DAN KONVENSIONAL
Makalah ini disusun guna melengkapi tugas kelompok pada mata kuliah Islam dan
EkonomiPembangunan
Disusun oleh:
Kelompok 7
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji
syukur kami panjatkan kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah , dan
inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan tugas makalah yang
berjudul konsep dan praktik leasing baik presepektif syariah dan konvensional dalam
matakuliah bank dan lks.
Tulisan ini dapat kami selesaikan berkat adanya bimbingan dan bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, sudah seharusnya pada kesempatan ini kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa tulisan ini tidak luput dari kekurangan. Hal ini
disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang kami miliki. Oleh
karena itu, semua kritik dan saran akan penulis terima dengan senang hati demi
perbaikan makalah lebih lanjut.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
B. D a s a r H u k um L e as i n g ………………………..................... 8
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
` Persoalan praktik leasing dalam kegiatan ekonomi di Indonesia yang
berkembang dewasa ini merupakan persoalan yang pelik dan rumit. Sebab
munculnya sebagai salah satu praktik muamalah yang melibatkan sejumlah
pihak pada mulanya dikenal terlebih dahulu oleh dunia Barat dan tidak
ditemukan pembahasannya secara khusus dalam kitab-kitab klasik dan fatwa
ulama. Untuk sebagian umat Islam, masalah leasing masih merupakan suatu hal
yang membingungkan sehingga untuk menemukan dasar hukum leasing dalam
Islam, ulama dituntut untuk berusaha menggalinya sendiri dengan berdasarkan
pada maqasid asy syar’iyah, sebagaimana dipahami dari al-Qur’an dan hadis.
Dalam Islam, sewa menyewa dikenal dengan istilah iwadl yang berarti
ganti. Menurut pengertian syara-nya ijarah adalah suatu jenis akad untuk
mengambil manfaat dengan jalan penggantian.1 Meski para ulama berselisih
paham mengenai hakikat diperbolehkan ada tidaknya sewa menyewa barang
tertentu, namun sejarah Islam mencatat bahwa praktik ini telah terjadi sejak
awal datangnya Islam dan terus berlangsung selama pemerintahan khulafaur
rasyidin hingga pemerintahan-pemerintahan sesudahnya.
1
Yahya Zakaria Anshari, Fathul Wahab (Lebanon: Darul Fikr, 1971), h. 107
1
Konsep sewa yang demikian ini telah berkembang tidak hanya karena
langkah Umar bin Khattab yang melarang pembelian tanah oleh kaum Muslimin
di wilayah taklukan, tetapi juga oleh dihentikannya praktik distribusi tanah
taklukan di kalangan kaum Muslimin dan hanya mengizinkan kepada penggarap
tanah asli untuk membudidayakan tanah mereka berdasarkan pembayaran
kharaj dan jizyah.2 Terlepas dari berbagai konsep para pendahulu mengenai
kegiatan sewa menyewa, namun pada kenyataannya konsep-konsep dasar
tersebut tetap masih banyak digunakan oleh para ekonom masa sekarang dengan
bentuk kegiatan transaksi yang beraneka ragam. Di antara transaksi modern
yang memiliki kesamaan dalam beberapa aspek dengan kegiatan sewa menyewa
dalam term hukum Islam tersebut adalah transaksi perjanjian leasing
Adanya praktik al-ijarah dalam Islam inilah yang dapat dijadikan pijakan
dan landasan teoritis prinsip-prinsip dasar bagi transaksi leasing di Indonesia
karena isi dan substansi keduanya terdapat persamaan. Meski demikian, dalam
praktiknya transaksi leasing sering tidak mencerminkan sebagai bentuk praktik
al-ijarah sebagaimana mestinya. Hal ini dapat dilihat dari adanya option right
2
Abdul Manan, Islamic Economic, Theory and Practice, terj. M. Nastangin (Yogyakarta: Dana Bhakti
Wakaf, 1997), h. 113.
