Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Maha suci Allah, tiada kata yang pantas kita ucapkan selain puji dan
syukur kehadirat Ilahi Rabbi, dengan Rahmat dan Hidayah-Nya sampai saat
ini kita masih dapat merasakan nikmat-Nya. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curah kepada Nabi kita Muhammad Rasulullah SAW., kepada
keluarganya, para sahabatnya dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Harapan saya semoga karya tulis ini membantu menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat
memperbaiki bentuk maupun isi karya tulis ini sehingga kedepannya dapat
lebih baik.
Karya tulis ini saya akui masih banyak kekurangan karena
pengalaman yang saya miliki sangat sedikit. Oleh kerena itu saya harapkan
kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan karya tulis ini.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu, sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya ilmiah ini, oleh sebab itu penyusun ingin sampaikan
terima kasih kepada :
1. Kedua orang tua penulis yaitu Bapak Nasim dan Ibu Siti Rohaya yang
telah memberikan nasihat, do’a dan dukungan moril maupun materil
untuk penulis.
2. Bapak Eko Prasetyo, S.Pd selaku guru mata pelajaran Bahasa
Indonesia yang telah memberikan banyak bantuan, masukan, dan
dukungan terkait penyusunan karya tulis ilmiah ini.
3. Siswa-siswa kelas IX-I SMP AL-WASHLIYAH 26 MEDAN yang telah
mendukung penyusunan karya tulis ilmiah ini sehingga dapat
terselesaikan tepat pada waktunya..
4. Seluruh pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang
sudah membantu menyelesaikan karya ilmiah ini.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin
Medan,16 Maret 2018
Penulis

Siska Nila Sari


DAFTAR ISI
Kata Pengantar
............................................................................................................................
i
Daftar Isi

1
............................................................................................................................
ii

BAB I Pendahuluan
............................................................................................................................
1
A. Latar Belakang
.................................................................................................................
1
B. Rumusan Masalah
.................................................................................................................
1
C. Tujuan
.................................................................................................................
2
D. Manfaat
.................................................................................................................
2

BAB II Pembahasan
............................................................................................................................
3
A. Pengertian Makelar
.................................................................................................................
3
B. Hukum Makelar Menurut Islam
.................................................................................................................
3
C. Jual Beli Terpaksa
.................................................................................................................
8
D. Ji'alah
.................................................................................................................
9

BAB III Penutup


............................................................................................................................
11
A. Kesimpulan
.................................................................................................................
11
B. Saran-Saran

2
.................................................................................................................
12

DAFTAR PUSTAKA
............................................................................................................................
13

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Allah swt menjadikan manusia masing-masing saling membutuhkan satu
sama lainnya, supaya mereka tolong menolong, tukar –menukar keperluan dalam
segala urusan kepentingan hidup masing-masing, baik dengan jalan jual beli, sewa
menyewa, bercocok tanam atau perusahaan yang lain-lain baik dalam urusan
kepentingan sendiri maupun untuk kemaslahatan umum.
Sebagai mahluk social yang selalu hidup bermasyarakat, akan saling
membutuhkan, saling membantu dalam segala urusan baik dunia maupun akhirat.
Maka dalam hal ini islam memberikan suatu solusi didalam upaya memenuhi
kehdupannya dengan jalan muamlah. Problematika sosial dan perdagangan
mengantarkan kepada manusia untuk berlomba dalam muamalah yang harus
didasarkan pada aturan yang telah ditetapkan allah dalam kitab suci al-qur’an agar
mansia satu dengan yang lainnya tidak memakan harta sesamanya dengan cara
yang bathil. Jual beli merupkan bagian dari muamalah yang sering kita lakukan
dimana kita sedang membutuhkan satua sama lainnya. Dalam uapaya jual beli satu
barang atau produk perlu adanya kerjasama antara pihak satu dengan pihak yang
lainnya melalui pihak ketiga atau istilah yang popular ialah makelar atau perantara.
Sebab seseorag tidak akan dapat sampai ketempat yang dituju jika kita tidak
memakai perantara. Perantara itu lah yang sangat penting untuk diajak kerjasama
dalam muamalah hal ini menunjukan bahwa kita sebagai mahluk social akan selalu
membutuhkan satu sama lainnya. Maka kerjasama anatara pihak makelar itu harus
dijalankan dengan benar agar terciptanya keharmonsan dalam muamalah.

