Anda di halaman 1dari 22

KONSEP DAN PRAKTIK LEASING BAIK PRESEPEKTIF SYARIAH

DAN KONVENSIONAL

Dosen Pengampu : Rina El Maza, SHI,MSI

Makalah ini disusun guna melengkapi tugas kelompok pada mata kuliah Islam dan
EkonomiPembangunan

Disusun oleh:
Kelompok 7

1. Dian Kartika (2203011027)


2. Puja Ira Puspitasari (2203010053)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH FAKULTAS EKONOMI


DAN BISNIS ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI METRO
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji
syukur kami panjatkan kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah , dan
inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan tugas makalah yang
berjudul konsep dan praktik leasing baik presepektif syariah dan konvensional dalam
matakuliah bank dan lks.
Tulisan ini dapat kami selesaikan berkat adanya bimbingan dan bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, sudah seharusnya pada kesempatan ini kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa tulisan ini tidak luput dari kekurangan. Hal ini
disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang kami miliki. Oleh
karena itu, semua kritik dan saran akan penulis terima dengan senang hati demi
perbaikan makalah lebih lanjut.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


.

Metro, Februari 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i


KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1


A. Latar Belakang ....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................... 3


A. Konsep Bank syariah dan Bank Konvensional ...................... 2
B. Pengertian Bank syariah dan Bank Konvensional .................. 3
C. Dasar Hukum Bank Syariah dan Bank Konvensional ............ 5
D. Sistem Operasional Bank Syariah dan Bank Konvensional ... 6
E. Produk dan Akad Bank Syariah dan Bank Konvensional....... 7
F. Mekanisme dan Prosedur Pengajuan Kredit Bank Syariah
dan Bank Konvensional .......................................................... 9
G. Prinsip-prinsip Pemberian Kredit Bank Syariah dan Bank
Konvensional .......................................................................... 12
H. Perkembangan dan Pertumbuhan Bank syariah dan Bank
Konvensional .......................................................................... 15

BAB III KESIMPULAN .......................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
` Persoalan praktik leasing dalam kegiatan ekonomi di Indonesia yang
berkembang dewasa ini merupakan persoalan yang pelik dan rumit. Sebab
munculnya sebagai salah satu praktik muamalah yang melibatkan sejumlah
pihak pada mulanya dikenal terlebih dahulu oleh dunia Barat dan tidak
ditemukan pembahasannya secara khusus dalam kitab-kitab klasik dan fatwa
ulama. Untuk sebagian umat Islam, masalah leasing masih merupakan suatu hal
yang membingungkan sehingga untuk menemukan dasar hukum leasing dalam
Islam, ulama dituntut untuk berusaha menggalinya sendiri dengan berdasarkan
pada maqasid asy syar’iyah, sebagaimana dipahami dari al-Qur’an dan hadis.

Usaha leasing merupakan kegiatan ekonomi yang belum ada aturannya


secara eksplisit baik di dalam al-Qur’an, hadis Nabi Saw, maupun hasil ijtihad
ulama terdahulu. Oleh karenanya, bila ditinjau dari sudut pandang hukum Islam
maka leasing merupakan masalah ijtihadiah, yakni suatu persoalan yang perlu
dibahas secara serius dan dikaji secara teliti dengan cara mencurahkan segala
potensi dan kemampuan yang ada untuk mendapatkan ketetapan hukum yang
sesuai.

Dalam Islam, sewa menyewa dikenal dengan istilah iwadl yang berarti
ganti. Menurut pengertian syara-nya ijarah adalah suatu jenis akad untuk
mengambil manfaat dengan jalan penggantian.1 Meski para ulama berselisih
paham mengenai hakikat diperbolehkan ada tidaknya sewa menyewa barang
tertentu, namun sejarah Islam mencatat bahwa praktik ini telah terjadi sejak
awal datangnya Islam dan terus berlangsung selama pemerintahan khulafaur
rasyidin hingga pemerintahan-pemerintahan sesudahnya.

Di masa-masa tersebut, sewa-menyewa terjadi dalam bentuk yang sangat


sederhana. M. Abdul Mannan mencatat bahwa konsep sewa ini dalam arti istilah
modern belum dikembangkan selama hayat Rasulullah Saw.

1
Yahya Zakaria Anshari, Fathul Wahab (Lebanon: Darul Fikr, 1971), h. 107
1
Konsep sewa yang demikian ini telah berkembang tidak hanya karena
langkah Umar bin Khattab yang melarang pembelian tanah oleh kaum Muslimin
di wilayah taklukan, tetapi juga oleh dihentikannya praktik distribusi tanah
taklukan di kalangan kaum Muslimin dan hanya mengizinkan kepada penggarap
tanah asli untuk membudidayakan tanah mereka berdasarkan pembayaran
kharaj dan jizyah.2 Terlepas dari berbagai konsep para pendahulu mengenai
kegiatan sewa menyewa, namun pada kenyataannya konsep-konsep dasar
tersebut tetap masih banyak digunakan oleh para ekonom masa sekarang dengan
bentuk kegiatan transaksi yang beraneka ragam. Di antara transaksi modern
yang memiliki kesamaan dalam beberapa aspek dengan kegiatan sewa menyewa
dalam term hukum Islam tersebut adalah transaksi perjanjian leasing

Pembicaraan berkaitan dengan leasing telah mendapat perhatian dari


kalangan pemerintahan Indonesia. Hal ini terbukti dengan diterbitkannya
KUHPerdata dan adanya Keputusan Bersama Tiga Menteri: Menteri Keuangan,
Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian pada tahun 1974 tentang
kegiatan leasing. Secara umum leasing berarti pembiayaan peralatan/barang
modal untuk digunakan pada proses produksi suatu perusahaan, baik secara
langsung maupun tidak langsung.

