Anda di halaman 1dari 23

Sewa Menyewa Dan Upah ( Ijarah)

(Pengertian, Dalil Ijarah, Rukun dan syarat Ijarah ,macam-


macam ijarah,upah untuk jasa, jenis-jenis sewa, aplikasi ijarah
dan pembatalan dan berakhirnya Ijarah)

MAKALAH

Disusun Untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah

Fiqih Muamalah

Disusun oleh: kelompok 10

1 AdityaRahmat Nandito : 2030504093

2 Reggi Asirina : 2030504080

Dosen Pengampu :

Ahmad Nizam, S.Ag. , M.H.I

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI PROGRAM STUDI
MANAJEMEN DAKWAH

i
KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan puja & puji syukur atas rahmat & ridho
Allah SWT. Karena tanpa rahmat & Ridho-Nya kita tidak dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik dan selesai dengan tepat waktu waktu.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Ahmad Nizam,
S.Ag,M.H.I selaku dosen Pengampu fiqih muamalah yang memimpin kami
dalam pengerjaan tugas makalah ini. Dalam penulisan makalah ini penulis
merasa masih banyak kekurangan kekurangan baik pada teknis penulisan
maupun materi, mengingat kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik
dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan
makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih


yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan
makalah ini.

Palembang, 11 Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................i
DAFTAR ISI ............................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN .......................................................................................
A. LatarBelakangMasalah.............................................................................
B. Rumusan Masalah...................................................................................
C. TujuanPenulisan.......................................................................................
BAB II
PEMBAHASAN .......................................................................................... ..
A.Pengertian Ijarah.................................................
B. Dasar Hukum Ijarah.....................................................
C.Rukun dan Syarat Ijarag......................
D. Macam - Macam Ijarah.......................
E. Upah Jasa Untuk jasa yang berkaitan dengan ibadah.......................
F. Memahami tentang jenis-jenis sewa menyewa dan upah (Ijarah) yang berlaku
dalam masyarakat
BAB III
PENUTUP ...................................................................................................
A. Kesimpulan......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Ijārah merupakan tata cara sewa menyewa dalam Islam. Secara


terminologis, Ijārah adalah upah sewa yang diberikan kepada seseorang
yang telah mengerjakan satu pekerjaan sebagai balasan atas pekerjaannya.
Tujuan persewaan ini adalah untuk memperkenalkan nilai dan etika Islam
dalam hal sewa menyewa barang. Secara umum, Ijārah berarti pemindahan
manfaat atas suatu barang. Melihat pola transaksinya, Ijārah menyerupai
jual beli, hanya saja apabila jual beli yang menjadi obyek transaksi adalah
barang sedang Ijārah adalah jasa. Jasa yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah jasa persewaan alat pesta. Lafal al-ijarah dalam bahasa arab berarti
upah, sewa, jasa, atau imbalan. Al-ijarah merupakan salah satu bentuk
muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-
meyewa, kontrak, atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain.
Ijarah menurut arti lughat adalah balasan, tebusan, atau pahala. Menurut
syara’ berarti melakukan akad mengambil manfaat sesuatu yang diterima
dari orang lain dengan jalan membayar sesuai dengan perjanjian yang telah
ditentukan dengan syarat-syarat tertentu pula.
B. Rumusan Masalah
1. Bagiamana pengertian dari ijarah?
2. Apa saja dasar hukum ijarah?
3. Apa saja yang termasuk dalam rukun dan syarat dari ijarah?
4. Apa saja macam-macam dari ijarah?
5. Bagiamanakah upah jasa untuk jasa yang berkaitan dengan ibadah?
6. Bagaimana tentang jenis-jenis sewa menyewa dan upah (ijarah) yang
berlaku dalam masyarakat?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami apa pengertian dari Ijarah
2. Untuk mengetahui dasar hukum Ijarah
3. Untuk mengetahui apa saja yang termasuk dalam rukun dan syarat Ijarah
4. Memahami macam-macam dari Ijarah
5. Untuk mengetahui upah jasa untuk jasa yang berkaitan dengan ibadah
6. Untuk Memahami tentang jenis-jenis sewa menyewa dan upah(Ijarah)
yang berlaku dalam masyarakat

iv
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijarah

Lafal al-ijarah dalam bahasa Arab berarti upah, sewa, jasa, atau imbalan.
Al-ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi
keperluan hidup manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa
perhotelan, dan lain-lain.
Secara terminologi ada beberapa definisi al-ijarah yang dikemukakan para
ulama fiqih. Ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan transaksi terhadap
suatu manfaat dengan imbalan. Syafi'iyah menjelaskan ijarah adalah akad atas
suatu manfaat tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan
kompensasi atau imbalan tertentu. Makaliyah mengatakan, ijarah adalah
perpindahan kepemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu
tertentu dengan suatu kompensasi tertentu. Berdasarkan definisi diatas, maka
akad al-ijarah diartikan sebagai akad pemindahan hak pakai atas barang atau
jasa dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan (upah sewa), yang tidak dikuti
oleh pemindahan hak milik atas barang yang disewa. Subtansi akad ijarah
terletak pada pengambilan manfaat atas barang atau jasa yang diimbangi
dengan upah dalam waktu tertentu.1

