Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

FIQH MUAMALAH KONTENPORER


Leasing dan ijarah muntahiyah bit tamlik

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK IX
1. GERY LAVENDA
NIM: 2110102004
2. MUHAMMAD IRWANDI
NIM: 2110102046

DOSEN PEMBIMBING:
M. Ibrahim Aziz, S.EI, MH

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KERINCI
TAHUN. 2022
KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji milik Allah Swt, sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada
Rasulullah, keluarga, dan sahabatnya. amin.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas pada mata kuliah FIQH MUAMALAH
KONTENPORER, adapun pembahasan makalah ini tentang (leasing dan ijarah muntahiyah bit
tamlik) mudah-mudahan dapat memberikan informasi atau pengetahuan bagi pembaca.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung mulai dari
pihak keluarga, dosen, dan teman-teman. Semoga tuhan membalas segala amal perbuatan baik.

Penulis menyadarai bahwa makalah ini masih terdapat kesalahan, baik dari segi isi maupun
tulisan. untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan
makalah ini. dan dimasa mendatang.

Sungai Penuh, 2022

penulis

ii
DAFRAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................................................... ii


DAFRAR ISI....................................................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................................................... 1
A. Latar belakang .......................................................................................................................................... 1
B. Rumusan masalah..................................................................................................................................... 1
C. tujuan masalah.......................................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 2
A. Sewa guna usaha (leasing) ....................................................................................................................... 2
1. Pengertian guna usaha (leasing) ........................................................................................................... 2
2. Dasar Hukum Leasing Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam ..................................................... 3
3. Mekanisme Transaksi Leasing ............................................................................................................. 6
4. Jenis-Jenis Pembiayaan Leasing .......................................................................................................... 7
5. Pihak-Pihak yang Terlibat .................................................................................................................... 9
6. Sangsi-Sangsi ....................................................................................................................................... 9
B. Definisi Pembiayaan ................................................................................................................................ 9
C. Tujuan dan Fungsi Pembiayaan ............................................................................................................. 10
D. Jenis Pembiayaan ................................................................................................................................... 11
E. Definisi Ijarah......................................................................................................................................... 11
F. Landasan Syariah ................................................................................................................................... 12
G. Rukun dan Syarat Ijarah ..................................................................................................................... 13
H. Berakhirnya Ijarah.............................................................................................................................. 14
I. Ijarah Muntahiyah bit Tamlik ................................................................................................................ 14
J. Aplikasi di Lembaga Keuangan Syariah ................................................................................................ 16
K. Analisis Aspek Prosedural: Sistem Operasional Pembiayaan Ijarah Muntahiyah bit Tamlik di
Lembaga Keuangan Syariah .......................................................................................................................... 16
L. Analisis Aspek Substansial: Legalitas Akad Syariah dalam Pembiayaan al-Ijarah al-Muntahiyah bil al-
Tamlik di Lembaga Keuangan Syariah .......................................................................................................... 18
BAB III PENNUTUP ......................................................................................................................................... 23
A. KESIMPULAN ...................................................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................................ 24

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pada dasarnya leasing dan ijarah merupakan transaksi yang bertujuan untuk mencari
keuntungan atau manfaat, yang membedakan leasing dan ijarah adalah leasing sewa guna usaha
yang meyediakan barang untuk disewa sampai tanggal yang sudah ditentukan sedangkan ijarah
memperjual belikan manfaat. Manfaat yang dimaksud dapat berasal dari barang yang bisa disebut
transaksi sewa-menyewa dan bisa pula berasal dari orang/tenaga kerja yang bisa disebut upah-
mengupah dalam bahasa Indonesia. Ijarah begitu populer dalam perekonomian masyarakat
sebagai kegiatan kegiatan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya baik dengan interaksi satu sama
lain baik antara penyewa dan yang menyewakan maupun antara pengupah dan yang menerima
upah.
B. Rumusan masalah

1. Apa pengertian sewa guna usaha (leasing)?


2. Apa dasar hukum leasing menurut hukum positif dan hukum islam?
3. Bagaimana mekanisme transaksi leasing?
4. Apa saja jenis-jenis pembiayaan leasing?
5. Apa pengertian definisi pembiaayaan?
6. Apa pengertian definisi ijarah?
7. Apa saja rukun dan syarat ijarah?
8. Kapan berakhirnya ijarah?
C. tujuan masalah

1. Untuk mengetahui apa pengertian sewa guna usaha (leasing)?


2. Untuk mengetahui apa dasar hukum leasing menurut hukum positif dan hukum islam?
3. Untuk mengetahui Bagaimana mekanisme transaksi leasing?
4. Untuk mengetahui Apa saja jenis-jenis pembiayaan leasing?
5. Untuk mengetahui Apa pengertian definisi pembiaayaan?
6. Utuk mengetahui Apa pengertian definisi ijarah?
7. Untuk mengetahui Apa saja rukun dan syarat ijarah?
8. Untuk mengetahui Kapan berakhirnya ijarah?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sewa guna usaha (leasing)


1. Pengertian guna usaha (leasing)
Dalam kitab-kitab fiqh istilah leasing belum ada padangan kata yang tepat. Di dalam Al-quran
tidak ditemukan secara tersurat (eksplisit) mengenai bentuk usaha leasing, begitu pula di dalam
Hadis Nabi Muhammad Saw maupun didalam ijma‟. Sistem yang tepat untuk mengqiyaskan bentuk
usaha leasing ialah sistem ijarah. Sistem ijarah dimaksud adalah ijarah (finance lease) dan ijarah
muntahiya bit tamlik (operating lease).
Sewa guna usaha (leasing) pada awalnya di kenal di Amerika Serikat pada tahun 1877. Kegiatan
leasing dikenalkan pertama kali di Indonesia tahun 1974 berasal dari kata lease yang berarti
menyewa. Sedangkan dalam ekonomi Islam istilah yang berkaitan dengan leasing adalah Ijarah (al
ijarah) yang berasal dari kata al ajru yang berarti al „iwadhu (ganti).1
Komar Andasasmita mendefinisikan bahwa leasing adalah menyangkut perjanjian-perjanjian
yang dalam mengadakan kontrak bertitik pangkal dari hubungan tertentu diantara lamanya suatu
kontrak dengan lamanya pemakaian (ekonomis) dari barang yang merupakan objek kontrak dan
disepakati bahwa pihak yang satu (lessor) tanpa melepaskan hak miliknya menurut hukum
berkewajiban menyerahkan hak nikmat dari barang itu kepada pihak lainnya (lessee) sedangkan
lessee berkewajiban membayar ganti rugi yang memadai untuk menikmati barang tersebut tanpa
bertujuan untuk memilikinya (juridichie eigendom).2
Leasing adalah suatu perjanjian dimana Lessor menyediakan barang (aset) dengan hak
penggunaan alih Lesse dengan imbalan pembayaran sewa untuk jangka waktu tertentu. Berdasar SK
Menteri Keuangan No.1169/KMK.01/1991 tanggal 21 November 1991, sewa guna usaha adalah
kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan
menggunakan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease)
untuk digunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.3
The Euqifment Leasing Association di Inggris mendefinisikan tentang : leasing adalah kontrak
antara lessor degan lessee penyediaan suatu jenis barang (aset) tertentu langsung dari pabrik atau
agen terjual oleh lessee. Hak kepemilikan atas barang tetap pada lessor, hak pakai atas barang ada
pada lessee dengan membayar sewa guna yang jumlah dan jangka waktunya telah ditetapkan.
Menyangkut pengertian leasing dapat dikemukakan definisi yang dapat dijadikan sebagai
landasan dalam membicarakan leasing dan jenis usaha yang berkaitan dengannya. Leasing adalah

