Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH BANK DAN RIBA

Makalah Ini Disusun Di Persentasikan Guna Memenuhi Tugas Mata


Kuliah Hukum Lembaga Keuangan Syrai’ah

Dosen Pengamapu: Mubarik,S.HI.,M.Sy

Disusun oleh :
Kelompok 1
Rika dwi prastika Nim. 221250654

Farmila Nim. 221250645

YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM NUSANTARA BATANGHARI
FAKULTAS SYARI’AH
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah kami haturkan atas kehadirat Allah SWT yang


senantiasa memberikan kami rahmat serta karunia-Nya, sehingga kami
bisa menyelesaikan penyusunan tugas makalah ini dengan tepat waktu.
Kami berharap semoga makalah kami ini dapat menjadi salah satu
rujukan bagi pembaca. Dalam penyusunan makalah ini kami mengakui
bahwa masih banyak kekurangan, karena kami masih dalam tahap
belajar. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan
yang akan datang.

Muara Tembesi, 06 Oktober 2023

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR..................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................1
C. Tujuan Penulisan..........................................................................1
BAB II PEMBAHSAN.................................................................................2
A. Pengertian Bank...........................................................................2
B. Sejarah Bank Syariah...................................................................2
C. Pengertian riba.............................................................................5
D. Macam-Macam Dan Tahapan Pengharaman Riba.......................7
BAB III PENUTUP....................................................................................13
Kesimpulan............................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam telah melarang adanya riba. Alqur’an mengatur pola
kehidupan umat Islam dalam menata dan membangun kehidupan
bermasyarakat. Praktek riba telah dikenal pada saat turunnya ayat-ayat
yang menyatakan tentang larangan terhadap transaksi yang mengandung
riba, bahkan istilah tentang riba begitu populer di kalangan ummat Islam.
Oleh karena itu, terkesan seolah-olah doktrin tentang riba adalah khas
dari agama Islam. Allah SWT melarang riba secara bertahap
sebagaimana Allah SWT melarang minuman khamar. Allah SWT
melaknat hamba-hambanya bagi yang melakukan perbuatan riba. Perlu
adanya pemahaman yang luas, agar tidak terjerumus dalam Riba. Karena
riba menyebabkan tidak terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara
menyeluruh. Ketika ummat Islam melakukan mu’malah, Allah SWT telah
menetapkan aturannya.

Islam telah melarang adanya riba. Praktek riba telah dikenal pada
saat turunnya ayat-ayat yang menyatakan tentang larangan terhadap
transaksi yang mengandung riba, bahkan istilah tentang riba begitu
populer di kalangan ummat Islam. Oleh karena itu, terkesan seolah-olah
doktrin tentang riba adalah khas dari agama Islam. Allah SWT melarang
riba secara bertahap sebagaimana Allah SWT melarang minuman
khamar. Allah SWT melaknat hamba-hambanya bagi yang melakukan
perbuatan riba. Perlu adanya pemahaman yang luas, agar tidak
terjerumus dalam Riba. Karena riba menyebabkan tidak terwujudnya
kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh ketika ummat Islam
melakukan mu’malah, Allah SWT telah menetapkan aturannya.

B. Rumusan Masalah
A. Apa yang di maksud bank?
B. Bagaimana sejarah bank syari’ah
C. Apa itu riba?
D. Apa saja macam-macam dan tahapan pengharaman riba?
C. Tujuan Penulisan
A. Untuk mengetahui apa yang di maksud bank.
B. Untuk mengetahui bagaimana sejarah bank syari’ah.
C. Untuk mengetahui apa itu riba.
D. Untuk mengetahui apa saja macam-macam dan tahapan pengharaman
riba.
BAB II
PEMBAHSAN
A. Pengertian Bank
Bank adalah sebuah lembaga intermediasi keuangan umumnya
didirikan dengan kewenangan menerima simpanan uang, meminjamkan
uang, dan menerbitkan promes atau yang dikenal sebagai banknote. Kata
bank berasal dari bahasa Italia banca yang berarti tempat penukaran
uang.