B. Hukum Ijarah dan Dasar Hukumnya

Hukum Ijarah diperbolehkan dalam hukum Islam berdasarkan firman Allah


surat Al-Baqarah (2) ayat:233 yang berbunyi:

‫ا ِملَي ِْن ۖ لِ َم ْن َأ َرا َد َأ ْن يُتِ َّم‬GGG‫ ْولَي ِْن َك‬GGG‫ع َْن َأ ْواَل َدهُ َّن َح‬GGG‫ض‬ ِ ْ‫ات يُر‬ُ ‫ َد‬GGGِ‫َو ْال َوال‬
ُ َّ‫ُوف ۚ اَل تُ َكل‬
‫ف‬ ِ ‫ال َم ْعر‬G ْ Gِ‫ َوتُه َُّن ب‬G ‫هُ ِر ْزقُه َُّن َو ِك ْس‬G َ‫و ِد ل‬GGُ‫ضا َعةَ ۚ َو َعلَى ْال َم ْول‬َ ‫ال َّر‬
‫ ِد ِه ۚ َو َعلَى‬G َ‫هُ بِ َول‬G َ‫و ٌد ل‬GGُ‫ ِدهَا َواَل َم ْول‬G َ‫ َدةٌ بِ َول‬G ِ‫ا َّر َوال‬G ‫ض‬
َ ُ‫ َعهَا ۚ اَل ت‬G ‫نَ ْفسٌ ِإاَّل ُو ْس‬
‫ا ُو ٍر فَاَل‬G ‫اض ِم ْنهُ َما َوتَ َش‬ٍ ‫ر‬G َ Gَ‫ااًل َع ْن ت‬G ‫ص‬ َ Gِ‫ ُل ٰ َذل‬G ‫ث ِم ْث‬
َ ِ‫ِإ ْن َأ َرا َدا ف‬G َ‫ك ۗ ف‬G ِ ‫ار‬
ِ ‫و‬Gَ G‫ْال‬

1
Drs. Harun,Mh, Fiqih Muamalah, (Surakarta: Harun,2017),122

v
َ َ‫عُوا َأ ْواَل َد ُك ْم فَاَل ُجن‬GG‫ض‬
‫اح َعلَ ْي ُك ْم ِإ َذا‬GG ِ ْ‫اح َعلَ ْي ِه َما ۗ َوِإ ْن َأ َر ْدتُ ْم َأ ْن تَ ْستَر‬GG
َ َ‫ُجن‬
‫صي ٌر‬ ِ َ‫ون ب‬ َ ُ‫ُوف ۗ َواتَّقُوا هَّللا َ َوا ْعلَ ُموا َأ َّن هَّللا َ بِ َما تَ ْع َمل‬
ِ ‫َسلَّ ْمتُ ْم َما آتَ ْيتُ ْم بِ ْال َم ْعر‬

" Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah
kepada Allah, dan ketahuilah bahwa Allah Maha melipat gandakan apa yang
kamu kerjakan."

Adapun dasar hukum tentang kebolehan al-ijarah dalam al-Quran terdapat


dalam beberapa ayat diantaranya firman Allah antara lain:

1. Surat at-Thalaq ayat 6:

‫ض ۡع َن لَـ ُكمۡ فَ ٰا تُ ۡوهُ َّن‬


َ ‫فَاِ ۡن اَ ۡر‬
“Jika mereka telah menyusukan anakmu, maka berilah upah mereka”

2. surat al-Qashash ayat 26:

َ ْ‫ت ا ْستَْأ ِجرْ هُ ۖ ِإ َّن َخي َْر َم ِن ا ْستَْأ َجر‬


ُّ‫ت ْالقَ ِوي‬ ِ َ‫ت ِإحْ َداهُ َما يَا َأب‬
ْ َ‫قَال‬
ُ ‫اَأْل ِم‬
‫ين‬
“Salah seorang dari wanita itu berkata: wahai bapakku, upahlah dia,
sesungguhnya orang yang engkau upah itu adalah orang yang kuat dan dapat
dipercaya”

Adapun dasar hukum dari hadits Nabi diantaranya adalah:


1. Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi
saw.
2. bersabda:
3. “Rasulullah saw berbekam, kemudian beliau memberikan upah kepada
tukang-tukang itu”.
4. Riwayat Ibnu Maajah, Rasulullah bersabda:

vi
5. ”Berikanlah upah atau jasa kepada orang yang diupah sebelum kering
keringatnya”.
6. Adapun dasar hukum ijarah berdasarkan ijma’ ialah semua umat
sepakat, tidak ada seorang ulama pun membantah kesepakatan (ijma’)
ini, sekalipun ada beberapa orang diantara mereka yang berbeda
pendapat, tetapi hal itu tidak dianggap. Umat Islam pada masa sahabat
telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.
7. Perlu diketahui bahwa tujuan disyariatkannya ijarah itu adalah untuk
memberikan keringanan kepada umat dalam pergaulan hidup. Seseorang
mempunyai uang tetapi tidak dapat bekerja; dipihak lain ada yang punya
tenaga dan membutuhkan uang. Dengan adanya ijarah keduanya saling
mendapat keuntungan dan memperoleh manfaat.2

