Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wakaf merupakan hal yang sangat penting bagi perekonomian umat. Sejak datangnya
Islam, wakaf telah dilaksanakan berdasarkan paham yang dianut oleh sebagian besar
masyarakat Islam Indonesia.yaitu adat kebiasaan setempat. Namun kini
perkembangan wakaf di Indonesia semakin signifikan.

Sebagai salah satu lembaga Islam, wakaf telah menjadi salah satu penunjang
perkembangan masyarakat Islam. Sebagian besar rumah ibadah, lembaga pendidikan
dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainya di bangun di atas tanah wakaf. Apabila
jumlah tanah wakaf di indonesia ini dihubungkan dengan negara yang saat ini
menghadapi berbagai krisis termasuk krisis ekonomi, sebenarnya jumlah tanah wakaf
merupakan suatu potensi sumber daya ekonomi untuk lebih dikembangkan guna
membantu menyelesaikan krisis ekonomi.

Dilihat dari segi sosial dan ekonomi, wakaf yang ada memang belum dapat berperan
dalam menanggulangi permasalahan umat khususnya masalah sosial dan ekonomi.
Hal ini dapat dipahami karena kebanyakan wakaf yang ada kurang maksimal dalam
pengelolaannya. Kondisi ini disebabkan oleh keadaan tanah wakaf yang sempit dan
hanya cukup dipergunakan untuk tujuan wakaf yang hanya diikrarkan wakif seperti
untuk musholla dan masjid tanpa diiringi tanah atau benda yang dapat dikelola secara
produktif. Memang ada tanah wakaf yang cukup luas, tetapi karena Nazhirnya kurang
kreatif, tanah yang kemungkinan dikelola secara produktif tersebut akhirnya tidak
dimanfaatkan secara produktif bahkan pada akhirnya tidak dimanfaatkan sama sekali,
bahkan perawatannya pun harus dicarikan sumbangan dari masyarakat.

Di Indonesia sedikit sekali tanah wakaf yang dikelola secara produktif dalam bentuk
usaha yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang memerlukan termasuk
fakir miskin. Apabila wakaf dapat dikelola dengan produktif, niscaya akan
mempercepat pengetasan kemiskinan di negeri kita. Untuk itu masih banyak yang
harus dibenahi agar dapat menuju era wakaf produktif. Manajemen fundraising
memang sangat di butuhkan agar suatu organisasi itu mampu bertahan.

1
Maka dari itu tugas BWI sebagai Badan Wakaf yang dibentuk pemerintah harus
mampu mengembangkan wakaf di indonesia melalui program-program
pemberdayaannya maupun dari segi penghimpunan dana atau tanah wakaf. Memang
untuk sekarang Badan Wakaf Indonesia belum bisa memgembangkan wakaf karena
beberapa hambatan-hambatan terutama masalah sosialisasi terhadap masyarakat yang
belum paham mengenai definisi maupun tata cara berwakaf sehingga kadang para
wakif yang ingin berwakaf menjadi enggan berwakaf karena tidak tahu tata cara
berwakaf.

Aparat penegak hukum wakaf adalah Wakif, Nazhir dan Pejabat Pembuat Akta Ikrar
Wakaf (PPAIW). Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang
Wakaf terdapat institusi baru sebagai Pembina penyelenggaraan wakaf di Indonesia,
yaitu Badan Wakaf Indonesia.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Lembaga Wakaf (Badan Wakaf Indonesia)

Bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, serta bertanggung jawab kepada


masyarakat. Kelahiran Badan Wakaf Indonesia (BWI) merupakan perwujudan amanat
yang digariskan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf.
Kehadiran BWI, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 47, adalah untuk memajukan
dan mengembangkan perwakafan di Indonesia.

Dalam Undang-Undang Wakaf ditetapkan bahwa Badan Wakaf Indonesia adalah


lembaga yang berkedudukan sebagai media untuk memajukan dan mengembangkan
perwakafan Nasional. Disamping itu, dalam Undang-Undang wakaf juga ditetapkan
bahwa Badan Wakaf Indonesia bersifat Independen dalam melaksanakan tugasnya.
Badan Wakaf Indonesia berkedudukan di Ibu Kota Negara Indonesia dan dapat
membentuk perwakilan di provinsi atau bahkan kabupaten atau kota sesuai dengan
kebutuhan. Dalam penjelasan Undang-Undang ditetapkan bahwa pembentukan
perwakilan Badan wakaf Indonesia didaerah dilakukan setelah Badan Wakaf
Indonesia berkonsultasi dengan pemerintah daerah setempat.

Dalam kepengurusan, BWI terdiri atas Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan,
masing-masing dipimpin oleh oleh satu orang Ketua dan dua orang Wakil Ketua yang
dipilih dari dan oleh para anggota. Badan pelaksana merupakan unsur pelaksana
tugas, sedangkan Dewan Pertimbangan adalah unsur pengawas pelaksanaan tugas
Badan Wakaf Indonesia.

B. Dasar Hukum Wakaf

Disyariatkannya wakaf di antaranya ditunjukkan oleh dalil-dalil sebagai berikut.

1. Dalil dari al-Qur’an

Allah berfirman: Kalian sekali-kali tidak akan menggapai kebaikan kecuali kalian
mau menginfaqkan harta-benda yang kalian cintai. (Q.S. Ali Imran: 92).

Aspek pendalilannya adalah: Kebaikan akan tergapai dengan wakaf. Hal ini
berdasarkan riwayat bahwa Abu Thalhah, ketika beliau mendengar ayat tersebut,

3
beliau bergegas untuk mewakafkan sebagian harta yang ia cintai, yaitu Beirha, sebuah
kebun yang terkenal. Maka, ayat tersebut menjadi dalil atas disyariatkannya wakaf.

2. Dalil dari al-Hadits

Asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih al-’Utsaimin Rahimahullah mengatakan, “Yang


menjadi pijakan dalam masalah ini (wakaf) adalah bahwasanya Amirul Mukminin
Umar bin al-Khaththab RA. memiliki tanah di Khaibar. Tanah tersebut adalah harta
paling berharga yang beliau miliki. Beliau pun datang menemui Rasulullah SAW
untuk meminta pendapat Rasulullah SAW tentang apa yang seharusnya dilakukan
(dengan tanah tersebut) - karena para sahabat adalah orang-orang yang senantiasa
menginfakkan harta yang paling mereka sukai. Rasulullah SAW memberikan
petunjuk kepada beliau untuk mewakafkannya dan mengatakan,

‫أصلها حبست ِشئت إِن‬، ‫بِها وتصدقت‬

“Jika engkau mau, engkau tahan harta tersebut dan engkau sedekahkan hasilnya.”
(HR. Bukhari-Muslim)

Ini adalah wakaf pertama dalam Islam. Cara seperti ini tidak dikenal di masa jahiliah.”

Disyariatkannya wakaf juga ditunjukkan oleh hadits:

ِ ‫ارية صدقة ِمن إِلا ثالث ِمن إِلا عمله عنه اِنقطع‬
‫اإلنسان مات إِذا‬ ِ ‫ج‬، ‫بِ ِه ينتفع ِعلم أو‬، ‫له يدعو صالحِ ولد أو‬

“Apabila seorang manusia meninggal dunia, terputus darinya amalnya kecuali dari
tiga hal (yaitu): dari sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang
mendoakannya.” (HR. Muslim)

Oleh karena itu, al-Imam an-Nawawi t berkata terkait dengan hadits ini, “Di dalam
hadits ini ada dalil yang menunjukkan tentang benar/sahnya wakaf dan besarnya
pahalanya.” (al-Minhaj, Syarh Shahih Muslim)

3. Ijma’

Sebagaimana diisyaratkan oleh Imam Tirmidzi ketika menjelaskan hadits Umar


Radhiyallaahu ‘anhu tentang wakaf.

