Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu bentuk kegiatan manusia dalam lapangan muamalah adalah
Ijarah. Ijarah sering disebut dengan “upah” atau “imbalan”. Kalau sekiranya kitab-
kitab fiqih sering menerjemahkan kata Ijarah dengan “sewa menyewa”, maka hal
tersebut janganlah diartikan menyewa sesuatu barang untuk diambil manfaatnya
saja, tetapi harus dipahami dalam arti yang luas.
Ijarah merupakan menjual manfaat yang dilakukan oleh seseorang dengan
orang lain dengan menggunakan ketentuan syari’at Islam. Kegiatan ijarah ini
tidak dapat dilepaskan dari kehidupan kita sehari-hari baik di lingkungan keluarga
maupun masyarakat sekitar kita. Bila dilihat uraian di atas, rasanya mustahil
manusia bisa hidup berkecukupan tanpa hidup berijarah dengan manusia lain.
Karena itu, dikatakan bahwa pada dasarnya ijarah itu adalah salah satu bentuk
aktifitas antara dua pihak yang berakad guna meringankan salah satu pihak atau
saling meringankan ,serta termasuk salah satu bentuk tolong menolong yang
diajarkan agama. Ijarah merupakan salah satu jalan untuk memenuhi hajat
manusia. Oleh sebab itu, para ulama menilai bahwa ijarah merupakan suatu hal
yang boleh dan bahkan kadang-kadang perlu dilakukan.
Sebagai transaksi umum, maka ijarah memiliki aturan-aturan tertentu.
Kebanyakan para pelaku ijarah saat ini melakukan transaksi ini hanya berdasarkan
kebiasaan saja, tanpa tahu dasar hukum dan aturan-aturan yang berlaku. Oleh
sebab itu kita harus mengetahui apa pengertian dari ijarah yang sebenarnya, rukun
dan syarat ijarah, dasar hukum ijarah, dan lain sebagainya mengenai ijarah.
Karena begitu pentingnya masalah tersebut maka permasalahan ini akan
dijelaskan dalam pembahasan makalah ini.Ijarah berarti sewa, jasa atau imbalan,
yaitu akad yang dilakukan atas dasar suatu manfaat dengan imbalan jasa.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari ijarah?
2. Apa dasar hukum ijarah?

Page | 1
3. Bagaimana rukun dan syarat ijarah?
4. Apa macam-macam ijarah?
5. Bagaimana upah untuk jasa yang berkaitan dengan ibadah?
6. Bagaimana memahami tentang jenis-jenis sewa menyewa dan upah
(ijarah) yang berlaku dalam masyarakat?
7. Bagaiamana aplikasi ijarah dalam Lembaga Keuangan Syari’ah
(LKS)?
8. Bagaimana pembatalan dan berakhirnya ijarah?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian dari ijarah.
2. Untuk mengetahui dasar hukum ijarah.
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat ijarah.
4. Untuk mengetahui macam-macam ijarah.
5. Untuk mengetahui upah untuk jasa yang berkaitan dengan ibadah.
6. Untuk memahami tentang jenis-jenis sewa menyewa dan upah (ijarah)
yang berlaku dalam masyarakat.
7. Untuk mengetahui aplikasi ijarah dalam Lembaga Keuangan Syari’ah
(LKS).
8. Untuk mengetahui pembatalan dan berakhirnya ijarah.

Page | 2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijarah
Sebelum dijelaskan pengertian sewa-menyewa dan upah atau ijarah,
terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai makna operasional ijarah itu sendiri.
Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqh Syafi’i, berpendapat bahwa
ijarah berarti upah-mengupah, yaitu mu’jir dan musta’jir (yang memberikan upah
yang menerima upah), sedangkan Kamaluddin A. Marzuki sebagai penerjemah
Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan makna ijarah dengan sewa
menyewa.
Dari dua buku tersebut ada perbedaan terjemahan kata ijarah dari bahasa
Arab ke dalam bahasa Indonesia, antara sewa dan upah juga ada perbedaan makna
operasional, sewa biasanya digunakan untuk benda, seperti “Seorang mahasiswa
menyewa kamar untuk tempat tinggal selama kuliah”, sedangkan upah digunakan
untuk tenaga, seperti, “Para karyawan bekerja di pabrik dibayar gajinya (upahnya)
satu kali dalam seminggu, dalam bahasa Arab upah dan sewa disebut ijarah1.
Secara bahasa ijarah berarti upah atau sewa, yang sesungguhnya
menjual belikan manfaat suatu harta benda Ijarah berasal dari lafad
‫االجر‬yang berarti ganti /ongkos. Sedangkan menurut Rahmat Syafi’i
dalam Fiqih Muamalah ijarah adalah (
‫بیع المنفعة‬menjual manfaat).
Defenisi ijarah dalam syara’ adalah akad atas manfaat yang
dibolehkan, yang berasal dari benda tertentu atau yang disebutkan ciri- cirinya,
dalam jangka waktu yang diketahui, dengan bayaran yang diketahui, Sedangkan
menurut istilah ijarah adalah:
a. Menurut Syekh Syamsudin dalam kitab Fathul Qarib mendefinisikan
ijarah adalah sebagai berikut : Yaitu bentuk akad yang jelas manfaat dan

1
Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 113

Page | 3
tujuannya, serah terima secara langsung dan dibolehkan dengan
pembayaran (ganti) yang telah diketahui.
b. Menurut Muhammad Syafi’i Antonio Ijarah adalah akad pemindahan hak
guna atas suatu barang atau jasa, melalaui pembayaran upah/sewa, tanpa
diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyah) atas barang
itu sendiri
c. Menurut Fatwa DSN Dalam fatwa DSN, ijarah ialah akad pemindahan
hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu
melalui pembayaran sewa / upah, tanpa diikuti pemindahan kepemilikan
barang itu sendiri.
Kata ijarah diderivasi dari bentuk fi'il "ajara-ya'juru-ajran”. Ajran
semakna dengan kata al-‘iwadh yang mempunyai arti ganti dan upah dan juga
dapat berarti sewa atau upah 2. Secara istilah, pengertian ijarah ialah akad atas
beberapa manfaat atas penggantian. Adapun pengertian ijarah yang dikemukakan
oleh para ulama madhhab sebagai berikut.
a. Pengertian ijarah menurut ulama Hanafiyah ialah:

‫عقد يفيد تمليك معلومة مقصودة عن‬


‫العين المستا جرة بعوض‬
“Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan
dilakukan dengan sengaja dari suatu zat yang disewa dengan disertai
imbalan.”