Apabila dilihat secara substansial, kegiatan transaksi leasing memiliki


kesamaan dengan sewa menyewa dalam Islam. Di sisi lain, karena dalam
pelaksanaan transaksi leasing melibatkan sejumlah besar modal dimana tidak
menutup kemungkinan terjadi wanprestasi (ingkar janji) oleh para pihak yang
bersangkutan dalam transaksi tersebut maka dibutuhkan ketentuan-ketentuan
hukum yang secara pasti mengaturnya sehingga dapat terhindar dari terjadinya
ingkar janji. Menurut sejarah Islam al-ijarah telah dilakukan oleh Rasulullah
Saw dan para sahabatnya dalam bentuk sewa tanah dan sewa kerja/ jasa.3

Adanya praktik al-ijarah dalam Islam inilah yang dapat dijadikan pijakan
dan landasan teoritis prinsip-prinsip dasar bagi transaksi leasing di Indonesia
karena isi dan substansi keduanya terdapat persamaan. Meski demikian, dalam
praktiknya transaksi leasing sering tidak mencerminkan sebagai bentuk praktik
al-ijarah sebagaimana mestinya. Hal ini dapat dilihat dari adanya option right

2
Abdul Manan, Islamic Economic, Theory and Practice, terj. M. Nastangin (Yogyakarta: Dana Bhakti
Wakaf, 1997), h. 113.
3
Sulaiman Al Jamal, Jamal, Jilid XIII (Lebanon: Darul Fikr, 1971), h. 2
2
atau hak pilih bagi penyewa untuk membeli barang (buy decision) dalam
leasing4 sehingga lebih mendekatkannya dengan bentuk jual beli cicilan. Di
samping itu, kewajiban memikul risiko bersama-sama antara pemilik

barang dan pengguna dalam al-ijarah tidak ditemukan dalam leasing.


Terlebih lagi, adanya hak opsi untuk membeli barang aset di akhir kontrak
dalam leasing yang tidak ditemukan dalam praktik al-ijarah merupakan hal
dasar yang membedakan antara kedua bentuk transaksi tersebut. Dalam
pandangan hukum Islam, praktik transaksi leasing dapat dibenarkan selama
tidak keluar dari ketentuan sebagaimana dalam al-ijarah.

Hal ini dikarenakan syariah tidak membolehkan biaya tertentu atas


financial capital. Di samping itu, teks-teks hukum, seperti firman Allah Swt
dalam QS. 28: 26: Artinya: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: Ya
bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita) karena
sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada
kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”. Hadis nabi dan ijma umat juga
mendukung dibolehkannya leasing. Hanya saja, dalam praktiknya, perjanjian
leasing tidak jelas antara bentuk sewa atau beli angsuran. Perjanjian ini disebut
sebagai bentuk transaksi yang memiliki aspek hukum ganda, yang suatu saat
akan disebut sebagai bentuk sewa dan di saat tertentu dianggap sebagai bentuk
beli cicilan. Hal ini tampak sekali manakala leasing tidak dapat menyelesaikan
cicilan maka uang angsuran akan dianggap sebagai sewa atas aset dan barang
kembali kepada pemilik. Dengan demikian, praktik leasing yang sering
menimbulkan salah pengertian dari umat Islam dan adanya sistem hukum
ganda, perlu diarahkan kepada bentuk transaksi ijarah muntahia bit tamlik
dalam sistem pembiayaan, baik dalam perbankan maupun lembaga pembiayaan
lainnya.

4
John. D. Martin, et.al., Dasar-Dasar Manajemen Keuangan, terj. Haris Munandar (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1994), h. 217
3
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan Definisi Leasing?
2. Jelaskan Dasar Hukum Leasing dalam Perspektif Syari’ah?
3. Sebutkan Jenis Jenis Leasing?
4. Jelaskan System Operasional Leasing?
5. Jelaskan Mekanisme Pengajuan Leasing?
6. Bagaimana Perkembangan Leasing di Indonesia?