Beliau berkata, “Ini adalah hadits hasan sahih”. Para ulama dari kalangan para sahabat
Rasulullah SAW dan yang lainnya telah mengamalkan hadits ini. Di samping itu,

4
kami tidak menjumpai adanya perbedaan pendapat di kalangan orang-orang yang
terdahulu di antara mereka tentang dibolehkannya mewakafkan tanah dan yang
lainnya.” (Jami’ al-Imam at-Tirmidzi)1

C. Sejarah Perwakafan di Indonesia

Wakaf di Indonesia sebagai lembaga Islam yang erat kaitannya dengan masalah sosial
dan adat Indonesia, telah dikenal sejak sebelum kemerdekaan yaitu sejak Islam masuk
Indonesia. Adapun sejarah perkembangan perwakafan di Indonesia sebagai berikut :

1. Wakaf di Zaman Kesultanan

Banyak bukti-bukti ditemukan bahwa pada masa kesultanan telah dilakukan ibadah
wakaf, hal ini dapat dilihat pada peninggalan sejarah, baik berupa tanah dan bangunan
masjid, bangunan madrasah, komplek makam, tanah lahan baik basah maupun kering
yang ditemukan hampir di seluruh Indonesia terutama yang di zaman dulu
Kesultanan / Susuhan atau pernah diperintah oleh Bupati yang beragama Islam. Bukti
itu antara lain tanah-tanah yang diantaranya berdiri masjid seperti:

a. Masjid Al Falah di Jambi berasal dari tanah Sultan Thah Saifudin;

b. Masjid Kauman di Cirebon wakaf dari Sunan Gunung Jati;

c. Masjid di Demak wakaf dari Raden Patah;

d. Masjid Menara si Kudus wakaf dari Sunan Muria;

e. Masjid Jamik Pangkalan wakaf dari Sultan Abdul Qodirun;

f. Masjid Agung Semarang wakaf dari Pangeran Pandanaran;

g. Masjid Ampel di Surabaya wakaf dari R. Rochmat Sunan Ampel;

h. Masjid Agung Kauman di Yogya wakaf dari Sultan Agung;

i. Masjid Agung Kauman di Solo wakaf dari Susuhunan Paku Buwono X.2

1
http://www.artikelmateri.com/2017/04/wakaf-pengertian-tujuan-dasar-hukum-syarat-macam-
fungsi.html?m=1diakses 17.02.2019.18.05
2
HM Munir SA, Wakaf Tanah menurut Islam dan Perkembangannya di Indonesia, (Pekan Baru: UIR
Pres Pekan Baru, 1991), h. 140-143

5
j. Untuk Masjid Agung Banten dan madrasah-madrasahnya mendapat tanah wakaf
dari Maulana Hasanudin, Maulana Yusuf, Maulana Pangeran Mas dan Hartawan
Muslim yang luasnya ratusan hektar;

k. Masjid Agung Demak dan pesantrennya dibiayai dari hasil tanah wakaf sawah
seluas kurang lebih 350 hektar wakaf dari Raden Patah;

l. Masjid Agung Semarang dibiayai dengan tanah wakaf Bupati Semarang pertama
yakni Pangeran Samber nyawa seluas kurang lebih 19 hektar.

Pengaturan wakaf pada jaman kesultanan terutama di Jawa (khususnya Jawa Tengah)
pada saat itu telah diatur pada Staatsblad No. 605, jo. Besluit Govermen General Van
Ned Indie ddp. 12 Agustus 1896 No. 43, jo ddo. 6 November 1912. No. 22 (Bijblad
7760), menyatakan bahwa masjid-masjid di Semarang, Kendal, Kaliwungu dan
Demak memiliki tanah sawah bondo masjid (5% Moskeembtsvendem) sebagai food
untuk membiayai pemeliharaan dan perbaikan masjid, halaman dan makam keramat
dari wali yang ada dilingkungan masjid-masjid tersebut. Hal tersebut menunjukkan
pada jaman kesultanan telah ada peraturan harta wakaf sekalipun dalam hal yang
masih terbatas.3

2. Wakaf Pada Zaman Kolonia

Pada zaman pemerintah kolonial telah mengeluarkan berbagai peraturan yang


mengatur tentang persoalan wakaf, antara lain :

a. Surat edaran Sekretaris Gubernur pertama tanggal 31 Januari 1905, No. 435,
sebagaimana termuat di dalam Bijblad 1905 No. 6196, tentang Toezicht op den houw
van Muhammedaansche bedehuizen. Surat edaran ini ditujukan kepada para kepala
wilayah di Jawa dan Madura kecuali wilayah-wilayah di daerah Swapraja dimana
sepanjang belum dilakukan supaya para Bupati membuat daftar rumah-rumah ibadah
Islam yang ada di Kabupaten masing-masing. Dalam daftar itu harus di catat asal-
usul tiap-tiap rumah ibadat, dipakai untuk salat jum’at atau tidak, ada pekarangan atau
tidak, ada wakaf atau tidak. Disamping itu setiap Bupati diwajibkan pula untuk
membuat daftar yang membuat keterangan tentang segala benda yang tidak bergerak

3
Agus Fathuddin Yusuf, Melacak Bondo Masjid yang Hilang, (Semarang: Aneka Ilmu, 2001), hlm. 80.

6
yang oleh pemiliknya (orang bumi putra) ditarik dari peredaran umum baik dengan
nama wakaf atau nama lain.

b. Peraturan ini ternyata menimbulkan reaksi dari pergerakan-pergerakan dari umat


Islam karena orang yang berwakaf dalam prakteknya harus minta ijin kepada Bupati,
walaupun katanya hanya bermaksud untuk mengawasi reaksi tersebut sebenarnya
merupakan penentangan terhadap campur tangan Pemerintah Kolonial terhadap
urusan-urusan yang berhubungan dengan agama Islam. Oleh karena itu Pemerintah
Kolonial mengeluarkan surat edaran lagi pada tahun 1931.

c. Surat Edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 4 Juni 1931 No. 1361/A, sebagaimana
termuat di dalam Bijblad 1931 No. 12573, tentang Toizich Van de Regeering op
Mohammedaan schebedehuizen, Vrijdagdienstten en wakaf.

d. Meskipun sudah ada sedikit perubahan dalam surat edaran yang kedua ini, namun
masih tetap ada reaksi dari pergerakan-pergerakan dari umat Islam, dengan alasan
bahwa menurut Umat Islam perwakafan adalah suatu tindakan hukum privat (materiil
privaatrecht). Mereka beranggapan bahwa perwakafan adalah pemisahan harta benda
dari pemiliknya dan ditarik dari peredaran, dan ini termasuk dalam hukum privat.
Oleh karena itu untuk sahnya tidak perlu izin dari pemerintah, bahkan pemerintah
tidak perlu campur tangan.

Kemudian Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan surat edaran lagi, yakni


Edaran Gubernemen tanggal 24 Desember 1934 No. 3088/A sebagaimana Bijblad
tahun 1934 No. 13390 tentang Toezicht Van de Regeering op Mohammedaansche
bedehuizen, Verijdogdiesten en wakaf. Surat edaaran ini sifatnya hanya mempertegas
apa yang disebutkan dalam surat edaran sebelumnya dimana Bupati boleh memimpin
usaha untuk mencari penyelesaian seandainya persengketaan dalam masyarakat dalam
halpelaksanaan shalat jum’at, asalkan pihak-pihak yang bersangkutan memintanya.
Oleh karena itu Bupati haru mengamankan keputusan itu, jika salah satu pihak tidak
mematuhinya.

Ketiga surat edaran itu kemudian disusul dengan surat edaran Sekretaris Gubernur
tanggal 27 Mei 1935 No.1273/A, sebagaimana yang termuat dalam Bijblad 1935
No.13480 tentang Teozijh Vande Regeering Muhammedaansche bedehuizen en
Wakafs. Dalam surat edaran ini diberikan beberapa penegasan tentang prosedur

7
perwakafan di samping itu dalam surat edaran ini juga disebutkan bahwa setiap
perwakafan harus diberitahukam kepada Bupati dengan maksud supaya Bupati dapat
mempertimbangkan atau meneliti peraturan umum atau peraturan tempat yang
dilanggar agar Bupati dapat mendaftarkan wakaf itu di dalam daftar yang disediakan
untuk itu.

Peraturan-peraturan tersebut pada jaman kemerdekaan masih tetap berlaku terus


karena belum diadakan peraturan perwakafan yang baru. Pemerintah Republik
Indonesia juga tetap mengakui hukum agama mengenai soal wakaf, namun campur
tangan terhadap wakaf itu hanya bersifat menyelidiki, menentukan, mendaftar, dan
mengawasi pemeliharaan benda-benda wakaf agar sesuai dengan tujuan dan maksud
wakaf. Pemerintah sama sekali tidak bermaksud mencampuri, menguasai atau
menjadikan barang wakaf menjadi tanah milik Negara. Dasar hukum, kompetensi dan
tugas mengurus soal-soal wakaf oleh Kementerian Agama adalah berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1949 Jo. Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1980
serta bedasarkan Peraturan Menteri Agama No. 9 dan No. 10 tahun 1952. Peraturan
Menteri Agama No 9 dan No. 10 tahun 1952, menyatakan bahwa Jawatan Urusan
Agama dengan kantor-kantor saluran vertikal di daerah-daerah KUA Pusat, KUA
Kabupaten dan KUA Kecamatan mempunyai salah satu kewajiban menyelidiki,
menentukan, mendaftar dan mengawasi atau menyelenggarakan pemilihan wakaf.

Menurut peraturan tersebut perwakafan tanah menjadi wewenang Menteri Agama


yang dalam pelaksanaanya dilimpahkan kepada kepala Kantor Urusan Agama
Kabupaten.