Ulama Hanafiyah mendefenisikan Ijarah adalah transaksi terhadap suatu


manfaat dengan imbalan.

b. Pengertian ijarah menurut ulama Malikiyah ialah:

‫تسمية التناقد على منفعة األدمى‬


‫وبعد المنقوالت‬

2
Qomarul Huda, Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2011), hlm. 77

Page | 4
“Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusia dan
juga untuk sebagian yang dapat dipindahkan.”

Ulama Malikiyah dan Hanabilah mendefinisikan Ijarah adalah pemilikan


manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu
imbalan.

c. Pengertian ijarah menurut Sayyid Sabiq ialah:

‫عقد على المنافع بعوض‬


“Jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.”
Manfaat tersebut terkadang berupa manfaat benda, pekerjaan dan tenaga.
Manfaat benda meliputi antara lain mendiami rumah atau mengendarai
mobil, manfaat pekerjaan seperti pekerjaan penjahit, pekerjaan insinyur
dan manfaat tenaga seperti para pembantu dan buruh.
d. Ulama Syafi’iyah mendefinisikan Ijarah adalah transaksi terhadap suatu
manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan
dengan imbalan tertentu.
e. Menurut Syaikh Syihab al-Din dan Syaikh Umairah bahwa yang dimaksud
dengan ijarah ialah:

ِ ‫ص ْودَ ٍة قَا ِبلَةٌ ِل ْلبَ ْذ ِل َواْ ِإل َبا َح ِة ِب ِع َو‬


‫ض‬ ُ ‫َع ْقذٌ َعلى َم ْنفَ َع ٍة َم ْعلُ ْو َم ٍة َم ْق‬
‫ضعًا‬
ْ ‫َو‬
“Akad atas manfaat yang diketahui dan disengaja untuk memberi dan
membolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika itu.”
f. Menurut Muhammad al-Syarbini al-Khatib bahwa yang dimaksud dengan
ijarah ialah:

ٍ ‫ت َ ْم ِل ْیكُ َم ْنفَعَ ٍة بِ ِع َو‬


ٍ‫ض بِش َُر ْوط‬
“Pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat-syarat.”
g. Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie bahwa ijarah ialah:

ْ َ ‫ْئ بِ ُمدَّةٍ َم ْحد ُْودَةٍ أ‬


‫ى‬ َّ ‫ض ْو َعةٌ ا َ ْل ُمبَا دَلَةُ َعلَى َم ْنفَعَ ِة ال‬
ِ ‫شی‬ ُ ‫َع ْقدٌ َم ْو‬
ْ َ ‫ض فَ ِح‬ ٍ ‫ت َ ْم ِلی ْك َها ِب ِع َو‬
ِ‫ى بَ ْی ُع ال َمنَا ِفع‬

Page | 5
“Akad yang obyeknya ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu
pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat.”
h. Menurut Idris Ahmad bahwa upah artinya mengambil manfaat tenaga
orang lain dengan jalan memberi ganti menurut syarat-syarat tertentu.

Demikian juga para ulama fiqih tidak membolehkan ijarah


terhadap nilai tukar uang, seperti dirham dan dinar, karena menyewakan hal itu
berarti menghabiskan materinya, sedangkan dalam ijarah yang dituju hanyalah
manfaat dari suatu benda. Berbeda dengan Ibnu Qayyim al-Jauziyah (ahli fiqih
Mazhab Hambali), dia menyatakan bahwa pendapat jumhur ulama ahli fiqih
tersebut tidak didukung oleh Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan kias
(analogi). Menurutnya, yang menjadi prinsip dalam masyarakat Islam
adalah, bahwa suatu materi yang berevolusi secara bertahap, hukumnya sama
dengan manfaat, seperti buah pada perpohonan dan susu pada kambing. Ibnu
Qayyim menyamakan manfaat materi dalam masalah “wakaf”. Menurutnya, tidak
ada alasan yang melarang untuk menyewakan (ijarah) suatu materi yang hadir
secara evolusi, sedangkan dasarnya (asalnya) tetap, seperti susu pada kambing,
dan rumah itu tetap seperti sedia kala dan tidak berkurang.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa akad ijarah adalah segala
macam perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Akad ini dilakukan
dengan tujuan mencari keuntungan, karena bersifat komersil. Beberapa defenisi
ijarah di atas juga dapat disimpulkan bahwa ijarah adalah sebuah transaksi atas
suatu manfaat, dalam hal ini manfaat menjadi objek transaksi, dan dalam segi ini
ijarah dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Ijarah atas manfaat, disebut juga sewa menyewa. Dalam ijarah


bagian ini, objek akadnya adalah manfaat dari suatu benda.
b. Ijarah atas pekerjaan, disebut juga upah mengupah. Dalam ijarah
bagian ini objek akadnya adalah amal atau pekerjaan seseorang.

B. Dasar Hukum Ijarah


Semua ulama dari ahli fiqh, baik salaf maupun khalaf sebagaimana
ditegaskan lbnu Rusyd, menetapkan boleh/mubah terhadap hukum ijarah.

Page | 6
Kebolehan tersebut didasarkan pada landasan hukum yang sangat kuat dari
Alquran dan Sunnah.
1. Al-Qur’an
Dasar hukum atau landasan hukum ijarah adalah al-Qur'an, al hadits dan
ijma'3 . Dasar hukum ijarah dari al-Qur'an adalah Surat at-Thalaq: 6 dan al-
Qashashi 26. Sebagaimana firman Allah SWT;
1. Surat at-Thalaq: 6
‫فإن أرضعن لكم فآتوهن أجورهن‬
“... kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka berikanlah
kepada mereka upahnya.”
2. Surat al-Qashash: 26
‫قالت إحداهما ياأبت استأجره إن خیر من استأجرت القوي األمین‬
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia
sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang
paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang
kuat lagi dapat dipercaya.”
3. Firman Allah dalam Surat al-Zukhruf ayat 32 yang berbunyi:
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah
menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan
didunia,dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang
lain beberapa derajat agar sebagian mereka dapat mempergunakan
sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan”.
4. Firman Allah surat Al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi:
“Dan bila ingin anakmu disusui oleh orang lain,maka tidaklah ada dosa
atasmu apabila kamu memberikan pembayaran yang pantas.Bertakwalah
kamu kepada Allah,dan ketahuilah bahwa Allah itu Maha melihat apa
yang kamu kerjakan”

2. Hadist:

3
Qomarul Huda, Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2011), hlm. 78-79

Page | 7
Dasar hukum ijarah dari al-hadits sebagaimana yang disabdakan oleh
Rasulullah Saw;

‫أعطوا األجیر أجره قبل أن يجف عرقه‬


“Berikanlah upah terhadap pekerjaan, sebelum kering keringatnya.”
Dalam hadits lain, Rasul juga bersabda:

‫أن رسول هللا إحتجم واعطى الحجام أجره واستعطى‬


“Rasulullah Saw. melakukan bekam, dan membayar upah terhadap tukang
bekam tersebut, kemudian Rasul menggunakan obatnya.”
Hadits Rasullallah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah, yang berbunyi :

‫سلَم‬
َ ‫صلَى هللاُ َعلَی ِه َو‬ ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ع َم َر قَا َل‬
َ ‫سو ُل هللا‬ ُ ‫َع ْن َع ْب ِد هللاِ ب ِْن‬
َّ ‫یر أ َ ْج َرهُ قَ ْب َل أ َ ْن يَ ِج‬
)‫ف َع َرقُهُ (رواه ابن ما جه‬ ُ ‫أ َ ْع‬
َ ‫طوا الأل َ ِج‬
“Dari Abdillah bin Umar ia berkata: Rasulullah berkata: Berikanlah
upah kepada orang yang kamu pakai tenaganya sebelum keringatnya
kering”. (H. R. Ibnu Majjah)
Hadits riwayat Bukhari dan muslim dari Ibnu Abbas menyebutkan :

: ‫حدثنا ابن طاوس عن أبیه عن ابن عباس رضي هللا عنهما قال‬
‫احتجم النبى صل هللا علیه وسلم واعطى الحجام اجره (رواه‬
)‫البخاري‬
“Hadist dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Ibnu Abbas r.a dia berkata
bahwa Nabi SAW pernah mengupah seorang tukang bekam kemudian
membayar upahnya”. (H. R. Bukhari)
Hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud menyebutkan :

ُ ‫س َوافِى ِمنَ الزَ َرعِ فَنَ َهى َر‬


‫س ْو ُل هللا‬ َّ ‫لى ال‬ َ ‫ُكنَّا نُ ْك ِرى األ َ ْر‬
َ ‫ض ِب َما َع‬
ٍ ‫ب أ َ ْو َو َر‬
)‫ق (رواه احمد وابوداود‬ ٍ ‫ذ ِل َك َوأ َ َم َرنَا بِذَ َه‬
“Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman
yang tumbuh. Lalu Rasulullah melarang kami cara itu dan memerintahkan
kami agar membayarnya dengan uang mas atau perak.”

Page | 8
3. Ijma'
Adapun dasar hukum ijarah dari ijma' ialah bahwa semua ulama telah
sepakat terhadap keberadaan praktek ijarah ini, meskipun mereka mengalami
perbedaan dalam tataran teknisnya.

Ada beberapa istilah dan sebutan yang berkaitan dengan ijarah, yaitu
mu'jir, mustajir, ma'jur dan ajr atau ujrah. Mu'jir ialah pemilik benda yang
menerima uang (sewa) atas suatu manfaat. Musta'jir ialah orang yang memberikan
uang atau pihak yang menyewa. Ma'jur ialah pekerjaan yang diakadkan
manfaatnya. Sedangkan ajr atau ujrah ialah uang (sewa) yang diterima sebagai
imbalan atas manfaat yang diberikan4.

C. Rukun dan Syarat Ijarah


Menurut ulama Hanafiyah bahwa rukun ijarah hanya terdiri dari ijab dan
qabul. Karena itu akad ijarah sudah dianggap sah dengan adanya ijab-qabul
tersebut, baik dengan lafadh ijarah atau lafadh yang menunjukkan makna
tersebut. Sedangkan menurut jumhur ulama rukun ijarah terdiri dari mu'jir,
masta’jir, manfaat dan shighah (ijab-qabul).
Adapun mengenai syarat ijarah yang harus dipenuhi oleh mu’jir dan
musta'jir (pihak yang melakukan akad ijarah), sama dengan syarat pada akad
lainnya, seperti keduanya harus berakal sehat dan dewasa. Tetapi kalangan ulama
berbeda pendapat mengenai keabsahan (kebolehan) orang yang belum dewasa
bertindak sebagai para pihak dalam akad ijarah tersebut. Menurut ulama
Hanafiyah dan Malikiyah, bahwa seseorang yang belum dewasa (mumayyiz) dapat
berperan sebagai pihak yang melakukan akad ijarah, dengan syarat harus ada izin
dari walinya, Karena itu akad ijarah seorang anak yang belum dewasa bersifat
mauquf (ditangguhkan), sampai ada izin dari walinya.

4
Ibid., hlm 80

Page | 9
Sedangkan ulama Syafi'iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa akad
ijarah harus dilakukan oleh seseorang yang sudah cakap dalam melakukan
tindakan hukum. Karena itu, kedewasaan yang menjadi unsur utama dari
kecakapan harus dijadikan sebagai syarat. Jumhur ulama juga menetapkan syarat
lain yang berhubungan dengan para pihak yang akad ijarah. Syarat-syarat tersebut
antara lain:
1. Para pihak yang berakad harus rela melakukan akad tersebut, tanpa merasa
adanya paksaan dari pihak lain. Maka, apabila seseorang dipaksa untuk
melakukan akad, dianggap tidak sah akadnya.
2. Kedua belah pihak harus mengetahui secara jelas tentang manfaat yang
diakadkan guna menghindari pertentangan atau salah paham, dengan cara
melihat benda yang akan disewakan atau jasa yang akan dikerjakan, serta
mengetahui masa mengerjakannya5.
3. Pelaku akad (al-mu'jir dan al mustajir) Al-mu'jir terkadang juga disebut
dengan al-ajir yang keduanya mengacu pada makna yang sama, yang
menyewakan, yaitu orang yang menyerahkan barang sewaan dengan akad
ijarah (pemberi sewa). Istilah al-ajir, yaitu orang yang menyewakan
dirinya atau pekerja (pemberi jasa), sedangkan yang dimaksud dengan al-
musta' jir adalah orang yang menyewa (penyewa).
4. Shighat ijab kabul antara mu’jir dan musta’jir, ijab kabul sewa-menyewa
dan upah–mengupah, ijab kabul sewa-menyewa misalnya: “Aku sewakan
mobil ini kepadamu setiap hari Rp 5.000,-“, maka musta’jir menjawab
“Aku terima sewa mobil tersebut dengan harga demikian setiap hari”. Ijab
kabul upah-mengupah misalnya seseorang berkata “Kuserahkan kebun ini
kepadamu untuk dicangkuli dengan upah setiap hari Rp 5.000”, kemudian
musta’jir menjawab “Aku akan kerjakan pekerjaan itu sesuai dengan apa
yang engkau ucapkan”6.
5. Objek akad sewa/manfaat dan sewa/upah (ma'qud 'alayh). Dalam akad
ijarah sebagaimana transaksi pertukaran lainnya, juga terdapat dua buah
objek akad, yaitu benda/manfaat/pekerjaan dan uang sewa/upah.