B. Rumusan masalah
Dari latar belakang tersebut ,maka masalah yang akan dbahas dalam
makalah ini ialah:
1. Apa Pengertian dari Makelar
2. Apa Kewajiban dari Makelar dan macam-macamnya
3. Apa Hukum Makelar menurut pandangan islam
4. Beberapa Persyaratan dan Hikmah dari Makelar

C. Tujuan

1
Tujuan dalam penulisan karya tulis Ilmiah ini adalah
1. Untuk mengetahui pengertian dari makelar.
2. Untuk mengetahui hukum-hukum Makelar dalam Islam

D. Manfaat
Adapun manfaat tulisan ini antara lain :
1. Dapat menambah wawasan penulis dan khalayak tentang hal-hal yang
berhubungan dengan makelar dalam islam.
2. Sebagai bahan referensi untuk pembaca.
3. Dapat melatih siswa pada umumnya dan penulis khususnya dalam
mengembangkan wawasan diri untuk menyusun buah pikiran secara
sistematis dalam bentuk karya tulis

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Makelar
Makelar dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah perantara dalam
bidang jual beli. Makelar berasal dari bahasa arab, yaitu samsarah yang berarti
perantara perdagangan atau perantara antarapenjual dan pembeli untuk
memudahkan jual beli. (Zuhdi, 1993: 121) Makelar adalah pedagang perantara yang
berfungsi menjualkan barang orang lain dengan mengambil upah atau mencari
keuntungan sendiri tanpa menanggung resiko. Dengan kata lain, makelar itu ialah
penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan terlaksananya jual beli
tersebut. (Mujtaba, 2007: 239)
Dalam persoalan ini, kedua belah pihak mendapat manfaat. Bagi makelar
(perantara) mendapat lapangan pekerjaan dan uang jasa dari hasil pekerjaannya itu.
Demikian juga orang yang memerlukan jasa mereka, mendapat kemudahan, karena
ditangani oleh orang yang mengerti betul dalam bidangnya. Pekerjaan semacam ini,
mengandung unsur tolong menolong. Dengan demikian pekerjaan tersebut tidak
ada cacat dan celanya dan sejalan dengan ajaran islam. Pada zaman sekarang
ini,pengertian perantara sudah lebih meluas lagi, sudah bergeser kepada jasa
pengacara, jasa konsultan, tidak lagi hanya sekedar mempertemukan orang yang
menjual dengan orang yang membeli saja, dan tidak hanya menemukan barang
yang di cari dan menjualkan barang saja. Dengan demikian imbalan jasanya juga
harus di tetapkan bersama terlebih dahulu, Apalagi nilainya dalam jumlah yang
besar. Biasanya kalau nilainya besar, ditangani lebih dahulu perjanjiannya di
hadapan notaris.(Hasan, 1997: 88)

B. Hukum Makelar menurut Islam


Pekerjaan makelar menurut pandangan islam adalah termasuk akad ijarah,
yaitu suatu perjanjian memanfaatkan suatu barang atau jasa, misalnya rumah atau
suatu pekerjaan seperti pelayan, jasa pengacara, konsultan, dan sebagainya
dengan imbalan. Karena pekerjaan makelar termasuk ijarah, maka untuk sahnya
pekerjaan makelar ini, harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
 Persetujuan kedua belah pihak, sebagaimana dijelaskan dalam surat An-Nisa’
ayat 29 Allah Swt berfirman