Sehubungan dengan adanya Surat Keputusan Bersama antar Menteri Dalam Negeri
dan Menteri Agraria tertanggal 5 maret 1956 No. Pem.19/22/23/7.SK/62/Ka/59, maka
pengesahan perwakafan tanah milik yang semula menjadi wewenang Bupati
dialihkan kepada Kepala Pengawas Agraria. Pelaksanaan selanjutnya diatur dengan
Surat Pusat Jawatan Agraria Kepala Pusat Jawatan Agraria tanggal 13 februari 1960
No. 2351/34/11.

Dari peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia,


tampak adanya usaha-usaha untuk menjaga dan melestarikan tanah wakaf yang ada di
Indonesia, bahkan usaha penertiban juga diperlihatkan oleh pemerintah RI. Disamping
beberapa peraturan yang telah dikemukakan, Departemen Agama pada tanggal 22

8
Desember 1953 juga mengeluarkan petunjuk-petunjuk mengenai wakaf. Tugas bagian
D (ibadah sosial) jawatan urusan agama surat edaran jawatan urusan agama tanggal 8
Oktober 1956, No. 3/D/1956 tentang wakaf yang bukan milik kemasjitan.

Meskipun demikian peraturan-peraturan yang ada tersebut kurang memadai. Oleh


karena itu dalam rangka pembaharuan Hukum Agraria di Negara Indonesia,
Persoalan tentang perwakafan tanah diberi perhatian khusus sebagaimana terlihat
dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yakni UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria Bab II, Bagian XI, pasal 49.

Wakaf sebagai salah satu lembaga Islam yang berkembang di Indonnesia yang pada
umumnya berupa tanah milik, erat sekali hubungannya dengan pembangunan.
Semakin meningkatnya pembangunan di Indonesia, kebutuhan tanah baik untuk
memenuhi kebutuhan perumahan perorangan maupun untuk pembangunan-
pembangunan prasarana umum seperti jalan, pasar, sekolahan, fasilitas olah raga, dan
industri meningkat pula. Kondisi yang demikian menyebabkan pemerintah mulai
memikirkan usaha-usaha untuk memanfaatkan tanah yang ada secara efisien dan
mencegah adanya pemborosan dalam memanfaatkan tanah. Dari data-data tanah
menunjukkan bahwa masih ada daerah terdapat peta-peta dengan gambaran tanah
rusak terutama di daerah-daerah yang penduduknya padat dan status tanahnya bukan
tanah-tanah orang-orang yang menggarapnya.4

Disamping hal di atas ada keluhan masyarakat dan instansi yang mengelola tanah
wakaf bahwa sebelum dikeluarkan PP. No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan tanah
Milik, Pengurusan dan pengelolaan tanah-tanah wakaf kurang teratur dan kurang
terkendali, sehingga sering terjadi penyalahgunaan wakaf. Kondisi demikianlah yang
mendorong pemerintah untuk mengatasi masalah yang muncul dari praktek
perwakafan di Indonesia. Hal ini tergambar dari latar belakang dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977.

Di Indonesia, campur tangan pemerintah dalam hal perwakafan mempunyai dasar


hukum yang kuat. dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (1) di bawah bab
Agama, dinyatakan bahwa Negara Republik Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan
Yang Maha Esa. Menurut Hazairin, norma dasar yang tersebut dalam Pasal 29 ayat

4
Soeprapto, Perubahan Penggunaan Tanah Wakaf dari Sudut Agraria, Mimeo, Makalah disampaikan
Temu Wicara Perwakafan Tanah Milik Departemen Agama RI. (Jakarta, 19-20 September 1987), h. 4

9
(1) itu tafsirannya antara lain bermakna bahwa “Negara Republik Indonesia” wajib
menjalankan syari’at Islam bagi orang Islam, syari’at Nasrani bagi orang Nasrani,
syariat Hindu bagi orang Bali sekedar menjalankan syari’at (norma hukum agama)
itu memerlukan perantaraan Kekuasaan Negara.

Kekuasaan Negara yang wajib menjalankan syari’at masing-masing agama yang


diatur dalam Negara Republik Indonesia ini adalah kekuasaan Negara yang
berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Hal ini disebabkan oleh
syari’at yang berasal dari agama yang dianut warga Negara Republik Indonesia itu
adalah kebutuhan hidup para pemeluknya. Disamping itu pasal 29 ayat (2) Undang-
Undang Dasar 1945 dengan jelas juga menyebutkan bahwa negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing untuk
beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Dilihat dari ayat (1) dan ayat (2)
pasal 29 UUD 1945 terebut jelas bahwa wakaf merupakan salah satu bentuk ibadat
kepada Alloh yang termasuk ibadah alamiah yaitu ibadah berupa penyerahan harta
(mal) yang dimiliki seseorang menurut cara-cara yang ditentukan.5

Wakaf adalah ibadah yang menyangkut hak dan kepentingan orang lain, tertib
administrasi dan aspek-aspek lain dalam kehidupan masyarakat agar hak dan
kewajiban serta kepentingan masyarakat itu dapat berjalan dengan baik, sudah
merupakan kewajiban pemerintah untuk mengatur masalah wakaf dalam bentuk
peraturan perundang-undangan. Dengan adanya peraturan perundang-undangan itu
ketertiban dalam praktek perwakafan ini dapat terwujud hingga manfaatnyapun dapat
dirasakan oleh masyarakat.

3. Wakaf di Zaman Kemerdekaan

Perwakafan umum di Indonesia belum diatur dalam bentuk perundang-undangan,


karena perwakafan masuk cakupan hukum Islam, maka pelaksanaan hukum itu
berlaku berdasarkan hukum Islam, dalam hal ini fiqih Islam. Di Indonesia sampai
sekarang terdapat berbagai perangkat peraturan yang berlaku yang mengatur masalah
perwakafan tanah milik, seperti dimuat dalam buku Himpunan Peraturan Perundang-
undangan Perwakafan Tanah yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI, maka
dalam uraian ini dapat dikemukakan aturan-aturan itu sebagai berikut:

5
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Zakat Dan Wakaf, (Jakarta: Penerbit UI Press, Jakarta 1998),
h. 98-99

10
a. UU No 15 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria pasal 49
ayat (1) memberi isarat bahwa “Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan
Peraturan Pemerintah”.

b. Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah karena


peraturan ini berlaku umum, maka terdapat juga didalamnya mengenai pendaftaran
tanah wakaf.

c. Peraturan Menteri Agraria No. 14 Tahun 1961 tentang permintaan dan pemberian
izin pemindahan Hak Atas Tanah. Peraturan ini dikeluarkan pada tanggal 23
September 1961.

d. Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 1963 tentang penunjukan badan-badan hukum


yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Dikeluarkannya PP No. 38 tahun 1963
ini adalah sebagai satu realisasi dari apa yang dimaksud oleh pasal 21 ayat (2) UUPA
yang berbunyi Pasal 1 PP No. 38 tahun 1963 selain menyebutkan bank-bank negara,
(huruf a) dan perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian, (huruf b) sebagai badan-
badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, selanjutnya disebutkan
pula (huruf c) badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanahan setelah
mendengar Menteri Kesejahteraan sosial.

e. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, seperti
dinyatakan dalam konsiderennya pada bagian menimbang huruf c, maka peraturan
pemerintah ini dikeluarkan untuk memenuhi yang telah ditentukan oleh pasal 14 ayat
(1) huruf b dan pasal 49 ayat (3) UU No. 5/ 1960.

f. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang Tata Pendaftaran
Mengenai Perwakafan Tanah Milik.

g. Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan PP


No. 28 tahun 1977 Perwakafan Tanah Milik.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 1978 tentang Penambahan ketentuan
mengenai biaya pendaftaran tanah untuk Badan-badan hukum tertentu pada Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1978 pasal 4a ayat (2).