Sedangkan menurut undang-undang perbankan bank adalah


badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit
atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak. Industri perbankan telah mengalami perubahan besar dalam
beberapa tahun terakhir.

Industri ini menjadi lebih kompetitif karena diregulasi peraturan. Saat ini,
bank memiliki fleksibilitas pada layanan yang mereka tawarkan, lokasi
tempat mereka beroperasi, dan tarif yang mereka bayar untuk simpanan
deposan.

Bank dapat diartikan juga sebagai badan usaha yang menghimpun


dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam bentuk kredit ataupun bentuk-bentuk lain nya
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Digitalisasi juga mendisrupsi sektor perbankan, di mana kita melihat


transisi dari jaringan distribusi: kantor cabang (fisik), layanan telepon
perbankan (analog) dan layanan internet dan mobile banking (digital).

B. Sejarah Bank Syariah


Perbankan Syariah di Indonesia

Deregulasi perbankan dimulai sejak tahun 1983. Pada tahun tersebut, BI


memberikan keleluasaan kepada bank-bank untuk menetapkan suku
bunga. Pemerintah berharap dengan kebijakan deregulasi perbankan
maka akan tercipta kondisi dunia perbankan yang lebih efisien dan kuat
dalam menopang perekonomian. Pada tahun 1983 tersebut pemerintah
Indonesia pernah berencana menerapkan "sistem bagi hasil" dalam
perkreditan yang merupakan konsep dari perbankan syariah.

Pada tahun 1988, Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi


Perbankan 1988 (Pakto 88) yang membuka kesempatan seluas-luasnya
kepada bisnis perbankan harus dibuka seluas-luasnya untuk menunjang
pembangunan (liberalisasi sistem perbankan). Meskipun lebih banyak
bank konvensional yang berdiri, beberapa usaha-usah perbankan yang
bersifat daerah yang berasaskan syariah juga mulai bermunculan.

Inisiatif pendirian bank Islam Indoensia dimulai pada tahun 1980 melalui
diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam.
Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala
yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB)
dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti).

Tahun 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) membentuk kelompok kerja


untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia. Pada tanggal 18 – 20 Agustus
1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga
bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya
tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional
IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi
pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia.
Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi
tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak
yang terkait.

Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirilah bank
syariah pertama di Indonesia yaitu PT Bank Muamalat Indonesia (BMI),
yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991.
Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal
sebesar Rp 106.126.382.000,-

Pada awal masa operasinya, keberadaan bank syariah belumlah


memperolehperhatian yang optimal dalam tatanan sektor perbankan
nasional. Landasanhukum operasi bank yang menggunakan sistem
syariah, saat itu hanya diakomodir dalam salah satu ayat tentang "bank
dengan sistem bagi hasil"pada UU No. 7 Tahun 1992; tanpa
rincianlandasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang
diperbolehkan.

Pada tahun 1998, pemerintah dan DewanPerwakilan Rakyat melakukan


penyempurnaan UU No. 7/1992 tersebutmenjadi UU No. 10 Tahun 1998,
yang secara tegas menjelaskan bahwa terdapat dua sistem dalam
perbankan di tanah air (dual banking system) yaitu sistem perbankan
konvensional dan sistem perbankan syariah. Peluang ini disambut hangat
masyarakat perbankan, yang ditandai dengan berdirinya beberapa Bank
Islam lain, yakni Bank IFI, Bank Syariah Mandiri, Bank Niaga, Bank BTN,
Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh dll.