3
Sulaiman Al Jamal, Jamal, Jilid XIII (Lebanon: Darul Fikr, 1971), h. 2
2
atau hak pilih bagi penyewa untuk membeli barang (buy decision) dalam
leasing4 sehingga lebih mendekatkannya dengan bentuk jual beli cicilan. Di
samping itu, kewajiban memikul risiko bersama-sama antara pemilik
4
John. D. Martin, et.al., Dasar-Dasar Manajemen Keuangan, terj. Haris Munandar (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1994), h. 217
3
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan Definisi Leasing?
2. Jelaskan Dasar Hukum Leasing dalam Perspektif Syari’ah?
3. Sebutkan Jenis Jenis Leasing?
4. Jelaskan System Operasional Leasing?
5. Jelaskan Mekanisme Pengajuan Leasing?
6. Bagaimana Perkembangan Leasing di Indonesia?
C. Tujuan
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Leasing
Sebenarnya leasing berasal dari kata lease yang dimaksud dalam hal ini
adalah sewa atau biasanya dipakai dalam masyarakat adalah sewa menyewa.
Istilah ini mungkin sering kita dengan dari sekitar kita, tentang peruntukan bagi
orang yang ingin menyewakan rumahnya atau gedung. Atau kita sering
melihatnya di koran-koran harian yang dipakai untuk menyewakan leasing
dalam hal ini adalah sebuah penyewaan, tetapi ketika kita telah masuk pada
ranah bisnis usaha leasing, yang akan dibicarakan dalam leasing adalah hal yang
ada dan mempunyai unsur sewa, namun karena didalam usaha leasing ini
terdapat beberapa persyaratan tersendiri, maka leasing disini tidak bisa
disamakan dengan sewa-menyewa pada umumnya. Sebelum kita masuk lebih
dalam tentang perjanjian leasing, kita harus mengetahui pihak-pihak yang
terkait dan terikat dalam pengadaan perjanjian
leasing, pada dasarnya pihak yang terkait dalam leasing tidak jauh
berbeda dengan pihak dalam perjanjian sewa lainnya5 :
1. Lessor , disini lessor adalah mutlak dari sebuah perusahaan pembiayaan yang
telah diberi izin dari departemen keuangan untuk melakukan pembiayaan
seperti membiayai para nasabahnya untuk memenuhi kebutuhan barang
modalnya.
5
World Leasing Year Book 1986, Hawkins Publisher Ltd., pg 15
5
Asuransi, disini perusahaan asuransi hanya bertindak menanggung akibat
dari perjanjian leasing, dalam hal ini lessee bisa dikenakan biaya asuransi bila
terjadi sesuatu terhadap barang leasing. Adapun beberapa persyaratan serta
ciri-ciri yang membedakan leasing dengan sewa-menyewa pada umumnya
antara lain :
2. Pembayaran secara berkala dalam jangka waktu yang telah ditentukan oleh
para pihak. Dalam sewa-menyewa biasanya dilakukan cara pembayarannya
sekali untuk satu kali perjanjian, ataupun dibayar dan berlaku untuk waktu
tertentu, berbeda dengan leasing disini pembayarannya
dilakukan secara berkala dan bisa dilakukan setiap bulan, setiap empat
bulan, ataupun setiap setengah tahun sekali, sesuai perjanjian.4 3. Nilai sisa
atau Residual value Yang membedakan dalam perjanjian leasing ini adalah
adanya dan ditentukannya nilai sisa atau residual value, yang nanti nilai sisa
ini akan dihitung pada setiap tahunnya (sesuai perjanjian) dan nanti akan
dikurangkan dari harga barang awalnya. Kemudian dari nilai sisa ini akan
menjadikan nilai barang pada akhir perjanjian leasing, yang tertuang dalam
hak Opsi lessee terhadap barang7 Hak Opsi bagi lessee Hak opsi dikeluarkan
pada akhir perjanjian leasing, lessee mempunyai hak untuk menentukan
apakah dia ingin membeli barang tersebut dengan harga sebesar nilai sisa
ataukah mengembalikan kepada lessor8. Pihak yang terlibat dalam leasing Dua
pihak tersebut adalah lessor dan lessee
6