11
Permendagri No. 12 Tahun 1978 ini menentukan “Untuk Badan-badan hukum sosial
dan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri yang bersangkutan, berlaku ketentuan
biaya pendaftaran hak dan pembuatan sertifikat sebagai yang ditetapkan, sepanjang
tanah yang bersangkutan dipergunakan untuk keperluan sosial atau keagamaan”.
Yang dimaksud tanah untuk keperluan kegiatan sosial dan keagamaan tersebut diatas,
tentu termasuk tanah wakaf. Dan seperti ditegaskan oleh ayat (1) pasal 4a ini, maka
biaya pendaftaran hak dan pembuatan sertifikat sebesar 10 kali tarif yang ditetapkan
dalam Bab II.

h. Instruksi bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1978
tentang pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik. Instruksi ini ditujukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan
Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama seluruh Indonesia.

i. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 348 Tahun 1982 tentang penyertifikatan
tanah bagi Badan Hukum Keagamaan, Badan Hukum sosial dan lembaga pendidikan
yang menjadi objek proyek operasi nasional Agraria. Dalam keputusan Menteri dalam
Negeri ini dengan jelas disebutkan bahwa dalam penyertifikatan tanah secara masal,
maka tanah-tanah yang dikuasai atau dipunyai oleh Badan Hukum Keagamaan,
Badan Hukum Sosial, dan lembaga Pendidikan yang dipergunakan secara langsung
untuk kepentingandi bidang keagamaan, sosial dan pendidikan dapat dijadikan objek
proyek nasional agraria.

i. Peraturan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam No. Kep/D/75/78 tanggal


18 April 1978 tentang formulir dan Pedoman Pelaksanaan Peraturan tentang
Perwakafan Tanah Milik.

j. Keputusan Menteri Agama No.73 Tahun 1978 tentang Pendelegasian Wewenang


Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi/ setingkat diseluruh Indonesia
untuk mengangkat atau memberhentikan setiap Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan sebagai Pejabat Pembuat Akte Ikrar Wakaf (PPAIW).

k. Instruksi Menteri Agama No. 3 Tahun 1979 tentang Petunjuk Pelaksanaan


Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1978.

l. Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. DII/5Ed/14/1980 tanggal 25 Juni
1980 tentang pemakaian bea materai dengan lampiran Surat Dirjen Pajak No. S-

12
629/Pj.33/1980 tanggal 29 Mei 1980 yang menentukan jenis formulir mana yang
dikenakan bea materai, dan berapa besar materainya.

m. Surat Dirjen Bimas Islam dan urusan Haji No. DII/5Ed/14/1981 tanggal 17
Februari 1981 kepada Gubernur Daerah Tingkat I di seluruh Indonesia, tentang
Pendaftaran Perwakafan tanah milik dan permohonan keringanan atau pembebasan
biaya.

n. Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No.DII/5ED/14/1981 tentang Petunjuk
Pemberian Nomor pada formulir Perwakafan Tanah Milik. Selain sebagai peraturan
instruksi dan edaran seperti disebutkan terdahulu, secara khusus masih ada instruksi
dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat, Sumatera Utara, Nusa
Tenggara Barat, Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta
mengenai pendaftaran tanah wakaf di daerah masing-masing.

o. Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta mengenai pendaftaran Tanah Wakaf di daerah
masing-masing.6

Disamping itu peraturan-peraturan yang langsung berkenaan dengan masalah


perwakafan, sebagaimana telah disebutkan ada juga beberapa peraturan perundang-
undangan yang tidak langsung yakni peraturan perundang-undangan yang menyebut
tentang perwakafan tanah milik. Peraturan per Undang-Undangan itu antara lain
sebagai berikut :

1) UU No. 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, tanggal 24


September Tahun 1960. Pasal 49 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1960 memberi isyarat
bahwa “Perwakafan Tanah Milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
2) PP No. 10 Tahun 1961 tanggal 23 Maret Tahun 1961 tentang pendaftaran tanah.
Peraturan ini berlaku umum, artinya semua tanah. Oleh karena itu peraturan ini juga
berlaku untuk tanah wakaf.

3) Peraturan Menteri Agraria No. 14 Tahun 1961 tentang Permintaan dan Pemberian
ijin Pemindahan Hak Atas Tanah. Peraturan ini dikeluarkan pada tanggal 23
September Tahun 1961.

6
Asjmuni Abdurrahman, Peraturan Perundan-undangan Tentang Perwakafan Prosedur dan
Prosesnya, (Naskah Makalah Lokakarya Pemberdayaan Masjid Se Jawa Tengah di IAIN Walisongo
Semarang, 28 September 2000), h. 1-5

13
4) PP No. 38 Tahun 1963 tentang penunjukan Badan-badan Hukum yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah.

5) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1978 tentang Biaya Pendaftaran
Tanah.

6) Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 348 Tahun 1982 tentang Penyertifikatan
Tanah Bagi Badan Hukum Keagamaan, Badan Hukum Sosial dan Lembaga
Pendidikan yang menjadi objek Proyek Operasi Nasional Agraria.

7) Surat Menteri Dalam Negeri No. SK.178/DJA/1982 tentang penunjukan Badan


Kesejahteraan Masjid (BKM) pusat sebagai badan hukum yang dapat mempunyai
tanah dengan hak milik.7

Di Indonesia, pada awalnya bentuk wakaf yang dikenal masyarakat secara luas hanya
dalam wakaf tanah, namun kini setelah dikeluarkannya peraturan perundang-
undangan Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf tunai, masyarakat telah mengenal
bahwa wakaf tidak hanya tanah, tetpi wakaf dapat berbentu uang. Perbincangan
tentang wakaf sejak awal memang selalu diarahkan pada wakaf benda tidak bergerak
seperti tanah, bangunan, pohon untuk diambil buahnya dan sumur untuk dambil
airnya. Sedangkan untuk wakaf benda tidak bergerak baru mengemuka belakangan
ini. Di antara wakaf benda bergerak yang sedang banyak dibicarakan adalah
bentuk wakaf yang dengan sebutan Cash Waqf, yang diterjemahkan dengan wakaf
uang. Namun jika melihat objek wakafnya yang berupa uang, maka wakaf ini lebih
tepat kalau diterjemahkan dengan wakaf uang. Wakaf tunai adalah wakaf yang
dilakukan seseorang, kelompok orang, dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk
uang tunai.

Sesuai dengan keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tertanggal 26 April
2002 diterangkan bahwa yang dimaksud dengan wakaf uang (cash wakaf/ waqf al-
nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau
badan hukum dalam bentuk uang tunai. Dalam pengertian tersebut, yang dimaksud
dengan uang adalah surat-surat berharga.

7
Nurul Huda dan Muhamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis, (Jakarta:
Kencana, 2010), h. 324-325

14
Wakaf tunai ini termasuk salah satu wakaf produktif. Seorang ahli zakat K.H.
Didin Hafiduddin menjelaskan bahwa wakaf produktif merupakan pemberian dalam
bentuk sesuatu yang bisa diupayakan untuk digulirkan untuk kebaikan dan
kemaslahatan umat. Mengenai bentuknya bisa berupa uang maupun surat-surat
berharga.

Di Indonesia sendiri, wakaf uang memang tergolong masih baru. Salah satu contoh
wakaf uang di Indonesia adalah Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) Dompet
Dhu’afa Republika. Lembaga otonom Dompet Dhu’afa Republika ini memberikan
fasilitas permanen untuk kaum dhu’afa. Dengan adanya layanan kesehatan ini,
golongan masyarakat miskin bisa memperoleh haknya tanpa perlu dibebankan oleh
biaya-biaya seperti halnya rumah sakit konvensional.8

D. Rukun dan syarat waqaf

Rukun wakaf ada empat: pihak yang mewakafkan (waqif), harta yang diwakafkan
(mauquf), yang menerima wakaf (mauquf ‘alaihi), dan shighat.
1. Pihak yang Mewakafkan (Al-Waqif)
Pihak yang mewakafkan disyaratkan haruslah orang yang memiliki kemampuan untuk
menyumbangkan harta, dengan kualifikasi baligh, berakal, dan kehendak sendiri
(tanpa paksaan). Barang siapa yang memenuhi syarat-syarat ini, maka wakafnya sah,
walaupun ia seorang kafir. Wakaf orang kafir sah, karena wakaf bukan bentuk
taqarrubansich, berbeda halnya dengan nazar yang tidak sah dengan orang kafir
sebab termasuk amalan taqarrub kepada Allah SWT.
Tidak sah wakaf dari anak kecil atau orang gila atau orang yang sedang
dicabut haknya karena idiot atau bangkrut walaupun dibeli oleh wali, dan tidak sah
wakaf dari orang yang terpaksa karena orang yang terpaksa bukan orang yang sah
ungkapannya dan bukan mempunyai hak untuk memberikan sumbangan karena
terpaksa.
Adapun yang dimaksudkan dengan syarat ini adalah orang yang memberikan
wakaf mempunyai kuasa untuk memberi sumbangan ketika masih hidup.
2. Harta yang Diwakafkan (Al-Mauquf)

8
Tim Penyusun “Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia” (Jakarta: Dirjend Pemberdayaan
Wakaf, 2004), h. 140-141