Pengesahan beberapa produk perundangan yang memberikan kepastian


hukum dan meningkatkan aktivitas pasar keuangan syariah, seperti: (i) UU
No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; (ii) UU No.19 tahun 2008
tentang Surat Berharga Syariah Negara (sukuk); dan (iii) UU No.42 tahun
2009 tentang Amandemen Ketiga UU No.8 tahun 1983 tentang PPN
Barang dan Jasa. Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008,
maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin
memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong
pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres
perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan
aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan
peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian
nasional akan semakin signifikan. lahirnya UU Perbankan Syariah
mendorong peningkatan jumlah BUS dari sebanyak 5 BUS menjadi 11
BUS dalam kurun waktu kurang dari dua tahun (2009-2010).

Sejak mulai dikembangkannya sistem perbankan syariah di Indonesia,


dalam dua dekade pengembangan keuangan syariah nasional, sudah
banyak pencapaian kemajuan, baik dari aspek lembagaan dan
infrastruktur penunjang, perangkat regulasi dan sistem pengawasan,
maupun awareness dan literasi masyarakat terhadap layanan jasa
keuangan syariah. Sistem keuangan syariah kita menjadi salah satu
sistem terbaik dan terlengkap yang diakui secara internasional. Per Juni
2015, industri perbankan syariah terdiri dari 12 Bank Umum Syariah, 22
Unit Usaha Syariah yang dimiliki oleh Bank Umum Konvensional dan 162
BPRS dengan total aset sebesar Rp. 273,494 Triliun dengan pangsa
pasar 4,61%. Khusus untuk wilayah Provinsi DKI Jakarta, total aset gross,
pembiayaan, dan Dana Pihak Ketiga (BUS dan UUS) masing-masing
sebesar Rp. 201,397 Triliun, Rp. 85,410 Triliun dan Rp. 110,509 Triliun

Pada akhir tahun 2013, fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan


berpindah dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan. Maka
pengawasan dan pengaturan perbankan syariah juga beralih ke OJK. OJK
selaku otoritas sektor jasa keuangan terus menyempurnakan visi dan
strategi kebijakan pengembangan sektor keuangan syariah yang telah
tertuang dalam Roadmap Perbankan Syariah Indonesia 2015-2019 yang
dilaunching pada Pasar Rakyat Syariah 2014. Roadmap ini diharapkan
menjadi panduan arah pengembangan yang berisi insiatif-inisiatif strategis
untuk mencapai sasaran pengembangan yang ditetapkan.

C. Pengertian riba
Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti
tambahan (azziyadah)1, berkembang (an-numuw), membesar (al-'uluw)
dan meningkat (al-irtifa'). Sehubungan dengan arti riba dari segi bahasa
1
Abu Sura'i Abdul Hadi, Bunga Bank Dalam Islam, alih bahasa M. Thalib, (Surabaya: al-Ikhlas,
1993), hal. 125.
tersebut, ada ungkapan orang Arab kuno menyatakan sebagai berikut;
arba fulan 'ala fulan idza azada 'alaihi (seorang melakukan riba terhadap
orang lain jika di dalamnya terdapat unsur tambahan atau disebut liyarbu
ma a'thaythum min syai'in lita'khuzu aktsara minhu (mengambil dari
sesuatu yang kamu berikan dengan cara berlebih dari apa yang
diberikan)2.

Menurut terminologi ilmu fiqh, riba merupakan tambahan khusus


yang dimiliki salah satu pihak yang terlibat tanpa adanya imbalan tertentu.
Riba sering juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai "Usury"
dengan arti tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang
dilarang oleh syara', baik dengan jumlah tambahan yang sedikit atau pun
dengan jumlah tambahan banyak.

Berbicara riba identik dengan bunga bank atau rente, sering kita
dengar di tengahtengah masyarakat bahwa rente disamakan dengan riba.
Pendapat itu disebabkan rente dan riba merupakan "bunga" uang, karena
mempunyai arti yang sama yaitu sama-sama bunga, maka hukumnya
sama yaitu haram.

