Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

“Undang-Undang dan Fatwa DSN Bank Syariah”

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Produk dan Layanan Bank Syariah

Dosen Pengampu : Ambok Pangiuk, S.Ag, M.Si

Disusun Oleh Kelompok 3 :

1. Febi Jahara Putri 501200599


2. Indri Widiasti.S 501200643
3. Ozi Partrino 501200638

PRODI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI

2022

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah kami tentang Teori Kebijakan Moneter
Islam. Semoga makalah ini dapat dipahami dan dapat menambah wawasan bagi siapapun yang
membaca. kami menyadari bahwa dalam penyusunan tugas makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan, baik dari segi penulisan, isi, maupun kata-kata yang digunakan, sehingga kami
sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah
selanjutnya yang lebih baik lagi.

Jambi, 27 Oktober 2022

penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah ....................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Undang-Undang tentang Bank Syariah................................................................... 3


B. Fatwa DSN Bank Syariah ....................................................................................... 7
C. Isu-isu Terkini Bank Syariah .................................................................................. 12

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................................. 15
B. Saran ....................................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
dalam pembangunan ekonomi dan mengalami perkembangan yang sangat
pesat. Sistem perbankan konvensional yang telah ada sebelumnya menjadi semakin
lengkap dengan adanya system perbankan Islam atau perbankan syariah. Salah satu
tonggak perkembangan perbankan Islam adalah didirikannya Islamic Development
Bank (IDB) pada tahun 1975 yang beranggotakan 22 negara Islam pendiri. Berdirinya
IDB ini kemudian memicu berdirinya bank-bank Islam di seluruh dunia, termasuk di
Indonesia.
Di Indonesia eksistensi Perbankan Syariah secara yuridis sebenarnya telah
dimulai dengan dikeluarkanya Paket Kebijakan Desember 1983 (Pakdes 83) tentang
penghapusan pagu kredit dan menyebutkan bahwa bank bebas menentukan suku bunga
kredit, tabungan dan deposito. Kemudian dikeluarkan Paket Kebijakan Oktober 1988
(Pakto 88) tentang izin pendirian usaha bank baru Kemudian secara kelembagaan
dimulai dengan berdirinya Bank Islam pertama adalah Bank Muamalat Indonesia
(BMI) yang baru bisa didirikan pada tahun 1991 dengan akte pendirian tanggal 1
November 1991 dan beroperasi pada tanggal 1 Mei 1992.
Perbankan syariah berkembang lebih cepat setelah keluarnya UU No. 10 Tahun
1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan berbagai
peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Dasar hukum perbankan syariah di
Indonesia semakin kuat dan jumlah bank syariah semakin meningkat secara signifikan.
Dimana undang-undang ini dikeluarkan guna menjamin kepastianhukum bagi
stakeholders dan sekaligus memberikan keyakinan kepada masyarakat terhadap
perbankan syari'ah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja Undang-Undang tentang Bank Syariah?
2. Apa itu Fatwa DSN Bank Syariah?
3. Apa saja isu-isu terkini Bank Syariah?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahuin Undang-Undang tentang Bank Syariah
2. Untuk mengetahui apa itu Fatwa DSN Bank Syariah
3. Untuk mengetahui apa saja isu-isu terkini Bank Syariah

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Undang-Undang tentang Bank Syariah


