah ?
f. Apa saja kaidah-kaidah cabang dari kaidah kemudahan ?
g. Bagaimana penerapan kaidah dalam muamalah ?

3. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui pengertian dari kaidah kemudahan ?
b. Untuk mengetahui dasar hukum dari kaidah kemudahan ?
c. Untuk mengetahui kriteria dan sebab timbulnya kesulitan ?
d. Untuk mengetahui jenis-jenis kemudahan ?
e. Untuk mengetahui hukum rukhsah ?
f. Untuk mengetahui kaidah-kaidah cabang dari kaidah kemudahan ?
g. Untuk mengetahui penerapan kaidal dalam muamalah

B. PEMBAHASAN
1. Teks Kaidah Tentang Kemudahan
ُ‫اتليْ ِس ْي‬
َّ ‫ب‬ُ ‫لم َش َّق ُة ََتْل‬
َ َ‫ا‬
ِ
“Kesulitan bisa menarik pada kemudahan”

6
Ibid.

74 Neneng Nurholipah
2. Dasar Hukum Kaidah
Para Ulama’ ahli usul dalam membuat kaidah ini mengambil
dalil atau istinbat dari firman Allah dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi
Muhammad SAW:
a. Dasar kaidah dari Al-Qur’an
 Al-Baqarah: 185

َ ْ ‫ك ُم الْ ُع‬
‫ْس‬
ُ ُ ْ ُ ََ َ ْ ُْ ُ ُ ُ‫ُ ْ ُ ه‬
‫ي ِريد اّٰلل ِبكم اليْس وَل ي ِريد ِب‬

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak


menghendaki kesukaran bagimu”
 Al-Baqarah: 286

َّ ْ َ ُ ‫َ ُ َ ِّ ُ ه‬
‫اّٰلل نف ًسا ِاَل ُو ْس َع َها‬ ‫َل يكلف‬

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan


kesanggupannya”
 Al-Hajj : 78

ُ َْ َ ََ َ َ َ
ۗ‫ادليْ ِن ِم ْن َح َرج‬
ِّ ‫ك ْم ِف‬
ِ ‫وما جعل علي‬

Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama


suatu kesempitan”
 Al-Nisa ayat 28:

ً ُ ْ ْ َ ُ َ ْ ُ ْ َ َ ِّ َ ‫ُ ْ ُ ه ُ َ ْ خ‬
‫اَلن َسان َض ِعيْفا‬
ِ ‫ي ِريد اّٰلل ان ُّيفف عنكم وخ ِلق‬
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia
dijadikan bersifat lemah.”

Kaidah Tentang Kemudahan 75


 Al-Maidah ayat 6:

ُ َ َ ْ ُ‫َ ُ ْ ُ ه‬
‫اّٰلل ِِلَج َعل َعليْك ْم ِِّم ْن َح َرج‬ ‫ما ي ِريد‬

“Allah tidak hendak menyulitkan kamu,..”


 Al-A’raf ayat 157:

َ ْ َ َ ْ َّ َ ٰ ْ َ ْ َ ْ ُ َ ْ ْ ُ ْ َ ُ َ َ َ
ۗ‫ت َعليْ ِه ْم‬ ‫ويضع عنهم ِاْصهم واَلغلل ال ِِت َكن‬

“ada Allah membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-


belenggu yang ada pada mereka.”
b. Dasar kaidah dari Hadis Rasulullah SAW, antara lain:
Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas ra.:

ِّ ُ َ ُ ِّ َ ‫ َوب‬،‫ْسوا‬ َ َ ُ ِّ َ
‫ِّشوا َوَل تنَف ُروا‬ ُ ِّ ‫تع‬
َ ‫َل‬ ‫يْسوا و‬

“Mudahkanlah dan jangan mempersulit, gembirakanlah dan


jangan menakuti.”
Ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi SAW. yang disebutkan
di atas, menunjukkan bahwa Islam selalu menginginkan kemudahan
bagi manusia. Semua hukum yang ada di dalam ajaran Islam tidak
melampaui batas kemampuan manusia yang bersifat lemah.
Berdasarkan ayat dan hadis tersebut para ulama membentuk qaidah
tersebut.

3. Pengertian Kaidah Kemudahan


Masyaqqah (kesulitan) secara etimologi berarti keletihan (aljuhd),
kepayahan (al-‘ina’) dan kesempitan (al-syiddah).7 Sedangkan jalb al-
syai’ berarti menggiring dan mendatangkan sesuatu dari satu tempat

7
Ibnu Manzhur, Lisan al-`Arab, pada kata ‫ق ق ش‬

76 Neneng Nurholipah
ke tempat lainnya. Adapun at-taisir berarti kemudahan dalam suatu
pekerjaan, tidak memaksakan diri, dan tidak memberatkan fisik.8
Makna yang terbentuk dari kata-kata dasar dari kaidah ini adalah
bahwa jika ditemukan kesulitan dalam sesuatu, maka ia menjadi
penyebab syar`i yang dibenarkan untuk mempermudah, meringankan
dan menghapus kesulitan tersebut dari diri mukallaf pada saat
melaksanakan aturan-aturan hukum tersebut. Seperti dalam hadits
Nabi SAW. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim disebutkan:
‫ين ي ُ ْ ر‬
‫ْس‬ ِّ
َ ‫ادل‬

Agama itu mudah


Yusrun lawan dari kata ‘usyrun. Jadi makna kaidah tersebut
adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya
adalah hukum-hukum syari’ah didasarkan atas kenyamanan,
keringanan dan menghilangkan kesulitan. Hukum-hukum yang dalam
penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf
(subjek hukum), maka syariah meringankannya agar mukallaf dapat
melaksanakan hukum tersebut tanpa kesulitan dan kesukaran. Dan
yang dimaksud kesukaran ialah yang di dalamnya mengandung unsur-
unsur keterpaksaan. Oleh sebab itu, suatu hukum yang mengandung
kesulitan dalam pelaksanaannya atau berpotensi mendatangkan
bahaya dalam pelaksanaannya, baik kepada badan, jiwa, ataupun
harta seorang mukallaf, maka harus diringankan sehingga tidak
menyulitkan dan membahayakan lagi.
Dalam hukum Islam, Ada hukum azimah dan ada hukum
rukhsah. Hukum dalam bentuk azimah yaitu:
ً ‫كِّيَِّ ِة إب ْ ِت َد‬ ُْ َ ْ ْ َ َ َ ُ َ
‫اء‬ ِ ِ ‫ما ُش ع ِمن اﻷ حك ِم ال‬

8
Ibnu Manzhur, Lisan al-`Arab, pada kata ‫ب ل ج‬

Kaidah Tentang Kemudahan 77


“Hukum yang ditetapkan Allah pertama kali dalam bentuk hukum-
hukum umum”
Hukum azimah adalah hukum yang berlaku secara umum
kepada semua mukallaf tanpa adanya kesulitan.
Adapun Hukum rukhsah :
ْ َ َ َ ُ َّ ْ ْ
‫ادل ِِلْ ِل ِل ُعذر‬
َّ ‫الف‬
ِ ‫اْلُك ُم اثل ِابت لَع ِخ‬

“Hukum yang berlaku berdasarkan suatu dalil menyalahi dalil yang


ada karena adanya uzur.”
Hukum rukhsah adalah hukum tentang keringanan yang
dilakukan oleh karena adanya kesulitan. Faktor penyebab adanya
rukhshah adalah, karena:
a. Dharurat (keterpaksaan) seperti orang yang keadaannya sangat
lapar apabila ia tidak makan dikhawatirkan akan mati, sementara
yang ada di hadapannya hanya makanan yang haram dimakan,
maka ia boleh makan makanan yang haram ituuntuk menjaga
jiwanya.
b. Hajat menghilangkan masyaqqah (kesukaran). Al-Masyaqqah itu
sendiri bersifat individual. Maksudnya, bagi seseorang mungkin
masyaqqah tetapi bagi orang lain tidak merasa masyaqqah. tetapi
ada standar umum yang sesungguhnya bukan masyaqqah dan
karenanya tidak menyebabkan keringanan di dalam pelaksanaan
ibadah, seperti merasa berat berwudhu pada masa musim dingin,
atau merasa berat berpuasa pada masa musim panas, atau juga
merasa berat bagi terpidana dalam menjalankan hukuman.
Masyaqqah semacam ini tidak menyebabkan keringanan di dalam
ibadah dan dalam ketaatan kepada Allah SWT. Sebab, apabila
dibolehkan keringanan dalam masyaqqah tersebut menyebabkan
hilangnya kemaslahatan ibadah dan ketaatan dan menyebabkan
lalainya manusia dalam melaksanakan ibadah.

78 Neneng Nurholipah
Menurut penelitian al-Syatibi, rukshah itu terjadi karena
kemampuan seorang mukallaf yang terbatas. Dan kesulitan yang
dialami seorang mukallaf bisa muncul karena tidak terpenuhinya
kebutuhan al-hajat.9(sekunder). Oleh sebab itu, kesulitan yang
dianggap bisa meringankan taklif kepada seorang mukallaf adalah:
a. Karena khawatir akan terputusnya ibadah dan khawatir akan
adanya kerusakan bagi dirinya, baik jiwa, badan, hartanya,
maupun kedudukannya.
b. Ada rasa takut akan terkurangi kegiatan-kegiatan sosial yang
berhubungan dengan kepentingan kemasyarakatan. Karena
aktifitas tersebut dalam Islam termasuk dalam kategori amal saleh
yang bernilai sebagai ibadah.

4. Kriteria Kesukaran dan Sebab Timbulnya Keringanan


a. Kriteria Kesukaran
Apabila kesukaran dijadikan dasar hukum bagi dispensasi
dan kemudahan syar’i maka ia mempunyai implikasi nyata dalam
penetapan hukum dan fatwa. Beberapa pendapat para ulama
mengenai macam dan jenis kesukaran di antaranya:10
1) Al-Izz bin Abdussalam dalam karyanya Qawa`id al-Ahkam, ia
menyebutkan bahwa kesukaran itu ada dua macam: pertama,
kesukaran yang tidak dapat lepas dari ibadah pada umumnya.
Misalnya kesukaran pada waktu berwudhu’ dan mandi karena
air yang sifatnya dingin, kesukaran puasa karena udara siang
yang panas dan waktunya yang panjang, kesukaran perjalanan
yang tidak dapat terlepas dari niat menunaikan ibadah haji, jihad
secara umum, dan penerapan sanksi dan berbagai bentuk tindak

9
Jalaluddin al-Rahman ibn Abi Bakr al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha’ir..., h.
10
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa`id Fiqhiyyah,
(Jakarta: Amzah, 2009), h. 58

Kaidah Tentang Kemudahan 79


pidana. Kedua, kesukaran secara umum yang dapat terlepas dari
ibadah, yaitu kondisi umum ketika ibadah dapat dilakukan tanpa
disertai faktor kesukaran tersebut. Selanjutnya, jenis kesukaran
itu ada tiga bentuk, yaitu :
 kesukaran yang menimbulkan bencana dan kesukaran besar,
 kesukaran ringan
 kesukaran yang terletak di tengah-tengah antara dua
kesukaran di atas yang berbeda-beda dari segi ringan dan
beratnya kesukaran tersebut.
2) Menurut Imam al-Syathibi, kriteria kesukaran yang
menimbulkan efek keringanan hukum adalah kesukaran yang
terdiri dari dua bentuk, yaitu kesukaran yang mampu dipikul dan
kesukaran yang tidak mampu dipikul.
3) Bagi kalangan ulama Syi`ah, kesukaran yang mendatangkan
kemudahan itu adalah kesukaran yang diwaspadai oleh
orangorang yang berpikiran sehat (al-`uqala’), biasa mereka
jauhi dan tidak mereka kerjakan sebagai implementasi prinsip
baik dan buruk menurut akal (at-tahsin wa at-taqbih al-‘aqliyyin)
yang mereka pegang.
Dari pendapat-pendapat di atas, maka Nashr Farid
Muhammad Washil dan Abdul Azis Muhammad Azzam
menyimpulkan bahwa secara umum, kesukaran itu ada dua
macam: 11
1) Kesukaran yang menurut kebiasaan yang berlaku di antara
manusia mampu mereka tanggung dan mereka kerjakan.
2) Kesukaran yang menurut kebiasaan manusia di luar batas
kemampuan mereka sehingga ia tidak ditanggung kecuali

11
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah, h. 70-
71

80 Neneng Nurholipah
dengan mengerahkan kemampuan tertinggi (maksimal), atau
tidak mungkin terus menerus dilaksanakan kecuali dengan
hilangnya jiwa, harta atau ketidak berdayaan mutlak dalam
pelaksanaannya.
b. Sebab-sebab timbulnya keringanan
Berdasarkan penelitian para ulama terhadap nash, ada tujuh
sebab yang dapat menimbulkan keringanan.12
1) Sedang dalam perjalanan (al-safar). Misalnya, boleh qasar
shalat, buka puasa, dan meninggalkan shalat Jumat.
2) Keadaan sakit. Misalnya, boleh tayamum ketika sulit memakai
air, shalat fardhu sambil duduk, berbuka puasa bulan Ramadhan
dengan kewajiban qadha setelah sehat, wanita yang sedang
menstruasi.
3) Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan
hidupnya. Setiap akad yang dilakukan dalam keadaan terpaksa
maka akad tersebut tidak sah seperti jual beli, gadai, sewa
menyewa, karena bertentangan dengan prinsip ridha (rela),
merusak atau menghancurkan barang orang lain karena dipaksa.
4) Lupa (al-nisyan). Misalnya, seseorang lupa makan dan minum
pada waktu puasa, lupa membayar utang tidak diberi sanksi,
tetapi bukan pura-pura lupa.
5) Ketidaktahuan (al-jahl). Misalnya, orang yang baru masuk Islam
karena tidak tahu, kemudian makan makanan yang diharamkan,
maka dia tidak dikenai sanksi. Seorang wakil tidak tahu bahwa
yang mewakilkan kepadanya dalam keadaan dilarang bertindak
hukum, misalnya pailit, maka tindakan hukum si wakil adalah
sah sampai dia tahu bahwa yang mewakilkan kepadanya dalam

12
Abdul Wahhab Khallaf, Qa`idah-kaidahHukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h.
337-338

Kaidah Tentang Kemudahan 81


keadaan mahjur 'alaih (dilarang melakukan tindakan hukum
oleh hakim). Dalam contoh ini ada qaidah lain bahwa
ketidaktahuan tentang hukum tidak bisa diterima di negeri
Muslim, dalam arti kemungkinan untuk tahu telah ada. "Tidak
diterima di negeri Muslim alasan tidak tahu tentang hukum
Islam"
6) Kesulitan Umum (Umum al-Balwa), Misalnya kebolehan Bay
al-salam (uangnya dahulu, barangnya belum ada). Kebolehan
dokter melihat kepada bukan mahramnya demi untuk
mengobati sekadar yang dibutuhkan dalam pengobatan.
Percikan air dari tanah yang mengenai sarung untuk shalat.
7) Kekurangmampuan bertindak hukum (al-naqsh). Misalnya,
anak kecil, orang gila, orang dalam keadaan mabuk. Dalam ilmu
hukum, yang berhubungan dengan pelaku ini disebut unsur
pemaaf, termasuk di dalamnya keadaan terpaksa atau dipaksa.
Para ulama membagi masyaqqah menjadi tiga tingkatan,
yaitu: 13
1) Al-Masyaqqah al-'Azhimmah (kesulitan yang sangat berat),
seperti kekhawatiran akan hilangnya jiwa dan/atau rusaknya
anggota badan. Hilangnya jiwa dan/atau anggota badan
menyebabkan kita tidak bisa melaksanakan ibadah dengan
sempurna. Masyaqqah semacam ini membawa keringanan.
2) Al-Masyaqqah al-Mutawasithah (kesulitan yang pertengahan,
tidak sangat berat juga tidak sangat ringan). Masyaqqah
semacam ini harus dipertimbangkan, apabila lebih dekat kepada
masyaqqah yang sangat berat, maka ada kemudahan di situ.
Apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang ringan, maka tidak

13
A.Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih...., h. 57

82 Neneng Nurholipah
ada kemudahan di situ. Inilah yang penulis maksud bahwa
masyaqqah itu bersifat individual.
3) Al-Masyaqqah al-Khafifah (kesulitan yang ringan), seperti terasa
lapar waktu puasa, terasa letih waktu tawaf dan sai, terasa pusing
waktu rukuk dan sujud, dan lain sebagainya. Masyaqqah
semacam ini bisa ditanggulangi dengan mudah yaitu dengan
cara sabar (tabah) dalam melaksanakan ibadah. Alasan-nya,
kemaslahatan dunia dan akhirat yang tercermin dalam ibadah
tersebut lebih utama daripada masyaqqah yang ringan ini.

5. Macam-Macam Keringanan (Takhfif)


Keringanan-keringanan yang diakui di dalam syara` ada tujuh
macam :14
1) Takhfif isqath, yaitu keringanan dalam bentuk penghapusan seperti
tidak shalat bagi wanita yang sedang menstruasi atau nifas. Tidak
wajib haji bagi yang tidak mampu (Istitha’ah).
2) Takhfif tanqish, yaitu keringanan berupa pengurangan, seperti shalat
Qashar dua rakaat yang asalnya empat rakaat.
3) Takhfif ibdal, yaitu keringanan yang berupa penggantian, sepertu
wudhu dan/atau mandi wajib diganti tayamum, atau berdiri waktu
shalat wajib diganti dengan duduk karena sakit
4) Takhfif taqdim, yaitu keringanan dengan cara di dahulukan, seperti
mendirikan shalat dengan jama’ taqdim mendahulukan
mengeluarkan zakat sebelum haul (batas waktu satu tahun);
mendahulukan mengeluarkan zakat fithrah di bulan Ramadhan;
jama’ taqdim bagi yang sedang bepergian yang menimbulkan
masyaqqah dalam perjalanannya

14
Jalaluddin al-Rahman ibn Abi Bakr al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha’ir, h

Kaidah Tentang Kemudahan 83


5) Takhfif ta’khir, yaitu keringanan dengan cara diakhirkan, seperti;
bayar puasa Ramadhan bagi yang sakit, melakukan shalat jama’
ta’khir bagi orang yang melakukan perjalanan karena
mendatangkan masyaqqah dalam perjalanannya.
6) Takhfif tarkhis, yaitu keringanan karena rukhsah, seperti makan dan
minum yang diharamkan dalam keadaan terpaksa, sebab bila tidak,
bisa membawa kematian.
7) Takhfif taghyir, yaitu keringanan dalam bentuk berubahnya cara
yang dilakukan, seperti shalat pada waktu khauf (kekhawatiran),
misalnya pada waktu perang

6. Hukum Rukhsah
Dari segi hukum pelaksanaannya, rukhshah atau keringanan itu
dapat dibagi kepada lima macam, yaitu:
1) Rukhshah yang hukumnya wajib dikerjakan. Umpamanya, orang
yang terancam jiwanya karena lapar dibolehkan untuk makan
bangkai; orang yang sangat khawatir dengan kesehatannya
dibolehkan untuk berbuka puasa sebelum waktunya.
2) Rukhshah yang hukumnya sunnat untuk dikerjakan. Umpamanya,
meng-qashar shalat bagi orang yang dalam perjalanan; tidak puasa
bagi orang yang mengalami kesulitan dalam perjalanan; atau bagi
orang yang sedang sakit.
3) Rukhshah yang hukumnya mubah untuk dikerjakan atau untuk
ditinggalkan. Umpamanya, jual-beli dengan sistem salam, yakni
jual-beli dengan pembayaran terlebih dahulu, sedang barangnya
dikirim kemudian menurut perjanjian yang telah disepakati
bersama.

84 Neneng Nurholipah
4) Rukhshah yang hukumnya lebih utama untuk ditinggalkan.
Umpamanya, men-jama‟ kedua shalat yang boleh di-jama’,
padahal seseorang itu tidak mengalami kesulitan.
5) Rukhshah yang makruh hukumnya untuk dikerjakan. Umpamnya,
seseorang meng-qashar shalat padahal jauh perjalannya tidak
sampai jarak 3 marhalah (lebih-kurang 84 Km).

7. Kaidah-Kaidah Cabang
Dari kaidah induk tentang masyaqqah, maka muncullah kaidah-
kaidah cabang sebagai turunannya, yaitu:
1) ‫( سع األمر ضاق اذا‬Apabila suatu perkara menjadi sempit maka
hukumnya meluas).”
Kaidah ini redaksinya berasal dari imam Syafi`i. Kaidah ini
ingin menjelaskan bahwa dalam kondisi sempit, berat, sulit meneliti
atau rumit memastikan suatu keadaan yang sebenarnya, maka
dalam hal ini seseorang boleh melakukan sesuatu yang seharusnya
dalam kondisi normal tidak boleh. Walalupun begitu, agar kaidah
ini tidak digunakan sembarangan, maka dibuatlah kaidahtandingan
untuk membatasi keberlakuannya, yaitu ‫“ ضاق اتسع اذا‬Apabila
suatu perkara menjadi meluas, maka hukumnya menjadi
menyempit.”
Contoh dari penerapan kaidah ini misalnya boleh berbuka
puasa pada bulan Ramadhan karena sakit atau bepergian jauh.
Sebab sakit dan bepergian jauh merupakan suatu kesempitan dan
kesulitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka.
Tapi ketika orang sakit itu sembuh kembali, atau orang musafir itu
sudah sampai di tempat tujuan, maka hukum wajib melakukan
puasa itu kembali berlaku.

Kaidah Tentang Kemudahan 85


2) ‫البدل الى يصار االصل تعذر اذا‬ (Apabila yang asli sukar
dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya).
Contohnya: tayamum sebagai pengganti wudhu
3) ‫ما ال يمكن التحرز منه معفوعنه‬ (Apa yang tidak mungkin
menjaganya (menghindarkannya) maka hal itu dimaafkan)
Contohnya: pada waktu sedang berpuasa, seorang yang
berkumur-kumur tidak akan mungkin terhindar dari rasa air di
mulut atau yang bercampur dan tertelan bersama ludah, maka
puasanya tidak batal.
4) ‫ى لمعا با التناط الرخصة‬ (Keringanan itu tidak dikaitkan dengan
kemaksiatan).
Kaidah ini digunakan untuk menjaga agar jangan sampai
keringanan-keriganan di dalam hukum tidak disalahgunakan untuk
melakukan maksiat (kejahatan atau dosa). Contohnya: orang
bepergian dengan tujuan melakukan maksiat, misalnya untuk
membunuh orang atau untuk berjudi atau berdagang barang-barang
yang diharamkan, maka orang semacam ini tidak boleh
menggunakan keringanan-keringanan di dalam hukum Islam.

8. Penerapan Kaidah dalam Bidang Muamalah


a. Dibolehkan hanya melihat apa yang mungkin dapat dilihat, seperti
menjual apa yang ada dalam kaleng/botol, apa yang dimakan ada
di dalamnya dan lain-lain. Maka pendapat yang benar adalah
dibolehkan jual beli seperti itu disertai adanya gharar yasir
(ketidakjelasan yang ringan (sedikit), karena jual beli ini membawa
maslahat bagi manusia.Berkenaandengan makan an yang ada
dalam kaleng atau botol jika dibuka tutup kalengnya, atau tutup
botolnya, tentu makanan atau minuman yang ada di dalamnya
akan menjadi rusak. Untuk kemaslahatan agar makanan itu tidak

86 Neneng Nurholipah
rusak, maka dibolehkan (sah) jual beli hanya melihat apa yang
dapat dilihat, yaitu yang di luarnya saja, dengan tulisan, label dan
lain-lain, dengan tidak melihat langsung makanan atau minuman
itu.
b. Kontrak Istisna’. Dalam kontrak ini, seorang produsen setuju untuk
memproduksi produk tertentu dengan karakteristik tertentu yang
disepakati sebelumnya. Dengan istisna’, seseorang dapat
menghubungi seorang pembuat sepatu dengan kesepakatan harga
tertentu. Kontrak ini sama seperti Salam, yaitu membeli barang
yang belum tidak ada keberadaanya. Namun objek istisna’ pada
umumnya adalah barang-barang yang dideskripsikan oleh klien.
Barang tempahan ini biasanya tidak tersedia di pasar. Kontrak
istisna’ mengikat pihak-pihak yang terlibat jika syarat-syarat
tertentu dipenuhi, termasuk spesifikasi jenis, bentuk, kualitas dan
kuantitas barang harus diketahui, jika diperlukan maka waktu
pengiriman harus ditentukan. Jika barang yang yang diterima tidak
sesuai dengan permintaan maka konsumen memiliki hak untuk
menerima atau menolak barang tersebut. Karena sifatnya yang
mengikat, maka pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak terlibat
dalam kontrak terikat dengan semua kewajiban dan konsekuensi
yang timbul dari kesepakatan mereka. Dengan kata lain, pihak-
pihak yang terlibat tidak perlu memperbaharui ijab-kabul setelah
barang itu selesai. Inilah perbedaannya dengan kontrak murabahah
kepada pemesan pembelian, yang menghendaki tanda tangan
kontrak jual-beli melalui ijab Kabul yang baru oleh pihak-pihak
yang terlibat ketika kepemilikan barang yang akan dijual diambil
oleh institusi.
c. Bay’ bil Wafa’ (jual beli dengan tebusan). Mustafa Zarqa
mengklaim bahwa semua ulama mazhab Hanafi sejak abad ke-6

Kaidah Tentang Kemudahan 87


Hijriah menyetujui keabsahan Bay’ bil wafa. Bay’ bil Wafa’
merupakan suatu jual beli barang dengan hutang pada kreditur
dengan syarat kapan saja si penjual (yang menjadi peminjam uang
dalam transaksi ini) membayar harga barang atau membayar
hutangnya, maka si pembeli berkewajiban mengembalikan
barangnya itukepada pemilik barang.Ibnu Abidin mengilustrasikan
kontrak ini sebagai berikut: “Saya jual barang ini kepada Anda
utang yang saya dengan syarat kapan saja saya bayar utang itu,
barang itu harus kembali ke tangan saya. Mazhab hanafi
membolehkan kontrak ini berpatokan pada prinsip
bahwakebutuhan umum diperlakukan sebagai darurat dalam
meringankan suatu hukum ashl. Mazhab lainnya tidak mengakui
keabsahan kontrak ini karena memberi celah hukum bagi si
pemberi pinjaman untuk mengambil manfaat dari barang yang
dijaminkan.
d. Kafalah bil-dark. Ketentuan Syariah lainnya yang didasarkan pada
kebutuhan Kafalah bil dark. Itu merupakan jaminan dari penjual,
bahwa dia akan mengembalikan harga barang jika barang itu
diambil alih oleh orang lain. Misalnya, seseorang membeli suatu
barang dan meminta agar penjualnya menjamin pengembalian
harga barang itu jika ada orang lain yang mengklaim sebagai
pemilik barang itu, dan sebagai konsekuensinya orang tersebut
mengambil barangnya dari si pembeli.
e. Penggantian harta wakaf. Prinsip umum dari harta wakaf adalah
tidak dapat dijual, dihadiahkan, ataupun diganti, namun dalam
kasus jika harta wakaf telah kehilangan manfaatnya dan bahkan
menyusahkan penerima wakaf karena harta itu tidak memiliki
sumber ekonomi untuk merevitalisasi ataupun merahibilitasinya.
Dalam kasus tersebut, ulama mazhab Hanafi atas dasar kebutuhan

88 Neneng Nurholipah
dan maslahat, membolehkan penjualan harta wakaf itu sesuai harga
pasar dan membeli lahan lain yang lebih bernilai untuk tujuan
wakaf.

C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Masyaqqah (kesulitan) secara etimologi berarti keletihan (aljuhd),
kepayahan (al-‘ina’) dan kesempitan (al-syiddah). Sedangkan jalb al-
syai’ berarti menggiring dan mendatangkan sesuatu dari satu tempat
ke tempat lainnya. Adapun at-taisir berarti kemudahan dalam suatu
pekerjaan, tidak memaksakan diri, dan tidak memberatkan fisik.
Makna yang terbentuk dari kata-kata dasar kaidah ini adalah bahwa
jika ditemukan kesulitan dalam sesuatu, maka ia menjadi penyebab
syar`i yang dibenarkan untuk mempermudah, meringankan dan
menghapus kesulitan tersebut dari diri mukallaf pada saat
melaksanakan aturan-aturan hukum tersebut.
Para Ulama’ ahli usul dalam membuat kaidah ini mengambil
dalil atau istinbat dari firman Allah dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi
Muhammad SAW. Dalam Al-qur’an diantaranya Surat Al-Baqarah
ayat 185 dan 286, Al-Hajj ayat 78, Al-Nisa ayat 28, Al-Maidah ayat 6,
dan Al-A’raf ayat 157. Dari hadist Nabi Muhammad SAW diriwayat
kan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas ra yang artinya :
“Mudahkanlah dan jangan mempersulit, gembirakanlah dan jangan
menakuti.”
Secara umum, kesukaran itu ada dua macam. Pertama,
kesukaran yang menurut kebiasaan yang berlaku di antara manusia
mampu mereka tanggung dan mereka kerjakan. Kedua, kesukaran
yang menurut kebiasaan manusia di luar batas kemampuan mereka
sehingga ia tidak ditanggung kecuali dengan mengerahkan

Kaidah Tentang Kemudahan 89


kemampuan tertinggi (maksimal). Adapun sebab-sebab timbulnya
keringan karena sedang dalam perjalanan (al-safar), keadaan sakit,
keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan
hidupnya, lupa (al-nisyan), ketidaktahuan (al-jahl), kesulitan Umum
(Umum al-Balwa), dan kekurangmampuan bertindak hukum (al-
naqsh).
Keringanan-keringanan yang diakui di dalam syara` ada tujuh
macam yaitu takhfif isqath, takhfif tanqish,takhfif ibdal, takhfif taqdim,
takhfif ta’khir, takhfif tarkhis, dan takhfif taghyir. Dari segi hukum
pelaksanaannya, rukhshah atau keringanan itu dapat dibagi kepada
lima macam, yaitu
Rukhshah yang hukumnya wajib dikerjakan, sunnat untuk
dikerjakan, mubah untuk dikerjakan atau untuk ditinggalkan,
hukumnya lebih utama untuk ditinggalkan, dan makruh hukumnya
untuk dikerjakan. Dari kaidah induk tentang masyaqqah, maka
muncullah kaidah-kaidah cabang sebagai turunannya, yaitu:
1) Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas.
2) Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada
penggantinya.
3) Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya) maka
hal itu dimaafkan
4) Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan
Penerapan Qaidah dalam bidang muamalah diantaranya
dibolehkan hanya melihat apa yang mungkin dapat dilihat, seperti
menjual apa yang ada dalam kaleng/botol, apa yang dimakan ada di
dalamnya dan lain-lain, kontrak Istisna, ’Bay’ bil Wafa’ (jual beli
dengan tebusan), kafalah bil-dark, dan Penggantian harta wakaf.

90 Neneng Nurholipah
2. Saran
Dibuatnya makalah tentang Kaidah kemudahan ini, penulis
berharap agar pembaca lebih memahami tentang bagaimana kaidah
kemudahan ini dalam beribadah maupun bermua’amalah, supaya
tidak tersesat dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak.

D. DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf. 2000. Qa`idah-qa`idah Hukum Islam. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Andiko, Toha. 2011. ILMU QAWA’ID FIQHIYYAH Panduan Praktis
Dalam Merespon Problematika Hukum Islam Kontemporer.
YOGYAKARTA : Penerbit Teras
Azhari, Fathurrahman. 2015. QAWAID FIQHIYYAH MUAMALAH.
Banjarmasin : Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU)
Darmawan. 2020. Kaidah-Kaidah FIQHIYYAH. Surabaya: Revka Prima
Media
Djazuli, A. 2007. Qa`idah-Qa`idah Fikih. Jakarta: Kencana
Ibrahim, Duski. 2019. AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH
FIQIH). Palembang : Noerfikri
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam. 2009.
Qawa`id Fiqhiyyah. Jakarta: Amzah

Kaidah Tentang Kemudahan 91


92 Neneng Nurholipah
BAB 6
KAIDAH TENTANG KEMUDHARATAN
MUMUD SALIMUDIN

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sebagai umat Islam, kita mengakui bahwa banyak masalah baru
yang tidak terdapat penyelesaiannya di dalam al-Qur’an dan as-
Sunnah sehingga para pakar hukum Islam harus berijtihad untuk
memecahkannya.
Untuk menjawab masalah-masalah baru yang belum ada
penegasan hokum-hukumnya di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah,
maka para pakar hukum Islam (fuqaha) berupaya memecahkan dan
mencari hukum-hukumnya dengan menggunakan ijtihad. Namun
ijtihad itu tidak boleh lepas dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Dikatakan
demikian, karena ijtihad tersebut dilaksanakan dengan cara
mengkiaskan kepada yang sudah ada di dalam al-Qur’an dan as-
sunnah, menggalinya dari aturan-aturan umum (al-qawanin al-‘ammah)
dan prinsip-prinsip yang universal (al mabadi’ al-kulliyah) yang terdapat

Kaidah Tentang Kemudharatan 93


dalam al-Qur’an dan as-sunnah dan menyesuaikannya dengan
maksud dan tujuan syariat (al-maqashid al-syari’ah) yang juga
terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Aturan-aturan umum dan prinsip-prinsip yang universal itulah
yamg disebut dengan al-qawanin al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh).
Dalam pembahasan kaidah-kaidah fiqh banyak terdapat macam-
macam kaidah, diantaranya yaitu kaidah-kaidah pokok dan kaidah
kaidah cabang. Salah satu dari kaidahnya yaitu kaidah Adh-dharuriyah
atau Adh-dhararu yudzalu.
Kaidah Adh-dharuriyah ini merupakan kaidah asasiyyah yang
membahas tentang kemudharatan yang harus dihilangkan akan tetapi
jika seseorang itu di dalam keadaan darurat maka yang haram pun
diperbolehkan. Akan tetapi, keadaan darurat dalam hal ini yang benar-
benar berakibat fatal jika tidak diatasi dengan cara-cara yang
membawa kemudharatan. Oleh karena itu, dalam Islam
memperbolehkan untuk meninggalkan hal-hal yang wajib jika dalam
keadaan yang sangat darurat.

2. Rumusan Masalah
a. Apa Makna Kaidah Tentang Dharurat ?
b. Apa Dasar Hukum Kaidah Tentang Dlarurat?
c. Bagaimana Kedududukan Dlarurriyah?
d. Apa Kaidah-Kaidah Cabang Dlarurat?
e. Bagaimana Aplikasi Kaidah Dlarurat Dalam Ekonomi Syariah?

3. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui makna laidah tentang Dharurat ?
b. Untuk mengetahui dasar hukum kaidah tentang Dlarurat?
c. Untuk mengetahui kedududukan Dlarurriyah?

94 Mumud Salimudin
d. Untuk mengetahui kaidah-kaidah cabang Dlarurat?
e. Untuk mengetahui aplikasi kaidah Dlarurat dalam ekonomi Syariah?

