Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

RAHN (GADAI SYARIAH)


Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah

“Lembaga Keuangan Islam (C)”


Dosen Pengampu : Jauhar Faradis, S.H.I.,M.A

Disusun oleh :
Kelompok 5
1. Muhandis Difa'iy Aziz (20108020044)
2. Tri Puji Astuti (20108020079)
3. Yuli Nur Rahmawati (20108020080)
4. Riskiyah Wulandari (20108020085)
5. Farah Adiba (20108020088)

Program Studi Perbankan Syariah


Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam ( FEBI )
Universitas Islam Negeri ( UIN ) Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tahun Ajaran 2021/2022

i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang masih
memberikan nafas kehidupan, sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini
dengan tepat waktu. Tidak lupa shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang merupakan inspirator terbesar dalam segala keteladanannya. Semoga
dengan tersusunnya makalah ini dapat berguna bagi kami semua dalam memenuhi tugas dari
mata kuliah Lembaga Keuangan Islam (C) dan semoga segala yang tertuang dalam makalah
ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun bagi para pembaca dalam rangka membangun
khazanah keilmuan. Makalah ini disajikan khusus dengan tujuan untuk memberi arahan dan
tuntunan agar yang membaca bisa menciptakan hal-hal yang lebih bermakna.

Tidak lupa saya sampaikan terima kasih kepada bapak Jauhar Faradis,
S.H.I.,M.A,selaku dosen pengampu mata kuliah Lembaga Keuangan Islam (C) yang telah
memberikan arahan dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini, orang tua yang selalu
mendukung kelancaran tugas kami, serta temen-temen yang ikut berpartisipasi dan mensupport
dalam penyelesaian makalah ini. Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan dan belum sempurna. Untuk itu kami berharap akan kritik dan
saran yang bersifat membangun kepada para pembaca guna perbaikan langkah-langkah
selanjutnya.

Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita kembalikan semua, karena kesempurnaan
hanya milik Allah SWT semata. Semoga kajian yang ada dalam makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua. Selamat membaca!

Yogyakarta, 20 April 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................................iii
BAB I ................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. Error! Bookmark not defined.
B. Rumusan masalah........................................................................ Error! Bookmark not defined.
C. Tujuan ......................................................................................................................................... 2
BAB II .................................................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN ................................................................................................................................... 3
A. Sejarah Rahn (Gadai Syariah) ................................................................................................. 3
B. Konsep Dasar Rahn (Gadai Syariah)....................................................................................... 3
C. Persamaan dan Perbedan Rahn (Gadai syariah) dengan Gadai Konvensional .............. 12
D. Praktik Rahn (Gadai Syariah) di Indonesia .......................................................................... 12
BAB III ............................................................................................................................................... 16
PENUTUP .......................................................................................................................................... 16
A. Kesimpulan .............................................................................................................................. 16
B. Saran ......................................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................................... 18

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Islam telah meletakkan kaidah-kaidah dasar dan aturan dalam semua


sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga muamalah (hubungan
antar makhluk) khususnya berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu
tangan ke tangan lainnya. Setiap orang mesti butuh berinterkasi dengan
lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong
diantara mereka. Karena itulah sangat perlu sekali kita mengetahui aturan
Islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, diantaranya yang
bersifat interaksi sosial dengan sesama manusia lainnya. Hutang-piutang
terkadang tidak dapat dihindari padahal banyak bermunculan fenomena
ketidakpercayaan diantara manusia sehingga orang terdesak untuk meminta
jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya.

Dalam hal jual beli sungguh beragam bermacam-macam cara orang


untuk mencari uang dan salah satunya dengan cara lahan atau gadai para
ulama berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba
jika memenuhi syarat dan rukunnya. Tidak dapat dipungkiri realita yang ada
suburnya usaha-usaha pegadaian baik dikelola pemerintah atau swasta
menjadi bukti terjadinya gadai menggadai ini. Akan tetapi banyak sekali
orang yang melalaikan masalah tersebut sehingga tidak sedikit dari mereka
yang melakukan gadai asal-asalan tanpa mengetahui dasar hukum gadai
tersebut.