5
Qomarul Huda, Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2011), hlm. 80-81
6
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 118

Page | 10
6. Ujrah,di isyratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik
dalam sewa-menyewa maupun dalam upah-mengupah.
7. Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah-
mengupah, diisyaratkan pada barang yang disewakan dengan beberapa
syarat:
a. Hendaklah barang yang menjadi obyek akad sewa-menyewa dan
upah-mengupah dapat dimanfaatkan kegunaannya.
b. Hendaklah benda yang menjadi obyek sewa-menyewa dan upah-
mengupah dapat diserahkan kepada penyewa dan pekerja berikut
kegunuaannya (khusus dalam sewa-menyewa).
c. Manfaat dari benda yang disewa adalah perkara yang mubah
(boleh) menurut Syara’ bukan hal yang dilarang (diharamkan).
d. Benda yang disewakan disyaratkan kekal ‘ain (zat) nya hingga
waktu yang ditentukan menurut perjanjian dalam akad.
Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam sewa atau menurut kesepakatan
ulama, adalah bahwa sewa itu kusus berupa barang atau benda yang bernilai.
Menurut ulama hanafiyah, bahwa disyaratkan pula sewa atau imbalan tidak boleh
sama dengan manfaat yang dijadikan obyek ijarah. Misalnya sewa rumah dibayar
dengan sewa rumah yang lain. Menurut mereka, praktek seperti ini mengandung
riba fadhl (ada kemungkinan terdapat kelebihan di satu pihak). Tetapi ulama
Syafi’iyah membolehkan adanya proses sewa seperti di atas.
Menurut jumhur ulama ada beberapa syarat yang harus dipenuhi berkaitan
dengan manfaat atau obyek akad ijarah.
1. Manfaat yang akan dijadikan obyek ijarah harus diketahui dengan pasti,
mulai dari bentu, sifat, tempat, hingga waktunya.
2. Manfaat itu harus dipenuhi dalam arti yang sebenarnya. Karena itu, ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa tidak boleh menyewakan benda milik
bersama yang tidak dapat dibagi tanpa ada teman serikatnya, karena
manfaatnya tidak dapat terpenuhi. Menurut jumhur ulama, boleh
menyewakan barang milik bersama, karena pada barang tersebut ada

Page | 11
manfaat, dan penyerahannya dapat dengan mengosongkannya atau
membagikan manfaatnya kepada masing-masing pemiliknya7.
3. Manfaat yang dimaksud bersifat mubah. Karena itu tidak boleh
menyewakan barang yang manfaatnya untuk kegiatan yang dilarang oleh
syara’, misalnya menyewakan tempat untuk perjudian atau pelacuran dan
lain-lain.

D. Macam-Macam Ijarah
Berdasarkan uraian tentang definisi dan syarat ijarah, maka ijarah dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian:
1. Ijarah 'ala al-manafi', yaitu ijarah yang obyek akadnya adalah manfaat,
seperti menyewakan rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai, baju
untuk dipakai dan lain-lain. Dalam ijarah ini tidak dibolehkan menjadikan
obyeknya sebagai tempat yang dimanfaatkan untuk kepentingan yang
dilarang oleh syara'.
Para ulama berbeda pendapat mengenai kapan akad ijarah ini dinyatakan
ada.Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, akad ijarah dapat
ditetapkan sesuai dengan perkembangan manfaat yang dipakai.
Konsekuensi dari pendapat ini adalah bahwa sewa tidak dapat dimiliki
oleh pemilik barang ketika akad itu berlangsung, melainkan harus dilihat
dahulu perkembangan penggunaan manfaat tersebut.
Sementara itu ulama Safi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ijarah
ini sudah tetap dengan sendirinya sejak akad Ijarah terjadi. Karena itu,
menurut mereka sewa sudah dianggap menjadi milik barang sejak akad
ijarah terjadi. Karena akad ijarah memiliki sasaran manfaat dari benda
yang disewakan, maka pada dasarnya penyewa berhak untuk
memanfaatkan barang itu sesuai dengan keperluannya bahkan dapat
meminjamkan atau menyewakan kepada pihak lain sepanjang tidak
mengganggu dan barang yang disewakan.
Namun demikian ada akad ijarah 'ala al'manafi’ yang perlu mendapatkan
perincian lebih lanjut, yaitu:

7
Qamarul Huda, Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2011), hlm. 82-85

Page | 12
a. Ijarah al-'ardh (akad sewa tanah) untuk ditanami atau didirikan
bangunan. Akad sewa tersebut baru sah jika dijelaskan peruntukannya.
Apabila akadnya untuk ditanami, harus diterangkan jenis tanamannya,
kecuali jika pemilik tanah (mu’jir) memberi izin untuk ditanami
tanaman apa saja.
b. Akad sewa pada binatang harus jelas peruntukannya, untuk angkutan
atau kendaraan dan juga masa penggunaannya. Karena binatang dapat
dimanfaatkan untuk aneka kegiatan, jadi untuk menghindari sengketa
kemudian hari, harus disertai rincian pada saat akad.
2. Ijarah ‘ala al-'amaal ijarah, yaitu ijarah yang obyek akadnya jasa atau
pekerjaan, seperti membangun gedung atau menjahit pakaian. Akad ijarah
ini terkait erat dengan masalah upah mengupah. Karena itu,
pembahasannya lebih dititik beratkan kepada pekerjaan atau buruh (ajir).
Ajir dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu ajir khass dan ajir
musytarak 8 . Pengertian ajir khass adalah pekerja atau buruh yang
melakukan suatu pekerjaan secara individual dalam waktu yang telah
ditetapkan, seperti pembantu rumah tangga dan sopir. Menurut Wahbah
az-Zuhaili, pekerjaan menyusukan anak kepada orang lain dapat
digolongkan dalam akad ijarah khass ini. Jumhur ulama mengatakan,
seorang suami tidak boleh menyewa istrinya untuk menyusukan anaknya
karena pekerjaan tersebut merupakan kewajiban istri. Bahkan Imam Malik
menambahkan, suami dapat memaksa istrinya untuk menyusukan anaknya
(jika dia menolak). Namun menurut Ahmad, boleh menyewa istri sendiri
untuk menyusukan anaknya.
Namun jumhur ulama sepakat membolehkannya asal disewa bukan
istrinya sendiri, tetapi wanita lain. Dalam pemberian upah kepada wanita
lain yang disewa, perlu adanya kesepakatan masa menyusui, melihat
langsung anak yang akan disusui dan juga tempat menyusuinya di rumah
sendiri atau tempat lain. Wanita yang sudah menyusui seorang anak, dia
tidak boleh menyusui bayi yang lain, karena penyusuan di sini dinilai
sebagai ajir khass (pekerja khusus). Adapun ajir musytarak adalah