Husnan,Suad, Manajemen Keuangan, Teori dan Penerapan, Yogyakarta, BPFE, 1998 hal
7
Eddy P. Soekadi, Mekanisme Leasing, Ghalia Indonesia , jakarta timur, 1987 hal. 16
8
Marpaung Charles Dulles, Pemahaman mendasar atas usaha leasing, penerbit Integrita Press, 1985, hal 4
6
Perusahaan yang memberikan jasa dalam bentuk penyewaan
barangbarang modal atau alat-alat produksi dalam jangka waktu menengah
atau jangka panjang dimana pihak penyewa (lessee) harus membayar sejumlah
uang secara berkala yang terdiri dari nilai penyusutan suatu obyek Lease
ditambah dengan bunga, biaya-biaya lain serta profit yang diharapkan dari
lessor9 . Maka dengan memahami maksud dari perusahaan yang telah
menerima izin untuk melakukan usaha sewa dalam bentuk leasing, kita tahu
hanyalah barang modal ataupun alat-alat produksi yang bisa kita obyekan
dalam perjanjian leasing. Adapun leasing bisa diartikan sebagai sewa guna
usaha yang berarti : ³kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang
modal, baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun
sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh lessee
selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala10Dalam
prakteknya, sistem kerja dalam leasing ini hanya mengambil manfaat dari
barang yang disewa, dan dihargai dengan harga sewa dalam tiap bulannya
dalam pembayaran berjangka, yang jangka waktunya bisa ditentukan oleh para
pihak. Tapi dalam prakteknya jangka waktu dalam leasing ini tidak ada yang
kurang dari 1 (satu) tahun11 , karena pada hakekatnya lessee tidak akan
memperoleh banyak manfaat dari leasing ini disebabkan nilai sewa (rental)
yang masih tinggi. tetapi ketentuan jangka waktu dalam perjanjian leasing ini
tergantung dari para pihak. Jangka waktu perjanjian leasing ini pada dasarnya
cukup efektif katika diberlakukan dalam jangka waktu menengah ataupun
untuk jangka waktu yang panjang8 , karena kalau perjanjian
leasing ini dibuat kurang dari 1 (satu) tahun, maka akan menimbulkan
kesamaan dengan sistem operative lease, yang sebagian besar perjanjian
dibuat dalam jangka waktu 1 (satu) tahun. Pemerintah Republik Indonesia
pada tahun 1974 telah mengeluarkan surat Keputusan mengenai Leasing, dan
surat ini terbentuk berupa Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan,
Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.
Kep122/MK/IV/2/1974, 32/M/SK/2/1974, 30/Kpb/I/1974 tertanggal 7
Februari 1974. Yang dalam surat keputusan bersama ini mempunyai
pengertian;
9
Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991
10
Eddy P. Soekadi, op.cit hal. 17
11
Marpaung Charles Dulles, op.cit hal.1
7
pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang
modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu,
berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih
bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang
bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa
uang telah. Bisa diartikan maksud Surat Keputusan Bersama ini lebih
ditegaskan pada Obyek sebuah perjanjian leasing yaitu berupa barang-barang
modal, atau penggunaan dari barang modal tersebut
12
Republik Indonesia, “Peraturan Bank Indonesia No. 10 tahun 2008 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah
dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah”
13
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hlm 25
8
kebaikan meupakan elemen penting karena transaksitransaksi keuangan yang
diatur dalam hukum Islam tidak hanya berorientasi kepada keuntungan semata
yang sesungguhnya merupakan lebih kepada aspek dunia, tetapi juga aspek
ibadah.
