Makalah Ini Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalah Dasar
Disusun Oleh:
2023
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat serta karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik dan tepat waktu. Guna memenuhi tugas kelompok 12 untuk mata kuliah Fiqih
Muamalah Dasar, dengan makalah yang berjudul: “AKAD TABARRU’ : RAHN,
KAFALAH DAN HAWALAH”.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan kami semangat dan motivasi dalam pembuatan tugas makalah ini. Kepada
Bapak Dosen Pengampu: Dr. Novrianto, M.Ag. dan kepada teman-teman seperjuangan yang
membantu kami dalam berbagai hal.
Harapan kami, informasi dan materi yang terdapat dalam makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca. Tiada yang sempurna di dunia, melainkan Allah SWT. Tuhan
Yang Maha Sempurna, karena itu kami memohon kritik dan saran yang membangun bagi
perbaikan makalah kami selanjutnya.
Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, atau
pun adanya ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada makalah ini, kami mohon maaf.
Tim penulis menerima kritik dan saran seluas-luasnya dari pembaca agar bisa membuat karya
makalah yang lebih baik pada kesempatan berikutnya.
Kelompok 12
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang
Dalam menjalankan bisnis, suatu ha lyang sangat penting adalah masalah akad
(perjanjian). Akad sebagai salah satu cara untuk mendapatkan harta dalam syariat
islam yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Akad merupakan cara
yang diridhai Allah dan harus ditegakkan isinya. Kata “Akad” berasal dari bahasa arab
al aqdudalam bentuk jamak di sebut al-aquud yang berarti ikatan atau simpul tali.
Menurut para ulama fiqh, kata akad didefinisikan sebagai hubungan antara ijab
dan kabul sesuai dengan kehendak syariat yang menetapkan adanya pengaruh (akibat)
hukum dalam objek perikatan. Tujuan akad (maudhu al-„aqd) ialah maksud utama
disyariatkan akad itu sendiri Misalnya, seorang nasabah ingin melakukan jual beli
melalui Lembaga perbankan syariah tujuanya tentu selain mendapatkan keuntungan
secara ekonomi, juga dalam rangka mengamalkan firman Allah (QS. AlBaqarah/2:
275). Karena dalam firman tersebut ditegaskan bahwa Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba.
Akad Tabarru adalah akad yang dimaksudkan untuk menolong dan murni
semata-mata karena mengharapkan ridha dan pahala dari Allah SWT, sama sekali
tidak ada unsur mencari “return” ataupun motif. Akad yang termasuk dalam kategori
iniadalah: Kafalah, Hawalah, dan Rahn,. Atau dalam redaksi lain akad tabarru‟adalah
segala macam perjanjian yang menyangkut nonprofit transaction (transaksi nirlaba). 3
Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan
komersil.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
1. Pengertian
Tabarru’ menurut Bahasa sendiri berasal dari bahasa arab yaitu kata “birr”
yang berarti suatu kebaikan. Dari sisi bahasa, kata ‘tabarru berarti “mencari
berkah”. Tabarruk berasal dari kata al-Barakah. Arti al-Barakah adalah tambahan
dan perkembangan dalam kebaikan (az-Ziyadah Wa’an Nama’Fi al-Khair).
Barakah (kebaikan) dalam harta adalah ketika bertambah banyak dan digunakan
dalam ketaatan kepada Allah. Barakah (kebaikan) dalam harta adalah ketika
bertambah banyak dan digunakan dalam ketaatan kepada Allah SWT.
1. Al-Qur’an
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. Al-Ma’idah {5} 2)
3. Hadits
Riwayat HR. Muslim yang berisi, “Dari Nu’man bin Basyir ra, Rasulullah
SAW bersabda, Perumpamaan persaudaraan kaum muslimin dalam cinta dan kasih
sayang diantara mereka adalah seumpama satu tubuh. Bilamana salah satu bagian
tubuh merasakan sakit, maka akan dirasakan oleh bagian tubuh yang lainnya,
seperti ketika tidak bisa tidur atau ketika demam.”, Hadist ini adalah riwayat yang
menjelaskan kegiatan tolong menolong dalam masyarakat Islam. Hal ini
digambarkan seperti satu tubuh, saat ada anggota badan yang sakit (masyarakat),
yang lain juga akan merasa sakit. Kita bisa sekedar menjenguk atau bahkan
memberi bantuan meski kecil jumlahnya. Bantuan ini setidaknya dapat mengurangi
beban orang yang terkena musibah. Hadis ini digunakan sebagai dasar filosofi
asuransi syariah.