Pada saat ini lembaga perbankan sangat berperan penting dalam pembangunan
ekonomi dan mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sistem perbankan
konvensional yang telah ada sebelumnya menjadi semakin lengkap dengan adanya
system perbankan Islam atau perbankan syariah. Salah satu tonggak perkembangan
perbankan Islam adalah didirikannya Islamic Development Bank (IDB) pada tahun
1975 yang beranggotakan 22 negara Islam pendiri. Berdirinya IDB ini kemudian
memicu berdirinya bank-bank Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Pada dasarnya, aktivitas bank syariah tidak jauh berbeda dengan aktivitas bank-
bank konvensional yang telah ada, yang menjadi kritik system perbankan syariah
terhadap perbankan konvensional bukan dalam hal fungsinya sebagai lembaga
intermediasi keuangan (Financial Intermediary Institution), akan tetapi karena didalam
operasionalnya terdapat unsur-unsur yang dilarang berupa unsur perjudian (maisir),
unsur ketidakpastian/keraguan (Gharar), unsur bunga (Interest/riba) dan unsur
kebathilan.
Di Indonesia eksistensi Perbankan Syariah secara yuridis sebenarnya telah
dimulai dengan dikeluarkanya Paket Kebijakan Desember 1983 (Pakdes 83) tentang
penghapusan pagu kredit dan menyebutkan bahwa bank bebas menentukan suku bunga
kredit, tabungan dan deposito. Kemudian dikeluarkan Paket Kebijakan Oktober 1988
(Pakto 88) tentang izin pendirian usaha bank baru Kemudian secara kelembagaan
dimulai dengan berdirinya Bank Islam pertama adalah Bank Muamalat Indonesia
(BMI) yang baru bisa didirikan pada tahun 1991 dengan akte pendirian tanggal 1
November 1991 dan beroperasi pada tanggal 1 Mei 1992.
Perbankan syariah berkembang lebih cepat setelah keluarnya UU No. 10 Tahun
1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan berbagai
peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Dasar hukum perbankan syariah di
Indonesia semakin kuat dan jumlah bank syariah semakin meningkat secara signifikan.
Dimana undang-undang ini dikeluarkan guna menjamin kepastian hukum bagi
stakeholders dan sekaligus memberikan keyakinan kepada masyarakat terhadap