B. PEMBAHASAN
1. Teks Kaidah Tentang Dharurat
ُ َ ‫اَ ر‬
‫لَّض ُر يُ َزال‬

“Kesulitan harus dihilangkan.”

2. Makna Kaidah Tentang Dharurat


a. Makna Teks Kaidah Tentang Dharurat
Konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia
harus dijauhkan dari idlthirar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya
maupun orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya
(menyakiti) pada orang lain.1
Kaidah ini merupakan salah satu rukun syariat Islam. Kaidah
ini mencakup separuh agama Islam, karena syariat kita dibangun
atas dua hal yaitu mendatangkan kemaslahatan dan menghilangka
kemudharat, dan kaidah ini mencakup semua kemadharatan harus
dihilangkan.2
Kaidah ini bertujuan untuk melindungi mukalaf agar tidak
mengalami kerugian/risiko (kemudharat) dalam transaksi
ekonomi, sekaligus menghilangkan risiko tersebut jika sudah terjadi
dengan tindakan mitigasi risiko dalam transkasi ekonomi secara
posedural yang telah disepakati dalam kontrak.3

1 Ahmad Musadad, Qawaid Fiqhiyyah Iqtishadiyyah, (Malang: Literasi Nusantara, 2019) hlm. 131
2 Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaidah-Kaidah Praktis Memahami Fiqih Islami, (Gresik:
Pustaka Al-Furqon, 2019), hlm. 89
3 Moh. Mufid, Kaidah Fikih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer: Pendekatan Tematis dan Praktis,

(Jakarta: Kencana, 2019), hlm. 79

Kaidah Tentang Kemudharatan 95


b. Pengertian Dharurat
Secara etimologi, al-Dharar (bahaya) adalah lawan dari
al-Naf’u (manfaat). Juga bisa diartikan bahwa al-Dharar adalah
segala bentuk kondisi buruk, kekurangan, kesulitan dan
kemalangan.4 Batasan Dharar adalah keadaan yang
membahayakan yang dialami manusia atau masyaqqah yang
parah yang tidak munkgin dipikul oleh manusia.5
Berdasarkan hadits nabi riwayat Ibnu Majah ada dua
istilah yang dipakai untuk menunjukkan bahaya/mudlarat
yaitu dharar dan dhirar. Ditinjau dari aspek bahasa kedua kata
tersebut mempunyai makna yang sama, namun onjeknya
berbeda. Arti dharar adalah perbuatan yang dilakukan seorang
diri dan berbahaya hanya pada diri sendiri. Sementara
dhiraradalah perbuatan yang bersifat interelasi, yakni
dilakukan oleh dua orang atau lebih, dan berbahaya pada diri
sendiri dan orang lain.6
Definisi dlarurat menurut para ulama7, yaitu :
 Al-Jurjani dalam at-Ta’rifat, mengatakan, kata adl-dlarurat itu
dibentuk dari adl-dlarar yaitu suau musibah yang tidak dapat
dihindari.
 Az-Zarkasyi dan As-Suyuthi mendefinisikan dlarurat dalam
rumusan sebagai berikut, dlarurat ialah sampai seseorang pada
batas dimana jika ia tidak mau makan yang dilarang, maka ia akan
binasa.

4 Ibnu al-Mandhur, Lisanul Arab, (Beirut: Dar Shadir), hlm. 482


5 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997),
hlm. 819
6 Ahmad Musaddad, Op. Cit., hlm.132
7 Ahmad Musaddad, Op. Cit., hlm.132-133

96 Mumud Salimudin
 Wahbah Az-Zuhaili mendefinisikan bahwa dlarurat adalah
datangnya kondisi bahaya atau kesulitan yang amat berat kepada
diri manusia, yang membuat dia kuatir terjadi kerusakan atau
sesuatu yang menyakiti jiwa, anggota tubuh, kehormatan, akal,
harta, dan yang bertalian dengannya. Ketika itu boleh atau mesti
mengerjakan yang diharamkan atau meninggalkan yang
diwajibkan atau menunda waktu pelaksanaannya guna
menghindari kemudharat yang diperkirakannya dapat menimpa
dirinya selama tidak keluar dari syarat-syarat yang ditentukan
oleh syara.
Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat disimpulkan
bahwa dharar adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi
manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam
agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.

3. Dasar Hukum Kaidah Tentang Dharurat


a. Al-Quran
Allah SWT berfirman,
ُ َ َ ‫ْ ُ َّ َ ْ َ َ َّ َ َ َ َ ٓ ْ َ َ َ ْ َّ ه‬ َ
١٧٣ - ‫اّٰلل غف ْو ٌر َّرحِيْ ٌم‬ ٍ ‫ف َم ِن اضطر غْي ب‬
‫اغ وَل َع ٍد فَل ا ِثم عليهِ ۗ ا ِن‬

“Tetapi barangsiapa terpaksa (memakannya), bukan karena


menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada
dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”8
ُ َ َ ‫ِ ْ َ َّ ه‬ َ ْ ‫ِف ََمْ َم َصة َغ‬
َ ‫ْي ُم َت‬ ْ َ
٣ - ‫اّٰلل غف ْو ٌر َّرحِيْ ٌم‬ ‫جان ٍِف َِلِث ٍمٍۙ فا ِن‬ ٍ ْ ِ ‫اض ُط َّر‬ ‫ف َم ِن‬

“Tetapi barangsiapa terpaksa karena lapar, bukan karena ingin


berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.”9

8 QS al-Baqarah [2] : 173


9 QS al-Maidah [5] : 3

Kaidah Tentang Kemudharatan 97


َ ُ ْ َّ ُ َ ُ َ َ َ َ
ۗ ِ‫َوق ْد ف َّصل لك ْم َّما َح َّر َم َعليْك ْم ا َِل َما اض ُط ِر ْرت ْم ا َِلْه‬

“Padahal Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang


diharamkan-Nya kepadamu, kecuali jika kamu dalam keadaan
terpaksa.”10
َ ُ ْ َ َ َّ ُ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ َ ِ ُ ُ ْ َّ َ َ َ
ْ ْ َ َّ ُ ْ ُ ِ َ ‫ِك ْو ُه َّن ب َم ْع ُر ْوف ا َ ْو‬
‫ف َوَل‬
ٍۗ ٍ ‫سحوهن بِمع ُرو‬ ِ ٍ ِ ‫وا ِذا طلقتم الن ِساۤء فبلغن اجلهن فامس‬

َْ َ َ ََ َ ٰ ْ ْ ِ َ َّ ُ ْ ُ ْ ُ
ۗ ‫ِض ًارا ِلِ َ ْع َت ُد ْوا ۚ َو َم ْن َّيف َعل ذل ِك فق ْد ظل َم نف َس ٗه‬
ِ ‫تمسِكوهن‬

“Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai


(akhir) idahnya, maka tahanlah mereka dengan cara yang baik, atau
ceraikanlah mereka dengan cara yang baik (pula). Dan janganlah
kamu tahan mereka dengan maksud jahat untuk menzalimi mereka.
Barangsiapa melakukan demikian, maka dia telah menzalimi dirinya
sendiri.”11

b. Al-Hadits
Hadits riwayat Ibnu Majah, dari Ibnu Abbas, Rasulullah SAW
bersabda,
َ ‫َض َر َو ََل ر‬
َ ‫َض‬
‫ار‬ َ َ ‫ََل‬

"Tidak boleh berbuat madlarat dan hal yang menimbulkan


madlarat."12
Hadits riwayat Ibnu Majah, dari Abi Shirmah, Rasulullah SAW
bersabda,
َ ُ‫َ ْ َ ر َ َ ر رُ َ َ ْ َ ر َ ر ر‬
‫اَّلل َعليْ ره‬ ‫من ضار أَض اَّلل رب ره ومن شاق شق‬

10
QS al-An’am [6] : 119
11 QS al-Baqarah [2] : 231
12 Ibnu Majah no.2341

98 Mumud Salimudin
"Barangsiapa berbuat kemudharat maka Allah akan memberinya
madlarat, dan barangsiapa membuat kesusahan pada orang lain maka
Allah memberinya kesusahan."13

4. Kedudukan Dharuriyah
a. Masyaqat dan Dharuriyah
Masyaqqat adalah sesuau kesulitan yang menghendaki
adanya kebutuhan (hajat) tentang sesuatu, apabila tidak dipenuhi
tidak akan membahayakan eksistensi manusia. Sedangkan, dlarurat
adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia,
karena jika tidak ia selesaikan maka akan mengancam agama, jiwa,
nasab, harta, serta kehormatan manusia.
Dengan adanya masyaqqat akan mendatangkan kemudahan
atau keringanan. Sedangkan dengan adanya dlarurat akan adanya
penghapusan hukum. Dengan keringanan karena msyaqqat dan
penghapusan hukum karena madlarat akan mendatangkan
kemashlahatan bagi kehidupan manusia, dan dalam konteks ini
keduanya tidak mempunyai perbedaan.

b. Macam-Macam Dharuriyah
Secara umum kemudharat terbagi ke dalam empat jenis, yaitu
:
1. Kemudharat yang memang diizinkan oleh syariat. Seperti
praktek hudud, hukum qishash, dan hukum ta’zir dari ulil amri.
2. Kemudharat yang menimpa banyak orang dan susah dihindari.
Seperti asap kendaraan dan bunyi klakson di jalan raya, ini juga
kemudharat yang dimaafkan karena tidak mungkin dihilangkan.

13 Ibnu Majah no.2342; at-Tirmidzi no.1940; Abu Dawud no.3635

Kaidah Tentang Kemudharatan 99


3. Kemudharat dimana orang yang ditimpa kemudharat itu telah
memaafkan. Seperti seorang wanita yang akan menikah dengan
lelaki miskin, sehingga si wanita akan mendapat kemudharat,
tetapi jika walinya ridha maka hal itu tidal masalah.
4. Kemudharat yang diharamkan, yaitu selain dari yang di atas.

Kaidah
ُ َ ‫اَ ر‬
‫لَّض ُر يُ َزال‬ ini, yang menjadi pokok pembahasan

adalah jenis kemudharat yang ke empat yang merupakan


kemudharat yang harus dihilangkan.

c. Lima Dharuriyah
Dalam rangka mewujudkan kemashlahatan dan menjauhi
kerusakan di dunia dan akhirat, para ahli ushul fikih meneliti dan
menetapkan ada lima unsur pokok yang harus diperhatikan.
Kelima unsur pokok tersebut bersumber dari al-Qur’an dan
merupakan tujuan syariah (maqashid al-syariah).14
Dengan melihat sisi urutannya yang harus dipelihara dalam
menjaga kepentingan al-dlaruriyat, al-hajiyat, dan al-tahsiniyat,
para ulama menetapkan urutan kelima pokok tersebut mulai dari
memelihara agama (hifz ad-din), mememlihara jiwa (hifz al-nafs),
memelihara akal (hifz al-aql), memelihara keturunan (hifz al-nasl),
dan memelihara harta (hifz al-mal).15
Untuk menuwudkan dan memelihara kelima unsur pokok
tersebut, sy-Syatibi membagi kepada tiga tingkatan, yaitu,

14 Ahmad Musadad, Op. Cit., hlm. 139; Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip-Prinsip
Ekonomi Islam Perspektif Maqashid al-Syari’ah, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 65; Busyro, Maqashid al-
Syari’ah: Pengetahuan Mendasar Memahami Maslahah, (Jakarta: Kencana, 2019), hlm. 109
15 Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi, Ibid., hlm. 66; Zaprulkhan, Rekonstruksi Paradigma

Maqashid asy-Syari’ah: Kajian Kritis dan Komprehenshif, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2020), hlm. 83-84

100 Mumud Salimudin


maqashid adl-dlaruriyyat, maqashid al-hajiyat, dan maqashid at-
tahsiniyyat.16

a. Menjaga Agama ( ‫) حفظ ادلين‬

Menjaga atau memelihara agama, berdasarkan


kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat, yaitu :
 Menjaga agama dalam peringkat dharuriyah, yaitu
memelihara dan melaksanakan kewajiban yang masuk
peringkat primer, seperti shalat lima waktu. Kalau shalat itu
diabaikan maka akan terancamlah eksistensi agama.
 Menjaga agama dalam peringkat hajiyat, yaitu melaksanakan
ketentuan agama dengan maksud menghindari kesulitan,
seperti shalat jama dan shalat qashar bagi orang yang sedang
bepergian. Kalau hal ini diabaikan maka tidak akan
mengancam eksistensi agama, hanya akan mempersulit
dirinya.
 Menjaga agama dalam peringkat tahsiniyat, yaitu mengikuti
petunjuk agama guna menunjung tinggi martabat manusia
sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban kepada tuhan,
seperti menutup aurat, membersihkan badan, akhlaq terpuji.
Kalau hal ini diabaikan tidak akan mengancam eksistensi
agama dan tidak akan mempersulit orang yang
melakukannya.

b. Menjaga Jiwa ( ‫) حفظ انلفس‬

Menjaga atau memelihara jiwa berdasarkan tingkat


kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat, yaitu :

16
Pandji Adam, Hukum Islam (Konsep, Filosofi dan Metodologi), (Jakarta: Sinar Grafika, 2019), hlm. 121;
Ahmad Musadad, Loc. Cit.; Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi, Ibid.

Kaidah Tentang Kemudharatan 101


 Memelihara jiwa dalam peringkat dlaruriyat, yaitu memlihara
kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan
hidup. Kalau hal ini diabaikan maka akan mengancam
eksistensi jiwa manusia.
 Memelihara jiwa dalam peringkat hajiyat, misalnya
diperbolehkanya berburu dan menikmati makanan yang lezat
dan halal. Kalau hal ini diabaikan tidak akan mengancam
eksistensi jiwa melainkan hanya akan memperseulit
hidupnya.
 Memelihara jiwa dalam peringkat tahsiniyat, misalnya
ditetapkan tata krama makan dan minum. Kegiatan ini hanya
berhubungan dengan kesopanan dan etika.

c. Menjaga Akal ( ‫) حفظ العقل‬

Menjaga atau memelihara akal berdasarkan tingkat


kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat, yaitu :
 Memelihara akal dalam peringkat dlaruriyat, seperti
diharamkan menimum minuman keras. Jika hal ini diabaikan
maka akan mengancam eksistensi akal.
 Memelihara akal dalam peringkat hajiyat, seperti mendirikan
bangunan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Jika hal ini
diabaikan maka tidak akan merusak akal, tetapi akan
mempersulit dirinya.
 Memlihara akal dalam peringkat tahsiniyat, seperti
menghindarkan diri dari mengkhayal atau mendengarkan
sesuatu yang tidak berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan
etika, tidak akan mengncam akal secara langsung.

102 Mumud Salimudin


d. Menjaga Keturunan ( ‫) حفظ النسل‬

Menjaga atau memelihara keturunan berdasarkan tingkat


kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat, yaitu :
 Memelihara keturunan dalam peringkat dlaruriyat, seperti
disyariatkan nikah dan dilarangnya berzina. Jika hal ini
diabaikan maka eksistensi keturunan akan terancam.
 Memelihara keturunan dalam peringkat hajiyat, seperti
ditetapkannya menyebutkan mahar bagi suami pada waktu
akad nikah dan memberikan hak talak padanya.
 Memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyat, seperti
disyariatkannya khitbah dan walimah dalam pernikahan.

e. Menjaga Harta ( ‫) حفظ املال‬

Menjaga atau memelihara harta berdasarkan tingkat


kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat, yaitu :
 Memelihara harta dalam peringkat dlaruriyat, seperti syariat
tentang tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil
harta orang lain dengan cara tidak sah. Jika hal ini diabaikan
maka akan mengancam eksistensi harta.
 Memelihara harta dalam peringkat hajiyat, seperti syariat
tentang jual beli dengan cara salam. Jika hal ini diabaikan
maka tidak akan mengancam eksistensi harta, tapi akan
mempersulit bagi yang memelurkan modal atau barang.
 Memelihara harta dalam peringkat tahsiniyat, seperti
ketentuan tentang menghindarkan diri penipuan. Hal ini erat
kaitannya dengan etika bermuamalah.

Kaidah Tentang Kemudharatan 103


d. Derajat Kebutuhan Manusia
Syekh wahbah az-Zuhaili membagi tingkatan-tingkatan
kebutuhan manusia akan sesuatu menjadi lima tingkatan17, yaitu:
a. Dlarurat, suatu keadaan dimana jika tidak segera mendapatkan
pertolongan akan membahayakan jiwanya, kondisi ini bisa
membolehkan yang sebelumnya dilarang.
b. Hajat, suatu keadaan dimana jika tidak segera mendapatkan
pertolongan akan menyebabkan kesulitan dan kepayahan, tidak
sampai membahayakan nyawa. Kondisi ini jika telah masyhur
baik hajat umum maupun hajat khusus bisa membolehkan yang
sebelumnya terlarang,
c. Manfaat, suatu kebutuhan untuk kehidupan manusia yang layak
dan wajar. Misalnya makan makanan pokok seperti beras, sayur,
ikan, dan buah-buahan.
d. Zinah, seuatu kebutuhan manusia yang terkait dengan nilai-nilai
estetika, seperti makanan yang lezat, pakaian yang indah,
perhiasan dan sebagainya.
e. Fudlul, kebutuhan manusia yang hanya sekedar untuk berlebih-
lebihan, yang memungkinkan mendatangkan kemaksiatan atau
keharaman, kondisi semacam ini dikenai hukum sadd al-
dzariah, yakni menutup jalan atau segala kemungkinan yang
mendatangkan mafsadah.
Dari kelima tingkatan tersebut, hanya dua kondisi yang bisa
mengubah hukum asal, yaitu tingkatan dlarurat dan tingkatan
hajat.

17 Ahmad Musadad, Op. Cit., hlm. 138

104 Mumud Salimudin


e. Syarat Hajat dan Dharurat Bisa Merubah Hukum
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh suatu hajat
untuk bisa mendapatkan keringatan dan berlaku hukum longgar
(mendapat rukhshah). Namun keringanan tersebut berbeda dengan
keringatan yang didapatkan dalam kondisi dlarurat yakni dapat
mengcualikan hukum yang telah ditetapkan. Adapun syarat-syarat
tersebut adalah :
a. Ia membutuhkan tidak berlakunya hukum pokok (beralihnya
azimah ke rukhshah) karena adanya kesulitan (haraj atau
masyaqqat) yang tidak bisa tidak telah terjadi. Hajat tersebut
membutuhkan adanya pemberlakuan atau penerapan hukum
yang agak longgar dikarenakan kesulitan untuk melaksanakan
sesuai dengan hukum ketika dalam keadaan biasa.
b. Sesuatu yang dihajati itu patut menggunakan hukum istisna
(pengecualian) bagi individu menurut kebiasaan, artinya hajat
tersebut patut dikecualikan dari pemberlakuan hukum dalam
keadaan biasa karena ia dalam keadaan sulit yang secara syara’
dibenarkan.
c. Hajat yang dihadapi merupakan hajat yang jelas untuk satu
tujuan bagi hukum syara’. Syarat selanjutnya adalah hajat
tersebut mempunyai tujuan yang baik, tidak berupa hajat
bermaksiat dan bukan pula hajat yang bertentangan dengan
syariat.
d. Kedudukan hajat sama dengan dlarurat dalam aspek
penggunaan kadar yang dibutuhkan dengan telah lepasnya kadar
yang mendesak.

Kaidah Tentang Kemudharatan 105


5. Kaidah-Kaidah Cabang
Ada beberapa kaidah yang meruapakan cabang dari kaidah besar
ini, diantaranya adalah :
a. Kemudharat itu membolehkan hal-hal yang dilarang

‫ات‬ َ ْ ُ ْ َ ْ ُ ْ ُ ‫لَّض ْو َر‬


ُ ‫اَ ر‬
‫ات ت ربيح المحظور ر‬ ‫ر‬
Keadaan darurat yang mana seseorang dibolehkan untuk
memakan sesuatu yang diharamkan oleh syariay Islamsesuai
dengan syarat-syarat, tidak bersifat menyeluruh dan tidak pula
bersifat mutlak.
Contoh penerapan kaidah ini adalah memukul orang yang
akan merebut harta milik kita adalah boleh.
b. Sesuatu yang membahayakan harus diantisipasi semampunya
َ ْ ْ َ َ ْ َ ‫َ ر‬
‫لَّض ُر يُدف ُع ربقد رر األرماك رن‬‫ا‬

Kaidah ini memberikan sebuah faedah untuk menggunakan


segala cara yang memungkinkan demi sebuah tindakan preventif
atau antisipasi jangan sampai ada sebuah bahaya yang akan datang,
sebagaimana ungkapan yang masyhur “menjaga itu lebih baik
daripada mengobati”. Dan untuk melakukan hal ini maka dengan
batas kemampuna yang ada.
Contoh penerapan kaidah ini adalah boleh untuk menolak
transaksi dari seorang yang safih (tidak mengerti mengatur
keuangan dengan baik) untuk menahan bahaya yang akan muncul
pada hartanya safih tersebut.18

18 Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Op. Cit., 96-95

106 Mumud Salimudin


c. Suatu kemudharat tidak boleh dihilangkan dengan kemudharat
yang sama
ْ ُ َ َ ‫َ ر‬
‫لَّض ُر َليُ َزال رب رمث رل ره‬‫ا‬

Bahaya dapat dihilangkan karena ia merupakan salah satu


bentuk kezaliman, kemungkaran dan kejahatan. Sekalipun
demikian, ia tidak dibolehkan untuk dihilangkan dengan bahaya
yang serupa, sebagaimana juga tidak dibolehkan menghilangkan
bahaya itu dengan bahaya yang lebih besar darinya, melainkan
dibolehkan menghilanglkan sesuatu bahaya tanpa menimbulkan
bahaya lain yang baru.
Contoh penerapan kaidah ini adalah seorang pembeli
membeli sebuah barang lalu baru ia ketahui (setelah waktu yang
lama atau habis masa khiyarnya) adanya cacat, dan ternyata cacat
itu sudah lama adanya, maka pembeli tidak boleh mengembalikan
barang tersebut dengan alasan adanya cacat sejak awal, tetapi
berhak minta potongan harga.
d. Kemadharatan yang bersifat khusus boleh dikorbankan untuk
menolak kemudharat yang lebih umum
ْ َ ‫ُ َ َ ر ُ ر َ ُ َ ُّ َ ْ ر‬
‫الَّض رر ال َعام‬ ‫يتحمل الَّضر اخلاص ردلف رع‬

Bahaya yang bersifat umum adalah yang menimpa manusia


secara umum, sehingga tidak ada seorang yang dikhususkan
dengan bahaya ini, karena semua orang terkena dampaknya.
Sedangkan bahaya yang khusus adalah bahaya yang menimpa
orang-orang tertentu saja, atau sekelompok mkecil dari manusia,
dan bahaya ini tidak masuk ke dalam kategori bahaya umum.
Karena itu, bahaya yang bersifat umum harus dicegah, sekalipun
dalam pencegahan itu harus berdampak pada bahaya yang bersifat

Kaidah Tentang Kemudharatan 107


khusus, sehingga bahaya yang khusus harus ditangguh untuk tujuan
mencegah bhaya yang bersifat umum.
Contoh penerapan kaidah ini adalah mempailitkan suatu
perusahaan atau bank (dharar khas) demi menyelamatkan para
nasabah (dharar ‘am).
e. Kemudharat yang lebih berat dapat dihilangkan dengan
kemudharat yang yang lebih ringan
َ َْ َ ‫ر‬ ُ َ ُ ُّ َ َ ْ ُ َ ‫َ ر‬
‫الَّضر األشد يزال ربالَّض رر األخف‬

Jika seseorang harus (terpaksa) melakukan slah satu dari dua


kemudharat yang berbeda nilai kualitasnya, maka ia harus memilih
madlarat yang lebih ringan. Karena bagaimanapun juga seseorang
harus menjauhi kemudharat semaksimal mungkin dan
keterpaksaan melakukan kemudlaratan yang paling ringan
diantara dua madlarat adalah termasuk upaya maksimal tersebut.
Contoh penerapan kaidah ini adalah seorang yang
membangun rumah di atas tanah warisan, dan nilai rumah lebih
besar daripada nilai tanah. Kemudian tanah itu ada pemiliknya
yang sah, maka pemilik tanah tidak bisa memaksa membongkar
rumah, melainkan meminta untuk membeli tanahnya.
f. Yang dipilih dari dua kejelekan adalah kejelekan yang paling ringan
ْ ‫ر‬ ‫َُْ ُ َ ْ َ ُ ر‬
‫ُيتار أهون الَّشي رن‬

Apabila seseorang dicoba dengan dua cobaan yang keduanya


sama, maka dia dapat memilih yang dia suka, akan tetapi jika kedua
cobaan berbeda, maka dia memilih yang pal;ing mudah dari
keduanya, karena melakukan sesatu yang haram tidak dibolehkan,
kecuali dalam keadaan darurat. Namun tidak ada darurat bagi
orang yang menginginkan tambahan.

108 Mumud Salimudin


Contoh penerapan kaidah ini adalah mengghasab atau
mencuri makanan orang lain dalam keadaan dlarurat?, yang harus
dipilih adalah mengghasab karena lebih ringan kejelakannya.
g. Jika ada dua mafsadat yang bertentangan, maka yang diperhatikan
adalah mafsadat yang lebih besar dengan membiarkan mafsadat
yang lebih ringan
َ َ َ ْ ً َ َ َُُ َ ْ َ َ ُْ ََ َ َْ َ َ ََ َ
‫اب أخف ره َما‬
ٍ ‫ك‬ ‫ان رو رِع أعظمهما َضرا ربار رت‬
‫رإذا تعارض مفسدت ر‬
Jika seseorang mendapati pilihan dua mafsadat yang saling
bertentangan yang sama harus dihilangkan, namun tidak mungkin
seluruhnya dan hanya bisa salah satunya saja. Maka yang
diperhitungkan adalah yang paling besar mafsadatnya dengan
melakukan mafsadat yang lebih ringan.
Contoh penerapan kaidah ini adalah mencuri makana orang
lain atau memakan bangkai dalam keadaan kelaparan?, maka yang
harus dipilih adalah memakan bangkai karena lebih ringan
mafsadatnya.
h. Setiap keringanan yang diperbolehkan karena kondisi dlarurat dan
hajat maka tidak boleh dilaksanakan sebelum terjadinya kondisi
tersebut
َ ُ ُ َ ْ َ ْ َ ْ ُ ْ َ َ َ َ َ ُ ‫ُ ُّ ُ ْ َ ُ ْ َ ْ ر‬
‫ُك رخص ٍة أ ربيحت لرلَّضورةر واحلاج رةلم تسبح قبل وجو ردها‬

Syariat Islam tentang rukhshah meruoakan bentuk rahmat


dan kasih sayang Allah kepada makhluknya, dikarenakan kondisi-
kondisi yang tidak memunkginkan manusia melaksnakan syariat
tersebut secara penuh. Oleh karena itu, jatuhnya hukum rukhshah
itu adalah ketika kondisi tersebut telah betul-betul dialami dan
dirasakan berat oleh manusia sehingga grade tuntuntannya turun
sesuai dengan kondisi tersebut.

Kaidah Tentang Kemudharatan 109


Contoh penerapan kaidah ini adalah memakan makanan
yang haram baru boeh dilaksanakan setelah terjadi terpaksa atau
sangat butuh sekali dan tidak ada pilihan makanan lain yang halal.
i. Menolak mafsadat adalah lebih utama daripada menarik manfaat
َ َ ْ َ ْ ََْ ََ َْ
‫ب المنافر رع‬ ‫در ُء المف ر‬
‫اس رد أوَل رمن جل ر‬
Apabila terjadi pertentangan antara kerusakan dan
kemashlahatan maka yang didahulukan adalah mencegah
kerusakan, karena perhatian syariat Islam kepasda hal-hal yang
dilarang dengan meninggalkan lebih besar daripada perhatian
kepada hal-hal yang diperintahkan.
Contoh penerapan kaidah ini adalah larangan jual beli
narkoba dan miras (karena menimbulkan mafsadat yang besar),
meskipun acda keuntungan yang besar yang bisa didapatkan
(karena mashlahahnya jauh lebih kecil).
j. Kemudharat tidak akan terjadi sejak awal
ْ َ ُ ُ َ َ ‫َ ر‬
‫لَّض ُر َليَك ْون ق ردي ًما‬‫ا‬

Kemudharat itu harus dihilangkan dan tidak boleh dibiarkan


terus berlangsung dengan alasan kemudharat tersebut telah ada
sejak dahuku (lama). Karena bagaimanapun kemudharat harus
dihilangkan dan Islam tidak membedakan antara madlarat yang
baru atau lama. Selama sesuatu hal itu dipastikan atau diduga kuat
akan membawa kemudharat atau akan merugikan diri kita ataupun
orang lain, maka harus dibuang jauh-jauh.
Contoh penerapan kaidah ini adalah sebuah rumah sejak
lama memiliki aliran air (sebagai pembuang limbah industri rumah
tangga misalnya) ke jalan raya dan itu sangat membahayakan
pengguna jalan karena bisa menimbulkan kecelakaan lalu lintas,

110 Mumud Salimudin


maka keadaan lama (berlangsungnya pembuangan limbah IRT) itu
tidak dianggap sehingga pemilik rumah wajib memperbaikinya.
k. Setiap tindakan hukum yang membawa kemafsadatan atau
menolak kemashlahatan adalah dilarang
ُ ْ َ ٌّ ْ َ ً َ َ َ َ َ ْ َ ً َ َ ‫َ ر‬ ُّ ُ
ُّ َ َ‫ُك ت‬
‫ِه عنه‬ ‫ر‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ا‬‫ح‬‫ال‬ ‫ص‬ ‫ع‬ ‫ف‬ ‫د‬ ‫و‬‫ا‬ ‫ا‬ ‫اد‬‫س‬ ‫ف‬ ‫ر‬‫ج‬ ‫ف‬
ٍ ‫َص‬

Upaya pengelolaan apapun yang terkait dengan kepentingan


manusia yang menjadi patokan adalah membawa kepada
kemashlahatan/kesejahteraan, jika pengeloaan tersebut membawa
kepada kemafsadatan yang merugikan diri sendiri ataupun orang
lain, maka secara otomatis pasti tertolak menrut syariat.
Contoh penerapan aplikasi ini adalah menghambur-
hamburkan harta atau boros tanpa ada manfaatnya (israf) adalah
dilarang. Begitu juga melakukan akab riba, perjudian,
pornodgrafi/pornoaksi acdalah dilarang.

6. Aplikasi Kaidah Dalam Fikih Muamalah


a. Praktik Ihtikar
Kata ihtikar dalam Bahasa Arab berakar kata hakira yang berarti
menimbun. Ihtikar secara etimologis, berarti menahan sesuatu untuk
menunggu harga naik. Makna ini sama dengan yang dikemukakan
Ahmad Warson, menurutnya ihtikar bermakna menimbun barang-
barang kebutuhan pokok manusia untuk dapat meraih keuntungan
dengan menaikan harganya. Makna lain, ihtikar adalah upaya
penimbunan barang dagangan untuk menunggu melonjaknya harga.19
Ihtikar secara terminologis, sejatinya tidak jauh dari makna
etimologisnya. Dalam kajian ilmu fikih, ihtikar adalah penahanan tau

19Ahmad Warson al-Munawir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Jakarta: Pustaka


Progressif, 1997), hlm. 285

Kaidah Tentang Kemudharatan 111


penimbunan atas suatu barang dagangan dengan tujuan untuk dijual
kembali pada saat harga naik.20 Mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah
mendefinisikan ihtikar sebagai praktik menimbun barang yang telah
dibeli pada saat harga bergejolak tinggi untuk menjualnya dengan
harga yang lebih tinggi pada saat dibutuhkan oleh penduduk setempat
atau lainnya. Oleh karena itu, secara operasional, praktik ihtikar
merupakan rekayasa pasar dalam supply, di mana penjual atau
produsen mengurangi supply agar harga produk yang dijualnya naik.21
Dengan demikian, praktik ihtikar merupaka kegiata ekonomi
yang memiliki implikasi terhadap supply barang di pasar, oleh sebab
itu, praktik ini akan menimbulkan kelangkaan barang di pasar yang
mengakibatkan naiknya harga karena tingginya permintaan. Ihtikar
dapat dilakukan dengan membuat entri barier, yakni menghambat
penjula atau produsen lain yanhg masuk ke pasar agar ianmenjadi
pemain tunggal di pasar (monopoli).
Para fukaha sepakat bahwa praktik tersebut adalah termasuk
tindakan yang dilarang dalam bisnis Islam. Nabi Saw. Dalam hal ini
memberikan panduannya, karena sejak masa nabi praktik ini telah
terjadi. Dasar larangan praktik ihtikar adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Sa’id bin al-Musayyib, ia berkata : Rasulullah saw bersabda :
“Barang siapa melakukan praktik ihtikar maka ia berdosa”. Islam
melarang praktik ihtikar karena hal tersebut dapat menimbulkan
kerugian pada orang lain.
Objek ihtikar termasuk komoditas yang dibutuhkan masyarakat
secara umum, baik kebutuhan itu bersifat primer maupun sekunder,
sebab illat hukum praktik ihtikar dalam Islam adalah membahayakan

20
Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2017), hlm. 351
21Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2016),
hlm. 35

112 Mumud Salimudin


hajat masyarakat umum karena mereka tidak mendapatkan produk dan
barang yang dibutuhkan.
Dengan demikian, ihtikar terlarang karena praktik malbisnis ini
membahayakan hajat dan kepentingan masyarakat umum, karena
masyarakat umum tidfak lagi mendapatkan produk dan barang yang
dibutuhkannya. Praktik ihtikar ini melanggar prinsip bisnis Islam,
karena ingin mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya, penjual
membeli produk dari pasar sehingga harga melonjak naik kemudian
dijualnya dengan harga tinggi. Ini adalah praktik yang tidak sehat dan
merugikan konsumen dan produsen. Itu sebabnya, segala bentuk dharar
harus dihilangkan dalam praktik ekonomi Islam. Sejalan dengan kaidah
adh-dhararu yuzalu (segala bentuk kemudharat harus dihilangkan).

b. Garansi Jual Beli Barang Elektronik


Garansi merupakan salah satu bentuk layanan yang diberikan
penjual kepada pembeli sebagai pemenuhan terhadap hak-hak pembeli.
Terutama hak untuk memperoleh barang yang sesuai dengan nilai tukar
yang dikeluarkan. Pada tahap ini kepuasan konsumen atau kekecewaan
berkenaan dengan transaksi yang diselenggarakan akan segera menjadi
kenyataan, apakah arang yang telah dibeli oleh konsumen tersebut
berkualitas baik atau tidak.untuk mengetahui hal itu, maka garansi
memiliki peranan yang sangat penting bagi konsumen.
Garansi jual beli sebagaimana yang berjalan sekarang ini
memang tidak dikenal pada masa Rasulullah saw, namun bukan berarti
terlarang, karena pada dasarnya semua bentuk muamalat adalah boleh,
sebagaimana kaidah fikih al-ashlu fi al-muamalat al-ibahah.
Dalam hukum Islam pembeli berhak menggunakan hak khiyar-
nya apabila terdapat cacat yang tidak diketahui sebelum transaksi oleh
penjual dan pembeli. Hak khiyar yang dimaksud dalam hal ini adalah
khiyar aib (cacat). Khiyar aib adalah hak untuk memilih antara

Kaidah Tentang Kemudharatan 113


meneruskan atau membatalkan akad apabila ditemui cacat pada barang
yang diperjualbelikan. Tetapi hak khiyar aib tidak berlaku pada cacat
yang telah diketahui sebelum terjadi jual beli.
Namun demikian Islam melarang jualmbeli yang mengandung
cacat, tetapi berusaha disembunyikan untuk mendapatkan harga dan
keuntungan yang tinggi. Di pihak lain, pembeli akan merasa dirugikan
jika mendapatkan obejk jual beli atau komoditas yang tidak sesuai
dengan yang diharapkan karena ada unsur cacatnya. Oleh karena itu,
ininsejalan dengan kaidah, adh-dharar yudfa’u diqadri al-imkan
(potensi kerugian para pihak yang bertransaksi harus semaksimal
mungkin dihilangkan).

c. Pelelangan Barang Jaminan Gadai


Pelelangan merupakan pola penyelesaian eksekusi marhun
yang telah jatuh tempo dan akhirnya tidak ditebus oleh rahin.
Pegadain dalam memberikan pinjaman harus ada barang jaminan
dari debitur. Apabila debitur tidak bisa melunasi pinjamannya,
maka kreditur dalam hal ini pegadaian syariahberhak melelang
barang jaminan dari debitur.
Dalam pegadaian syariah sistem lelang berlaku bagi nasabah,
apabila nasabah tersebut tidak mampu membayar utangnya setelah
jatuh tempo. Barang gadai dapat dijual untuk membayar utang,
dengan cara mewakilkan penjualnya kepada orang yang adil dan
terpercaya.
Dengan demikian, penjualan barang gadai dilakukan oleh
murtahin untuk melunasi utang rahin kepadanya. Islam
memberikan kewenangan kepada murtahin untuk menjual objek
gadai dalm rangka untuk menghindari madlarat yang dialami pihak
murtahin. Sebaliknya, di pihak lain, akan memberikan manfaat dan

114 Mumud Salimudin


kemaslahatan kepad kedua pihak karena utang-piutangnya telah
terlunasi apabila hasil penjualan objek gadai tersebut senilai dengan
jumlah utang yang diberikan murtahin kepada rahin.

d. Transaksi Lindung Nilai Syariah


Lindung nilai (al-tahawwuth/hedging) atas nilai tukar adalah
cara atau teknik untuk mengurangi risiko yang timbul maupun yang
diperkirakan akan timbul akibat adanya fluktuasi nilai tukar.
Lindung nilai syariah (al-tahawwuth al-islmai) atas nilai tukar
adalah cara atau teknik lindung nilai atas nilai tukar berdasarkan
prinsip-prinsip syariah.
Dlam Fatwa DSN No.96/DSN-MUI/VI/2015 tentang
transaksi lindung nilai syariah atas nilai tukar dibutuhkan karena
adanya paparan risiko dalam mata uang asing memerlukan lindung
nilai dalam rangka memitigasi risiko ketidakpastian pergerakan
nilai tukar. Ketentuan dan instrumen lindung nilai yang sesuai
dengan prinsip syariah untuk mendukung perkembangan industri
keuangan syariah.22
Dalam konteks ini, DSN-MUI mendasarkan fatwa di atas
pada beberapa dalil al-Qur’an dan Hadits secara umum. Selian itu,
juga berdasarkan kaidah-kaidah fikih diantaranya, al-dhararu yuzalu
(segala madlarat harus dihilangkan), adh-yudfa’u biqadri al-imkan
(bahaya dicegah sebisa mungkin), al-mawaid bi shuwar al-ta’aliq
takunu lazimah (janji dalam bentuk bersyarat adalah mengikat), dan
kaidah lainnya.