1. Pengertian
Menurut Bahasa, Al-rahn (Gadai) berarti al-tsubut dan al-habs yang artinya
yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn artinya
adalah terkurung atau terjerat
A. Al-Qur’an
ٌَ ة َ ىَى و
ََو رِ تَْو وِ َ روِْ ونَا وَاَرِبا َو رِ ىٰ ةٌ تّ وِْ ونو و ًا َو وَُ ونَ رِّ اْتِرٰ واَۡ ن رٌِو وَا ورِ نَ وّۡ ن وِ و ً نُ وِ َوَو ب ؕ َوا ورِ ا و رٌّو َوَو ن
لو ورَتؕٗؕ وَ وَ َ ووُّ ن نِوا اْ ت
ّ وَاِوَ و ِ ل َ رَ وُ ةِ ا و وّاُوـّ وؕٗ وَ وُْوّ ت ر ؕ وَ وّ وٌ ي وتُّنِو وَا َو راُتؕٗه ىاْر ةِ َو وَِنؕٗؕ وَ ل
لن َر وِا َ وَو وَِن ووِو و
Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang
penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah,
Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barangsiapa
menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan. (QS; Al-Baqarah {2} : 283)
B. Hadist
Di riwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai. Dan Ibnu Majah dari Anas r.a
Berkata : “Rasulullah SAW merungguhkan baju besi kepada Yahudi di
Madinah Ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang yahudi”. 1
1
(Rafsanjani, 2016)Rafsanjani, H. (2016). Akad Tabarru’ Dalam Transaksi Bisnis. Jurnal Perbankan Syariah, 1(1), 104–
Dari hadist di atas kita dapat memahami bahwa agama islam tidak membeda-
bedakan antara orang islam atau non-islam dalam bidang muamalah, maka
sebagaimana transaksinya yang dilakukan antara dua orang, baik islam atau non
islam tetaplah membayar apa yang telah dilakukannya
1. Ar-Rahin (yang menggdaikan). Orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya,
dan memiliki barang yang akan digadaikan.
2. Al-Murtahin (yang menerima gadai). Orang, bank atau lembaga yang
dipercaya rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang (gadai).
3. Al-Marhun/ Rahn (barang yang digadaikan). Barang yang digunakan rahin untuk
dijadikan jaminan dalam mendapatkan hutang.
4. Al-Marhun Bih (hutang). Sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin
atas dasar besarnya tafsiran marhun.
5. Sighat, Ijab dan Qabul. Kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan
transaksi gadai.
Salah satu ulama yaitu Jumhur fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak
boleh mengambil sesuatu manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun
rahin mengizinkannya karena hal ini termasuk kepada utang yang dapat menarik
manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.
107.
(Rafsanjani, 2016)Rafsanjani, H. (2016). Akad Tabarru’ Dalam Transaksi Bisnis. Jurnal Perbankan Syariah, 1(1), 104–107.
Sedangkan Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang
gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang
dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua
benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang di keluarkan
nya selama kendaraan atau Binatang ternaik itu ada padanya
2
Mustofa, I. (2019). Fiqih Muamalah Kontemporer. Depok: Rajawali Pers, 2019. In Cet.
3
Adnan, P. (2022). Akad Hawalah (Fiqh Pengalihan Hutang). Azmina: Jurnal Perbankan Syariah.
6. Penyelesaian Rahn
Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak
boleh diadakan syarat-syarat, misalkan ketika akad gadai diucapkan, "Apabila
rakin tidak mampu melunasi utangnya hingga waktu yang telah ditentukan, maka
marhun menjadi milik murtahin sebagai pembayaran utang", sebab ada
kemungkinan pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayar
utang harga marhun akan lebih kecil daripada utang rahin yang harus dibayar,
yang mengakibatkan ruginya pihak murtahin. Sebaliknya ada kemung- kinan juga
harga marhun pada waktu pembayaran yang telah diten- tukan akan lebih besar
jumlahnya daripada utang yang harus dibayar, yang akibatnya akan merugikan
pihak rahin.