C. Rukun dan Syarat Ijarah

Ijarah meupakan sebuah transaksi atas suatu manfaat. Dalam hal ini,
manfaat menjadi obyek manfaat transaksi. Dari segi ini, ijarah dapat dibedakan
menjadi dua. Pertama, ijarah yang mentransaksikan manfaat harta benda yang
lazim disebut persewaan. Misalnya menyewa rumah, pertokoan, kendaraan,
dan lain sebagainya. Kedua, ijarah yang mentransaksikan manfaat SDM
(Sumber Daya Manusia) yang lazim disebut perburuhan.3
Oleh karena itu, transaksi ijarah dalam kedua bentuknya sebagai transaksi
umum akan sah bila terpenuhi rukun dan syarat. Adapun rukun dan syaratnya
sebagai berikut:
1. Rukun Ijarah
Rukun dari ijarah sebagai suatu transaksi adalah akad atau perjanjian
kedua belah pihak, yang menunjukkan bahwa transaksi itu telah berjalan secara
suka sama suka. Adapun unsur yang terlibat dalam transaksi ijarah itu adalah:
a. Orang yang menggunakan jasa, baik dalam bentuk tenaga atau
benda yang kemudian memberikan upah atas jasa tenaga atau

2
Drs. Harun,Mh, Fiqih Muamalah, (Surakarta: Harun,2017), 122-124.
3
Ghufron A. Mas’adi,fiqih muamalah kontekstual, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002),
183.

vii
sewa dari jasa benda yang digunakan, disebut pengguna jasa
(mūjir)
b. Orang yang memberikan, baik dengan tenaganya atau dengan
alat yang dimilikinya, yang kemudian menerima upah dari
tenaganya atau sewa dari benda yang dimilikinya, disebut
pemberi jasa atau (musta’jir )
c. Objek transaksi yaitu jasa, baik dalam bentuk tenaga atau benda
yang digunakan disebut (ma’jur)
d. Imbalan atau jasa yang diberikan disebut upah atau sewa (ujrah)
Menurut ulama mazhab Hanafi rukun ijarah hanya ada satu,
yaitu ijab dan qabul.Sedangkan jumhur ulama berpendapat,
bahwa rukun ijarah itu ada empat, sebagai berikut:
a. ‘Aqid (orang yang akad)
‘Aqid adalah orang yang melakukan perjanjian/transaksi, yaitu orang yang
menyewakan (mu’jir) dan orang yang menyewa (musta’jir).
b. Sigat akad
Sigat akad adalah pernyataan yang menunjukkan kerelaan atau
kesepakatan dua pihak yang melakukan kontrak atau transaksi.
c. Ujrah (upah)
Ujrah adalah member imbalan sebagai bayaran kepada seseorang yang
telah diperintah untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan tertentu dan bayaran itu
diberikan menurut perjanjian yang telah disepakati bersama.
d. Manfaat.
Di dalam pasal 251 Kompilasi Hukum Ekonomi Syaria, rukun ijarah
adalah:
a. Pihak yang menyewa;
b. Pihak yang menyewakan;
c. Benda yang diijarahkan; dan
d. Akad.
Dalam hal akad sebagaimana yang telah tercantum dalam pasal 252
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah tersebut bahwasanya shigat akad ijarah
harus menggunakan kalimat yang jelas, namun juga dapat dilakukan dengan
lisan, tulisan atau isyarat.
2. Syarat ijarah

viii
Supaya transaksi ijarah itu bisa dianggap sah, maka ada beberapa syarat yang
mengiringi beberapa rukun yang harus dipenuhi. Syarat-syarat tersebut
meliputi:
a. ‘Aqid
Kedua belah pihak yang melakukan akad disyaratkan memiliki
kemampuan, yaitu berakal dan dapat membedakan (baik dan buruk). Jika salah
satu pihak adalah orang gila atau anak kecil, akadnya dianggap tidak sah. Para
penganut Mazhab Syafi’i dan Hambali menambah syarat lain, yaitu baligh.
Jadi, menurut mereka, akad anak kecil meski sudah tamyiz, dinyatakan tidak
sah jika belum balig. Berbeda dengan kedua Mazhab di atas, Mazhab Hanafi
dan Maliki mengatakan, bahwa orang yang melakukan akad tidak harus
mencapai usia baligh, tetapi anak yang telah mumayyiz pun boleh melakukan
akad ijarah dengan ketentuan disetujui
oleh walinya.
b. Sigat akad antara mu’jir dan musta’jir
Syarat sah sigat akad dapat dilakukan dengan lafad atau ucapan dengan
tujuan orang yang melakukan perjanjian atau transaksi dapat dimengerti.
Berkaitan dengan hal tersebut umum dilakukan dalam semua akad, karena
yang dijadikan pedoman dalam ijab qabul adalah sesuatu yang dapat dipahami
oleh dua orang yang melakukan akad sehingga tidak menimbulkan keraguan
dan pertentangan.
Selain itu, ketentuan umum yang ada dan menjadi pedoman hukum apabila
perkataan yang dinyatakan adalah sesuai dengan niat dan kehendak dalam hati
yang dinamakan sigat yang dapat dilakukan dengan secara lisan, tulisan dan
isyarat yang memberikan yang jelas tentang adanya ijab qabul. Sigat dapat juga
berupa perbuatan yang telah menjadi
c. Ujrah (upah)
Para ulama telah menetapkan syarat upah, yaitu: pertama, berupa
harta tetap yang dapat diketahui. Kedua, tidak boleh sejenis dengan barang
manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa rumah untuk ditempati dengan
menempati rumah tersebut. Upah (ujrah) dapat digolongkan menjadi 2, yaitu:
a. Upah yang telah disebutkan (ajr al-musamma), yaitu upah yang telah
disebutkan pada awal transaksi, syaratnya adalah ketika disebutkan
harus disertai adanya kerelaan (diterima oleh kedua belah pihak).