3
perbankan syari'ah. Sehubungan dengan hal tersebut, pengaturan tersendiri bagi
Perbankan Syariah merupakan hal yang mendesak dilakukan, untuk menjamin
terpenuhinya prinsip prinsip syariah, prinsip kesehatan bank bagi bank syariah, dan
yang tidak kalah penting diharapkan dapat memobilisasi dana dari negara lain yang
mensyaratkan pengaturan terhadap bank syariah dalam undang-undang tersendiri.25
Pada tahun 2008, Dewan Perwakilan Rakyat dengan dukungan pemerintah,
mengesahkan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. UU ini terdiri dari
70 pasal dan dibagi menjadi 13 bab.
Ditetapkanya UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dalam rangka
penyehatan perbankan nasional dan diterapkannya prinsip-prinsip syari'ah dalam
menjalankan tugas dan fungsinya telah memberi kesempatan luas untuk pengembangan
jaringan perbankan syari'ah.
Secara singkat berdasarkan berbagai sumber, maka bisa dijelaskan periodesasi
dari Undang-undang Perbankan Syariah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 ini merupakan peraturan perbankan
nasional yang muatannya lebih banyak mengatur bank konvesional dibandingkan bank
syariah. Tidak banyak pasal yang mengatur tentang bank syariah dalam Undang-
Undang ini. Kata 'bank syariah' juga tidak disebutkan secara eksplisit. Undang-Undang
ini hanya menyatakan bahwa bank boleh beroperasi berdasarkan prinsip pembagian
hasil keuntungan atau prinsip bagi hasil (profit sharing) berdasarkan Pasal 1 butir 12
& Pasal 6 huruf 1). Prinsip bagi hasil (mudharabah) dalam peraturan perundang-
undangan tersebut menjadi dasar hukum secara yuridis normative dalam
pengoperasian perbankan syariah di Indonesia yang menandai dimulainya era sistem
perbankan ganda (dual banking system).
Meskipun Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 mengizinkan bank beroperasi
berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak ada petunjuk lebih lanjut bagaimana bank tersebut
mesti dijalankan. Oleh karena itu, untuk memberikan pemahaman dan petunjuk yang
jelas, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 1992
Tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil dan diundangkan pada tanggal 30
Oktober 1992 dalam lembaran negara Republik Indonesia No. 119 Tahun 1992.
Ungkapan di atas mengenai bank bagi hasil secara prinsip merupakan
terminologi yang digunakan untuk bank Islam atau bank Syariah. Artinya yang
dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip muamalah yang berdasarkan pada
4
syariah. Kata syariah secara jelas merujuk pada hukum Islam. Maka, prinsip dasar bank
syariah dalam menjalankan aktivitasnya adalah hukum Islam atau syariah.
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
Pada Tahun 1998 muncul Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, di mana terdapat
beberapa perubahan yang memberikan peluang yang lebih besar bagi pengembangan
Perbankan Syariah. Berbeda dengan UU No. 7 Tahun 1992 yang tidak mengatur secara
pasti perbankan syariah, ketentuan-ketentuan mengenai perbankan syariah dalam UU
No. 10 Tahun 1998 lebih lengkap (exhaustive) dan sangat membantu perkembangan
perbankan syariah di Indonesia. UU No. 10 Tahun 1998 secara tegas menggunakan
kata bank syariah dan mengatur secara jelas bahwa bank, baik bank umum dan BPR,
dapat beroperasi dan melakukan pembiayaan berdasarkan pada prinsip syariah.
Selanjutnya pemberlakuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 telah
memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang lebih luas lagi bagi
pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Perundangan tersebut memberi
kesempatan yang luas untuk pengembangan jaringan perbankan syariah antara lain
melalui izin pembukaan Kantor Cabang Syariah (KCS) oleh Bank Konvensional.
Dengan kata lain, Bank Umum dimungkinkan untuk menjalankan kegiatan usahanya
secara konvensional dan sekaligus dapat melakukannya berdasarkan prinsip syariah.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 menjadi dasar hukum bagi penerapan dual
banking system di Indonesia.
Dengan berlakunya dual banking system, maka banyak aturan-aturan tambahan
yang dimaksukan dalam Undang Undang ini yang memberikan kewenangan kepada
bank Umum untuk menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip
syariah. Antara lain Pasal 1 butir 12, Pasal 6 huruf m. Pasal 7 huruf c, Pasal 8 ayat (1
& 2), Pasal 11 ayat (1) & (4a), Pasal 13, Pasal 29 ayat (3) dan Pasal 37 ayat (1) huruf
c). Ketentuan tersebut menunjukkan perluasanan eksistensi bank syariah dalam
melaksanakan kegiatannya, di mana dalam UU sebelumnya hal tersebut tidak diatur
secara jelas.
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
Pada tahun 2008, Dewan Perwakilan Rakyat dengan dukungan pemerintah,
mengesahkan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. UU ini terdiri dari
70 pasal dan dibagi menjadi 13 Bab. Secara umum struktur Hukum Perbankan Syariah
ini sama dengan Hukum Perbankan Nasional. Aspek baru yang diatur dalam UU ini
5
adalah terkait dengan tata kelola (corporate governance), prinsip kehatihatian
(prudential principles), menajemen resiko (risk menagement), penyelesaian sengketa,
otoritas fatwa dan komite perbankan syariah serta pembinaan dan pengawasan
perbankan syariah. Bank Indonesia tetap mempunyai peran dalam mengawasi dan
mengatur perbankan syariah di Indonesia, namun saat ini pengaturan dan pengawasan
perbankan, termasuk perbankan syariah di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai
dengan amanah UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Dengan
adanya UU khusus yang mengatur perbankan Syariah serta instrumen hukum lainnya,
diharapkan eksistensi perbankan syariah semakin kokoh, para investor semakin tertarik
untuk melakukan bisnis di bank syariah sehingga perbankan syariah di Indonesia
semakin lebih baik lagi.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memiliki
XIII Bab dan 70 Pasal. Masing masing bab dan pasal tersebut tentu memiliki makna
tersendiri yang berpengaruh bagi eksistensi perjalanan perbankan syariah di Indonesia
pasca ditetapkannya UU tersebut. Undang Undang Nomor 21 tahun 2008 memiliki
beberapa ketentuan umum yang menarik untuk dicermati. Ketentuan umum tersebut
meliputi:
a. Istilah Bank Perkreditan Rakyat yang diubah menjadi Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah. Perubahan ini untuk lebih menegaskan adanya
perbedaan antara kredit dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
b. Definisi Prinsip Syariah. Dalam definisi dimaksud memiliki dua pesan
penting yaitu (1) prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dan (2)
penetapan pihak/lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa yang
menjadi dasar prinsip syariah.
c. Penetapan Dewan Pengawas Syariah sebagai pihak terafiliasi seperti
halnya akuntan publik, konsultan dan penilai.
d. Definisi pembiayaan yang berubah secara signifikan dibandingkan
definisi yang ada dalam Undang-Undang sebelumnya tentang
perbankan (Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998). Dalam definisi
terbaru, pembiayaan dapat berupa transaksi bagi hasil, transaksi sewa
menyewa, transaksi jual beli, transaksi pinjam meminjam dan transaksi
sewa menyewa jasa (multijasa).
Selain itu ada beberapa poin penting baru yang perlu dicermati dalam UU
Perbankan Syariah tersebut, karena memiliki makna dan implikasi yang cukup
6
signifikan bagi industri perbankan syariah di Indonesia. Beberapa poin penting tersebut
diantaranya adalah: 9 (1) Kepastian Hukum; (2) Perbankan Syariah Dan Pencantuman
Kata "Syariah" Pada Nama Bank Syariah; (3) Konversi dan Perubahan Bank Syariah