Apabila syarat seperti di atas diadakan dalam akad gadai, akad gadai itu sah,
tetapi syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan.
Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum membayar
4
utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin
sendiri atau yang lain, tetapi dengan harga yang umum berlaku pada waktu itu dari
penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan
akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah utang, sisanya
dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang
dari jumlah utang, rahin masih menanggung permba- yaran kekurangannya.
4
Mustofa, I. (2019). Fiqih Muamalah Kontemporer. Depok: Rajawali Pers, 2019. In Cet.
7. Pengaplikasian Rahn Dalam Lembaga Keuangan
B. Hawalah
1. Definis Hawalah
5
Mustofa, I. (2019). Fiqih Muamalah Kontemporer. Depok: Rajawali Pers, 2019. In Cet.
6
Ibnu 'Abidin, al-Dur al-Mukhtar, (Digital Library al-Maktabah al-Syamilah al-Isdār al-Sani, 2005), V/477
َِرُ رل اّْ ت ووْ ن ر
ِؕ َر ََوى و ُِ رل ِرْوى رذ تّ رٌ لاْ نَِل ّ وا رِ و
ََو لُ رؕ و َوَل روي نل اْْتي رلٌ رّ لٌ رذ تّ رٌ لاأ و ر7 ر
“pengalihan utang dari tanggungan pihak yang berhutang (muhil) kepada pihak
lain yang mempunyai tanggungan kepada muhil dengan adanya saling percaya”.
Namun beberapa ulama lainnya juga berbeda-beda dalam mendefinisikannya
seperti ;8
1. Menurut hanafiyah, hiwalah ialah ;
َِاْوِو رٌ رّ لٌ رذ تّ رٌ لاْ وِ لْي لنو رِ ِرْوى رذ تّ رٌ لاْ نِ لَّ وَو ر
ُو لْ نل لاْ نِ و
"Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain
yang punya tanggung jawab kewajiban pula."
2. Syihab Al-Din Al-Qalyubi berpendapat bahwa yang; dimaksu dengan hiwalah
ialah:
َ لْْة يو لّْ ر
ٌوًي ا لُ رّْوا وِ ِوي رلٌ رّ لٌ رذ تّ رٌ رِْوى ِو تّ ر و
"Akad yang menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang kepada yang
lain. "9
3. Menurut Taqiyuddin, yang dimaksud dengan hiwalah ialah:
7
Akmaluddin al-Baburti, al-'Inayah Syarh al-Hidayah, (Digital Library. Maktabah al-Syamilah al-Işdär al-Sani,
2005), X/177
8
Ibid
9
Lihat, Qalyubi wa Umaira, Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah Indonesia, tth
10
Lihat, Kifayat al-Akhyar, hlm. 274.
2. Dasar Hukum Hawalah
11
Adnan, P. (2022). Akad Hawalah (Fiqh Pengalihan Hutang). Azmina: Jurnal Perbankan
Syariah.
12
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhari, Shohih al-Bukhari. (Digital Library, al-Maktabah al-Syamilah
al-Isdär al-Sani, 2005), VIII/352, hadis nomor 2287. Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairi al-Nisäbūri,
Shohih Muslim, (Digital Library, al-Maktabah al-Syamilah al-Isdār al-Sani, 2005), V/34, hadis nomor 4085;
Sulaiman bin al-Asy'ats bin Syaddad bin 'Amr al-Azadi Abū Daud, Sunan Abu Daud, (Digital Library, al-Maktabah
Ulama juga telah berijma' mengenai diperbolehkannya hawalah, yaitu menurut
Ibnu Mulaqqin (w. 804 H) Dalam kitabnya At-Taudhih Syarh Al-Jami’ Al-
Shahih bahwa perkara hawalah sudah menjadi kesepakatan para ulama tentang
kebolehannya. Ulama dari mazhab Maliki, Syafii dan Hanbali menambahkan
sighat hawalah, hendaknya akad disertai ijab dari muhil (orang yang
memindahkan utang) dengan sebutan, “Aku alihkan hutangku yang sebenarnya
bagi engkau kepada fulan (maksudnya: aku alihkan kewajibanku kepadamu untuk
membayar hutangku yang ada pada fulan, ed.),” dan qabul dari muhal (orang
yang berpiutang) dengan perkataan, “Aku terima pengalihan darimu.”