Kelebihan pegadaian dibanding bank, secara umum adalah dalam


hal kemudahan dan kecepatan prosedur. Pegadai (nasabah) tinggal
membawa barang yang cukup berharga, kemudian ditaksir nilainya dan
uang pun cair serta praktis, sehingga sangat menguntungkan bagi mereka
yang butuh dana cepat.

Sedangkan perbedaan gadai syariah dengan konvensional adalah

1
dalam hal pengenaan bunga. Pegadaian syariah menerapkan beberapa sitem
pembiayaan seperti qardhul hasan (pinjaman kebajikan), dan mudharabah.
Rasionalnya gadai ini memiliki potensi yang besar. Walaupun sistem ini
memang menggunakan landasan Syariah. Pegadaian syariah telah
berkembang pesat sehingga dalam pembuatan makalah ini akan dibahas
mengenai rahn (gadai).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Rahn (Gadai Syariah)?
2. Bagaimana Konsep Dasar Rahn (Gadai Syariah)?
3. Apa Persamaan dan Perbedan Rahn (Gadai syariah) dengan Gadai
Konvensional?
4. Bagaimana Praktik Rahn (Gadai Syariah) di Indonesia ?
C. Tujuan
1. Mengetahui Sejarah Rahn (Gadai Syariah).
2. Memahami Konsep Dasar Rahn (Gadai Syariah).
3. Mengetahui Persamaan dan Perbedan Rahn (Gadai syariah) dengan
Gadai Konvensional.
4. Mengetahui Praktik Rahn (Gadai Syariah) di Indonesia.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Rahn (Gadai Syariah)


Pegadaian dikenal mulai dari eropa, yaitu Negara Italia, Inggris dan
Belanda. Pengenalan di Indonesia pada awal masuknya kolonial Belanda,
yaitu sekitar akhir abad XIX, oleh sebuah bank bernama Van Leaning. Bank
tersebut memberi jasa pinjaman dana dengan syarat penyerahan barang
bergerak, sehingga bank ini pada hakikatnya memberikan jasa pegadaian.
Lahirnya pegadaian syariah sebenarnya berawal dari hadirnya fatwa
MUI tanggal 16 Desember 2003 mengenai bunga bank. Fatwa ini
memperkuat terbitnya PP No. 10 tahun 1990 yang menerangkan bahwa misi
yang diemban oleh pegadaian syariah adalah untuk mencegah praktik riba,
dan misi ini tidak berubah hingga diterbitkanya PP No. 103 tahun 2000 yang
dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum pegadaian hingga
sekarang.
Pegadaian syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama Unit
Layanan Gadai Syariah (ULGS). Konsep operasi pegadaian syariah
mengacu pada sistem administrasi modern, yaitu asas rasionalitas,
efisiensi, dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai islam. ULGS
merupakan unit bisnis mandiri yangsecara struktural terpisah
pengelolaannya dari usaha gadai konvensional. Kemudian menyusul
pendirian ULGS di Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta, dan
Yogyakarta di tahun yang sama hingga September 2003. Masih ditahun
yang sama pula, 4 Kantor Cabang Pegadaian di Aceh dikonversi menjadi
Pegadaian Syariah.
B. Konsep Dasar Rahn (Gadai Syariah)
1. Pengertian Rahn (Gadai)
Menurut bahasa, Rahn (gadai) merupakan al-tsubut dan al-
habs yang berarti penetapan dan penahanan. Ada pula yang