ix
b. Upah yang sepadan (ajr al-miṭli) adalah upah yang sepadan dengan kerjanya
serta sepadan dengan kondisi pekerjaannya. Maksudnya adalah harta yang
dituntut sebagai kompensasi dalam suatu transaksi
yang sejenis pada umumnya.
Dengan demikian, persyaratan penetapan upah atas objek ijarah yang
terdapat dalam pasal 6 Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor: PER-04/BL/2007 tentang akad-akad yang
digunakan dalam kegiatan dalam kegiatan perusahaan pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah, wajib memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1) Besarnya harga ujrah atas objek ijarah dan cara pembayaran ditetapkan
menurut kesepakatan yang dibuat dalam akad secara tertulis.
2) Alat pembayaran ujrah atas objek ijarah adalah berupa uang atau bentuk lain
yang memiliki nilai yang sama yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Sementara itu, menurut Sayyid Sabiq sebuah akad sewa (ijarah) dinyatakan sah
jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Kerelaan kedua pihak pelaku akad. Apabila salah satu pihak dipaksa untuk
melakukan akad, maka akadnya dinyatakan tidak sah sebagaimana yang telah
disebutkan dalam al-Qur’an surat an-Nisaa’ ayat 29:

َ G‫ ِل ِإاَّل َأ ْن تَ ُك‬G‫اط‬
‫ون‬G َ G‫ْأ ُكلُوا َأ ْم‬Gَ‫وا اَل ت‬GGُ‫ين آ َمن‬
ِ َ‫والَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالب‬G َ ‫ا الَّ ِذ‬GGَ‫يَا َأيُّه‬
َ ‫اض ِم ْن ُك ْم ۚ َواَل تَ ْقتُلُوا َأ ْنفُ َس ُك ْم ۚ ِإ َّن هَّللا َ َك‬
‫ان بِ ُك ْم َر ِحي ًما‬ ٍ ‫ارةً َع ْن تَ َر‬ َ ‫تِ َج‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta


sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlangsung suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

2. Mengetahui manfaat barang tersebut dengan jelas guna mencegah terjadinya


fitnah. Upaya dilakukan dengan melihat langsung barang. Atau cukup dengan
penjelasan akan criteria barang termasuk masa sewa, sebulan atau setahun.
3. Barang yang menjadi obyek akad dapat diserahterimakan pada saat akad,
baik secara fisik atau definitive.
4. Barang dapat diserahterimakan, termasuk manfaat yang dapat digunakan
oleh penyewa.

x
5. Manfaat barang tersebut status hukumnya mubah, bukan termasuk yang
diharamkan.
Mengenai syarat pelaksanaan dan penyelesaian ijarah telah diatur dalam
pasal 257-260 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, yakni: Pertama, untuk
menyelesaikan suatu proses akad ijarah, pihak-pihak yang melakukan akad
harus mempunyai kecakapan melakukan perbuatan hukum. Kedua, akad ijarah
dapat dilakukan dengan tatap muka maupun jarak jauh. Ketiga, pihak yang
menyewakan benda haruslah pemilik, wakilnya atau pengampunya.
Dengan demikian, jika rukun dan syaratnya terpenuhi, maka perjanjian akad
ijarah tersebut sah dan mempunyai kekuatan hukum atas perjanjian yang sah,
bahwasanya perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan i'tikad baik.4

D. Macam-Macam Ijarah

Dilihat dari segi obyeknya ijarah dapat dibagi menjadi dua macam: yaitu
ijarah yang bersifat manfaat dan yang bersifat pekerjaan. Pertama, Ijarah yang
bersifat manfaat misalnya: sewa-menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian
(pengantin) dan perhiasan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang
dibolehkan syara’ untuk dipergunakan, maka para ulama fiqih sepakat
menyatakan boleh dijadikan objek sewa-menyewa.