Oleh karena itu, bisnis harus dapat memberikan keuntungan baik dengan
mitra bisnis maupun orang yang ada disekitar kita karena dalam Islam
mengajarkan bahwa berbisnis harus dilandasi dengan niat saling menebar
kebaikan. Apalagi Islam mengajarkan, bahwa sebaik-baiknya manusia adalah
manusia yang dapat memberikan manfaat kepada orang lain.14 Sama halnya
dengan prinsip keadilan tadi, penerapan prinsip kebaikan pada transaksi
leasing juga bergantung pada kesadaran lessor dan lessee. Karena prinsip
kebaikan ini hanya lessor dan lesse yang merasakannya
14
Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018) hlm. 6
15
Sutan Remy Sjahdeine, Perbankan Syariah Produk-produk dan Aspek-aspek Hukumya, (Jakarta:
Kencana, 2014) hlm. 130
9
penambahannya.
d) Tidak adanya kepastian jumlah harga yang harus dibayar dan alat
pembayaran
Oleh karena itu, suatu perjanjian harusnya dilakukan secara tertulis hal
ini tentu sudah diatur dalam kontrak syariah. Dalam QS. al-Baqarah ayat 282
dapat dipahami bahwa Allah SWT menganjurkan kepada manusia agar suatu
perjanjian dilakukan secara tertulis, dihadiri para saksi dan diberi tanggung
jawab individu yang melakukan perjanjian dan menjadi saksi tersebut. Selain
itu dianjurkan pula jika suatu perjanjian dilaksanakan tidak secara tunai maka
dapat dipegang suatu benda sebagai jaminannya. Menurut Syamsul Anwar
(2010) adanya pernyataan bahwa sahnya suatu akad dalam perbankan adalah
harus didasari pada kesepakatan yang tertulis atau isi perjanjian transaksi
tersebut harusnya tertulis. Namun beliau menggaris bawahi bahwa pernyataan
kesepakatan tertulis disini adalah transaksi itu bersifat formalitas.
11
C. Jenis Jenis Leasing
1. Finance Lease
Finance lease adalah suatu bentuk pembiayaan dengan ciri-ciri sebagai
berikut: pertama, objek sewa guna atau barang modal yang dimiliki lessor dapat
berupa benda bergerak ataupun benda tidak bergerak yang memiliki umur
maksimum sama dengan masa kegunaan ekonomis barang tersebut. Kedua,
lessee berkewajiban melakukan pembayaran kepada lessor secara berkala
sesuai dengan jumlah dan jangka waktu yang telah di setujui. Ketiga, lessor
tidak dapat secara sepihak membatalkan kontrak atau mengakhiri masa kontrak
dalam jangka waktu perjanjian yang telah disetujui. Keempat, lessee pada akhir
masa kontrak memiliki hak/opsi beli untuk membeli objek sewa guna sesuai
dengan nilai sisa atau residual value.
2. Operating Lease
Operating lease adalah suatu bentuk pembiayaan dengan ciri ciri sebagai
berikut:
a. objek sewa guna digunkan oleh lessee dalam masa kontrak dengan
jangka waktu relatif pendek dari pada umur ekonomisnya;
b. jumlah seluruh pembayaran sewa secara berkala yang dilakukan oleh
lessee kepada lessor tidak mencakup jumlah biaya yang dikeluarkan
untuk memeroleh barang modal berikut dengan harganya karena pihak
lessor justru mengharapkan keuntungan dari penjualan barang setelah
berakhirnya masa kontrak;
c. risiko ekonomis dan biaya pemeliharaan barang modal yang mejadi
objek sewa guna ditanggung oleh pihak lessor;
d. barang modal yang menjadi objek sewa guna harus dikembalikan oleh
pihak lessee kepada pihak lessor pada akhir masa kontrak atau dapat
dikatakan bahwa pihak lessee tidak memiliki hak/opsi untuk membeli
objek sewa guna; dan
e. bersifat cancellable atau pihak lessee dapat secara sepihak membatalkan
perjanjian kontrak sewa guna sewaktu waktu.17
Allah melarang hambanya yang beriman untuk meminum minuman yang
memabukkan, judi yang mengandung imbalan, dari kedua belah pihak, batu
17
M. Narifin, Penganggaran Perusahaan, Edisi Revisi (Jakarta: Salemba Empat, 2004), h. 34
12
yang digunakan oleh orang-orang sebagai tempat menyembelih hewan ternak
mereka untuk menghormatinya atau batu yang dipasang untuk disembah, dan
batang-batang kayu yang mereka gunakan untuk mengundi nasib mereka,
semua itu adalah perbuatan dosa yang dianjurkan oleh setan.