15
Syaratnya, ia harus berupa benda yang jelas menjadi hak milik yang bisa dipindah dan
jika tidak hilang bisa memberikan manfaat mubah yang menjadi tujuan.
Kriteria benda sebagai syarat harta wakaf yang mengeluarkan segala sesuatu hanya
berbentuk manfaat (bukan barang) dan wakaf yang wajib dalam tanggungannya.
Wakaf demikian tidak sah kecuali jika berupa benda-benda walaupun hasil rampasan
atau tak terlihat sebab barang hasil rampasan sedah menjadi miliknya, juga sah wakaf
orang buta karena tidak disyaratkan untuk sahnya wakaf melihat barang yang akan
diwakafkan. Kriteria “yang dimiliki” dalam harta yang diwakafkan mencoret segala
sesuatu yang tidak dimiliki, seperti harta mubah diantaranya jembatan, sekolah, tepian
sungai, dan pantai.
Kendati demikian, imam (pemerintah) untuk mewakafkan sesuatu dari baitul mal
untuk keperluan tertentu atau individu tertentu dengan syarat dan kemaslahatan dalam
hal tersebut sebab semua tindakan terkait dengan kemaslahatan seperti wali anak
yatim seandainya imam melihat dijadikan hak miliknya, maka boleh.
Berdasarkan kriteria “bisa dipindahkan”, wakaf tidak boleh berupa segala
sesuatu yang tidak bisa dipindahkan dan tidak boleh memindahkan jika berupa
manfaat seperti manfaat yang tidak diperbolehkan menurut syar’i misalnya wakaf alat
musik, sebab manfaat alat musik haram hukumnya dengan begitu tidak bisa dimiliki.
Selanjudnya berdasarkan kriteria “bisa dimanfaatkan walaupun hilang dalam
bentuk manfaat mubah yang menjadi tujuan” wakaf tidak boleh berupa segala sesuatu
yang bisa dimanfaatkan tersebut, misalnya makanan. Sebab manfaat makanan terletak
pada konsumsinya, padahal yang disyaratkan dalam wakaf adalah pengambilan
manfaat secara terus menerus. Dari sini, tidak diperbolehkan seseorang menyewa
tanah lalu mewakafkannya, sebab ini merupakan bentuk killa/ rekayasa hukum bagi
mereka yang ingin tetap memanfaatkan sesuatu yang diwakafkan setelah harta itu
diwakafkannya.
3. Penerima Wakaf (Al-Mauquf ‘Alaihi)
Penerima wakaf bisa didefinisikan menjadi dua bagian: tertentu (definitif) dan tidak
tertentu (underfinitif).
a. Penerima Wakaf Definitif
Penerimaan wakaf definitif terdiri dari satu atau dua orang atau lebih yang telah
dibentuk identitasnya. Ia disyaratkan harus bisa memanfaatkan harta wakaf tersebut
cara langsung ketika menerima wakaf, dengan bahasa lain ia qualified untuk memliki
harta wakaf tersebut, sebab akad wakaf pada dasarnya adalah akad manfaat. Karena

16
itu, tidak sah mewakafkan sesuatu yang tidak ada seperti mewakafkan masjid yang
baru akan di bangun, atau mewakafkannya untuk anaknya sementara sementara si
anak tidak ada, atau untuk anak-anaknya yang miskin sedangkan mereka tidak ada
yang miskin, atau mewakafkan bacaan dikuburan atau kuburan ayahnya yang masih
hidup. Semua bentuk wakaf ini tidak sah, sebab tidak memenuhi syarat adanya orang
yang menerima wakaf difiniti di luar ketika akad wakaf terjadi dan ia qualitified untuk
memiliki.
b. Penerima Wakaf Underfinitif
Adalah organisasi-organisasi sosial, misalnya wakaf untuk pelajar, adalah orang fakir,
atau pembangun masjid, dan rumah sakit. Jika seorang muslim atau kafir dzimmi
mewakafkan harta untuk maksiat, seperti wakaf untuk pembangunan gereja dan
tempat-tempat ibadah orang kafir atau permadani dan lampu-lampunya atau
pelayannya, atau kitab taurat, injil atau senjata untuk para perampok, maka semua
wakaf berbentuk ini batal, sebab ada unsur membantu berbuat maksiat, sementara
wakaf dibolehkan untuk bertaqarrup dan keduanya sangatlah berbeda baik dari
membangun atau merenovasinya. Para ulama juga sudah sepakat bahwa mewakafkan
harta untuk membangun gereja adalah haram, walaupun gereja kuno sebelum
datangnya islam.
Kendati suatu wakaf batal seandainya seorang kafir dzimmi mewakafkan
hartanya untuk membangun gereja, kita tetap tidak memiliki hak untuk menghalangi
mereka untuk menghalangi mereka atau membatalkan sesuatu karena ini berarti kita
melarang mereka menunjukkan syiar-syiar agama mereka namun jika mereka
berbangga-bangga dengan kita, maka kita boleh membatalkannya walaupun sudah
ditetapkan oleh hakim mereka dan ini hanya untuk wakaf kepada gereja yang baru.
Adapun jika mereka mewakafkan harta untuk gereja mereka yang kuno
sebelum diutusnya Nabi saw, maka kita boleh membatalkannya walaupun mereka
berbangga-bangga dengan kita bahkan kita harus mengakuinya dan ini khusus untuk
gereja ibadah dan pembangunannya.
Sementara wakaf untuk merenovasi gerja yang digunakan untuk tempat
singgah orang yang lewat, maka wakaf demikian bisa dianggap sah, begitu juga wakaf
kepada satu kaum yang tinggal di dalam gereja walaupun mereka adalah kafir
dzimmah, sebab wakaf seorang muslim kepada seorang kafir dzimmi sah dan boleh
seperti kebolehan bersedekah kepadanya, baik orang tertentu atau orang banyak.
Wakaf demikian baru dilarang jika ada penentuan orangnya dengan tujuan maksiat.

17
Misalnya mewakafkan harta kepada penjaga gereja untuk ibadah ala kristen, maka
dalam kondisi ini wakaf batal, begitu juga jika dia mewakafkan untuk renovasi gereja,
atau menyumbang batu bata dan permadani untuk memperbaikinya.
c. Ucapan (shigat)
Shigat hendaknya diucapkan dengan ucapan yang menunjukkan maksud dari akada
dari seorang yang mampu berbicara karena kepemilikan dalam akad wakaf tergantung
kepada proses perpindahannya untuk orang yang menerima wakaf melalui ucapan
qablil.
Jika dia membangun sebuah masjid dalam lokasi hak miliknya, dia sholat di dalamnya
dan mengizinkan orang lain untuk shalat, maka dia tidak dianggap wakaf dengan
perbuatan ini bahkan harus ada ucapan wakaf seperti dia berkata; “Saya wakafkan
bangunan ini menjadi masjid untuk shalat dan menegakkan syiar-syiar agama Allah
SWT” karena wakaf adalah penghapusan hak milik dengan niat mendekatkan diri
kepada Allah, maka tidak sah tanpa ada ucapan sedangkan dia mampu.
Sama dengan makna ucapan jika dia memberi isyarat dari orang yang bisu yang bisa
dipahami bahkan boleh juga berupa tulisnan atas kertas dari orang yang bisa berbicara
beserta niatnya, adapun jika dia berkata setelah selesai membangun saya bolehkan
orang beri’tikaf di dalamnya, maka dia menjadi masjid karena I’tikaf tidak sah kecuali
dalam masjid berbeda dengan shalat, namun jika bangunan ini berada dalam lokasi
tanah tak bertuan dan ketika dia mengelolanya dia berniat untuk membangun masjid,
maka dia mengelolanya dia berniat untuk membangun masjid, maka dia menjadi
masjid tanpa harus ada ucapan wakaf sebab perbuatan ditambah dengan niat sudah
mencukupi disini daripada ucapan, dan siapa yang mengambil harta orang lain untuk
membangun masjid atau madrasah, berjihad di jalan Allah atau menggali sumur
umum, maka hukumnya sama dengan mendirikan bangunan pada lokasi tanah tak
bertuan.
Perbedaan antara keduanya bahwa tanah tak bertuan tidak masuk dalam hak milik
orang yang menggarapnya jika berupa masjid sehingga tidak perlu lafal dan ia
diperlukan untuk mengeluarkan hak miliknya atau masuk dalam hak miliknya.9

Ada empat syarat wakaf: ta’bid (untuk selamanya), tanjiz (kontan), kejelasan
mashraf (tempat peruntukan), dan ilzam (bersifat mengikat).