Menurut ulama Hanafiyah, ketetapan akad ijarah kemanfaatan yang sifatnya


mubah. Menurut ulama Malikiyah, hukum ijarah sesuai dengan keberadaan
manfaat. Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa hukum ijarah
tetap pada keberadaannya, dan hukum tersebut menjadikan masa sewa seperti
benda yang tampak.
Kedua, ijarah yang bersifat pekerjaan adalah dengan cara mempekerjakan
seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Ijarah semacam ini dibolehkan
seperti buruh bangunan, tukang jahit, tukang sepatu, dan lain-lain, yaitu ijarah
yang bersifat kelompok (serikat). Ijarah yang bersifat pribadi juga dapat
dibenarkan seperti menggaji pembantu rumah tangga, tukang kebun dan
satpam.
Dalam hal ini ijarah yang bersifat pekerjaan atau upah-mengupah dibagi
menjadi dua, yaitu:
4
Ibid, 71.

xi
1. Ijarah khusus
2. Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya, orang
3. yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang telah
memberinya
4. upah.
5. Ijarah musytarik
6. Yaitu ijarah yang dilakukan bersama-sama atau melalui kerjasama.
Hukumnya, dibolehkan bekerjasama dengan orang lain.
7. Ijarah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
8. Ijarah ‘Ayan: dalam hal ini terjadi sewa menyewa dalam bentuk benda
atau
9. binatang dimana orang yang menyewakan mendapatkan imbalan dari
10. penyewa.
11. Ijarah Amal: dalam hal ini terjadi sewa menyewa dalam bentuk jasa
atau skill (kemampuan).5

E. Upah untuk jasa yang berkaitan dengan ibadah

Upah dalam perbuatan ibadah (ketaatan) seperti shalat, shaum, haji dan
membaca Al-Qur’an diperselisihkan kebolehannya oleh para ulana karena
berbeda cara pandang terhadap pekerjaan-pekerjaan ini.

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa ijarah dalam perbuatan taat seperti


menyewa orang lain untuk shalat, shaum, haji atau membaca Al-Qur’an yang
pahalanya dihadiahkan kepada orang tertenu seperti kepada ibu bapak dari
yang menyewa, adzan, qamat dan menjadi imam, haram hukumnya mengambil
upah dari pekerjaan tersebut.

Rasulullah SAW bersabda, “ Bacalah olehmu Al-Qur’an dan jangan


kamu (cari) makan dengan jalan itu”

5
M. Ali Hasan, Berbagai macam transaksi alam islam, 236.

xii
Rasulullah SAW bersabda “ Jika kamu mengangkat seseorang menjadi
mu’adzin maka janganlah kamu pungut dari adzan itu suatu upah.”

Perbuatan seperti adzan, qamat, shalat, haji, shaum, membaca Al-Qur’an


dan dzikir tergolong perbuatan untuk taqarrub kepada Allah karenanya tidak
boleh mengambil upah untuk pekerjaan itu selain dari Allah.

Hal yang sering terjadi di beberapa daerah di nusantara, apabila


seseorang muslim wafat, maka keluarganya menyusurh para santri atau muslim
lainnya untuk membaca Al-Qur’an di rumhanya selama beberapa malam, dan
ketika selesai pada waktu yang telah ditentukan , mereka diberi upah.

Pekerjaan ini batal menurut Islam karena membaca Al-Qur’an bila


bertujuan untuk memperoleh harta maka tak ada pahalanya. Lantas apa yang
dihadiahkan kepada mayit, sekalipun pembaca Al-Qur’an berniat karena Allah,
maka pahala pembacaan ayat Al-Qur’an untuk dirinya sendiri dan tidak bisa
diberikan kepada orang lain.

Allah SWT berfirman, “ Ia mendapat pahal (dari kebajikan) yang


diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.”
(QS. Al-Baqarah 2 :286)

Beberapa pendapat ulama mazhab tentang upah dalam ibadah :

1.      Imam Abu Hanifah dan Ahmad melarang pengambilan upah dari
tilawat Al-Qur’an dan mengajarkannya bila kaitan pembacaan
dan pengajarannya dengan taat atau ibadah. Sementara Maliki
berpendapat boleh mengambil imbalan dari pembacaan dan
pengajaran Al-Qur’an, azan dan badal Haji.

2.      Madzhab Maliki, Syafi’I dan Ibnu Hazm membolehkan


mengambil upah sebagai imbalan mengajarkan Al-Qur’an dan
ilmu-ilmu karena ini termasuk jenis imbalan perbuatan yang
diketahui dan dengan yang diketahui pula.

xiii
3.      Menurut madzhab Hambali bahwa pengambilan upah dan
pekerjaan azan, qamat, mengajarkan Al-Qur’an, fiqh, hadits,
badal haji dan shaum qadha adalah tidak boleh, diharamkan bagi
pelakunya untuk mengambil upah tersebut.

Namun, boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan tersebut


jika termasuk kepada mashalih seperti mengajarkan Al-Qur’an,
hadits dan fiqih. Dan haram mengambil upah yang termasuk
kepada taqarrub seperti membaca Al-Qur’an, shalat dan ibadah
yang lainnya.