22 Lihat Fatwa DSN No.96/DSM-MUI/VI/2015 tentang Transaksi Lindung Nilai Syariah (al-tahawwuth al-
islami/islamic hedging) Atas Nilai Tukar

Kaidah Tentang Kemudharatan 115


C. PENUTUP
1. Kesimpulan

a.
ُ َ ‫اَ ر‬
‫لَّض ُر يُ َزال‬ , Kesulitan harus dihilangkan. Konsepsi kaidah ini

memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari


idlthirar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang lain,
dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada
orang lain.
b. Dharar adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi
manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam
agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.
c. Dlarurat adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi
manusia, karena jika tidak ia selesaikan maka akan mengancam
agama, jiwa, nasab, harta, serta kehormatan manusia. Sedangkan
masyaqqat adalah sesuau kesulitan yang menghendaki adanya
kebutuhan (hajat) tentang sesuatu, apabila tidak dipenuhi tidak
akan membahayakan eksistensi manusia.
d. Terdapat lima tingkatan kebutuhan manusia sesuai dengan
urutannya yaitu dlarurat, hajat, manfaat, zinah, dan fudlul.
e. Dalam menjaga kepentingan al-dlaruriyat, al-hajiyat, dan al-
tahsiniyat, para ulama menetapkan urutan kelima pokok tersebut
mulai dari memelihara agama (hifz ad-din), mememlihara jiwa (hifz
al-nafs), memelihara akal (hifz al-aql), memelihara keturunan (hifz al-
nasl), dan memelihara harta (hifz al-mal).
f. Berkaitan dengan ekonomi islam, maka kaidah ini bertujuan untuk
melindungi mukalaf agar tidak mengalami kerugian/risiko
(kemudharat) dalam transaksi ekonomi, sekaligus menghilangkan
risiko tersebut jika sudah terjadi dengan tindakan mitigasi risiko

116 Mumud Salimudin


dalam transkasi ekonomi secara posedural yang telah disepakati
dalam kontrak

2. Saran
Setelah kita mengetahui mengenai kaidah tentang dlarurat
menurut para ulama ushul fikih berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah
penulis berharap kita dapat mengimplementasikan kaidah terserbut
dalam menyelesaikan dan menjawab problematika dalam berbagai
bidang yang ditemui dalam kehidupan manuisia seiring dengan
berkembangnya zaman.
Selanjutnya penulis berharap makalah ini dikembangkan secara
lebih mendalam mengenai konsep maqashid syariah dan apliaksi
kaidah-kaidah cabang dalam menjawab problematika dalam
kehidupan manusia. Serta memberikan analisis secara mendalam
mengenai aplikasinya dalam perekonomian islam pada khususnya dan
muamalah pada umumnya.

D. DAFTAR PUSTAKA
Abu Yusuf, Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif. 2019. Kaidah-Kidah Praktis
Memahami Fiqih Islami. Gresik: Pustaka Al-Furqon
Adam, Pandji. 2019. Hukum Islam (Konsep, Folosofi dan Metodologi).
Jakarta: Sinar Grafika.
Al-Munawir, Ahmad Warson. 1997. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia
Terlengkap. Jakarta: Pustaka Progressif
Ar-Raudli, M. Maftuhin. 2015. Kaidah Fiqih; Menjawab Problematika
Sepanjang Zaman. Yogyakarta: Gavamedia.
Busyro. 2019. Maqashid al-Syariah: Pengetahuan Mendasar Memahami
Maslahah. Jakarta: Kencana

Kaidah Tentang Kemudharatan 117


Dewan Syariah Nasional. 2015. Fatwa DSN-MUI No.96/DSN-
MUI/VI/2015 tentang Transaksi Lindung Nilai Syariah Atas Nilai
Tukar. Jakarta: DSN-MUI
Fauzia, Ika Yunia dan Abdul Kadir Riyadi. 2014. Prinsip Dasar Ekonomi
Islam Perspektif Maqashid al-Syariah. Jakarta: Kencana
Hidayat, Enang. 2019. Kaidah Fikih Muamalah. Bandung: Rosda
Karim, Adiwarman A. 2016. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan.
Jakarta: Rajagrafindo Persada
Mufid, Moh. 2019. Kaidah Fikih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer;
Pendekatan Tematis dan Prakris. Jakarta: Kencana
Musadad, Ahmad. 2019. Qawaid Fiqhiyyah Iqtishadiyah; Kaidah-Kaidah
Fikih Ekonomi Syariah. Malang: Literasi Nusantara
Rozalinda. 2017. Fikih Ekonomi Syariah. Jakarta: Rajagrafindo Persada
Zafrulkhan. 2020. Rekonstruksi Paradigma Maqashid Asy-Syariah: Kajian
Kritis dan Konprehensif. Jakarta: IRCiSoD

118 Mumud Salimudin


BAB 7
KAIDAH TENTANG KEBIASAAN
FEBY FEBRIANTI

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Qawaidul fiqhiyyah (kaidah – kaidah fiqih) adalah suatu hukum
kulli atau menyeluruh yang mencakup intisari hukum – hukum fiqih.
Qawa’id fiqhiyyah mempunyai beberapa kaidah, diantaranya seperti
pembahasan dalam makalah ini yaiutu al’adah al muhakkamah (adat
atau kebiasaan itu bisa menjadi dasar dalam suatu hukum) yang
diambil dari kebiasaan – kebiasaan baik yang tumbuh dan berkembang
di dalam masyarakat sehingga dapat disajikan dasar dalam
menetapkan suatu hukum sesuai dengan nilai – nilai yang berkembang
di dalam masyarakat. Dengan menguasai kaidah – kaidah kita akan
mengetahui segala permasalahan fiqih, karena kaidah fiqih menjadi
titik temu dari masalah – masalah fiqih sehingga dapat dengan bijak
dalam menerapkan hukum fiqih dalam waktu, tepat, situasi dan
kondisi yang seringkali berubah – ubah.

Kaidah Tentang Kebiasaan 119


Dan dengan memhami kaidah fiqih kita juga akan lebih bijak di
dalam menyikapi masalah – masalah sosial, ekonomi, politik dan lebih
khususnya budaya (adat atau kebiasaan) serta lebih mudah mencari
solusi terhadap masalah – masalah yang terus muncul dan
berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu, di dalam makalah ini
akan mengkaji salah satu kaidah fiqih khususnya yang berkaitan
dengan kehidupan sehari – hari yaitu tentang adat (kebiasaan) dengan
kaidah al ‘adah al muhakkamah dengan arti adat atau kebiasaan itu
bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum.

2. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian dari al ‘adah?
b. Apa dasar – dasar hukum al ‘adah?
c. Apa saja cabang kaidah al ‘adah al muhakkamah?
d. Apa perbedaan al’adah dengan al ‘urf?
e. Apa saja syarat – syarat adat bisa jadi hukum?
f. Bagaimana kedudukan ‘adah dan ‘urf dalam pandangan fuqaha’?

3. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui pengertian dari hukum al ‘adah
b. Untuk mengetahui dasar hukum dari kaidah al ‘adah
c. Untuk mengetahui cabang kaidah al ‘adah al muhakkamah
d. Untuk mengetahui perbedaan al ‘adah dengan al ‘urf
e. Untuk mengetahui syarat – syarat adat menjadi hukum
f. Untuk mengetahui kedudukan a’dah dan ‘urf dalam pandangan
fuqaha’

120 Feby Febrianti


B. PEMBAHASAN
1. Teks Kaidah Tentang Kebiasaan
َّ َ َ ْ َ
ُ‫ال َعادةُُُمك َمة‬

“Adah (adat) itu bisa dijadikan patokan hukum”

2. Dasar Hukum Kaidah Kebiasaan


a. Dalil Al Qur’an
 Q. S Al A’raf ayat 199
ْ
َ‫اْلٰهل ِْي‬ َ ْ ْ ََ ْ ُْ ْ َُْ َ ْ َْ ُ
ِ ‫خ ِذ العفو وأمر بِالعر ِف واع ِرض ع ِن‬
“Dan janganlah orang – orang mengerjakan yang makruf serta
berpalinglah dari orang – orang bodoh.”
 Q. S An – Nisa ayat 19
ۡ ُ ُ َ َ
‫ِش ۡوه َّن بِال َم ۡع ُر ۡو ِف‬
ِ ‫“وَع‬

“Dan pergaulilah mereka secara patut.”


 Q.S Al Baqarah ayat 180
ُ َْ ًْ َ َ َ َ ْ ُ ْ َْ ُ ُ َ َ َ َ َ َ َ ْ ُ ْ َ َ َ ُ
‫ص َّية‬
ِ ‫كتِب عليكم ا ِذا حَض احدكم الموت ا ِن ترك خْيا ۖ ۨالو‬
ْ َْ ََْْ َ َْ َْ
‫ي بِال َم ْع ُر ْو ِف‬ِ ‫ل ِلو ِاِلي ِن واْلقرب‬
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu
kedatangan (tanda-tanda) kematian, jika meninggalkan harta yang
banyak untuk berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara
ma’ruf.”
 Q.S Al Baqarah ayat 233
ْ ُ ُ َ ُ ْ ََ
‫َولَع ال َم ْول ْودِ َٗل رِ ْزق ُه َّن َوك ِْس َوت ُه َّن بِال َم ْع ُر ْو ِف‬

Kaidah Tentang Kebiasaan 121


“Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya secara ma’ruf.”
Dan beberapa ayat lainnya yang menyebutkan lafadz ‘urf atau
ma’ruf yang mencapai 37 ayat. Maksud dari ‘urf dan ma’ruf di
semua ayat ini adalah dengan cara yang baik yang diterima oleh
akal sehat dan kebiasaan manusia yang berlaku.

b. Dalil Hadits
 Hadits riwayat Ibnu Mas’ud
“Apa yang dipandang baik oleh orang – orang Islam maka baik
pula di sisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam
maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk.”
(H.R Ahmad Bazar, Thabrani dalam Kitab Al – Kabiir dari Ibnu
Mas’ud)1
 Nabi SAW bersabda:
“Ambilah dari hartanya apa yang mencukupi anak – anakmu
dengan cara yang patut.” (H.R Bukhari No. 5364 dan Muslim No.
1714)
 Diantara perbuatan yang hukumnya oleh Rasulullah SAW
ditetapkan berdasarkan adat ialah seperti yang diterangkan oleh
hadits:
“Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: Ketika Nabi SAW datang di
Madinah, mereka (penduduk Madinah) telah (biasa) memberi uang
panjar (uang muka) pada buah – buahan untuk waktu satu tahun atau
dua tahun. Maka Nabi SAW bersabda: Barangsiapa memberi uang
panjar pada buah – buahan maka berikanlah uang panjar itu pada

1
Dahlan, Tamrin, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Kuliliyah al-Khamsah),(Malang:UIN Maliki
Press,2010).hlm.209

122 Feby Febrianti


takaran yang tertentu, timbangkanlah yang tertentu dan waktu
tertentu.” (H.R Bukhari)

3. Pengertian Kaidah Kebiasaan


َّ َ َ َ ْ َ
َُ‫كمة‬ ‫العادةُُُم‬

“Adah (adat) itu bisa dijadikan patokan hukum”


Maksudnya, bahwa di suatu keadaan adat bisa dijadikan pijakan
untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil dari syari’. Namun
tidak semua adat bisa dijadikan pijakan hukum.
Awal mula kaidah ini ada diambil dari realita sosial
kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan kehidupan itu dibentuk
oleh nilai – nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah berjalan
sejak lama sehingga mereka memiliki pola hidup dan kehidupan
sendiri secara khusus berdasarkan nilai – nilai yang sudah dihayati
bersama. Jika ditemukan suatu masyarakat meninggalkan amaliyah
atau perbuatan yang selama ini sudah biasa dilakukan, maka mereka
sudah dianggap telah mengalami pegeseran nilai. Nilai – nilai seperti
inilah yang dikenal dengan sebuat ‘adah (adat atau kebiasaan),
budaya, tradisi dan sebagainya. Dan Islam dalam berbagai ajaran
didalamnya menganggap adat sebagai pendamping dan elemen yang
bisa diadopsi secara selektif dan proposional, sehingga bisa dijadikan
sebagai salah satu alat penunjang hukum – hukum syara’.2
Dalam bahasa Arab terdapat 2 istilah yang berkenaan dengan
kebiasaan yaitu al adat dan al ‘urf. Secara bahasa al ‘adah diambil dari
kata al ‘awud (‫ )العود‬atau al mu’awadah (‫ )المؤدة‬yang berarti berulang

2
Dahlan, Tamrin, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah),(Malang: UIN Maliki
Press,2010)hlm.203

Kaidah Tentang Kebiasaan 123


(‫)التكرار‬. Oleh karena itu, setiap sesuatu yang sudah terbiasa dilakukan
tanpa diusahakan itu dikatakan sebagai adat.
Adapun definisi al ‘adah menurut Ibnu Nurzhaim adalah :
“Sesuatu ungkapan dari apa yang tependam dalam diri, pekrkara yang
berulang – ulang yang bisa diterima oleh tsbit (perangai) yang sehat.”
Dalam pengertian dan substansi yang sama, terdapat istilah lain
dari al ‘adah yaitu al ‘urf yang secara bahasa artinya mengetahui,
mengenal. Sering pula diartikan dengan suatu keadaan, ucapan,
perbuatan, atau ketentuan yang dikenal manusia dan telah menjadi
tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.
Para ulama ushul fiqih membedakan antara adat dengan ‘urf
dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk
menetapkan hukum syara’. Adat didfeinisikan dengan “Sesuatu yang
dikerjakansecara berulang – ulang tanpa adanya hubungan rasional.”
Dalam definisi tersebut akad dimaksudkan sebagai sutau perbuatan
atau perkataan yang terus menerus dilakukan oleh manusia karena
dapat diterima akal dan secara terus menerus manusia mau
mengulanginya. Sedangkan definisi ‘urf menurut ulama ushul fiqih
adalah “Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau
perbuatan.” Maksudnya sesuatu perbuatan atauperkataan dimana
jiwamerasakan suatu ketenangan dalam mengerjakannya, karena
sudah sejalan dengan logika dan dapat diterima oleh watak
kemanusiaannya.
Sedangkan arti “muhakkamah” adalah putusan hakim dalam
pengadilan dalam menyelesaikan senketa, artinya adat juga bisa
menjadi rujukan hakim dalam memutuskan persoalan sengketa yang
diajukan ke meja hijau.3

3
Abbas, Arfan, Kaidah-Kaidah Fiqh Muamalah dan Aplikasinya dalam Ekonomi Islam dan
Perbankan Syari’ah, (Jakarta:Direktorat Penddikan Tinggi Islam Kementerian Agama RI,).hlm.204

124 Feby Febrianti


Suatu adat dapat bisa diterima jika memenuhi:
a. Tidak bertentangan dengan syariat.
b. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan
kemashlahatan.
c. Tidak berlaku pada umumnya orang muslim.
d. Tidak berlaku dalam ibadah mahdah.
e. ‘Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan
hukumnya.4

4. Cabang-Cabang Kaidah Kebiasaan


Ada beberapa kaidah yang merupakan cabang atau perincian
dari kaidah besar “Sebuah adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran
hukum”. Kaidah – kaidah tersebut diantaranya adalah:
a. Kaidah pertama: Apa yang digunakan oleh kebanyakan orang itu
bisa sebgai hujjah yang wajib dikerjakan.
Kaidah ini semaknsa dengan kaidah umum, bahwa apa yang
digunakan oleh manusia sehingga menjadi sebuah adat kebiasaan
mereka, maka itu bisa dijadikan sebagai sebuah sandaran amal
yang wajib digunakan. Adapun tentang masalah apakah sebuah
amal perbuatan yang sudah menja.di adat kebiasaan ini berlaku
semuanya atau hanya adat umum saja dan bukan adat khusus,
maka permasalahannya sama dengan kaidah umumnya.
Contohnya, jika ada seseorang yang meminta tolong kepada
orang lain untuk menjualkan tanah miliknya, lalu setelah tanah
itu terjual, orang yang menolong tersebut meminta bagian upah
atau prosentase dari apa yang dia usahakan, maka hal ini

4
Muchlis, Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah),
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002.hlm.210

Kaidah Tentang Kebiasaan 125


dikembalikan kepada ‘urf yang berlaku. Apabila ‘urf masyarakat
setempat memang demikian, maka wajib memberikannya.
b. Kaidah kedua: Yang dijadikan dasar itu sesuatu yang berlaku
umum dan banyak digunakan, bukan yang sedikit dan jarang
digunakan.
Maksudnya sebuah adat kebiasaan bisa dijadikan sebuah
sandaran hukum jika berlaku menyeluruh untuk semua kalangan
atau dilakukan oleh kebanyakan masyarakat. Adapun jika adat
kebiasaan itu dilakukan oleh sebagian kecil mereka atau jarang
dilakukan maka itu tidak berlaku sebagai sandaran hukum.
Contohnya, anatara pedagang dan pembeli seperti biaya
pengiriman barang menurut kebiasaan perdagangan di Indonesia
adalah menjadi tanggung jawab pembeli, sehingga walaupun
dalam akad pembelian, tidak disebutkan biaya (ongkos)
pengiriman, maka hukumnya tetap ada dam menjadi tanggung
jawab penjual. Contoh lainnya, misalnya ada seorangpedagang
kehabisan satu jenis barang dagangannya, padahal saat itu ada
pembeli yang membutuhkan maka biasanya pedagang itu akan
mengambil (membeli) barang tersebut dari temannya sesama
pedagang. Lalu apakah pedagang itu membeli dari temannya
dengan harga pokok (harga kulakan) atau dengan hargalaba yang
dibagi dua antara dia dan temannya? Maka hal ini harus
dikembalikan kepada kebiasaan yang terdapat diantaar mereka,
sehingga jika memang adatnya hanya dengan harga pokok maka
dia boleh membayar harga pokoknya saja, walaupun saa ini
membeli tidak menyebutkan berapa harga barang tersebut.
c. Kaidah ketiga: ‘Urf yang digunakan untuk membawa lafadz
kepadanya adalah ‘urf yang sedang berlaku dan sudah terjadi sejak
waktu lampau, bukan sebuah ‘urf yang datang belakangan.

126 Feby Febrianti


Maksudnya sebuah lafadz baik syar’i maupun lafadz
manusia itu dibawa pada makna yang berlaku pada zaman itu dan
bukan pada makna yang muncul belakangan.
Contohnya, lafadz syar’i Rasulullah SAW bersabda
“Berpegang teguhlah kalian pada sunnahku.” (Abu Dawud: 4607, Ad
Darimi: 95 dengan sanad shahih). Sunnah yang dimaksud disini
adalah jalan dan cara hidup yang ditempuh oleh Rasulullah SAW.
Kemudian muncul dibelakang hari bahwa makna sunnah adalah
sesuatu yang jika dikerjakan maka mendapatkan pahala dan jika
ditinggalkan maka tidak berdosa. Maka tidak boleh membawa
makna hadits tadi pada makna kedua, karena itu istilah yang ‘urf
diantara para fuqaha’ belakangan hari.
Contoh lafadz manusia, jika ada yang berkata “Wallahi,
saya selamanya tidak akan makan daging” maka saat dia
mengatakan itu, daging yang dimaksud adalah daging binatang
darat saja. Kemudian berganti ‘urf pada beberapa tahun
kemudian, sehingga makna daging menjadi daging binatang darat
dan laut. Maka jika orang itu makan daging ikan tidak dianggap
melanggar sumpahnya karena itu adalah makna belakangan,
bukan saat mengucapkan sumpah tadi.
d. Kaidah keempat: Sebuah hakikat itu bisa ditinggalkan karena
sebuah ada kebiasaan.
Maksudnya sebuah lafadz harus dibawa pada makananya
yang hakiki. Dan makna hakiki adalah makna asal untuk sebuah
lafadz, namun terkadang makna hakiki ini harus ditinggalkan
karena ‘urf atau adat kebiasaan yang berlaku menggunakan lafadz
tersebut untuk makna lain. Dan yang digunakan adalah makna
yang dipahami secara ‘urf tersebut.

Kaidah Tentang Kebiasaan 127


Contohnya, jika ada seseorang yang berkata “Wallahi, saya
tidak akan angkat kaki dari sini”, secara bahasa “angkat kaki”
adalah seseorang itu mengangkat kakinya baik untuk berjalan
ataupun diam ditempat. Namun secara ‘urf kata ini digunakan
untuk seseorang yang meninggalkan tempat, maka jika orang
yang mengucapkan kata tersebut kemudian mengangkat kakiknya
tanpa meninggalkan tempat, dia tidak dihukumi melanggar
sumpah. Akan tetapi, jika dia meninggalkan tempat meskipun
seandainya bisa dilakukan tanpa angkat kaki, maka dia telah
melanggar sumpahnya.
e. Kaidah kelima: Sebuah isyarat yang bisa dipahami bagi seornag
yang bisu itu seperti keterangan dengan kata – kata.
Maksudya bagi seorang bisu yang tidak dapat berbicara,
maka isyarat dia yang bisa dipahami itu seperti sebuah keterangan
dengan kata – kata untuk dijadikan dasar dalam menetapkan
sebuah hukum. Hal ini disebabkan karena seorang yang bisu itu
tidak dapat melakukan semua kebutuhan dia kecuali dengan
isyarat. Orang yang bisu bisa memenuhi kebutuhan dia baik untuk
jual beli, nikah ataupun lainnya dengan 3 cara, pertama ada
seorang yang mewakilinya, kedua dengan tulisan, dan ketiga
dengan isyarat.
f. Kaidah keenam: Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan itu
seperti sebuah syarat atau disebut juga yang ditentukan dengan
‘urf itu seperti yang ditentukan dengan ketegasan lafadz.
Maksudnya sesuatu yang sudah menjadi sebuah kebiasaan
bersama, maka hukumnya seperti sebuah syarat yang harus di
penuhi. Dengan catatan jika ‘urf ini tidak bertentangan dengan
sebuah tashrih sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya.

128 Feby Febrianti


Contohnya, jika ada 2 orang yang melakukan akad maka
konsekuensi dari akad tersebut mengikuti adat kebiasaan yang
berlaku di daerah setempat.
g. Kaidah ketujuh: Tidak diingkari perubahan hukum ijtihadiyyah
karena perubahan zaman.
Maksudnya hukum Islam itu secara garis beras ada 2:
 Hukum yang tetap, tidak ada perubahan. Ini adalah hukum
yang sudah ditetapkan oleh syara’ secara terperinci. Seperti tata
cara shalat, puasa, zakat dan lain – lain, maka hukum ini tetap
dan tidak berubah dengan perubahan waktu dan tempat.
 Hukum yang bisa berubah dengan perubahan zaman. Ini
adalah hukum – hukum ijtihadiyyah yang dibangun di atas
dasar ‘urf dan adat yang berlaku pada zaman tertentu, maka
jika ‘urf dan adat tersebut berubah dengan perubahan waktu
dan tempat maka hukum pun akan berubah.
 Kedua hal ini tidak boleh di campur adukkan, supaya tidak
terjadi kerancuan hukum.
Contoh hukum yan tidak bisa berubah, hukum warisan
bahwa anak laki – laki mendapatkan dua bagian anak wanita,
hukum aurat laki – laki dari lutut sampai lutut, dan bagi wanita
adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
Contoh hukum yang berubah dengan perubahan
keadaan:
 Larangan Rasulullah SAW untuk ziarah kubur di awal masa
Islam, kemudian beliau membolehkannya di akhir masa
Islam.
 Larangan Rasulullah SAW untuk menyimpan daging
kurban diatas 3 hari, kemudian akhirnya beliau
memperbolehkannya.

Kaidah Tentang Kebiasaan 129


 Tata cara belajar ilmu syar’i dengan didirikannya sekolah
yang menggunaka kelas, meskipun pada zaman dahulu
tanpa hal – hal tersebut.

5. Perbedaan Al-‘Adah denganAl-‘Urf


Proses pembentukan ‘adah adalah akumulasi dari pengulangan
aktivitas yang berlangsung secara berulang, dan ketika pengulangan
tersebut bisa membuat tertanam dalam hari individu maka ia sudah
bisa memasuki wilayah muta’araf, ‘adah berubah menjadi ‘urf
(haqiqat al – ‘urfiyyah) sehingga ‘adah merupakan unsur yang muncul
pertama kali dilakukan berulang – ulang, lalu tertanam di dalam hati
dan menjadi ‘urf.
Oleh karena itu, fuqaha’ menyatakan bahwa ‘adah dan ‘urf
dilihat dari sisi terminologisnya, tidak memiliki perbedaan prinsipil.
Artinya, pengunaan istilah ‘urf dan ‘adah tidak mengandung suatu
perbedaan siginifikan dengan konsekuensi hukum yang berbeda.
Meskipun para fuqaha’ mendefinisikannya berbeda, dimana ‘urf
dijadikan sebagai kebiasaan yang dilakukan oleh banyak orang
(kelompok) dan muncul dari kreativitas imajinatif manusia dalam
membangun nilai – nilai budaya. Dari pengertian inilah baik dan
buruknya suatu kebiasaan tidak menjadi persoalan yang penting
selama dilakukan secara kolektif, dan hal seperti ini masuk dalam
kategori ‘urf. Sedang ‘adah mendefinisikan sebaga tradisi (budaya)
secara umum, tanpa melihat apakah dilakukan oleh individu maupun
kolektif.
Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
perbedaan isitilah ‘adah dan ‘urf jika dilihat dari aspek yang berbeda
yaitu:

130 Feby Febrianti


1) ‘Urf hanya menekankan pada adanya aspek pengulangan pekerjaan
dan harus dilakukan oleh sekolompok, sedang objeknya lebih
menekankan pada posisi pelakunya.
2) ‘Adah hanya melihat dari sisi pelakunya dan boleh dilakukan
pribadi atau kelompok, serta objeknya hanya melihat pada
pekerjaan.
Sedangakan persamaannya, ‘urf dan ‘adah merupakan sebuah
pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hal dan
dilakukan berulang – ulang serta dengan karakter pelakunya.

6. Syarat-Syarat Adat Bisa Menjadi Hukum


Abdul Karim Zaidan sebagaimana dikutip oleh Satria Efedi M.
Zein telah menyebutkan beberapa persyaratan bagi ‘urf atau adat
kebiasaan bisa dijadikan landasan hukum, yaitu:5
a. Tidak bertentangan dengan syariat
‘Urf bisa menjadi pemutus hukum dengan syarat ‘urf tersebut
tidak bertentangan dengan syariat. Seperti tradisi orang – orang
bule jike berkreasi di pantai yang memakaipakaiannya minimalin,
maka tradisi ini tidak menjadi dalil karena membuka aurat terlarang
dalam syariat walaupun dinyatakan sebagian ‘urf suatu
masyarakat.
b. Telah dominan di masyarakat
‘Urf tersebut telah dominna dipraktekkan di masyarakat.
Seperti ‘urf yang berjalan secara dominan di Indonesia, bahwa
ketika idul fitri maka akan saling berkunjung ke tetangga dan
mengadakan halal bi halal.

5
Satria Efendi M.Zein, Ushul Fiqih,cet ke-3 (Jakarta Kencana Prenada, Media Group, 2009),hal.156

Kaidah Tentang Kebiasaan 131


c. Merupakan ‘urf yang sekarang
‘Urf tersebut adalah ‘urf yang berlaku sekarang bukan ‘urf
zaman dahulu. Seperti seorang laki – laki yang hendak menkah
hendaknya mahar yang diberikan kepada istrinta disesuaikan
dengan ‘urf yang berlaku pada zaman sekarang, tidak
membandingkan dengan mahar yang biasanya berlaku 50 tahun
yang lalu.
d. Tidak ada kesepakatan antara kedua belah pihak yang bertransaksi
akan penyelisihan terhadap ‘urf
Perihal muamalah diantara manusia yang tidak ditegaskan
batasannya oleh syariat maka dikembalikan kepada ‘urf. Namun
apabila kedua belah pihak yang bertransaksi tersebut bersepakat
untuk tidak menggunakan ‘urf maka saat itu ‘urf tidak bisa lagi
dijadikan patokan atau pemutus hukum. Contoh, seorang yang
tinggal di Indonesia apabila dia menyebutkan sebuah angka
nominal uang maka yang dipahami secara ‘urf adalah mata uang
rupiah, tidak dibawa ke mata uang yang lain. Misal jika dia ingin
berhutang sebanyak 50.000 maka yang dipahami adalah 50.000
rupiah bukan 50.000 dolar, kecuali jika ditegaskan sebelumnya
bahwa dia berhutang sebanyak 50.000 dolar.
e. Tidak berlaku pada ibadah mahdhah
‘Urf yang dapat dijadikan hukum adalah tidak boleh masuk
ke dalam perihal ibadah mahdhah, misalnya menyalurkan zakat di
luar ashnaf zakat, meskipun itu bagus tetapi telah menyalahi kaidah
syar’i yang mahdhah daam syariat tentang zakat.
f. Tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam
suatu transaksi
Contohnya seperti kesepakatan antara importif dari Indonesia
dengan eksportir dari Amerika Serikat bahwa alat tukar yang

132 Feby Febrianti


digunakan dalam pembaaran impor kedelai dari Amerika tersebut
menggunakan mata uang rupiah, maka tidak boleh kemudia diganti
secara sepihak menjadi US Dollar.
g. ‘Urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat
Contohnya seperti kebiasaan istri yang ditinggal mati
suaminya dibakar hidup – hidup bersama pembakaran jenazah
suaminya (dalam tradisi agama Hindu). Meskipun kebiasaan itu
diniali baik dari segi rasa agama suatu kelompok (Hindu), namun
tidak dapat diterima oleh akal sehat.