8
Ibid., hlm 86

Page | 13
seseorang yang bekerja dengan profesinya dan tidak terikat oleh orang
tertentu. Dia mendapatkan upah karena profesinya, bukan karena
penyerahan dirinya terhadap pihak lain, misalnya pengacara dan
konsultan.
Pembagian ajir seperti di atas mempunyai akibat terhadap tanggung jawab
masing-masing. Ajir khass, menurut empat ulama mazhab tidak
bertanggung jawab atas rusak atau hilangnya sesuatu ketika dia bekerja
pada majikannya, sepanjang itu bukan akibat kelalaiannya. Adapun dalam
ajir musytarak, para ulama berbeda pendapat. Menurut kelompok
Hanafiyah dan Hanabilah bahwa ajir musytarak sama dengan ajir khass
dalam tanggung jawabnya. Adapun menurut Malikiyah, ajir musytarak
harus bertanggung jawab sepenuhnya terhadap rusak atau hilangnya benda
yang dijadikan obyek pekerjaannya9.
3. Ijarah 'Amal. Ijarah 'amal digunakan untuk memperoleh jasa dari
seseorang dengan membayar upah atas jasa yang diperoleh. Pengguna jasa
disebut mustajir dan pekerja disebut ajir, dan upah yang dibayarkan
kepada ajir disebut ujrah. Dalam bahasa Inggris dari ujrah adalah fee.
4. ljarah Ain atau Ijarah Muthlaqah (ljarah Murni). ljarah ain adalah jenis
ijarah yang terkait dengan penyewaan aset dengan tujuan untuk
mengambil manfaat dari aset itu tanpa harus memindahkan kepemilikan
dari aset itu. Dengan kata lain, yang dipindahkan hanya manfaah
(usufruct). Ijarah 'ain di dalam bahasa Inggris adalah term leasing. Dalam
hal ini, pemberi sewa disebut mu’jir dan penyewa adalah musta’jir dan
harga untuk memperoleh manfaah tersebut disebut ujrah. Dalam akad
ijarah 'ain, tidak terdapat klausul yang memberikan pilihan kepada
penyewa untuk membeli aset tersebut selama masa sewanya atau di akhir
masa sewanya. Pada ijarah ain yang menjadi objek akad sewa-menyewa
adalah barang.
5. Ijarah Muntahiya Bittamlik, Ijarah muntainiya bittamılik atau disingkat
IMBT merupakan istilah yang lazim digunakan di Indonesia, sedangkan di
Malaysia digunakan istilah al-ijarah thumma al-bai atau ATTAB. Di

9
Qamarul Huda, Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2011), hlm. 88

Page | 14
sebagian Timur Tengah banyak menggunakan istilah al-ijarah wa'iqtina
atau ijarah bat'al-ta'jiri. Yang dimaksud muntahiya bittamlik adalah sewa-
menyewa antara pemilik objek sewa-penyewa untuk mendapat imbalan
atas objek sewa yang disewakan dengan opsi perpindahan hak milik objek
sewa baik dengan jual beli atau pemberian (hibah) pada saat tertentu
sesuai akad sewa. Dalam IMBT, pemindahan hak milik barang teejadi
dengan salah satu dari dua cara seagai berikut:
a. Pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang
disewakan pada akhir masa sewa;
b. Pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang
disewakan tersebut pada akhir masa sewa.

Pilihan untuk menghibahkan barang di akhir masa sewa biasanya diambil


bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif lebih
kecil. Karena sewa yang dibayarkan lebih kecil, maka akumulasi sewa di
akhir yang sudah dibayarkan sampai akhir periode sewa belum
mencukupi harga beli barang tersebut dan margin laba yang ditetapkan
oleh bank. Untuk menutupi kekurangan tersebut, bila pihak penyewa
ingin memilik barang, maka ia harus membeli barang itu di akhir periode.

Pilihan untuk menghibahkan barang pada akhir masa sewa biasanya


diambil bila kemampuan finnsial penyewa untuk membaya sewa relatif
lebih besar. Karena sewa yang dibayarkan lebih besar, maka akumulasi
sewa di akhir periode sewa sudah mencukupi untuk menutup harga kecil
barang dan margin laba ditetapka oleh bank. Dengan demikian, bank
dapat menghibahkan barang tersebut di akhir masa perode sewa kepada
pihak penyewa.

6. Ijarah Multijasa. Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional No.


44/DSN-MUI/VII/2004 tentang Pembiayaan Multijasa, yang dimaksud
dengan pembiayaan multijasa, yaitu pembiayaan yang diberikan oleh
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) kepada nasabah dalam memperoleh
manfaat atas suatu jasa.

Page | 15
E. Upah dan Jasa yang Berkaitan dengan Ibadah
Upah dalam perbuatan ibadah (ketaatan) seperti shalat, puasa, haji, dan
membaca al-Quran diperselisihkan kebolehannya oleh para ulama, karena berbeda
cara pandang terhadap pekerjaan-pekerjaan ini10.
Dalam hal penyewaan jasa, jumhur ulama berpendapat bahwa obyek yang
akan dikerjakan bukan termasuk pekerjan yang diwajibkan oleh syara, misalnya
mengerjakan shalat, puasa, haji dan lain-lain. Adapun pengambilan upah untuk
jasa dalam ibadah, para ulama memberikan pendapat mereka, antara lain:
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa akad ijarah untuk melakukan
ketaatan, seperti memberi upah seseorang unuk menyalatkan, mempuasakan,
menghajikan, membacakan al-Qur'an dan menghadiahkan pahala untuk orang lain
dianggap tidak sah dan dilarang mengambil upah darinya. Landasan yang mereka
gunakan adalah hadits Rasulullah Saw11:

‫اقرأوا القران وال تأكلوا منه‬


“Bacalah al-Qur’an dan janganlah kamu makan dari hasil bacaan
tersebut.”

ِ َ‫ت ُم َؤ ِذنًا فَالَتَأ ْ ُخ ْذ ِمنَ االَذ‬


‫ان ا َ ْج ًرا‬ َ ‫َوإِ ِن ات َّ َخ ْذ‬
”Jika kamu mengangkat seseorang menjadi mu’adzdzin, maka janganlah
kamu pungut dari adzan itu suatu upah.”