B. Fatwa DSN Bank Syariah


Fatwa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah jawab (keputusan,
pendapat) yang diberikan kepada mufti tentang sesuatu masalah.29 Sedangkan secara
terminologi (istilah) ialah menyampaikan hukum-hukum Allah berdasarkan dalil-dalil
syariah yang mencakup segala persoalan. Fatwa merupakan bagian produk hukum
Islam yang sudah ada semenjak masa Nabi SAW, yang kemudian menjadi produk
hukum Islam yang berkembang hingga sekarang.
Dalam bahasa yang sejenis, fatwa adalah ifta'. Pengertian Ifta' atau fatwa adalah
usaha memberikan penjelasan tentang hukum syara'.""Fatwa-fatwa yang dikeluarkan
oleh ulama (majelis ulama) mengatur masalah-masalah yang tak jarang dijumpai dalam
kehidupan sehari-hari seperti dalam masalah ekonomi. Dalam Kamus istilah Keuangan
dan Perbankan Syariah mendefinisikan fatwa sebagai penjelasan tentang hukum Islam
yang diberikan oleh seorang faqih atau lembaga fatwa kepada umat, yang muncul baik
karena adanya pertanyaan maupun tidak.
Fatwa bukanlah sebuah keputusan hukum yang dibuat dengan gampang, atau
yang disebut dengan membuat hukum tanpa dasar. Dari sini dimengerti bahwa fatwa
pada hakikatnya adalah memberi jawaban hukum atas persoalan yang tidak
diketemukan dalam Al-Qur'an maupun hadist atau memberi penegasan kembali akan
kedudukan suatu persoalan dalam kaca mata ajaran Islam.
Di Indonesia, fatwa ditetapkan oleh DSN yang menjadi bagian tak terpisahkan
dari MUI. DSN-MUI menetapkan fatwa fatwa terhadap persoalan-persoalan yang
memberikan ijtihad sebagai pedoman dalam pelaksanaan ibadah dan muamalah bagi
umat Islam di Indonesia. Fatwa DSN-MUI mengandung dalil dalil yang terperinci dan
disusun secara sistematis.
Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah badan yang dibentuk oleh MUI yang
memiliki kompetensi dan otoritas resmi sehingga berwenang mengeluarkan ketentuan-
ketentuan syariah dalam bentuk fatwa DSN. Fatwa-fatwa tersebut kemudian
dituangkan dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI). Dengan dituangkannya
fatwa-fatwa DSN ke dalam PBI maka prinsipprinsip syariah terkait dengan kegiatan

