Anda di halaman 1dari 3

HAK ASASI MANUSIA DI LINGKUNGAN SEKOLAH

Penegakan HAM tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah, Pejabat atau orang penting lainnya.
Akan tetapi, kita sebagai Pelajar juga mampu menegakkan HAM mampu untuk belajar dan
berbuat untuk menegakkan HAM.

Tidak hanya di lingkungan keluarga alias di rumah saja, kalian juga bisa melakukannya di
lingkungan sekolah. Banyak hal penting yang bisa kalian lakukan di sini yang justru bisa
membuat kalian lebih paham dengan Upaya Penegakan HAM di Lingkungan Sekolah.

Banyak hal yang bisa dilakukan oleh kalian untuk menegakkan HAM di lingkungan sekolah.
Ada banyak contoh di sini yang bisa kalian ambil dan kalian lakukan :

1. Tidak untuk memaksa kehendak kepada sesama teman atau guru.


2. Selalu menaati tata tertib yang ada di lingkungan sekolah dengan baik.
3. Saling bersikap menghormati antar murid, dengan guru dan warga sekolah yang lain.
4. Tidak bersikap membedakan teman yang satu dengan teman yang lain, hanya karena
golongan dan sebagainya.
5. Bersikap adil kepada teman.
6. Menghormati pendapat yang diajukan oleh teman dalam berkelompok, atau rapat kelas
maupun organisasi di sekolah.
7. Tidak menghina teman yang memiliki kekurangan.
8. Tidak untuk mengganggu hak milik teman.
9. Tidak untuk berkelahi atau menganiaya.
10. Tidak mencampuri urusan pribadi teman.
11. Berusaha untuk mencegah segala bentuk tindakan anarkis di sekolah.
12. Selalu melaksanakan ketertiban dan kedisiplinan.
13. Menciptakan situasi kelas yang aman, nyaman dan tertib.
14. Melaksanakan tugas yang diberikan dengan penuh tanggung jawab.
15. Menghindari atau menjauhi segala macam bentuk perbuatan yang tidak baik/perbuatan
yang jahat.
16. Tidak melakukan pengrusakan terhadap fasilitas yang telah disediakan oleh sekolah.
17. Saling membantu teman yang sedang dalam kesusahan. Dalam hal ini membantu
kebaikan bukan keburukan.

Upaya penegakan HAM di Lingkungan Sekolah ini memiliki peran serta yang sangat penting,
karena selain kita mendapatkan pelajaran PPKn, kita juga bisa langsung mempraktikannya di
lingkungan sekolah.

Penerapan ini tentu bisa mengundang siswa yang lain untuk ikut mencoba menerapkan
penegakan HAM di Lingkungan Sekolah. Jika hal demikian benar-benar terjadi, maka suasana
belajar yang tertib akan tercipta dan berjalan dengan baik, tidak ada kerusuhan entah itu kecil
maupun besar.

Serta menghargai pendapat siswa yang lain juga sangat berharga bagi diri kita, selain kita ikut
menegakkan HAM, kita juga bisa menampung pendapat teman dan menjadikan fikiran kita
untuk selalu sigap dalam berfikir mana yang baik/benar untuk dilakukan dengan menyaring dari
beberapa pendapat teman.
Membantu teman yang tengah kesusahan juga sangat bermanfaat contohnya membantu teman
merapikan meja yang tidak rapi walau bukan jadwal piketnya, mempersilakan untuk
meminjamkan buku kepadanya, dan lain-lain. Jika hal ini benar-benar tercipta, maka
kebersamaan akan semakin terjalin dengan erat.