3
Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An Nisa’ : 29).
(Depag RI, 2005)
Obyek akad bisa diketahui manfaatnya secara nyata dan dapat diserahkan
Obyek akad bukan hal-hal maksiat atau haram. ((Zuhdi, 1993: 121-122)
Makelar harus bersikap jujur, ikhlas, terbuka, tidak melakukan penipuan dan bisnis
yang haram maupun yang syubhat. Imbalan berhak diterima oleh seorang makelar
setelah ia memenuh akadnya, sedang pihak yang menggunakan jasa makelar harus
memberikan imbalannya, karena upah atau imbalan pekerja dapat meningkatkan
kesejahteraan pekerja yang bersangkutan. (Tjiptoherijanto, 1997: 100)
Jumlah imbalan yang harus diberikan kepada makelar adalah menurut perjanjian
sebagaimana Al Qur’an surat Al Maidah ayat 1 Allah Swt berfirman :
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.”(Qs. Al-Maidah :1)
Menurut Dr. Hamzah Ya’kub bahwa antara pemilik barang dan makelar dapat
mengatur suatu syarat tertentu mengenai jumlah keuntungan yang di peroleh pihak
makelar. Boleh dalam bentuk prosentase dari penjualan, dan juga boleh mengambil
dari kelebihan harga ysng di tentukan oleh pemilik barang. (Mujtaba, 2007: 240)
Adapun sebab-sebab pemakelaran yang tidak diperbolehkan oleh islam yaitu:
1. Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman
terhadap pembeli
2. Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman
terhadap penjual. (Ad-duwaisyi, 2004: 124)
Adapun hukum makelar atau perantara ini menurut pandangan ahli hukum islam
tidak bertentangan dengan syari’at hukum islam. Imam Al Bukhori mengemukakan
bahwa : Ibnu Sirin, Atha’, Ibrahim, dan Al Hasan memandang bahwa masalah
makelar atau perantara ini tidak apa-apa. Menurut pendapat Ibnu Abbas : bahwa
tidak mengapa, seseorang berkata “juallah ini bagiku seharga sekian, kelebihannya
untukmu”. (Pasaibu, 1994: 43) Sejalan dengan pandangan para fuqaha’
tersebut,apabila kita kembali pada aturan pokok, maka pekerjaan makelar itu tidak
terlarang atau mubah karena tidak ada nash yang melarangnya.

4
Jual Beli Kredit (sell or buy on credit/installment) dalam bahasa Arabnya disebut Bai’
bit Taqsith yang pengertiannya menurut istilah syari’ah, ialah menjual sesuatu
dengan pembayaran yang diangsur dengan cicilan tertentu, pada waktu tertentu,
dan lebih mahal daripada pembayaran kontan/tunai. (Syarah Majalah al-Ahkam, no
157, vol III/110, Majallah asy-Syari’ah wad Dirasah Al-Islamiyah, Fak Syari’ah,
Kuwait University, edisi VII, Sya’ban 1407, hal. 140, Al-Maurid, hal. 354, Lisanul
‘Arab, vol VII/377-378)
Jumhur ulama membolehkan praktik jual beli kredit (bai’ bit Taqsith) tanpa
bunga, diantaranya adalah Imam Al-Khathabi dalam Syarh Mukhtashar Khalil
(IV/375), Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ah Fatawa (XXIX/498-500),
Imam Syaukani dalam Nailul Authar (V/249-250), Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni
dengan menukil pendapat Thawus, Hakam dan Hammad yang membolehkannya
(IV/259).
Demikian pula ulama mutakhirin seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz
rahimahullah dalam majalah al-Iqtishad al-Islami, I/42 no. 11 th. 1402H dimana
beliau mengatakan: “Saya pernah ditanya tentang hukum jual-beli sekarung gula
pasir dan sebagainya, yang dicicil sampai pada waktu yang telah ditentukan dengan
ketentuan harga yang lebih tinggi daripada kontan. Maka saya jawab, mu’amalah ini
sah. Sebab jual-beli kontan berbeda dengan jual-beli kredit, sementara seluruh umat
Islam mengamalkan mu’amalah ini. Jadi, mereka telah sepakat atas bolehnya jual-
beli ini.” Syekh Abdul Wahhab Khallaf seperti dimuat dalam majalah Liwa’ul Islam,
no. 11 hlm. 122 juga memandangnya halal
Fatwa Muktamar pertama al-Mashraf al-Islami di Dubai yang dihadiri oleh 59
ulama internasional, fatwa Direktorat Jenderal Riset, Dakwah dan Ifta’ serta Komisi
Fatwa Kementrian Waqaf dan Urusan Agama Islam Kuwait semua sepakat bahwa
tidak ada larangan bagi penjual menentukan harga secara kredit lebih tinggi daipada
ketentuan harga kontan. Penjual boleh saja mengambil keuntungan dari penjualan
secara kredit dengan ketentuan dan perhitungan yang jelas. (Majalah asy-Syari’ah
Kuwait, Rajab 1414, hlm.264, Majalah al-Iqtishad al-Islami, I/3 th 1402, hlm. 35,
Majalah al-Buhuts al-Islamiyah, no. 6 Rabi’ Tsani, 1403H, hlm.270)
Dalil syari’ah dalam membolehkan akad jual-beli kredit (bai’ bit taqsith) diambil
dari dalil-dalil al-Qur’an yang menghalalkan praktik bai’ (jual-beli) secara umum,
diantaranya firman Allah: “Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba” (al-
Baqarah:275) “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak

5
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (al-
Baqarah:282)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama suka diantara kamu.” (QS. An-Nisa’:29)
Namun para ulama ketika membolehkan jual-beli secara kredit dengan
ketentuan selama pihak penjual dan pembeli mengikuti kaidah dan syarat-syarat
keabsahannya sebagai berikut:
1. Harga barang ditentukan jelas dan pasti diketahui pihak penjual dan pembeli.
2. Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi
sehingga terhindar dari parktik bai’ gharar, ‘bisnis penipuan’.
3. Harga semula yang sudah disepakati bersama tidak boleh dinaikkan lantaran
pelunasannya melebihi waktu yang ditentukan, karena dapat jatuh pada praktik riba.
4. Seorang penjual tidak boleh mengeksploitasi kebutuhan pembeli dengan cara
menaikkan harga terlalu tinggi melebihi harga pasar yang berlaku, agar tidak
termasuk kategori bai’ muththarr, ‘jual-beli dengan terpaksa’ yang dikecam Nabi saw
Menganai pertanyaan tentang jual-beli mobil secara kredit yang banyak
dilakukan orang dengan bunga tertentu, fatwa direktorat jenderal riset, dakwah dan
ifta’ menjelaskan bahwa jika dalam jual-beli kredit terdapat kenaikan harga (bunga)
lantaran terlambatnya pelunasan dari pihak pembeli, maka menurut ijma’ ulama tidak
sah, karena di dalamnya terkandung unsur riba jahiliyah yang diharamkan Islam.
(Majalah al-Buhuts al-islamiyah, no. 6 Th. 1403, hlm 270)
Kalaupun terpaksa harus membeli secara kredit dari penjual barang yang
memberlakukan sistem bunga ini, maka pembeli realitasnya harus yakin mampu
mencicil dan melunasinya tepat waktu tanpa harus terjerat pembayaran bunga
tunggakan, agar terhindar dari laknat rasulullah karena membayar uang riba.
Kartu kredit pada hakekatnya sebagai sarana mempermudah proses jual-beli
yang tidak tergantung kepada pembayaran kontan dengan membawa uang tunai
yang sangat riskan. Status hukumnya menurut fiqih kontemporer adalah sebagai
objek atau media jasa kafalah (jaminan). Perusahaan perbankan dalam hal ini yang
mengeluarkan kartu kredit (bukti kafalah) sebagai penjamin (kafil) bagi pengguna
kartu kredit tersebut dalam transaksi jual beli. Oleh karena itu berlaku di sini hukum
masalah ‘kafalah’.