9
Ibid,hlm.398-408

18
1. Ta’bid (untuk selama-lamanya)
Syarat ini terwujud dengan dua cara. Pertama, mewakafkan harta untuk orang yang
tidak akan pernah habis seperti fakir miskin, mujahidin, dan para pelajar.
Kedua, mewakafkan harta kepada orang yang akan hilang kemudian kepada mereka
yang tidak akan pernah habis setelahnya, seperti wakaf kepada seseorang kemudian
kepada fakir miskin, atau mewakafkan kepada orang ini kemudian kepada setelahnya
kemudian kepada fakir miskin, wakaf seperti ini dinamakan wakaf yang terputus
awalnya dan bersambung akhirnya. Jika ia mewakafkan wakaf terputus awal dan
akhirnya seperti wakaf kepada anaknya sedangkan dia tidak ada anak, maka wakaf
hukumnya batal sebab anak yang belum dilahirkan sbelum bisa memiliki sehingga
wakaf tidak bermanfaat baginya. Wakaf juga menjadi batal jika bersambung awalnya
dan terputus akhirnya seperti wakaf kepada seseorang dan tidak menambahnya
kemudian kepada orang setelahnya.
Ada pendapat yang mengatakan sah dan dipergunakan setelah berakhirnya
orang yang menerima wakaf kepada orang yang terdekat dengan pemberi wakaf
karena hasil dari wakaf adalah pahala selama-lamanya, maka memindahkan kepada
apa yang disebutkan kepada apa yangdisyaratkannya terhadap apa yang didiamkannya
sesuai dengan konsekuensi yang ada dan menjadi seolah-olah wakaf selama-lamanya,
di dahulukan yang sudah disebutkan dari pada yang lainnya dan jika yang disebut
berkhir, maka diserahkan kepada orang yang lebih dekat sebab hal ini merupakan
pintu kebaikan yang sangat besar dan inilah pendapat yang rajih (unggul).
2. Kontan (tanjiz)
Wakaf hendaknya dilakukan secara kontan dan tidak boleh tergantung dengan
sesuatu, misalnya dengan berujar: “saya wakafkan hewanku ini kepada zaid jika dia
datang pertengahan bulan!” sebab wakaf adalah penyerahan milik secara langsung
hingga tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu seperti jual beli dan hibah. Ini jika
diwakaf tidak termasuk amal taqarrub yang jelas seperti wakaf kepada orang tertentu,
jika berupa bentuk amal taqrrub yang jelas seperti memerdekakan hamba atau
membangun masjid dan yang lainnya dari berbagai lembaga kebijakan yang tidak
lepas dari kepimilikan adan adam, maka menurut pendapat yang rajih (unggul) akad
demikian tetap sah.
Apapun keadaanya, wakaf tidak sah jika ada penggantungan status, kecuali
dalam tiga perkara saja:

19
a. Jika wakaf berupa amal taqrrub yang jelas yang jelas seperti saya
jadikan bangunan ini sebagai masjid jika datang Ramadhan.
b. Jika dia menggantungkan wakaf kepada kematian seperti saya
wakafkan rumahku kepada orang fakir setelah saya meninggal.
c. Jika dia menjadikan warisannya sebagai wasiat maka sah walaupun
wasiat baru bisa dilaksanakan setelah dia meninggal namun
hukumnya sama dengan hukum wasiat tidak boleh lebih dari
sepertiga, dan boleh rujuk dan tidak bpoleh diberikan kepada ahli
waris dan menjadi hukum wakaf untuk selama-lamanya dan tidak
boleh menjual dan mengghibahkan dan mewaruskannya setelah
meninggal.
3. Kejelasan Tempat Peruntukan
Seandainya dia hanya menyebut harta yang di wakafkan tanpa menyebutkan
penerimanya,maka menurut pendapat yang lebih kuat akad batal karena tidak ada
penyebutan tempat penyaluran walaupun dia menggabungkannya dengan kata “Allah”
seperti ucapannya: “saya wkafkan rumahku untuk allah” atau siapa saja yang dia mau
dan inilah pendapat yang rajih (unggul).
Tidak boleh dikatakan bahwa: seandainya dia berkata: “saya wasiatkan
sepertiga hartaku” dan tidak menyebutkan pihak penerima, maka akad tetap sah dan
diberikan kepada fakir miskin, mengapa yangini demikian juga?
Hal ini dijawab, bahwa kebanyakan wasiat untuk fakir miskin atas dasar memudahkan
sehingga tetap sah untuk yang masih belum jelas.
4. Ilzam (bersifat mengikat)

Seandainya seseorang mewakafkan sesuatu dari hak miliknya kepada fakir miskin dan
memberikan syarat untuk dirinya khiyar dalam menetapkan wakaf atau rujuk kapan
dia mau atau memberikan syarat khiyar untuk orang lain atau dia mau atau
memberikan syarat khiyar untuki orang lain atau dia memberikan syarat harus
dikembalikan kepadanya dengan cara-cara tertentu seperti syarat menjualnya atau
syarat siapa saja bisa masuk atau keluar, maka wakaf batal menurut pendapat yang
shahih dan jika dia menggabungkannya untuk Allah penurut pendapat yang rajih
(unggul) seperti ucapannya saya mewakafkannya untuk Allah atau apa yang disukai
Allah berbeda dengan wasiat dan sedekah sebab tempat keduanya adalah orang fakir
dan jika dia mengatakan: “saya mewakafkannya kepada siapa saja yang saya suka

20
atau untuk apa yang saya suka,” jika dia menjelaskan orangnya sebelum itu akad sah
dan jika tidak, maka tidak juga.10

E. Harta benda wakaf


adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan manfaat jangka
panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan
oleh wakif. Harta benda wakaf terdiri dari benda tidak bergerak, dan benda
bergerak.

1. Wakaf benda tidak bergerak, yaitu

a. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan yang
berlaku, baik yang sudah maupun yang belum terdaftar.

b. Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah.

c. Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah.

d. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang –
undangan yang berlaku.

Tata cara perwakafan tanah milik secara berurutan dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Perorangan atau badan hukum yang mewakafkan tanah hak miliknya


diharuskan datang sendiri dihadapan PPAIW untuk melaksanakan ikrar
Wakaf.
2. Calon wakif sebelum mengikrarkan wakaf, terlebih dahulu harus
menyerahkan surat – surat (sertifikat, surat keterangan dll) kepada PPAIW.
3. PPAIW meneliti surat dan syarat – syaratnya dalm memenuhi untuk pelepasan
hak atas tanah.
4. Dihadapan PPAIW dan dua orang saksi, wakif mengikrarkan dengan jelas,
tegas dan dalam bentuk tertulis. Apabila tidak dapat menghadap PPAIW maka
dapat membuat ikrar secra tertulis dengan persetujuan dari kandepag.
5. PPAIW segera membuat akta ikrar wakaf dan mencatat dalam daftar akta ikrar
wakaf dan menyimpannya bersama aktanya dengan baik.
A. Sertifikasi Tanah Wakaf

10
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Muamalat,(Jakarta:Sinar Grafika Offset),2010,hlm. 411-417

21
Dalam praktek di Indonesia, masih sering ditemui tanah wakaf yang tidak
disertifikatkan. Sertifikasi wakaf diperlukan demi tertib administrasi dan kepastian
hak bila terjadi sengketa atau masalah hukum. Sertifikasi tanah wakaf dilakukan
secara bersama oleh Departemen Agama dan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Pada tahun 2004, kedua lembaga ini mengeluarkan Surat Keputusan Bersama
Menteri Agama dan Kepala BPN No. 422 Tahun 2004 tentang Sertifikasi Tanah
Wakaf. Proses sertifikasi tanah wakaf dibebankan kepada anggaran Departemen
Agama.

B. Ruilslag Tanah Wakaf

Nadzir wajib mengelola harta benda wakaf sesuai peruntukan. Ia dapat


mengembangkan potensi wakaf asalkan tidak mengurangi tujuan dan peruntukan
wakaf. Dalam praktek, acapkali terjadi permintaan untuk menukar guling (ruilslag)
tanah wakaf karena alasan tertentu. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006
memperbolehkan tukar guling atau penukaran harta benda wakaf dengan syarat harus
ada persetujuan dari Menteri Agama

C. Sengketa Wakaf

Penyelesaian sengketa wakaf pada dasarnya harus ditempuh melalui musyawarah.


Apabila mekanisme musyawarah tidak membuahkan hasil, sengketa dapat dilakukan
melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan.

2. Wakaf benda bergerak

1. Uang

Wakaf uang dilakukan oleh LKS yang ditunjuk oleh Menteri Agama. Dana wakaf
berupa uang dapat diinvestasikan pada aset – aset financial dan pada asset riil.

2. Logam mulia,

Logam mulia yaitu logam dan batu mulia yang sifatnya memiliki manfaat jangka
panjang.

1. Surat berharga
2. Kendaraan

22
3. Hak atas kekayaan intelektual (HAKI). Haki mencakup hak cipta, hak paten,
merek dan desain produk industri.11

F. Badan Wakaf Indonesia BWI

Kelahiran Badan Wakaf Indonesia (BWI) merupakan perwujudan amanat yang


digariskan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Kehadiran
BWI, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 47, adalah untuk memajukan dan
mengembangkan perwakafan di Indonesia. Untuk kali pertama, Keanggotaan BWI
diangkat oleh Presiden Republik Indonesia, sesuai dengan Keputusan Presiden
(Kepres) No. 75/M tahun 2007, yang ditetapkan di Jakarta, 13 Juli 2007. Jadi, BWI
adalah lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia yang
dalam melaksanakan tugasnya bersifat bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, serta
bertanggung jawab kepada masyarakat.