1
Martono, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Ekonosia, Yogyakarta, 2002), hlm 113
2 2
Sri Susilo, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Salemba, Jakarta, 2001, hlm 221
3
Frianto Pandia, Lembaga Keuangan, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hlm 110-111
perusahaan yang memberikan jasa dalam bentuk penyewaan. Penyewaan barang-barang modal atau
alat-alat produksi dalam jangka waktu menengah atau jangka panjang dimana pihak penyewa
(lessee) harus membayar uang secara berkala terdiri dari nilai penyusutan suatu objek leasing
ditambah bunga, biaya-biaya lain serta profit yang diharapkan lessor.
2. Dasar Hukum Leasing Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam
Perundang-undangan tentang leasing di Indonesia belumlah tertera dalam undang-undang.
Sedangkan perjanjian-perjanjian yang dibuat antara mereka yang berkepentingan masih
menggunkan pedoman perjanjian dan sewa-menyewa yang tertera pada KUHPerdata dan diatur
oleh:
a. Pasal 1313 KUHperdata, mengatur tentang perjanjian. Bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.4
Berdasarkan pasal diatas, tersimpullah unsur-unsur didalam suatu perjanjian, yaitu :
1) Ada pihak-pihak sedikitnya dua orang
2) Ada persetujuan antara pihak-pihak tersebut
3) Ada tujuan yang akan dicapai
4) Ada prestasi yang akan dilaksanakan
5) Ada bentuk tertentu lisan atau tulisan
6) Ada syarta-syarat tertentu sebagai isi perjanjian.5
b. Pasal 1548 KUHPerdata mengenai sewa menyewa ialah suatu perjanjian, dengan mana pihak
yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak lainnya kenikmatan dari sesuatu
barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak
tersebut belakanagan itu disanggupi pembayarannya itu.6
Sewa guna usaha (leasing) merupakan bentuk khusus dari sewa menyewa yang diatur dalam
KUHPerdata. Kekhususan tersebut menunjukan perbedaan esensial antara sewa guna usaha
dengan sewa-menyewa. Perbedaan itu dapat dilihat dari aspek-aspek berikut ini :
1) Subjek perjanjian Pada sewa menyewa, baik lessor maupun lessee tidak ada pembatasan status.
Sedangkan pada sewa guna usaha, lessor dan lessee harus berstatus perusahaan. Lessor adalah
perusahaan pembiayaan (finance company) dan lessee adalah perusahaan yang membutuhkan
barang modal.
2) Objek perjanjian Pada sewa menyewa, objek perjanjian adalah segala jenis benda bergerak dan
tidak bergerak, berbentuk apa saja dan digunakan untuk keperluan apa saja. Sedangkan pada
sewa guna, objek perjanjian adalah barang modal yang digunakan untuk menjalankan
perusahaan.

4
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, KUHPerdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, hlm 338
5
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni,Bandung, 3 1982, hlm 77
6
Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Malta Printindo, Jakarta, 2008, hlm 381
3) Perbuatan perjanjian Pada sewa menyewa, perbuatan sewa menyewa dapat saja tidak ada
kaitannya dengan kegiatan bisnis. Sedangkan pada sewa guna usaha, perbuatan sewa guna usaha
adalah kegiatan bisnis sebagai pembiayaan perusahaan dengan menyediakan barang modal.
4) Jangka waktu perjanjian Pada sewa menyewa, jangka waktu sewa (umur pemakaian barang)
tidak dipersoalkan (dapat terbatas dapat juga tidak terbatas). Sedangkan pada sewa guna usaha,
jangka waku sewa (umur pemakaian barang modal) justru lebih diutamakan (terbatas).
5) Kedudukan pihak-pihak Pada sewa menyewa lessor berkedudukan sebagai pemilik barang yang
menyediakan barang objek sewa. Sedangkan pada sewa guna usaha lessor berkedudukan sebagai
penyandang dana, barang modal disediakan oleh pihak ketiga atau (supplier) lessee itu sendiri.
6) Dokumen pendukung Pada sewa menyewa dokumen pendukung lebih sederhana. Sedangkan
pada sewa menyewa sewa guna usaha, dokumen pendukung lebih rumit (complicated).7
c. Surat keputusan bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, dan Perdagangan Republik
Indonesia No. Kep/122/MK/IV/2/1974, No.32/M/SK/2/74 dan No.30/Kpb/1/71 Tanggal 7
Februari 1974 tentang perizinan usaha leasing di Indonesia.8 Bahwa leasing merupakan setiap
kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh
suatu perusahaan tertentu, berdasarkan pembayaranpembayaran secara berkala disertai dengan
hak pilih (optie) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barangbarang modal yang
bersangkutan atau memperpanjang waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati
bersama. Didalam surat keputusan bersama ketiga menteri tersebut yang dapat melakukan usaha
leasing yaitu :
1) Lembaga keuangan yang dimaksud dalam SK Menteri Keuangan No. Kep.38/MK/IV/I/1972.
2) Badan usaha lain non lembaga keuangan yang bergerak dalam bidang leasing, subsidaiary dari
suatu lembaga keuangan. Perwakilan tunggal (pasal 1). Syarat-syarat yang harus dipenuhi antara
lain :
a) Bagi lembaga perbankan akan diatur berdasarkan undang-undang pokok perbankan (UU No.14
Tahun 1967).
b) Bagi lembaga keuangan, selain memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam SK Menteri
Keuangan No. Kep.38/MK/IV/I/1972, harus mempunyai tata usaha dan pembukuan khusus.
c) Bagi lembaga uasaha non keuangan:
➢ Mendaftarkan perusahaan seperti yang telah ditetapkan dalam pasal 5 SK Menteri Keuangan
No. Kep./649/MK/IV/5/1974.
➢ Bagi perusahaan swasta nasioanal harus berbentuk perseroan terbatas (PT) menurut hukum
Indonesia dan semua sahamnya dimiliki oleh warga Negara Indonesia dengan modal disetor

7
Abdul Kadir Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, Citra Aditiya,
Bandung, 2004, hlm 209-210 4
8
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm 274-275
pada tahap pertama Rp.50.000.000.
➢ Bagi perusahaan join venture (campuran) harus berbentuk Perseroan Terbatas (PT) menurut
hukum Indonesia dengan modal pertama disetor Rp.50.000.000,- dengan ketentuan
mayoritas modal dimiliki oleh warga Negara Indonesia.
➢ Bagi agen tunggal, selain harus memenuhi persyartaan SK Menteri Keuangan harus
merupakan keagenan tunggalnya telah memperoleh ijin dari departemen perdaganagn atau
perindustrian.9
d. Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.Kep.649/MK/IV/5/1974 Tanggal 6
Mei 1974, yang mengatur mengenai ketentuan tata cara perizinan dan kegiatan usaha leasing di
Indonesia. Dalam keputusan ini selain mengulangi dan menegaskan SKB tersebut diatas juga
menetapkan:
Pertama, perusahaan leasing harus memenuhi ketentuan-ketentuan:
1) Telah mempunyai rekomendasi atau pertimbangan dari bank indonesia bagi kalangan perbankan
dan rekomendasi dari department perdagangan atau perindustrian bagi usaha non bank.
2) Menyampaikan feasibility study dan rencana pembiayaan usaha paling sedikit 3 tahun yang akan
datang.
3) Tidak akan menggunkan tenaga warga asing, kecuali tas persetujuan menteri keuangan.
4) Dipekerjakan paling sedikit seorang ahli hukum, akuntan, dan seorang ahli dimana leasing dititik
beratkan.
5) Penutupan asuransi dilakukan perusaaan asuransi di Indonesia.
6) Barang-barang yang di leasing harus diambil dari produksi dalm negeri, kecuali dalam negeri
belum memproduksi barang tersebut. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Menteri
Keuangan.
7) Mempunyai ruang kantor yang tetap dan beralamat jelas, setiap pembukuan kantor-kantor
cabang harus dengan persetujuan menteri keuangan.
Kedua, perusahaan industri leasing dilarang mengambil dana dari masyarakat berbentuk
simpanan, giro, deposito, maupun tabungan dana atau memberikan kredit jaminan pada pihak ketiga
atau usaha perbankan lainnya.
Ketiga, boleh melakukan kegiatan leasing di Indonesia adalah perusahaan leasing yang
berkedudukan di Indonesia dan untuk perusahaan leasing yang berkedudukan diluar (negara lain)
Indonesia tidak diperkenankan.
Keempat, pengawasan, pelaksanaan, wewenang di dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan
ini adalah direktorat Jendral Monoter dan akan memperhatikan pertimbangan dari Bank Indonesia
serta departemen yang membawahi bidang kegiatan leasing.