7. Kedudukan ‘Adah dan ‘Urf dalam Pandangan Fuqaha


Untuk mengetahui masalah kedudukan’adah dan’urf sebagai
salah satu patokan hukum, fuqaha’ beragam pendapat dalam
memeganginya sebagai dalil hukum, yaitu sebagai berikut:
a. Abu Hanifah: Al Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, dan ‘urf
masyarakat.
b. Imam Malik: Al Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, istishab,
maslahah mursalah, syadduzdharai’, dan ‘urf.
c. Malikiyyah, membagi ‘adah kebiasaan atau ‘urf menjadi 3, yaitu
1) Yang dapat ditetapkan sebagai hukum lantaran nash
menunjukkan.
2) Jika mengamalkannya berarti mengamalkan yang dilarang atau
mengabaikan syara’
3) Yang tidak dilarang dan tidak dierima lantaran tidak ada
larangan.
d. Imam Syfi’i tidak mempergunakan ‘urf atau ‘adah sebagai dalil,
karena beliau berpegang pada AlQur’an, sunnah, ijma’ dan ijtihad
yang hanya diatasi dengan qiyas saja. Karena itulah keputusan
yang telah diambil oleh Imam Syafi’i dalam wujud “qaul jadid” itu

Kaidah Tentang Kebiasaan 133


merupakan suatu imbangan terhadap penetapan hukumnya di
baghdad dalam wujud “qaul qadim”.6

C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Bahwasannya Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau
kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan
dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. al-‘adah atau al-‘urf adalah
Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang
dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Adat dapat dijadikan landasan hukum, jika tidak bertentang
dengan syariat, telah dominan di masyarakat, merupakan ‘urf yang
sekarang, tidak ada kesepakatan antara kedua belah pihak yang
bertransaksi akan penyelisihan terhadap ‘urf, tidak berlaku pada
ibadah mahdhah, Tidak bertentangan dengan yang diungkapkan
secara jelas dalam suatu transaksi, ‘Urf itu bernilai maslahat dan dapat
diterima akal sehat
Istilah adat dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua
aspek yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya
menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan. Sementara al-’Urf
hanya melihat pelakunya. Di samping itu adat bisa dilakukan oleh
pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf harus harus dijalani oleh
komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat aspek
pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya.
persamaannya, adat dan al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah
diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-
ulang dan sesuai dengan karakter pelakunya. Hukum yang didasarkan

6
Dahlan, Tamrin, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Kulliah al Khamsah), (Malang:UIN Maliki Press,
2010).hlm.246

134 Feby Febrianti


pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat dalam
arti bahwa hukum-hukum fiqh yang tadinya di bentuk berdasarkan
adat istiadat yang baik itu akan berubah bilamana adat istiadat itu
berubah.

2. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan maka dari itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi
perbaikan makalah ini di masa yang akan datang.

D. DAFTAR PUSTAKA
Tamrin, Dahlan. Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah). 2010.
Malang: UIN Maliki Press.
Arfan, Abbas. Kaidah-kaidah Fiqh Muamalah dan Aplikasinya dalam
Ekonomi Islam dan Perbankan Syariah. 2012. Jakarta: Direktorat
Pendidikan Tinggi Islam dan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Kementerian Agama RI.
Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih (Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis). 2007. Jakarta:
Kencana.
Usman, Muchlis. Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-Kaidah
Ushuliyah dan Fiqhiyah). 2002. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Mubarok, Jaih. Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah-Kaidah Asasi). 2002.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Satria Efendi M. Zein. Ushul Fiqih, cet ke-3. Jakarta Kencana Prenada,
Media Group, 2009

Kaidah Tentang Kebiasaan 135


136 Feby Febrianti
BAB 8
HUKUM DASAR MUAMALAH
ADALAH BOLEH
SUCI NUR ASSIFAH

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Berbicara tentang kaidah-kaidah hukum Islam, tentu akan selalu
merujuk kepada dua sumber hukum Islam yaitu al-Quran dan al-
Sunnah. Kaidah-kaidah atau bahasa arabnya disebut dengan qawa’id
yang memiliki arti patokan-patokan atau aturan-aturan.Sedangkan
hukum Islam adalah keputusan dan ketentuan abadi, karena konsep
hukum yang bersifat otoriter, ilahi dan absolut. Dalam Islam tidak
memperoleh perubahan dalam konsep-konsep dan institusi-institusi
hukum. Sebagai konsekuwensi logis dari konsep ini, maka sanksi yang
diberikannya bersifat ilahiyah yang karenanya tidak bisa berubah.
Oleh karena itu, ketika bicara tentang kaidah-kaidah hukum Islam
pada masalah sosial, berarti berkenaan dengan semua patokan dan

Hukum Dasar Muamalah adalah Boleh 137


semua aturan berdasarkan keputusan Islam pada permasalahan umat
yang disebut dalam Islam dengan fiqih muamalah (hukum transaksi
sosial), dan masalah ekonomi dengan istilah fiqih iqtishadi (hukum
ekonomi Islam). Semua ini, tentu tidak terlepas dari kehidupan
manusia sebagai makhluk social, kemudian kaidah-kaidah hukum
Islam sebagai pemberi solusi dalam masalah tersebut, jika tidak
diketemukan pada kedua sumber hukum (al-Quran dan alSunnah).
Berbicara tentang fiqih muamalah dan hukum sosial dalam Islam,
ruang lingkup ijtihad menjadi sangat luas dan materi-materi fiqih
sebagai hasil ijtihad menjadi sangat banyak. Sedangkan al-Quran dan
dan al-Sunnah untuk bidang muamalah hanya menentukan garis
besarnya saja yang tercermin dalam dalil-dalil kully (bersifat umum),
maqasid al-syariah (tujuan diturunkannya syariat Islam), semangat
ajaran dan kaidahkaidah kulliyah.
Problematika sosial yang membutuhkan solusi tentu tidak ingin
berlama-lama dalam kubang kegelapan, kejumudan dan
keterbelakangan. Dengan adanya kaidah fiqih ini, ulama memberikan
solusi untuk mengatasi permasalahan sosial, seperti: pendidikan,
kesehatan, lingkungan hidup, ekonomi, keilmuan, budaya dan politik.
Semua permasalahan sosial, pada dasarnya sudah ada dan dibahas
oleh sumber hukum Islam (alQuran dan al-Sunnah), tapi terkadang
permasalahan tersebut tidak semua dirangkum secara eksplisit oleh
sumber hukum Islam dalam penanganannya, sehingga membutuhkan
bantuan lain untuk memahaminya, maka kaidah fiqih inilah yang
akan menjawabnya. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal tersebut,
tentu membutuhkan curahan pemikiran dan tenaga yang ekstra dari
semua kalangan, seperti para fuqaha dan insan akademis.

138 Suci Nur Assifah


2. Rumusan Masalah
a. Apa itu pengertian kaidah dan fikih muamalah?
b. Bagaimana prinsip dasar muamalah?
c. Bagaimana kaidah kaidah muamalah?
d. Bagaimana penerapan kaidah muamlah?

3. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui Apa itu pengertian kaidah dan fikih muamalah.
b. Untuk mengetahui Bagaimana prinsip dasar muamalah.
c. Untuk mengetahui Bagaimana kaidah kaidah muamalah.
d. Untuk mengetahui Bagaimana penerapan kaidah muamlah.

B. PEMBAHASAN
1. Teks Kaidah
َ َ‫الة اْإلب‬
َ َ َ ُْ ُ ْ َ َ
‫احة‬ ‫ى‬ ‫ام‬ ‫ع‬‫م‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ِف‬
‫األص ى‬
‫ل‬

“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan”

2. Pengertian Kaidah dan Fiqih Muamalah


Kaidah secara bahasa adalah, aturan atau undang-undang.
Sedangkan Ahmad Warson Munawwir memberikan arti prinsip,
dasar, dan pondasi.1 Sedangkan secara istilah yaitu, rumusan asas
yang menjadi hukum, aturan yang sudah pasti; patokan; dan dalil.2
Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan kaidah fiqih, dengan istilah
sebagai berikut: himpunan hukum-hukum syara’ yang serupa (sejenis)

1
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif),
hal. 1138
2
KBBI Pusat Bahasa, Deprt. Pendidikan Nasional, Edisi ke 4, 602

Hukum Dasar Muamalah adalah Boleh 139


lantaran ada titik persamaan, atau adanya ketetapan fiqih yang
merangkaikan kaidah tersebut.3
Fiqih berasal dari kata faqiha, yafqahu, faqhan/fiqhan: yang
bermaknafaham agama yang mendalam4. Sedangkan kata muamalah
berasal dari bahasa arab yang secara etimologi sama dan semakna
dengan shafaqatani al-shafaqah yaitu al-‘aqdu, al-shafaqah yang
mencakup masalah jual beli dan yang lainnya dalam akad seperti
masalah sewa menyewa, pinjaman dan lainnya.5 Menurut Nasrun
Haroen, bahwa al-muamalah secara etimologi sama dan semakna
dengan al-mufa’alah (saling berbuat). Kata ini menggambarkan suatu
aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dengan seseorang atau
beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing6. Sedang-
kan fiqih muamalah secara terminologi menurut Abdullah al-Sattar
yang dikutip oleh Nasrun, sebagai hukum-hukum yang berkaitan
dengan tindakan hukum manusia dalam persoalan-persoalan
keduniaan. Misalnya dalam masalah jual beli, utang piutang, kerja-
sama dagang, perserikatan, kerjasama dalam penggarapan tanah, dan
sewa, menyewa.
Adapun yang dimaksud manusia di sini adalah manusia yang
sudah mukallaf, yang sudah mampu membedakan yang benar dan
salah secara syar’I, yaitu yang sudah baligh dan cerdas (tidak idiot).
Sedangkan yang dimaksud dengan persoalan-persoalan yang bersifat
keduniaan adalah yang berhubungan dengan kebutuhan duniawi.
Namun demikian masalah atau persoalan-persoalan yang bersifat
keduniaan ini bukan berarti tidak ada sangkut pautnya dengan syariat
dan aturan Allah, melainkan harus senantiasa sesuai dengan aturan-

3
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Penj. Saefullah Ma’shum (Jakarta: Pustaka Firdaus), 2000, 7
4
Maktabah al-Syamilah :Lisan al-Arab, Juz 13, . 522
5
Maktabah Syamilah, Fiqih Muamalah, bab: al-Juhalah, juz 1 69
6
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama), 2007

140 Suci Nur Assifah


Nya. Sesuai dengan firman Allah dalam QS. 51:56 “ Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-
Ku”
Berdasar pada ayat itulah seluruh aktivitas manusia harus sesuai
dengan aturan dan syariat yang berlaku dalam Islam, agar tidak terjadi
kekacauan dalam berinteraksi dengan seluruh makhluk ciptaan-Nya,
khususnya sesama manusia. Seluruh tindakannya harus sesuai dengan
nilai-nilai ketuhanan, yang memberikan manfaat dan kemash-
lahatan untuk semua makhluk-Nya. Karena tujuan Allah
menurunkan syariat ini tidak lain hanya untuk kemaslahatan manusia
sebagai khalifatullah fil-ardh, yaitu untuk menjaga agama, menjaga
akal, menjaga keturunan, menjaga jiwa dan menjaga harta. Demikian
yang dimaksud dengan “beribadah” ia memiliki arti luas, tidak
sekedar melaksanakan rukun Islam yang lima perkara ibadah
mahdhah (ibadah khusus) kepada Allah saja, tetapi melaksanakan
semua aktifitas yang dilandaskan karena Allah semata, juga disebut
ibadah yang lebih luas maknanya (ibadah ghair mahdhah). Fiqih
sosial atau fiqih muamalah mencakup faham yang mendalam tentang
hubungan atau interaksi dengan masyarakat atau sosial yang sudah
diatur oleh syariat Islam untuk mencapai kemas- lahatan bersama.
Kaitannya dengan definisi kaidah fiqih, disimpulkan dari definisi
fiqih dan kaidah sosial yang sudah dikemukakan di atas, bahwa kaidah
fiqih tentang masalah sosial adalah pijakan dan prinsip yang harus
dijadikan acuan ketika manusia melakukan interaksi atau
bermuamalah/berhubungan dengan manusia dalam kaitannya
dengan hal-hal yang bersifat horizontal. Oleh karenanya, Islam
melalui para ulama (fuqaha) mengatur hal ini agar gesekan-gesekan
atau perselisihan yang akan terjadi dapat diminimalisir. Kemudian,
ketika ada kesulitan dalam memecahkan problematika yang berkaitan

Hukum Dasar Muamalah adalah Boleh 141


dengan permasalahan sosial dapat dikembalikan secara benar sesuai
dengan aturan-Nya. Terkait dengan masalah ini ada kaidah-kaidah
sosial yang sudah diformulasikan oleh para fuqaha (ulama fiqih) yang
telah memberikan pijakan terhadap hal tersebut dengan sebutan
kaidah fiqih dalam hal sosial.

3. Prinsip Dasar Muamalah


Prinsip mendasar dari muamalah adalah manusia diciptakan
sebagai khalifah di bumi untuk mengembangkan dan melestarikan
bumi. Bumi ditundukkan untuk diambil manfaatnya oleh manusia.
Firman Allah dalam surat al-An’âm ayat 165:7
َ َ َ ْ َ ََْ ْ ُ َ َْ َ ََ َ ْ َْ َ َ َ ْ ُ ََ َ ‫َُ ذ‬
ٍ ‫وه َو اَّلِي جعلكم خَلئِف اْلر ِض ورفع بعضكم فوق بع ٍض درج‬
‫ات‬

ٌ ‫يع الْعِ َقاب ِإَونذ ُه لَ َغ ُف‬


ٌ ‫ور َرح‬
‫ِيم‬
َ ‫ََُُْ ْ َ َ ُ ْ ذ َذ‬
ُ ‫ك ََس‬ ‫ِِلبلوكم ِِف ما آتاكم ۗ إِن رب‬
ِ ِ
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan
Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa
derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.
Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Firman Allah padasurat al-Mulkayat 15:
َ ُُ ُ ْ َ ‫َ َ َ َ ُ ُ ْ َ ْ َ َُ ا‬ ‫ُ ذ‬
ِ‫امشوا ِِف َم َناكِب ِ َها َوُكوا م ِْن رِ ْزقِهِ ۖ ِإَوِلْه‬ ‫ه َو اَّلِي جعل لكم اْلرض ذلوًل ف‬

ُ ‫النُّ ُش‬
‫ور‬

“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka


berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya.
Dan hanya kepadaPrinsip mendasar dari muamalah adalah manusia

7
Qs.Al an’am ayat 165

142 Suci Nur Assifah


diciptakan sebagai khalifah di bumi untuk mengembangkan dan melestarikan
bumi. Bumi ditundukkan untuk diambil manfaatnya oleh manusia.8”
Untuk mengelola bumi, manusia diberikan aturan main oleh
agama. Ada hal-hal yang harus dikerjakan oleh manusia tetapi ada
pula larangan yang harus ditinggalkannya. Ada yang halal dan ada
pula yang haram. Semua ini dibuat untuk mendatangkan
kemaslahatan bagi manusia.
Sebagai sistem kehidupan, Islam memberikan warna dalam
setiap dimensi kehidupan manusia, tak terkecuali dunia ekonomi.
Sistem Islam ini berusaha mendialektikkan nilai-nilai ekonomi dengan
nilai akidah atau pun etika. Artinya, kegiatan ekonomi yang dilakukan
oleh manusia dibangun dengan dialektika nilai materialisme dan
spiritualisme. Kegiatan ekonomi yang dilakukan tidak hanya berbasis
nilai materi, akan tetapi terdapat sandaran transendental di dalamnya,
sehingga akan bernilai ibadah. Selain itu, konsep dasar Islam dalam
kegiatan muamalah (ekonomi) juga sangat konsen terhadap nilai-nilai
humanisme.

4. Kaidah-Kaidah Fiqih Muamalah


ْ َ‫َ َ ْ ُ ْ َ ْ َ ْ َ َ َ ىَ َ ُ ىَ ْ ىَ ْ ُ َ َ ى‬
‫الح ىريْ ىم‬ ‫إل با حة حَت يد ل ال ىِلل لَع‬‫األصل ىِف األشيا ىء ا ى‬
Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan,
kecuali ada dalil yang mengharamkannya.9
Ulama fikih sepakat bahwa hukum asal dalam transaksi muamalah
adalah diperbolehkan (mubah), kecuali terdapat nash yang melarangnya.
Dengan demikian, kita tidak bisa mengatakan bahwa sebuah transaksi itu
dilarang sepanjang belum/tidak ditemukan nash yang secara sharih

8
Qs.Al-mulk ayat 15
9
A. Djazuli, “Kaidah-kaidah Fiqih”, (Jakarta : Prenadamedia Group), 2014 cet. Ke 5, 130

Hukum Dasar Muamalah adalah Boleh 143


melarangnya. Berbeda dengan ibadah, hukum asalnya adalah dilarang. Kita
tidak bisa melakukan sebuah ibadah jika memang tidak ditemukan nash
yang memerintahkannya, ibadah kepada Allah tidak bisa dilakukan jika
tidak terdapat syariat dari-Nya. Pokok dari kegiatan muamalah hukumnya
mubah (boleh). Kegiatan transaksi apapun hukumnya halal, selama tidak
ada nash yang mengharamkannya. Berbeda dengan ibadah, yang pokoknya
hukumnya haram, tidak boleh menjalankan suatu ibadah yang tidak ada
tuntunan syari’ahnya. Seperti firman Allah dalam surat Yunus ayat 59:
ُ ‫ج َعلۡ ُت ۡم م ِۡن ُه َح َر ااما ذو َحل ٰ اَل قُ ۡل آٰ ه‬
‫ّٰلل‬
ُ َ ُ ‫ُ ۡ َ َ َۡ ُ ۡ ذ َۡ َ َ ه‬
َ َ‫ـك ۡم م ِۡن ر ۡزق ف‬ ‫قل ارءيتم ماۤ انزل اّٰلل ل‬
ٍ ِ
َ َُ َۡ ‫َ َ َ ُ ۡ َۡ ََ ه‬
‫َت ۡون‬ ‫اذِن لـكم ام لَع اّٰللِ تف‬

Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah


kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal".
Katakanlah: "Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau
kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?"10
Kaidah ini menjadikan fikih muamalah fleksibel dan up to date.
Sehingga syari’ah dapat menangkap segala transaksi muamalah. Fikih
muamalah fleksibel, tidak kaku, dan tidak ketinggalan dalam menjawab
perkembangan kontemporer interaksi dan transaksi sosial. Fleksibilitas fikih
muamalah ini ditunjukkan dalam kaidah yang lain, yaitu: “Hukum asal
sesuatu itu boleh, hingga ada dalil yang mengharamkannya”.
Ibnu al-Qayyim melansir pendapat jumhur ulama bahwa “Hukum
asal dari akad dan persyaratan adalah sah selama tidak dibatalkan dan
dilarang oleh agama”.
Konsekwensi dari hukum asal muamalah boleh ini adalah memilah
dan memilih mana yang halal dan haram. Prinsip mengedepankan yang

10
Qs.Yunus ayat 59

144 Suci Nur Assifah


halal dan menjauhi yang haram, termasuk menjauhi transaksi berbau riba.
Firman Allah pada surat al-Baqarah ayat 275:

ۗ‫الربٰوا‬ َ ‫اّٰلل ْاْلَيْ َع َو َح ذر‬


‫م‬ ُ ‫َواَ َح ذل ه‬
ِ
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.11
Maksud kaidah ini adalah, bahwa dalam setiap muamalah dan
transaksi pada dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai,
kerjasama, perwalian, dan lainnya kecuali yang tegas-tegas
diharamkan oleh Islam seperti tipuan, judi, riba, dan lainnya yang
merugikan orang lain dan berakibat atau membahayakan pada dirinya
sendiri. Sebagai agama yang berprinsip pada kemaslahatan bersama,
tentu seorang Muslim tidak boleh diam dan harus terus berusaha
meningkatkan dan mengkaji apa yang harus dilakukan bagi
kemaslahatan bersama dalam konteks ajaran yang sudah dilakukan
dan dicontohkan oleh Nabi SAW, para shahabat dan para
shalafusshalih (orang-orang shalih) terdahulu.
Wakaf adalah ibadah maliyah yang berdimensi sosial ekonomi,
dimana masalah ekonomi merupakan ashlul masalah (masalah
pokok) yang menjadi penentu seseorang untuk bisa duduk dibangku
sekolah dengan keadaan sehat dan bahagia. Jika ekonominya lemah,
maka tidak akan berfikir sekolah atau berpendidikan lebih tinggi,
dikarenakan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari pun sulit. Oleh
karenanya Islam dengan syariatnya yang agung dan bertujuan mulia,
menganjurkan kepada para aghniya (orang kaya), muhsinin
(dermawan) mengeluarkan hartanya untuk diwakafkan di jalan Allah,
sehingga mampu memberikan jalan keluar pada mereka yang
membutuhkan bantuan (dhuafa). Para shahabat Rasulullah SAW,
seperti abu Bakar ra, Umar ra, Utsman ra dan Ali ra. mereka semua

11
Qs.Al-Baqarah ayat 275

Hukum Dasar Muamalah adalah Boleh 145


sudah menjalankan ibadah wakaf ini, sebagai manifestasi atas
ketaatan pada ajaran Rasulullah SAW sebagai shadaqah jariyah,
sekalipun yang mewakafkan sudah meninggal dunia, juga sebagai
manifestasi pada ajaran Islam pada dimensi sosial yang sangat
membantu umat manusia dalam keterpurukan di bidang ekonomi, jika
harta wakaf diberdayakan secara maksimal.
Berbicara masalah ekonomi umat, persoalan ini tidak akan
pernah berhenti selama denyut jantung kehidupan ini masih ada.
Masalah perekonomian, didalamnya pasti terjadi akad dalam proses
transaksi apapun. Seperti para pelaku pasar mereka melaku- kan
akad/transaksi jual beli, tawar menawar dan lainnya dengan itikad
baik agar saling menguntungkan dan didasari dengan sama-sama
ridha saat bertransaksi. Islam sudah merekamnya dengan kaidah fiqih
tentang transaksi atau akad:
ْ
‫اال صل يف العقد ر ىض املتعا قدين‬

“Dasar dari akad adalah keridhaan kedua belah pihak” 12


Demikian seseorang yang mewakafkan hartanya jika tidak ikhlas
dan tidak didasarkan untuk mencari keridhaan Allah SWT, hanya
sebatas berharap pujian orang, maka amal wakafnya hanya sia-sia dan
tidak mendaptkan pahala dan nilai di sisi Allah SWT. Oleh karenanya
jika seseorang berwakaf tidak boleh dipaksakan, tetapi dianjurkan agar
apa yang ia keluarkan merupakan kebajikan bagi dirinya dan
keluarganya. Demikian ketika seseorang sudah mewakafkan tanahnya
dan tanah tersebut sudah diambil alih oleh nadzir, maka tidak berhak
siapa pun untuk mengambil alih kepemilikannya karena sudah

12
A. Djazuli, “Kaidah-kaidah Fiqih”, 131. Lihat pula Karangan Haiatu Kibar al-Ulama bi al-
Mamlakah al- Arabiyyah al-Su’udiyah, 178, juz 1

146 Suci Nur Assifah


menjadi hak Allah SWT. untuk para dhuafa yang membutuhkan
pertolongan dan bantuan dari manfaat harta wakaf yang dikelola.
Oleh karenanya, Islam sangat mengapresiasi umatnya yang
ikhlas beramal dan selalu memperhatikan kepentingan umum
dibanding kepentingan pribadi,dalam al- Qur’an anjuran untuk
memiliki sifat itsar (mendahulukan kepentingan orang lain) direkam
dan diabadikan dalam QS. 9 (al-Hasyr) : 9 “dan mereka
mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka
juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran,
makamerekaitulah orang- orang yang beruntung”. Adapun asbab al-
nuzul (sebab turunnya) ayat di atas adalah berkenaan dengan kisah
seorang shahabat Rasulullah SAW dari kalangan Anshar yang
bernama Tsabit bin Qais bin Syammas ra., dari Imam Bukhari dan
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra.: “ada seorang laki-laki
datangmenemui Rasulullah SAW, lalu berkata, ‘wahai Rasulullah,
saya sedang mengalami kesulitan ekonomi dan kelaparan.’ Lalu
beliau mengutus seseorang untuk menemui para istri beliau dan
menanyakan apakah mereka memiliki sesuatu yang bisa digunakan
untuk membantu orang tersebut. Namun ternyata para istri beliau
tidak memiliki apa-apa yang bisa digunakan untuk membantu orang
tersebut. Lalu berkata, ‘Adakah kiranya seseorang yang berkenan
menjamu laki-laki ini malam ini,semoga Allah SWT merahmatinya.’
Lalu ada seorang laki-laki Anshar berdiri dan berkata, ‘Saya wahai
Rasulullah. ‘lalu ia pun pergi pulangdan berkata kepadaistrinya, ‘Ia
adalah tamu Rasulullah, gunakanlah apa pun yang kamu punya untuk
memberinya suguhan, ‘Lalu si istri berkata, ‘Sungguh aku tidak punya
apa- apa kecuali hanya makanan untuk anak-anak kita. ‘lalu ia
berkata, ‘Jika anak-anak minta makan malam, makatidurkanlah
mereka. Kemarilah kamu dan matikanlah lampu, malam ini kita tidak

Hukum Dasar Muamalah adalah Boleh 147


makan. ‘Lalu si istri pun melakukannya. Kemudian pada keesokan
harinya, laki-laki itu pergi menemui Rasulullah saw. Lalu beliau
berkata: “sungguh Allah SWT merasa kagum atau tersenyum
terhadap fulan dan fulanah”. ‘Lalu Allah SWT menurunkan surat ini
(QS. Al-Hasyr: 9). 13
Merujuk pada ayat di atas, betapa Islam sangat memberikan
apresiasi pada umat yang melakukan amal shaleh dengan
mendahulukan kepentingan orang lain (umum) dibanding
kepentingan pribadi. Sehingga dalam akhir ayat itu ditutup dengan
kalimat muflihun (orang-orang yang beruntung), maksudnya bahwa
orang yang mengutamakan kepentingan orang lain dibanding
kepentingannya, maka ia akan menjadi pribadi-pribadi yang
beruntung atau sukses, pribadi yang tidak egois, ambisius dan tamak
atau serakah. Kaitannya dengan qawaid fiqhiyyah (kaidah-kaidah
fiqih) sesuai dengan pembahasan pada topik ini, yaitu: “Kemaslahatan
umum lebih didahulukan daripada kemaslahatan pribadi14 ”
Wakaf merupakan salah satu ibadah maliyah dalam
perekonomian Islam, saat ini sangat digalakan pemerintah dan ia
didapat juga dari filantropi. Wakaf merupakan lembaga keagamaan
dan pranata sosial Islam yang mampu mewadahi dan menjawab salah
satu permasalahan ekonomi umat. Dengan wakaf yang dikelola secara
produktif, profesional dan amanah, maka kebutuhan masyarakat yang
membutuhkan bantuan baik dari sisi ekonomi, pendidikan dan
kesehatannya akan terpenuhi. Dalam wakaf, tujuan wakif sungguh
sangat mulia dan luhur. Ia wakafkan hartanya dengan tujuan menjadi
amal shaleh atau shadaqah jariyah, pahalanya akan terus mengalir
sekalipun yangmewakafkan sudah meninggal dunia. Berarti ia sudah

13
Wahbah al-Zuhaily, “at-Tafsir al-Munir fil aqidah wa al-syari’ah walmanhaj” Trj. Abd. Hayyi
dkk. (Depok: Gema Insani) Cet. 1, 2014
14
. Ibrahim bin Musa al-Syatiby” al-Muwafaqat,” , (Daar Ibnu Affan), 89 cet. 1, 1997

148 Suci Nur Assifah


mengamalkan ayat dan kaidah fiqih yang disebutkan di atas, dengan
mendahulukan kepentingan dan kemaslahatan umum di atas
kepentingan dan kemaslahatannya. Maka beruntung orang yang
mewa- kafkan hartanya di jalan Allah demi kepentingan umat
khususnya umat Islam. Ia akan memetik hasil kebaikannya di dunia
dan akhirat kelak. Di dunianya ia akan mendapatkan ketenangan dan
kebahagiaan karena sudah dapat memberikan manfaat bagi banyak
orang, dengannya orang lain dapat tersenyum dan hidup terbebas dari
himpitan kesulitan, sedangkan di akhirat akan memetik hasil dari apa
yang sudah ia laksanakan sebagai bentuk syukur atas karunia Allah
yang diberikan kepadanya. Mencermati perekonomian umat pada era
sekarang ini, jika tidak segera direspon dan diperbaiki keadaannya
oleh siapa pun yang berkompeten dalam masalah perekonomian,
seperti direspon oleh stakeholder negeri ini atau pengusaha yang ada
di negeri ini, maka kerusakan akan menimpa mereka, baik dari sisi
ibadah mahdhah (khusus) maupun ghair mahdhah (umum) atau
terjadinya interaksi yang tidak harmonis antara umat manusia,
disebabkan kekayaan yang tidak merata dan hanya dinikmati oleh
segelintir manusia saja. Islam sudah menjawab dalam kaidah fiqih
dengan mengutarakan penjelasannya sebagai berikut: “Kedudukan
seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus berorientasi kepada
kemashlahatannya15 ”
Pemimpin yang benar, ia akan selalu berorientasi untuk
kemaslahatan rakyatnya, kebijakannya tidak akan merugikan rakyat
bahkan sebaliknya akan selalu meng-untungkannya. Karena jika
pemimpin tidak melakukan demikian, akan terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan. Seperti masyarakat akan ditimpa kemurtadan karena

15
Al-Suyuthy, “Al-Asybah wa al-Nadzair,” (Beirut:Daar al-Kutub al-Ilmiyah), 121. Lihat pula pada
Ibnu Nujaim, “Al-Asybah wa al-Nadzir,” 123

Hukum Dasar Muamalah adalah Boleh 149


kefakiran yang diderita dan rusaknya muamalah atau interaksi dengan
sesama manusia, seperti terjadinya pertengkaran, perampokan,
penodongan dan lainnya, dikarenakan ketim-pangan dalam masalah
ekonomi dan kekayaan yang hanya dimiliki dan dirasakan oleh
segelintir orang karena kebijakan yang salah dan kekayaan yang tidak
merata. Tentu Islam tidak menghendaki dan sangat melarang akan hal
ini, selanjutnya diperkuat dalam kaidah fiqih lainnya, disebutkan:
“Kerusakan itu harus dihilangkan.. 16

Kaidah ini sesuai dengan hadits yang berbunyi: “ Tidak boleh
membahayakan dan dibahayakan”.
Maqasid al-syar’iyyah (tujuan diturunkannya syariat Islam)
salah satu tujuannya yaitu hifdzul maal (memelihara harta), harta
merupakan faktor terpenting yang harus dijaga keutuhannya,
sebagimana pentingnya memelihara maqasid al-syar’iyyah yang
lainnya. Ia sebagai penopang atau sarana keberlangsungan hidup
manusia di dunia menuju akhirat, mempertahankan dan
memeliharanya dengan tujuan sebagai sarana untuk beribadah kepada
Allah Yang Maha Pemberi rizki, merupakan sebuah kewajiban dan
keniscayaan bagi umat Islam yang beriman. Sebagaimana kaidah fiqih
menjelaskan: “ Jika sesuatu tidak sempurna kecuali dengan hal tersebut,
maka hal tersebut menjadi wajib17 ”
Harta sebagai penopang perekonomian umat merupakan sarana
yang wajib ada untuk menyempurnakan ibadah kepada Allah swt,
maka memeliharanya menjadi sebuah kewajiban bagi seorang
Muslim. Bagaimana ia bisa beribadah dengan baik jika sarananya

16
Abu Hasan al-Mawardy, Al-Hawy al-Kabir, (Beirut: Daar al-Fikr), 873, juz 6 lihat pula dalam
Zakaria bin Ghulam Qadir al-Bakistany pada “Ushul al-Fiqh ‘ala Manhaj ahl al-Hadits” (Daar al-
Kharaz),
17
Zakaria Muhiddin bin syaraf al-Nawawi, “al-Majmu’ Syarah al-Muhadzzab,” (Beirut: Daar al-
Fikr), 239, juz 5. Lihat pula pada Abdullah al-Fauzan, “Syarah al-Waraqat”, 49 cet. 3, juz 1

150 Suci Nur Assifah


tidak ada, bagaimana bisa membantu orang lain, seperti infaq,
shadaqah, berwakaf, jika dia sendiri tidak memiliki harta untuk
diinfakkan dan diwakafkan sebagai shadaqah jariyahnya.
Berdasarkan kaidah ini, pemberdayaan ekonomi masyarakat
demi kemashlahatan orang banyak adalah sebuah keniscayaan dan
menjadi tanggungjawab penuh peme-rintah sebagai stake-holder
penyelenggara negara, agar kelak pertanggungjawaban atas jabatan
tersebut di hadapan Allah tidak berat. Kebijakan-kebijakannya harus
berorientasi pada kepentingan masyarakat, bukan kepentingan
pribadi, sehingga tidak didapati seseorang yang kufur akibat dari
kelaparan dan kefakiran sebagai dampak dari kebijakan yang salah.
Oleh karenanya untuk konteks Negara Indonesia yang mayoritas
penduduknya Muslim, bahkan pimpinan negara pun harus seorang
Muslim, maka ketika bicara tentang kefakiran, akan sangat mungkin
yang mengalami kefakiran/krmiskinan adalah mayoritas umat Islam
yang notabene penduduk terbesar di Negara ini. Oleh karenanya,
maka yang sangat bertanggungjawab adalah tidak hanya para stake-
holder negeri ini tapi umat Islam yang mempunyai kelebihan harta
harus mengimplementasikan syariat atau ajaran Allah yang mulia,
seperti infaq, shadaqah jariyah yang disebut oleh para ulama sebagai
wakaf.

5. Contoh Penerapan Kaidah


Berikut ini adalah contoh kasus yang masuk dalam implementasi
kaidah ini :
a. Jika seseorang membeli setumpuk kayu dengan syarat kayu tersebut
diantar ke rumahnya atau digergaji di tempat tertentu maka jual beli
dan persyaratan tersebut sah karena hukum asal persyaratan itu
adalah boleh.

Hukum Dasar Muamalah adalah Boleh 151


b. Jika penjual mengatakan, “Aku jual barang ini jika si Fulan rela.”
Atau ia mengatakan, “Aku jual barang ini jika si Fulan datang.”
Menurut madzhab Hambali, jual beli dengan persyaratan
seperti ini tidak sah disebabkan tidak adanya perpindahan
kepemilikan. Karena ada kemungkinan si Fulan rela atau tidak rela,
dan ada kemungkinan si Fulan datang dan mungkin juga tidak.
Sedangkan hukum asal dalam jual beli adalah berpindahnya barang
dagangan dari si penjual kepada si pembeli setelah sempurnanya
akad. Maka persyaratan tersebut menyebabkan akad itu tidak sah.
Namun pendapat yang kuat adalah akad dan persyaratan tersebut
sah. Karena hukum asal persyaratan dalam jual beli adalah
diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya dan tidak ada
dalil yang melarang persyaratan ini. Maka, jika si pembeli setuju
dengan syarat tersebut maka ia boleh meneruskan akad jual beli.
Namun jika ia tidak setuju maka tidak ada kewajiban baginya untuk
meneruskan akad itu. Jika ada yang mengatakan, “Bukankah akad
tersebut masih menggantung dan kepemilikannya belum berpindah
?” Kita jawab bahwa justru itulah tujuan penetapan syarat tersebut.
Artinya, si penjual tidak mau kepemilikan barang itu berubah
kecuali jika si Fulan rela dengan jual beli itu atau jika si Fulan
datang.
c. Persyaratan ‘inah18 dalam jual beli. Apabila seseorang mengatakan,
“Saya jual barang ini kepadamu dengan harga 1.000 dirham dengan
cara kredit, dengan syarat engkau menjualnya kembali kepadaku
dengan harga 800 dirham secara tunai.” Persyaratan tersebut tidak

18
Yang dimaksud ‘inah adalam jual beli adalah apabila seseorang menjual barang secara tidak tunai
kepada seorang pembeli, kemudian ia membelinya lagi dari pembeli tadi secara tunai dengan harga
lebih murah. (Lihat Kitab al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, Nukhbah min al-
‘Ulama’, 1424 H, Majma’ al-Malik Fahd li Taba’at al-Mus-haf as-Syarif, al-Madinah al-Munawwarah,
hlm. 217).