Dalam prakteknya, rente merupakan keuntungan yang diperoleh


pihak bank atas jasanya yang telah meminjamkan uang kepada debitur
dengan dalih untuk usaha produktif, sehingga dengan uang pinjaman
tersebut usahanya menjadi maju dan lancar, dan keuntungan yang
diperoleh semakin besar. Tetapi dalam akad kedua belah pihak baik
kreditor (bank) maupun debitor (nasabah) sama-sama sepakat atas
keuntungan yang akan diperoleh pihak bank.

Di manakah letak perbedaan antara riba dengan bunga? Untuk


menjawab pertanyaan ini, diperlukan definisi dari bunga. Secara leksikal,
bunga sebagai terjemahan dari kata interest yang berarti tanggungan
pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan persentase dari uang
2
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, cet. I,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan ACAdeMIA, 1996), hal. 37
yang dipinjamkan.3 Jadi uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa riba
"usury" dan bunga "interest" pada hakekatnya sama, keduanya sama-
sama memiliki arti tambahan uang. Menurut Tim Pengembangan Syari'ah
Institut Bankir Indonesia, bahwa pengertian dari interest atau bunga
adalah uang yang dikenakan atar dibayar atas penggunaan uang,
sedangkan konsep usury adalah pekerjaan meminjamkan uang dengan
mengenakan bunga yang tinggi.4

Abd al-Rahman al-Jaziri mengatakan para ulama' sependapat


bahwa tambahan atas sejumlah pinjaman ketika pinjaman itu dibayar
dalam tenggang waktu tertentu 'iwadh (imbalan) adalaha riba. 5 Yang
dimaksud dengan tambahan adalah tambahan kuantitas dalam penjualan
asset yang tidak boleh dilakukan dengan perbedaan kuantitas (tafadhul),
yaitu penjualan barang-barang riba fadhal: emas, perak, gandum, serta
segala macam komoditi yang disetarakan dengan komoditi tersebut. Riba
(usury) erat kaitannya dengan dunia perbankan konvensional, di mana
dalam perbankan konvensional banyak ditemui transaksi-transaksi yang
memakai konsep bunga, berbeda dengan perbankan yang berbasis
syari'ah yang memakai prinsip bagi hasil.

D. Macam-Macam Dan Tahapan Pengharaman Riba

1. Macam-Macam Riba
Pada dasarnya riba terbagi menjadi dua macam yaitu riba akibat hutang
piutang yang telah dijelaskan tentang keharamannya dalam al-Qur'an, dan
riba jual beli yang juga telah dijelaskan boleh dan tidaknya dalam
bertransaksi dalam as-Sunnah.

3
Muhammad, Manajemen Bank Syari'ah, edisi revisi, (Yogyakarta: Unit Penerbit dan Peretakan
(UPP)
AMP YKPN, 2002), hal. 35.
4
Muhammad, Manajemen Bank Syari'ah, edisi revisi, (Yogyakarta: Unit Penerbit dan Peretakan
(UPP) AMP YKPN, 2002), hal. 35.
5
Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-arba'ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972), juz.
II, hal. 245
1. Riba akibat hutang-piutang (Riba Ad-duyun)
a) Riba Qard, yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu
yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtarid).
b) Riba Jahiliyah, yaitu hutang yang dibayar dari pokoknya,
karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada
waktu yang ditetapkan.6
2. Riba akibat jual-beli (Riba Al-Buyu’)
a) Riba Fadl, yaitu pertukaran antar barang sejenis dengan kadar
atau takaran yang berbeda dan barang yang dipertukarkan
termasuk dalam jenis barang ribawi, dalam hadits Ubadah bin
Shamit dijelaskan bahwa seseorang menukar barang berupa
emas harus dengan emas pula yang sepadan dan beratnya
juga harus sama, perak dengan perak dan harus
diserahterimakan secara langsung.
b) Riba Nasi'ah, yaitu penangguhan atas penyerahan atau
penerimaan jenis barang ribawi yang diperlukan dengan jenis
barang ribawi lainnya. Riba nasi'ah muncul dan terjadi karena
adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang
diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.
2. Tahapan Pengharaman Riba
Ada empat tahapan pengharaman riba, yaitu: Pertama, untuk
mematahkan paradigma manusia bahwa riba bisa melipatgandakan harta.
Allah swt menggambarkannya dalam QS. Ar-Rum: 39 yang yang artinya
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah
pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan
apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-
orang yang melipat gandakan (pahalanya).”