5
9
Thomas Suyatno, Lembagaan Perbankan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hlm 85
Kelima, SK Menteri Keuangan No.Kep650/MK/5/1974, tertanggal 6 Mei 1974 tentang
penegasan ketentuan pajak penjualan dan besarnya bea materai terhadap usaha leasing. 10 Perpajakan
atau yang berkaitan dengan perpajakan yang antara lain isinya : pengerahan yang atas jasa yang
dilakukan oleh perusahaan leasing tidak termasuk utang pajak penjualan, semua perjanjian leasing
dikenakan biaya matrai sesuai peraturan yang berlaku.
Keenam, Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.1251/MKM.013/1988
Tanggal 20 Desember 1988 tentang ketentuan tata cara pelaksanaan lembaga pembiayaan.11
Ketujuh, Keputusan Menteri Keuangan No. 961/KMK.04/1983 tentang tarif penyusutan
digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain :
a) golongan barang bangunan harus disusutkan 5% dari cos.
b) golongan bukan barang bangunan.
Kedelapan, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 tentang sewa guna usaha.
Didalam hukum Islam leasing didekatkan dengan istilah sewa menyewa (ijarah). Landasan ijarah
disebut secara terang dalam Al-quran dan Hadis. Dalam Al-quran Surat Al Baqarah Ayat 233 Allah
menjelaskan bahwa:
ْ‫للا َوا ٌ ْعلَ ُموا‬
َ ْ‫وف َواٌتقُوا‬
ِ ‫سل ْمتُم ما َءا تَ ْيتُم ِباٌاْ َم ْع ُر‬ َ ‫ضعُواْ أ َ ْولَدَ ُكم فَالَ ُجنَا َح‬
َ ‫علَ ْي ُك ْم ِإذَا‬ ِ ‫َو ِإ ْن أ َ َردت ْم أ َن تَ ْست َْر‬
‫۝‬٢٣٣ ‫ير‬ ٌ ‫ص‬ َ ‫أَن‬
ِ ‫للا ِب َما تَ ْع َملُونَ َب‬
Artinya: “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada
Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”
Penggalan ayat diatas “apabila kamu memberikan pemberian yang patut‟‟. ungkapan
tersebut menunjukkan adanya jasa yang diberikan berkat kewajiban membayar upah (fee) secara
patut. Bahwa tidak berdosa jika ingin mengupahkan sesuatu kepada orang lain dengan syarat harus
membayar upah terhadap pekerjaan tersebut, dalam ayat ini dijelaskan bahwa jika ingin anak-anak
disusui oleh orang lain, maka pekerjaan seperti ini tidak berdosa asalkan kita membayar upah. Jika
dipahami lebih dalam ayat ini mengisyaratkan kebolehan untuk menyewa jasa orang lain dalam
melakukan sesuatu pekerjaan yang kita butuhkan.
3. Mekanisme Transaksi Leasing
Untuk mengetahui bagaimana mekanisme penggunaan leasing, secara garis besar dapat
diuraikan sebagai berikut:
a. Lesee bebas memilih dan menentukan peralatan yang dibutuhkan, mengadakan penawaran harga
dan menunjuk supplier peralatan yang dimaksud.

10 6 Non Bank, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000, hlm 162


O.P Simorangkir, Pengantar Lembaga Keuangan Bank dan
11
Ibid.
b. Setelah lesse mengisi formulir permohonan lesse, mengirimkan kepada lessor disertai dokumen
pelengkap.
c. Lessor mengevaluasi kelayakan kredit dan memutuskan untuk memberikan fasilitas lease dengan
syarat dan kondisi yang di setujui lesse (lama kontrak pembayaran sewa lease), maka kontrak
lease dapat ditandatangani.
d. Pada saat yang sama, lesse dapat menandatangani kontrak asuransi yang disetujui lessor, seperti
yang tercantum pada kontrak lease. Antara lessor dan perusahaan asuransi terjalin perjanjian
kontrak utama.
e. Kontrak pembelian peralatan akan di tandatangani lessor dengan supplier peralatan tersebut.
f. Supplier dapat mengirim peralatan yang di lease ke lokasi lesse, untuk mempertahankan dan
memelihara kondisi peralatan tersebut, supllier akan menandatangani perjanjian pelayanan purna
jual.
g. Lease menandatangani tanda terima peralatan dan menyerahkan kepada supplier.
h. Supplier menyerahkan surat tanda terima (yang diterima dari lessee), bukti pemilikan dann
pemindahan pemilikan kepada lessor.
i. Lessor membayar harga peralatan yang di lease kepada supplier.
j. Lesse membayar sewa lease periodik sesuai dengan jadwal pembayaran yang telah ditentukan
kontrak lease.12
4. Jenis-Jenis Pembiayaan Leasing
Leasing merupakan salah satu sumber dana bagi para pengusaha yang membutuhkan barang
modal, selama jangka waktu tertentu dengan membayar sewa. Dengan cara ini pengusaha yang tidak
mempunyai modal atau mempunyai modal terbatas, tetapi ingin mempunyai pabrik dapat
memperolehnya dengan cara leasing. Tehnik pembiayaan leasing secara garis besar dapat dibagi
dalam dua katagori yaitu:
a. Finance Lease (Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi)
Finance Lease merupakan suatu bentuk cara pembiayaan, lessor yang mendapatkan hak milik
atas barang yang disewakan menyerahkan kepada lessee untuk dipakai selama jangka waktu yang
sama dengan masa kegunaan barang tersebut.13
Dalam perjanjian kontrak, lessee bersedia untuk melakukan serangkaian pembayaran atas
penggunaan suatu asset yang menjadi objek lessee. Lessee pun berhak memperoleh manfaat
ekonomis dengan mempergunkan barang tersebut sedangkan hak miliknya tetap pada lessor. Dengan
demikian berarti lessee telah menanam modal. Dalam perjanjian finance lease ini biasanya tidak

12
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis,7Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hlm 110-112
13
Suhrawardi K Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm 97
dapat di batalkan atau diputuskan ditengah jalan oleh salah satu pihak, kecuali bila pihak lessee tidak
memenuhi perjanjian atau kontrak.
Ciri utama sewa guna usaha dengan hak opsi yaitu pada akhir kontrak, lessee mempunyai hak
pilih untuk membeli barang modal sesaui dengan nilai sisa (residual value) yang disepakati, atau
mengembalikannya, memperpanjang masa kontrak sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui
bersama.
Tehnik finance lease biasanya disebut juga dengan fill pay out leasing yang artinya suatu bentuk
pembiayaan dengan cara kontrak antara lessor dengan lessee.14
Pada leasing jenis ini lessee menghubungi lessor untuk memilih barang modal yang dibutuhkan,
memesan, memeriksa, dan memelihara barang modal tersebut. Selama masa sewa, lessee membayar
sewa secara berkala dari jumlah seluruhnya ditambah dengan pembayaran nilai sisa.
Dalam praktiknya transaksi finance lease dibagi lagi kedalam bentuk-bentuk sebagai berikut:
1) Sewa guna usaha langsung (Direct Finance Lease) Dalam bentuk transaksi ini, lessor memeli
barang modal dan sekaligus menyewaan kepada lessee. Pembelian tersebut dilakukan atas
permintaan lessee dan lesse pula menentukan spesifikasi barang modal, harga, dan suppliernya.
2) Jual dan sewa kembali (Sale And Lease Back) Lessee membeli dahulu atas nama sendiri barang
modal (impor atau eximpor) termasuk membayar biaya bea masuk dan impor lainnya. Kemudian
barang modal tersebut dijual kepada lessor dan selanjutnya diserahkan kembali kepada lessee
untuk digunakan bagi keperluan usahanya sesuai dengan jangka waktu kontrak sewa guna usaha.
b. Operating Lease (Sewa Guna Usaha Tanpa Hak Opsi)
Ciri utama leasing jenis ini adalah lessee hanya berhak menggunkan barang modal selama jangka
waktu kontrak tanpa hak opsi setelah masa kontrak berakhir. Pihak lessor hanya menyediakan barag
modal untuk disewakan kepada lessee dengan harapan setelah kontrak berakhir, lessor memperoleh
keuntungan dari penjualan barang modal tersebut.
Adapun tujuan dari operating lease ini ialah menjual barang modal itu apabila kelak telah habis
jangka waktu perjanjian lease, sehingga untuk ini diberikan syarat-syarat yang lebih ringan atau
lunak.15
Syarat-syarat yang lebih ringan atau lunak ini diantaranya berupa harga sewa atau cicilan lebih
kecil dibandingkan dengan harga sewa dalam finance lease.
Dalam operating lease resiko kepemilkan selama jangka waktu leasing menjadi tanggung jawab
lessor, oleh karena itu pajak kekayaan menjadi tanggungan lessor juga. Perjanjian dalam operating
lease berbeda dengan perjajian dalam financial lease, yang mana dalam bentuk perjanjian operating
lease dapat dibatalkan sebelum jangka waktu leasing, seperti pihak lessee (penyewa) dapat
memutuskan perjajian secara sepihak asal dengan pemberitahuan maksud pemutusan hubungan