C. Tujuan

1. Mengetahui Defini Leasing


2. Mengetahui Dasar Hukum Leasing dalam Perspektif Syari’ah
3. Mengetahui Jenis Jenis Leasing
4. Mengetahui System Oprsional Leasing
5. Mengetahui Mekanisme Pengajuan Leasing
6. Mengetahui Perkembangan Leasing di Indonesia

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Leasing

Sebenarnya leasing berasal dari kata lease yang dimaksud dalam hal ini
adalah sewa atau biasanya dipakai dalam masyarakat adalah sewa menyewa.
Istilah ini mungkin sering kita dengan dari sekitar kita, tentang peruntukan bagi
orang yang ingin menyewakan rumahnya atau gedung. Atau kita sering
melihatnya di koran-koran harian yang dipakai untuk menyewakan leasing
dalam hal ini adalah sebuah penyewaan, tetapi ketika kita telah masuk pada
ranah bisnis usaha leasing, yang akan dibicarakan dalam leasing adalah hal yang
ada dan mempunyai unsur sewa, namun karena didalam usaha leasing ini
terdapat beberapa persyaratan tersendiri, maka leasing disini tidak bisa
disamakan dengan sewa-menyewa pada umumnya. Sebelum kita masuk lebih
dalam tentang perjanjian leasing, kita harus mengetahui pihak-pihak yang
terkait dan terikat dalam pengadaan perjanjian

leasing, pada dasarnya pihak yang terkait dalam leasing tidak jauh
berbeda dengan pihak dalam perjanjian sewa lainnya5 :

1. Lessor , disini lessor adalah mutlak dari sebuah perusahaan pembiayaan yang
telah diberi izin dari departemen keuangan untuk melakukan pembiayaan
seperti membiayai para nasabahnya untuk memenuhi kebutuhan barang
modalnya.

2. Lessee, disini lessee adalah nasabah ataupun pemohon yang mengajukan


permohonan leasingnya kepada perusahaan tertentu untuk memenuhi
kebutuhan barang modalnya.

3. Supplier, disini supplier bertindak sebagai orang yang mempunyai barang


modal yang hendak dipergunakan barang modalnya dalam perjanjian leasing,
antara lessor dan lessee, biasanya lessee memerlukan barang modal dari
supplier, dan lessee mengajukan permohonan leasing kepada lessor agar
barang modal tersebut dibeli lessor, dan lessor dapa menyewakannya kepada
lessee dalam perjanjian leasing

5
World Leasing Year Book 1986, Hawkins Publisher Ltd., pg 15
5
Asuransi, disini perusahaan asuransi hanya bertindak menanggung akibat
dari perjanjian leasing, dalam hal ini lessee bisa dikenakan biaya asuransi bila
terjadi sesuatu terhadap barang leasing. Adapun beberapa persyaratan serta
ciri-ciri yang membedakan leasing dengan sewa-menyewa pada umumnya
antara lain :

1. Obyek leasing. Barang-barang yang menjadi obyek perjanjian leasing disini


meliputi segala macam barang modal6 . Barang modal disini bisa terbagi dari
barang bermotor, mesin, alat berat, ataupun keperluan perkantoran.

2. Pembayaran secara berkala dalam jangka waktu yang telah ditentukan oleh
para pihak. Dalam sewa-menyewa biasanya dilakukan cara pembayarannya
sekali untuk satu kali perjanjian, ataupun dibayar dan berlaku untuk waktu
tertentu, berbeda dengan leasing disini pembayarannya

dilakukan secara berkala dan bisa dilakukan setiap bulan, setiap empat
bulan, ataupun setiap setengah tahun sekali, sesuai perjanjian.4 3. Nilai sisa
atau Residual value Yang membedakan dalam perjanjian leasing ini adalah
adanya dan ditentukannya nilai sisa atau residual value, yang nanti nilai sisa
ini akan dihitung pada setiap tahunnya (sesuai perjanjian) dan nanti akan
dikurangkan dari harga barang awalnya. Kemudian dari nilai sisa ini akan
menjadikan nilai barang pada akhir perjanjian leasing, yang tertuang dalam
hak Opsi lessee terhadap barang7 Hak Opsi bagi lessee Hak opsi dikeluarkan
pada akhir perjanjian leasing, lessee mempunyai hak untuk menentukan
apakah dia ingin membeli barang tersebut dengan harga sebesar nilai sisa
ataukah mengembalikan kepada lessor8. Pihak yang terlibat dalam leasing Dua
pihak tersebut adalah lessor dan lessee

Pada perjanjian leasing, pihak yang menjadi lessor hanyalah


perusahaan-perusahaan yang mendapat izin dari Departemen Keuangan, dan
lessor dalam perjanjian leasing ini tidak bisa dilakukan perseorangan. Di
dalam syarat yang terakhir, yaitu pihak lessor hanya bisa dijalankan oleh
sebuah badan perusahaan yang telah mendapat izin dari Departemen
Keuangan, yang dimaksud dengan perusahaan Leasing disini adalah :