Perbuatan seperti adzan, qomat, shalat, haji, puasa, membaca al-Quran dan
zikir adalah tergolong perbuatan untuk taqarru kepada Allah, karenanya tidak
boleh mengambil upah untuk pekerjaan itu selain dari Allah.

Hal yang sering terjadi dibeberapa daerah di negara Indonesia, apabila


salah seorang muslim meninggal dunia, maka orang-orang yang ditinggal mati
(keluarga) memerintah kepada para santri atau yang lainnya yang pandai
membaca al-Quran di rumah atau di kuburan secara bergantian selama tiga malam
bila yang meninggal belum dewasa dan ada pula bagi orang-orang tertentu

10
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 113
11
Qamarul Huda, Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2011), hlm. 82

Page | 16
mencapai empat puluh malam, setelah selesai pembacaan al-Quran pada waktu
yang telah ditentukan, mereka diberi upah ala kadarnya dari jasanya tersebut.

Pekerja seperti ini adalah batal menurut hukum Islam, karena yang
membaca al-Quran bila bertujuan untuk memperoleh harta maka tak ada
pahalanya, lantas apa yang akan dihadiahkan kepada mayit, sekalipun pembaca al-
Quran niat karena Allah, maka pahala pembaca ayat al-Quran untuk dirinya
sendiri dan tidak bisa diberikan kepada orang lain, karena Allah berfirman:

َ َ ‫ت َو َعلَ ْی َها َماا ْكت‬


ْ َ‫سب‬
‫ت‬ َ ‫لَ َها َما َك‬
ْ َ‫سب‬
“Mereka mendapat pahala (dari kebijakan) yang diusahakannya dan ia
mendapat siksa (dari kejahatan) yang ia kerjakan”(al-Baqarah: 282)

Demikian juga, tidak boleh mengambil upah untuk melakukan pekerjaan


yang semisal dengan di atas, seperti mengkhatamkan al-Qur'an kemudian
pahalanya dihadiahkan si jenazah. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hukum
upah yang diambil dari imbalan atas perbuatan taat adalah haram. Karena boleh
jadi ada kesalahan niat bagi pelaku, yaitu pekerjaannya itu semata-mata ditujukan
untuk mendapatkan harta, sehingga tidak ada pahala yang akan dihadiahkan
kepada si jenazah.
Ulama Hanabilah mengatakan bahwa ijarah untuk adzan, iqamah,
mengajarkan al-Qur'an, fiqh, hadits, badal haji dan jabatan fungsional di
pengadilan tidak sah, karena semua itu termasuk perbuatan mendekatkan
(taqqarub) diri kepada Allah Swt. Tetapi boleh mengambil upah dari pekerjaan-
pekerjaan tersebut jika termasuk dalam kategori mashalih, seperti mengajarkan al-
Quran dan hadits.
Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Dhahiriyah, dan Ibn Hazm mengatakan
bahwa dibolehkan mengambil upah dalam mengajarkan al-Qur'an dan ilmu
pengetahuan, karena kegiatan tersebut termasuk mengupahkan pekerjaan yang
diketahui tujuan dan perolehannya dengan imbalan yang telah ditentukan pula.
Lebih lanjut Ibn Hazm mengatakan "Ijarah dibolehkan atas pengajaran al-Qur'an
serta ilmu pengetahuan, berdo'a dengan menggunakan al-Qur'an dan menyalin

Page | 17
mushaf atau kitab ilmiah, karena tidak ada larangannya bahkan ada hadits yang
membolehkannya."
Pernyataan Ibn Hazm di atas juga dikuatkan sebuah riwayat hadits yang
menceritakan ada seseorang yang terkena racun ular, lalu salah seorang sahabat
Rasul membaca surat al-Fatehah sebagai mantera. Sahabat tersebut menerima
upah, tetapi sebagian sahabat lain yang hadir bersamanya menolaknya dan
melaporkan kepada Rasulullah SAW. Kemudian beliau bersabda:

‫أحق ما أخذتم علیه أجركتاب هللا‬


“Sesungguhnya yang paling berhak untuk diambil upahnya adalah kitab
Allah.”
Lebih lanjut ulama Syafi'iyah mengatakan, boleh hukumnya mengambil
upah dari pekerjaan yang berkaitan dengan perawatan jenazah mulai dari
memandikan, mengkafani, mentalqini sampai menguburkannya. Sedangkan ulama
hanya pada memandikan dan mengusung jemazah saja yang boleh diambil
upahnya12.

F. Memahami Tentang Jenis-Jenis Sewa Menyewa dan Upah (Ijarah) yang


Berlaku dalam Masyarakat

Pembayaran sewa dan upah dalam masyarakat

Jika ijazah itu suatu pekerjaan, maka kewajiban pembayaran upahnya pada
waktu berakhirnya pekerjaan, bila tidak ada pekerjaan lain, jika akad sudah
berlangsung dan tidak disyaratkan mengenai pembayaran dan tidak ada ketentuan
penangguhan nya, menurut Abu Hanifah wajib diserahkan upahnya secara
berangsur, sesuai dengan manfaat yang diterimanya. Menurut Imam Syafi'i dan
Ahmad, sesungguhnya ia berhak dengan akad itu sendiri, jika mu'jir menyerahkan
zat benda yang disewa kepada musta'jir, ia berhak menerima bayarannya, karena
penyewa (musta'jir) sudah menerima kegunaan.

Hak menerima upah bagi musta'jir adalah sebagai berikut:

12
Qomarul Huda, Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2011), hlm. 84

Page | 18
1. Ketika pekerjaan selesai dikerjakan, beralasan kepada hadist yang
diriwayatkan Ibnu Majah, Rasulalllah SAW. Bersabda:
“Berikanlah upah sebelum keringat pekerja itu kering”.
2. Jika menyewa barang, maka uang sewaan dibayar ketika akad sewa,
kecuali bila dalam akad ditentukan lain, manfaat barang yang diijarahkan
mengalir selama penyewaan berlangsung.

2) Menyewakan barang sewaan

Musta'jir dibolehkan menyewa lagi barang sewaan kepada orang lain,


dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan
ketika akad, seperti yang disebabkan seekor kerbau, ketika akad dinyatakan
bahwa kerbau itu disewa untuk membajak disawah, kemudian kerbau tersebut
disewakan lagi dan timbul musta'jir kedua, maka kerbau itupun harus digunakan
untuk membajak pula.

Harga penyewaan yang kedua ini bebas-bebas saja, dalam arti boleh lebih besar,
lebih kecil atau seimbang.

Bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab
adalah pemilik barang (mu'jir) dengan syarat kecelakaan itu bukan akibat dari
kelalaian musta'jir, bila kecelakaan atau kerusakan benda yang disewa akibat dari
kelalaian musta'jir, maka yang bertanggung jawab adalah musta’jir itu sendiri,
seperti menyewa mobil, kemudian mobil itu hilang ada yang mencuri karena
disimpan bukan pada tempat yang layak13.

G. Aplikasi Ijarah dalam Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS)


Ijarah dalam teknis perbankan dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Transaksi ijarah di tandai dengan adanya pemindahan manfaat. Jadi
dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli. Namun
perbedaan terletak pada objek transaksinya. Bila pada ijarah objek
transaksinya adalah jasa.

13
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 121-122

Page | 19
b) Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakan
kepada nasabah. Karena itu dalam perbankan syariah dikenal al-ijarah al-
mutahiyah bittamlik (sewa yang diikutu dengan perpindahan kepemilikan).
c) Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian antara bank dan
nasabah.

Ijarah sebagai produk pembiayaan syariah termuat dalam UU No. 21


Tahun 2008 dan peraturan lainnya. Di dalam UU terdapat di pasal 1 ayat (25)
huruf b dan e, pasal 19 ayat (1) huruf f dan i, pasal 19 ayat (2) huruf f dan i dan
pasal 21 huruf b, angka 4. Makna ijarah dalam peraturan perbankan syariah
mengacu kepada dan bersumber dari fatwa DSN MUI dan hukum Islam. Maka
dalam konteks perbankan syariah, ijarah adalah suatu lase contrak dimana bank
atau lembaga keuangan menyewakan peralatan seperti gudang atau alat
transportasi kepada nasabah berdasarkan pembebanan biaya yang telah ditentukan
secara pasti sebelumnya. Dengan demikian ijarah tidak lain adalah kegiatan
lesing yang dikenal dalam sistem keuangan tradisional. Persamaan dan
perbedaannya terdapat dalam objek, cara pembayaran dan pemindahan
kepemilikan. Objek leasing hanya terbatas pada pemanfaatan barang, sedangkan
objek ijarah adalah pemanfaatan barang dan tenaga kerja atau jasa. Dari cara
pembayaran leasing hanya memiliki satu metode pembayaran, yakni bersifat not
coontingent to perpromance. Artinya pembataran sewa pada leasing tidak
tergantung pada kinerja objek yang disewa.

Dalam ijarah, metode pembayaran dibagi menjadi dua bagian, pertama,


ijarah yang pembayarannya tergantung pada kinerja kerja objeknya sewa. Jenis
pembayaran ini disebut Ujrah. Kedua, ijarah yang pembayarannya tidak
tergantung pada kinerja objek yang disewa dalam perfektif fiqh disebut ju’alah.
Aturan yang terkait dengan bank dipersentasikan sebagai berikut:

1. Bank dioperasikan sebagai pemilik atau pihak yang memiliki penguasaan


atas objek sewa, baik berupa barang maupun jasa dan penyewaan terhadap
nasabah.
2. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah karakteristik pembiayaan ijarah
dan hak kewajiban nasabah.

Page | 20
3. Bank melakukan analisis atau rencana pembiayaan ijarah yang diajukan
masabah meliputi persoalan berupa karakter, dan aspek usaha berupa
kapasitas usaha, keuangan, serta prospek usaha.
4. Sebagai pihak yang menyediakan objek sewa, bank wajib memenuhi
kualitas dan kuantitas objek sewa,serta ketetapan waktu penyediaan objek
sewa. Di samping itu, bank wajib menyediakan dana guna merealisasikan
penyediaan objek dana.
5. Bank dapat meminta nasabah untuk menjaga kebutuhan objek sewa dan
mengganggu pemeliharaannya sesuai kesepakatan.
6. Bank tidak dapat membebankan kepada nasabah untuk menanggung biaya
kerusakan objek sewa jika kerusakan bukan disebabkan pelanggaran akad
atau kelalaian nasabah.

Aturan teknis yang terkait dengan nasabah adalah nasabah wajib membayar uang
sewa. Pembayar tidak dapat dilakukan dalam bentuk piutang atau pembebasan
utang. Di samping untuk pembiyaan transaksi sewa menyewa dan sewa beli. Akad
ijarah juga dipergunakan untuk pembiyaan transaksi sewa menyewa multijasa.
Pemerlakuan ijarah dalam jasa, karena jasa merupakan salah satu objek ijarah di
samping manfaat barang. Perbedaan teknis transaksi ijarah yang objeknya
manfaat dengan ijarah yang objeknya jasa adalah, dalam jasa nasabah tidak
dikenakan kewajiban untuk menjaga kebutuhan objek sewa, dan tidak pula
dibebani tanggungjawab atas kerusakan objek sewa. Dalam konteks perbankan
syariah, aturan ijarah untuk multijasa adalah bahwa bank selalu pihak yang
menyediakan pembiayaan untuk nasabah yang menggunakan akad ijarah untuk
multijasa dapat memperoleh imbalan jasa.

Dalam istilah perbankan syariah, ijarah dapat diartikan sebagai


leasecontrac dan juga hirecontract. Leasecontract adalah suatu lembaga
keuangan penyewaan peralatan (equipment) baik dalam sebuah bangunan maupun
barang-barang, seperti mesin, pesawat terbang, dan lain misalnya. Sedangkan
hirecontract adalah akad yang memberikan kesepakatan kepada peyewa, untuk
mengambil manfaat dari barang sewaan, untuk jangka waktu tertentu dengan

Page | 21
imbalan yang besarnya telah disepakati. Dalam kasus sewa atas tanah, ijarah atau
sewa berarti nilai surplus sebidang tanah.

Dari beberapa terminologi tersebut diatas, dapat dipahami bahwa:

1. Akad ijarah adalah akad atau transaksi pemindahan hak guna atas suatu
barang atau jasa ketrampilan tertentu melalui pembayaran upah (sewa)
secara proposional.
2. Akad ijarah tidak berakibat pada pemindahan kepemilikan atas barang
tertentu atau jasa ketrampilan tertentu.
3. Akad ijarah ditentukan untuk masa tertentu dan tujuan tertentu dari barang
atau jasa yang disewa.

Fatwa DSN MUI No: 09/DSN-MUI/IV/2000 menetapkan mengenai ketentuan


ijarah dalam Lembaga Keuangan Syariah sebagai berikut:

a) Kewajiban Lembaga Keuangan Syariah sebagai pemberi manfaat barang


atau jasa:
a) Menyediakan barang yang disewa kan atau jasa yang diberikan.
b) Menanggung biaya pemeliharaan barang.
c) Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.
b) Kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat barang atau jasa:
a) Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga
kebutuhan barang serta menggunakannya sesuai akad (kontrak).
b) Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan
(tidak materil).
c) Jika barang yang disewakan rusak, bukan karena pelanggaran dari
penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak
penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab
atas kerusakan tersebut.