4.      Imam syafi’i berpendapat bahwa pengambilan upah dari


pengajaran berhitung, khat, bahasa, sastra, fiqih, hadits,
membangun masjid, menggali kuburan, memandikan mayat dan
membangun madrasah adalah boleh.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengambilan upah


menggali kuburan dan membawa jenazah boleh, namun
pengambilan upah memandikan mayat tidak boleh.

a. Pembayaran upah dan Sewa

Jika Ijarah itu suatu pekerjaan maka kewajiban pembayaran


upahnya pada waktu berakhirnya pekerjaan. Bila tidak ada pekerjaan
lain, jika akad sudah berlangsung dan tidak disyaratkan mengenai
pembayaran dan tidak ada ketentuan penangguhannya, menurut Abu
Hanifah wajib diserahkan upahnya secara berangsur sesuai dengan
manfaat yang diterimanya.

Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad, sesungguhnya ia berhak


dengan akad itu sendiri. Jika mu’jir menyerahkan zat benda yang
disewa kepada musta’jir (penyewa), ia berhak menerima bayarannya
karena musta’jir sudah menerima kegunaannya. Hak menerima upah
musta’jir adalah sebagai berikut :

xiv
1.      Ketika pekerjaan selesai dikerjakan

Rasulullah Saw bersabda, “Berikanlah upah sebelum keringat


pekerja itu mengering”. (HR. Ibnu Majah)

2.      Jika menyewa barang, uang sewaan dibayar ketika akad sewa
terjadi kecuali bila dalam akad ditentukan lain, manfaat barang
yang diijarahkan mengalir selama penyewaan berlangsung.

b. Tanggung jawab orang yang digaji/ upah

Pada dasarnya semua yang dipekerjakan untuk pribadi dan


kelompok (serikat) harus mempertanggungjawabkan pekerjaan masing-
masing. Sekiranya terjadi kerusakan atau kehilangan, maka dilihat
dahulu permasalahannya apakah ada unsur kelalaian/kesengajaan atau
tidak. Jika tidak maka tidak perlu diminta penggantinya dan jika ada
unsur kelalaian atau kesengajaan, maka dia harus
mempertanggungjawabkannya, apakah dengan cara mengganti atau
sanksi lainnya yang disepakati kedua belah pihak.

Sekiranya menjual jasa itu untuk kepentingan orang banyak


seperti tukang jahit dan tukang sepatu, maka ulama berbeda pendapat.

Imam Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat bahwa apabila


kerusakan itu bukan karena unsur kesengajaan dan kelalaian maka
pekerja itu tidak dituntut ganti rugi.

Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (murid Abu


Hanifah) berpendapat bahwa pekerja itu ikut bertanggung jawab atas
kerusakan tersebut, baik disengaja ataupun tidak. Berbeda tentu kalau
terjadi kerusakan di luar batas kemampuannya seperti banjir, kebakaran,
gempa dll.

Menurut madzhab Maliki, apabila sifat pekerjaan itu membekas


pada barang itu seperti binatu, juru masak dan buruh angkut (kuli) maka

xv
baik sengaja maupun tidak, segala kerusakan menjadi tanggung jawab
pekerja itu dan wajib ganti rugi.

c. Menyewakan barang sewaan

Musta’jir dibolehkan menyewakan lagi bawang sewaan kepada


orang lain dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan
penggunaan yang dijanjikan ketika akad. Seperti penyewaan seekor
kerbau, ketika akad dinyatakan bahwa kerbau itu disewa untuk
membajak sawah, kemudian kerbau tersebut disewakan lagi dan timbul
musta’jir kedua, maka kerbau itu pun harus digunakan untuk membajak
pula. Harga penyewaan yang kedua ini boleh lebih besar, lebih kecil
atau sama.

Bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang


bertanggung jawab adalah pemilik barang (mu’jir) dengan syarat
kecelakaan itu bukan akibat dari kelalaian musta’jir, bila kecelakaan
atau kerusakan benda yang disewa akibat kelalaian musta’jir maka yang
bertanggung jawab adalah musta’jir itu sendiri.

Misalnya menyewa mobil, kemudian mobil itu hilang dicuri


karena disimpan bukan pada tempat yang aman.

Perspektif Ekonomi Islam Tentang Upah Khataman Al-Qur’an

d. Ekonomi Konsep Upah (Ujrah) dalam Islam

“Dalam kehidupan bermasyarakat, disadari atau tidak


bahwa manusia selalu berhubungan antara satu dengan yang
lainnya guna memenuhi kebutuhan hidupnya.Dalam hubungan
kerja, satu pihak ada yang sebagai penyedia jasa manfaat atau
tenaga yang disebut buruh dan akan mendapatkan kompensasi
berupa upah, serta sebagai pihak yang menyediakan pekerjaan
yang disebut majikan. Dalam literatur fiqh dinamakan sewa
menyewa jasa tenaga manusia, yang disebut akad ijarah

xvi
al-‘amal,yaitu ijarah dengan cara memperkerjakan seseorang
untuk melakukan sesuatu”.