7
usaha bank syariah yang tercantum dalam PBI tersebut menjadi hukum positif yang
mengikat perbankan syariah.
Rencana pembentukan DSN mulai dibicarakan tahun 1990 ketika acara
lokakarya dan pertemuan yang membahas tentang bunga bank dan pengembangan
ekonomi rakyat, dan merekomendasikan agar pemerintah memfasilitasi pendirian bank
berdasarkan prinsip syariah. Pada tahun 1997, MUI mengadakan lokakarya ulama
tentang Redaksana Syariah yang salah satu rekomendasinya adalah pembentukan DSN.
Pada pertemuan tanggal 14 Oktober 1997, telah disepakati pembentukan DSN. Usulan
ini ditindak lanjuti sehingga tersusunlah DSN secara resmi tahun 1998.
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) adalah dewan
yang dibentuk dalam rangka mewujudkan aspirasi umat Islam mengenai masalah
perekonomian dan mendorong penerapan Islam dalam bidang perekonomian keuangan
yang dilaksanakan sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Oleh sebab itu, DSN berperan
secara proaktif dalam menanggapi perkembangan masyarakat Indonesia di bidang
ekonomi dan keuangan.
Salah satu tugas utama lembaga DSN adalah menggali, mengkaji dan
memutuskan nilai dan prinsip-prinsip Hukum Islam (syariah) dalam bentuk fatwa untuk
dijadikan panduan dalam kegiatan dan urusan ekonomi pada umumnya dan khususnya
terhadap urusan dan kegiatan transaksi lembaga keuangan syariah, yaitu untuk
menjalankan operasional lembaga keuangan syariah dan mengawasi pelaksanaan dan
implementasi fatwa.
1. Untuk melaksanakan tugas utama tersebut, DSN memiliki otoritas untuk:
Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah di masing-
masing Lembaga Keuangan Syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak
terkait.
2. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang
dikeluarkan oleh institusi yang berhak, seperti Kementrian Keuangan dan Bank
Indonesia.
3. Memberikan dukungan dan/atau mencabut dan menyokong namanama yang
akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu Lembaga Keuangan
Syariah.
4. Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang moneter/lembaga
keuangan dalam maupun luar negeri.

8
5. Memberikan rekomendasi kepada Lembaga Keuangan Syariah untuk
menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan
Syariah Nasional.
6. Mengusulkan kepada institusi yang berhak untuk mengambil tindakan apabila
perintah tidak didengar.

Fungsi utama Dewan Syariah Nasional adalah mengawasi produkproduk


lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah Islam. Untuk keperluan
pengawasan tersebut. Dewan Syariah Nasional membuat garis panduan produk syariah
yang diambil dari sumber-sumber hukum Islam. Garis panduan ini menjadi dasar
pengawasan bagi Dewan Pengawas Syariah pada lembaga-lembaga keuangan syariah
dan menjadi dasar pengembangan produk-produknya.
Fungsi lain dari Dewan Syariah Nasional adalah meneliti dan memberi fatwa
bagi produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah. Selain itu,
Dewan Syariah Nasional bertugas memberikan rekomendasi para ulama yang akan
ditugaskan sebagai Dewan Syariah Nasional pada suatu lembaga keuangan syariah.
Secara eksplisit, di bawah ini dijelaskan beberapa elemen yang terkait dengan
fatwa DSN MUI :
1. Pengertian, Kedudukan, Status, dan Anggota DSN
Berdasarkan surat Keputusan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia No.
Kep-98/MUI/III/2001 tentang susunan Pengurus Dewan Syariah Nasional MUI,
Kedudukan, Status dan Keanggotaan DSN :
a. DSN merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia.
b. DSN membantu pihak terkait, seperti Departemen Keuangan, Bank
Indonesia dan lain-lain dalam menyusun peraturan/ketentuan untuk
lembaga keuangan syariah.
c. Anggota DSN terdiri dari para ulama, praktisi, dan para pakar dalam bidang
terkait dengan muamalah syariah.
d. Anggota DSN ditunjuk dan diangkat oleh MUI dengan masa bakti sama
dengan periode masa bakti pengurus MUI pusat yakni 5 tahun.
2. Tugas dan Wewenang DSN37
Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) sebagai lembaga yang mempunyai
otoritas dalam pembuatan fatwa di bidang ekonomi syariah, mempunyai beberapa
tugas dan wewenang. Dalam Pedoman Dasar Dewan Syariah Nasional Majelis
9
Ulama Indonesia (PD DSNMUI) yang termuat dalam BAB IV Keputusan Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 01 Tahun 2000, Tugas dan
Wewenang adalah sebagai berikut :
a. Dewan Syariah Nasional memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:
1) Mengeluarkan Fatwa tentang ekonomi syariah untuk dijadikan
pedoman bagi praktisi dan regulator ekonomi syariah di Indonesia.
2) Menerbitkan rekomendasi, sertifikasi dan syariah approval bagi
lembaga keuangan dan bisnis syariah.
3) Melakukan pengawasan aspek syariah atas produk/jasa di lembaga
keuangan/bisnis syariah melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS)
yang berdasarkan amanat undang-undang wajib dibentuk pada
setiap lembaga keuangan syariah.
b. Wewenang dari DSN adalah:
1) Mengeluarkan fatwa yang mengikut DPS di masing masing lembaga
keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait
2) Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan
yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti depkeu dan BI
3) Memberikan rekomendasi dan/ atau mencabut rekomendasi naa-nama
yang akan duduk sebagai DPS pada suatu lembaga keuangan syariah
4) Mengundang para ahli menjelaskan sautu masalah yang diperlukan
dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/
lembaga keuangan dalam maupun luar negeri
5) Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk
menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh
DSN
6) Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil
tindakan apabila peringatan tidak diindahkan.
3. Pengawasan penerapan prinsip syariah
Di Indonesia, fatwa ulama mengenai produk dan jasa keuangan syariah
diberikan oleh Majelis Ulama Indonesia melalui Dewan Syariah Nasional.
Kemudian untuk mengawasi pelaksanaan pemberian produk dan jasa keuangan oleh
lembaga keuangan Dewan Syariah Nasional akan menunjuk Dewan Pengawas
Syariah untuk tiap lembaga keuangan yang bersangkutan.