14 8
Y. Sri Susilo, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Salemba, Jakarta, 2000, hlm 131
15
Ahmad Anwari, Leasing di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,1987, hlm 31
sewa tertulis dalam waktu yang layak. Sebagai konsekuesinya lessee harus membayar harga sewa
penuh. Resiko yang berupa turunnya nilai barang (rusak) yang biasa ditanggung oleh pemilik, dapat
dimasukan dalam perjanjian untuk ditanggung oleh lessee.
Di akhir pejanjian leasing, lessee wajib mengembalikan barang tersebut pada lessor, kecuali
lessee menggunkan hak opsinya untuk membeli barang tersebut dengan harga yang riil, yang biasa
relatif jumlahnya atau ada perundingan yang di lakukan untuk kontrak lease yang baru dengan lessee
yang sama atau juga lessor mencari lessee yang baru.
5. Pihak-Pihak yang Terlibat
Ada beberapa pihak yang terlibat dalam pemberian fasilitas leasing. Dan masing-masing pihak
mempunyai hak dan kewajibannya. Masing-masing pihak dalam melakukan kegiatannya selalu
bekerja sama dan saling berkaitan satu sama lainnya melalui kesepakatan yang dibuat bersama.
Adapun pihak-pihak yag terlibat dalam proses pemberian fasilitas leasing adalah sebagai berikut:
a. Lessor Merupakan perusahaan leasing yang membiayai keinginan para nasabahnya untuk
memperoleh barang-barang modal.
b. Lessee Nasabah yang mengajukan permohonan leasing kepada lessor untuk memperoleh barang
modal yang diperoleh.
c. Supplier Pedagang yang menyediakan barang yang akan dileasingkan sesuaikan perjanjian
antara lessor dengan lessee dan dalam hal ini supplier juga dapat bertindak sebagai lessor.
d. Asuransi Merupakan perusahaan yang akan menanggung resiko terhadap perjanjian antara lessor
dan lessee. Dalam hal ini lessee dikenakan biaya asuransi dan apabila teerjadi sesuatu, maka
perusahaan akan menanggung resiko sebesar sesuai dengan perjanjian terhadap barang yang
akan di leasingkan.
6. Sangsi-Sangsi
Seperti jenis pinjaman lainnya, bahwa tidak semua pinjamna berjalan mulus atau berjalan sesaui
prosedur yang ada. Seklaipun sudah melalui prosedur yang benar. Hal ini disebabkan oleh
banyaknya faktor. Begitu pula dengan perusahaan leasing jelas tidak semua barang modal yang
dibiayai akan terlunasi sesuai rencana. Oleh karena itu, perlu ada tindakan lebih lanjut bagi lessee
yang lalai berupa sangsi-sangsi yang telah disepakati.
a. Berupa teguran lisan supaya segera melunasi.
b. Jika teguran lisan tidak digubris, maka akan diberikan teguran tertulis.
c. Dikenakan denda sesuai perjanjian.
d. Penyitaan barang yang akan dipegang oleh lessee.

B. Definisi Pembiayaan
Pembiayaan adalah suatu penyaluran dana yang diperoleh dari satu pihak kepada pihak lainnya
9 melalui suatu lembaga atau atas nama pribadi.
guna mendukung investasi yang telah direncanakan,
16

Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 pembiayaan adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berupa:
1. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
2. Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah mutahiyah
bitamlik;
3. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, istish’na;
4. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
5. Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa.
Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain
yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana
17
tersebut setelah jangaka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
Sedangkan menurut Ascarya, pembiayaan adalah dana dari bank syariah ke nasabah yang
membutuhkan dana yang telah direncanakan.18
Menurut Syafii Antonio, pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank yaitu memberikan
fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit.19
Maka pembiayaan dapat dipahami sebagai suatu penyaluran dana dari satu pihak (lembaga
keuangan) kepada pihak lainnya (nasabah) dengan bentuk operasional sesuai dengan kontrak yang
disepakati baik itu jual-beli, investasi (bagi hasil), sewa-menyewa maupun pinjaman dengan jangka
waktu yang telah ditentukan.
C. Tujuan dan Fungsi Pembiayaan
Secara umum tujuan pembiayaan dibedakan menjadi dua kelompok yaitu tujuan pembiayaan
untuk tingkat makro dan tujuan pembiayaan tingkat mikro.20 Adapun tujuan pembiayaan secara
makro adalah sebagai: Peningkatan ekonomi umat, Tersedianya dana bagi peningkatan usaha,
Meningkatkan produktivitas, Membuka lapangan kerja baru, dan Terjadinya distribusi pendapatan.
Adapun secara mikro, pembiayaan diberikan dalam rangka untuk: Upaya memaksimalkan laba,
Upaya meminimalkan resiko, Pendayagunaan sumber ekonomi dan Penyaluran kelebihan dana.
Sesuai dengan tujuan pembiayaan tersebut diatas, pembiayaan yang diselenggarakan oleh
bank syariah secara umum memiliki fungsi untuk:
1. Meningkatkan daya guna uang;
2. Meningkatkan daya guna barang;

16
Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah (Yogyakarta: UUP-AMP YKPN, 2008), 17.
17
Lihat Pasal 1 Angka 25 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
18
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 124.
19
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke10 Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001), 160.
20
Binti Nur Aisyah, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), 1–2.
3. Meningkatkan peredaran uang;
4. Menimbulkan semangat berusaha;
5. Stabilitas ekonomi;
6. Sebagai jembatan untuk meningkatkan pendapatan nasional.

D. Jenis Pembiayaan
Menurut sifat pengunaannya pembiayaan dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Pembiayaan produktif, yakni pembiayaan yang bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan produksi
dalam artian memenuhi kebutuhan modal guna peningkatan kuantitas produksi serta penjualan,
perdagangan, dan investasi.
Berdasarkan Aspek keperluannya pembiayaan produktif terbagi menjadi:
a. Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan:(a)
peningkatan produksi, baik baik secara kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi, maupun secara
kualitatif, yaitu peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi; dan (b) untuk keperluan
perdagangan atau peningkatan utility of place dari suatu barang.
b. Pembiayaan investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal (capital goods)
serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan itu. Pembiayaan investasi diberikan kepada
para nasabah untuk keperluan investasi, yaitu keperluan perluasan uasaha, maupun pendirian
proyek baru. Ciri-ciri pembiayaan investasi yakni:
1) Untuk pengadaan barang-barang modal;
2) Mempunyai perencanaan alokasi dana yang matang dan terarah;
3) Berjangka waktu menengah dan panjang.
2. Pembiayaan konsumtif, yakni pembiayaan guna pemenuhan kebutuhan konsumsi yang akan
habis ketika digunakan.
E. Definisi Ijarah
Ijarah secara etimologi berasal dari kata “al-ajru” yang bermakna “al-iwadu” (ganti) dan oleh
karena itu “ath-thawab” (pahala) dinamakan ajru (upah). Ijarah dalam Kamus Arab-Indonesia oleh
Mahmud Yunus diartikan upah dan sewa. Ismail Nawawi mengartikan ijarah menurut bahasa adalah
ganti, upah atau menjual manfaat.21
Adapun Secara terminologi syara’, ijarah menurut para ulama empat mazhab yakni:22
1. Ulama Hanafiyah:
“Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
2. Ulama Syafi’iyah:

21
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik Dan Kontemporer: Hukum Perjanjian Ekonomi, Bisnis, Dan Sosial (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2012), 185. 11
22
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 121–22.
“Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima
pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
3. Ulama Malikiyah dan Hanabilah:
“Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.”
Syaikh Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Mu’in mendefinisikan akad ijarah memiliki makna
memberikan kemanfaatan sesuatu dengan ada penukaran.23 lalu Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy
berpendapat bahwa ijarah adalah penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat
dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat.24 Pakar ekonomi syariah Muhammad Syafi’i
Antonio memberikan penjelasan ijarah dengan redaksi bahwa ijarah adalah akad pemindahan hak
guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan atas barang itu sendiri. 25 Sedangkan pakar ekonomi syariah lainnya yaitu Adiwarman
Azwar Karim mengartikan hak untuk memanfaatkan barang atau jasa dengan membayar imbalan
tertentu. Maka dari itu akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya perpindahan hak
guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa.26 Dengan demikian secara teknis sederhananya
memperhatikan berbagai definisi yang ada, ijarah merupakan akad jual beli manfaat baik itu berasal
dari barang atau benda maupun orang atau tenaga kerja dengan adanya ganti atas manfaat itu berupa
ujrah (upah/biaya sewa). Ketika ijarah berkaitan dengan benda maka bisa diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia sebagai akad sewa-menyewa dan ketika berkaitan dengan tenaga kerja (jasa) maka
bisa diterjemahkan sebagai akad upah-mengupah. Jadi yang terjadi dalam akad ijarah adalah
pemindahan hak guna, bukan hak milik sebab objeknya adalah manfaat.
F. Landasan Syariah
1. Al-quran
Ath-Thalaq [65]: 6
Terjemahannya:
‘…kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada
mereka upahnya…’
Al-Qashash [28]: 26-27
Terjemahannya:
‘Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang
bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja
(pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". Berkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya
aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa

23
Zainuddin al-Malibari, Terjemah Fathul Mu’in, trans. Aliy As’ad (Kudus: Menara, 1979), 286.
24
M Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), 428.
25
Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, 117. 12
26
Adiwarman A Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh Dan Keuangan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), 138.
kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu
kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan
mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik".’
2. Hadis
27
>>ُ‫ع َرقُه‬ ِ ‫قَ ْب َل أ َ ْن َي‬.ُ‫ <<أَجْ َره‬:‫سل َم‬
َ ‫حجف‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلى للا‬
َ ‫َّللا‬ ُ ‫ قَ َل َر‬:َ‫قَال‬.‫ع َم َر‬
ِ ‫سو ُل‬ َ ‫ع ْن‬
ُ ‫ع ْب ِد َّللا ب ِْن‬ َ
Artinya:
‘Dari Abdullah bin Umar ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya."
3. Ijma’
Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid menyebutkan bahwasanya akad
ijarah diperbolehkan oleh semua fuqaha amshar (semua kota).28 Lalu selaras dengan yang disebutkan
oleh Ibnu Rusyd, Ibnu Qudamah dalam al-Mughni menegaskan ijma’ kebolehan akad ijarah dengan
menyampaikan bahwasanya seluruh ahli ilmu disegala zaman dan semua tempat telah bersepakat
mengenai kebolehan sewa menyewa kecuali apa yang dikatakan Abdurrahman bin Ashim “Bahwa
tidak diperbolehkan (sewa menyewa) karena terdapat ketidak jelasan/gharar yakni melakukan akad
terhadap suatu manfaat yang belum ada,” disebutkan Ibnu Qudamah bahwa pendapat ini keliru sebab
pendapatnya tidak dapat menolak ijma’ yang telah terjadi dimasa-masa sebelumnya dan telah
berlaku diberbagai negeri.29 Rachmat Syafei menyebutkan bahwa umat Islam pada masa sahabat
telah ber-ijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.
G. Rukun dan Syarat Ijarah
Rukun ijarah seperti halnya rukun akad, yakni ada 3, yaitu subjek akad berupa pihak yang
bertransaksi, objek akad berupa manfaat dan upah, kemudian sighat. Syarat-syarat dalam ijarah
adalah sebagai berikut:30
1. Syarat dua orang yang bertransaksi Dua orang yang berakad adalah mu’jir (yang menyewakan)
dan musta’jir (penyewa). Bagi keduanya dipersyaratkan bahwa masing-masing merupakan orang
layak melakukan akad dengan kriteria baligh dan berakal.
2. Syarat manfaat
Manfaat ijarah mencakup hal-hal berikut:
a. Dapat ditaksir
b. Orang yang menyewakan sanggup menyerahkan manfaat
c. Manfaat harus dirasakan oleh penyewa

27
Abû Abdullah Muhammad Bin Yazîd bin Mâjah al Qazwînî, Sunan Ibnu Mâjah, vol. 2 (Kairo: Dâr al-Ihya’ al-Kutub
al-‘Arabiyah, t.t.), 817.
28
Abu Al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid Vol 4 (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), 1339.
29
Ibnu Qudamah, Al-Mughni Vol 8 (Riyadh: Maktabah Riyadh 13 al-Haditsiyah, n.d.), 6.
30
Mustafa Dib al-Bugha, Buku Pintar Transaksi Syariah (Jakarta: Hikmah, 2009), 141–61.
d. Tidak boleh secara sengaja mengambil bagian barang yang disewa
e. Hendaknya kedua pihak melakukan transaksi mengetahui bentuk, sifat, dan ukuran yang
akan disewa.
3. Syarat upah
a. Upah harus suci
b. Upah harus dapat dimanfaatkan
c. Upah harus dapat diserahkan
d. Orang yang berakad hendaknya memiliki kuasa untuk menyerahkan upah itu
e. Upah harus diketahui secara jelas.
4. Syarat shighat
Maksud shighat adalah ijab dan qabul. Shighat mencakup hal-hal berikut:
a. Ijab dan qabul harus sesuai
b. Antara kalimat ijab dan kalimat qabul tidak berselang waktu yang lama atau diselingi dengan
ucapan lain yang tidak ada kaitannya dengan transaksi karena hal ini menunjukkan adanya
penolakan terhadap akad
c. Tidak boleh menggantungkan transaksi pada suatu syarat.

H. Berakhirnya Ijarah
Berakhirnya akad ijarah dapat terjadi dengan sebab:31
1. Salah satu pihak meninggal dunia. Ini merupakan pendapat ulama mazhab Hanafi. Bagi
mazhab Hanafi manfaat diperoleh dari ijarah adalah sesuatu yang terjadi secara bertahap dan
ketika meninggalnya salah satu pihak, manfaat tersebut tidak ada dan tidak sedang
dimilikinya, maka mustahil untuk diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad ijarah
tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad, dikarenakan menurut jumhur ulama
bahwa manfaat itu boleh diwariskan dan ijarah sifatnya mengikat kedua belah pihak.
2. Terjadinya kerusakan pada barang sewaan.
3. Jangka waktu yang telah disepakati sebagai masa sewa telah berakhir.
4. Adanya uzur dan uzur yang boleh membatalkan akad ijarah menurut jumhur ulama hanyalah
jika objeknya mengandung cacat atau manfaat yang dituju dalam akad itu hilang (bencana
banjir atau terjadi kebakaran).
5. Berakhir dengan iqalah yaitu pembatalan akad atas dasar kesepakatan kedua belah pihak. Ini
karena ijarah merupakan akad pertukaran harta dengan harta yang diambil manfaatnya.
I. Ijarah Muntahiyah bit Tamlik
Istilah ijarah di bank syariah mengalami perkembangan dengan adanya istilah ijarah muntahiyah
bit tamlik atau dapat pula disebut ijarah wa iqtina ataupun bai’ut tajkiri. Jika dalam ijarah berbentuk
14
31
Az-Zuhailil, Al-Wajiz Fi Al-Fiqhi Al-Islami Vol 2, 133–34
sewa murni, yakni sebatas mengambil manfaatnya saja tanpa pemindahan kepemilikan, maka dalam
ijarah muntahiyah bit tamlik berbentuk sewa beli, yakni sewa yang berujung pada pemindahan
kepemilikan dari yang menyewakan (Bank) kepada penyewa (nasabah) baik secara jual beli maupun
hibah. Di Malaysia, produk seperti ijarah muntahiyah bit tamlik dikenal dengan istilah ijarah thumma
al-bai’.32
33
Akad pemindahan kepemilikian hanya dapat dilakukan setelah masa ijarah selesai. Jadi
dilaksanakan terlebih dahulu ijarah murni dalam periode tertentu, kemudian disaat akad tersebut
telah selesai, barulah antara nasabah dan pihak bank melakukan akad pemindahan kepemilikan. Jadi
antara akad jual beli dan sewa tidak dikumpulkan dalam satu transaksi.
Ada dua bentuk ijarah muntahiyah bit tamlik, yaitu:
1. Ijarah dengan janji akan menjual pada akhir masa sewa
2. ijarah dengan janji untuk memberikan hibah pada akhir masa sewa
Lebih jelasnya tentang ketentuan al-ijarah al-muntahiyah bi al-tamlik yaitu pada Fatwa DSN
Nomor 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al-Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik.
‘Pertama: Akad al-Ijarah al-Muntahiah bi al-Tamlik boleh dilakukan dengan ketentuan umum
sebagai berikut:
1. Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad Ijarah (Fatwa DSN nomor: 09/DSN-
MUI/IV/2000) berlaku pula dalam akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik.
2. Perjanjian untuk melakukan akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik harus disepakati ketika
akad Ijarah ditandatangani.
3. Hak dan kewajiban setiap pihak harus dijelaskan dalam akad.
Kedua : Ketentuan tentang al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik
1. Pihak yang melakukan al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik harus melaksanakan akad Ijarah
terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian, hanya
dapat dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
2. Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad Ijarah adalah wa'd (‫( الوعد‬,yang
hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad
pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
Ketiga :
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara
kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata

32
Muhammad Syarif Hidayatullah, Perbankan Syariah: Pengenalan Fundamental Dan Pengembangan Kontemporer
(Banjarbaru: Dreamedia, 2017), 102. 15
33
Lihat Pasal 280 ayat (2) Buku II Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya’
J. Aplikasi di Lembaga Keuangan Syariah
Bank syariah dalam operasional bisnisnya pada aplikasi akad ijarah dalam produk pembiayaan
adalah dengan melakukan leasing baik dalam bentuk operating lease ataupun financial lease. Akan
tetapi, pada umumnya bank-bank syariah menggunakan ijarah muntahiyah bit tamlik (financial lease
with purchase option) dikarenakan pertimbangan bahwa lebih sederhana dari sisi pembukuan. Selain
itu, bank pun tidak direpotkan untuk mengurus pemeliharaan aset, baik pada saat leasing ataupun
setelahnya.
Ijarah dapat pula diaplikasikan pada pembiayaan multijasa atau bisa pula disebut multimanfaat
maupun multiguna. Ijarah dengan pola transaksi multijasa adalah pembiayaan yang diberikan bank
kepada nasabah untuk memperoleh manfaat atas suatu jasa, seperti jasa pelayanan pendidikan,
kesehatan, ketenagakerjaan maupun kepariwisataan
K. Analisis Aspek Prosedural: Sistem Operasional Pembiayaan Ijarah Muntahiyah bit
Tamlik di Lembaga Keuangan Syariah
Akad ijarah muntahiyah bit tamlik (IMBT) merupakan sebuah terobosan baru dalam transaksi
keuangan kontemporer yang sebelumnya tidak ada diatur dalam fiqih klasik karena memang
transaksi dengan akad seperti ini tidak dilakukan. Akad ini muncul dalam menyikapi perkembangan
zaman, dimana dirasa perlu maka hadirlah akad yang merupakan rangkaian dari sewa dan
pemindahan kepemilikan.
Bank syariah adalah salah satu lembaga keuangan syariah yang berkembang saat ini. Bank
Syariah secara umum menawarkan tiga bentuk produk, yakni:
1. Funding product
2. Financing product
3. Service
Diantara ketiga produk ini, maka akad IMBT masuk dalam produk yang kedua, yakni produk
pembiayaan. Objek dalam produk pembiayaan berakad IMBT secara umum dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
1. Barang modal: aset tetap misalnya bangunan, gedung, kantor, ruko dan lain-lain
2. Barang produksi: mesin, alat-alat berat, dan lain sebagainya
3. Barang kendaraan: darat, laut dan udara.
Secara teoritis maka pembiayaan terbagi dua, yakni pembiayaan produktif dan konsumtif.
Dengan sasaran atau objek seperti dipaparkan sebelumnya, maka IMBT dapat dikategorikan sebagai
pembiyaan produktif maupun konsumtif. Artinya dapat bersifat bisnis maupun konsumsi
personal/pribadi.
16produktif dan konsumtif membuka ruang dalam
Keberadaan pembiayaan IMBT dengan kategori
terselenggaranya tujuan pembiayaan itu sendiri. Pembiayaan dapat meningkatkan produktivitas,
maka kategori pembiayaan produktif yang melekat pada IMBT sejalan dengan itu. Selain itu juga
dapat membantu dalam meningkatkan perekonomian umat. Mereka yang memiliki bisnis, kemudian
memerlukan mesin opersioanl, dengan IMBT terpenuhilah hajat mereka dan meningkat pula laba
yang dihasilkan. Dalam kapasitas pembiayaan konsumtif pula, maka relevan saja melihat pada sudut
pandang bahwa terjadi pendayagunaan uang maupun pendayagunaan barang serta ada siklus
peredaran uang yang membuat dana tidak menganggur begitu saja.
Akad IMBT dalam pembiayaan, secara sistemik berjalan dengan dibuatnya dua kontrak, yakni
kontrak ijarah dan kontak pemindahan kepemilikan. Kontrak pertama adalah ijarah dan kontrak
kedua adalah kontrak pemindahan kepemilikan baik secara jual beli maupun hibah.

Dapat kita lihat pada skema di atas, bahwasanya ada pada transaksi keuangan kontemporer untuk
akad IMBT terjadi dengan adanya 3 subjek akad. Nasabah datang ke LKS untuk melakukan IMBT
dengan memesan objek sewa, setelah itu LKS membeli barang dari pemasok yang merupakan barang
yang dipesan oleh nasabah, selanjutnya barulah LKS dan nasabah melaksanakan kontrak IMBT.
Kontrak diantara mereka berdua yang dibuat pertama adalah kontrak ijarah yang akan ditentukan
besaran biaya sewa, jangka waktu dan lain sebagainya terkait dengan perikatan yang terjadi. Kontrak
pemindahan kepemilikan belumlah dilakukan selama masa sewa belum berakhir. Oleh karena itu
kontrak pemindahan kepemilikan baru dilakukan setelah kontrak ijarah berakhir. Di dalam kontrak
yang pertama terdapat wa’ad yang disepakati antara LKS dan nasabah., yaitu sebuah janji terjadinya
pemindahan kepemilikan dari LKS ke nasabah ketika masa sewa berakhir.
Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad ijarah adalah wa’ad yang hukumnya
tidaklah mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan
kepemilikan yang dilakukan setelah masa sewa berakhir.
Ada dua bentuk ijarah muntahiyah bit tamlik, yaitu:
a. Ijarah dengan janji akan menjual pada akhir masa sewa
17
b. ijarah dengan janji untuk memberikan hibah pada akhir masa sewa
Dengan begitu setelah kontrak ijarah selesai, barulah dilakukan akad pemindahan kepemilikan
baik itu secara hibah maupun dengan penjualan.
L. Analisis Aspek Substansial: Legalitas Akad Syariah dalam Pembiayaan al-Ijarah al-
Muntahiyah bil al-Tamlik di Lembaga Keuangan Syariah
Berkenaan dengan legalitas akad syariah dalam pembiayaan ijarah muntahiyah bit tamlik
(IMBT), maka akan dimulai dengan analisis yang diarahkan pada persoalan mendasar yang berkaitan
tentang rukun dan syarat akad.
1. Subjek akad (al-Aqid):
Pihak-pihak yang melakukan akad (al-akid) IMBT yaitu mu’jir dan musta’jir. Musta’jir
(penyewa) adalah pihak yang menyewa aset yaitu nasabah (debitur) dan mu’jir (pemilik) adalah
pihak pemilik yang menyewakan aset yaitu LKS (kreditur).
2. Objek akad (al-Ma’qud):
Objek akad dalam akad IMBT adalah ma’jur (aset yang disewakan) yakni manfaat pada suatu
barang dan ujrah (biaya sewa) yaitu harga yang disepakati oleh para pihak dalam akad IMBT. Objek
akad pada umumnya dapat dianggap sah apabila memenuhi syarat yaitu telah ada pada waktu akad
diadakan, dibenarkan oleh syara’, dapat ditentukan dan diketahui dan objek diserahkan pada waktu
akad terjadi. Walaupun demikian, beberapa syarat tersebut dapat disimpangkan yaitu masalah objek
akad telah ada pada waktu akad IMBT diadakan dan syarat bahwa objek akad IMBT diberikan pada
waktu akad IMBT terjadi. Pengecualian ini didasarkan pada prinsip istihsan.34
3. Shighat akad:
Akad IMBT terdapat dua bentuk akad yakni akad ijarah dengan pemindahan kepemilikian
melalui janji hibah di masa ijarah berakhir dan akad ijarah dengan pemindahan kepemilikan melalui
janji jual beli. LKS dalam hal ini sebagai yang menyewakan berjanji kepada nasabah sebagai
penyewa bahwa akan dilaksanakan pemindahan kepemilikan setelah masa sewa berakhir yang
dinyatakan dalam akad IMBT. Karenanya akad IMBT terdapat dua akad yang berbeda yaitu akad
ijarah, dan pada akhir masanya akan dibuat kontrak baru lagi dengan akad pemindahan kepemilikan
atau pengalihan hak atas barang tersebut yang sebelumnya disewakan. Sehingga ijab dan kabul
antara LKS dan nasabah dapat diketahui dengan jelas cara pemindahan hak milik objek.
Berlanjut pada konteks analisis syarat pada akad IMBT. Syarat yang dimaksud oleh penulis disini
adalah berupa syarat berlangsungnya akad dan syarat sahnya.
a. Syarat berlangsungnya akad:
Adanya kepemilikan dan kekuasaan merupakan dua syarat keperluangan berlangsungya akad,