B. Khataman

1.Pengertian Khataman
“Khataman memiliki kata dasar yaitu Khatam,
dalamKamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
Kata Khatam memiliki tiga (3) arti kata yaitu tamat, selesai dan
habis. Sedangkan kata khataman
sendiri memiliki arti kegiatan membaca Al-Qur’an secara berurutan
mulai dari Surat Al-Fatihah sampai dengan Surat An-Naas tanpa
berhenti (terus bersambung)”.

2.Syarat-syarat Khataman

Adapun yang menjadi syarat-syarat khataman adalah


sebagai berikut:
a.Syarat pertama bagi seseorang yang hendak melakukan
khataman Al-Qur’an adalah beragama Islam.
b.Syarat kedua bagi seseorang yang hendak melakukan
khataman Al-Qur’an adalahharus lancar dalam melantunkan
ayat-ayat Al-Qur’an.
c.Syarat ketiga bagi seseorang yang hendak melakukan
khataman Al-Qur’an adalah harus menguasai ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan kaidah (tata cara) membaca Al-Qur’an yang
benar, seperti ilmu Tajwid atau Tahsin”.

F. Memahami tentang jenis-jenis sewa-menyewa dan upah (ijarah) yang


berlaku dalam masyarakat.

xvii
Definisi tata cara ijarah berbeda tergantung apakah berhubungan
dengan dengan sewa aset dan properti atau berhubungan dengan jasa.
Karena itu, jenis ijarah dibagi menjadi dua jenis:

a. Ijarah Murni
Praktik tata cara ijarah murni ini sama dengan perjanjian sewa
menyewa biasa. Dalamtata cara ijarah yang berkaitan dengan jasa ini
kedua belah pihak berkedudukan sama. Artinya jika perjanjian telah
selesai, maka pihak penyewa dan pihak yang menyewakan akan kembali
ke kedudukannya masing-masing.

Dalam skema tata cara ijarah murni, yang dititikberatkan adalah


jasa pemborongan suatu pekerjaan. Misalnya jasa borongan pembangunan
gedung, jasa borongan renovasi rumah dan lain sebagainya. Yang
diijarahkan bukan tenaga atau jasanya, namun hasil dari pekerjaan
pemborongan

b.Ijarah Muntahia Bi Al-Tamlik


Tata cara ijarah muntahia bi al-tamlik merupakan jenis ijarah yang
memiliki dua akad yang saling berangkaian. Dua akad tersebut yaitu akad
al-ba’i dan akad al-ijarah muntahia bi al-tamlik. Pertama adalah akad al-
ba’i yang merupakan akad jual beli. Kedua adalah akad al-ijarah muntahia
bi al-tamlik, yaitu akad ijarah (sewa menyewa) yang dikombinasikan
dengan akad jual beli di akhir masa sewa.

Secara sederhana, tata cara ijarah muntahia bi al-tamlik adalah


transaksi sewa menyewa yang memiliki dua akad, yaitu perjanjian
menyewa dalam periode tertentu, dan ketika masa sewa berakhir objek
sewa akan dijual atau dihibahkan kepada penyewa.

Praktik tata cara ijarah muntahia bi al-tamlik ini seringkali kita


jumpai dalam transaksi jual beli rumah. Dalam praktik tata cara ijarah,
uang sewa diwujudkan sebagai uang muka (DP) dan cicilan atau angsuran
tiap bulannya. Masa mencicil ini biasanya ditetapkan dalam periode

xviii
tertentu, misalnya selama 10 tahun. Kemudian jika masa sewa sudah
mencapai 10 tahun, maka rumah tersebut menjadi milik penyewa.

G. IMPLEMENTASI IJARAH DALAM LEMBAGA KEUANGAN

Perkembangan perekonomian masyarakat saat ini semakin


meningkat. Hal tersebut mengakibatkan munculnya beberapa jasa
pembiayaan yang ditawarkan diantaranya oleh lembaga perbankan
Syariah. Salah satu jasa perbankan syariah yang ditawarkan adalah jasa
pembiayaan Ijarah, Menurut fatwa Dewan Syariah Nasional, ijarah adalah
akad pemindahan hak guna atas suatu barang atau jasa dalam waktu
tertentu melalui pembayaran sewa atau upah, tanpa diikuti pemindahan
kepemilikan barang itu sendiri. Menurut fatwa MUI nomor:
09/DSNMUI/VI/2000 Tentang Pembiayaan Ijarah dinyatakan bahwa
kewajiban Lembaga Keuangan Syariah salah satunya adalah
“Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan.” Tetapi,
dalam praktiknya, BMT As-Syafi’ah Kota Metro tidak menyediakan
barang atau jasa tersebut. Pelaksanaan pembiayaan adalah dengan
memberikan sejumlah uang kepada anggota untuk membiarakan anggota
mencari objek ijarah sendiri.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah


implementasi akad ijarah yang dilakukan oleh BMT As-Syafi’ah Kota
Metro ditinjau dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 09/DSN-
MUI/VI/2000 Tentang Pembiayaan Ijarah. Jenis penelitian ini adalah
penelitian lapangan (field research). Sedangkan sifat penelitiannya bersifat
deskriptif. Sumber data yang digunakan adalah sumber data primer dan
sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik
wawancara dan dokumentasi. Data hasil temuan digambarkan secara
deskriptif dan dianalisis menggunakan cara berpikir induktif.