10
Peran DSN dan DPS memang tidak terbatas pada pemberian fatwa atas produk,
jasa dan transaksi keuangan yang akan dilakukan oleh lembaga keuangan, tetapi
juga harus menentukan proses purifikasi dan memonitor pengelolaan lembaga
keuangan. Secara umum tugas DSN dan DPS meliputi :
a. Penentuan transaksi keuangan yang diperbolehan. Transaksi dalam
keuangan haruslah sesuai dengan syariah. Apabila penerapan prinsip syariah
tidak dilaksanakan dengan konsisten (istiqomah) walaupun kreatif
(fathonah) dalam menjalankannya tentu akan menurunkan nilai hakiki dari
prinsip syariah itu sendiri.
b. Purifikasi. Purifikasi adalah memisahkan yang haram (yang terpaksa ada
dan jumlahnya relatif kecil) dari yang halal, bukan memisahkan yang halal
dari yang haram.
c. Advokasi untuk nasabah funding dan lending. Transaksi keuangan syariah
harus memberikan perlindungan terhadap yang haram khususnya untuk
menjaga keimanan, kehidupan, dan akal mereka. Dan memberikan
kepentingan nasabah secara proporsional.
d. Monitor kepatuhan. Pengawasan kepatuhan dapat dilakukan dengan
memonitor pelaksanaan sejak awal hingga akhir, termasuk kajian atas
dokumentasi transaksi, dan membuat laporan yang akurat dan tepat waktu
atas penyimpangan yang ada.
e. Kepedulian terhadap masyarakat sekitar. Ide dasar dari ekonomi Syariah
juga untuk memanfaatkan sumber daya yang telah diciptakan Allah Swt dan
diciptakan untuk kemashlahatan manusia.
f. Tanggung jawab sosial. Mengingat tingkat pemahaman dan kecanggihan
ekonomi syariah masih relatif rendah maka tanggung jawab sosial ini juga
dapat mencakup tanggung jawab peningkatan pendidikan ekonomi syariah.

Di Indonesia fatwa ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional yang menjadi


bagian tak terpisahkan dari Majelis Ulama Indonesia. DSN-MUI menetapkan
fatwa-fatwa terhadap persoalan-persoalan yang memerlukan ijtihad sebagai
pedoman dalam pelaksanaan ibadah dan muamalah bagi umat Islam di
Indonesia. Fatwa DSN-MUI mengandung dalil-dalil yang terperinci dan
disusun secara sistematis. Struktur fatwa DSNMUI terdiri atas :