6
Para ulama membolehkan sistem dan praktik kafalah dalam mu’amalah
berdasarkan dalil al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Allah berfirman: “dan siapa yang
dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta,
dan aku menjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf:72) Ibnu Abbas mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan kata “za’im” dalam ayat tersebut adalah “kafil”. Sabda Nabi
saw.: “az-Za’im Gharim” artinya; orang yang menjamin berarti berutang (sebab
jaminan tersebut). (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Hibban). Ulama sepakat (ijma’)
tentang bolehnya praktik kafalah karena lazim dibutuhkan dalam mu’amalah. (Lihat,
Subulus Salam, III/62, Al-Mabsuth, XIX/160, Al-Mughni, IV/534, Mughnil Muhtaj,
II/98).
Kafalah pada dasarnya adalah akad tabarru’ (suka rela) yang bernilai ibadah
bagi penjamin karena termasuk kerjasama dalam kebajikan (ta’awun ‘alal birri), dan
penjamin berhak meminta gantinya kembali kepada terutang, sepantasnyalah ia
tidak meminta upah atas jasanya tersebut, agar aman/jauh dari syubhat. Tetpi kalau
terutang sendiri yang memberinya sebagai hadiah atau hibah untuk mengungkapkan
rasa terima kasihnya, maka sah sah saja. Tetapi jika penjamin sendiri yang
mensyaratkan imbalan jasa (semacam uang iuran administrasi kartu kredit dan
sebagainya) tersebut dan tidak mau menjamin dengan sukarela, maka dibolehkan
bagi pengguna jasa jaminan memenuhi tuntutan tersebut bila diperlukan seperti
kebutuhan yang lazim dalam perjalanan studi, bisnis, kegiatan sosial, urusan pribadi
dan sebagainya
Hal itu berdasarkan kaedah fiqih: “al-Hajah Tunazzal Manzilah Adz-Dzarurah”
(kebutuhan dikategorikan sebagai suatu darurat). Bilamana keharusan uang jasa
kafalah merupakan suatu kelaziman transaksi bisnis yang tidak bertentangan
dengan prinsip syari’ah, maka hal itu dibolehkan sesuai dengan kaedah; “Al-Ma’ruf
Bainat Tujjar kal Masyruthi bainahum”; sesuatu yang lazim dikalangan bisnis
merupakan suatu persyaratan yang harus ditepati. (al-Burnu, al-Wajiz, hlm. 306,242)
Tetapi bisnis jasa kartu kredit tersebut boleh selama dalam prakteknya tidak
bertransaksi dengan sistem riba yaitu memberlakukan ketentuan bunga bila
pelunasan hutang kepada penjamin lewat jatuh tempo pembayaran atau
menunggak. Disamping itu ketentuan uang jasa kafalah tadi tidak boleh terlalu
mahal sehingga memberatkan pihak terutang atau terlalu besar melebihi batas
rasional, agar terjaga tujuan asal dari kafalah, yaitu jasa pertolongan berupa jaminan
utang kepada merchant, penjual barang atau jasa yang menerima pembayaran

7
dengan kartu kerdit tertentu. (Lihat, DR. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu, vol. V/130-161)
Dengan demikian dibolehkan bagi umat Islam untuk menggunakan jasa kartu
kredit (credit card) yang tidak memakai sistem bunga. Namun bila terpaksa atau
tuntutan kebutuhan mengharuskannya menggunakan kartu kredit biasa yang
memakai ketentuan bunga, maka demi kemudahan transaksi dibolehkan memakai
semua kartu kredit dengan keyakinan penuh menurut kondisi finansial dan
ekonominya mampu membayar utang dan komitmen untuk melunasinya tepat waktu
sebelum jatuh tempo agar tidak membayar hutang.
Hal itu berdasarkan prinsip fiqih ‘Saddudz Dzari’ah’, artinya sikap dan
tindakan prefentif untuk mencegah dari perbuatan dosa. Sebab, hukum pemakan
dan pemberi uang riba adalah sama-sama haram berdasarkan riwayat Ibnu Mas’ud
bahwa: “Rasulullah saw melaknat pemakan harta riba, pembayar riba, saksi
transaksi ribawi dan penulisnya.” (HR.Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu
Majah).