34
Perbuatan adil terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain, karena adanya suatu yang
lebih kuat yang membutuhkan keadilan. Istihsan merupakan 18
salah satu dari dalil aqli berupa metode ijtihad (dalil hukum
sekunder).
selain itu pula tidak ada hak orang lain. Dalam konteks akad IMBT pada transaksi keuangan
kontemporer yang dilakukan oleh LKS, dalam hal ini LKS merupakan pemilik objek IMBT sebagai
pihak yang menyewakan barang kepada nasabah. Baik LKS dan nasabah merupakan pihak yang
mampu melaksanakan akad IMBT yaitu cakap dalam perbuatan hukum. Kemudian mengenai objek
akad yang disewakan kepada musta’jir merupakan hak milik dari mu’jir selama masa sewa. Setelah
masa sewa berakhir terjadi pemindahan kepemilikan kepada nasabah dari LKS baik melalui hibah
maupun melalui jual beli.
b. Syarat sahnya akad:
Syarat sahnya akad yakni tidak adanya lima unsur perusak sahnya akad yaitu ketidakjelasan jenis
yang menyebabkan pertengkaran, adanya paksaan, membatasi kepemilikan terhadap suatu barang,
adanya penipuan dan adanya bahaya dalam pelaksanaan akad. Untuk menghindari lima hal tersebut,
maka terdapat fatwa DSN Nomor 27/DSN-MUI/III.2002 sebagai ketentuan yang mengaturnya.
Jika akad IMBT ini kita kaji dengan mengaitkan dengan landasan hukum Islam maka terdapat
dalil-dalil yang dapat dijadikan rujukan.
An-Nisa [4]: 29
Terjemahannya:
‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.’
Pada pemaparan sebelumnya telah penulis ungkapkan tentang 5 unsur perusak dalam sebuah
transaksi, ketika 5 unsur itu tidak ada dalam praktik IMBT, maka artinya akad tersebut dilaksanakan
dengan prinsip an taradhin yaitu saling ridha dari kedua belah pihak.
Konsekuensi dilaksanakannya akad adalah menjadikan pihak yang berakad memiliki hak dan
kewajiban. Maka dari itu setelah terselenggaranyya akad, maka ada kewajiban berdasarkan akad
yang harus ditunaikan. Seperti itu pula yang berlaku dalam akad IMBT antara LKS dan nasabah
dimana LKS wajib memberikan barang yang dapat dimanfaatkan oleh nasabah dan nasabahpun
wajib memberikan ujrah atau biaya sewa atas manfaat tersebut.
Sebenarnya terjadinya pro kontra dalam akad IMBT adalah ketika dikaitkan dengan hadits
Nabi riwayat Ahmad dari Ibnu Mas’ud:
35
ِ ‫ص ْفقَ ٍة َو‬
.ٍ‫احدَة‬ َ ‫ص ْفقَقَي ِْن فِى‬
َ ‫ع ْن‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ‫سل َم‬ َ ُ‫صلى للا‬ ِ ‫سو ُل‬
َ ‫للا‬ ُ ‫َن َهى َر‬
Artinya: ‘Rasulullah saw. melarang dua kesepakatan (akad) dalam satu kesepakatan (akad)’
Para ulama membolehkan praktik multiakad dengan beberapa kriteria atau batasan
dibolehkannya, jika batasan ini dilanggar atau tidak sesuai kriteria yang telah ditetapkan tersebut,
19
35
Asy-Syaibani, Musnad Al-Imam Ahmad Bin Hanbal Juz 6, 324.
maka multiakad tersebut status hukumnya adalah terlarang untuk dilakukan. Kriteria ini menjadi
syarat atas dilaksanakannya multiakad yang legal secara syar’i. Kriteria kebolehan multiakad yang
dirumuskan oleh para ulama secara umum yakni:
a. Bukan multiakad yang dilarang oleh nash agama. Multiakad yang dilarang tersebut seperti
multiakad dalam jual beli (bai’) dan pinjaman, dua akad jual beli dalam satu jual beli dan dua
transaksi dalam satu transaksi;
b. Bukan multiakad sebagai hilah ribawiyah. Multiakad yang menjadi hilah ribawiyah (rekayasa
hukum praktik riba) dapat terjadi pada transaksi jual beli ‘inah
c. Bukan multiakad yang menyebabkan jatuh ke riba. Setiap multiakad yang mengantarkan pada
yang haram, seperti riba, hukumnya haram, meskipun akad akad yang membangunnya adalah
boleh. Penghimpunan beberapa akad yang hukum asalnya boleh namun membawanya pada yang
dilarang menyebabkan hukumnya menjadi dilarang.
d. Bukan multiakad yang terdiri atas akad-akad yang akibat hukumnya saling bertolak belakang
atau berlawanan.36
Akad IMBT memang memiliki rangkaian dua buah akad yakni akad ijarah dan akad tamlik yang
salah satu opsinya yakni bai’ (jual beli). Antara ijarah dan bai’ merupakan akad yang memiliki
konsekuensi hukum yang berbeda diantara keduanya. Ijarah bersifat pemindahan manfaat/hak guna,
sedangkan bai’ bersifat pemindahan kepemilikan barang/hak milik. Jika dilihat secara zhahir tanpa
menelaah sistem operasional atau mekanismenya secara mendalam dan jelas, memang seperti
adanya dua akad dalam satu transaksi. Jika itu terjadi maka sesuai hadits Rasulullah saw. di atas,
transaksi tersebut terlarang. Selain itu pula terlihat bahwa produk pembiayaan ijarah muntahiyah bit
tamlik ini dibangun atas dua akad yang akibat hukumnya saling berlawanan, karena ijarah memiliki
konsekuensi hukum pemindahan manfaat atau hak guna, sedang bai’ maupun hibah memiliki
konsekuensi hukum pemindahan kepemilikan atau hak milik. Namun jika digali dan dikaji lebih jauh
lagi terutama melihat pada fatwa DSN tentang IMBT terdapat ketentuan bahwa dilakukan akad
ijarah terlebih dahulu, setelah masa sewa itu selesai maka akan terjadi pemindahan kepemilikan.
Akad pemindahan kepemilikan baru dilakukan setelah akad ijarah berakhir, artinya
melaksanakan akad baru lagi. kontrak yang pertama adalah ijarah, kemudian setelah kontrak pertama
selesai baru dilakukan kontrak pemindahan kepemilikan Di dalam kontrak yang pertama terdapat
wa’ad (janji) yang disepakati antara LKS dan nasabah, yaitu sebuah janji terjadinya pemindahan
kepemilikan dari LKS ke nasabah ketika masa sewa berakhir. Janji pemindahan kepemilikan yang
disepakati di awal akad ijarah adalah wa’ad yang hukumnya tidaklah mengikat. Apabila janji itu
ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa

36
Hasanudin Maulana, “Multiakad Dalam Transaksi Syariah 20 Kontemporer Pada Lembaga Keuangan Syariah Di
Indonesia,” Al-Iqtishad: Jurnal Ilmu Ekonomi Syariah 3, no. 1 (2011): 171–75.
sewa berakhir.37
Dengan begitu artinya disini bukan terjadi konsep multi akad berbentuk dua akad dalam satu
transaski dengan bercampurnya dua akad tadi (multiakad yang dibangun atas dua akad dengan akibat
hukum bertentangan yang bercampur baur) yang mengakibatkan adanya unsur gharar
(ketidakjelasan), melainkan melihat pada ketentuan tersebut akad IMBT adalah dua akad dalam dua
transaksi, dikarenakan bai’ baru dilakukan setelah ijarah selesai atau berakhir, dengan demikian tidak
ada percampuran diantara kedua akad ini, melainkan dalam transaksi yang berpisah. Dua akad yang
dianggap memiliki akibat hukum berlawanan ini tidaklah bercampur yang menimbulkan gharar,
tetapi eksistensi akadnya bersusun dengan dilakukannya akad kedua setelah akad pertama selesai.
Syarat tersebut menjadikan tidak dilanggarnya ketentuan dalam hadits Rasulullah saw.
Oleh karena tidak masuk dalam larangan yang ada pada hadis Rasulullah saw, maka hukum
IMBT adalah boleh dilakukan dan kita kembalikan pada Kaidah fikih yang menjadi dasar secara
umum dari kegitatan muamalah yakni:

َ ‫ت ْاْل ا َ ْن تَدُل دَ ِل ْي ٌل‬


‫ع َل تَحْ ِري ِْم َها‬ ْ َ ‫األ‬
ِ ‫ص ًل فِى ال ُم َعا َم َال‬
Artinya:
‘Hukum asal dari muamalah adalah boleh dilakukan, terkecuali ada dalil yang mengharamkannya.’
Setelah pembiayaan IMBT disepakati, maka bersifat mengikat mereka yang bertransaksi
dengan konsekuensi hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Kesepakatan merupakan perwujudan
dari saling ridha oleh kedua belah pihak.
Kaidah fiqih terkait dengan prinsip suka sama suka (saling ridha) dalam bermuamalah antara
lain:

ُ‫ضى ِب َما َيت ََولدُ ِم ْنه‬


َ ‫ضى ِبا لش ْى ِء َر‬
َ ‫ال‬
ِ
Artinya:
‘Keridhaan dengan sesuatu adalah ridha dengan akibat yang terjadi dari padanya.’
Bahwasanya bermuamalah yang sah adalah bermuamalah yang akadnya dilandasi dengan
suka sama suka (saling ridha) masing-masing pihak. Dalam bermuamalah yang akadnya didasarkan
suka sama suka adalah bermuamalah yang tidak didasari oleh paksaan salah satu pihak dan
bermuamalah yang di dalamnya tidak terdapat unsur penipuan dan kezhaliman yang merugikan salah
satu pihak. Prinsip dasar suka sama suka ini berlaku pada transaksi yang memang sifatnya halal atau
boleh dilakukan, sebab transaksi yang sifatnya boleh dilakukan bisa menjadi terlarang jika tidak
didasari suka sama suka seperti pemaksaan dalam membeli barang yang akhirnya menzhalimi dan
merugikan salah satu pihak. Jadi konteks “suka sama suka” bukan berlaku bebas seperti pada
transaksi terlarang, tidak dapat dimasukkan dalam konteks transaksi yang terlarang misalkan praktik

21
37
Fatwa DSN Nomor 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al-Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik.
pembungaan uang yang merupakan aktivitas ribawi. Walaupun kedua belah pihak bersepakat untuk
transaksi pinjaman uang berbunga dengan merasa rela akan pembungaan yang terjadi, maka
kerelaannya tidak merubah atau menggugurkan keharaman transaksi tersebut.
Syarat-syarat sebagai klasul kontrak menjadi hak para orang yang berakad untuk
membuatnya dan boleh dilakukan melalui negosiasi dan kesepakatan bersama bentuknya selama
bukanlah syarat yang membawa mudharat atau sesuatu yang diharamkan.
Namun ijarah muntahiya bi al-tamlik memiliki perbedaan dengan leasing konvensional, seperti
tergambar pada tabel berikut ini:
Perbedaan ijarah muntahiya bi al-tamlik dengan leasing: (Adam, 2017, hal. 223)
IMBT Leasing
Aset selama masa sewa adalah milik bank. Aset langsing dicacatkan atas nama nasabah.
Perjanjian menggunakan akad ijarah dan wa‟ad Sewa dan jual-beli menjadi satu kesatuan dalam
untuk jual-beli atau hibah yang akan satu perjanjian.
ditandatangani setelah ijarah berakhir (jika
nasabah menghendaki).
Perpindahan kepemilikan menggunakan jual-beli Perpindahan kepemilikan menggunakan jual-beli.
dan hibah. Perpindahan kepemilikan dilaksanakan Perpindahan kepemilikan diakui setelah seluruh
setelah masa ijarah selesai pembayaran sewa diselesaikan.

22
BAB III

PENNUTUP
A. KESIMPULAN
sewa guna usaha (leasing) merupakan suatu kontrak atau persetujuan antara lessor dan lessee,
objek-objek sewa guna usaha adalah barang modal, dan pihak lessee memiliki hak opsi dengan harga
berdasarkan nilai sisa dan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati berdasarkan kesepakatan
bersama.
Aspek prosedural pembiayaan ijarah muntahiyah bit tamlik pada transaksi keuangan
kontemporer yakni nasabah dan LKS melakukan akad ijarah terlebih dahulu sebagai kontrak pertama
yang didalamnya terdapat wa’ad adanya pemindahan kepemilikan diakhir masa sewa dan ketentuan-
ketentuan lain seperti besaran biaya sewa, jangka waktu pelunasan dan ketentuan terkait lainnya,
selanjutnya setelah masa sewa berakhir, maka dilaksanakanlah akad pemindahan kepemilikan
dengan kontrak baru baik secara hibah maupun jual beli.
Aspek subtansial dalam pembiayaan ijarah muntahiyah bit tamlik dalam perspektif legalitas akad
syariah telah sesuai dengan prinsip syariah dalam bermuamalah dan tidak melanggar norma-norma
dalam kaidah fiqih muamalah termasuk hadits tentang larangan dua kesepaktan (akad) dalam satu
kesepakatan (akad). ini bukanlah rangkaian dua akad yang tergabung menjadi satu kesatuan atau
dilakukan sekaligus yang percampurannya (multiakad yang dibangun atas dua akad dengan akibat
hukum bertentangan yang bercampur baur) mengakibatkan adanya gharar (ketidakjelasan),
melainkan merupakan akad dengan rangkaian dua akad yang terpisah dalam transaksinya atau dapat
disebut dua akad yang bersusun dalam dua transaksi bukan dua akad dalam satu transaksi. Secara
konseptual, Fatwa DSN-MUI Nomor 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-
Tamlik telah mengaokomodir dan menjadi rujukan dalam mekanisme akad yang menunjukkan
legalitas secara syariah. Oleh karena itu, batasan-batasan yang diatur dalam fatwa tersebut perlu
dilaksanakan oleh para praktisi lembaga keuangansyariah yang menjalankan produk IMBT, agar
pembiayaan IMBT terlaksana sesuai dengan prinsip syariah secara komprehensif, bukan parsial yang
akhirnya mengakibatkan adanya kesenjangan antara teori (keharusan) dan praktik (kenyataan).

23
DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, B. N. (2015). Manajemen Pembiayaan Bank Syariah. Yogyakarta: Kalimedia.

Antonio, M. S. (2001). Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.

Ascarya. (2017). Akad & Produk Bank Syariah (6th ed.). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hidayatullah, M. S. (2017). Perbankan Syariah: Pengenalan Fundamental dan Pengembangan
Kontemporer. Banjarbaru: Dreamedia.

Ibnu Qudamah. (n.d.). al-Mughni Vol 8. Riyadh: Maktabah Riyadh al-Haditsiyah.

Karim, A. A. (2007). Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
al-Malibari, Z. (1979). Terjemah Fathul Mu’in (Aliy As’ad, trans.). Kudus: Menara.

Muhammad. (2008). Manajemen Pembiayaan Bank Syariah. Yogyakarta: UUP-AMP YKPN.


Mustafa Dib al-Bugha. (2009). Buku Pintar Transaksi Syariah. Jakarta: Hikmah.

Nawawi, I. (2012). Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer: Hukum Perjanjian Ekonomi,
Bisnis, dan Sosial. Bogor: Ghalia Indonesia.

Rusyd, A. A.-W. M. bin A. bin. (1996). Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid Vol 4.
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Ash-Shan’ani, A. B. A. R. bin H. bin nafi’ al-H. al-Y. (n.d.). Mushannaf Abdur Razaq Ash-
Shan’ani Juz 8. Beirut: al-Maktab al-Islami.

Ash-Shiddieqy, M. H. (1997). Hukum-Hukum Fiqih Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra.

Asy-Syaibani, A. A. A. bin M. bin H. bin H. bin A. (2001). Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal
Juz 6. Beirut: Muassasah ar-Risalah. Asy-Syaibani, A. A. A. bin M. bin H. bin H. bin A. (2001).
Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal Juz 14. Beirut: Muassasah ar-Risalah.

Syafei, R. (2006). Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.

At-Tirmizi, M. bin ‘Isa bin S. bin M. bin adh-D. bin. (1998). Sunan at-Tirmizi. In Juz III. Beirut:
Dar al-Garb al-Islami.

Az-Zuhailil, W. (2006). al-Wajiz fi al-Fiqhi al-Islami Vol 2. Damaskus: Darul Fikri.

Az-Zuhailil, W. (2006). al-Wajiz fi al-Fiqhi al-Islami Vol 3. Damaskus: Darul Fikri.

Anda mungkin juga menyukai