Anda di halaman 1dari 8

1


Al ijarah berasal dari kata al ajru yang berarti
sewa-menyewa dan upah. Makna operasional kata
ijarah menurut Idris Akhmad dalam bukunya yang
berjudul Fiqh Syafi’i berarti upah – mengupah,
sedangkan Kamaluddin A. Marzuki sebagai
penterjemah Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq
menjelaskan makna ijarah dengan sewa menyewa.
Menurut Hanafiah ijarah ialah : “akad untuk
membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui
dan disengaja dari suatu zat yang disewa dengan
imbalan”
Menurut Sayid Sabiq bahwa ijarah ialah suatu
“Jenis akad untuk mengambil manfaat dengan
jalan penggantian”
Menurut Hasbi Ash Shiddiqie ijarah : “akad yang
obyeknya ialah penukaran manfaat untuk masa
tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan,
sama dengan menjual manfaat”.
2

Menurut Idris Akhmad bahwa upah artinya


mengambil manfaat tenaga orang lain dengan
jalan memberi ganti menurut syarat tertentu.
Berdasarkan definisi-definisi diatas, kiranya dapat
difahami bahwa ijarah adalah menukar sesuatu
dengan ada imbalannya, diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia berarti sewa – menyewa dan
upah mengupah, sewa – menyewa adalah :
“menjual manfaat”

dan upah mengupah adalah :

Dasar hukum ijarah adalah Alqur’an, al


sunnah dan al Ijma’
Dasar hukum ijarah dalam Al Qur’an adalah:
“Jika mereka telah menyusukan anakmu, maka
berilah upah mereka” (al Thalaq: 6)
Dasar hukum ijarah dalam Al Hadist : “berikanlah
olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya
kering”
3

Landasan Ijma’ ialah semua umat bersepakat


dan tak ada seorangpun ulama membantahnya.

1. Mu’jir dan musta’jir, yaitu orang yang


melakukan akad sewa-menyewa atau upah
mengupah. Mu’jir adalah yang memberikan
upah dan yang menyewakan, musta’jir
adalah orang yang menerima upah untuk
melakukan sesuatu dan yang menyewa
sesuatu, disyaratkan pada mu’jir dan
musta’jir adalah baligh, berakal, cakap
melakukan tasharruf (dapat mengendalikan
harta) dan saling meridloi. Allah berfirman :
2. Sighot ijab kabul antara mu’jir dan musta’jir.
3. Ujrah, disyaratkan diketahui jumlahnya oleh
kedua belah fihak, baik dalam sewa
menyewa maupun dalam upah mengupah.
4. Barang yang disewakan atau sesuatu yang
dikerjakan dalam upah mengupah,
disyaratkan pada barang yang disewakan
4

dengan beberapa syarat :


 hendaklah barang yang menjadi obyek
akad sewa-menyewa dan upah mengupah
dapat dimanfaatkan kegunaannya.
 Hendaklah benda yang menjadi obyek
sewa menyewa dan upah mengupah
dapat diserahkan kepada penyewa dan
pekerja berikut kegunaannya (khusus
dalam sewa-menyewa)
 Manfaat dari benda yang disewa adalah
perkara yang mubah (boleh) menurut
syara’ bukan yang dilarang (diharamkan)
 Benda yang disewakan disyaratkan kekal
‘ain (zat) nya hingga waktu yang
ditentukan menurut perjanjian dalam
akad.

Upah dalam perbuatan ibadah (ketaatan)


seperti shalat, puasa, haji dan membaca al Qur’an
5

diperselisihkan kebolehannya oleh para ulama,


karena berbeda cara pandang terhadap pekerjaan-
pekerjaan ini.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa ijarah
dalam perbuatan taat, seperti menyewa orang lain
untuk shalat, puasa, haji atau membaca al Qur’an
yang pahalanya dihadiahkan kepada orang
tertentu, seperti kepada arwah ibu dan bapak dari
yang menyewa, azan, qomat dan menjadi imam,
haram hukumnya mengambil upah dari pekerjaan
tsb. karena Rasulallah bersabda : “bacalah oleh al
Qur’an dan jangan kamu (cari) makan dengan
jalan itu”.
Perbuatan seperti azan, qomat, shalat, haji,
membaca al Qur’an dan zikir adalah tergolong
perbuatan untuk taqorrub kepada Allah, oleh
karenanya tidak boleh mengambil upah atas
pekerjaan itu selain dari Allah.
6

Jika ijarah itu suatu pekerjaan, maka kewajiban

pembayaran upahnya pada waktu berakhirnya

pekerjaan, bila tidak ada pekerjaan lain, jika akad

sudah berlangsung dan tidak disyaratkan

mengenai pembayaran dan tidak ada ketentuan

penangguhannya, menurut Abu Hanifah wajib

diserahkan upahnya secara berangsur, sesuai

dengan manfaat yang diterimanya.

Hak menerima upah bagi musta’jir adalah sbb

: ketika pekerjaan selesai dikerjakan. Hadist nabi :

“jika menyewa barang, maka uang sewaan

dibayar ketika akad sewa, kecuali bila dalam akad

ditentukan lain, manfaat yang diijarahkan

mengalir selama penyewaan berlangsung”.


7

Musta’jir dibolehkan menyewakan lagi barang

sewaan kepada orang lain, dengan syarat

penggunaan barang itu sesuai dengan

penggunaan yang dijanjikan ketika akad.

Ijarah akan menjadi batal (fasakh) bila ada

hal-hal sebagai berikut :

1. terjadinya cacat pada barang sewaan yang

kejadian itu terjadi pada tangan penyewa.

2. rusaknya barang yang disewakan, seperti

rumah menjadi runtuh.

3. rusaknya barang yang diupahkan, seperti

baju yang diupahkan untuk dijahitkan.


8

4. terpenuhinya manfaat yang diakadkan,

berakhirnya masa yang telah ditentukan dan

selesainya pekerjaan

5. menurut Hanafiah, boleh membatalkan ijarah

dari salah satu fihak.

Anda mungkin juga menyukai