SEKOLAH adalah pusat produksi dan reproduksi pengetahuan terpenting dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Sekolah menjadi tumpuan utama bagi pemerintah dalam
menjalankan kewajiban melaksanakan terpenuhinya hak atas pendidikan warga.
Selain hak atas pendidikan merupakan amanah konstitusi, sekolah juga bagian dari pemenuhan
HAM. Di dalam UU Pendidikan Nasional, istilah HAM sudah dikenal. Pasal 4 ayat 1 UU No
20/2003 mengatakan, pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan
bangsa.
Ayat ini menandaskan pentingnya prinsip dan norma HAM (selain agama dan nilai budaya)
sebagai cara/metode untuk mencapai tujuan pendidikan nasional sebagaimana diamanatkan UU
itu.
Sayangnya, prinsip-prinsip HAM belum sepenuhnya diimplementasikan dalam sistem belajar di
sekolah dan menjadi paradigma baru di lembaga pendidikan sekolah. Sekolah justru menjadi
lembaga yang melanggengkan kekerasan dan indoktrinasi.
Berdasarkan data survei yang dirilis Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak (2015) terungkap, 84% siswa-siswi sekolah pernah mengalami tindakan kekerasan, 46%
dari siswa laki-laki menyatakan guru dan petugas sekolah sebagai pelaku. Namun juga
sebaliknya, 75% siswa-siswa mengaku pernah melakukan kekerasan.
Data ini diperkuat sinyalemen Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, bahwa salah
satu krisis dalam dunia pendidikan saat ini ialah masih dilanggengkannya tindakan-tindakan
yang melanggar HAM (Media Indonesia, selasa (1/5))
Data ini menggambarkan masih digunakannya cara-cara kekerasan dalam proses pembelajaran di
sekolah. Baik guru, petugas sekolah, maupun siswa-siswi berandil dalam pelanggengan budaya
kekerasan ini. Padahal, sejak 1999, negara Indonesia mensahkan UU tentang HAM, UU No
39/1999. UU ini menegaskan komitmen negara yang sebelumnya dituangkan ke dalam peraturan
presiden No 35/1993.
Dapat dikatakan bahwa sejak 1993 bangsa Indonesia telah mengenal prinsip-prinsip HAM
universal dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Prinsip-prinsip ini terbukti telah
berkontribusi sebagai sumber kekuatan politik dan moral untuk mengakhiri rezim otoritarianisme
Orde Baru.
Terbentuknya Komnas HAM misalnya di dorong dalam rangka mengikuti Paris Principle yang
menegaskan pentingnya komitmen negara membentuk lembaga HAM yang mandiri dan otonom.
Dalam rangka mengakomodasi prinsip-prinsip HAM universal ini pula pemerintah Indonesia
cukup aktif melakukan langkah-langkah penting meratifikasi kovenan dan konvensi-konvensi
internasional tentang HAM untuk dimasukkan ke dalam kebijakan nasional.
Namun, upaya membentuk kesadaran kolektif agar HAM menjadi praktik sehari-hari bukanlah
upaya yang bersifat instan. Ratifikasi saja tidak cukup perlu ada upaya-upaya lain dalam rangka
mempribumisasikan nilai-nilai HAM universal.
Sekolah tentu menjadi lembaga paling strategis bagi upaya mengaktualisasikan prinsip dan
norma HAM. Menurut deklarasi PBB tentang pendidikan dan pelatihan HAM (UN Declaration
on Education and Training) yang diadopsi majelis umum PBB Tahun 2012 menyatakan bahwa
yang dimaksud pendidikan HAM bukan saja menyangkut pendidikan tentang HAM, melainkan
juga pendidikan melalui HAM dan pendidikan untuk HAM.
Pendidikan melalui HAM maksudnya ialah suatu proses belajar yang dilakukan melalui cara di
mana relasi guru dan murid harus dipayungi sikap saling menghormati HAM tiap-tiap pihak.
Sementara itu, pendidikan untuk HAM adalah upaya pemberdayaan setiap orang agar ia dapat
menikmati dan menjalankan haknya serta menghormati dan menjunjung tinggi HAM orang lain.
Negara-negara yang memiliki rangking dunia di sektor pendidikan adalah negara-negara yang
sudah menjadikan HAM sebagai paradigma utama dalam lingkungan pendidikan mereka.
Sayang, di Indonesia masih banyak guru sekolah yang menyangsikan efektivitas prinsip dan
norma HAM sebagai paradigm baru di sekolah. 'Sekarang mendidik anak-anak susah, dikerasin
sedikit guru sudah dianggap melanggar HAM'. Pengakuan seperti ini sering dijumpai penulis
dalam pelatihan pelatihan HAM di sekolah untuk para guru yang diadakan Komnas HAM.
Mereka kerap membedakan masa lalu saat masih menjadi murid yang hukuman untuk
pendisiplinan dianggap sebagai hal yang wajar. Sebagian besar guru-guru senior saat ini pernah
mengenyam sistem pendidikan di masa Orba. Pada masa itu memang hukuman keras dalam
upaya mendisiplinkan anak didik dianggap sebagai kebiasaan yang wajar. Budaya kekerasan
seperti ini tidak saja terjadi di sekolah, tetapi menjadi pemandangan umum di keluarga.
Runtuhnya rezim Orba mesti dimaknai sebagai upaya bersama meretas budaya kekerasan.
Sekolah harus menjadi pilar utama bagi proses ini.
Di dalam kovenan internasional hak ekonomi sosial budaya (ekosob) yang sudah diratifikasi ke
dalam UU No 11/ 2005 pasal 13 menjelaskan pendidikan sebaiknya diarahkan pada 'martabat'
kepribadian manusia. Memampukan setiap orang untuk turut terlibat secara efektif dalam suatu
masyarakat yang merdeka, dan harus mempromosikan pemahaman antarkelompok etnik juga
antarnegara, kelompok religius, dan ras.
Istilah martabat (dignity) disebut beberapa kali dalam Deklarasi Universal HAM PBB. Dalam
kaitannya dengan pasal 3 kovenan hak ekosob di atas, martabat berkait kelindan dengan
kemerdekaan dan penghormatan atas nilai-nilai yang beragam di masyarakat. Semangat ini
selaras dengan gagasan revolusi mental yang digaungkan pemerintah Jokowi.
Tujuan sekolah bukan mendidik anak berkompetisi mendapatkan rapor bagus akan, melainkan
membentuk kepribadian anak didik agar mereka dapat berkiprah dalam kehidupan yang
demokratis (merdeka). Oleh karena itu, anak-anak harus dibekali wawasan toleransi yang
membuat mereka menghormati nilai-nilai yang beragam di masyarakat.
Ki Hadjar Dewantara sesungguhnya sudah memikirkan tempat belajar seperti ini yang ia
bayangkan sebagai Taman Siswa. Menurut Ki Hadjar Dewantara, Taman Siswa dibekali dengan
empat prinsip utama, yakni kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, dan
kemanusiaan. Jadi, mengusung paradigma HAM dalam proses belajar mengajar di sekolah
sesungguhnya bukan sesuatu yang asing karena dasar-dasarnya sudah diletakkan dengan kokoh
oleh Ki Hadjar Dewantara. Guru-guru tak perlu ragu untuk berinovasi mengembangkan nilai-
nilai HAM di sekolahnya.

Anda mungkin juga menyukai