Selain dasar hukum dari Al-Quran, Al-Sunnah dan ijma' juga ada legitimasi
dalam KHES Pasal 318-328.
a. Hawalah Mulaqoh
Hawalah Muthlaqoh Hawalah Muthlaqoh adalah apabila seseorang
yang berhutang kepada orang lain (orang kedua) (orang pertama)
mengalihkan hak tagihnya kepada pihak ketiga tanpa ada dasar bahwa orang
ketiga itu berhutang kepadanya. Orang pertama. Jika A mempunyai utang
kepada B dan A mengalihkan hak tagih dari B kepada C, namun C tidak
mempunyai utang atau kredit kepada B, maka hal itu disebut Hawalah
Muthlaqoh. Meski hanya berlaku pada pemikiran Hanafi dan Syi'ah, sebagian
besar ulama menggolongkan hawala jenis ini sebagai kafala.
b. Hawalah Muqayyadah
Hawala muqayyadah adalah Hawalah yang melibatkan transfer hutang
dari pihak pertama (muhil) ke pihak kedua (muhal) sebagai ganti pembayaran
hutang. Dalam proses ini, muhil memberikan pinjaman kepada muhal, yang
kemudian memberikan pinjaman kepada pihak yang mampu (muhal) untuk
membayar utangnya
al-Syamilah al-Isdär al-Sani, 2005), X/121, hadis nomor 3347; Abū 'Abdurrahman Ahmad bin Syu'aib al-Nasai,
Sunan al-Nasa'i, (Digital Library, al-Maktabah al-Syamilah al-Isdär al-Sani, 2005), VII/363, hadis nomor 4705.
c. Hawalah berdasarkan Objek Perjanjiannya
a) Hawalah Haq
Hawalah Haq adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada
piutang yang lain dalam bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam
hal ini yang bertindak sebagai muhil adalah pemberi utang dan ia
mengalihkan haknya kepada pemberi utang yang lain sedangkan orang
yang berutang tidak berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang.
Ini terjadi jika piutang A mempunya utang kepada piutang
b) Hawalah Dayn
Hawalah ini adalah pemindahan utang kepada orang lain yang
mempunyai utang kepadanya. Ini berbeda dari ahwalah haq. Pada
hakikatnya hawalah dayn sama pengertiannya dengan hawalah yang
telah diterangkan terdahulu.
Menurut Mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hanbali, rukun hiwalah ada enam, yaitu:
1) Pihak pertama (muhil), yaitu orang yang meng-hiwālah-kan (mengalihkan)
utang.
2) Pihak kedua (muhāl), yaitu orang yang di-hiwālah-kan (orang yang
mempunyai utang kepada muhil);3. Pihak ketiga (muhāl 'alaih), yaitu orang
yang menerima al- hiwalah.
3) Ada piutang muhil kepada muhāl;
4) Ada piutang muhäl 'alaih kepada muhil;
5) Ada sigah al-hiwālah, yaitu ijab dari muhil.s13
Sementara menurut kalangan Hanafiyah, rukun hawalah adalah ijab dan kabul.
Ijab dalam hawalah adalah ungkapan yang berasal dari pihak yang mengalihkan
utang (muhil) kepada pihak penerima hawalah (muhāl 'alaih) dan pihak yang
mempunyai utang kepada muhil (muhāl). Kabul harus berasal dari kedua belah
pihak ini. Rukun hawalah berdasarkan KHES Pasal 318 ayat (1) adalah (a)
13
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqih al-Islāmi wa Adillatuh, (Beirut: Dar Al-Fikr, 2005), VI/46
muhil/peminjam; (b) muhāl/pemberi pinjaman; (c) muhal 'alaih/penerima
hawalah; (d) muhal bihi/utang; dan (e) akad.