Maka jauhilah perbuatan itu agar kalian memperoleh kehidupan yang
mulia di dunia dan meraih kenikmatan di akhirat. Penerapan prinsip kejujuran
dan kebenaran pada transaksi leasing ini juga bergantung pada lessor dan lesse,
akan tetapi, mengenai gharar beberapa ulama membolehkan asal masih
termasuk gharar qalil (ketidakpastian yang nominal).
Prinsip tertulis Prinsip tertulis dilakukan sebagai upaya untuk menjadikan
kontrak sebagai alat bukti apabila terjadi persengketaan dikemudian hari. Oleh
karena itu, suatu perjanjian harusnya dilakukan secara tertulis hal ini tentu
sudah diatur dalam kontrak syariah.
Dalam QS. al-Baqarah ayat 282 dapat dipahami bahwa Allah SWT
menganjurkan kepada manusia agar suatu perjanjian dilakukan secara tertulis,
dihadiri para saksi dan diberi tanggung jawab individu yang melakukan
perjanjian dan menjadi saksi tersebut. Selain itu dianjurkan pula jika suatu
perjanjian dilaksanakan tidak secara tunai maka dapat dipegang suatu benda
sebagai jaminannya. Menurut Syamsul Anwar (2010) adanya pernyataan bahwa
sahnya suatu akad dalam perbankan adalah harus didasari pada kesepakatan
yang tertulis atau isi perjanjian transaksi tersebut harusnya tertulis. Namun
beliau menggaris bawahi bahwa pernyataan kesepakatan tertulis disini adalah
transaksi itu bersifat formalitas.18
18
Muhammad Aswad, “Asas-asas Transaksi Kuangan Syariah”, Iqtishadia Volume 6 Nomor 2 (September
2013), hlm. 354
13
D. Sistem Oprasional Leasing
Usaha leasing syariah dilakukan berdasarkan akad ijarah dan akad al-
ijarah al- muntahiyah bi al-Tamlik.8 Akad ijarah adalah akad penyaluran dana
untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu
dengan pembayaran sewa (ujrah), antara perusahaan pembiayaan sebagai
pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta,jir) tanpa diikuti pengalihan
kepemilikan barang itu sendiri. Landasan syariah akad ini adalah Fatwa DSN-
MUI No.09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan ijarah.
Dalam transaksi leasing terdiri atas tiga tahap, diantaranya tahap pra-
periode leasing, tahap periode leasing, dan tahap pasca periode leasing. Hal
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
b. Tahap periode leasing, pada tahap ini lessor sebagai penyedia dana atau
pemilik barang modal memantau proses transaksi leasing untuk mengetahui
apakah lessee (penyewa) telah memenuhi segala kewajibannya sesuai dengan
perjanjian leasing yang telah dilakukan. Jika terjadi penyimpangan oleh lessee
dalam memenuhi segala kewajibannya, maka dapat mengakibatkan lessee
kehilangan haknya dan menanggung segala resiko yang ditimbulkannya.
c. Tahap pasca periode leasing, dimana pada tahap ini setelah lessee
memenuhi segala kewajibannya termasuk memenuhi seluruh pembiayaan
14
lessee kepada lessor, maka lessee dapat menggunakan hak pilih yang
diberikan kepadanya untuk membeli barang modal yang disewakan atau
memperpanjang perjanjian leasing.