Janis barang atau jasa yang dapat disewakan adalah sebagai berikut:

a) Barang modal; aset tetap, seperti bangunan, gedung, kantor, dan ruko.
b) Barang produksi; mesin, alat-alat berat dan lain-lain.

Page | 22
c) Barang kendaraan transportasi; darat, laut, dan udara.
d) Jasa untuk membayar ongkos; uang sekolah/kuliah, tenaga kerja, hote,
angkutan/transportasi, dan sebagainya.

Bank-bank Islam yang mengoperasikan produk al-ijarah, dapat melakukan


leasing, baik dalam bentuk operating lease maupun financial lease. Akan tetapi,
pada umumnya, bank-bank tersebut lebih banyak menggunakan al-ijarah al-
muntahia bittamlik karena lebih sederhana dari sisi pembukaan. Selain itu, bank
pun tidak direpotkan untuk mengurus pemeliharaan aset, baik pada saat leasing
maupun sesudahnya.

H. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah


Ijarah merupakan jenis akad yang lazim, yaitu akad yang tidak
membolehkan adanya fasakh (pembatalan) pada salah satu pihak, kecuali jika
adanya faktor yang mewajibkan terjadinya fasakh. Faktor-faktor yang
menyebabkan ijarah menjadi fasakh, antara lain:
1. Terjadinya cacat pada barang sewaan ketika barang sewaan berada di
tangan menyewa (musta’jir). Benda yang disewa mati, atau benda yang
diijarahkan rusak, misalnya baju yang diupahkan untuk dijahit dan tidak
mungkin untuk memperbaikinya. Menurut jumhur ulama, kematian pada
salah satu orang yang berakad tidak dapat memfasakh ijarah, karena ahli
warisnya dapat menggantikan posisinya, baik sebagai mu'jir atau
musta’jir. Namun ulama Hanafiyah berpendapat, bahwa akad ijarah
berakhir karena kematian salah satu pihak yang berakad. Selanjutnya
Hanafiyah menambahkan, bahwa benda ijarah tidak boleh dijual kecuali
atas izin musta'jir, atau dia mempunyai hutang sehingga benda itu disita
pihak berwajib untuk membayar hutangnya.
2. Terpenuhinya manfaat benda ijarah atau selesainya pekerjaan dan juga
berakhimya waktu yang telah ditentukan kecuali apabila ada alasan yang
melarang memfasakhnya, seperti masa ijarah terhadap tanah pertanian
yang telah habis masa sewanya sebelum tiba masa panennya. Dalam
kondisi demikian, status benda jarak masih berada di tangan penyewa

Page | 23
(musta’jir) dengan syarat dia harus membayar uang sewa lagi kepada
pemilik tanah (mu'jir) sesuai kesepakata14.

Tatkala masa ijarah telah berakhir, musta'jir harus mengembalikan benda


ijarah kepada mu’jir. Apabila benda ijarah berupa benda bergerak, benda tersebut
diserahkan kepada pemiliknya Untuk benda yang tidak bergerak, musta’jir harus
menyerahkannya dalam keadaan kosong dari harta miliknya, jika benda ijarahnya
berupa tanah pertanian, maka tanah tersebut diserahkan dalam keadaan kosong
dari tanaman.

14
Qamarul Huda, Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2011), hlm. 88-89

Page | 24
Bab III

Penutup

A. Kesimpulan
Pada bagian akhir ini, akan disajikan inti dari paparan sebelumnya yang
merupakan jawaban dari beberapa pertanyaan dalam pendahuluan, sebagai
berikut:
1. Ijarah adalah satu bentuk transaksi dalam syari’at Islam yang intinya
adalah adanya dua pihak yang menyepakati menyewakan barang atau jasa
(tenaga dan atau profesionalitas) dengan imbalan tertentu.
2. Suatu transaksi yang akuntebel, ijarah dilengkapi piranti syarat dan rukun
sebagai alat ukur apakah transaksi tersebut sah, fasakh atau batal. Adapun
syaratnya adalah: kerelaan kedua belah pihak, manfaat objek ijarah
diketahui dengan pasti, barang sewaan berspesifikasi tertenti, obyek
sewaan sesuatu yang mubah, bisa diserah-terimakan, bukan suatu
kewajiban dan upah adalah sesuatu yang bernilai. Adapun rukunnya adlah:
dua pihak yang bertransaksi, redaksi transaksi, manfaat dan upah.
3. Berdasarkan uraian tentang definisi dan syarat ijarah, maka ijarah dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu, Ijarah 'ala al-manafi' dan Ijarah
‘ala al-'amaal ijarah.
4. Upah dalam perbuatan ibadah (ketaatan) seperti shalat, puasa, haji, dan
membaca al-Quran diperselisihkan kebolehannya oleh para ulama, karena
berbeda cara pandang terhadap pekerjaan-pekerjaan ini, Adapun
pengambilan upah untuk jasa dalam ibadah, para ulama memberikan
pendapat mereka yang berbeda.
5. Jika ijazah itu suatu pekerjaan, maka kewajiban pembayaran upahnya
pada waktu berakhirnya pekerjaan, bila tidak ada pekerjaan lain, jika akad
sudah berlangsung dan tidak disyaratkan mengenai pembayaran dan tidak
ada ketentuan penangguhan nya, menurut Abu Hanifah wajib diserahkan
upahnya secara berangsur, sesuai dengan manfaat yang diterimanya.

Page | 25
6. Aplikasi ijarah dalam Lembaga Keuangan Syariah dapat dijelaskan
sebagaimana, transaksi ijarah di tandai dengan adanya pemindahan
manfaat, pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang
disewakan kepada nasabah, yang terakhir adalah harga sewa dan harga jual
sesuai dengan kesepakatan.
7. Karakter transaksi ijarah dapat berakhir bila telah tercapai tujuannya atau
limit tenggat waktunya, wanprestasi salah satu pihak atau meninggalnya
salah satu pihak.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca terutama pada dosen mata kuliah ini, agar
pembuatan makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Atas kritik dan sarannya,
penulis ucapkan terima kasih.

Page | 26
Daftar Pustaka

Huda, Qomarul. 2011. Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Penerbit Teras

Suhendi, Hendi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Karim, Helmi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Djamil, Fathurrahman. 2013. Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di


Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika

Tinjaun Teoritis Tentang Ijarah. Jurnal Fiqh Muamalah

Page | 27

Anda mungkin juga menyukai