6
Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, cet. I, (Jakarta:
Tazkia Institute, 1999), hal. 77-78
Pada tahap ini, Allah SWT hanya menjelaskan bahwa cara
mengembangkan uang melalui transaksi riba sesungguhnya sama sekali
tidak dapat menambah harta di mata Allah Swt. Hal ini justru akan
merugikan manusia sendiri. Sementara Ali al-Shabuni menggambarkan
secara detail tahap-tahap tersebut. Tahap pertama, Allah menurunkan
QS. al-Rum: 39. Ayat ini diturunkan di Makkah yang pada dasarnya belum
menyatakan secara tegas mengenai keharaman riba, namun dalam ayat
tersebut mengindikasikan kebencian Allah terhadap praktik riba dan tidak
adanya pahala di sisi Allah Swt.7

Kedua, pemberitahuan bahwa riba juga diharamkan bagi umat


terdahulu sebelum Islam. Allah SWT menginformasikan kepada kita
karena buruknya sistem ribawi, umat terdahulu juga telah dilarang
melakukannya. Tetapi mereka tetap bersikeras untuk memakan dan
melakukan riba, Allah mengkategorikannya sebagai orang-orang kafir dan
mengancamnya dengan azab yang sangat pedih. Ayat ini juga
mengisyaratkan diharamkannya riba bagi umat Islam, sebagaimana telah
diharamkan atas umat sebelumnya. Sebagaimana dijelaskan Allah SWT
dalam Alquran surah An-Nisa: 160 – 161 yang artinya “Maka disebabkan
kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan)
yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena
mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan
mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan
jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di
antara mereka itu siksa yang pedih.”

Dalam ayat ini, Allah SWT hanya menyebutkan kecaman terhadap orang-
orang Yahudi yang melakukan praktik-praktik riba.

7
Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa’i, al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, jilid 1, Beirut:
Dar al-Fikr, t.tt., h. 390
Ketiga, gambaran bahwa riba akan berdampak kepada kezaliman
yang berlipat ganda. Pada tahapan ketiga, Allah SWT menerangkan
bahwa riba mengakibatkan kezaliman yang berlipat ganda. Di antara
bentuknya: si pemberi pinjaman (kreditur) membebani debitur dengan
bunga sebagai kompensasi tenggang waktu pembayaran utang. Bunga
terus bertambah, sehingga debitur semakin sengsara, karena terbebani
hutang yang semakin berlipat ganda. Hal ini termaktub dalam Alquran
surah Ali Imran 130 – 131. Yang artinya “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah
kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Dan
peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang
yang kafir.”

Tahap ini, secara eksplisit Alqur’an telah mengharamkan praktik riba,


meskipun masih terbatas pada salah satu bentuknya, yakni dengan
menyertakan batasan ad’afan mudha’afan. Tahap ketiga, riba diharamkan
dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. 874
Volume IV No. 02 Januari-Juni 2019 AL-HADI Para ahli tafsir berpendapat
bahwa pengambilan bunga bertingkat yang cukup tinggi merupakan
fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Pada tahap ini,
Allah menurunkan QS. Ali Imran: 130.