6
Husnan,Suad, Manajemen Keuangan, Teori dan Penerapan, Yogyakarta, BPFE, 1998 hal
7
Eddy P. Soekadi, Mekanisme Leasing, Ghalia Indonesia , jakarta timur, 1987 hal. 16
8
Marpaung Charles Dulles, Pemahaman mendasar atas usaha leasing, penerbit Integrita Press, 1985, hal 4
6
Perusahaan yang memberikan jasa dalam bentuk penyewaan
barangbarang modal atau alat-alat produksi dalam jangka waktu menengah
atau jangka panjang dimana pihak penyewa (lessee) harus membayar sejumlah
uang secara berkala yang terdiri dari nilai penyusutan suatu obyek Lease
ditambah dengan bunga, biaya-biaya lain serta profit yang diharapkan dari
lessor9 . Maka dengan memahami maksud dari perusahaan yang telah
menerima izin untuk melakukan usaha sewa dalam bentuk leasing, kita tahu
hanyalah barang modal ataupun alat-alat produksi yang bisa kita obyekan
dalam perjanjian leasing. Adapun leasing bisa diartikan sebagai sewa guna
usaha yang berarti : ³kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang
modal, baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun
sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh lessee
selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala10Dalam
prakteknya, sistem kerja dalam leasing ini hanya mengambil manfaat dari
barang yang disewa, dan dihargai dengan harga sewa dalam tiap bulannya
dalam pembayaran berjangka, yang jangka waktunya bisa ditentukan oleh para
pihak. Tapi dalam prakteknya jangka waktu dalam leasing ini tidak ada yang
kurang dari 1 (satu) tahun11 , karena pada hakekatnya lessee tidak akan
memperoleh banyak manfaat dari leasing ini disebabkan nilai sewa (rental)
yang masih tinggi. tetapi ketentuan jangka waktu dalam perjanjian leasing ini
tergantung dari para pihak. Jangka waktu perjanjian leasing ini pada dasarnya
cukup efektif katika diberlakukan dalam jangka waktu menengah ataupun
untuk jangka waktu yang panjang8 , karena kalau perjanjian

leasing ini dibuat kurang dari 1 (satu) tahun, maka akan menimbulkan
kesamaan dengan sistem operative lease, yang sebagian besar perjanjian
dibuat dalam jangka waktu 1 (satu) tahun. Pemerintah Republik Indonesia
pada tahun 1974 telah mengeluarkan surat Keputusan mengenai Leasing, dan
surat ini terbentuk berupa Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan,
Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.
Kep122/MK/IV/2/1974, 32/M/SK/2/1974, 30/Kpb/I/1974 tertanggal 7
Februari 1974. Yang dalam surat keputusan bersama ini mempunyai
pengertian;

9
Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991
10
Eddy P. Soekadi, op.cit hal. 17
11
Marpaung Charles Dulles, op.cit hal.1
7
pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang
modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu,
berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih
bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang
bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa
uang telah. Bisa diartikan maksud Surat Keputusan Bersama ini lebih
ditegaskan pada Obyek sebuah perjanjian leasing yaitu berupa barang-barang
modal, atau penggunaan dari barang modal tersebut

B. Dasar Hukum Leasing dalam Proktetif Islam


Hukum Islam atau syariah yang mengatur tentang interaksi manusia
disebut fiqh almu‟amalah. Fiqh al-mu‟amalah antara lain mengatur tentang
transaksi keuangan. Aturan syariah tentang transaksi keuangan bukan hanya
meliputi perbankan syariah yang biasa kita kenal, tetapi juga transaksi yang
biasanya dilakukan oleh lembaga-lembaga non bank, seperti multifinance
company, yang berupa transaksi leasing, hire purchase, juga berupa financial
market, pasar modal, asuransi, dan transaksi-transaksi keuangan lainnya.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (3) PBI No. 10/16/PBI/2008 tentang
Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan
Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah12 adalah sebagai berikut:

a. Prinsip Keadilan dan Keseimbangan (adl wa tawazun) Keadilan merupakan


konsep universal yang secara khusus berarti menempatkan sesuatu pada posisi
dan porsinya. Kata adil bukan dalam hal sama rata sama asa tetapi memiliki
makna tidak berbuat zalim kepada sesama manusia.13 Dengan kata lain,
maksud adil disini adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya (wadh‟u al-
sya-i‟ „ala makanih). Sebagaimana yang tertulis dalam QS. al-Maidah/5:8

Prinsip Kebaikan (Maslahah) Secara sederhana, maslahat bisa diartikan


dengan mengambil manfaat dan menolak kemudaratan atau sesuatu yang
mendatangkan kebaikan, keselamatan faedah atau guna. Prinsip kebaikan
adalah prinsip yang dapat mendatangkan manfaat kepada orang lain lebih
daripada hak orang tersebut dan menjadikan bisnis ini bukan hanya mengejar
materi tetapi juga bertujuan untuk kebaikan. Dalam ekonomi syariah prinsip

12
Republik Indonesia, “Peraturan Bank Indonesia No. 10 tahun 2008 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah
dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah”
13
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hlm 25
8
kebaikan meupakan elemen penting karena transaksitransaksi keuangan yang
diatur dalam hukum Islam tidak hanya berorientasi kepada keuntungan semata
yang sesungguhnya merupakan lebih kepada aspek dunia, tetapi juga aspek
ibadah.