152 Suci Nur Assifah


diperbolehkan. Meskipun persyaratan dalam jual beli hukum
asalnya boleh, namun khusus untuk persyaratan seperti ini dilarang
karena ada dalil yang melarang, seperti sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam :
ْ َ
‫ َوت َرك ُت ْم‬,‫الز ْر ِع‬
‫يت ْم ب ذ‬ ِ َ َ‫ َوأَ َخ ْذ ُت ْم أَذْن‬,ِ‫ينة‬
ُ ‫ َو َرض‬,‫اب ا َ ْْلَ َقر‬ َ ‫إ َذا َت َب َاي ْع ُت ْم بالْع‬
ِ ِ
ِ ِ ِ

ُ َ ُ َْ َ ُ‫َ ْ َ َ َ ذَ َ ذ‬
ْ َ ‫ك ْم ُذ اًل ًَل يَ ْ ُ ُ َ ذ‬
‫ج ُعوا إَِل دِين ِك ْم‬
ِ ‫ْنعه حَّت تر‬ِ ‫ سلط اّٰلل علي‬,‫ْلهاد‬
ِ ‫ا‬

Apabila kalian berjual beli dengan sistem ‘inah (salah satu


bentuk riba), dan memegang ekor-ekor sapi, dan ridha dengan
pertanian (terlena dengan kehidupan dunia) dan meninggalkan
jihad, maka Allâh akan menurunkan kehinaan kepada kalian. Dia
(Allâh) tidak akan mengangkat kehinaan tersebut sehingga kalian
kembali ke agama kalian19
d. Seseorang menjual rumahnya dengan syarat dia masih diijinkan
menempatinya dalam waktu tertentu. Persyaratan seperti ini
diperbolehkan. Demikian pula jika seseorang menjual hewan
peliharaannya dengan syarat masih diijinkan memanfaatkannya
selama waktu tertentu.20
e. Apabila seseorang menjual budaknya dengan syarat si pembeli
membebaskan budak itu setelah dibeli, maka hal itu diperbolehkan.
Ini pendapat yang masyhur dalam madzhab Hambali. Karena
hukum asal menetapkan syarat dalam jual beli itu diperbolehkan
selama tidak ada dalil yang secara khusus melarang penetapan
syarat tersebut. Dalam hal ini, apabila dikemudian hari, si pembeli

19
HR. Abu Dâwûd no. 3462 dari ‘Abdullah bin ‘Umar c . Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh
Muhammad Nashiruddin al-Albani t dalam Silsilah al-Ahâdîts as-Shahîhah no. 11
20
Sebagimana disebutkan dalam HR. al-Bukhari dalam Kitab as-Syurûth, no. 2718. Muslim dalam
Kitab al-Musaqât, no. 1599 dari Jâbir bin ‘Abdillâh Radhiyallahu anhu.

Hukum Dasar Muamalah adalah Boleh 153


menolak untuk membebaskan budak itu, maka hakim berhak
memaksanya untuk membebaskan budak itu.
f. Apabila seseorang menjual suatu barang dengan syarat seandainya
di kemudian hari si pembeli akan menjual kembali barang itu maka
si penjual pertama yang paling berhak untuk membelinya. Dalam
kasus seperti ini sebagian Ulama’ mengharamkan persyarataan
tersebut. Karena si pembeli tidak memiliki kebebasan untuk
menjual barangnya kepada yang ia kehendaki, yang hal itu
bertentangan dengan hakikat kepemilikan atas barang. Namun
menurut pendapat yang kuat, jual beli tersebut sah, demikian pula
persyaratannya. Karena hukum asal persyaratan dalam jual beli
adalah diperbolehkan, kecuali ada dalil yang melarangnya. Dalam
hal ini, tidak ada dalil yang secara khusus menunjukkan larangan
terhadap syarat tersebut. Jadi, jika si pembeli ridha dengan syarat
tersebut maka ia bisa meneruskan akad itu, namun jika tidak, maka
dia tidak wajib untuk melanjutkannya. Dalam hal ini, jika di
kemudian hari si pembeli menjual barang itu namun tidak mau
menjualnya kepada si penjual pertama, maka hakim berhak
memaksanya untuk menjualnya kepada pembeli pertama itu.
Karena sejak semula ia telah bersedia dengan persyaratan tersebut
dan telah menyetujuinya. Ini juga adalah pendapat yang dipilih
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.21

21
Diangkat dari Talqih al-Afham al-‘Aliyyah bi Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Syaikh Walid bin
Rasyid as-Sa’idan, Kaidah Ke-30.

154 Suci Nur Assifah


C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa
kaidah-kaidah fiqih tentang masalah sosial adalah kaidah atau prinsip
yang berhubungan dengan fiqih muamalah atau akad/transaksi yang
dilakukan oleh manusia yang berakal, baligh dan cerdas (tidak idiot)
yang berhubungan dengan masalah keduniawian. Dalam Islam apa
pun yang dilakukan oleh manusia, bagi seorang muslim ia harus
senantiasa terhubung dengan Allah sebagai implementasi QS. 51:56,
yang maksudnya bahwa Allah tidaklah menciptakan jin dan manusia
melainkan hanya untuk beribadah kepada Allah SWT. siapapun
manusia itu, apakah dia pejabat, rakyat, berpangkat atau tidak, miskin
dan kaya jika dia beriman, maka yang dia lakukan harus diniatkan dan
didasarkan dalam rangka menjalankan perintah-Nya.
Adapun jenis-jenis muamalah atau bertransaksi dengan manusia
itu, para ulama fiqih membagi kepada:
Pertama, Jenis muamalah yang hukumnya ditunjuk langsung
oleh nash (al-Quran dan al-Sunnah) dengan memberikan batasan
tertentu, karena Allah SWT mengetahui bahwa manusia sulit untuk
menemukan kebenaran hakiki dalam persoalanpersoalan tertentu.
Bahkan dengan ego dan hawa nafsunya terkadang ia tidak memahami
maksud dan tujuan dari yang Allah sudah syariatkan melalui al-Quran
dan alSunnah. Seperti masalah wakaf, wakaf merupakan shadaqah
jariyah yang berkaitan dengan muamalah. Ia sudah dijelaskan oleh
Allah melalui hadits Nabi SAW dan sunahnya. Mengapa demikian?
Karena jika tidak langsung diperintahkan secara jelas akan manfaat
dan pahalanya, maka manusia yang watak dasarnya bakhil (pelit) ia
tidak akan mudah untuk berinfak/shadaqah (wakaf) karena ini adalah
amalan yang sifatnya sunnah, sehingga Allah SWT. melalui ayat-

Hukum Dasar Muamalah adalah Boleh 155


ayatnya memberikan iming-iming pahala sebagai balasannya, karena
jika tidak demikian sangat jarang manusia yang mau
melakukannya,bahkan mungkin tidak ada disebabkan karena ego dan
nafsu serakahnya yang lebih mendominasi keduaniaannya.
Selain contoh tersebut ada pula diantara muamalah yang
langsung ditentukan oleh Allah dalam hal-hal yang wajib adalah
persoalan warisan, bilangan thalak, ‘iddah, khulu’, rujuk, keharaman
khamar, keharaman babi, keharaman bangkai, dan keharaman riba.
Dalam persoalan pidana, misalnya: Allah juga memberikan jenis dan
jumlah hukuman tertentu kepada pelaku pencurian, perzinahan, dan
qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina). Hukum-hukum seperti di
atas ini bersifat permanen dan tidak dapat diubah dan tidak menerima
perubahan.dalam hukum-hukum seperti inilah, adakalanya manusia
sulit menemukan kebenaran hakiki dari yang dikehendaki Allah.
Dalam kaitan dengan ini, Allah sering sekali dalam al-Quran
menegaskan dan mengingatkan kepada manusia akan karunia dan
rahmat Allah di akhir setiap ketentuan yang dibatasi seperti
dikemukakan di atas. Sebenarnya ketentuan-ketentuan yang
disebutkan di atas, merupakan kehendak Allah untuk ummatnya agar
kehidupan mereka maslahat, tenang,nyaman, sentosa dan damai.
Baik untuk jangka waktu yang panjang seperti di akhirat nanti dan
waktu yang jangka pendek yaitu di dunia.
Kedua, Jenis muamalah yang tidak ditunjuk langsung oleh nash,
tetapi diserahkan sepenuhnya kepada hasil ijtihad para ulama, sesuai
dengan kreasi para ahli dalam rangka memenuhi kebutuhan ummat
manusia sepanjang tempat dan zaman, serta sesuai pula dengan situasi
dan kondisi masyarakat itu sendiri. Untuk bidang muamalah seperti
ini, syariat Islam hanya mengemukakan kaidah-kaidah dasar, kriteria-
kriteria dan prinsip prinsip umum yang sejalan dengan kehedak syara’.

156 Suci Nur Assifah


Diantara prinsip, kaidah dan kriteria muamalah seperti ini
sebagaimana sudah dikemukakan di atas. Maka muamalah dalam
bentuk kedua ini merupakan rahmat Allah yang besar yang diberikan
kepada ummat Islam, dengan memberikan kebebasan bagi mereka
untuk melakukan kreasi jenis muamalah yang sesuai dengan tuntutan
zaman, tempat, dan kondisi mereka serta bertujuan untuk memenuhi
kemaslahatan bersama. Dalam hal ini syariat Islam hanya
memberikan criteria, dasar, dan prinsip umum yang harus dijadikan
pedoman dalam menciptakan suatu bentuk muamalah, diluar yang
disebutkan oleh nash. Kriteria, dasar, dan prinsip umum tersebut pada
garis besarnya adalah memberikan manfaat bagi umat manusia dan
tidak membawa mudharat bagi mereka.
Demikian wakaf sekalipun ia adalah amalan yang berisfat
sunnah, tapi ia merupakan muamalah yang sudah ditentukan syarat
dan rukunnya oleh nash al-Quran dan alSunnah, keberadaannya
sangat diapresiasi, utamanya bagi mereka yang membutuhkan
bantuan agar dapat meringankan bebannya. Oleh karenanya bagi para
nadzir harus benar-benar amanah, profesional dan akuntabel dalam
pengelolaannya sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh ummat
Islam yang membutuhkan bantuan.

D. DAFTAR PUSTAKA
A. Djazuli. 2014. Kaidah-kaidah Fiqih. Jakarta : Prenadamedia Group
Wahbah al-Zuhaily.2014. at-Tafsir al-Munir fil aqidah wa al-syari’ah
walmanhaj Trj. Abd. Hayyi, dkk. Depok: Gema Insani Cet. 1
Ibrahim bin Musa al-Syatiby. 1997. al-Muwafaqat. Daar Ibnu Affan
Al-Suyuthy. Al-Asybah wa al-Nadzair. Beirut : Daar al-Kutub al-Ilmiyah
Zakaria Muhiddin bin syaraf al-Nawawi. al-Majmu’ Syarah al-Muhadzzab.
Beirut: Daar al-Fikr

Hukum Dasar Muamalah adalah Boleh 157


158 Suci Nur Assifah
BAB 9
UNGKAPAN DALAM AKAD ADALAH
MAKSUD DAN SUBSTANSI
WARDIANTO DARMAWAN
AHSANUDIN HUSNUL MA’AB

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Akad menjadi penting dalam masyarakat. Karena akad
merupakan penghubung setiap orang dalam memenuhi kebutuhan
dan kepentinggannya yang tidak dapat dipenuhinya sendiri tanpa
bantuan dan jasa orang lain. Sehingga dikatakan bahwa akad
merupakan sarana sosial yang mendukung manusia sebagai makhluk
sosial. Kata akad berasal dari kata al-‘aqd, yang berarti mengikat,
menyambung atau menghubungkan (al-rabt). Akad merupakan
keterkaitan atau pertemuan ijab dan kabul yang berakibat timbulnya
akibat hukum. Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh salah satu
pihak, dan kabul adalah jawaban persetujuan yang diberikan mitra

Ungkapan Dalam Akad adalah Maksud dan Subtansi 159


akad sebagai tanggapan terhadap penawaran pihak yang pertama.
Akad tidak terjadi apabila pernyataan kehendak masing-masing pihak
tidak terkait satu sama lain karena akad adalah keterkaitan kehendak
kedua pihak yang tercermin dalam ijab dan kabul.1
Dalam muamalah terdapat berbagai macam akad di bidang
transaksi perekonomian, salah satu bentuk akad yang sering dilakukan
oleh Rasulullah SAW adalah jual beli. Karena itu Islam tidak
menghendaki adanya unsur kebathilan dalam memperoleh
keuntungan dari berdagang. Seperti praktik riba, penipuan, dan unsur
lain yang bertentangan dengan shari‘ah Islam Oleh karena itu wajib
hukumnya berlaku jujur dalam bertransaksi dan diharamkan untuk
bermanipulasi yang mengakibatkan unsur haram masuk di dalamnya.
Kriteria halal dalam bertransaksi dapat dicapai seseorang dengan
cara memperhatikan syarat dan rukun dari transaksi tersebut, terlebih
pada objek yang diperjualbelikan. Islam mengajarkan kepada manusia
untuk berlaku adil dalam jual beli. Hal ini perlu ditegaskan agar tidak
ada pihak yang merasa dirugikan.

2. Rumusan Masalah
a. Apa Pengertian akad?
b. Apa Rukun ,Syarat dan Substansi akad?
c. Apa Sumber Hukum Akad?
d. Apa Dinamika akad dalam transaksi Syariah?
e. Apa Hikmah dibalik akad-akad ekonomi Syariah?

3. Tujuan Penulisan
Mengetahui pengertian akad, rukun dan syaratnya, penempatan akad
dalam transaksi, substansi akad, dinamika akad dan rahasia hikmah dibalik

1
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 68-69

160 Wardianto Darmawan | Ahsanudin Husnul Ma’ab


akad ekonomi syariah Untuk mengetahui pengertian dari Qawa’id
Fiqhiyyah.

B. PEMBAHASAN
1. Teks Kaidah
ْ ْ ْ ْ ُُْْ ُ ْ
َ َ‫اظَوالمب ِاِن‬
ِ ‫اص ِدَوالمع ِاِنَلَلِْللف‬ َ ‫اَل ِع ْْبة َِِف‬
ِ ‫َالعقو ِدَلِلمَق‬
“Yang menjadi pegangan dalam akad adalah tujuan dan maknanya
bukan lafadh dan susunannya”

2. Dasar Hukum Kaidah


a. Al-Quran
Alquran sebagai salah satu sumber hukum Islam yang utama,
dalam masalah akad, sebagaian besar hanya mengatur kaidah-
kaidah hukum. Hal ini dapat dilihat dari isi ayat-ayat Alquran
sebagai berikut:
 Qs. al-Baqarah (2): 188
ُ ْ َ ِ ‫َ ُ ْ ُ ْ َ ْٓ َ ْ ُ ا‬
ْ‫كلُوا‬ َ ْ ْ ُ َ ْ َ ْ ُ َ َ ْ َ ْْٓ ُ ُ ْ َ َ َ
‫وَل تأكلوا اموالكم بينكم بِاْلاط ِِل وتدلوا بِها ا َِل اْلَّكم ِلِ أ‬

َ َ َ َْ ْ ْ َ ً َ
ࣖ ‫اس بِاَلِث ِم َوان ُت ْم ت ْعل ُم ْون‬
ِ ‫ف ِريْقا ِّ ِم ْن ا ْم َوا ِل انلا‬

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian


yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah)
kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.2

2
12 Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya (Semarang Toha Putra, 2002), h. 36.

Ungkapan Dalam Akad adalah Maksud dan Subtansi 161


 Qs. al-Baqarah (2): 275
‫َ ا ْ َ َ ْ ُ ُ ْ َ ِّ ٰ َ َ ُ ْ ُ ْ َ ا َ َ َ ُ ْ ُ ا ْ َ َ َ ا ُ ُ ا‬
ُ‫الشيْ ٰطن‬ ‫الربوا َل يقومون ا َِل كما يقوم اَّلِي يتخبطه‬
ِ ‫اَّلِين يأكلون‬
ْ ُ ‫َ ْ َ ِّ ٰ َ َ ا ُ ْ َ ُ ْْٓ ا َ ْ َ ْ ُ ْ ُ ِّ ٰ َ َ َ ا ه‬
‫اّٰلل اْلَيْ َع َو َح ار َم‬ ‫الربواۘ واحل‬
ِ ‫مِن الم ِسِّۗ ذل ِك بِانهم قالوا ا ِنما اْليع مِثل‬
‫َ ه‬ َ ََ ََ ٰ ْ َ ٌ َ َ ‫الربٰواِّۗ َف َم ْن َج‬
ِّۗ ِ‫اۤء ٗه َم ْوعِظة ِّم ِْن ار ِّبِهٖ فان َتٰه فل ٗه َما َسلفِّۗ َوا ْم ُر ٗهْٓ ا َِل اّٰلل‬ ِ
ِّ

َ ُ ٰ َْ ْ ُ ‫َ َ ْ َ َ َُ ٰ َ َ ْ ٰ ُ ا‬
‫ِل ْون‬
ِ ‫ومن َعد فاولۤ ِٕىك اصحب انلارِ ۚ هم فِيها خ‬

”Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri


melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang
mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.3
 Qs. al-Maidah (5): 1
ْٰ ‫ٰٓ َ َ ا ْ َ ٰ َ ُ ْْٓ َ ْ ُ ْ ْ ُ ُ ْ ُ ا ْ َ ُ ْ َ ْ َ ُ ْ َ ْ َ ا‬
‫ام ا َِل َما ُيتٰل‬
ِ ‫يايها اَّلِين امنوا اوفوا بِالعقودِِۗ احِلت لكم ب ِهيمة اَلنع‬

ُ ْ َ َ ‫َ َ ْ ُ ْ َ ْ َ ُ ِّ ا ْ َ َ ْ ُ ْ ُ ُ ٌ ا ه‬
‫اّٰلل َيك ُم َما يُ ِريْ ُد‬ ‫عليكم غْي ُم ِِٰل الصي ِد وانتم حرم ِّۗ ا ِن‬

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.


Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan
kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu

3
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, h. 58.

162 Wardianto Darmawan | Ahsanudin Husnul Ma’ab


ketika kamu sedang mengerjakan haji.Sesungguhnya Allah
menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.4
 Qs. al-Jum’ah (62): 9
ْ ٰ ُ ْ ‫ِلصلٰوة ِ م ِْن يا ْو ِم‬
ْ َ‫اْل ُم َعةِ ف‬
‫اس َع ْوا ا َِل ذِك ِر‬ َ ‫يٰٓاَي َها ااَّل ِْي َن ا ٰ َم ُن ْْٓوا ا َِذا نُ ْود‬
‫ِي ل ا‬

َ َ َ ْ ُ ْ ُ ‫ه َ َ ُ َْْ َ ٰ ُ ْ َ ٌْ ا‬
‫ْي لك ْم ا ِن كن ُت ْم ت ْعل ُم ْون‬ ‫اّٰللِ وذروا اْليعِّۗ ذل ِكم خ‬

“Hai orang-orang yang beriman apabila diseru untuk


menunaikan sembahyang pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu
kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.Yang demikian itu
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.5
Masih banyak lagi ayat-ayat lainnya dalam Alquran yang
mengatur tentang mu’amalah.
b. Hadist
Ketentuan-ketentuan mengenai mu’amalah dalam hadis lebih
terperinci dari pada dalam Alquran.Namun, perincian ini tidak
terlalu mengatur hal-hal yang sangat mendetail. Hadis-hadis
tersebut antara lain dapat dilihat sebagai berikut:
Dari Abdi rahman Bin Syimasah sesungguhnya dia
mendengar ‘Uqbah bin ‘Amir berkata, Rasullah Saw., bersabda:
orang mu’min satu dengan lainnya bersaudara, tidak boleh membeli
barang yang sedang dibeli saudaranya, dan meminang pinangan
saudaranya sebelum ia tinggalkan.
Rasulullah Saw., bersabda orang muslim itu berserikat dalam tiga
hal: yaitu rumput, air, dan api.

4
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, h. 141.
5
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, h. 811

Ungkapan Dalam Akad adalah Maksud dan Subtansi 163


c. Ijtihad
Kedudukan ijtihad dalam bidang mu’amalah memiliki perang
yang sangat penting. Hal ini disebabkan, bahwa sebagaian besar
ketentuan-ketentuan mu’amalah yang terdapat dalam Alquran dan
hadis bersifat umum. Sedangkan dalam pelaksanaannya di
masyarakat, kegiatan mu’amalah selalu berkembang di sesuaikan
dengan kebutuhan masyarakat.
Ijtihad mengenai perikatan Islam telah banyak dilakukan oleh
para Imam mazhab, baik mengenai definisi akad, rukun akad,
maupun syarat-syaratnya. Pada masa sekarang ini bentuk ijtihad
dilapangan hukum perikatan dilaksanakan secara kolektif oleh para
ulama yang berkompoten di bidangnya. Sebagai bukti di Indonesia,
pada bulan April 2000 telah berbentuk DSN yang merupakan
bagian dari majelis ulama atau MUI. Dewan Syari’ah Nasional itu
adalah dewan yang menangani masalah-masalah yang
berhubungan dengan aktivitas lembaga keuangan syari’ah.23
Keputusan ini menjadi salah satu langkah dalam melaksanakan dan
mengembangkan syariat Islam di Indonesia. Dari ketiga sumber
tersebut, maka umat Islam dimanapun berada dapat
mempraktekkan kegiatan usahanya dalam kehidupan sehari.

3. Pengertian Akad
Akad merupakan bidang kajian hukum ekonomi Islam atau
muamalah. Term akad berasal dari bahasa Arab, al-‘aqd, yang berarti
“mengikat, menyambung atau menghubungkan.”6 Secara
terminologis hukum Islam, akad memiliki beberapa definisi, namun
secara prinsip dapat dikategorikan dalam dua bentuk, yaitu:

6
Ahmad Abu Fath, al-Mu’amalat fi al-Syari’ah al-Islamiyyah wa al-Qawanin al-Misriyyah (Kairo:
‘Isa al-Babial-Halabi, 1947), h. 139.

164 Wardianto Darmawan | Ahsanudin Husnul Ma’ab


a. Menurut pasal 262 Mursyid al-Hairan ila Ma’rifah Ahwal al-Insan,
bahwa akad merupakan pertemuan gaib yang diajukan oleh salah
satu pihak dengan kabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat
hukum pada objek akad.7
b. Menurut Syamsul Anwar, akad adalah pertemuan ijab dan kabul
sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk
melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya.8
Berdasarkan definisi di atas dapat dipahami adanya keterkaitan
atau hubungan hukum. Pertama, akad merupakan pertemuan atau
keterkaitan ijab dan kabul yang mendorong munculnya akibat hukum.
Karena ijab merupakan penawaran yang diajukan oleh satu pihak,
sedangkan kabul adalah jawaban persetujuan yang diberikan mitra
akad sebagai tanggapan terhadap penawaran pihak yang pertama.
Akad tidak terjadi apabila pernyataan kehendak masing-masing pihak
tidak terkait satu sama lain. Sebab akad menghendaki keterkaitan
kehendak kedua belah pihak yang tercermin dalam ijab dan kabul.
Kedua, akad merupakan tindakan hukum dua pihak, karena di dalam
akad pertemuan ijab yang merepresentasikan kehendak dari satu pihak
sedangkan kabul yang menyatakan kehendak pihak lain. Tindakan
hukum satu pihak seperti janji memberi hadiah, wasiat, wakaf atau
pelepasan tidak termasuk akad, karena tindakan-tindakan itu bukan
merupakan tindakan dua pihak, sehingga tidak membutuhkan kabul.
Sebagian besar ulama fiqaha memang memisahkan secara tegas
kehendak sepihak dari akad, tetapi sebagian yang lainnya menjadikan
akad mencakup kehendak sepihak. Bahkan ketika membahas berbagai
ragam akad khusus, para fuqaha tidak membedakan antara akad dan

7
Muhammad Qadri Basya, Mursyid al-Hairan ila Ma’rifat Ahwal al-Insan (Cet. 2; Kairo: Dar al-
Furjani, 1403H/1983 M), h. 49; dalam Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari’ah, Studi tentang
Teori Akad dalam Fikih Muamalat (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), h. 68.
8
Ibid.

Ungkapan Dalam Akad adalah Maksud dan Subtansi 165


kehendak sepihak sehingga membahas pelepasan hak, wasiat dan
wakaf bersama-sama dengan pembahasan jual-beli, sewa menyewa,
termasuk diskusi tentang hibah sebagai transaksi yang harus
membutuhkan ijab dan kabul atau ijab saja. Ketiga, tujuan akad
adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum. Jelasnya, tujuan akad
adalah maksud bersama yang dituju dan yang hendak diwujudkan
oleh para pihak melalui perbuatan akad. Akibat hukum akad dalam
hukum Islam disebut “hukum akad.” Tercapainya akad tercermin
pada terciptanya akibat hukum. Misalnya, maksud para pihak dalam
akad jual beli adalah untuk melakukan pemindahan atas suatu benda
dari penjual kepada pembeli dengan imbalan yang diberikan oleh
pembeli. Terjadinya pemindahan milik tersebut merupakan akibat
hukum akad jual beli.9 Dalam rangka merealisasikan hukum akad,
para pihak memikul beberapa kewajiban yang sekaligus merupakan
hak pihak lain. Misalnya, dalam akad jual beli, penjual berkewajiban
menyerahkan barang yang merupakan hak pembeli dan pembeli
berkewajiban menyerahkan harga yang merupakan hak penjual. Hak
dan kewajiban ini disebut hak-hak akad. Sedangkan akibat hukum
akad dibedakan atas dua macam, yakni:
a. hukum pokok akad adalah akibat hukum yang ditentukan oleh
syara, seperti dalam jual beli berupa pemindahan milik atas suatu
barang dari penjual kepada pembeli dengan suatu imbalan dari
pembeli
b. hukum akad tambahan adalah akibat hukum yang ditentukan oleh
para pihak sendiri, misalnya penyerahan barang di rumah pembeli
atau penjual pengantar ke tempat pembeli dan sebagainya.

9
Ibid., h. 70-71

166 Wardianto Darmawan | Ahsanudin Husnul Ma’ab


4. Rukun, Syarat dan Substansi Akad
a. Rukun Akad
Menurut hukum Islam, unsur-unsur yang membentuk sesuatu
disebut rukun. Jadi, rukun adalah unsur-unsur yang membentuk
sesuatu, sehingga sesuatu itu terwujud karena adanyaunsur-unsur
tersebut yang membentuknya. Unsur-unsur yang membentuk akad
yang disebut sebagai rukun akad yang disepakati ada empat
macam, yaitu:
 Para pihak yang membentuk akad
 Pernyataan kehendak para pihak
 Objek akad, dan
 Tujuan akad.10
Para ulama fiqih sepakat bahwa rukun adalah unsur yang
membentuk substansi sesuatu. Tetapi, ketika rukun itu diterapkan
secara nyata kepada akad, ada perbedaan pendapat tentang unsur
mana dari rukun itu yang membentuk akad. Menurut mazhab
Hanafi, yang dimaksud rukun akad adalah unsur-unsur pokok yang
membentuk akad. Akad sendiri adalah pertemuan kehendak para
pihak dan kehendak itu diungkapkan melalui pernyataan kehendak
yang berupa ucapan atau bentuk ungkapan lain dari masing-masing
pihak.11 Padangan tersebut menunjukkan, bahwa unsur pokok yang
membentuk akad itu hanyalah pernyataan kehendak masing-
masing pihak berupa ijab dan kabul. Adapun para pihak dan objek
akad adalah suatu unsur luar, tidak merupakan esensi akad, dan
karena itu bukan rukun akad. Rukun hanya substansi internal yang
membentuk akad yakni ijab dan kabul. Walaupun mazhab Hanafi
berpandangan bahwa rukun akad hanyalah ijab dan kabul, namun

10
Ibid., h. 97. Lihat pula Al-Zarqa, Al-Fiqh al-Islam fi Tsaubihi al-Jadid (Damaskus: Maktabi Alifba
al-Adib, 1968), h. 322.
11
Syamsul Anwar, op.cit., h. 97.

Ungkapan Dalam Akad adalah Maksud dan Subtansi 167


mereka mengakui tidak mungkin adanya akad tanpa adanya para
pihak yang membuatnya dan tanpa adanya objek akad. Al-Zarqa
dalam menyikapi perbedaan pendapat itu mengemukakan, bahwa
keempat unsur yang disebutkan di atas dinamakan unsur akad dan
salah satu unsur adalah rukun akad yaitu ijab dan kabul. Menurut
al-Zarqa, empat unsur akad adalah
 para pihak
 objek akad
 tujuan akad, dan
 rukun akad.
Sehingga yang dimaksud dengan rukun akad adalah
pernyataan kehendak para pihak yaitu ijab dan kabul.12

b. Syarat Akad
Setiap rukun (unsur) yang membentuk akad membutuhkan
syarat-syarat agar unsur (rukun) itu dapat berfungsi membentuk
akad. Syarat adalah bagian-bagian yang mendukung berfungsinya
rukun untuk membentuk akad. Tanpa adanya syarat-syarat itu,
rukun tidak dapat membentuk akad. Syarat-syarat dalam rukun
akad, adalah
Rukun pertama, para pihak memerlukan syarat hukum yaitu
1) tamyiz, dan
2) berbilang pihak.
Rukun kedua, pernyataan kehendak para pihak
membutuhkan syarat:
1) adanya persesuaian ijab dan kabul, atau kata sepakat, dan
2) kesatuan majelis akad.

12
Ibid.

168 Wardianto Darmawan | Ahsanudin Husnul Ma’ab


Rukun ketiga, objek akad harus memenuhi tiga syarat:
1) objek itu dapat diserahkan,
2) tertentu atau dapat ditentukan, dan
3) objek itu dapat ditransaksikan.
Rukun keempat, tujuan akad memerlukan satu syarat yakni
tidak bertentangan dengan syara.13 Selain rukun dan syarat
terbentuknya akad, para fuqaha masih memperdebatkan kualitas
akad sebagai syarat penyempurna baik untuk keabsahan akad,
berlakumya akibat hukum, maupun kekuatan mengikat dari suatu
akad. Kualitas akad dimaksud, adalah:
1) Syarat Keabsahan Akad
Rukun dan syarat terbentuknya akad tersebut
membutuhkan kualitas tambahan sebagai unsur penyempurna
terhadap sahnya suatu akad. Rukun pertama dengan dua syarat
terbentuknya; yaitu tamyiz dan berbilang pihak tidak
membutuhkan sifat penyempurna. Pada rukun kedua, yang
salah satu syaratnya adalah kesatuan majelis akad, menurut
jumhur fuqaha memerlukan sifat penyempurna yaitu
persetujuan ijab dan kabul harus dicapai secara bebas tanpa
paksaan dan jika terjadi paksaan, akadnya fasid. Namun
menurut ulama Hanafiah, bahwabebas dari paksaan bukan
syarat keabsahan akad, melainkan syarat berlakunya akibat
hukum. Objek akad sebagai syarat ketiga dengan ketiga
syaratnya memerlukan unsur penyempurna. Syarat “dapat
diserahkan” membutuhkan unsur penyempurna, yakni
penyerahan tidak menimbulkan kerugian, sedangkan syarat
“objek akad harus tertentu” memerlukan kualifikasi

13
Ibid., h. 98. Ali Hasan menyebut syarat objek akad: berbentuk harta, dimiliki seseorang dan bernilai
menurut syara. Lihat Ali Hasan, Berbagai Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat) (Cet. I; Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2003), h. 106.

Ungkapan Dalam Akad adalah Maksud dan Subtansi 169


penyempurna yakni tidak mengandung garar. Sedangkan syarat
“objek akad harus dapat ditransaksi” memerlukan unsur
penyempurna yakni haru bebas dari riba. Apabila unsur
penyempurna syarat itu mengandung kerugian, garar, serta riba,
akadnya menjadi fasid. Akad yang telah memenuhi rukun,
syarat terbentuknya dan keabsahannya dinyatakan sebagai akad
yang sah. Jika syarat keabsahan tidak terpenuhi, meskipun rukun
dan syaratnya terbentuk telah sempurna, tetap dinyatakan
sebagai akad fasid. Menurut ulama Hanafiah, akad fasid adalah
akad yang menurut syara sah pokoknya, tetapi tidak sah
sifatnya.14 Yang dimaksud di sini adalah akad yang telah
memenuhi rukun dan syarat terbentuknya, namun belum
memenuhi syarat keabsahannya.
2) Berlakunya Akibat hukum Akad
Ada kemungkinan akad yang telah memenuhi rukun,
syarat terbentuknya dan keabsahannya, belum dapat
dilaksanakan akibat hukumnya meskipun sudah sah. Kondisi
sedemikian itu disebut akad maukuf (terhenti/tergantung).
Untuk dapat dilaksanakan akibat hukumnya diperlukan dua
syarat kewenangan, yaitu:
Pertama, adanya kewenangan sempurna atas objek akad,
yakni para pihak mempunyai kepemilikan atas objek atau
mendapat kuasai dari pemilik dan pada objek itu tidak
tersangkut hak orang lain, seperti sedang gadai, sewa, dan
lainlain.
Kedua, adanya kewenangan atas tindakan hukum yang
dilakukan. Maksudnya, para pihak telah mencapai tingkat
kecakapan bertindak hukum, baik kecakapan bertindak hukum

14
Ibid.

170 Wardianto Darmawan | Ahsanudin Husnul Ma’ab


minimal yakni mumayiz maupun kecakapan hukum yang
sempurna yakni kedewasaan. Ini merupakan pendapat ulama
Hanafiah, Hanabilah, Malikiah. Sedangkan menurut sebagian
ulama Hanabilah dan Syafi’iah, bahwa menjual milik orang lain
tanpa izinnya adalah (hukum maukuf).15
3) kekuatan Mengikatnya Akad
Kekuatan mengikat adalah sifat hukum akad yang telah
memenuhi rukun, syarat terbentuknya, keabsahan, dan syarat
berlaku serta dapat dilaksanakan akibat hukumnya, sehingga
dapat mengikat para pihak dan tidak boleh salah satu pihak
menarik kembali persetujuan secara sepihak tanpa persetujuan
pihak lain, kecuali telah ada persetujuan para pihak tentang
adanya alasan hukum yang membenarkan tindakan pembatalan
sepihak tanpa pemberitahuan pihak lain.
4) Unsur-unsur Akad
Unsur dimaksud adalah hal-hal yang harus dipenuhi untuk
terwujudnya sebuah akad perjanjian, adalah Shighoh akad (
‫)الصیغة العقد‬, Al-Aqid ( ‫)العاقد‬, Mahal al-aqd ( ‫)محل العقد‬, Al-Maudlu
al-aqd ( ‫ )الموضوع العق‬dengan rincian sebagai berikut :
a) Shighoh aqad (ijab-kabul) dapat diungkapkan melalui;
 Ucapan akad
 Perbuatan akad,
 Isyarat
 Tulisan.
b) Al-Aqid.
Al-Aqid adalah al-ismul fa’il (isim Fa’il) dari aqoda dan
artinya adalah orang yang melaksanakan aqad ( ‫) عقد فھو عاقد‬.
Keberadaan Al-Aqid sangat penting dalam sebuah akad.