Menurut al-Shabuni, ayat ini termasuk madaniyah yang di dalamnya telah


menerangkan keharaman riba secara jelas namun bersifat juz’i tidak
bersifat kulli. Sebab, pengharamannya hanya ditujukan pada riba al-
fahisy; riba yang sangat buruk dan keji di mana dengan riba tersebut
hutang seseorang dapat menjadi berlipat-lipat. Ayat ini turun pada tahun
ke-3 H. Secara umum, ayat ini menjadi perdebatan antara fuqaha bahwa
apakah kriteria berlipat ganda merupakan syarat terjadinya riba, atau ini
merupakan sifat umum dari praktik pembungaan uang pada saat itu. Akan
melihat waktu turunnya ayat ini harus dipahami secara komprehenship
dengan QS. al-Baqarah: 275-280 yang turun pada tahun ke-9 H.
Pengharaman ini sama dengan pengharaman khamr pada tahap ketiga
dimana keharamannya hanya bersifat juz’i yakni hanya pada saat shalat
saja.

Keempat, Pengharaman segala macam dan bentuk riba dalam QS.


Al Baqarah:275-280 yang artinya:

“275. rang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri


melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orangorang yang telah sampai kepadanya larangan
dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba),
maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.

276. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat
dosa.

277. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh,


mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi
Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati.

278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan


tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman.

279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu;
kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. 280. Dan jika (orang
yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia
berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu,
lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. (QS. Al Baqarah: 275 – 280).

Pada tahap terakhir ini, riba telah diharamkan secara total dalam berbagai
bentuknya dan digambarkan sebagai sesuatu yang sangat buruk dan tidak
layak dilakukan oleh orang-orang Mukmin. Tahap keempat, merupakan
tahap yang terakhir, dengan diturunkannya QS. AlBaqarah: 275-280).
Pada tahap ini, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan
apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman, baik sedikit mupun
banyak. Dan pengharamannya bersifat kulli dan qath’. Karena ayat ini
didahului oleh ayat-ayat yang lain yang berbicara tentang riba, maka tidak
heran jika kandungannya bukan saja melarang praktik riba, tetapi juga
sangat mencela pelakunya, bahkan mengancam mereka.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Bank adalah sebuah lembaga intermediasi keuangan umumnya
didirikan dengan kewenangan menerima simpanan uang, meminjamkan
uang, dan menerbitkan promes atau yang dikenal sebagai banknote. Kata
bank berasal dari bahasa Italia banca yang berarti tempat penukaran
uang.

Sedangkan menurut undang-undang perbankan bank adalah


badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit
atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak. Industri perbankan telah mengalami perubahan besar dalam
beberapa tahun terakhir.

Praktek riba bukan saja dilarang oleh Islam melainkan agama di


luar Islam juga melarangnya. Para ulama sepakat dan menyatakan
dengan tegas tentang pelarangan riba, dalam hal ini mengacu pada
Kitabullah dan Sunnah Rasul serta ijma' para ulama. Transaksi riba
biasanya sering terjadi dan ditemui dalam transaksi hutang piutang dan
jual beli. Hutang piutang merupakan transaksi yang rentan riba, di mana
kreditor meminta tambahan kepada debitur atas modal awal yang telah
dipinjamkan sebelumnya. Riba diartikan dengan rentenir yaitu
pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil, karena
sama-sama mengandung bunga (interest) uang, maka hukumnya sama
pula.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Sura'i Abdul Hadi, Bunga Bank Dalam Islam, alih bahasa M. Thalib,
(Surabaya: al-Ikhlas, 1993),
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, Sebuah Studi atas Pemikiran
Muhammad Abduh, cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama
dengan ACAdeMIA, 1996),
Muhammad, Manajemen Bank Syari'ah, edisi revisi, (Yogyakarta: Unit Penerbit
dan Peretakan (UPP)
Muhammad, Manajemen Bank Syari'ah, edisi revisi, (Yogyakarta: Unit Penerbit
dan Peretakan (UPP) AMP YKPN, 2002),
Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-arba'ah, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1972), juz. II,
Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah bagi Bankir dan Praktisi Keuangan,
cet. I, (Jakarta: Tazkia Institute, 1999),
Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa’i, al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an,
jilid 1, Beirut: Dar al-Fikr

Anda mungkin juga menyukai