3
menjelaskan bahwa rahn adalah terkurung atau terjerat.1 Sedangkan
rahn menurut istilah syara’ ialah akad yang objeknya menahan harga
terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan
sempurna darinya.2
Jadi, Ar-rahn adalah menahan salah satu harta milik si
peminjam atas pinjaman yang diterimanya atau dapat juga kita sebut
sebagai gadai. Objek barang yang di tahan tersebut memiliki nilai
ekonomis. Dengan demikian pihak yang menahan memperoleh
jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian
piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah
semacam jaminan hutang atau gadai. Pemilik barang gadai disebut
rahin dan orang yang mengutangkan yaitu orang yang mengambil
barang tersebut serta menahannya disebut murtahin.
2. Dasar Hukum Rahn (Gadai)
Akad Rahn sendiri di perbolehkan oleh syara dengan berbagai
dalil yang terdapat dalam beberapa sumber hukum, yaitu :
a. Al-Qur’an
Ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang Rahn terdapat
pada surah Al-Baqarah ayat 283, yang artinya : "Jika kamu
dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan
hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Rabbnya dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian.
Dan siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya

1
Prof. Dr. H. Hendi Suhemdi, M.Si., “Fiqh Muamalah”. (Depok : PT. Raja Grafindo Persada,
2017).
2
Hendi Suhendi, “Fiqh Muamalah”. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2010), Cet. Ke-5, Hal.
105.

4
ia adalah orang yang berdosa hatinya dan Allah Mengetahui
apa yang kamu kerjakan". [Al-Baqarah : 283].
b. Hadits
Dibolehkannya Ar-Rahn, juga dapat ditunjukkan
dengan amalan Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam,
bahwa beliau pernah melakukan sistem gadai ini,
sebagaimana dikisahkan Umul Mukminin A'isyah
Radhiyallahu 'anha. "Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam membeli dari seorang yahudi bahan makanan
dengan cara hutang dan menggadaikan baju besinya". [HR.
Al-Bukhari no 2513 dan Muslim no. 1603]
c. Ijma’
Pada ulama sepakat memperbolehkan akad Rahn.
Akad Rahn termasuk kedalam akad yang hampir semua
masyarakat dunia mempraktikannya. Praktik tersebut dinilai
sebagai salah satu metode penyelesaian masalah dalam
kehidupan bermasyarakat.3
d. Kaidah Fiqh
“Pada dasarnya segala bentuk muamalah boleh
dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
Kaidah ini adalah salah satu kaidah pokok (qawaid
ushul). Bahwa dalam hal yang bersifat kemuamalatan, segala
hal atau tindakan dihukumi boleh (mubah). Akan tetapi
terlarang (haram) jika dapat dalil atau hukum yang
mengharamkan suatu tindakan tersebut. Akad Rahn
merupakan akad dalam dunia kemuamalatan, sehingga
hukum asalnya boleh.4

3
Habib Wakidatul Ihtiar. “Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor. 92/DSN-
MUI/IV/2014 Tentang Pembiayaan yang disertai Rahn”. Vol.03, No. 01, (2016), Hal. 32
4
Ibid, Hal. 33

5
e. Fatwa DSN MUI
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor : 25/DSN-
MUI/III/2002 Tentang Rahn.
Hukum :
Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang
sebagai jaminan utang dalam bentuk Rahn dibolehkan
dengan ketentuan sebagai berikut :
Ketentuan Umum :
1) Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk
menahan marhun (barang) sampai semua utang rahin
(yang menyerahkan barang) dilunasi.
2) Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin.
Pada prinsipnya, marhun tidak boleh dimanfaatkan
oleh murtahin kecuali seizin rahin, dengan tidak
mengurangi nilai marhun dan pemanfaatnya itu
sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan
perawatannya.
3) Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada
dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat
dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan
pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban
rahin.
4) Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun
tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
5) Penjualan marhun :
• Apabila jatuh tempo, murtahin harus
memperingatkan rahin untuk segera melunasi
utangnya.
• Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi
utangnya, maka marhun dijual

6
paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai
Syariah.
• Hasil penjualan marhun digunakan untuk
melunasi utang, biaya pemeliharaan dan
penyimpanan yang belum dibayar serta biaya
penjualan.
• Kelebihan hasil penjualan menjadi milik
rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban
rahin.