C. Jual beli Terpaksa


Secara bahasa istilah Jual beli dapat diartikan secara sederhana, jual beli
adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara yang tertentu
(akad ). Sedangakan jual beli terpaksa merupakan suatu perbuatan yang dilarang
dalam jual beli, sebab jika jual beli dilakukan secara paksa maka jual beli itu tidak
sah karena salah satu dari kedua belah pihak ada yang disakiti.
29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh
dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
[287] larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang
lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, Karena umat
merupakan suatu kesatuan.
Dengan demikian ual beli yang dilakukan dengan cara paksa secara tidak langsung
telah memakan harta saudaranya dengan cara yang bathil atau cara yang salah.
Tentu jka dilakukan dengan cara paksaan maka dari hasil jual belinya itu juga haram
untuk dimakannya, karerna dilakukan tidak secara ridhlo atau suka sama suka.
Sedang dalam jual beli itu dilakukan oleh kedua bleah pihak dengan cara suka sama

8
suka kemudian dilanjutka dengan adanya ijab qobul antara penjual dan pembeli
maka jika jual beli dilakukan dengan terpaksa tentu ijab dan qobulnya juga tidak ada
atau ada tapi terpaksa.
. Firman allah swt Q.S Al-Baqoroh ayat 185 :
š275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila[175]. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata
(berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka
baginya apa yang Telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
[174] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. riba nasiah ialah pembayaran lebih
yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. riba fadhl ialah penukaran suatu
barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya Karena orang
yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas,
padi dengan padi, dan sebagainya. riba yang dimaksud dalam ayat Ini riba nasiah
yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyah.
[175] Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang
kemasukan syaitan.
[176] riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak
dikembalikan.
Mengenai jua beli yang tidak diizinkan oleh agama, disini akan diuraikan beberapa
cara saja sebagai contoh sebab timbulnya larangan ialah sebagai berikut :
1. Menyakiti sipenjual dan sipembeli atau orang lain
2. Menyempitkan gerakan pasaran
3. Merusak ketentraman umum

D. Ji’alah
Ji’alah ialah meminta agar mengebalikan barang yang hilang dengan barang
yang ditentukan. Misalnya seseorang kehilangan barang dia berkata, “ barang siapa
yang mendapatkan kudaku dan dia kembalikan kepadaku , aku bayar sekian.”

9
Rukun jialah
1. Lapadz
2. Orang yang menjanjikan upahnya
3. Pekerjaan ( mencari barang yang hilang )
4. Upah ( disayaratkan member upah dengan barang-barang yang tetentu )

Kalau orang yang kehilangan itu berseru kepada masyarakat umum, “ siapa
yang mendapatkan barangku akan aku beri uang sekian.” Kemudian dua orang
bekerja mencari barang itu , sampai keduanya menapatkan barang itu bersama-
sama, maka upah yang djanjikan tadi berserikat antara keduanya

Yang membatalkan jialah


Masing-masing pihak boleh menghentikan perjanjian ( membaalkannya )
sebelum bekerja. Kalau yang membatalkannya orang yang bekerja, dia tidak
mendapat upah, sekalipun dia sudah bekerja. Tetapi kalau yang membatalkannya
adalah pihak yang menjanjikan upah, maka yang bekerja berhak menuntut upah
sebanyak pekerjaan yang sudah dia kerjakan

10
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Hablum minalloh, hablum minannas, pekerjaan yang berhubungan langsung
dengan allah dan pekerjaan yang berhubungan dengan mansia satu sama lainnya,
perlu ada aturan yang menjelaskan dan mengaturnya. Islam telah memberikan
auturan yang sudah mutlak yaitu al-qur’an dan al hadits. Muamalah yaitu suatu
urusan yang mengatur kehiduan dunia agar manusia berhubungan satu sama
lainnya dengan jalan yang halal serta diridoi oleh allah swt.