BWI berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat


membentuk perwakilan di Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota sesuai dengan
kebutuhan. Dalam kepengurusan, BWI terdiri atas Badan Pelaksana dan Dewan
Pertimbangan, masing-masing dipimpin oleh oleh satu orang Ketua dan dua orang
Wakil Ketua yang dipilih dari dan oleh para anggota. Badan pelaksana merupakan
unsur pelaksana tugas, sedangkan Dewan Pertimbangan adalah unsure pengawas
pelaksanaan tugas BWI. Jumlah anggota Badan Wakaf Indonesia terdiri dari paling
sedikit 20 (dua puluh) orang dan paling banyak 30 (tiga puluh) orang yang berasal
dari unsur masyarakat. (Pasal 51-53, UU No.41/2004).

Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.


Keanggotaan Perwakilan Badan Wakaf Indonesia di daerah diangkat dan
diberhentikan oleh Badan Wakaf Indonesia. Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia
diangkat untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1
(satu) kali masa jabatan. Untuk pertama kali, pengangkatan keanggotaan Badan
Wakaf Indonesia diusulkan kepada Presiden oleh Menteri. Pengusulan pengangkatan
keanggotaan Badan Wakaf Indonesia kepada Presiden untuk selanjutnya dilaksanakan
oleh Badan Wakaf Indonesia. (Pasal 55, 56, 57, UU No.41/2004).

11
http://referensi-dunia.blogspot.com/2015/05/harta-benda-wakaf-dan-
pemanfaatannya.html?m=1diakses.17.2.2019.19.56

23
Struktur kepengurusan Badan Wakaf Indonesia (BWI)

Berikut susunan pengurus BWI masa jabatan tahun 2014 -2017 menurut surat
Keputusan Ketua Badan Pelaksana Badan Wakaf Indonesia Nomor
018/BWI/XII/2014:

a. Tugas dan fungsi kepengurusan menurut peraturan BWI

Sebagaimana dalam Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor: 08 /BWI/XII/2007


Tentang tata kerja Badan wakaf indonesia menerangkan bahwa susunan kepengurusan
badan wakaf terdiri atas:

1. Dewan Pertimbangan

Dewan Pertimbangan memiliki tugas dan fungsi:

a) Memberi pendapat, pertimbangan dan nasihat, serta bimbingan kepada Badan


Pelaksana untuk melaksanakan tugas-tugas organisasi secara konsultatif baik lisan
maupun tertulis;

b)Dewan Pertimbangan memiliki peran aktif dan fungsional dalam menyusun


kebijakan nasional dan kebijaksanaan umum pengembangan wakaf di Indonesia;

c) Dewan Pertimbangan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya bersifat kolektif


kolegial;

2. Badan Pelaksana (Ketua, Wakil Ketua I, dan Wakil Ketua II)

Ketua Badan Pelaksana memiliki tugas dan fungsi;

a) Memimpin BWI sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;

b) Menyiapkan kebijakan nasional dan kebijakan umum yang berhubungan dengan


pengembangan wakaf di Indonesia;

c) Menetapkan kebijakan teknis pelaksanaan tugas yang menjadi tanggung jawabnya;

d) Membina dan melaksanakan kerjasama dengan instansi dan organisasi lain;

e) Menandatangani setiap nota kesepakatan, surat keputusan dan surat-surat penting


lainnya bersama-sama sekretaris dan/atau bendahara;

24
f) Merealisasikan program-program organisasi untuk melaksanakan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan peraturan perundangan lainnya , serta
program kerja BWI;

g) Menentukan dan memegang kebijakan umum keuangan organisasi bersama


sekretaris dan bendahara;

h) Mengangkat dan memberhentikan perangkat-perangkat organisasi yang dianggap


perlu melalui keputusan rapat lengkap

i) Ketua dapat mendelegasikan tugasnya kepada wakil ketua yang sesuai dengan
bidangnya, apabila berhalangan.

Wakil Ketua I memiliki tugas dan fungsi:

a) Membantu Ketua menjalankan tugas dan fungsinya;

b) Mewakili tugas dan kedudukan Ketua jika Ketua berhalangan;

c) Mengkoordinir Divisi Kelembagaan, Divisi Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf


dan Divisi Penelitian;

d) Merumuskan kebijakan organisasi menyangkut divisi yang berada di bawah


koordinasinya;

e) Melaksanakan tugas lain yang diberikan Ketua;

f) Wakil Ketua I bersama sekretaris/wakil sekretaris menandatangani surat-surat


keluar dan kedalam yang berkenaan dengan bidangnya;

g) Wakil Ketua I bertanggung jawab kepada Ketua.

Wakil Ketua II memiliki tugas dan fungsi:

a) Membantu Ketua menjalankan tugas dan fungsinya;

b) Mewakili tugas dan kedudukan Ketua jika Ketua berhalangan;

c) Mengkoordinir Divisi Hubungan Masyarakat dan Divisi Pembinaan Nazhir

25
d) Merumuskan kebijakan organisasi menyangkut divisi yang berada di bawah
koordinasinya;

e) Melaksanakan tugas lain yang diberikan Ketua;

f) Wakil Ketua II bersama sekretaris/wakil sekretaris menandatangani surat-surat


keluar dan kedalam yang berkenaan dengan bidangnya;

g) Wakil Ketua II bertanggung jawab kepada Ketua.

3. Sekretaris, Wakil Sekretaris

Sekretaris memiliki tugas dan fungsi:

a. Membantu Ketua dan Wakil Ketua menentukan garis kebijakan organisasi sesuai
dengan perundang-undangan yang berlaku;

b. Bertanggung jawab terhadap seluruh operasional administrasi dan fasilitasi


organisasi;

c. Melakukan kajian program usulan setiap divisi/kesekretariatan dan memberikan


rekomendasi kepada Ketua untuk persetujuan program divisi/kesekretariatan;

d. Bersama Ketua atau Wakil Ketuan memimpin rapat lengkap, rapat Dewan
Pelaksanan dan rapat-rapat lainnya;

e. Memimpin rapat sekretariat;

f. Bersama Ketua menandatangani setiap nota kesepakatan, surat keputusan dan surat-
surat penting lainnya;

g. Bersama Ketua dan Bendahara menentukan dan memegang kebijakan umum


keuangan;

h.Bersama Ketua mengangkat dan memberhentikan perangkat-perangkat organisasi


yang dianggap perlu melalui rapat lengkap;

i. Sekretaris bertanggung jawab kepada Ketua.

j. Membuat laporan kegiatan sesuai dengan ketentuan;

Wakil Sekretaris memiliki tugas dan fungsi:

26
a) Membantu sekretaris

b) Mewakili tugas dan kedudukan sekretaris jika sekretaris berhalangan;

c) Membantu Ketua dan Wakil Ketua menentukan garis kebijakan organisasi sesuai
dengan perundang-undangan yang berlaku;

d) Melakukan koordinasi dengan seluruh staf sekretariat;

e) Memberi paraf kepada setiap surat penting yang akan ditandatangani oleh Ketua
dan Sekretaris;

f) Melaksanakan tugas lain yang diberikan Sekretaris;

g) Membuat laporan kegiatan sesuai dengan ketentuan;

4. Bendahara, Wakil Bendahara.

Bendahara memiliki tugas dan fungsi:

1) Membantu Ketua memimpin administrasi keuangan;

2) Bersama Ketua dan Sekretaris menentukan dan memegang kebijakan umum


tentang penggalian dana dan pengalokasiannya

3) Menyusun Rencana Anggaran Operasional (penerimaan dan pengeluaran)


organisasi bersama Badan Pelaksana;

4) Melakukan verifikasi anggaran biaya/kebutuhan setiap divisi dan kesekretariatan


dan memberikan rekomendasi kepada Ketua untuk persetujuan anggaran dan
biaya/kebutuhan divisi/kesekretariatan;

5) Melakukan verifikasi kebenaran formal dan material realisasi anggaran


biaya/kebutuhan divisi/kesekretariatan;

6) Mengajukan penggunaan konsultan untuk membantu penyusunan sistem akuntansi


dan manajemen audit keuangan setiap tahun Badan Wakaf Indonesia;

7) Melakukan pengawasan keuangan atas pengembangan investasi/bisnis lainnya


yang dilakukan oleh pihak ketiga.