1. Menimbang

11
Konsiderans "menimbang" dalam fatwa DSN-MUI in berisi deskripsi
tentang hal-hal yang menjadi pertimbangan bagi majelis ulama dalam
menetapkan suatu fatwa. Hal-hal yang menjadi pentimbangan mencakup
alasan-alasan yudiris, sosiologis dan filosofis atas masalah-masalah terkait.
2. Mengingat
Konsiderans "mengingat" berisi aturan-aturan yang menjadi pedoman
dalam menetapkan fatwa. Aturan-aturan tersebut disusun secara sistematis
dan hierarkhis (sesuai tata urutan) yaitu AlQur'an, hadis Nabi saw, kaidah-
kaidah fikhiyah, dan fatwa-fatwa majelis ulama yang telah ditetapkan
sebelumnya.
3. Memutuskan dan Menetapkan
Konsiderans "memutuskan" berisi tentang keputusan DSNMUI untuk
menetapkan sebuah fatwa atas suatu permasalahan tertentu. Isi keputusan
fatwa terdiri atas:
a. Ketentuan umum
b. Hukum
c. Ketentuan tentang jenis-jenis akad
d. Ketentuan tentang batasan-batasan keberlakuan fatwa
e. Ketentuan tentang ta'widh (sanksi) bila diperlukan
f. Ketentuan penutup

C. Isu-isu Terkini Bank Syariah

Bisnis perbankan adalah bisnis yang mengandalkan kepercayaan dari pihak bank
sendiri. Apabila ada isu-isu atau masalah dalam perbankan, masyarakat berbondong-
bondong akan menarik dananya kembali dari bank, sehingga kondisi tersebut akan menjadi
dampak burukbagi bank, karena perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan, maka
bank harus mempertimbangkan kinerjanya agar dapat bekerja dengan optimal. Kinerja
bank adalah salah satu faktor yang dapat mempertahankan bank untuk waktu sekarang dan
yang akan datang. Kinerja keuangan bank yang baik dapat menumbuhkan kepercayaan
masyarakat, penurunan kinerja keuangan bank dapat menurunkan juga kepercayaan
masyarakat terhadap bank.

Khususnya bank syariah. Perbankan syariah juga sudah teruji sebagai bank yang tahan
terhadap krisis ekonomi, yang ditunjukan pada saat Indonesia krisis moneter 1997. Pada

12
saat perbankan konvensional mengalami masa yang sulit bahkan beberapa bank
dilikuiditas, sebab suku bunga simpanan sangat tinggi mencapai lebih 50% yang berakibat
bank-bank konvensional tidak bisa menyalurkan kredit dan mengalami kesulitan
likuiditas. Tetapi bank syariah pada saat itu masih menunjukkan kinerjanya sangat bagus,
karena bank syariah memang tidak tergantung pada fluktuasi suku bunga.

Namun disisi lain, harapan masyarakat akan peran vital perbankan syariah dalam
rangka turut serta membantu pertumbuhan sekaligus perkembangan tingkat kesejahteraan
masyarakat Indonesia hingga saat ini dinilai oleh banyak pakar perbankan Islam ataupun
ekonomi Islam sendiri masih jauh dari harapan, bahkan bernilai tumpul, mengingat
perilaku perbankan yang dijalankannya tidak jauh berbeda dengan perbankan
konvensional, bahkan dinilai lebih 'merugikan' umat Islam sendiri. Betapa tidak, menurut
Usman Kartadijaya, perbankan syariah saat ini hanya lebih menonjol pada aspek 'baju' nya,
namun prinsip perbankan yang dijalankannya masih banyak yang jauh dari ketentuan
syariah itu sendiri.

Banyak sekali faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kenyataan tersebut di atas,
akan tetapi yang paling utama menurut Muhammad Antonio Syafi'i dan Abdul Jamal
Abbas2 adalah disebabkan oleh tiga faktor sebagai berikut :

1. Aspek Komitmen dari pembuat dan pelaksana kebijakan perbankan syariah atas
pelaksanaan prinsip-prinsip syariah yang masih rendah. Hal ini diindikasikan
dengan hampir sebagian besar perbankan syariah di Indonesia ternyata hanya
menggunakan prinsip syariah, seperti halnya akad mudharabah sebagai 'kedok'
atau *topeng' belaka dalam pelaksanaanperbankannya, sehingga yang terjadi
justru disinyalir perbankan syariah meraup keuntungan 'bunga' yang jauh lebih
besar bila dibandingkan dengan perbankan konvensional. Akibatnya bukan
malah memberikan nilai kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakat, tetapi
justru sebaliknya ikut menambah kesusahan masyarakat kecil dan menengah.
2. Aspek Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai problematika pengembangan
perbankan syariah di Indonesia, khususnya menyangkut keterbatasan SDM
yang kompeten dan profesional di bidang perbankan syariah.
3. Aspek Strategi Pemasaran yang efektif sebagai solusi pengembangan perbankan
syariah di Indonesia, khususnya yang menyangkut bagaimana produk-produk

13
perbankan syariah dapat dipahami dengan baik sekaligus diminati oleh
masyarakat pada umumnya, khususnya umat Islam di negeri ini.