1. Makelar dalam kitab-kitab fiqh terdahulu disebut dengan istilah “samsarah”


atau simsarah.Makelar berasal dari bahasa arab, yaitu samsarah yang berarti
perantara perdagangan atau perantara antarapenjual dan pembeli untuk
memudahkan jual beli. Makelar adalah pedagang perantara yang berfungsi
menjualkan barang orang lain dengan mengambil upah tanpa menanggung
resiko, dengan kata lain makelar ialah penengah antara penjual dan pembeli
untuk memudahkan jual beli. Makelar yang terpercaya tidak dituntut risiko
sehubungan dengan rusaknya atau hilangnya baarang dengan tidak sengaja.
Makelar ialah seorang perantara antara si pembeli dan si penjual barang.
Pekerjaan makelar, ialah mengadakan perjanjian-perjanjian atas nama, atas
perintah dan biaya orang lain.

2. Kewajiban seorang Makelar


a. Mencatat semua persetujuan yang dibuat dengan perantaranya, dalam
suatu buku harian.
b. Memberi salinan catatan-catatan itu kepada pihak-pihak yang
bersangkutan, apabila dimintanya.
c. Menyimpan contoh(monster), sampai barang itu diserahkan dan
diterima.
d. Dalam hal jual beli wesel, menanggung bahwa tanda tangan penjual
adalah tanda tangan yang benar(sah).
e. Membuka buku-bukunya dalam perkara dan memberi segala
keterangan atas buku-buku itu.

11
3. Sejalan dengan pandangan para fuqaha tersebut apabila kita kembali kepada
aturan pokok, maka pekerjaan makelar itu tidak terlarang(mubah) karena
tidak ada nash yang melarang.

Adapun sebab-sebab pemakelaran yang tidak diperbolehkan oleh islam yaitu:


a. Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung
kezhaliman terhadap pembeli.
b. Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung
kezhaliman terhadap penjual.

4. Islam membolehkan dan membenarkan bentuk kerja makelar ini, karena


memang bermanfaat bagi semua pihak, yaitu pembeli dan penjual dan
makelar itu sendiri. Usaha ini dibutuhkan sebagaimana halnya pekerjaan lain
yang dapat memberi manfaat, karena itu tidak ada alasan untuk
mengharamkannya.

5. Makelar harus memenuhi beberapa syarat, antara lain sebagai berikut:


1) Persetujuan kedua belah pihak(perhatikan al-quran surat an-nisa :29)
2) Obyek akad bisa diketahui manfaatnya secara nyata dan dapat
diserahkan.
3) Obyek akad bukan hal-hal yang maksiat atau haram misalnya
mencarikan untuk kasino/tempat perjudian dan sebagainya.

B. Saran
Meskipun perkembangan perekonomian yang terus maju seiring dengan
perkembangan jaman yang semakin modern, tetapi muamaah yang didasarakan
pada ajaran islam harus tetap dipertahankan dan diamalakan

12
DAFTAR PUSTAKA

- H. Sulaiman Rasjid. 1996. Fiqih Islam. Sinar Baru Algesindo


- Ad-duwaisyi, Ahmad bin Abdurrazaq. 2004. Kumpulan Fatwa-fatwa Jual Beli.
Pustaka Imam Asy-syafi’i: Bogor
- Mujtaba, Saifuddin. 2007. Masailul Fiqhiyah. Rousyan Fiqr: Jombang
- Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masailul Fiqhiyah. CV. Haji Masagung: Jakarta
- Marsam, Leonardo, Dkk. 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Karya
Utama: Surabaya
- Tjiptoherijanto, Prijono. 1997. Prospek Perekonomian Indonesia dalam
Rangka Globalisasi. Rineka Cipta: Jakarta

13

Anda mungkin juga menyukai