Oleh karena itu, bisnis harus dapat memberikan keuntungan baik dengan
mitra bisnis maupun orang yang ada disekitar kita karena dalam Islam
mengajarkan bahwa berbisnis harus dilandasi dengan niat saling menebar
kebaikan. Apalagi Islam mengajarkan, bahwa sebaik-baiknya manusia adalah
manusia yang dapat memberikan manfaat kepada orang lain.14 Sama halnya
dengan prinsip keadilan tadi, penerapan prinsip kebaikan pada transaksi
leasing juga bergantung pada kesadaran lessor dan lessee. Karena prinsip
kebaikan ini hanya lessor dan lesse yang merasakannya

Prinsip Universalisme (Alamiyah) Alamiyah adalah dapat menerima latar


belakang dari kedua belah pihak yang melakukan transaksi keuangan
terkhusus pada perjanjian leasing ini. Perjanjian harusnya dilakukan tanpa
membedakan suku, agama, ras dan golongan, sesuai dengan semangat
kerahmatan semesta (rahmatan lil alamin)15 . Dalam transaksi leasing
penerapan prinsip universalisme sudah ada karena lessor maupun lessee tidak
membedakan baik dari suku maupun agama dan tidak ada aturan dalam
leasing terkait calon lessee misalnya hanya boleh dari suku tertentu. d. Prinsip
Kejujuran dan Kebenaran

1) Prinsip transaksi yang mengandung riba dilarang Riba adalah pengambilan


tambahan, baik itu dalam bentuk transaksi jual beli maupun hutang piutang
secara yang bertentangan dengan prinsip hukumIslam. Dasar hukum riba
terdapat dalam QS. al-Rum/30:39

Manusia yang melakukan transaksi lalu mengambil dan memakan lebih


banyak dari modal kemudian cara yang digunakan adalah mengeksploitasi
atau memanfaatkan kebutuhannya terlebih jika piha tersebut ternyata sedang
membutuhkan, inilah yang dimaksud dengan riba. Mereka hidup dalam
kegelisahan, tidak tentram jiwanya, selalu bingung, dan berada dalam
ketidakpastiaan, sebab pikiran dan hati mereka selalu tertuju pada materi dan

14
Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018) hlm. 6
15
Sutan Remy Sjahdeine, Perbankan Syariah Produk-produk dan Aspek-aspek Hukumya, (Jakarta:
Kencana, 2014) hlm. 130
9
penambahannya.

2) Prinsip transaksi yang mengandung gharar dilarang Gharar dapat diartikan


sebagai transaksi yang dapat menimbulkan salah satu pihak merasa dirugikan
karena adanya unsur ketidakjelasan dan ketidakpastian di dalam transaksi
tersebut. Dasar hukum gharar terdapat dalam QS. al-Nisa/4:29

Hakikat dari gharar adalah semua transaksi yang dapat memberikan


kerugikan kepada salah satu pihak karena mengandung unsur ketidakjelasan,
manipulasi dan eksploitasi informasi serta tidak adanya kepastian pelaksanaan
akad. Bentuk-bentuk gharar antara lain:

a) Tidak adanya kepastian penjual untuk menyerahkan objek akad pada


waktu terjadi akad, baik objek akad itu sudah ada maupun belum ada

b) Menjual sesuatu yang belum berada di bawah penguasaan penjual

c) Tidak adanya kepastian kriteria kualitas dan kuantitas barang/jasa

d) Tidak adanya kepastian jumlah harga yang harus dibayar dan alat
pembayaran

e) Tidak adanya ketegasan jenis dan objek akad

f) Kondisi objek akad tidak dapat dijamin kesesuaiannya dengan yang


ditentukan dalam transaksi Adanya unsur eksploitasi salah satu pihak karena
informasi yang kurang atau dimanipulasi dan ketidaktahuan atau ketidak
pahaman yang ditransaksikan.16

Dalam kegiatan bisnis mustahil untuk menghindari ketidakpastian


(uncertainly) apalagi zaman sekarang sudah banyak kegiatan transaksi
sehingga persaingan juga banyak. Untuk memperoleh keuntungan pengambian
risiko (risk-taking) merupakan kondisi yang harus dihadapai. Yang menjadi
masalahnya kemudian adalah sejauh mana ketidakpastian yang ada dalam
suatu transaksi sehingga mengakibatkan transaksi tersebut dapat digolongkan
dalam transaksi yang haram. Berangkat dari persoalan ini para ulama
membedakan antara gharar-e-kathir (ketidakpastian yang berlebihan) dan
gharar qalil (ketidakpastian yang nominal) dan memberikan penyataan bahwa
yang dilarang hanya transaksi-transaksi yang menimbulkan ketidakpastian
16
Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013)
hlm.102
10
yang berlebihan terkait dengan harga dan objek yang diperjanjikan di dalam
kontrak.19

3) Prinsip transaksi yang mengandung maysir dilarang Maysir adalah suatu


transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan
bersifat untung-untungan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat
untung-untungan. Dasar hukum maysir terdapat dalam QS. Al-Maidah/5:90.

Allah melarang hambanya yang beriman untuk meminum minuman yang


memabukkan, judi yang mengandung imbalan, dari kedua belah pihak, batu
yang digunakan oleh orang-orang sebagai tempat menyembelih hewan ternak
mereka untuk menghormatinya atau batu yang dipasang untuk disembah, dan
batang-batang kayu yang mereka gunakan untuk mengundi nasib mereka,
semua itu adalah perbuatan dosa yang dianjurkan oleh setan.

Maka jauhilah perbuatan itu agar kalian memperoleh kehidupan yang


mulia di dunia dan meraih kenikmatan di akhirat. Penerapan prinsip kejujuran
dan kebenaran pada transaksi leasing ini juga bergantung pada lessor dan
lesse, akan tetapi, mengenai gharar beberapa ulama membolehkan asal masih
termasuk gharar qalil (ketidakpastian yang nominal). e. Prinsip tertulis Prinsip
tertulis dilakukan sebagai upaya untuk menjadikan kontrak sebagai alat bukti
apabila terjadi persengketaan dikemudian hari.