Oleh karena dalam sistem leasing konvensional belum dapat terbebas dari
bunga, maka bank syari’ah memberikan pembiayaan sewa dan jual beli
dengan menggunakan istilah leasing syari’ah (Ijarah muntahiya bi al-Tamlik).
Ijarah muntahiya bi al-Tamlik adalah akad sewa menyewa antara pemilik
barang modal/objek sewa (lessor) dan penyewa (lessee) untuk mendapatkan
imbalan atas objek sewa yang disewakannya dengan opsi perpindahan hak
milik objek sewa kepada penyewa (lessee) pada waktu tertentu sesuai dengan
akad sewa. Selain itu, juga terdapat beberapa jenis Ijarah dalam sistem
pembiayaan, diantaranya:
b. Bai` al-Takjiri adalah suatu kontrak sewa yang diakhiri dengan penjualan
atau kepemilikan barang. Dalam kontrak ini, pembayaran sewa
diperhitungkan sedemikian rupa dan pembelian barang dapat dilakukan
19
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Cet. IV, (Yogyakarta: Ekonosia, 2007), hal.73
15
dengan cara mengangsur (hire purchase).20
20
Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hal. 36
21
Fatwa DSN-MUI No. 73/DSN-MUI/IX/2008 tentang Musyarakah Mutanaqishah, hal. 4
16
7. Penyerahan dokumen oleh pemasok kepada lessor termasuk faktur dan
bukti-bukti kepemilikan barang lainnya.
8. Pembayaran oleh lessor kepada pemasok.
9. Pembayaran sewa (lease payment) secara berkala oleh lessee kepada lessor
selama masa leasing yang seluruhnya mencakup pengembalian yang dibiayai
serta bunganya
Seperti apa yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa para pihak dalam
perjanjian leasing adalah lessor, lessee, supplier ,dan asuransi. Tapi dalam
penjelasan mekanisme leasing ini, hanya akan dipergunakan 3 pihak saja tanpa
pihak asuransi. Seperti yang kita ketahui sebelumnya, lessor hanyalah pemilik
barang secara hukum, sedangkan lessee adalah pihak yang memperoleh manfaat
secara ekonomis atas sebuah barang modal yang diperjanjikan dalam perjanjian
leasing. Dan supplier penyedia kebutuhan barang modal yang ditentukan dalam
perjanjian leasing.
Dan dalam hal ini, mekanisme yang dipelajari adalah mekanisme yang
terjadi dalam Leasing finansial, yang lebih merepresentasikan dari arti perjanjian
leasing, dengan cara pembiayaan, atau lebih dikenal dengan sewa guna usaha.
Dalam hal ini kita mencoba memahami tahapan-tahapan dalam pelaksanaan
usaha leasing dalam kenyataannya :
17
Lessee disini bukanlah sebagai pemilik barang, tapi lessee adalah pihak yang
nantinya menyewa barang yang dimiliki lessor untuk digunakan dalam modal
usaha berupa barang, yang nantinya tertuang dalam perjanjian leasing.
Selanjutnya setelah barang di tangan lessee segala resiko dan perawatan,
asuransi, dan hal-hal lainnya telah menjadi tanggung jawab lessee.
Setelah barang modal dimiliki oleh lessor, maka langkah selanjutnya adalah
perjanjian Leasing antara lessor dan lessee. Yaitu kontrak yang dilakukan lessor
dan lessee sebagai landasan hukum atas perjanjian leasing yang telah disepakati
bersama. Jadi dalam hal ini telah terjadi 2 perjanjian yang dilakukan lessor, yaitu
perjanjian jual beli dengan supplier, dan selanjutnya perjanjian leasing dengan
lessee.
Pada hal sebelumnya, harga barang modal yang telah disepakati antara
lessee dan supplier dan telah disepakati, itulah harga yang nantinya akan dibayar
oleh lessor kepada supplier sebagai penyedia pembiayaan atas modal barang
yang dibutuhkan lessee.