Ketentuan Penutup :

1) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya


atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah
pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
2) Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan
ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat
kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan
sebagaimana mestinya.
3. Rukun dan Syarat Rahn (Gadai)
Di dalam Rahn (gadai) ada rukun dan syarat-syarat nya yang
harus di penuhi agar rahn tersebut sah dan tidak melanggar hukum
Islam. Adapun rukun rahn ada 4, yaitu5 :
a. Rahin (Pemberi gadai)
b. Murtahin (Penerima gadai)
c. Marhun (Barang jaminan)
d. Marhun bihi (Utang)

5
Ismail Nawawi, “Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer”. (Bogor : Ghlmia Indonesia, 2012),
Hal. 199-200.

7
e. Sighat (Ijab dan qabul)

Sedangkan syarat Rahn adalah sebagai berikut :

a. Aqid (Rahin dan Murtahin)


Pihak-pihak yang melakukan perjanjian Rahn, yakni
rahin dan murtahin, harus mempunyai kemampuan, yaitu
berakal sehat. Kemampuan juga berarti kelayakan seseorang
untuk melakukan jual beli, maka ia juga sah melakukan
Rahn, karena gadai seperti jual beli, yang merupakan
pengelola harta.
b. Shighat (akad)
Shighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan
juga dengan waktu di masa mendatang. Rahn mempunyai
sisi pelepasan barang dan pemberian utang seperti halnya
akad jual beli, sehingga tidak boleh diikat dengan syarat
tertentu atau dengan suatu waktu tertentu atau dengan waktu
di masa depan.
c. Marhunbihi (utang)
Harus merupakan hak yang wajib diberikan dan
diserahkan kepada pemiliknya dan memungkinkan
pemanfaatannya. Bila sesuatu yang menjadi utang itu tidak
bisa dimanfaatkan maka tidak sah. Harus di kuantifikasikan
atau dihitung jumlahnya. Bila tidak dapat diukur atau tidak
dapat dikuantifikasikan, Rahn tidak sah.
d. Marhun (barang)
Menurut ulama syafi‟iyah, gadai bisa sah dengan
dipenuhinya tiga syarat. Pertama, harus berupa barang,
karena utang tidak bisa digadaikan. Kedua, penetapan
kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak
terhalang. Ketiga, barang yang di gadaikan bisa dijual
manakala sudah tiba pelunasan utang gadai. Jadi, para ulama

8
sepakat bahwa syarat pada gadai adalah syarat yang berlaku
pada barang yang bisa diperjual belikan.

Berdasarkan pendapat ulama Syafi‟iyah tersebut dapat


diambil kesimpulan bahwa syarat-syarat barang rahn adalah :

a. Harus bisa diperjualbelikan


b. Harus berupa harta bernilai
c. Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah, tidak berupa
barang haram.
d. Harus diketahui keadaan fisiknya.
e. Harus dimilki oleh rahn, setidaknya harus atas izin
pemiliknya.6
Rahn dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun dan
syarat tersebut, apabila salah satu rukun syarat tidak terpenuhi maka
rahn tidak sah.
4. Jenis-Jenis Rahn (Gadai Syariah)
Gadai jika dilihat dari sah tidaknya akad terbagi menjadi dua
yaitu gadaishahih dan gadai fasid adapun rinciannya adalah sebagai
berikut :
a. Rahn Shahih / lazim, yaitu rahn yang benar karena terpenuhi
syarat dan rukunnya.
b. Rahn Fasid, yaitu akad rahn yang tidak terpenuhi rukun dan
syaratnya.

Apabila sebuah akad rahn telah terpenuhi rukun dan


syaratnya maka membawa dampak yang harus dilakukan oleh
murtahin dan juga rahin, diantara dampak tersebut adalah :

a. Adanya hutang bagi rahin (penggadai).

6
Ibid. Hal. 200

9
b. Penguasaan suatu barang yang berpindah dari rahin kepada
murtahin.
c. Kewajiban untuk menjaga barang gadaian bagi murtahin.
d. Biaya-biaya pemeliharaan harta gadai menjadi tanggung
jawab rahin, karena itu murtahin berhak untuk memintanya
kepada rahin.