Oleh karena itu, suatu perjanjian harusnya dilakukan secara tertulis hal
ini tentu sudah diatur dalam kontrak syariah. Dalam QS. al-Baqarah ayat 282
dapat dipahami bahwa Allah SWT menganjurkan kepada manusia agar suatu
perjanjian dilakukan secara tertulis, dihadiri para saksi dan diberi tanggung
jawab individu yang melakukan perjanjian dan menjadi saksi tersebut. Selain
itu dianjurkan pula jika suatu perjanjian dilaksanakan tidak secara tunai maka
dapat dipegang suatu benda sebagai jaminannya. Menurut Syamsul Anwar
(2010) adanya pernyataan bahwa sahnya suatu akad dalam perbankan adalah
harus didasari pada kesepakatan yang tertulis atau isi perjanjian transaksi
tersebut harusnya tertulis. Namun beliau menggaris bawahi bahwa pernyataan
kesepakatan tertulis disini adalah transaksi itu bersifat formalitas.

11
C. Jenis Jenis Leasing

1. Finance Lease
Finance lease adalah suatu bentuk pembiayaan dengan ciri-ciri sebagai
berikut: pertama, objek sewa guna atau barang modal yang dimiliki lessor dapat
berupa benda bergerak ataupun benda tidak bergerak yang memiliki umur
maksimum sama dengan masa kegunaan ekonomis barang tersebut. Kedua,
lessee berkewajiban melakukan pembayaran kepada lessor secara berkala
sesuai dengan jumlah dan jangka waktu yang telah di setujui. Ketiga, lessor
tidak dapat secara sepihak membatalkan kontrak atau mengakhiri masa kontrak
dalam jangka waktu perjanjian yang telah disetujui. Keempat, lessee pada akhir
masa kontrak memiliki hak/opsi beli untuk membeli objek sewa guna sesuai
dengan nilai sisa atau residual value.
2. Operating Lease
Operating lease adalah suatu bentuk pembiayaan dengan ciri ciri sebagai
berikut:
a. objek sewa guna digunkan oleh lessee dalam masa kontrak dengan
jangka waktu relatif pendek dari pada umur ekonomisnya;
b. jumlah seluruh pembayaran sewa secara berkala yang dilakukan oleh
lessee kepada lessor tidak mencakup jumlah biaya yang dikeluarkan
untuk memeroleh barang modal berikut dengan harganya karena pihak
lessor justru mengharapkan keuntungan dari penjualan barang setelah
berakhirnya masa kontrak;
c. risiko ekonomis dan biaya pemeliharaan barang modal yang mejadi
objek sewa guna ditanggung oleh pihak lessor;
d. barang modal yang menjadi objek sewa guna harus dikembalikan oleh
pihak lessee kepada pihak lessor pada akhir masa kontrak atau dapat
dikatakan bahwa pihak lessee tidak memiliki hak/opsi untuk membeli
objek sewa guna; dan
e. bersifat cancellable atau pihak lessee dapat secara sepihak membatalkan
perjanjian kontrak sewa guna sewaktu waktu.17
Allah melarang hambanya yang beriman untuk meminum minuman yang
memabukkan, judi yang mengandung imbalan, dari kedua belah pihak, batu

17
M. Narifin, Penganggaran Perusahaan, Edisi Revisi (Jakarta: Salemba Empat, 2004), h. 34
12
yang digunakan oleh orang-orang sebagai tempat menyembelih hewan ternak
mereka untuk menghormatinya atau batu yang dipasang untuk disembah, dan
batang-batang kayu yang mereka gunakan untuk mengundi nasib mereka,
semua itu adalah perbuatan dosa yang dianjurkan oleh setan.
Maka jauhilah perbuatan itu agar kalian memperoleh kehidupan yang
mulia di dunia dan meraih kenikmatan di akhirat. Penerapan prinsip kejujuran
dan kebenaran pada transaksi leasing ini juga bergantung pada lessor dan lesse,
akan tetapi, mengenai gharar beberapa ulama membolehkan asal masih
termasuk gharar qalil (ketidakpastian yang nominal).
Prinsip tertulis Prinsip tertulis dilakukan sebagai upaya untuk menjadikan
kontrak sebagai alat bukti apabila terjadi persengketaan dikemudian hari. Oleh
karena itu, suatu perjanjian harusnya dilakukan secara tertulis hal ini tentu
sudah diatur dalam kontrak syariah.
Dalam QS. al-Baqarah ayat 282 dapat dipahami bahwa Allah SWT
menganjurkan kepada manusia agar suatu perjanjian dilakukan secara tertulis,
dihadiri para saksi dan diberi tanggung jawab individu yang melakukan
perjanjian dan menjadi saksi tersebut. Selain itu dianjurkan pula jika suatu
perjanjian dilaksanakan tidak secara tunai maka dapat dipegang suatu benda
sebagai jaminannya. Menurut Syamsul Anwar (2010) adanya pernyataan bahwa
sahnya suatu akad dalam perbankan adalah harus didasari pada kesepakatan
yang tertulis atau isi perjanjian transaksi tersebut harusnya tertulis. Namun
beliau menggaris bawahi bahwa pernyataan kesepakatan tertulis disini adalah
transaksi itu bersifat formalitas.18