Dalam perjanjian leasing ini, para pihak baik lessor maupun lessee akan
menentukan pembayaran rental atas barang modal yang telah dibiayai oleh
lessor. Pembayaran ini dilakukan berdasarkan bulanan, perempat bulan, ataupun
pertengah tahunan atas penggunaan barang selama masa perjanjian leasing.
Didalam perjanjian leasing antara lessor dan lessee, harus ditentukan besaran
nilai sisa (residual Value) akan barang modal usaha tersebut.
Dalam menentukan jangka waktu leasing , biasanya para pihak tidak asal
dalam menentukan jangka waktu leasing, para pihak mempunyai pertimbangan
dalam menentukan jangka waktu. Pertimbangan yang dilakukan untuk
18
menentukan jangka waktu perjanjian leasing biasanya ditentukan dengan
mengacu pada hal10 :
Dan hal yang paling membedakan adalah dalam ketentuan nilai sisa (residual
value), yang dimana berdasar nilai sisa yang telah disetujui bersama dalam
perjanjian leasing, (biasanya nilai sisa minimal adalah 10% dari harga barang)
maka lessee diberikan/mempunyai hak untuk memilih (opsi) antara membeli
barang tersebut, atau mengembalikannya pada lessor.
19
BAB III
KESIMPULAN
Perusahaan leasing atau sewa guna usaha, kegiatan usahanya bergerak dibidang
pembiayaan untuk keperluan nasabah. Pembiayaan disini artinya jika nasabah
membutuhkan barang modal dengan cara disewa atau dibeli secara kredit, maka pihak
leasing dapat membiayai keinginan nasabah sesuai dengan perjanjian.
Dengan mengkaji tentang fakta leasing menurut kaca mata syariah terdapat
beberapa hal penting yaitu: Pertama, dalam transaksi leasing terjadi dua transksi atau akad
dalam satu transaksi yaitu transaksi sewa-menyewa (ijarah) dan transaksi jual beli (bay’).
Kedua, transaksi pemindahan kepemilikan (misalnya kendaraan) dalam bentuk jual beli,
hibah atau hadiah disandarkan pada syarat dan waktu yang akan datang. Ketiga, selama
jangka waktu leasing sampai angsuran lunas, dianggap yang berlaku adalah akad sewa
(ijarah). Keempat, adanya denda jika terlambat membayar angsuran. Denda tersebut
merupakan tambahan pembayaran atas hutang yang diberikan yang merupakan riba
nasiah. Kelima, praktek penarikan barang (kendaraan) ketika lessee tidak mampu
membayar, tidak sesuai ketentuan UU tentang jaminan fidusia.
Keenam, status uang muka yang dibayar nasabah semakin menegaskan terjadinya
dua transansi dalam satu akad. Ketujuh, lessor menyewakan dan mengalihkan
kepemilikan (kendaraan) sebelum memilikinya. Maka dilihat dari fakta-fakta yang ada,
akad leasing (konvensional) tersebut batil.
20
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press,
2001), hal. 36
Fatwa DSN-MUI No. 73/DSN-MUI/IX/2008 tentang Musyarakah Mutanaqishah, hal. 4
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Cet. IV, (Yogyakarta: Ekonosia,
2007), hal.73
Muhammad Aswad, “Asas-asas Transaksi Kuangan Syariah”, Iqtishadia Volume 6
Nomor 2 (September 2013), hlm. 354
M. Narifin, Penganggaran Perusahaan, Edisi Revisi (Jakarta: Salemba Empat, 2004), h. 34
Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2013) hlm.102
Abdul Manan, Islamic Economic, Theory and Practice, terj. M. Nastangin (Yogyakarta:
Dana Bhakti Wakaf, 1997), h. 113.
Sulaiman Al Jamal, Jamal, Jilid XIII (Lebanon: Darul Fikr, 1971), h. 2
Yahya Zakaria Anshari, Fathul Wahab (Lebanon: Darul Fikr, 1971), h. 107
21