Hasil penelitian ini memparkan bahwa Praktik pembiayaan ijarah


yang dilaksanakan di BMT as-Syafi’iah kota Metro bukanlah menyewakan
suatu barang untuk diambil manfaatnya ataupun mempekerjakan seseorang

xix
untuk diberikan upah. Praktik ijarah yang dilaksanakan oleh BMT as-
Syafi’iah Metro hanya menyalurkan dana talangan berupa uang kepada
nasabah yang memerlukan untuk biaya penyewan objek ijarah. Namun
dari pihak BMT as-Syafi’iah kota Metro sangat menekankan kepada
nasabah saat pencairan dana bahwa dana yang diberikan adalah untuk
sewa objek ijarah maupun sebagaii upah jasa ijarah. Walaupun belum
sepenuhnya sesuai dengan fatwa DSN MUI yang menyatakan bahwa
obyek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang maupun jasa dari,
peraktiknya pencairan dana berupa uang bukan dalam bentuk barang
maupun jasa. Dan kewajiban LKS untuk menyediakan objek ijarah
Namun, secara garis besar prinsipil sama, hal ini sah karena demi
kemaslahatan bersama dan kesejahteraan lahir maupun bathin.

H. Pembatalan dan berakhirnya Ijarah

Batal dan Berakhirnya Upah


Ada beberapa hal yang menyebakan batal dan berakhirnya upah mengupah,
yaitu:
a. Terpenuhinya manfaat yang diakadkan
b. berakhirnya masa yang telah ditentukan
c. selesainya pekerjaan.
d. Pembatalan akad.6

Ijarah adalah jenis akad lazim, yaitu akad yang tidak membolehkan
adanya fasakh pada salah satu pihak, karena ijarah merupakan akad
pertukaran, kecuali bila didapati hal-hal yang mewajibkan fasakh. Ijarah
akan menjadi batal fasakh bila ada hal- hal sebagai berikut :
1 Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan
penyewa;
2 Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan
sebagainya;

6
Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 29.

xx
3 Rusaknya barang yang diupahkan ma’jur ‘alaih, seperti baju yang
diupahkan untuk dijahitkan;
4 Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah
ditentukan dan selesainya pekerjaan;
5 Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dan salah satu pihak, seperti
yang menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang
mencuri, maka ia dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.

xxi
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Lafal al-ijarah dalam bahasa Arab berarti upah, sewa, jasa, atau imbalan.
Al-ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi
keperluan hidup manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa
perhotelan, dan lain-lain. Ijarah meupakan sebuah transaksi atas suatu manfaat.
Dalam hal ini, manfaat menjadi obyek manfaat transaksi. Dari segi ini, ijarah
dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, ijarah yang mentransaksikan manfaat
harta benda yang lazim disebut persewaan. Misalnya menyewa rumah,
pertokoan, kendaraan, dan lain sebagainya. Kedua, ijarah yang
mentransaksikan manfaat SDM (Sumber Daya Manusia) yang lazim disebut
perburuhan. Dilihat dari segi obyeknya ijarah dapat dibagi menjadi dua
macam: yaitu ijarah yang bersifat manfaat dan yang bersifat pekerjaan.
Pertama, Ijarah yang bersifat manfaat misalnya: sewa-menyewa rumah, toko,
kendaraan, pakaian (pengantin) dan perhiasan. Apabila manfaat itu merupakan
manfaat yang dibolehkan syara’ untuk dipergunakan, maka para ulama fiqih
sepakat menyatakan boleh dijadikan objek sewa-menyewa.

B. Saran
Kami menyadari masih banyak kekurangan di dalam makalah kami, maka
dari itu kami minta saran dan kritikan bagi pembaca.

xxii
DAFTAR PUSTAKA

Drs. Harun,Mh, Fiqih Muamalah, (Surakarta: Harun,2017)

Ghufron A. Mas’adi,fiqih muamalah kontekstual, (Jakarta: PT. Raja


Grafindo Persada, 2002)

Syaripudin, E. I. (2018). Perspektif Ekonomi Islam Tentang Upah Khataman


Al-Qur’an. Jurnal Naratas, 1(2), 1-8.

(Sumber Internet )

https://text-id.123dok.com/document/1y9d75erq-rukun-dan-syarat-ijarah-
pembatalan-dan-berakhirnya-ijarah.html

“Ijarah sewa-menyewah dan upah” dalam


http://pasar-islam.blogspot.co.id/2010/10/bab-8-ijarah-sewa-menyewa-dan-
upah.html?m=1 diakses 27 Februari 2018

xxiii

Anda mungkin juga menyukai