15
Ibid, h. 103

Ungkapan Dalam Akad adalah Maksud dan Subtansi 171


Akad tidak akan terjadi dan memiliki kekuatan hukum bila
tidak ada al-Akid, samaseperti tidak akan terjadi akad bila
tidak ada shighoh ijab-qobul. Al-Akid secara umum
disyaratkan harus ahli (cakap) dan mempunyai kemampuan
untuk melakukan akad.
c) Mahal al-aqd
Ada 5 syarat bagi obyek akad ( al-ma’qud alaih ), yaitu;
 Obyek akad harus ada ketika terjadi peristiwa akad
 Obyek akad harus sesuai dengan syariat ( masyru’)
 Obyek akad harus dapat diserahkan pada saat akad
 Obyek akad harus maklum dan dapat diketahui oleh Al-
Aqid
 Obyek akad harus suci tidak najis atau mutanajjis
d) Al-Maudhu al-aqd
Maudhu al-aqd (tujuan akad) adalah harus merupakan
tujuan yang sesuai dengan hukum Islam (syari’at) dan tidak
melanggar syara’.
5) Transaksi Syariah.
Transaksi Syariah dalam bermuamalah melalui Lembaga
Keuangan Syariah (LKS), perbankan Syariah, BPR Syariah atau
Baitu al-Mal wa al-Tamwil (BMT) atau yang sejenisnya
diselenggarakan dan dilaksanakan sesuai garis-garis ketentuan
syar’i (hukum Islam) dan hukum positif yang berlaku (Bank
Indonesia).
Secara garis besar dijumpai dua bentuk akad transaksi
syariah, yaitu akad tabarru’ dan akad tijaroh (bisnis).
Akad tabarru’ (kebajikan) yakni akad dalam transaksi
perjanjian antara dua orang atau lebih dan tidak profit oriented
(tujuan keuntungan).

172 Wardianto Darmawan | Ahsanudin Husnul Ma’ab


Akad tijaroh (bisnis) yang merupakan jenis akad transaksi
perjanjian antara dua orang atau lebih yang bertujuan untuk
mendapatkan keuntungan (profit oriented bisnis).
Terdapat 2 hal yang harus dihindarkan (tidak boleh
dilakukan), karena akad akan menjadi rusak (fasid) atau batal
dan tidak berlaku lagi, yakni dalam hal;
a) Penggunaan dua akad dalam satu transaksi syariah secara
bersamaan dan hal ini sangat tidak dibenarkan dalam syara’.
kebersamaan dimaksud antara lain; terkait dengan pihak yang
sama; obyek yang sama; dan rentanag waktu yang sama pula.
b) Keterkaitan (ta’alluq) satu akad dengan akad yang lain.
Misalkan pinjaman sejumlah dana tertentu dengan kesediaan
menjadi besan, dan sebagainya.
Sedang kedua akad yang boleh dikombinasikan adalah
antara lain dalam hal;
a) Antara akad tabarru’ dengan akad tabarru’ (wakalah dan
wakaf)
b) Antara akad tijaroh dengan akad tijaroh (bai’ dan tijaroh)
c) Antara akad tabarru’ dengan akad tijaroh (rohan dan tijaroh)

5. Dinamika Akad dalam Transaksi Syariah


Ekonomi syariah sebagai bagian dari muamalah Islam tidak
lepas dari prinsip-prinsip dasar syariah yang telah dikenal dalam fikih-
fikih klasik. Tetapi dalam perkembangannya, penjabarannya
disesuaikan pada kebutuhan masyarakat dengan pelbagai jenis
transaksi yang dilakukan. Ekonomi syariah merupakan suatu istilah
yang biasa dipakai saat ini untuk setiap kegiatan ekonomi yang di
dalamnya diterapkan aspek-aspek syariah, misalnya dengan sistem

Ungkapan Dalam Akad adalah Maksud dan Subtansi 173


musyârakah, mudhârabah, muzâra’ah, ijârah, dan lainnya yang telah
dikenal dalam muamalah Islam. Istilah tersebut saat ini berkembang
seiring dengan perkembangan ekonomi dengan pelbagai istilah
seperti perbankan syariah, asuransi syariah, perkreditan syariah,
hingga MLM syariah. Sistem akad yang dulu dikenal lebih simpel
dalam fikih klasik mengalami banyak pengembangan sesuai dengan
kebutuhan transaksi ekonomi saat ini yang menuntut aturan yang
lebih kompleks dengan pelbagai istilah akad.
Misalnya, dalam perbankan syariah dikenal istilah akad
mudhârabah, musyârakah, ijârah, dan bay’ dengan pelbagai
pengembangan. Juga dalam asuransi Syariah dengan beberapa istilah
takâful. Sebagai perbandingan, unsur-unsur yang harus ada dalam
sebuah akad atau kontrak saat kini, di antaranya seperti dalam tulisan
oleh Afzalur Rahman dalam bukunya, Doktrin Ekonomi Syariah,
yaitu:
Pertama, dalam akad tersebut harus ada penawaran dan
persetujuan. Kedua, memiliki maksud untuk menciptakanhubungan
kerja. Ketiga, jelas tujuannya dan disertai dengan adanya
pengurus/pelaksana. Keempat, mengetahui syarat-syarat dari pihak
yang mengadakan akad. Kelima, ada perizinan yang sah; Keenam,
tujuannya halal; dan Ketujuh, ada jangka waktu yang berlaku.16
Dalam unsur-unsur yang harus ada dalam (syarat dan rukun)
akad tersebut terdapat beberapa hal yang dikemukakan masih
berpatokan pada prinsip-prinsip dasar akad menurut fikih klasik,
meskipun lebih rinci dan disesuaikan dengan keadaan masyarakat dan
kebijakan pemerintah, seperti pada poin ketiga yang menuntut
disebutkannya pihak pelaksana akad, dan poin kelima, yaitu adanya
perizinan yang sah.

16
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Syariah, h. 337.

174 Wardianto Darmawan | Ahsanudin Husnul Ma’ab


Hal tersebut juga dapat diperhatikan dalam ketentuan-ketentuan
pokok akad mudhârabah, yaitu: Pertama, modal harus dalam standar
uang. Kedua, modal dipercayakan kepada dhârib (pelaksana). Ketiga,
keuntungan harus tidak terbatas. Keempat, keuntungan dapat ditaksir.
Kelima, barang harus diketahui secara pasti.17 Ketentuan-ketentuan
tersebut merupakan penjabaran dan rincian dari ketentuan-ketentuan
umum sebelumnya. Penjabaran dan pengembangan akad
mudhârabah tersebut juga berlaku pada akad-akad lain dalam
ekonomi syariah.
Pentingnya pengembangan akad dalam ekonomi syariah,
khususnya di Indonesia, kemudian melahirkan banyak aturan-aturan
perundangan yang memberi peluang luas bagi terlaksananya akad-
akad tersebut dalam transaksitransaksi lembaga keuangan, seperti
dalam UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, pada era reformasi
ditandai dengan disetujuinya UU No.10 Tahun 1998 tentang
Perbankan dengan Sistem Bagi Hasil,31 bahkan menjadi satu
kemajuan dengan lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 tentang
Amandemen UU Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 mengenai
Kewenangan Pengadilan Agama dalam Menyelesaikan Kasus
Persengketaan Ekonomi Syariah, dan akan ditindaklanjuti dengan
penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Islam (KHEI).
Aturan perundang-undangan tersebut merupakan legitimasi
terhadap keberadaan sistem ekonomi dengan sistem syariat Islam di
Indonesia. Dalam hal ini, sistem ekonomi tersebut mengacu pada
akad-akad yang telah diatur dalam syariat Islam, termasuk dalam hal
ini akad yang dijelaskan dalam kitab-kitab fikih klasik sebelumnya
dengan beberapa pengembangan yang disesuaikan pada suasana
masyarakat Indonesia yang majemuk.

17
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Syariah, h. 338.

Ungkapan Dalam Akad adalah Maksud dan Subtansi 175


Mengingat perkembangan tersebut dan tantangan
pengembangan kewenangan bagi peradilan agama di Indonesia
sehingga dituntut adanya sebuah produk fikih baru sesuai dengan
kondisi Indonesia saat ini. Permasalahan tersebut sekurang-kurangnya
dapat terjawab dengan lahirnya kompilasi hukum Islam dalam bidang
ekonomi sebagaimana yang telah diwacanakan. Walaupun masih
dalam taham wacana dan rencana yang akan segera dilaksanakan,
tetapi hal tersebut akan memberi jalan keluar terhadap permasalahan
rumit yang banyak dipertanyakan tentang kemampuan peradilan
agama dalam menangani sengketa dan permasalahan ekonomi, sebab
dengan lahirnyakitab KHEI tersebut akan menjadi sumber materiil
bagi peradilan agama di Indonesia dan dasar bagi penelitian
selanjutnya.

6. Hikmah Dibalik Akad-Akad Ekonomi Syariah


a. Hikmah Jual Beli
Hikmah diperbolehkannya jual beli adalah karena kebutuhan
seseorang terhadap suatu barang tergantung pada pemilik barang
tersebut, sedangkan pemilik barang tidak akan memberikan
barangnya tanpa pengganti. Mengenai disyariatkannya jual beli
adalah merupakan jalan sampainya masing-masing dari kedua
belah pihak kepada tujuannya dan pemenuhan kebutuhannya.
Diantara hikmahnya yang lain adalah melapangkan persoalan
kehidupan dan tetapnya alam karena dapat meredam terjadinya
perselisihan, perampokan, pencurian, pengkhianatan, dan
penipuan.
Maha suci Allah dalam menjadikan setiap peraturan
ciptaannya penuh dengan hikmah, begitu juga dengan pensyariatan
jual beli ini. Manakala uang, komoditi, dan harta benda tersebar di

176 Wardianto Darmawan | Ahsanudin Husnul Ma’ab


antara manusia seluruhnya, dankebutuhan manusia bergantung
dengan apa yang ada di tangan temannya, dan ia tidak
memberikannya tanpa ada imbalan/pertukaran, dibolehkannya
jual beli, dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari untuk
mencapai tujuan hidupnya. Tidak demikian, niscaya manusia akan
saling merampas, mencuri, melakukan tipu daya, dan saling
membunuh (Said Sabiq, t.th: 35; Mujahidin, 2013: 35). Karena
alasan inilah, Allah swt menghalalkan jual beli untuk
merealisasikan kemashlahatan dan memadamkan kejahatan
tersebut.Jual beli itu hukumnya boleh dengan ijmâ‟ (konsensus)
semua ulama. Firman Allah swt surah Al-Baqarah ayat 275 :
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Ayat diatas dengan jelas menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba, tanpa harus di takwilkan.

b. Hikmah Murâbahah (Mencari Keuntungan)


Hikmah dalam pensyariatan murâbahah adalah sangat besar
sekali. Karena dengan murâbahah, akan mempermudah manusia
untuk mencari rizki dan menuntut adanya sifat amanah.
Hikmahnya juga mendapatkan keuntungan dari orang yang tidak
sempat melakukan transaksi lalu di wakilkan dengan mengambil
imbalan atau upah secara wajar dan transparan, yang bertujuan
mendapat keuntungan untuk kebutuhan hidupnya. Hikmah
murâbahah adalah jujur, tranparan dan amanah, insyaallah berkah
dalam meminta upah dan mengambil keuntungan. Hikmah
murâbahah adalah dapat memberi manfaat dan keringanan kepada
manusia. Karena ada sebagian orang yang memiliki harta, tetapi
tidak mampu untuk membuatnya menjadi produktif. Orang yang
tidak memiliki harta tetapi ia mempunyai kemampuan untuk

Ungkapan Dalam Akad adalah Maksud dan Subtansi 177


memproduktifkannya. Dengan demikian, dapat tercipta kerjasama
antara modal dan kerja demi kemashlahatan dan kesejahteraan
umat manusia.

c. Hikmah Transaksi Salam (Jual Beli Salam atau Pesanan).


Jual beli salam atau disebut juga salaf adalah jual beli barang
yang ditunda yang disifati dan masih dalam tanggungan dengan
bayaran yang didahulukan. Para fuqâha' menamainya dengan
nama bai'ul mahâwij, karena hal tersebut merupakan jual beli
barang yang gha'ib (belum ada) yang perlu dilakukan oleh penjual
dan pembeli, dimana pemilik uang butuh membeli barang, pemilik
barang butuh memiliki uang sebelum barang itu ada padanya untuk
dipakai buat dirinya dan untuk dibelanjakan buat tanamannya
misalnya buahnya dapat matang dengan baik, hal ini termasuk
maslahat hâjiyah (kebutuhan). Untuk pembeli disebut musallîm
atau rabb al-salâm, penjual disebut musallam ilaih, barang yang
dijual disebut musallam fîh, sedangkan bayaran atau uangnya
disebut ra'su mâlis salam. Al-Jurjawi menjelaskan tentang
pemahaman masyarakat bahwa riba itu banyak manfaatnya untuk
menyambung hidup, Allah yang maha bijaksana lebih tahu
kemaslahatanya dengan menciptakan produk pengganti riba yaitu
jual beli salam. Adapun manfaat sekaligus hikmahnya Al-Jurjawi
mengutip firman Allah swt dalam surah al-Baqarah ayat 282:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya dan ungkapan Ibnu Abbas “saya bertransaksi
bahwa pinjaman yang ada dalam tanggungan adalah halal”.

178 Wardianto Darmawan | Ahsanudin Husnul Ma’ab


d. Hikmah Wakâlah (Mewakilkan atau Perwakilan).
Wakâlah menurut bahasa berarti penyerahan atau pemberian
mandat atau penjaga. Wakâlah menurut istilah adalah memberi
kuasa seseorang atau kelompok untuk bertindak atas nama yang
memberi kuasa atau mandat. Al-Jujawi dalam kitabnya Hikmat al-
Tasryi‟ memaparkan sedikit tentang hikmah Wakâlah yaitu
kemaslahatan manusia, mendatangkan ketenangan, mengajarkan
sifat amanah dan bijaksana dan menuju kebahagiaan dunia (rezeki
halal) akhirat (pahala/sorga). Ia mengutip riwayat bahwa
Rasulullah saw pernah mewakilkan pernikahan kepada Amr bin
Ummi Salamah dan mewakilkan pembelian kepada Hakim bin
Hizaam.

e. Hikmah Kafâlah (Menanggung Biaya atau Menjamin Utang


Orang lain).
Kafâlah adalah sinonim dari dlaman, yaitu jaminan atau
tanggungan seseorang,kepada pihak lain yang memerlukannya.
Tetapi ada perbedaannya dengan dlaman, dlamman adalah
tanggungan harta, kafâlah adalah tanggungan badan yang terkenal
dengan tanggungan muka. Contoh dari kafâlah misalnya
menghadirkan seseorang yang sedang dalam perkara kemuka
pengadilan pada waktu dan tempat yang telah ditentukan jika
diperlukan.Jumhur ulama membolehkan adanya tanggungan
modul berdasarkan ketentuan syara‟ (QS.Yusuf :79). Al-Jurjawi
dalam kitabnya menyebutkan beberapa hikmah dari kafâlah, yaitu:
1) Memberikan ketenangan bagi kepada orangyang mengutangi.
2) Menghindari perlakuan buruk saat penarikan utang dari orang
yang ditagihnya. Dengan adanya penolong pengutang akan
lebih giat dalam mencari unag untuk membayar utangnya.

Ungkapan Dalam Akad adalah Maksud dan Subtansi 179


3) Akan tercipta sikap saling mencintai dan saling menyayangi.
4) Orang yang meberikan bantuan akan mendapatkan pahala yang
besar di sisi Allah swt.
Wahbah Zuhaily mencatat hikmat al-Tasyrî‟dari kafâlah
untuk memperkuat hak, merealisasikan sifat tolong menolong,
mempermudah transaksi dalam pembayaran utang, harta dan
pinjaman agar orang yang memiki hak mendapatkan ketenangan
terhadap utang yang di pinjamkan kepada orang lain atau benda
yang di pinjam, Sedangkan Muhammad Syafi‟i Antonio
mengatakan bahwa hikmah kafâlah (jaminan) merupakan salah
satu ajaran Islam. Jaminan pada hakikatnya usaha untuk
memberikan kenyamanan dan keamanan bagi semua orang yang
melakukan sebuah transaksi.Pada era sekarangini kafâlah adalah
asuaransi. Jaminan atau asuaransi telah disyariatkan oleh Islam
ribuan tahun silam. Ternyata, sekarang ini kafâlah (jaminan) sangat
penting, tidak pernah dilepaskan dalam bentuk transaksi seperti
uang apalagi transaksi besar seperti bank dansebagainya. Hikmah
yang dapat diambil adalah kafâlah mendatangkan sikap tolong
menolong, keamanan, kenyamanan, dan kepastian dalam
bertransaksi (Muhammad Syafi‟i, 1992: 32).

f. Hikmah Mudlârabah
Allah menciptakan manusia makhluk yang berinteraksi sosial
dan saling membutuhkan satu sama lainnya. Menurut Sayid Sabiq,
Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudlârabah untuk
memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta
namun tidak mampu mengelolanya dan di sana ada juga orang
yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk
mengelola dan mengembangkannya. Syariat membolehkan kerja

180 Wardianto Darmawan | Ahsanudin Husnul Ma’ab


sama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara
mereka. Shohib Al-Mal/Pemilik Modal (investor) memanfaatkan
keahlian Mudlârib (pengelola) dan Mudlârib (pengelola)
memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama
harta dan amal. Allah swt tidak mensyariatkan satu akad kecuali
untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan
terbendungnya kesulitan. Adapun hikmah dari Mudlârabah yang
dikehendaki adalah mengangkat kehinaan, kefakiran dan
kemiskinan masyarakat juga mewujudkan rasa cinta kasih dan
saling menyayangi antar sesama manusia.

g. Hikmah Syirkah (Kerja Sama).


Dalam kitab Hikamt al-Tasyri‟ Al-Jurjawi tidak
menyebutkan secara tersendiri hikmah tentang syirkah, tapi beliau
membaginya dalam tiga kategori syirkah, yaitu: 1). Syirkah Innan.
2). Syirkah Shanâi‟. 3). Syirkah Wûjûh.
Menurut Al-Jurjawi dalam kitabnya Hikmat al-Tasyri‟ wa
falsafatuhu, syarikat atau syirkah terbagi kepada tiga macam, yaitu:
Hikmah Syarikat Inan (Biro Jasa Perjalanan), Hikmah Syarikat
Shanâ‟i (Kerjasama Dibidang Industri) dan Hikmah Syirkah
Wûjûh (Biro Penerima Pesanan).

h. Hikmah Qardl (Pinjaman atau Utang).


Syari‟at penuh dengan hikmah dan rahasia. Tidak ada satu
hukum syar‟i pun kecuali mempunyai hikmah diberlakukannya,
diantaranya adalah al-qardl (hutang piuitang).Bahwasanya kondisi
manusia tidak sama antara satu dengan yang lain. Ada yang
kesulitan ekonomi dan ada yang kaya.Allahmenganjurkan orang
yang kaya memberi pinjaman kepada orang yang kesulitan

Ungkapan Dalam Akad adalah Maksud dan Subtansi 181


ekonomisebagai bentuk pendekatan (ibadah) kepada-Nya. Ini
karena memberi pinjaman berarti memberi manfaat kepada orang
yang berhutang untukmemenuhi kebutuhan dan mengatasi
kesulitannya(Nurhadi: 2018). Sabda Rasulullah saw:
”Barang siapa menghilangkan satu kedudukan (kesulitan) dri
kedudukan kedudukan dunia dari seorang mukmin, maka Allah akan
menghilangkan satu kedukaan (kesulitan) dari kedudukankedudukan
akherat dariny pada hari kiamat. Barang siapa memberi kemudahan
kepada orang yang kesulitan, maka Allah akan member kemudahannya di
dunia dan di akherat. Barang siapa menutup (aib) seorang muslim, maka
Allah akan menutup (aib)nya didunia dan di akherat. Allah senantiasa
menolong seorang hamba selama ia menolong saudara-
saudaranya.”(HR.Muslim).
Memberi hutang termasuk kebaikan dalam agama karena
sangat dibutuhkan oleh orang yang kesulitan, susah, dan
mempunyai kebutuhan yang sangat mendesak.

i. Hikmah Hiwalah (Pemindahan Utang atau Anjak Piutang)


Hawalah ini dapat memudahkan aktivitas mu‟âmalah
diantara manusia, terlebih lagi apabila yang berpiutang (kreditor)
berada di suatu negara yang berbeda dengan negara muhâl alaih.
Muhal (kreditor) juga dimudahkan dalam menerima pelunasan
hutang. Dalam kitab Hikmat al-Tasyri‟ wa Fasafatuhu yang ditulis
salah seorang ulama al-Azhar, Ali Ahmad Al-Jurjawi disebutkan
disyari‟atkannya hawalah teramat besar, karena di dalamnya ada
unsur memberi kemudahan dalan bermu‟amalah di antara
manusia. Khususnya, dalam negerinegeri yang saling berjauhan
dari ujung ke ujung,yang mana untuk saling berhubungan satu
sama lain butuh menempuh jarak di daratan dan lautan.

182 Wardianto Darmawan | Ahsanudin Husnul Ma’ab


j. Hikmah Rahn (Gadai atau Pegadaian).
Allah mensyariatkan Al-Rahn (gadai) untuk kemaslahatan
orang yang menggadaikan (Râhîn), pemberi hutangan (Murtahîn)
dan masyarakat. Menurut Al-Jurjawi hikmah Ar-Râhînia
mendapatkan keuntungan dapat menutupi kebutuhannya. Ini
tentunya bisa menyelamatkannya dari krisis dan menghilangkan
kegundahan dihatinya serta ia bisa berdagang dengan modal
tersebut lalu menjadi sebab ia menjadi kaya.Al-Murtahîn akan
menjadi tenang dan merasa aman atas haknya dan mendapatkan
keuntungan syar‟i dan bila ia berniat baik maka mendapatkan
pahala dari Allah. Kemaslahatan yang kembali kepada masyarakat
adalah memperluas interaksi perdagangan dan saling memberikan
kecintaan dan kasih sayang diantara manusia, karena ini termasuk
tolong menolong dalam kebaikan dan takwa. Ada manfaat menjadi
solusi dalam krisis, memperkecil permusuhan dan melapangkan
penguasa.

k. Hikmah Ariyah (Pinjam Meminjam atau Meminjamkan Barang).


Menurut Hasbi as-Shidiqi dalam Ariyah terdapat beberapa
Hikmah,diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Menanamkan rasa tolong menolong diantarasesama manusia
2) Meringankan beban orang lain
3) Menjauhkan diri dari perbuatan dosa
4) Mendapatkan rahmat Allah swt
5) Bersatunya jiwa dan lembutnya hati orang yang meminjamkan.
6) Tercipta kasih sayang diantara sesama
7) Janji pahala dari Allah

Ungkapan Dalam Akad adalah Maksud dan Subtansi 183


l. Hikmah Ijârah (Membayar Jasa atau Sewa Menyewa).
Hikmah disyari‟ahkannya Ijârah dalam bentuk pekerjaan
atau upah mengupah adalah karena dibutuhkan dalam kehidupan
manusia. Tujuan dibolehkannya Ijârah pada dasarnya adalah untuk
mendapatkan keuntungan materil. Bukanlah tujuan akhir karena
usaha yang dilakukan atau upah yang diterima merupakan sarana
untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Menurut Sayid Sabîq
dalam kitab Fiqhu sunnahnya hikmah Ijârah bahwa manusia pasti
membutuhkan Ijârah , baik untuk tempat tinggal,segala transaksi,
kenderaan adan angkutan, tanah dan lahan, dan segala kebutuhan
kehidupan sehar-hari yang mana sesorang belum mampu
memilikinya namun bisa menggunkanya dan menghasilkanya
dengan cara di sewa.

m.Hikmah Muzâra’ah (Kerja Sama Pemilik,Penggarap Tanah


dengan Basil)
Muzâra‟ah dan mukhârabah diisyaratkan untuk menghindari
adanya pemilik hewan ternak yang kurang bisa dimanfaatkan
karena tidak ada tanah untuk dikelola dan menghindari tanah yang
juga dibiarkan tidak dikelola karena tidak ada yang mengelolanya
Al-Jurjawi menyebutkan daalam kitabnya hikmat al-Tasryi‟
tentang hal ini, bahwa Muzâra‟ah dapat :
1) Saling bertukar manfaat di antara keduanya.
2) Melahirkan persahabatan
3) Rasa saling menyayangi
4) Melahirkan sifat amanah dan kejujuran.

184 Wardianto Darmawan | Ahsanudin Husnul Ma’ab


n. Hikmah Musaqah (Merawat Kebun dengan Bagi Hasil).
Ada orang kaya yang memiliki tanah yang ditanami pohon
kurma dan pohon-pohon yang lain, tetapi dia tidak mampu
menyirami (memelihara) pohon ini karena ada suatu halangan
yang menghalanginya. Allah Yang Maha Bijaksana
memperbolehkan orang itu untuk mengadakan suatu perjanjian
dengan orang yang dapat menyiraminya, yang masing-masing
mendapatkan bagian dari buah yang dihasilkan al-Tasyri‟
mengatakan ada dua hikmah, yaitu :
1) Menghilangkan kemiskinan dari pundak orang-orang miskin
sehingga dapat mencukupi kebutuhannya
2) Saling tukar manfaat antar manusia
Disamping itu, ada faedah lain bagi pemilik pohon, yaitu
karena pemelihara telah berjasa merawat hingga pohon menjadi
besar. Seandainya pohon itu dibiarkan begitu saja tanpa disirami,
tentu dapat mati dalam waktu singkat. Belum lagi faedah dari
adanya ikatan cinta, kasih sayang, antara sesama manusia, maka
jadilah umat ini umat yang bersatu dan bekerja untuk
kemaslahatan, sehingga apa yang diperoleh mengandung faedah
yang besar.

C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Akad menjadi penting dalam masyarakat. Karena akad
merupakan penghubung setiap orang dalam memenuhi kebutuhan
dan kepentinggannya yang tidak dapat dipenuhinya sendiri tanpa
bantuan dan jasa orang lain. Sehingga dikatakan bahwa akad
merupakan sarana sosial yang mendukung manusia sebagai makhluk
sosial.

Ungkapan Dalam Akad adalah Maksud dan Subtansi 185


Ekonomi syariah sebagai bagian dari muamalah Islam tidak
lepas dari prinsip-prinsip dasar syariah yang telah dikenal dalam fikih-
fikih klasik. Tetapi dalam perkembangannya, penjabarannya
disesuaikan pada kebutuhan masyarakat dengan pelbagai jenis
transaksi yang dilakukan. Ekonomi syariah merupakan suatu istilah
yang biasa dipakai saat ini untuk setiap kegiatan ekonomi yang di
dalamnya diterapkan aspek-aspek syariah,
Secara sederhana hikmah Akad adalah usaha mengungkap
kebenaran, pengamalan kebenaran dan melawan hawa nafsu dari
segala bentuk kebatilan dan merealisasikan kemaslahatan dan
menolak kerusakan dalam akad muamalah ekonomi Islam.

D. DAFTAR PUSTAKA
Nurhadi, Rahasia Hikmah Dibalik Akad-Akad Dalam Ekonomi Islam Jurnal
Ilmiah Ekonomi Islam, 5(01), 2019, 42-65
Darmawati H, Akad Dalam Transaksi Ekonomi Syariah Sulesana Volume
12 Nomor 2 Tahun 2018
Urbanus Uma Leu, Akad Dalam Transaksi Ekonomi Syariah Tahkim Vol.
X No. 1, Juni 2014
Djohar Arifin, Substansi Akad Dalam Transaksi Syariah
Rahmawati: Dinamika Akad Dalam Transaksi Ekonomi Syariah Al-Iqtishad:
Vol. Iii, No. 1, Januari 2011

186 Wardianto Darmawan | Ahsanudin Husnul Ma’ab


BAB 10
KEBUTUHAN MENDUDUKI
POSISI DARURAT
POPPY LALITA APRILIYA

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pemahaman terhadap ayat-ayat al Qur’an, melalui penafsiran-
penafsirannya mempunyai peranan yang besar bagi maju mundurnya
umat. Sekaligus, penafsiran-penafsiran itu dapat mencerminkan
perkembangan serta corak pemikiran mereka. Dalil-dalil al Qur’an
mencakup berbagai masalah bahkan sampai kepada persoalan yang
sekecil-kecilnya dan mengandung pelbagai rahasia. Semua ini, tidak
mungkin ditangkap secara sama oleh semua orang. Maka, muncul
keperluan untuk menafsirkannya.
Kemunculan hukum-hukum Islam itu, hakikatnya adalah
dimaksudkan untuk menjaga kemuliaan manusia dan memelihara
kepentingannya, baik yang bersifat khusus maupun umum. Syariat-

Kebutuhan Menduduki Posisi Darurat 187


syariat langit menentukan ada lima kebutuhan yang berisikan:
menjaga kehidupan manusia dengan mengharamkan membunuhnya,
menjaga kehormatannya, menjaga akalnya, menjaga hartanya, dan
menjaga agamanya. Hal ini, seperti dikatakan oleh ‘Izzuddin Ibn ‘Abd
al Salam, bahwa tujuan syariah itu adalah untuk meraih kemaslahatan
dan menolak kemafsadatan. Apabila diturunkan kepada tataran yang
lebih konkret, maka maslahat membawa kepada manfaat, sedangkan
mafsadah mengakibatkan kemudaratan. Kemudian para ulama lebih
merinci dengan memberikan persyaratan-persyaratan dan ukuran-
ukuran tertentu apa yang disebut maslahat.
Kaidah ‫( الضرر يزال‬kemudaratan harus dihilangkan), kembali
kepada tujuan untuk merealisasikan maqasid al syari’ah dengan
menolak yang mafsadah, dengan cara menghilangkan kemudaratan
atau setidaknya meringankannya. Oleh karena itu, untuk
memudahkan kegiatan penafsiran atau memahami pesan-pesan Kitab
Suci al Qur’an, maka dibutuhkan kaidah- kaidah sebagai patokan
umum bagi para pengkaji al Qur’an. Dengan demikian, seorang
pengkaji al Qur’an harus mengetahui kaidah-kaidah yang dibutuhkan
dalam kegiatan penafsiran al Qur’an, agar tidak keliru dalam
penafsirannya. Dalam makalah ini, akan dijelaskan mengenai: hakikat
darurat, dalil-dalil yang membolehkan sesuatu yang haram dalam
keadaan darurat, batasan dan hikmah darurat, dan kaidah-kaidah
yang terkait dengan darurat.

2. Rumusan Masalah
a. Apa Dasar Hukum Kaidah Kebutuhan?
b. Apa Pengertian Keadaan Darurat?
c. Apa Asas Dasar Keadaan Bahaya?
d. Apa Kaidah-Kaidah Darurat dan Penerapannya?

188 Poppy Lalita Apriliya


e. Bagaimana Darurat Negara dalam Islam?

3. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui dasar hukum kaidah kebutuhan?
b. Untuk mengetahui pengertian keadaan darurat?
c. Untuk mengetahui asas dasar keadaan bahaya?
d. Untuk mengetahui kaidah-kaidah darurat dan penerapannya?
e. Untuk mengetahui darurat negara dalam Islam?

B. PEMBAHASAN
1. Teks Kaidah

‫احلاجة العامة واخلاصة تزنل مزنلة الرضورة‬

“Kebutuhan umum atau khusus menduduki posisi darurat”

2. Dasar Hukum Kaidah


Darurat Di Dalam al-Quran telah menjelaskan beberapa ayat
mengenai darurat. Diantaranya, secara khusus, menegaskan dengan
terang bahwa makhs}amah (kelaparan yang parah), yaitu satu ayat
dari surah al-Ma’idah serta beberapa ayat lainnya. Dari beberapa ayat
tersebut dipahami adanya pembolehan bagi segala yang diharamkan
ketika dalam keadaan darurat makanan. Tapi walaupun begitu, ayat-
ayat tersebut cukup menjelaskan mengenai esensi darurat. Ayat-ayat
tersebut adalah sebagai berikut :

‫غ‬
ٍ ‫اضطُرٍ اغ ْاٍي اَب‬ ٍّٰ ‫ٍر اواماٍ اُهلٍ لغا ٍْي‬
ْ ٍ‫الل بهٍٖۚ فا امن‬ ٍْ‫اَّناا احراٍم اعلاْي ُك ٍُم الْ امْي تاٍةا اوالد اٍم او اَلْ اٍم ا ْْلْنزي‬

ٍّٰ ‫واٍل اعادٍ فاا ٍن‬


ٍ‫اللا اغ ُف ْورٍ رحْيم‬
Artinya : Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu
(memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan

Kebutuhan Menduduki Posisi Darurat 189


menyebut nama selain Allah; tetapi Barangsiapa yang terpaksa memakannya
dengan tidak Menganiaya dan tidak pula melampaui batas, Maka
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. An-
Nahl : 115).
Allah Maha Mengetahui bahwa keadaan keterpaksaan dapat
mengantar kepada pelanggaran ketentuan ini, maka ayat ini
menjelaskan: Tetapi barang siapa yang terpaksa, yakni berada dalam
kondisi darurat, misalnya karena lapar yang tidak tertahankan lalu ia
memakannya sedang ia tidak menginginkan-nya, yakni tanpa
mencaricari alasan untuk bisa memakannya dan tidak pula –jika ia
terpaksa memakannya- melampaui batas yang diperbolehkan agama,
maka Allah tidak akan menjatuhkan sanksi atasnya, karena
Sesungguhnya Allah Maha pengampun mengampuni kesalahan
hamba-Nya yang ia lakukan bukan karena kehendaknya dan
mengampuni juga kesalahan yang disengajanya bila ia bertaubat. Kata
idturra asalnya adalah idtarara yang terambil dari kata darar yang
berarti mudarat. Kata idturra dipahami dalam arti kebutuhan yang
sangat mendesak yang bila tidak dipenuhi mengakibatkan mudharat
bagi yang bersangkutan, atau dengan kata lain keadaan bahaya, yakni
keadaan yang diduga dapat mengakibatkan mud}arat kematiannya.