Sedangkan pada rahn yang fasid maka tidak ada hak ataupun
kewajiban yang terjadi, karena akad tersebut telah rusak / batal. Para
imam madzhab fiqh telah sepakat mengenai hal ini. Karena itu tidak
ada dampak hukum pada barang gadaian, dan murtahin tidak boleh
menahannya, serta rahin hendaknya meminta kembali barang gadai
tersebut, jika murtahin menolak mengembalikannya hingga barang
tersebut rusak maka murtahin dianggap sebagai perampas, karena
itu dia berhak mengembalikannya. Jika rahin meninggal dunia
sedangkan dia masih berhutang, maka barang gadaian tersebut
menjadi hak milik murtahin dengan nilaiyang seimbang dengan
hutangnya.

5. Berakhirnya Akad Rahn (Gadai)


Ada beberapa sebab yang menjadikan akad gadai akan
berakhir diantaranya adalah :
a. Barang diserahkan kepada pemiliknya. Ketika barang
gadaian dikembalikankepada pemiliknya maka berakhirlah
akad gadai tersebut.

b. Rahin telah membayar hutangnya. Hutang dibayarkan


semuanya, dengan dibayarkannya hutang maka rahin berhak
mengambil kembali barang gadaiannya. Sayid Sabiq
menukil perkataan Ibnu Mundzir mengatakan bahwa para
ahli ilmu telah sepakat jika seseorang menggadaikan sesuatu
lalu membayar hutangnya sebagian,dan ingin mengambil

10
sebagian barang gadaiannya maka hal ini tidak berhak
atasnya sampai dia melunasi seluruh hutangnya.
c. Pembebasan utang dengan cara apapun, walaupun dengan
pemindahan oleh murtahin. Pembebasan hutang oleh
murtahin. Ketika murtahin membebaskan hutang rahin maka
berakhirlah akad gadai tersebut.
d. Pembatalan hutang dari pihak murtahin. Murtahin berhak
untuk membatalkan hutang kepada pihak rahin, ketika hal ini
terjadi maka batalah akad gadai.
e. Rahin meninggal dunia. Pendapat ini adalah dari Ulama
Hanafiyah. Menurut pendapat ulama Malikiyah bahwa rahn
itu batal jika rahin meninggal dunia sebelum menyerahkan
harta gadai kepada murtahin, bangkrut, tidak mampu untuk
membayar hutangnya, sakit atau gila yang membawa pada
kematian. Sedangkan, menurut Ulama Syafi’iyah dan
Hanabilah hal tersebut tidak menyebabkan batalnya akad.
Merujuk pada Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Bab XIII tentang Rahn pasal 348 ayat 1 dinyatakan : ”Ahli
waris yang memiliki kecakapan hukum dapat menggantikan
pemberi gadai (baca : rahin) yang meninggal”
f. Rahn rusak atau sirna. Dengan rusak atau sirnanya harta
gadai maka berakhirlah akad gadai tersebut. Menurut Ulama
Hanafiyah, atas perkara tersebut murtahin dapat dikenakan
denda sebesar harga barang minimum atau sebesar utang
rahin, sebab hakikatnya marhun adalah amanah
yangdiberikan.
g. Pemindahan rahn kepada pihak lain baik berupa hadiah,
hibah atau shadaqah.

11
C. Persamaan dan Perbedaan Rahn (Gadai Syariah) dengan Gadai
Konvensional
1. Persamaan Rahn (Gadai Syariah) dengan Gadai Konvensional
Persamaan gadai konvensional dengan gadai syariah adalah
seperti berikut :
a. Hak gadai berlaku atas pinjaman uang
b. Adanya agunan (barang jaminan) sebagai jaminan utang
c. Barang yang digadaikan di tanggung pemberi gadai
d. Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis , barang yang
di gadaikan bole di jual atau di lelang.
2. Perbedaan Rahn (Gadai Syariah) dengan Gadai Konvensional
Perbedaan gadai syariah dengan gadai konvensional adalah
sebagai berikut :
a. Gadai syariah dilakukan secara suka rela tanpa mecari
keuntungan, seadangakan gadai konvensional dilakukan
dengan prinsip tolong- menolong tetapi juga menarik
keuntungan.
b. Hak gadai syariah berlaku pada seluruh harta (beda bergerak
dan benda tidak bergerak)
c. Gadai syariah dilaksanakan melakukan suatu lembaga,
sedangkan gadai konvensional dilaksanakan melalui suatu
lembaga (perum pegadaian).
D. Praktik Rahn (Gadai) di Indonesia
Bagimanakah praktik gadai yang ada ditengah masyarakat pada
masa kini? Di Indonesia ada beberapa praktik gadai, diantaranya adalah
yang terjadi di daerah pedesaan, dimana mereka menggadaikan sawah,
ladang atau pohon kelapa dan hasil dari gadai tersebut menjadi hak penuh
bagi murtahin. Hal ini tentu bertentangan dengan sabda Nabi yaitu : “ Setiap
pinjaman yang mengambil menfaat maka itu adalah riba” (HR. Al-Harist
bin Abi Usamah).