Sementara itu, syarat-syarat hiwalah menurut Sayyid Sabig adalah sebagai berikut.
1. Relanya pihak mihil dan mukal tanpa muhal 'alaih, jadi yang harus tela itu
muhil dan muhal 'alaih. Bagi muhal 'alaih tela maupun tidak rela, tidak akan
mempengaruhi kesalahan hiwalah. Ada juga yang mengatakan bahwa muhal tidak
disya. ratkan rela, yang harus rela adalah muhil, hal ini karena Rasul telah
bersabda.
رِذوا َ ن رَ لُ ول َ و وَْن نَ لِ و
ََْوى وَّريٍر َو لَُوّ ت رِ ن
"Dan jika salah seorang di antara kamu dihiwalahkan kepada orang yang kaya,
maka terimalah."
2. Samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaian- nya, tempo
waktu, kualitas, dan kuantitasnya.
3. Stabilnya muhal 'alaih, maka penghiwalahan kepada seorang yang tidak
mampu membayar utang adalah batal. 4 Hak tersebut diketahui sccara jelas.14
14
Ahmad Idris dalam, Figh al-Syafi'iyah, Karya Indah, Jakarta, tahun 1986 hlm. 57-58.
e. Jika muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hawalah kepada muhal
„alaih dan ia menerima hibah tersebut. f. Jika muhal menghapusbukukan
kewajiban membayar utang kepada muhal ‘alaih.
15
Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal, Islamic Financial Management: Teori, Konsep, dan Aplikasi
Panduan Praktis untuk Lembaga Keuangan, Nasabah, Praktisi dan Mahasiswa, (Jakarta: rajawali Pers, 2008), h.
197.
16
Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 209.
B mengalihkan beban utang kepada C Dengan demikian, C harus membayar
utang B kepada A. Sedangkan utang C sebelumnya pada B dianggap selesai.17
Skema implementasi hawalah dalam Lembaga Keuangan Syariah setidaknya
dapat digambarkan sebagai berikut:Berdasarkan skema di atas, dapat dijelaskan
dengan penjelasan sebagai berikut:
17
M. Nur Yasin, hukum Ekonomi Islam, (Malang: UIN-Malang Press, 2009).
Akad hawalah dapat memberikan banyak manfaat dan keuntungan yaitu;
a. Memungkinkan penyelesaian utang dan piutang dengan cepat dan simultan,
b. Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan,
c. Dapat menjadi salah satu fee-based income/sumber pendapatan non-pembiayaan
bagi bank syariah.
C. Kafalah
1. Definisi Kafalah
Akad kafalah merupakan salah satu contoh dari akad tabarru’. Kafalah dalam arti
etimologi berasal dari kata: Kafala, yang sinonimnya: dhamina, yang artinya
menanggung. Kafalah juga diartikan adh-dhammu, yang artinya mengumpulkan.
18
Wardi, Ahmad. 2010. Fiqih Muamalat. Jakarta: Amzah
2. Menurut Malikiyah
Dhaman, kafalah dan hamalah mempunyai arti yang sama, yaitu penggabungan
oleh pemilik hak terhadap tanggungan penanggung dengan tanggungan orang
yang ditanggung, baik penggabungan tanggungan tersebut bergantung kepada
adanya sesuatu atau tidak.
3. Menurut Syafi’iyah
Dhaman dalam pengertian syara’ adalah suatu akad yang menghendaki
tetapnya suatu hak yang ada dalam tanggungan orang lain, atau menghadirkan
benda yang ditanggungkan, atau menghadirkan badan orang yang harus
dihadirkan.
4. Menurut Hanabilah
Dhaman adalah menetapkan sesuatu yang wajib kepada orang lain sedangkan
sesuatu itu tetap dalam genggaman orang yang ditanggung, atau menetapkan
kewajiban untuk mendatangkan orang yang mempunyai hak (yang harus
diselesaikan).