8) Dalam kegiatannya Bendahara bertanggung jawab kepada Ketua;

27
9) Membuat laporan kegiatan sesuai dengan ketentuan;

Wakil Bendahara memiliki tugas dan fungsi:

a) Membantu Bendahara dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan perundang-


undangan yang berlaku;

b) Mewakili tugas dan kedudukan Bendahara jika Bendahara berhalangan;

c) Melakukan inventarisasi dan membuat daftar inventaris aset-aset wakaf, dengan


kelengkapan bukti legal kepemilikan dan menyimpan di tempat yang aman;

d) Melakukan updating daftar inventaris sesuai dengan status aset-aset wakaf;

e) Melakukan upaya untuk meningkatkan kelengkapan surat-surat/bukti legal ast-aset


wakaf guna memberikan kepastian hukum atas aset-aset wakaf tersebut;

f) Melakukan monitoring keadaan keuangan perwakilan Badan Wakaf Indonesia di


daerah;

g) Dalam kegiatannya Wakil Bendahara bertanggung jawab kepada Bendahara;

h) Membuat laporan kegiatan sesuai dengan ketentuan;

5. Divisi Pembinaan Nazhir

Divisi Pembinaan Nazhir memiliki tugas dan fungsi:

a) Membantu tugas-tugas Badan Pelaksana;

b) Melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Badan Pelaksana;

c) Melakukan pembinaan Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda


wakaf sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku;

d) Menyusun Pedoman Pembinaan Nazhir;

e) Memberi kajian untuk meberhentikan dan mengganti Nazhir setelah mendapat


persetujuan Badan Pelaksana.

6. Divisi Pengelolaan dan Pemberdayaan Wakaf

Divisi Pengelolaan dan Pemberdayaan Wakaf memiliki tugas dan fungsi:

28
a) Membantu tugas-tugas Dewan Pelaksana

b) Melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Badan Pelaksana;

c) Menyusun Pedoman Pengelolaan harta Benda Wakaf;

d) Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional


dan internasional sesuai peraturan perundangan yang berlaku;

7. Divisi Hubungan Masyarakat

Divisi Hubungan Masyarakat memiliki tugas dan fungsi:

a) Membantu tugas-tugas Dewan Pelaksana

b) Melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Badan Pelaksana;

c) Melaksanakan sosialisasi program perwakafan dan komunikasi program.

8. Divisi Kelembagaan

Divisi Kelembagaan memiliki tugas dan fungsi:

a) Membantu tugas-tugas Dewan Pelaksana

b) Melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Badan Pelaksana;

c) Memberi masukan untuk rekomendasi perubahan peruntukan dan status harta


benda wakaf kepada Badan Pelaksana;

d) Membuat kajian aspek kelembagaan dalam masalah perwakafan sesuai peraturan


perundangan yang berlaku;

e) Menyusun pedoman tata hubungan kelembagaan BWI dengan lembaga eksternal.

9. Divisi Penelitian dan Pengembangan

a. Divisi Penelitian dan Pengembangan memiliki tugas dan fungsi:

a) Membantu tugas-tugas Dewan Pelaksana

b)Melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Badan Pelaksana;

c) Menyusun database perwakafan di Indonesia;

29
d) Melakukan penelitian dan pengembangan dalam rangka menyusun dan memberi
saran serta pertimbangan dalam penyusunan kebijakan di bidang sosial ekonomi dan
perwakafan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

3. Visi dan misi Badan Wakaf Indonesia (BWI)

Visi Badan Wakaf Indonesia (BWI)

Terwujudnya lembaga independen yang dipercaya masyarakat, mempunyai


kemampuan dan integritas untuk mengembangkan perwakafan nasional dan
internasional.

Misi Badan Wakaf Indonesia (BWI)

Menjadikan Badan Wakaf Indonesia sebagai lembaga profesional yang mampu


mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf untuk kepentingan
ibadah dan pemberdayaan masyarakat.

4. Tugas dan wewenang Badan Wakaf Indonesia (BWI)

Sesuai dengan UU No. 41/2004 Pasal 49 ayat 1 disebutkan, BWI mempunyai tugas
dan wewenang sebagai berikut:

1. Melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan


harta benda wakaf.

2. Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional


dan internasional.

3. Memberikan persetujuan dan atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta
benda wakaf.

4. Memberhentikan dan mengganti nazhir.

5. Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf.

6. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan


kebijakan di bidang perwakafan.

Pada ayat 2 dalam pasal yang sama dijelaskan bahwa dalam melaksanakan tugasnya
BWI dapat bekerjasama dengan instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah,

30
organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dianggap
perlu. Dalam melaksanakan tugas-tugas itu BWI memperhatikan saran dan
pertimbangan Menteri dan Majelis Ulama Indonesia, seperti tercermin dalam pasal
50. Terkait dengan tugas dalam membina nazhir, BWI melakukan beberapa langkah
strategis, sebagaimana disebutkan dalam PP No.4/2006 pasal 53, meliputi:

1. Penyiapan sarana dan prasarana penunjang operasional Nazhir wakaf baik


perseorangan, organisasi dan badan hukum.

2. Penyusunan regulasi, pemberian motivasi, pemberian fasilitas, pengkoordinasian,


pemberdayaan dan pengembangan terhadap harta benda wakaf.

3. Penyediaan fasilitas proses sertifikasi Wakaf.

4. Penyiapan dan pengadaan blanko-blanko BWI, baik wakaf benda tidak bergerak
dan/atau benda bergerak.

5. Penyiapan penyuluh penerangan di daerah untuk melakukan pembinaan dan


pengembangan wakaf kepada Nazhir sesuai dengan lingkupnya.

6. Pemberian fasilitas masuknya dana-dana wakaf dari dalam dan luar negeri dalam
pengembangan dan pemberdayaan wakaf.

Tugas-tugas itu, tentu tak mudah diwujudkan. Jadi, dibutuhkan profesionalisme,


perencanaan yang matang, keseriusan, kerjasama, dan tentu saja amanah dalam
mengemban tanggung jawab. Untuk itu, BWI merancang visi dan misi, serta strategi
implementasi. Visi BWI adalah “Terwujudnya lembaga independen yang dipercaya
masyarakat, mempunyai kemampuan dan integritas untuk mengembangkan
perwakafan nasional dan internasional”. Sedangkan misinya yaitu “Menjadikan Badan
Wakaf Indonesia sebagai lembaga profesional yang mampu mewujudkan potensi dan
manfaat ekonomi harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan pemberdayaan
masyarakat”.12

12
Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor: 08 /BWI/XII/2007.bwi.or.id/diakses.
Tgl.17.12.2019.20.08

31
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan


hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda
miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai
dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syariah.

Prinsip-prinsip Pengelolaan Wakaf adalah Seluruh harta benda wakaf harus


diterima sebagai sumbangan dari wakif dengan status wakaf sesuai dengan syariah,
Wakaf dilakukan dengan tanpa batas waktu, Wakif mempunyai kebebasan memilih
tujuan-tujuan sebagaimana yang diperkenankan oleh Syariah, Jumlah harta wakaf
tetap utuh dan hanya keuntungannya saja yang akan dibelanjakan untuk tujuan-tujuan
yang telah ditentukan oleh Wakif, dan Wakif dapat meminta keseluruhan
keuntungannya untuk tujuan-tujuan yang telah ia tentukan.

Di Indonesia, dalam memasuki milenium ketiga ini, berbagai elemen masyarakat


mencoba mensosialisasikan wakaf tunai dengan berbagai cara. Bukan saja tahap
sosialisasi ini berjalan tanpa aplikasi, malah sudah ada lembaga tertentu yang
mencoba mengaplikasikannya, dan banyak juga masyarakat yang tertarik untuk ikut
serta berkontribusi untuk itu.

Menurut pandangan dari DT wakaf sangat menarik unutk dikembangkan dan


disosialisasikan kepada masyarakt khususnya untuk wakaf yang dikelola secara
produktif dan hasilnya untuk kegiatan social.

B. Saran dan Kritik

Dengan kerendahan hati, penulis merasa makalah ini sangat sederhana dan jauh dari
kesempurnaan,. Saran dan kritik yang konstruktif sangat diperlukan demi
kesempurnaan makalah sehingga akan lebih bermanfaat dalam kontribusinya bagi
keilmuan. Wallahu’alam.

32
DAFTAR PUSTAKA

http://www.artikelmateri.com/2017/04/wakaf-pengertian-tujuan-dasar-hukum-syarat-
macam-fungsi.html?m=1diakses 17.02.2019.18.05

HM Munir SA, 1991, Wakaf Tanah menurut Islam dan Perkembangannya di


Indonesia, Pekan Baru: UIR Pres Pekan Baru

Agus Fathuddin Yusuf, 2001, Melacak Bondo Masjid yang Hilang, Semarang: Aneka
Ilmu

Muhammad Daud Ali, 1998, Sistem Ekonomi Zakat Dan Wakaf, Jakarta: Penerbit UI
Press, Jakarta

Nurul
Huda dan Muhamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam, 2010, Tinjauan Teoritis dan
Praktis, Jakarta: Kencana

Abdul Aziz Muhammad Azzam, 2010, Fiqih Muamalat, Jakarta:Sinar Grafika Offset

33

Anda mungkin juga menyukai