ٍّٰ ‫تٍ اعلاْي ُك ُمٍ الْ امْي تاٍةُ اوالد ُمٍ او اَلْ ُمٍ ا ْْلنْزيٍْر اوامٍا اُهلٍ لغا ٍْي‬
ُ‫الل بهٖ اوالْ ُمنْ اخن اق ٍةُ اوالْ ام ْوقُ ْوذاٍة‬ ْ ‫ُحّرام‬

‫ُّصبٍ اوا ٍْن تا ْستا ْقس ُم ْوٍا‬


ُ ‫اوالْ ُم اَتاّدياٍةُ اوالنطْي اح ٍةُ اواماٍ ا اك اٍل السبُ ٍُع الٍ اما ذاكْي تُ ٍْم اواما ذُب اٍح اعلاى الن‬
‫اخ اش ْو ٍن الْيا ْواٍم‬
ْ ‫سٍ الذيْ انٍ اك اف ُرٍْوا م ْنٍ ديْن ُك ٍْم فا الٍ اَتْ اش ْوُه ٍْم او‬ ٰ
‫َب ْلاْزالمٍ ذل ُك ٍْم ف ْس ٍق الْيا ْوامٍ يا ِٕى ا‬
‫اضطٍُر‬
ْ ‫تٍ لا ُك ُمٍ ْال ْس ال امٍ ديْنًٍا فا ام ٍن‬
ُ ‫تٍ اعلاْي ُك ْمٍ ن ْع ام ْتٍ اوارضْي‬
ُ ‫ت لا ُك ٍْم ديْنا ُك ٍْم اواْْتا ْم‬
ٍُ ْ‫ا ْك امل‬

ٍّٰ ‫صةٍ غا ْاٍي ُمتا اجانفٍ ّل ْمٍث فاا ٍن‬


ٍ‫اللا غا ُف ْورٍ رٍحْيم‬ ‫ف َماْ ام ا‬
ٍْ

190 Poppy Lalita Apriliya


Artinya : diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging
babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik,
yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas,
kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang
disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan
anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada
hari ini orangorang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu,
sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama
bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat
dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S.
Al-Ma’idah: 3)
Di ujung ayat Allah berfirman : “Bukan karena sengaja hendak
berbuat dosa” yaitu sengaja melanggar ketentuan Allah. Untuk
menjauhi pelanggaran ini, maka memakan daging atau memakan
makanan yang haram itu hanya sekedar untuk jangan mati saja, dan
setelah kenyang terelakkan dari ancaman kematian, hendaklah lekas
hentikan. Allah juga mengatakan : “Maka sesungguhnya Allah adalah
maha Pengampun, lagi Penyayang.” Tegasnya dalam hal keadaan
terpaksa itu, meskipun makanan itu telah diharamkan Allah, tetap
diberi ampun karena terpaksa.

3. Pengertian Keadaan Darurat


Darurat secara bahasa adalah berasal dari kalimat “al-darar"
yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya.
Makna idtirar ialah ihtiyaj ila al-syai' yaitu membutuhkan sesuatu.
Dalam mu'jam al-wasith disebutkan bahwa kalimat idtirar ilaih
bermakna seseorang sangat membutuhkan sesuatu. Al-Jurjani di

Kebutuhan Menduduki Posisi Darurat 191


dalam karyanya al-ta’rifat, mengatakan, kata dharurat itu dibentuk
dari al-dharar (mudarat), yaitu suatu musibah yang tidak dapat
dihindari
Darurat secara istilah menurut para ulama ada beberapa
pengertian diantaranya adalah :
a. Darurat ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak
mau melanggar sesuatu yang dilarang maka bisa mati atau nyaris
mati. Posisi seperti ini memperbolehkan ia melanggarkan
sesuatuyang diharamkan. Menurut sebagian ulama dari Maz}hab
Maliki, "Darurat ialah mengkhawatirkan diri dari kematian
berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan.
b. Menurut Asy Suyuti, "Darurat adalah posisi seseorang pada sebuah
batas dimana kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang
maka ia akan binasa atau nyaris binasa.
c. Darurat adalah menjaga jiwa dari kehancuran atau posisi yang
sangat darurat sekali, maka dalam keadaan seperti ini
kemudharatan itu membolehkan sesuatu yang dilarang.

Darurat itu sendiri mempunyai banyak definisi yang hampir


sama pengertiannya. Di antaranya, adalah definisi yang dikemukakan
oleh al-Jashash ketika berbicara mengenai makhmas}ah (kelaparan
parah), dikatakannya : “Darurat itu adalah rasa takut akan ditimpa
kerusakan atau kehancuran terhadap jiwa atau sebagian anggota
tubuh bila tidak makan. Definisi serupa dikemukakan oleh al-Bazdawi
yaitu: “Pengertian darurat dalam hubungannya dengan kelaparan
parah, ialah jika seseorang tidak mau makan, maka dikhawatirkan ia
akan kehilangan jiwa atau anggota badannya.
Al-Zarkasyi dan al-Suyut}i mendefinisikan darurat dalam
rumusan sebagai berikut: “Darurat ialah sampainya seseorang pada
batas di mana jika ia tidak mau memakan yang dilarang, maka ia akan

192 Poppy Lalita Apriliya


binasa, atau mendekati binasa, seperti orang yang terpaksa makan dan
memakan sesuatu yang dilarang di mana jika ia bertahan dalam
kelaparannya atau tanpa memakai sesuatu yang dimaksud ia akan
mati atau hilang sebagian anggota badannya.
Dari berbagai pengertian di atas, dapat dinyatakan bahwa
darurat adalah sebuah kalimat yang menunjukkan atas arti kebutuhan
yang mendesak atau kesulitan yang melampaui batas yang apabila
tidak dilaksanakan, akan berdampak buruk terhadap anggota tubuh
atau bahkan nyawa. Tetapi yang tampak ke permukaan dari
definisidefinisi tersebut adalah bahwa ia hanya ditujukan untuk
menjelaskan darurat yang berkaitan dengan persoalan makanan saja.
Jadi definisi-definisi tersebut sempit dan tidak mencakup
pengertian yang sempurna dari darurat, mengingat dia sebagai teori
atau prinsip yang berkaitan dengan menghalalkan yang haram atau
yang wajib. Untuk itu Wahbah Zuh}aili mengusulkan definisi sebagai
berikut: “ Darurat itu ialah datangnya kondisi bahaya atau kesulitan
yang amat berat kepada diri manusia, yang membuat dia khawatir
akan terjadi kerusakan (z}ahar) atau sesuatu yang menyakiti jiwa,
anggota tubuh, kehormatan, akal, harta, dan yang bertalian
dengannya. Ketika itu dialami oleh seorang diri manusia maka tidak
dapat tidak harus mengerjakan yang diharamkan, atau meninggalkan
yang diwajibkan, atau menunda waktu pelaksanaannya guna
menghindari kemudharatan yang diperkirakannya dapat menimpa
dirinya selama tidak keluar dari syarat-syarat yang ditentukan oleh
syara’.”
Keistimewaan definisi ini, ialah bahwa ia mencakup dan
menjangkau segenap jenis kemudharatan, yaitu kemudaratan yang
berkaitan dengan makanan yang mengenyangkan dan obat,
memanfaatkan harta orang lain, memelihara prinsip keseimbangan

Kebutuhan Menduduki Posisi Darurat 193


yang menyangkut akad dalam berbagai transaksi, melakukan suatu
perbuatan dibawah tekanan teror atau paksaan, mempertahankan jiwa
atau harta dan sebagainya dan meninggalkan kewajiban-kewajiban
syar’i yang di-fard}ukan. Inilah sebenarnya pengertian yang lebih
umum dari darurat.
Dipahami dari definisi tersebut, maka harus ada batasan-batasan
(dhawabith) bagi darurat ataupun syarat-syaratnya, sehingga
hukumnya boleh dipegang dan boleh pula melanggar kaidah-kaidah
yang umum dalam menetapkan yang wajib karena darurat itu. Karena
itu jelaslah bahwa tidak semua orang mengklaim adanya darurat yang
dapat diterima klaimnya atau dibenarkannya perbuatannya. Batasan-
batasan yang diinginkan dapat membatasi pengertian darurat ini
adalah sebagai berikut:
1. Darurat tersebut harus sudah ada bukan masih ditunggu, dengan
kata lain kekhawatiran akan kebinasaan atau hilangnya jiwa atau
harta itu betul-betul ada dalam kenyataan dan hal itu diketahui
melalui dugaan kuat berdasarkan pengalaman-pengalaman yang
ada, atau jika seseorang merasa yakin akan adanya bahaya hakiki
terhadap lima kebutuhan yang sangat mendasar yang dipelihara
oleh agama dan syari’at, yaitu agama, jiwa, kehormatan, akal dan
harta.
2. Orang yang terpaksa itu tidak punya pilihan lain kecuali melanggar
perintah-perintah atau larangan-larangan syara’, atau tidak ada
cara lain yang dibenarkan untuk menghindari kemudharatan selain
melanggar hukum.
3. Kemud}aratan itu memang memaksa dimana ia memang
betulbetul khawatir akan hilangnya jiwa atau anggota tubuh, seperti
jika seorang dipaksa untuk memakan bangkai dengan ancaman

194 Poppy Lalita Apriliya


yang mengkhawatirkan hilangnya nyawa atau sebagian anggota
tubuhnya sedangkan di hadapannya ada yang halal dan baik
4. Jangan sampai orang terpaksa itu melanggar prinsip-prinsip syara’
pokok yang telah disebutkan, berupa hak-hak orang lain,
menciptakan keadilan, menunaikan amanah, menghindari
kemudaratan serta memelihara prinsip keberagaman serta
pokokpokok akidah islam; umpamanya diharamkannya zina,
pembunuhan, kufur dan merampas dalam kondisi bagaimanapun;
karena ini adalah mafsadat yang dikarenakan oleh esensinya.
5. Bahwa orang yang terpaksa itu membatasi diri pada hal yang
dibenarkan melakukan karena –darurat itu dalam pandangan
jumhur fuqah{a pada batas yang paling rendah atau dalam
kadasemestinya- guna menghindari kemudaratan, karena
membolehkan yang haram itu adalah darurat.
6. Dalam keadaan berobat, hendaknya yang haram itu dipakai
berdasarkan resep dokter yang adil dan dipercaya baik dalam
masalah agama maupun ilmunya, dan jangan ada obat selain dari
yang diharamkan atau cara lain yang dapat menggantikan yang
haram sehingga syarat-syarat yang terdahulu itu terpenuhi, yaitu
bahwa melakukan yang haram itu merupakan jalan satu-satunya
baginya.
7. Harus berlalu satu hari satu malam bagi orang yang terpaksa dalam
masalah makanan tanpa memperoleh makanan yang halal, dan
didapatnya tidak ada makanan kecuali yang haram. Penetapan
batas waktu selama ini diambil dari Rasul yang terdahulu mengenai
pembolehan makan bangkai yang pengertiannya bahwa apabila
telah datang pagi dan sore dan seseorang tidak mendapatkan
makanan untuk masa tersebut ataupun susu yang biasa diminum
padanya.

Kebutuhan Menduduki Posisi Darurat 195


8. Jika pemimpin -dalam keadaan darurat yang merata- dapat
mengetahui dengan yakin akan adanya kez}aliman, atau
kemudaratan yang nyata, atau kesempitan yang sangat atau adanya
manfaat yang merata yang diperkirakan dapat membahayakan
Negara apabila Negara tidak mengamalkan tuntutan prinsip
darurat.
9. Hendaknya sasaran pembatalan transaksi yang karena darurat itu
adalah menciptakan keadilan, atau tidak merusak prinsip
keseimbangan di antara dua pihak yang bertransaksi.

4. Asas Dasar Keadaan Bahaya


Di semua negara, keadaan darurat atau keadaan luar biasa selalu
diatur tersendiri baik mengenai pokoknya dalam Undang-Undang
Dasar maupun dalam ketentuan Undang-Undang yang tersendiri.
Semua sistem hukum di seluruh negara menentukan tindakan-
tindakan khusus apa saja yang dapat dilakukan untuk mengatasi
keadaan darurat. Dalam pengaturan-pengaturan konstitusional dan
legal itu selalu terdapat unsur-unsur yang bersifat mengurangi,
membatasi, ataupun membekukan hak-hak asasi manusia tertentu.
Namun, pengurangan, pembatasan, atau pembekuan hak-hak asasi
semacam itu haruslah: (i) bersifat sementara waktu; (ii) dimaksud
untuk tujuan mengatasi krisis; dan (iii) dengan maksud
dikembalikannya keadaan normal sebagaimana biasanya guna
mempertahankan hak-hak asasi manusia yang bersifat fundamental.
Prinsip-prinsip hukum internasional atau asas-asas yang berlaku
dalam hubungan dengan pemberlakuan keadaan darurat adalah
sebagai berikut :

196 Poppy Lalita Apriliya


a. Asas Proklamasi
Maksud asas proklamasi ini adalah bahwa keadaan darurat
dimaksud haruslah diumumkan atau diproklamasikan secara
terbuka sehingga semua orang mengetahuinya
b. Asas Legalitas
Asas legalitas ini berkenaan dengan kesesuaian yang harus
ada antara deklarasi keadaan darurat dan tindakan-tindakan
darurat yang diambil di satu pihak, dan antara deklarasi keadaan
darurat dan perundangan internal negara di lain pihak. Asas itu
lebih lanjut berusaha untuk memastikan bahwa hukum dalam
negeri sesuai dengan hukum internasional. Oleh karena itu,
tindakan darurat yang dilakukan dalam suatu negara harus tetap
berada dalam koridor atau kerangka hukum
c. Asas Komunikasi
Asas Komunikasi mengacu pada kewajiban untuk
memberitahukan tindakan pemberlakuan keadaan darurat itu
kepada segenap warga negara dan juga kepada negara-negara lain
yang menjadi peserta perjanjian yang relevan dan negara sahabat
lainnya.
d. Asas Kesementaraan
Asas kesementaraan mengacu pada sifat keistimewaan dari
deklarasi keadaan darurat itu yang perlu dibatasi waktu
pemberlakuannya untuk menghindarkan terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan yang mengancam kebebasan dan
jaminan-jaminan konstitusional hak asasi manusia
e. Asas Keistimewaan
Ancaman Asas ini mengacu kepada yang keyakinan bahwa
krisis yang terjadi itu sendiri memang merupakan bahaya yang
nyata dan memang sedang terjadi, atau sekurang-kurangnya

Kebutuhan Menduduki Posisi Darurat 197


bahaya yang secara potensial sungguh-sungguh mengancam
komunitas kehidupan bersama.
f. Asas Proporsionalitas
Asas ini mengacu pada perlunya diambil tindakan yang
segera karena adanya kegentingan yang memaksa dan yang secara
proporsional atau berimbang memang benar-benar memerlukan
tindakan –tindakan yang diperlukan itu untuk menghadapi atau
mengatasinya
g. Asas Intangibility
Asas ini menyangkut hak-hak asasi manusia yang bersifat
khusus yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
h. Asas Pengawasan
Sifat legal atau keabsahan berlakunya keadaan darurat itu
sedemikian rupa sehingga tindakan-tindakan pemberlakuannya
melalui proklamasi, deklarasi, atau ratifikasi dan tindakantindakan
yang diambil selama keadaan darurat yang berupa penangguhan,
pengurangan, ataupun pembatasan hak-hak asasi manusia tertentu
harus tetap berada dalam kerangka prinsipprinsip demokrasi dan
negara hukum. Dengan demikian, pemberlakuan keadaan darurat
itu tetap harus tunduk pada kontrol. Oleh karena itu, selama
keadaan darurat, Lembaga parlemen atau lembaga perwakilan
rakyat sejauh mungkin tetap harus menjalankan fungsinya sebagai
lembaga pengawas.

5. Kaidah-Kaidah Darurat dan Penerapannya


Kaidah yang dimaksud dalam pembahasan di sini adalah kaidah
umum di mana sandaran dari kaidah-kaidah tersebut adalah ayat-ayat
al-Quran dan hadith-hadith Nabi. Pada dasarnya kaidah ini mencakup
banyak cabang dan masalah dari pokok-pokok bahasan fiqh (abwab

198 Poppy Lalita Apriliya


al-fiqhiyyah) yang berbeda, seperti jual beli, hibah, sewa menyewa,
dan mud}arabah. Para ulama sendiri berbeda dalam merumuskan
kaidahkaidah fiqhiyyah ini, misalnya madhab Hanafi membuat
rumusan sebanyak 17 kaidah, sedangkan madhab Syafi’iy hanya
merumuskan 5 kaidah saja. Perlu untuk diperhatikan bahwa kaidah-
kaidah fiqhiyyah ini hanyalah merupakan prinsip-prinsip yang di
dalamnya terkandung seperangkat ketetapan-ketetapan hukum syara’,
dalam arti penerapan kaidah-kaidah ini bersifat aglabiyah (sebagian
besar dapat diterapkan), tidak memiliki sifat menyeluruh (universal).
Sehingga kaidah-kaidah syara’ tersebut bukanlah undang-undang
yang berlaku umum dan menyeluruh mencakup segenap peristiwa dan
keadaan. Sebab di antara ciri khas kaidah tersebut adalah bersifat
umum semata, menyeluruh berlaku untuk setiap pribadi dan peristiwa
hukum yang memenuhi syarat dan sifat yang wajib ada dalam
menerapkan kaidah hukum. Di antara faktor yang membuat kaidah-
kaidah fiqh bersifat aglabiyah adalah karena adanya keadaan darurat.
Para ulama telah menetapkan bahwa kaidah-kaidah fiqh dikecualikan
pada masalah-masalah yang mengandung darurat, mengingat adanya
arti yang penting dan khusus yang dimilikinya. Kaitannya dengan
kaidah darurat ini, Ibn an-Nujaim menetapkannya menjadi 6 cabang
kaidah, sedangkan al-Zuhaili menganggap bahwa kaidah darurat yang
dianggap penting ada 8, yaitu:
a. Kesulitan itu menarik kemudahan
Kaidah ini memberi penjelasan bahwa kesulitan itu menjadi
sebab bagi kemudahan, dan mengharuskan adanya toleransi di
waktu kesempitan. Berdasarkan ini, maka yang dimaksud kesulitan
(masyaqqah) disini adalah kesulitan yang menghendaki adanya
keringanan dan di luar dari kebiasaan. Adapun Sebab-sebab
keringanan di dalam ibadah dan lain-lain adalah:

Kebutuhan Menduduki Posisi Darurat 199


1) Bepergian, dalam bepergian boleh meng-qoshor dan menjama’
shalat, boleh tidak berpuasa.
2) Sakit, dalam keadaan sakit orang boleh sembahyang dengan
keadaan duduk atau berbaring, tayamum sebagai ganti
berwudlu, tidak berpuasa dan sebagainya.
3) Terpaksa, dalam keadaan terpaksa orang boleh memakan
makanan yang haram, bahkan boleh mengucapkan kata-kata
kekafiran atau berbuat perbuatan yang mengkafirkan. Maksud
dari kaidah ini adalah bahwa hukum-hukum yang menimbulkan
kesulitan dalam mengamalkannya bagi diri seorang mukalaf
atau hartanya, maka syariat meringankan hukum itu sesuai
kemampuannya tanpa kesulitan atau dosa.
b. Apabila timbul kesukaran maka hukumnya menjadi lapang ُ
Pengertian kaidah tersebut adalah bahwa terjadi masyaqqah,
sedangkan orang yang merasa sempit karena adanya ketetapan
hukum syara’ dalam keadaan biasa, maka mereka dibenarkan
mengambil rukhsah tak terikat dengan kaidah-kaidah umum yang
bersifat menyeluruh. Mereka diberi keringanan dalam mengambil
yang paling mudah dan gampang selama kesempitan dan kesulitan
masih ada.
Diantara bentuk penerapannya adalah :
1) Orang yang berhutang yang sulit kehidupannya ditunda waktu
penagihan hutang darinya sampai ia berkelapangan ataupun
dibebaskan dari hutang.
2) Diterima kesaksian wanita dan anak kecil menyangkut peristiwa
di kamar-kamar mandi atau setiap tempat yang tidak dihadiri
oleh laki-laki pada biasanya, guna memelihara hilangnya hak.

200 Poppy Lalita Apriliya


c. Darurat itu menghilangkan larangan
Di kalangan ulama ushul, yang dimaksud dengan keadaan
darurat yang membolehkan seseorang melakukan hal-hal yang
dilarang adalah keadaan yang memenuhi syarat sebagai berikut:
1) Kondisi itu mengancam Jiwa dan atau anggota badan.
2) Keadaan Darurat hanyadilakukan Sekedarnya dan dalam arti
tidak melampaui batas.
3) Tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan yang
dilarang. Jadi dari kaidah ini dapat disimpulkan, bahwa dalam
keadaan (sangat) terpaksa, maka orang diizinkan melakukan
perbuatan yang dalam keadaan biasa terlarang, karena apabila
tidak demikian, mungkin akan menimbulkan suatu
kemudlorotan pada dirinya. Artinya keadaankeadaan darurat
atau kebutuhan yang sangat mendesak itu membuat seseorang
boleh mengerjakan yang terlarang dalam syara’.
d. Darurat itu dinilai berdasarkan kadarnya
Pengertian kaidah ini adalah setiap hal yang dibolehkan
karena darurat itu, baik itu berwujud pelaksanaan perbuatan dan
meninggalkan perbuatan, maka semua itu dibolehkan dalam batas
untuk menghindari kemudaratan dan hal yang menyakitkan saja,
tidak lebih dari itu.
e. Sesuatu yang dibolehkan karena uzur akan menjadi batal setelah
hilang masa darurat
Kaidah ini dipraktekkan ketika menghadapi darurat, dan
sesuatu yang dilakukan setelah masa darurat.
f. Keadaan terpaksa tidak dapat membatalkan hak orang lain
Sekalipun keadaan terpaksa itu merupakan salah satu sebab
dibolehkannya melakukan perbuatan yang dilarang, seperti

Kebutuhan Menduduki Posisi Darurat 201


dibolehkannya memakan bangkai, darah, meminum khamar, tetapi
tidak menggugurkan hak orang lain secara materi
g. Kemudahan itu tidak hilang karena kesukaran
Maksudnya ialah bahwa sesuatu yang diperintahkan, tetapi
tidak dapat dikerjakan secara sempurna sesuai dengan perintah
kecuali sebagiannya saja, maka kewajiban itu jatuh pada sebagian
yang dapat dilakukan itu, dan tidak dapat ditinggalkan karena
ditinggalkannya yang sulit.
h. Kebutuhan umum atau khusus menduduki posisi darurat
Kebutuhan vital yang bersifat umum ataupun khusus,
mempunyai pengaruh dalam perubahan ketetapan hukum,
sebagaimana halnya darurat. Meskipun demikian darurat lebih
kuat daripada kebutuhan dalam menyebabkan perubahan hukum
asal, karena darurat merupakan suatu keadaan yang jika dilawan
akan berakibat bahaya dan kemudaratan bagi keselamatan jiwa dan
yang lainnya.

6. Darurat Negara dalam Islam


Dalam kajian ketatanegaraan Islam, status negara dalam
keadaan darurat termasuk dalam ruang lingkup kajian siyasah
Harbiyah. Harbiyah bermakna perang, secara kamus, harbiyah adalah
perang, keadaan darurat atau genting. Sedangkan pengertian siyasah
harbiyah adalah wewenang atau kekuasaan serta peraturan
pemerintah dalam keadaan perang atau darurat. Siyasah Harbiyah
sendiri itu adalah wewenang utama pemerintah atau kepala Negara
dalam mengatur dan mengurusi hal-hal atau masalah yang berkaitan
dengan perang, kaidah perang, mobilisasi umum, hak dan jaminan
keamanan perang, perlakuan keamanan perang, harta rampasan
perang dan masalah perdamaian.15 Pada dasarnya dalam hal kriteria

202 Poppy Lalita Apriliya


untuk membedakan antara sistem-sistem pemerintahan yang ada di
dunia ini terletak pada prinsip kedaulatan hukum dan keadilannya.
Apabila menerapkan kriteria sebuah sistem pemerintahan berdasarkan
pemerintahan Islam, maka dapat dikatakan bahwa kriteria sistem itu
berdasarkan syariat Islam yaitu pemerintahan yang berlandaskan
kepada undang-undang yang diekspresikan kepada mabda al-
syar’i>yyah al-Isla>miyah (Legalitas Islam) atau kedaulatan syariat.
Yang dimaksud dengan mengakui suatu pemerintahan yang
Islami atau mengatakannya berafiliasi kepada Islam bukanlah berarti
pemerintahan itu memperoleh kesucian yang memeliharanya dari
kritikan orang atau diberi sertifikat bersih dari melakukan pelanggaran
terhadap syariat, namun suatu pemerintahan yang islami itu haruslah
berkomitmen terhadap penerapan syariat. Apabila dapat dikatakan
bahwa kehendak rakyat, para ulama ataupun cendikiawan yang
menginginkan sebuah pemerintahan yang harus konsisten dalam
menjalankan pemerintahan dan kemudian penguasa tidak sesuai
dengan kehendak hukum bersama itu, dan dikarenakan sebagian
pemerintahan memaksakan kekuasaannya dengan kekuatan dan
kekerasan dan umumnya tidak menghormati kehendak rakyat, dan
juga para fuqaha maka kenyataannya hal yang dapat mengobati
keadaan seperti ini adalah pemberontakan atau keluar dari kekuasaan
penguasa. Berkaitan dengan adanya keadaan darurat Negara dengan
pemberontakan, Abdul Qadir Audah menjelaskan bahwa
pemberontakan merupakan bagian dari jarimah politik (tindak pidana
politik)
Dalam konteks keterwakilan (syura), prinsip darurat (daruri)
dapat dijelaskan sebagai prinsip yang didasarkan kepada standar batas
negatifnya. Artinya darurat yang membuka peluang pergeseran
hukum boleh (ibahah) itu adalah yang tidak melampaui batas-batas

Kebutuhan Menduduki Posisi Darurat 203


emergency-Nya. Ukuran yang dapat distandarisasi untuk melihat baik
tidaknya darurat itu difungsikan, adalah melalui standar lembaga
syura atau parlemen. Dengan demikian, lembaga syura dapat
menentukan lini demarkatif suatu regulasi dapat disebut memenuhi
kriteria darurat atau tidak. Prinsip “darurat”, sebagai teori umum yang
memiliki daya jangkau yang luas, merupakan dasar bagi fleksibilitas
ragam hukum syara’, baik yang berhubungan dengan sistem
keyakinan (akidah), sistem ritus (ibadah), pemerintah maupun
muamalah. Dalam konteks pembahasan ini, Negara berada dalam
suatu keadaan darurat apabila memenuhi beberapa kriteria
sebagaimana yang disebutkan di dalam Pasal 1 Perpu No. 23 Tahun
1959. Yaitu : Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang
menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik
Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat
sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila: a)
Keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian
wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan,
kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam sehingga
dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara
biasa. b) Timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan
perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apa pun
juga. c) Hidup negara berada dalam keadaan bahaya atau dari
keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-
gejala yang dapat membahayakan.

C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Hakikat darurat: adalah kondisi terpaksa untuk melakukan
perbuatan yang dilarang atau meninggalkan tuntutan/kewajiban,

204 Poppy Lalita Apriliya


jika tidak melakukan yang dilarang ia akan celaka/binasa, atau
badannya, hartanya atau kehormatannya akan terkena mudarat.
Batasan darurat: menurut imam al Suyuti dan sebagaimana
disebutkan dalam catatan pinggir kitab al Muqni', sesungguhnya
darurat itu hanya yang berkait dengan kekhawatiran terhadap
kematian saja. Sedang menurut Wahbah al Zuhaili:
a. Hendaknya darurat itu ada/nyata bukan seuatu yang dinanti,
spekulatif, dan imajinatif;
b. Tidak ada cara lain (yang dibolehkan secara syar’i) untuk menolak
bahaya kecuali menggunakan sesuatu yang diharamkan;
c. Terpenuhi ‘uzur yang membolehkan melakukan sesuatu yang
diharamkan;
d. Tidak menyalahi prinsip-prinsip Islam. Maka tidak dibolehkan
berzina, membunuh, kafir, dan mengambil secara paksa
(kehormatan atau harta) apapun situasinya;
e. Keringanan melakukan sesuatu yang diharamkan hanya sampai
kepada kemampuan untuk bertahan;
f. Bertanya kepada ahli yang adil, dipercaya agama, dan ilmunya
jika terpaksa harus melakukan pengobatan yang tidak ditemukan
obat yang halal kecuali yang diharamkan dalam agama.
Adapun hikmah darurat, adalah rahmat Allah bagi hamba-
hamba-Nya, jika Dia mensyariatkan beberapa ketentuan hukum
yang dapat menerangi jalan mereka dalam urusan-urusan dunia dan
akhirat. Begitu juga untuk menghilangkan kesempitan dari orang-
orang mukallaf, dan menjaga keselamatam nyawa orang yang
bersangkutan.

Kebutuhan Menduduki Posisi Darurat 205


D. DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an al Karim. Departemen Agama RI
A. Djazuli, Fiqh Siyasah. Cet. II; Jakarta: Prenada Media, 2003 M.
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis. Cet. V; Jakarta:
Prenada Media 2014 M.
Al ‘Aini, Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al Hanafi Badruddin.
‘Umdah al Qari’ Syarah Sahih al Bukhari. Bairut: Dar IhyaI al
Turas\ al ‘Arabi, t.th. (Maktabah al Syamilah)
Al Jasas Abu Baker, Ahmad bin ‘Ali al Razi. Ahkam al Qur’an,
Muhaqqiq Muhaammad al Sadiq al ‘Qamhawi. Bairut: Dar Ihya
al Turas al ‘Arabi, 1405 H.
Al Jurjani, Al Ta’rifat. Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyyah, 1983.
Al Maqdisi, ‘Abdullah bin Ahmad bin Quddamah. Al Muqni’ Fiqh
Imam al Sunnah Ahmad bin Hanbal al Syaibani. t.tp.: Maktabah al
Riyad al Hadistah, 1400 H.
Al Naisaburi, Abu ‘Abdullah al Hakim Muhammad bin Muhammad.
Al Mustadrak ‘ala al Sahihain, Tahqiq: Mustafa ‘Abd al Qadir
‘Ata’. Bairut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, 1990 M. (Maktabah al
Syamilah)
Al Qur’an dan Terjemah: Dilengkapi Panduan Waqaf dan Ibtida’. Cet.
II; Jakarta: PT Suara Agung, 2017 M.

206 Poppy Lalita Apriliya


BAB 11
SETIAP YANG MEMBAWA
MANFAAT DIBOLEHKAN
DELA SENA PUTRI
ANISSAH

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dalam syariah Islam yang dipegang teguh oleh umat Islam yang
berawal dari datangnya Nabi terakhir yaitu Muhammad SAW. Beliau
adalah pembawa risalah terakhir dari ajaran Allah, yang merupakan
kelanjutan dari risalah-risalah yang pernah ada sebelumnya sebagai
penyempuran atau pelengkap supaya dijadikan sebuah peroman
dalam hidup dari kehidupannya.1
Agama Islam adalah agama yang memberi pedoman hidup
kepada manusia seara menyeluruh, meliputi segala aspek

1
Hamka Haq, Falsafat Ushul Fiqh (Makassar: Yayasan al-Ahkam,1998), h.1.

Setiap Yang Membawa Manfaat Dibolehkan 207


kehidupannya menuju tercapainya kebahagiaan hidup rohani dan
jasmani, baik dalam kehidupan individunya maupun dalam
kehidupan masyarakatnya Secara umum, tujuan pencipta hukum
(Syar’i) dalam menetapkan hukum-hukumnya adalah untuk
kemaslahatan dan kepentingan serta kebahagiaan manusia
seluruhnya, baik kebahagiaan di dunia yang fana (sementara) ini,
maupun akhirat yang haqa (kekal) kelak. Tujuan hukum Islam yang
demikian itu dapat kita tangkap antara lain dari firman Allah dalam
QS. al-Anbiya' (21); 107 dan QS. al-Baqarah (2): 201-202.2
Perkembangan ekonomi Islam saat ini adalah wujud dari upaya
menerjemahkan visi Islam yang rahmatan lil alamin, berkeadilan,
universalitas („alamiyyah) dan seimbang dengan alam. Bahwa muslim
harus mengikuti dan mematuhi tuntutan Islam secara kaffah,
termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai yang berlaku pada bidang
muamalah. Lebih spesifik lagi dalam bidang ekonomi, karena jika
agama ditopang dengan ekonomi yang kuat, maka agama akan
menjadi raksasa superioritas yang mudah mempengaruhi nilai-nilai
ajarannya pada masyarakat dunia lewat hegemoni ekonomi. Islam
sangat memperhatikan perekonomian umatnya, hal ini dapat dilihat
dari banyaknya ayat-ayat Alquran, hadist, maupun ijtihad para ulama
yang berbicara tentang perekonomian. Bahkan ayat terpanjang yaitu
surat al Baqarah ayat 282 justru berisi tentang masalah perekonomian.
Alquran sebagai pegangan hidup umat Islam telah mengatur kegiatan
ekonomi secara eksplisit dan implisit, dan mengisyaratkan berdagang
sebagai sebuah pekerjaan yang mulia dan menguntungkan
sebagaimana nabi Muhammad dalam sejarah yang tak hanyal dikenal
sebagai pemimpin dan politisi yang ulung, akan tetapi jauh

2
Suparman Uvnan, Hukum Islam, Asas-Asas dan Pengantar, Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia (Cet. I; Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001), h. 66.

208 Dela Sena Putri | Anissah


sebelumnya ia dikenal sebagai pebisnis yang ulung juga. Namun
demikian perkembangan aspek ekonomi telah mengundang berbagai
persoalan yang memerlukan kepastian hukumnya. Banyaknya umat
Islam di Indonesia atau global secara umum gamang dan ragu atas
kepastian hukum masalah-masalah transaksi keuangan atau produk
financial yang berkembang belakangan. Maka ini merupakan tugas
berat bagi para akademisi Islam untuk segera merespon sehingga
kekosongan hukum tidak sampai terjadi. Penetapan segera hukum
Islam pada masalah ekonomi ini merupakan suatu keniscayaan.
Namun demikian al Quran dan Hadis sangat terbatas menjawab
persoalan tersebut sehubungan dengan telah terhentinya wahyu,
sementara peristiwa dan masalah dalam kehidupan manusia terus
berkembang dan tak terbatas. Maka, mengandalkan teks wahyu
semata tidaklah cukup memadai dalam menyikapi persoalan
kemanusiaan sehari-hari. Setidaknya upaya melakukan ijtihad
terhadap masalah kekinian selain dengan menggunakan dua sumber
utama yaitu al Quran dan hadits yang bersifat umum (tidak spesifik)
juga bisa dengan dengan menggunakan kaidah fiqhiyyah yang sudah
mapan yang telah dirumuskan oleh ahli fikih.
Sementara itu, perubahan-perubahan sosial yang dihadapi umat
Islam di era modern telah menimbulkan sejumlah masalah serius
berkaitan dengan hukum Islam. Di lain pihak, metode yang
dikembangkan para pembaru dalam menjawab permasalahan tersebut
terlihat belum memuaskan. Dalam penelitian mengenai pembaruan
hukum di dunia Islam, disimpulkan bahwa metode yang umumnya
dikembangkan oleh pembaru Islam dalam menangani isu-isu hukum
masih bertumpu pada pendekatan yang terpilah-pilah dengan
mengeksploitasi prinsip takhayyur dan talfiq.