Dari definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama mazhab tersebut, dapat
diambil intisari bahwa kafalah atau dhaman adalah suatu akad antara dua pihak,
di mana pihak pertama menanggung beban dan tanggung jawab pihak kedua
untuk menyelesaikan utang, atau menuntut harta atau menghadirkan orang
yang bermasalah dengan pihak kedua. Dari sini dapat dipahami bahwa kafalah
itu adakalanya menanggung harta (mal), atau utang atau orang.
لر ْوّوألَنۡتۡر لي رَ ٖ لؕ ا ت ل
ِرَ ا و ل َوا وِ ْو لٌ ا ن لر رََوؕٗ وَّو نُ لِ وَّلى َنَل َ ن لو رِ وّ لوْرْبا ر ٌّّو ل
٦٦ َ ىَى وّا ُوْن لو نِ وَ رَ لُ ةل لن و َ رَ نُ ۚ لِ َوَو تِا ل ىاَ و لوُن وّ لوْرْو نَ لِ َوا وِ ل
يل وَا و
Dia (Ya‘qub) berkata, “Aku tidak akan melepaskannya (pergi) bersama kamu,
sebelum kamu bersumpah kepadaku atas (nama) Allah, bahwa kamu pasti akan
membawanya kembali kepadaku, kecuali jika kamu dikepung (oleh musuh).”
Setelah mereka memberikan janji kepadanya, dia (Ya‘qub) berkata, “Allah
adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan.”
d. Ijma’
Adapun dasar hukum kafalah menurut ijma’ ulama, yakni bahwa kaum muslim
telah berjimak atau memiliki kesepakatan atas diperbolehkannya akad kafalah
secara umum karena adanya keperluan atau hajat manusia untuk saling tolong-
menolong serta untuk menghindarkan atau menolak bahaya dari orang yang
berhutang. Selain hal tersebut diperbolehkannya kafalah juga karena akad
tersebut sudah ada sejak zaman Rasulullah, yang bahkan sampai saat ini pun
tidak ada pertentangan mengenai hal tersebut dikarenakan maslahah yang ada
di dalamnya.
3. Rukun dan Syarat-Syarat Kafalah
19
Rais, Isnawati dan Hasanudin. 2011. Fiqih Muamalah dan Aplikasinya pada LKS. Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Macam-Macam Kafalah
5. Berakhirnya Kafalah
Secara umum, kafalah berakhir apabila pelunasan hutang dari penanggung sudah
dilaksanakan atau si makful lahu membatalkan akad kafalah karena
membebaskannya.
6. Aplikasi Kafalah dalam Lembaga Keuangan Syariah
Kafalah adalah suatu pemberian jaminan oleh bank sebagai penanggung (kafil)
kepada pihak ketiga atas kewajiban pihak kedua (yang ditanggung). Atas
pemberian jaminan ini, bank memperoleh fee.
Garansi bank dapat diberikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran suatu
kewajiban pembayaran. Bank dapat mempersyaratkan nasabah untuk
menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai rahn. Bank dapat pula
menerima dana tersebut dengan prinsip wadi’ah. Bank mendapatkan pengganti
biaya atas jasa yang diberikan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Akad tabarru' merupakan suatu bentuk perjanjian atau kontrak dalam sistem
keuangan syariah yang berkaitan dengan aspek asuransi atau perlindungan.
Dalam konteks ini, pihak yang menjadi peserta (mudharib) memberikan
sumbangan atau kontribusi kepada pihak penyelenggara (mustahiq) untuk
mendapatkan manfaat perlindungan atau pembayaran klaim atas risiko tertentu.
Rais, Isnawati dan Hasanudin. 2011. Fiqih Muamalah dan Aplikasinya pada LKS.
Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Adnan, P. (2022). Akad Hawalah (Fiqh Pengalihan Hutang). Azmina: Jurnal Perbankan
Syariah.
Mustofa, I. (2019). Fiqih Muamalah Kontemporer. Depok: Rajawali Pers, 2019. In Cet.
Farid, & Ashal, F. (2016). Kedudukan Akad Tijarah dan Akad Tabarru’ Dalam Asuransi
Syariah. HUMAN FALAH: Jurnal Ekonomi Dan Bisnis Islam, 3(2), 238–252.