18
Muhammad Aswad, “Asas-asas Transaksi Kuangan Syariah”, Iqtishadia Volume 6 Nomor 2 (September
2013), hlm. 354
13
D. Sistem Oprasional Leasing
Usaha leasing syariah dilakukan berdasarkan akad ijarah dan akad al-
ijarah al- muntahiyah bi al-Tamlik.8 Akad ijarah adalah akad penyaluran dana
untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu
dengan pembayaran sewa (ujrah), antara perusahaan pembiayaan sebagai
pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta,jir) tanpa diikuti pengalihan
kepemilikan barang itu sendiri. Landasan syariah akad ini adalah Fatwa DSN-
MUI No.09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan ijarah.

Ijarah Muntahiyah Bittamlik adalah akad penyaluran dana untuk


pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu
dengan pembayaran sewa (ujrah), antara perusahaan pembiayaan sebagai
pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) disertai opsi pemindahan
hak milik atas barang tersebut kepada penyewa setelah selesai masa sewa.
Landasan syariah akad ini adalah fatwa DSN-MUI No.27/DSN-MUI/III/2002
tentang al ijarah al- Muntahiyah bi al-Tamlik atau al-ijarah wa al-Iqtina.

Dalam transaksi leasing terdiri atas tiga tahap, diantaranya tahap pra-
periode leasing, tahap periode leasing, dan tahap pasca periode leasing. Hal
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Tahap pra-periode leasing, tahap ini diawali dengan adanya kebutuhan


lessee (pihak yang menyewa/penyewa) yang membutuhkan barang modal
beserta pembiayaannya. Pihak lessee (penyewa) akan menghubungi dan
merundingkan kebutuhannya dengan calon supplier dan calon lessor
(penyedia dana/pemilik barang modal).

b. Tahap periode leasing, pada tahap ini lessor sebagai penyedia dana atau
pemilik barang modal memantau proses transaksi leasing untuk mengetahui
apakah lessee (penyewa) telah memenuhi segala kewajibannya sesuai dengan
perjanjian leasing yang telah dilakukan. Jika terjadi penyimpangan oleh lessee
dalam memenuhi segala kewajibannya, maka dapat mengakibatkan lessee
kehilangan haknya dan menanggung segala resiko yang ditimbulkannya.

c. Tahap pasca periode leasing, dimana pada tahap ini setelah lessee
memenuhi segala kewajibannya termasuk memenuhi seluruh pembiayaan

14
lessee kepada lessor, maka lessee dapat menggunakan hak pilih yang
diberikan kepadanya untuk membeli barang modal yang disewakan atau
memperpanjang perjanjian leasing.

Sistem pembiayaan yang sering dipergunakan dalam pembiayaan leasing


dapat dilihat dari jenis transaksinya, dimana secara garis besar dibagi menjadi
dua kategori, yakni finance lease dan operating lease. Adapun dapat
dijelaskan sebagaimana berikut ini:

a. Pembiayaan finance lease, yaitu pembiayaan yang dilakukan oleh lembaga


leasing dalam hal ini sebagai lessor adalah sebagai pihak yang membiayai
penyediaan barang modal.

b. Pembiayaan operating lease, yaitu pembiayaan yang dilakukan oleh lessor


dengan sengaja membeli barang modal dan kemudian di-lease-kan (disewa
guna usahakan). Berbeda dengan finance lease, dalam operating lease jumlah
seluruh pembayaran yang dilakukan secara angsuran tidak mencakup jumlah
biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh barang modal berikut dengan
bunganya.

Oleh karena dalam sistem leasing konvensional belum dapat terbebas dari
bunga, maka bank syari’ah memberikan pembiayaan sewa dan jual beli
dengan menggunakan istilah leasing syari’ah (Ijarah muntahiya bi al-Tamlik).
Ijarah muntahiya bi al-Tamlik adalah akad sewa menyewa antara pemilik
barang modal/objek sewa (lessor) dan penyewa (lessee) untuk mendapatkan
imbalan atas objek sewa yang disewakannya dengan opsi perpindahan hak
milik objek sewa kepada penyewa (lessee) pada waktu tertentu sesuai dengan
akad sewa. Selain itu, juga terdapat beberapa jenis Ijarah dalam sistem
pembiayaan, diantaranya:

a. Ijarah mutlaqah yaitu proses sewa-menyewa yang biasa ditemui dalam


kegiatan perekonomian sehari-hari.19

b. Bai` al-Takjiri adalah suatu kontrak sewa yang diakhiri dengan penjualan
atau kepemilikan barang. Dalam kontrak ini, pembayaran sewa
diperhitungkan sedemikian rupa dan pembelian barang dapat dilakukan