Setiap Yang Membawa Manfaat Dibolehkan 209


Dari uraian di atas memberi gambaran bahwa manusia sangat
tergantung dan membutuhkan syari'ah sehingga syari'ah menjadi
sangat urgen bagi kehidupan umat manusia dengan tujuan agar bisa
dijadikan pegangan dalam kehidupan di dunia menuju kehidupan
yang abadi di akhirat kelak.

2. Rumusan Masalah
a. Bagaiamana Penerapan Kaidah Muamalah ini dalam ekonomi dan
keuangan Islam?
b. Bagaimana Penerapan Kaidah Muamalah ini dengan konsep
istishab?

3. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui Penerapan Kaidah Muamalah ini dalam
ekonomi dan keuangan Islam
b. Untuk mengethui Penerapan Kaidah Muamalah ini dengan konsep
istishab

B. PEMBAHASAN
1. Teks Kaidah
ْ َّ َ ُ َ َ َ َ ََ ُ ْ َ َ
‫األصل يِف المنا يف يع األيباحة و يِف المضار اتلح يريم‬

“Setiap yang membawa manfaat dibolehkan, dan setiap yang


menimbulkan keburukan dilarang”

210 Dela Sena Putri | Anissah


2. Dasar Hukum Kaidah
a. Al-Qur’an dan Hadits
 Surah al-Baqarah ayat 219

‫اس‬ َّ ُ َ َ َّ َ ْ ‫ك َعن‬
ٌ ْ ‫اْل ْمر َوال ْ َميْ ِس قُ ْل فِيْه َما ٓ ا ِثْ ٌم َكب‬ َ ََُْ َْ
ِۖ ِ ‫ومناف ِع ل ِلن‬ ‫ْي‬ ِ ِ ِِۗ ِ ِ ‫يسـلون‬

ََْْ ُ َ ْ ُ ْ ُ َ َ َ َ ْ ُ َ ْ َ َ َ ْ َّ ْ ُ َ ْ َ ٓ َ ُ ُ ْ َ
ۗ ‫وا ِثمهما اكَب مِن نفعِ ِهماۗ ويسـلونك ماذا ين ِفقون ەۗ ق ِل العفو‬
َ َّ َ َ ُ َّ َ ٰ ٰ ْ ُ ُ َ ُ ‫َ ٰ َ ُ َ ِ ُ ه‬
‫ت ل َعلك ْم ت َتفك ُر ْون‬
ِ ‫كذل ِك يب ِّي اّٰلل لكم اْلي‬

Artinya “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.


Katakanlah: Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka
nafkahkan. Katakanlah: Yang lebih dari keperluan. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,.”
 Surah Shad ayat 24
ٰ َّ َّ َٰ ُ ُ ْ ‫ْيا ِم َِن‬
ْ ِ ْ‫اْللَ َطاۤءِ ََلَب‬ ً ْ ِ ‫َوا َِّن َكث‬
‫ِغ َب ْعض ُه ْم لَع َب ْع ٍض ا ِْل اَّل ِْي َن ا َم ُن ْوا‬

ْ ُ َّ ٌ ْ َ ِ ‫ِح‬ ‫َو َعملُوا ه‬


ٰ ‫الصل‬
ۗ‫ت َوقل ِيل ما هم‬ ِ

Artinya “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orangorang yang


berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang
lain, kecuali orang orang yang beriman dan mengerjakan amal yang
saleh; dan amat sedikitlah mereka ini"
 Surah al-Nisa ayat 111
ُ ‫سهٖ ۗ َو ََك َن ه‬ َْ َٰ ْ َّ َ ْ ْ ْ َّ ْ َ َ
‫اّٰلل َعل ِيْ ًما َحكِيْ ًما‬ ِ ‫ِب ا ِث ًما فا ِن َما يَكس ُِب ٗه لَع نف‬
‫ومن يكس‬

Setiap Yang Membawa Manfaat Dibolehkan 211


Artinya “Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka
sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya
sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
 Surah al-An’am ayat 17
َ ْ َ َ ْ َ ْ َّ ْ َ َ ُ َّ ٓ ٗ َ َ َ َ َ ِ ُ ُ ‫َ ْ َّ ْ َ ْ َ ه‬
‫ْي ف ُه َو‬
ٍ ‫ض فَل َكشِف ل ا ِْل هو ۗوا ِن يمسسك ِِب‬
ٍ ِ ‫وا ِن يمسسك اّٰلل ب‬
َ ْ َ ُِ ٰ َ
‫َش ٍء قدِي ْ ٌر‬ ‫ك‬
ِ ‫لَع‬
Artinya “Apabila Allah SWT. menimpakan suatu
kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya
melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan
kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu”.
 Surah al-Baqarah ayat 279
ُ َ َ ْ ُ ْ ُ ْ َ ْ ُ َ َ ‫َ ْ َّ ْ َ ْ َ ُ ْ َ ْ َ ُ ْ َ ْ ِ َ ه‬
ُ‫ك ْم ُر ُء ْوس‬ ‫فا ِن لم تفعلوا فأذنوا ِِبر ٍب مِن اّٰللِ ورسو ِلٖ ٖۚ وا ِن تبتم فل‬

َ َ ُْ َ َ َْ َ ُ َ
‫ا ْم َوال ِك ْْۚم ْل تظل ُِم ْون َوْل تظل ُم ْون‬

Artinya “jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka


bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya (memudharatkan)
dan tidak (pula) dianiaya (dimudharatkan)..”
b. Dalil hadis Rasulullah Saw.
Diriiwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dari Ibnu Abbas r.a.yang
artinya: “Tidak boleh membahayakan dan tidak boleh (pula) saling
membahayakan (merugikan)”3

3. Pengertian Kaidah
Kaidah muamalah ini adalah apa saja perbuatan muamalah
yang di dalamnya mengandung manfaat dan tidak mengandung

3
Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, Muassasah al-Risalah, 1999, h. 438

212 Dela Sena Putri | Anissah


mudharat dibolehkan, tetapi jika perbuatan muamalah itu
mengandung mudharat, maka diharamkan. Dalam syariat Islam,
maka tujuan diadakannya hukum, termasuk bagian muamalah adalah
untuk mendapat kemaslahatan, dan menjauhi kemudharatan. Setiap
kemaslahatan mengandung manfaat, dan setiap kemudharatan
mengandung bahaya.
Kata mashlahat secara etimologi merupakan akar kata saluha.
Kata ini digunakan untuk menunjukkan jika seseorang menjadi
(berkeadaan atau tabiat) baik, tidak menyimpang, adil, saleh atau
jujur. Kata ini secara alternatif juga menunjukkan keadaan yang
mengandung kebajikan-kebajikan tersebut.4 Maslahah berarti juga
sebab, cara atau tujuan yang baik, yang bermanfaat. Penggunaan kata
maslahat pada periode awal berarti kebaikan dan kemanfaatan. Secara
umum, maslahah biasa diberi muatan pengertian dengan ungkapan
yang masyhur yaitu mengusahakan keuntungan dan menyingkirkan
bahaya. Bentuk jamaknya adalah mashalih (‫) مصالح‬.Lawan dari
maslahah adalah mafsadah ( ‫ ) مفسدة‬yaitu kerusakan. Mafsadat adalah
sesuatu yang menimbulkan kemudharatan.
Segala sesuatu yang disyariatkan oleh Islam tentu memiliki
kemaslahatan dan mengandung manfaat, sebaliknya segala sesuatu
yang dilarang oleh Islam adalah mafsadat dan mengandung bahaya.
Ketentuan syariat yang menyatakan ada manfaat dan mudharat akan
terkadang berbeda dengan ketentuan akal manusia. Seperti perbuatan
yang menurut akal adalah maslahat dan mengandung manfaat, karena
dengan riba mendapatkan keuntungan dalam bertransaksi didapat
dengan mudah, tetapi menurut syariat adalah mafsadat dan
mengandung bahaya, karena menyengsarakan bagi mereka yang
bertransaksi. Sebaliknya shadaqah, menurut akal mafsadat, karena

4
Abdul Mun’im Saleh, Op.Cit., h. 150

Setiap Yang Membawa Manfaat Dibolehkan 213


menghabiskan harta, tetapi menurut syariat adalah menyuburkan
harta benda. Oleh karena itu, yang menentukan ada manfaat dan
mudharat adalah ditunjuki oleh dalil syara’, bukan ditunjuki oleh akal
semata-mata. Karena akal terkadang tidak dapat menjangkau hikmah
yang dikandung oleh syariat.
Apabila sebuah maslahat didukung oleh nash, seperti
menuliskan al-Qur'an supaya tidak hilang, mengajar membaca dan
menulis, atau terdapat nash yang mendukungnya, seperti kewajiban
mengajarkan dan menyebarkan ilmu, perintah mengajarkan segala
kebaikan yang diperintahkan syara' dan larangan mengerjakan segala
macam kemungkaran yang dilarang syara', maka maslahah semacam
ini disebut maslahah mansus (maslahah yang ada nashnya), maslahah
jenis ini tidak termasuk maslahah mursalah Hukum maslahah mansus
ditetapkan oleh nash bukan oleh metode istislah.
Maslahat secara umum dapat dicapai melalui dua cara :
a. Mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan untuk manusia
yang disebut dengan istilah jalb al-manafi'. Manfaat ini bisa
dirasakan secara langsung saat itu juga atau tidak langsung pada
waktu yang akan datang.
b. Menghindari atau mencegah kerusakan dan keburukan yang sering
diistilahkan dengan dar' al-mafasid.
Adapun yang dijadikan tolok ukur untuk menentukan baik
buruknya (manfaat dan mafsadahnya) sesuatu yang dilakukan adalah
apa yang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. Tuntutan
kebutuhan bagi kehidupan manusia itu bertingkat-tingkat, yakni
kebutuhan primer, sekunder, dan tersier.5 Contoh dalam tujuan
syariah ini adalah larangan menimbun kebutuhan pokok bergabai
sanksi untuk mengilangkan mudharat.

5
Ghofar shidiq, Teori Maqashid Al-Syariah Dalam Hukum Islam, Jurnal, hlm 4.

214 Dela Sena Putri | Anissah


Dalam muamalah, seperti jual beli, utang piutang dan lainnya,
sebagaimana diterangkan pada qaidah fiqhiyyah muamalah yang
pertama, bahwa semua mua malah itu boleh karena bermuamalah itu
bermanfaat. Kebolehan muamalah itu selama tidak ada dalil yang
menyatakan keharaman, karena keharaman itu mengandung
mafsadat dan bahaya. Oleh karena dalam bermuamalah dilarang
adanya unsur kezhaliman, unsur gharar, unsur maysir dan riba.
Karena semua itu adalah membawa mudharat kepada orang yang
bertransaksi

4. Penerapan Kaidah Muamalah


Pada dasarnya semua yang bermanfaat halal (boleh), demikian
pula saling membahayakan (merugikan) haram dengan petunjuk
syariat.
1. Semua bentuk jual beli dibolehkan oleh para ulama, karena jual beli
itu mengandung manfaat, tetapi para ulama mengharamkan jual
beli yang ada unsur riba, karena riba mengandung unsur
kemudharatan (bahaya), kemudharatan itu ditunjuk oleh syariat.
Misalnya seseorang melakukan utang piutang kemudian
pembayarannya berlebih dari jumlah utang dengan permintaan
sipemberi utang.
2. Musyarakah dibutuhkan oleh masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraan dan usaha memerlukan dana dari pihak lain, di mana
masing-masing pihak memberikan kontribusi dana, dengan
ketentuan, bahwa keuntungan dan resiko ditanggung bersama
sesuai dengan kesepakatan ketika akad. Pada musyarakah terdapat
beberapa manfaat, oleh karena itu musyarakah dibolehkan. Tetapi
musyarakah menjadi terlarang apabila ternyata pihak yang ber-
musyarakah itu tidak jujur, seperti pihak yang menjalankan usaha

Setiap Yang Membawa Manfaat Dibolehkan 215


menggunakan dana bukan seperti yang disebut dalam akad, atau
sengaja membuat kesalahan dalam usaha, atau menyembunyikan
keuntungan, maka musyarkah itu menjadi terlarang.
3. Dalam melakukan muamalah seperti jual beli, upah mengupah,
utang piutang dan lainnya dibolehkan oleh Islam, karena
mengandung manfaat dan tolong menolong di antara sesama
manusia. Tetapi jika dalam muamalah itu mengandung unsur
penipuan, maka muamalah itu menjadi haram.

5. Peranan Kaidah dalam Merumuskan Kebijakan Ekonomi dan


Keuangan Islam
Mempelajari kaidah fiqhiyyah dalam membantu umat islam
untuk membahas suatu tema hukum ekonomi Islam, dalam
memperoleh kemudahan dan mengetahui hukum-hukum
kontemporer ekonomi yang tidak memilik dalil pasti dalam al-quran
dan hadits yaitu melalui sebuah ungkapan yang padat dan ringkas
berupa kaidah fiqhiyyah.
Dalam kaidah-kaidah fiqih lembaga keuangan syariah
merumuskan peranan kaidah “pada dasarnya semua yang bermanfaat
boleh dilaksanakan dan semua yang mendatangkan bahaya haram
dilaksanakan” memiliki contoh dalam produk perasuransian atau
produk wakalah bi al-ujrah yaitu suatu bentuk pendelegasian suatu
urusan kepada seseorang atau badan usaha untuk berbuat sesuai
dengan yang diinginkan orang yang menyerahkan urusan tersebut,
dimana orang, badan usaha yang mengelola urusan tersebut
mendapatkan upah (manfaat).

216 Dela Sena Putri | Anissah


Wakalah bi al-ujrah adalah salah satu bentuk akad wakalah
dimana peserta memberikan kuasa kepada perusahaan asuransi dalam
pengelolaan dana mereka dengan pemberian upah.6

6. Relevansi Kaidah dengan Konsep Istihab


Relevansi kaidah fikih dalam menyelesaikan problem sosial
ekonomi telah terbukti di era Turki Usmani. Kekhalifahan Turki
Usmani antara tahun 1869-1878 mengeluarkan undang-undang
syariat yang dinamakan Majallah al Ahkam al Adliyyah yang
merupakan penerapan hukum Islam dengan 99 kaidah fikih di bidang
muamalah dengan 1851 pasal. Undangundang ini diberlakukan
sebagai kitab hukum di seluruh kawasan Turki Usmani. Termasuk di
dalamnya kaidah fikih utama berjumlah lima yang telah disepakati
sebagain besar ulama sebagai dalil yang bisa dijadikan rujukan
langsung untuk istinbâth hukum dalam bidang muamalah.7
Dalam kaidah ini kemaslahatan mesti diwujudkan dan
kemafsadatan mesti dihindari, ia diwujudkan pada kehidupan dunia
untuk kehidupan akhirat, sekalipun dalam hukum al-adat
(mu’amalah), namun bukan berdasarkan hawa nafsu.8
Kaidah inipun diungkap oleh Imam alSyathibi ketika
menjelaskan tentang esensi dan karakteristik mashlahat yang mu’tabar
menurut syara’ dan sesuatu yang dapat dianggap sebagai mashlahat
dan mafsadat hakiki. Menurutnya, rujukan dari semua itu adalah
perintah Syar’i, bukan ditentukan oleh akal atau didasarkan hawa
nafsu.

6
DSN, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, h. 392.
7
Abbas Arfan,2014 99 Kaidah Fiqhiyyah Kulliyyah Muamalah, cet. Ke-1 Malang: UIN Maliki Press.
Hal:15
8
Al-Kailani. Qawa’id al-Maqashid ‘inda al-Imam al-Syathibi, ‘Ardhan wa Dirasat wa Tahlilan,
(Damaskus: Dar al-Fikr, 2000), hlm.153

Setiap Yang Membawa Manfaat Dibolehkan 217


Salah satu persyaratan penting agar suatu mashlahat disebut
mu’tabarah adalah seluruh hukum disyari’atkan kembali kepada
kadar kedekatannya dengan sikap kehambaan (ibadah/ta’abbud), baik
hukum tersebut terkait dengan ibadah murni atau pun terkait dengan
kehidupan dan mu’amalah duniawi.9
Seorang mukallaf mesti mengkaitkan hukum syara’ dengan
pencapai kemashlahatannya. Karena itu upaya memperoleh
kemaslahatan duniawi seharusnya tidak bertentangan dengan
kemaslahatan ukhrawi, “bahkan ia berfungsi menyempurnakannya
ketika manusia menggunakan segenap kemampuaannya dan
kebahagiaan duniawinya sebagai jalan atau sarana untuk mencari
kebahagiaan ukhrawi yang kekal”.
Merupakan persyaratan agar sesuatu dianggap mu’tabar
menurut dhawabith al-mashalah adalah bahwa kemashlahatan
tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan
qiyas, karena bila bertentangan dengan salah satu dasar ini, ia
merupakan mashlahah yang batil. Jelaslah bahwa ia tidak
mewujudkan kebahagiaan duniawi karena akhiratnya. Sehingga para
ahli ushul membagi mashlahah kepada tiga macam, yaitu; al-
mashlahah al-mu’tabarah, al-mashlahah al-mulghah, dan al-
mashlahah almursalah.
Beberapa kaidah yang sejalan dan mendukungnya, antara lain;
a. Syari’at ditetapkan, bila untuk kemaslahatan hamba, ia sesuai
dengan perintah Syari’, dan berdasarkan batasan yang ditentukan-
Nya, bukan berdasarkan kehendak hawa nafsu dan syahwatnya.
b. Kemashlatan dan mafsadat harus meruju’ kepada perintah Syari’.

9
Aslati & Afrizal, Al-qaid al-Maqashidiaj yang terkait dengan Mashlahat dan Mafsadat, Jurnal 2017,
hlm. 23

218 Dela Sena Putri | Anissah


c. Yang dimaksud dengan mashlahat adalah apa yang perhitungkan
secara syara’ dan pelaksanaannya diatur oleh syara’.
Seluruh perbuatan yang mengikuti hawa nafsu, dan tidak ditemukan
perintah, larangan dan pilihan secara mutlak, maka ia batil secara
mutlak.10

C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari materi diatas dapat kami simpulkan bahawa apa saja
perbuatan muamalah yang di dalamnya mengandung manfaat dan
tidak mengandung mudharat dibolehkan, tetapi jika perbuatan
muamalah itu mengandung mudharat, maka diharamkan.
Segala sesuatu yang disyariatkan oleh Islam tentu memiliki
kemaslahatan dan mengandung manfaat, sebaliknya segala sesuatu
yang dilarang oleh Islam adalah mafsadat dan mengandung bahaya.
Kaidah fiqhiyyah dalam bidang ekonomi bertugas menjustifikasi
dan melegitimasi seluruh aktifitas ekonomi umat Islam dalam
berbagai bidang transaksi, baik yang terkait dengan transaksi-transaksi
mono akad maupun multi akad. Transaksi mono akad atau akad
tunggal seperti jaul-beli, sewa-menyewa, gadai, hutangpiutang pada
gilirannya sesuai kebutuhan aktifitas ekonomi masyarakat
kontemporer, memerlukan transaksi multi akad. Sebagai contoh
maraknya masyarakat melakukan transaksi sewa beli kendaraan
bermotor, perumahan, barang elektronik dan lain semisalnya. Maka
kaidah fiqhiyyah yang menjustifikasi adalah yang berkaitan dengan
transaksi al-ijârah muntahiyah bi al-tamlîk. Demikian seterusnya pada
permasalahan ekonomi lainnya.

10
Ibid, hlm. 157

Setiap Yang Membawa Manfaat Dibolehkan 219


2. Saran
Saya sebagai penulis, menyadari bahwa makalah ini banyak
sekali kesalahan dan sangat jauh dari kesempurnaan.Tentunya,
penulis akan terus memperbaiki makalah dengan mengacu pada
sumber yang dapat dipertanggungjawabkan nantinya.Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan
makalah diatas

D. DAFTAR PUSTAKA
Hamka Haq, Falsafat Ushul Fiqh Makassar: Yayasan al-Ahkam,1998.
Suparman Uvnan, Hukum Islam, Asas-Asas dan Pengantar, Studi Hukum
Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Cet. I; Jakarta : Gaya Media
Pratama, 2001.
Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, Muassasah al-Risalah, 1999.
Abdul Mun’im Saleh
Ghofar shidiq, Teori Maqashid Al-Syariah Dalam Hukum Islam, Jurnal 2017
DSN, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI.
Abbas Arfan,99 Kaidah Fiqhiyyah Kulliyyah Muamalah, cet. Ke-1 Malang:
UIN Maliki Press, 2014.
Al-Kailani. Qawa’id al-Maqashid ‘inda al-Imam al-Syathibi, ‘Ardhan wa
Dirasat wa Tahlilan, Damaskus: Dar al-Fikr, 2000.
Aslati & Afrizal, Al-qaid al-Maqashidiaj yang terkait dengan Mashlahat dan
Mafsadat, Jurnal 2017.

220 Dela Sena Putri | Anissah


BAB 12
HUKUM DASAR DALAM TRANSAKSI
ADALAH KERIDHAAN
RIVALDY HERMAWAN PUTRA

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kaidah fikih menjadi sesuatu yang begitu penting untuk dikenali
dan pahami sebagai modal dalam menelaah peristiwa pada masa
kekinian yang berbeda dengan era klasik. Dengan menguasai kaidah-
kaidah fikih kita akan mengetahui benang merah yang terdapat di
berjuta masalah fikih, karena kaidah fiqh itu memang menjadi titik
temu dari masalah-masalah fikih. Penguasaan terhadapnya juga
menjadikan kita lebih arif di dalam menerapkan fikih dalam waktu
dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang
berlainan.
Tidak hanya itu, Qawaidul fiqhiyah juga bisa dijadikan landasan
aktifitas umat Islam sehari-hari dalam usaha memahami maksud-

Hukum Dasar dalam Transaksi adalah Keridhaan 221


maksud ajaran Islam (maqasid al-Syari’ah) secara lebih menyeluruh,
keberadaan Qawa’id fiqhiyyah menjadi sesuatu yang amat penting,
termasuk dalam kehidupan berekonomi, bersosial, beragama dan
berbudaya. Baik di mata para ahli usul (usuliyyun) maupun fuqaha,
pemahaman terhadap qawa’id fiqhiyyah adalah mutlak diperlukan
untuk melakukan suatu “ijtihad” atau pembaharuan pemikiran dalam
berbagai masalah.
Salah satu prinsip penting yang perlu diperhatikan dalam
bermuamalah atau beraktivitas ekonomi secara syariah yakni prinsip
‘an taradhin (Suka sama suka/saling ridha)

2. Rumusan Masalah
a. Apa Dasar Hukum Kaidah dan Makna Kaidah?
b. Apa Makna Ridha dalam Bermuamalah?
c. Bagaimana Penerapan Kaidah dalam Ekonomi Syariah?

3. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui Dasar Hukum Kaidah dan Makna Kaidah?
b. Untuk mengetahui Makna Ridha dalam Bermuamalah?
c. Untuk mengetahui Penerapan Kaidah dalam Ekonomi Syariah?

B. PEMBAHASAN
1. Teks Kaidah
ُ َّ َ َ ‫جتُ ُه َما إ‬ ُ ‫الع ْقد ر ََض‬
َ ْ‫المتَ َعاق َد يْن َونَتَي‬ َ
َ ‫األ ْص ُل ِف‬
‫لَت َم ُاه يباات َعا ق يد‬ ‫ي‬ ‫ي ي‬ ‫ي ي‬ ‫ي‬
“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan, kedua belah pihak yang
berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan”

222 Rivaldy Hermawan Putra


2. Dasar Hukum Kaidah
a. Al-Quran surat An-Nisa [4] : 29
َ ْ ُ َ ْ َ ْٓ ‫ذ‬ َ ْ ْ ُ َ ْ َ ْ ُ َ َ ْ َ ْْٓ ُ ُ ْ َ َ ْ ُ َ ٰ َ ْ ‫ٰٓ َ ُّ َ ذ‬
‫يايها اَّلِين امنوا َل تأكلوا اموالكم بينكم بِاْلاط ِِل ا َِل ان تكون‬

ُ َ َ َ ‫ْ ُ ْ َ َ َ ْ ُ ُ ْْٓ َ ْ ُ َ ُ ْ ذ ه‬ َ َ ًَ َِ
‫اّٰلل َكن بِك ْم َرحِيْ ًما‬ ٍ ‫ارة ع ْن ت َر‬
‫اض مِنكم ۗ وَل تقتلوا انفسكم ۗ ا ِن‬ ‫ِت‬

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan


harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah
kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.
b. Al-Hadits
Telah menceritakan kepada kami [Al Abbas bin Al Walid Ad
Dimasyqi] berkata, telah menceritakan kepada kami [Marwan bin
Muhammad] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abdul Aziz bin
Muhammad] dari [Dawud bin Shalih Al Madini] dari [Bapaknya]
berkata; aku mendengar [Abu Sa'id] ia berkata, "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya jual beli itu
berlaku dengan saling ridha." (HR. Ibnu Majah, Baihaqi dan dinilai
shahih oleh Ibnu Hibban)

3. Makna Ridha dalam Bermuamalah


Kata kunci dalam kaidah fikih yang menjadi pembahasan dalam
makalah ini adalah kata “ridha” yang perlu dipahami agar lebih
mengerti makna dari kaidah fikih yang dimaksud. Ridha secara bahasa
berasal dari bahasa Arab radiya yang artinya senang hati (rela). Ridha
menurut syariah adalah menerima dengan senang hati atas segala
yang diberikan Allah swt. baik berupa hukum (peraturan-peraturan)
maupun ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan-Nya.

Hukum Dasar dalam Transaksi adalah Keridhaan 223


Pengertian di atas adalah pengertian dalam perspektif fikih
ibadah atau penjabaran atas dasar interaksi manusia kepada Allah swt.
(habluminallah). Sedangkan dalam perspektif fikih muamalah atau
penjabaran atas dasar interaksi manusia dengan manusia
(habluminannas), maka ridha diartikan menerima dan menyetujui
dengan suka rela transaksi yang dilaksanakan antara seseorang dengan
orang lain pada akad yang dilangsungkan.
Terdapat beberapa rukun dalam sebuah akad yang
dilangsungkan yakni:
a. Subjek akad
b. Objek akad
c. Shigat (ijab kabul)
Keberadaan ijab dan kabul dapat disebut sebagai indikator
keridhaan. Maksud diadakannya ijab dan kabul untuk menunjukkan
adanya suka rela timbal balik terhadap perikatan yang dilakukan oleh
dua pihak yang bersangkutan. Dan dapat disimpulkan bahwa akad
terjadi diantara dua pihak dengan suka rela. Dan menimbulkan
kewajiban atas masing-masing secara timbal balik. Maka dari itu
sudah jelas pihak yang menjalin ikatan perlu memperhatikan
terpenuhinya hak dan kewajiban masing-masing pihak tanpa ada
pihak yang terlanggar haknya.1
Suatu jual beli tidak sah apabila tidak terpenuhi syarat sahnya
jual beli dan salah satu syaratnya adalah syarat saling rela (keridhaan)
antara kedua belah pihak. Kerelaan antara kedua belah pihak untuk
melakukan transaksi merupakan syarat mutlak keabsahannya.2
Setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip
keridhaan atau kerelaan antara kedua belah pihak (sama-sama ridha).

1
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah (Banjarmasin: Lembaga Pengembangan Kuaitas Ummat
Banjarmasin, 2014), 202-203.
2
Mardani, Fikih Ekonomi Syariah: Fikih Muamalah (Jakarta: Kencana, 2012), 104.

224 Rivaldy Hermawan Putra


Mereka harus mempunyai informasi yang sama (complete
information) sehingga tidak ada yang bersifat unknown to one party
(keadaaan dimana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang
diketahui pihak lain, ini disebut juga assymetric information).
Unknown to one party dalam bahasa fikihnya disebut tadlis, dan dapat
terjadi dalam 4 (empat) hal, yakni dalam kuantitas, kualitas, harga dan
waktu penyerahan.3
Keridhaan dari pihak yang bertransaksi merupakan suatu asas
yang penting untuk diterapkan. Keridhaan dinyatakan sebagai asas
oleh beberapa pakar dengan redaksi istilah yang berbeda namun
memiliki makna yang sama. Burhanuddin Susanto menyebutkan
bahwa salah satu asas dalam kontrak syariah adalah asas ar-ridha (asas
keridhaan).4 Asas ini menyatakan bahwa segala transaksi yang
dilakukan harus berdasarkan keridhaan antara masing-masing pihak.
Apabila dalam transaksi tidak terpenuhi asas ini, maka sama artinya
dengan memakan harta dengan cara yang bathil. Dalam istilah lain
disebutkan oleh Syamsul Anwar pada konteks asas perjanjian dalam
hukum Islam, maka asas ini distilahkan asas konsensualisme (mabda
ar-radha’iyyah) dengan penjelasan asas ini menyatakan untuk
terciptanya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat
antara pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu.5

4. Makna Kaidah
Kaidah fikih “Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan, kedua
belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan”
memiliki makna sesungguhnya seseorang yang telah ridha (suka)

3
Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fikih dan Keuangan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008),
31.
4
Burhanuddin Susanto, Hukum Kontrak Syariah (Yogyakarta: BPFE, 2009), 45.
5
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2010), 87.

Hukum Dasar dalam Transaksi adalah Keridhaan 225


terhadap sesuatu atau telah menerima akan sesuatu atau mengizinkan
untuk sesuatu, maka segala konsekuensi yang timbul didalamnya
maupun rentetan masalah yang ada dari apa yang telah diterima maka
harus diterima. Dengan demikian, prinsip keridhaan itu berarti
menerima segala resiko yang akan terjadi dari yang telah diterima,
karena dalam akad, suatu akad lazimnya tidak dapat difasakh atau
dibatalkan oleh salah satu pihak, seperti akad jual beli, sewa-menyewa
dan sebagainya.6 Secara sederhana A.Djazulli berpandangan tentang
kaidah ini bahwa maksud dari kaidah adalah apabila orang telah ridha
terhadap sesuatu, maka ia ridha menanggung resiko akibat dari hal
tersebut.7
Sayyid Sabiq menjelaskan dalam fikih Sunnah, pada konteks jual
beli apabila akad terlaksana, sedangkan pembeli mengetahui adanya
cacat (pada barang yang dibelinya), maka akad ini bersifat mengikat.
Tidak ada khiyar bagi pembeli karena ia telah ridha.8
Maka dari itu, jika bermuamalah dengan proses yang relevan
dengan syariat Islam sebagaimana diuraikan bahwa telah diketahui
maupun diidentifikasi benda atau objek akad tersebut ada
kekurangannya oleh pihak yang bertransaksi misalkan pembeli, maka
keridhaan orang yang bermuamalah yakni pembeli tadi, ia akan
menanggung akibat dari keridhaannya.

5. Aplikasi Kaidah dalam Ekonomi Syariah


Beberapa aplikasi atau penerapan kaidah fikih “Hukum asal dalam
transaksi adalah keridhaan, kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah

6
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, 212-213.
7
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang
Praktis (Jakarta: Kencana, 2006), 94.
8
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 5, terj. Abdurrahim dan Masrukhin (Jakarta: Cakrawala Publishing,
2009), hlm. 211.

226 Rivaldy Hermawan Putra


berlaku sahnya yang diakadkan” pada aktivitas ekonomi dapat
dideskripsikan sebagai berikut:
a. Apabila seseorang telah ridha membeli barang yang telah cacat,
maka manakala cacat itu bertambah berat, maka tidak ada alternatif
lain baginya, kecuali harus menerimanya.
b. Apabila seseorang telah ridha untuk bekerja pada suatu
perusahaan, dia telah mengetahui job discription-nya dengan jelas
secara menyeluruh, maka manakala masa kerja berjalan tersebut ia
dibebani banyak pekerjaan yang memang menjadi ranah posisi
kerjanya dan sebelum diterima diperusahaan itu ia telah diberitahu
dan sudah mengerti kondisinya, maka pekerjaan tersebut harus
diterimanya dan menjadi tanggung jawab yang harus dikerjakan.
c. Apabila seseorang telah bersepakat bekerja sama dengan klausul
posrsi kerja dan porsi investasi yang disampaikan di waktu akad
dengan transparan dan sudah sama-sama saling mengerti satu sama
lain, maka si pemilik dana harus menerima hasil kerja sama dengan
si pengelola dana berapapun nominalnya ketika memang dana
yang dikelola telah digunakan dengan jujur tanpa rekayasa.

C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Kaidah yang dibahas dalam artikel ini terkait pada masalah
keridhaan. Keridhaan dalam bermuamalah adalah sebuah prinsip.
Oleh karena itu, sebuah transaksi akan sah apabila didasarkan kepada
keridhaan kedua pihak. Selanjutnya dituntut untuk adanya
transparansi atau kejelasan maupun keterbukaan dalam hal transaksi
yang dilangsungkan, karena hal tersebut untuk menghindari adanya
penyimpangan informasi (ketidaksampaian informasi kepada salah
satu pihak) yang pada nantinya berakibat sebuah tindakan terlarang

Hukum Dasar dalam Transaksi adalah Keridhaan 227


yakni tadlis (penipuan) yang mengarah pada gugurnya keridhaan
dikarenakan dilakukan tidak seperti seharusnya dan menimbulkan
kesukaran pada salah satu pihak. Dengan demikian, ketika hal
tersebut telah dilakukan seperti seharusnya dengan tersampaikannya
informasi yang tepat dan akurat kepada kedua belah pihak, maka saat
transaksi itu disetujui dengan ridha, akibat yang terjadi dari
berlangsungnya akad tersebut adalah juga merupakan sebuah
keridhaan.

D. DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Syamsul. 2010. Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad
dalam Fikih Muamalat. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Azhari, Fathurrahman. 2014. Qawaid Fiqhiyyah. Banjarmasin: Lembaga
Pengembangan Kualitas Ummat Banjarmasin.
Djazuli, A. 2006. Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana.
Karim, Adiwarman A. 2008. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan.
Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Mardani. 2012. Fiqih Ekonomi Syariah: Fiqih Muamalah. Jakarta:
Kencana.
Mufid, Moh. 2015. 40 Kaidah Hukum Ekonomi Syariah: dari Teori ke
Praktik. Makasar: Zahra Litera.
Sabiq, Sayyid. 2009. Fikih Sunnah. Jilid 5. Terj. Abdurrahim dan
Masrukhin. Jakarta: Cakrawala Publishing.
Susanto, Burhanuddin. 2009. Hukum Kontrak Syariah. Yogyakarta:
BPFE.

228 Rivaldy Hermawan Putra

Anda mungkin juga menyukai