Anda di halaman 1dari 6

A. Menurut etimologi , ijarah adalah menjual manfaat.

Ada yang menerjemahkan, ijarah sebagai jual-beli jaga (upah-mengupah), yakni mengambil manfaat
tenaga manusia! ada pula yang menerjemahkan sewa-menyevi/a, yakni mengambil manfaat dari
barang. Menurut penulis, keduanya benar. Pada pembahasan ini, penulis membagi ij arah menjadi dua
bagian, yaitu _ 'jarah atas jasa dan ijarah atas benda.

Jumhur ulama Eqih berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan
adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu, mereka melarang menyewakan pohon untuk
diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua
itu bukan manfaatnya, tetapi bendanya.” (FIKIH MUAMSLAH , PROF D. H. RACHMAT SAFEI, MA. 2006
HAL 122)

B. Rukun-rukun ijarah sebagai berikut :

1. Mu' jir dan musta 'jir, yaitu orang yang melakukan akad sewamenyewa atau upah-mengupah. Mu' jir
adalah yang memberikan upah dan yang menyewakan, musta' [ir adalah orang yang menerima upah
untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu, disyaratkan pada mu'jir dan musta’iir adalah
baligh, berakal, cakap melakukan tasharruf (mengendalikan harta), dan saling meridhai. Allah Swt.
berfirman:

Ayat al nisa 29

Hai orang-orang yang beh'man, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan bathil, kecuali
dengan perniagaan secara suka sama suka (Al Nisa: 29).

Bagi orang yang berakad ijarah juga disyaratkan mengetahui manfaat barang yang diakadkan dengan
sempurna sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan.

2. Shighat ijab kabul antafa mu'jir dan musta'jir, ijab kabul sewa. menyewa dan upah-mengupah, ijab
kabul sewa-menyewa misalnya: “Aku sewakan mobil ini kepadamu setiap hari Rp5.000,00”, maka musta’
jir menjawab “Aku terima sewa mobil tezsebut dengan harga demikian setiap hari”. Ijab kabul
upahmengupah misalnya seseorar'lg berkata, “Kuserahkan kebun ini kepadamu untuk dicangkuli dengan
upah setiap hari Rp5.000,00”, kemudian musta’jir menjawab “Aku akan kerjakan pekerjaan itu sesuai
dengan apa yang engkau ucapkan”.

3. Ujrah; disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, .balk dalam sewa-menyewa maupun
dalam upah-mengupah

C. Syarat Ijarah

Syarat ijarah terdiri empat macam, sebagaimana syarat dalam juala beli, yaitu syarat al-inqad (terj
adinya akad), syarat an-nafadz (syarat pelaksanaan akad), syarat sah, dan syarat lazim.

disyaratkan pada barang yang disewakan dengan bebegapa syarat berikut ini.
1. Hendaklah barang yang menjadi obiek akad sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat
dimanfaatkan kegunaannya…
2. Hendaklah benda yang menjadi objek sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat diserahkan
kepada penyewa dan pekerja berikut kegunaannya (khusus dalam sewa-menyewa).
3. Manfaat dari benda yang disewa adalah perkara yang mubah (boleh) menurut Syara' bukan hal
yang dilarang (diharaxnkan). '
4. Benda yang disewakan disyaratkan kekal 'ain (zat)-nya bing waktu yang ditentukan menurut
perianiian dalam akad. .(FIQH MUAMALAH , DR. H. HENDI SUHENDI, M.SI. 2005 ,HAL 117-118)

D. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah

Ijarah adalah jenis akad lazim, yaitu akad yang tidak membolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak,
karena ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati hal-hal yang mewajibkan fasakh.

Ijarah akan menjadi batal (fasaleh) bila ada hal-hal sebagai berikut

1. Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa

2. rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan sebagainya;

3. rusaknya barang yang diupahkan (ma'jur 'alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan;

4.terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan selesainya
pekerjaan;

5. Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak, seperti yang menyewa toko untuk
dagang, kemudian dagangan' nya ada yang mencuri, maka ia dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.

(FIQH MUAMALAH , DR. H. HENDI SUHENDI, M.SI. 2005 ,HAL 122)

A. Ariyah

Ariyah adalah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara cuma
cuma(gratis). Bila digantikan dengan sesuatu atau ada imbalannya , hal itu tidak dapat di sebut ariyah

1. Menurut ulama Syafi'iyah dan Hambaliyah

(Hadist)

Artiny:
“Pembalakan (untuk mengambil) manfaat tanpa mengganti. "

Akad ini berbeda dengan hibah, karena ariyah dimaksudkan untuk mengambil manfaat dari suatu
benda, sedangkan hibah mengambil zat benda tersebut.

Pengertian pertama memberikan makna kepemilikan sehinggl peminjam dibolehkan untuk


meminjamkan kepada orang lain. Adapt» pengertian kedua memberikan makna kebolehan, sehingga
peminjam tidak boleh meminjamkan kembali barang pinjaman kepada orang lain.

(FIKIH MUAMALAH , PROF D. H. RACHMAT SAFEI, MA. 2006 HAL 139-140)

B. Landasan Syara'

_Ariyah dianjurkan (mandub) dalam Islam, yang didasarkan pada Al-Quran dan Sunah.

a. Al-Quran

Artinya

“Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan takwa " (QS. Al-Maidah: 2)

b. As-Sunah

Dalam hadis Bukhari dan Muslim dari Anas, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW. telah meminjam kuda
dari Abu Thalhah, kemudian beliau mengendarainya.

Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang iayyid dari Shafwan Ibn
Umayyah, dinyatakan bahWa Rasulullah SAW. pernah meminjam perisai dari Shafwan bi” Umayyah
pada waktu Perang Hunain. Shafwan bertanya, “Apakah engkau merampasnya, ya Muhammad?” Nabi
menjawab, “Cuma meminjam dan aku bertanggung-jawab. ”

(FIKIH MUAMSLAH , PROF D. H. RACHMAT SAFEI, MA. 2006 HAL 140)

C. Dasar Hukum ‘Ariyah

Menumt Sayyid Sabiq, tolong menolong ('ariyah) adalah sunnah. sedangkarg menurut al-Ruyani,
sebagaimana dikutip olehTaqiy amin, bah“ 'anyall hukumnya wajib ketika awal Islam. Adapun landasan
hukumnya dari nash Alquran ialah:

Dan tolong-menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-
menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan (A.l-Maidah: 2).
Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan amanat ng kepada yang berhak
menerimanya(Al-Nisa: 58). “.(FIQH MUAMALAH , DR. H. HENDI SUHENDI, M.SI. 2005 ,HAL 93)

D. Rukun dan Syarat Ariyah

1. Rukun ariyah

Ulama Hanaflyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab MW“! meminjamkan barang,
sedangkan qabul bukan merupakan rukun mymMenurut ulama Syafi'iyah, dalam ariyah disyaratkan
adanya lafazh ;higha' akad, yakni ucapan ijab dan qabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang
pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin. 4).

Secara umum, jumhur ulama fiqih” menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat, yaitu:

1, Mu'ir (peminjam)

2, Musta'ir (yang meminjamkan)

3.Mu'ar (barang yang dipinjam)

4. Shighat, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan
maupun perbuatan.

2. .Syaray ariyah 'Ulama fiqih mensyaratkan dalam akad ariyah sebagai berikut:

a. Mu'ir berakal sehat Dengan demikian, orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat
meminjamkan barang. Ulama Hanafiyah tidak menyamarkan sudah baligh, sedangkan ulama lainnya
menambahkan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang dapat berbuat kebaikan
sekehendaknya, tanpa dipaksa, bukan anak kecil, bukan orang bodoh, dan bukan orang yang sedang
pailit (bangkrut).

b.Pemegangan barang oleh peminjam

Ariyah adalah nansaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah memegang barang adalah
peminjam, seperti halnya dalam hibah.

c. Barang (musta'ar') dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnyu, iika musta'ar tidak dapat
dimanfaatkan, akad tidak “sah.” Para ulama telah menetapkan bahwa ariyah di bolehkan terhadap
setiap barang yang dapat diambil manfaatnya dan tanpa merusak zatnya, seperti meminjamkan tanah,
pakaian, binatang, dan lain.lain.
Diharamkan meminjam senjata dan kuda kepada musuh, juga diharamkan meminjamkan Al-Quran atau
yang berkaitan daengan Al-Quran kepada orang kafir. Juga dilaran g meminjamkan alat berburu kepada
orang yang sedang ihram.”

d.Benda yang diutangkan. Pada rukun ketiga ini disyaratkan dua hal, yaitu: '

#Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak sah 'an'yah yang materinya tidak dapat
digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk
menyimpan padi;

#Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal 'ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh
syara', seperti meminjam benda-benda najis.

.(FIQH MUAMALAH , DR. H. HENDI SUHENDI, M.SI. 2005 ,HAL 94-95

E. Tanggung Jawab Peminjam

Bila peminjam telah memegang barang-barang .plnlaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewa'i
' a a emammnya, balk karena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya. Demikian
menurut Ibm Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syafi'i, dan Ishaq dalam Hadis yang diriwayatkan oleh
Samurah, Rasulullah Saw bersabda:

(Hadist)

"Pemegang berkewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengembalikannya”.

Sementara para pengikut Hanafi dan_ Maliki pendapat bahwa, peminjam tidak berkewajiban menjamin
baranh pinjamannya, kecuali karena tindakannya yang berlebihan, karema Rasulullah Saw. bersabda:

(Hadist)

'peminjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan orang yang dititipi yang
tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan ' (Dikeluarkan al-Daruquthni).

.(FIQH MUAMALAH , DR. H. HENDI SUHENDI, M.SI. 2005 ,HAL 97)

F. Tatakrama Berutang

Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam meminjam atau utang-piutang tentang nilai-
nilai sopan-santun yang terkait di dalamnya, ialah sebagai berikut.
a. Sesuai dengan QS AI-Baqarah: 282, utang-piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak
berutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki atau dengan seorang saksi laki-laki dengan dua
orang saksi wanita. Untuk dewasa ini tulisan tersebut dibuat di atas kertas bersegel atau bermaterai.

b. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati
akan membayarnya/ mengembalikannya.

c. Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak berutang. Bila yang
meminjam tidak mampu mengembalikan, maka yang berpiutang hendaknya membebaSJ kannya.

d. fihak yang berutang bila sudah mampu membayar pinjaman. Hendaknya dipercepat pembayaran
utangnya karena lalai dalam Pembayaran pinjaman berarti berbuat zalim.

.(FIQH MUAMALAH , DR. H. HENDI SUHENDI, M.SI. 2005 ,HAL 98)

Anda mungkin juga menyukai