Khususnya di era covid-19 saat ini, selain isu Covid-19 yang telah memakan
energi besar bagi perbankan syariah terdapat dua isu kritis lain yang saat ini juga
harus dihadapi industri perbankan syariah di Indonesia. Isu itu adalah tingginya
pembiayaan bermasalah dan isu strategis perbankan syariah. Bila dua isu tidak
segera diatasi maka bank syariah akan kehilangan potensi untuk meningkatkan
pangsa pasarnya yang sampai dengan saat ini masih berada di bawah angka 6%.
Artikel ini akan membahas dua isu diatas yang sangat strategis harus dihadapi di
era new normal hari ini.

Potret pembiayaan perbankan syariah Indonesia sebagaimana dirilis Otoritas


Jasa Keuangan (OJK) dalam statistik perbankan syariah terbaru yang dirilis akhir
Mei 2020 sungguh memprihatinkan kita semua. Sebelum terjadinya Pandemi Covid
19 pertumbuhan perbankan syariah rata-rata selalu dua digit.

Selain isu pertumbuhan absolut pembiayaan bermasalah di Unit Usaha Syariah


(UUS) terdapat satu titik kritis lagi yang merupakan suatu hal yang strategis
dipikirkan oleh 20 UUS perbankan syariah. Isu itu adalah isu spin off atau konversi
UUS.

Amanah Undang-undang Perbankan Syariah telah menyatakan bahwa paling


lambat tahun 2023 atau 2,5 tahun dari sekarang seluruh UUS yang ada saat ini harus
melakukan pemisahan apakah melalui spin off atau konversi. Sejarah telah mencatat
pilihan spin off telah dilaksanakan dengan sukses oleh BNI Syariah.

14
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Di Indonesia eksistensi Perbankan Syariah secara yuridis sebenarnya telah
dimulai dengan dikeluarkanya Paket Kebijakan Desember 1983 (Pakdes 83) tentang
penghapusan pagu kredit dan menyebutkan bahwa bank bebas menentukan suku bunga
kredit, tabungan dan deposito. Kemudian dikeluarkan Paket Kebijakan Oktober 1988
(Pakto 88) tentang izin pendirian usaha bank baru Kemudian secara kelembagaan
dimulai dengan berdirinya Bank Islam pertama adalah Bank Muamalat Indonesia
(BMI) yang baru bisa didirikan pada tahun 1991 dengan akte pendirian tanggal 1
November 1991 dan beroperasi pada tanggal 1 Mei 1992.
Perbankan syariah berkembang lebih cepat setelah keluarnya UU No. 10 Tahun
1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan berbagai
peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Dasar hukum perbankan syariah di
Indonesia semakin kuat dan jumlah bank syariah semakin meningkat secara signifikan.
Dimana undang-undang ini dikeluarkan guna menjamin kepastian hukum bagi
stakeholders dan sekaligus memberikan keyakinan kepada masyarakat terhadap
perbankan syari'ah.

B. SARAN
Dalam makalah ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang
terdapat dalam isi makalah ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dari
pembaca agar makalah ini bisa sempurna dengan arahan dan bimbingan dari pembaca.
Dan semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi kita semua dan apa yang
diperoleh bermanfaat bagi kita semua.

15
DAFTAR PUSTAKA

Mahkamah Agung RI Lingkup Peradilan Agama, Suara Uldilag, Pokja Pradata


Agama MA-RI, (Jakarta, 2008), hlm 22

Muhammad Abu Zahrah, Fatwa-Fatwa Ekonomi Syariah Kontemporer, (Jakarta:


Renaisan, 2005), hlm 81-82

Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah Di Indonesia, (Jakarta, Sinar


Grafika, 2012), hlm 72

Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm 12

Anda mungkin juga menyukai