12
Hal diatas terjadi karena ketidakpahaman masyarakat mengenai
akad gadai, yang dipahami menjadi milik mutlak bagi murtahin. Karena
tujuan dari rahn adalah sebagai penguat kepercayaan orang yang berhutang
kepada pemilik piutang, bukan untuk mencari keuntungan. Mengenai biaya
perawatan barang gadaian maka hal ini menjadi kewajiban rahin dan
murtahin berhak untuk meminta biaya perawatan tersebut. karena itu buah
dari pohon dan penghasilan dari sawah atau ladang adalah milik dari rahin
dan jika murtahin yang menggarap sawahnya maka harus dengan izin dari
rahin.
Selain itu kita mengenal adanya Perusahaan Umum (Perum)
Pegadaian yang ditetapkan dengan PP10/1990 tanggal 10 April 1990 serta
PP 103 tahun 2000 yang menjadi lembaga yang memberikan pelayanan
gadai milik pemerintah. Pola kerjanya adalah pihak pegadaian menyediakan
dan menyalurkannya bagi masyarakat yang membutuhkan dana segar dan
segera, adapun masyarakat menjadikan harta bendanya sebagai jaminan
(barang gadaian). Dengan semakin berkembangnya sistem ekonomi
syariah, maka saat ini Perum Pegadaian juga telah membuka Unit Pegadaian
Syariah, yaitu pegadaian dengan prinsip akad rahn yang bebas bunga dan
sesuai dengan prinsip Islam. Implementasi operasional Pegadaian syariah
hampir sama dengan Pegadaian konvensional. Seperti halnya Pegadaian
konvensional, pegadaian syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan
jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah
sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan
barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam
waktu yang tidak relatif lama (kurang lebih 15 menit saja). Begitupun untuk
melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan
surat bukti rahn saja dengan waktu proses yang juga singkat.
Disamping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinju dari
aspek landasan konsep, teknik transaksi dan pendanaan. Pegadaian syariah
memiliki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan
Pegadaian konvensional. Dari beberapa perbedaan yang sangat urgen adalah

13
tidak adanya riba yang dikenakan bagi penggadai, karena riba adalah
sesuatu yang diharamkan dalam Islam.
Mekanisme operasional Pegadaian Syariah digambarkan sebagai
berikut : Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan
kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya ditempat yang telah
disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan
adalah timbulnya biaya – biaya yang meliputi nilai investasi tempat
penyimpanan, biaya perawaran dan keseluruhan proses kegiatannya.
Adapun dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa
kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Pegadaian Syariah akan memperoleh keuntungan hanya dari bea sewa
tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang
diperhitungkan dari uang pinjaman. Sehingga di sini dapat dikatakan proses
pinjam meminjam uang hanya sebagai lipstick yang akan menarik minat
konsumen untuk menyimpan barangnya dipegadaian.
Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah,
masyarakat hanya cukup menyerahkan harta geraknya ( emas, berlian,
kendaraan dan lain – lain) untuk dijadikan titipan disertai dengan copy tanda
pengenal. Kemudian staf penaksir akan menentukan nilai taksiran barang
bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan perhitungan
pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon yang pinjaman yang
dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan
harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang
pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran
barang.
Kemudian nasabah akan melakukan akad dan juga diberikan
beberapa kelonggaran. Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang
atau hanya membayar jasa simpan, maka Pegadaian Syariah melakukan
eksekusi barang jaminan dengan cara dijual, selisih antara nilai penjualan
dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan yang kelebihan
yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun

14
untuk mengambil uang kelebihan dan jika dalam satu tahun ternyata
nasabah tidak mengambil yang tersebut, Pegadaian Syariah akan
menyerahkan yang kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS.
Aplikasi gadai syaraih dalam perbankan syariah sendiri dipakai
dalam beberapa hal diantaranya akad pelengkap yaitu akad tambahan dalam
pembiayaan bai’ al murabahah dimana barang dari nasabah dijadikan
sebagai jaminan. Manfaat yang dapat diambil oleh pihak bank dalam akad
rahn ini adalah :
a. Menjaga kemungkinan nasabah lalai atau bermain – main
dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan bank.
b. Membantu masyarakat yang membutuhkan dana dengan
segera namun tidak mau jatuh kepada riba.

Selain keuntungan yang didapat pihak bank, ada beberapa risiko


yang terjadi bila nasabah tidak dapat melunasi hutangnya (wanprestasi),
atau penurunan nilai barang gadai karena rusak atau harganya turun.

15
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa :

• Awal berdirinya Rahn (Gadai syariah) adalah fatwa MUI tanggal 16


Desember 2003 mengenai bunga bank. Fatwa ini memperkuat
terbitnya PP No. 10 tahun1990 yang menerangkan bahwa misi yang
diemban oleh pegadaian syariah adalahuntuk mencegah praktik riba,
dan misi ini tidak berubah hingga diterbitkannya PP No. 103 tahun
2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum
pegadaian hingga sekarang.
• Rahn merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan
barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’
sebagai jaminan, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil
utang.
• Rukun Rahn yaitu : Rahin, Murtahin, Marhun, marhunbihi, dan
sighat.
• Dipegadaian syariah rahn diaplikasikan berdampingan dengan akad
ijarah. Sedangkan rahn layak untuk dijadikan akad jaminan bagi
akad pembiayaan di Bank Syariah. Rahn dapat diterapkan sebagai
salah satu lembaga jaminan dengan berpegangan pada prinsip
syariah.
• Di Indonesia ada beberapa praktik gadai diantaranya adalah yang
terjadi di daerah pedesaan dimana sebagian mereka menggadaikan
sawah, ladang atau pohon kelapa dan hasil dari barang gadaian
tersebut menjadi hak penuh bagi murtahin.

16
B. Saran

Saya sebagai penulis makalah ini, menyadari bahwa banyak sekali


kesalahan dan sangat jauh dari kesempurnaan baik dari kualitas tulisan dan
idenya. Tentunya, penulis akan terus memperbaiki makalah dengan
mengacu pada sumber yang dapat dipertanggung jawabkan nantinya. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran tentang
pembahasan makalah diatas.

17
DAFTAR PUSTAKA

Fadlan. (2014) “Gadai Syariah; Perspektif Fiqih Muamalah dan Aplikasinya


dalamPerbankan”. Iqtishadia. Vol. 1, No. 1/Juni 2014.

Ghufran A. Mas'adi. (2002) “Fiqh Muamalah Kontekstual”. Jakarta: Raja


GrafindoPersada. 2002.

Habib Wakidatul Ihtiar, (2016) “Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional


Nomor:92/DSN-MUI/IV/2014 Tentang Pembiayaan yang disertai Rahn”,
Vol. 03, No. 01, (2016).

Ismail Nawawi, (2012) “Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer”, (Bogor:


GhlmiaIndonesia, 2012).

Rokhmat Subagiyo, (2014) “Tinjauan Syariah tentang Pegadaian Syariah


(Rahn)”, Vol. 01, No. 01 (2014).

Muhaimin, (2013). Prinsip Rahn ( Gadai Syariah ). Scribd. Attribution Non-


Commercial )BY-NC).

18

Anda mungkin juga menyukai