19
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Cet. IV, (Yogyakarta: Ekonosia, 2007), hal.73
15
dengan cara mengangsur (hire purchase).20

c. Musyarakah mutanaqisah merupakan kombinasi antara musyarakah dengan


ijarah. Musyarakah mutanaqisah adalah musyarakah atau syirkah yang
kepemilikan asset (barang) atau modal dari salah satu pihak (pemilik
barang modal/lessor) berkurang disebabkan pembelian secara bertahap
oleh pihak lainnya (Penyewa/lessee).21

E. Mekanisme Pengajuan Leasing

Menurut Triandaru dan Budisantoso (2006), pada perjanjian leasing


terdapat prosedur dan mekanisme yang harus dijalankan yang secara garis besar
dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Lessee menghubungi pemasok untuk pemilihan dan penentuan jenis barang,


spesifikasi, harga, jangka waktu penagihan, dan jaminan purna jual atas
barang yang akan disewa.
2. Lessee melakukan negosiasi dengan lessor mengenai kebutuhan pembiayaan
barang modal. Dalam hal ini, lessee dapat meminta lease quotation yang
tidak mengikat dari lessor.
3. Lessor mengirimkan letter of offer atau commitment letter kepada lessee
yang berisi syarat-syarat pokok persetujuan lessor untuk membiayai barang
modal yang dibutuhkan lessee menandatangani dan mengembalikannya
kepada lessor.
4. Penandatanganan kontrak leasing setelah semua persyaratan dipenuhi lesse
dimana kontrak tersebut mencakup hal-hal seperti; pihak-pihak yang terlibat,
hak milik, jangka waktu, jasa leasing, opsi bagi lessee, penutupan asuransi,
tanggung jawab atas objek leasing, perpajakan jadwal pembayaran angsuran
sewa dan sebagainya.
5. Pengiriman order beli kepada pemasok disertai instruksi pengiriman barang
kepada lessee sesuai dengan tipe dan spesifikasi barang yang disetujui.
6. Pengiriman barang dan pengecekan barang oleh lessee sesuai pesanan serta
menandatangani surat tanda terima perintah bayar yang selanjutnya
diserahkan kepada pemasok.

20
Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hal. 36
21
Fatwa DSN-MUI No. 73/DSN-MUI/IX/2008 tentang Musyarakah Mutanaqishah, hal. 4
16
7. Penyerahan dokumen oleh pemasok kepada lessor termasuk faktur dan
bukti-bukti kepemilikan barang lainnya.
8. Pembayaran oleh lessor kepada pemasok.
9. Pembayaran sewa (lease payment) secara berkala oleh lessee kepada lessor
selama masa leasing yang seluruhnya mencakup pengembalian yang dibiayai
serta bunganya

17
BAB III
KESIMPULAN
Perusahaan leasing atau sewa guna usaha, kegiatan usahanya bergerak dibidang
pembiayaan untuk keperluan nasabah. Pembiayaan disini artinya jika nasabah
membutuhkan barang modal dengan cara disewa atau dibeli secara kredit, maka pihak
leasing dapat membiayai keinginan nasabah sesuai dengan perjanjian.
Dengan mengkaji tentang fakta leasing menurut kaca mata syariah terdapat
beberapa hal penting yaitu: Pertama, dalam transaksi leasing terjadi dua transksi atau akad
dalam satu transaksi yaitu transaksi sewa-menyewa (ijarah) dan transaksi jual beli (bay’).
Kedua, transaksi pemindahan kepemilikan (misalnya kendaraan) dalam bentuk jual beli,
hibah atau hadiah disandarkan pada syarat dan waktu yang akan datang. Ketiga, selama
jangka waktu leasing sampai angsuran lunas, dianggap yang berlaku adalah akad sewa
(ijarah). Keempat, adanya denda jika terlambat membayar angsuran. Denda tersebut
merupakan tambahan pembayaran atas hutang yang diberikan yang merupakan riba
nasiah. Kelima, praktek penarikan barang (kendaraan) ketika lessee tidak mampu
membayar, tidak sesuai ketentuan UU tentang jaminan fidusia.
Keenam, status uang muka yang dibayar nasabah semakin menegaskan terjadinya
dua transansi dalam satu akad. Ketujuh, lessor menyewakan dan mengalihkan
kepemilikan (kendaraan) sebelum memilikinya. Maka dilihat dari fakta-fakta yang ada,
akad leasing (konvensional) tersebut batil.

18
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press,
2001), hal. 36
Fatwa DSN-MUI No. 73/DSN-MUI/IX/2008 tentang Musyarakah Mutanaqishah, hal. 4
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Cet. IV, (Yogyakarta: Ekonosia,
2007), hal.73
Muhammad Aswad, “Asas-asas Transaksi Kuangan Syariah”, Iqtishadia Volume 6
Nomor 2 (September 2013), hlm. 354
M. Narifin, Penganggaran Perusahaan, Edisi Revisi (Jakarta: Salemba Empat, 2004), h. 34
Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2013) hlm.102
Abdul Manan, Islamic Economic, Theory and Practice, terj. M. Nastangin (Yogyakarta:
Dana Bhakti Wakaf, 1997), h. 113.
Sulaiman Al Jamal, Jamal, Jilid XIII (Lebanon: Darul Fikr, 1971), h. 2
Yahya Zakaria Anshari, Fathul Wahab (Lebanon: Darul Fikr, 1971), h. 107

19

Anda mungkin juga menyukai