Anda di halaman 1dari 10

Pada Hari Minggu ku turut ayah ke kota

Naik delman istimewa ku duduk di muka


Ku duduk samping pak kusir yang sedang bekerja
Mengendarai kuda supaya baik jalannya

Tuk-tik-tak-tik-tuk tik-tak-tik-tuk tik-tak-tik-tuk


Tuk-tik-tak-tik-tuk tik-tak suara s'patu kuda

Siapa yang tidak kenal dengan lagu ini? Bagi generasi milenial boleh jadi lagu ini memang kurang
popular bahkan cenderung hampir tidak mengenal. Tapi bagi mereka yang tumbuh di era 80 an atau
90 an lagu ini sangat akrab di telinga. Tapi bukan soal lagu itu yang ingin penulis sampaikan, tetapi
soal ‘Wakaf Uang’ yang lagi santer di jagad raya media sosial saat ini. Sebagian memandang bahwa
ini hanya dianggap sebagai ‘kuda tunggangan’ kepada umat.

Bayangkan saja, berdasarkan data dari Sistem Informasi Wakaf tahun 2016 ada sekitar 4 359.44 km2
atau sekitar 435 944.3 hektar tanah wakaf yang baru dimanfaatkan untuk mushola, masjid, makam,
sekolah, pesantren, dan kegiatan sosial lainnya atau hampir 70 persen lebih belum dikelola secara
produktif.

Berdasarkan pada Gambar 2, tanah wakaf yang paling luas di wilayah Kota Bogor terdapat di
Kecamatan Bogor Barat dengan luas 224.580 m2dan Bogor Selatan dengan luas 162.770 m2. Bogor
Timur berada pada urutan terakhir dengan luas 29.016 m2. Hal ini menunjukkan bahwa
Kecamatan Bogor Barat dan Bogor Selatan memiliki potensi besar dalam pemanfaatan tanah
wakaf ke arah produktif.

Lokasi aset tanah wakaf di Kota Bogor lebih banyak terdapat di wilayah Bogor Barat dengan jumlah
402 lokasi dan Bogor Selatan dengan jumlah 388 lokasi. Wilayah Bogor Timur memiliki jumlah
lokasi aset wakafpaling sedikit dengan 55 lokasi. Hal ini menunjukkan bahwa Kecamatan
Bogor Barat dan Bogor Selatan memiliki potensi yang lebih besar dalam memaksimalkan
pemanfaatan aset tanah wakaf menjadi lebih produktif untuk membantu perekonomian
wilayah Kota Bogor

Bagaimana dengan potensi wakaf uang? Dengan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237 juta jiwa
yang mana 87 persen merupakan beragama Islam (BPS 2010), maka wakaf uang dapat terhimpun
sebanyak 60 triliun Rupiah setiap tahunnya. Jumlah ini dapat dicapai dengan asumsi 50 juta jiwa
umat muslim mengeluarkan wakaf uang sebesar Rp 100 ribu setiap bulannya. Kalau itu potensinya,
bagaimana dengan riilnya? Angka real wakaf uang yang telah dihimpun oleh tujuh lembaga nazhir
nasional hanya mencapai 32 miliar Rupiah (Khadijah 2016). Tentu saja angka ini masih sangat rendah
jika dibandingkan dengan potensi yang ada.

Terlepas dari pro kontra yang ada, seharusnya ‘keriuhan’ ini patut disyukuri karena selama ini wajah
wakaf itu digambarkan dengan masjid atau yang lebih parah lagi kuburan. Umat terbelalak matanya,
ternyata potensi wakaf uang itu besar. Lompatan peningkatan literasi umat sedang terjadi tanpa
disadari. Umat mulai belajar dan mencari tahu:

bagaimana konsep wakaf?

 Secara bahasa, wakaf berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata waqafa yang memiliki arti
menahan, berhenti, diam di tempat, atau tetap berdiri. Kata waqafa-yaqifu-waqfan tersebut,
sama artinya dengan kata: ḥabasa - yaḥbisu - ḥabsan).

 bicara soal defenisi wakaf mazhab Abu Hanifah, Malikiyah, maupun Syafi’iyyah dengan beragam
kalimat namun sampai pada satu kesamaan bahwa bahwa wakaf merupakan perbuatan wakif
dalam melepas hak kepemilikan harta benda untuk dikelola agar menghasilkan manfaat yang
dapat diberikan untuk kebaikan dan wakif tidak memiliki hak untuk melakukan tindakan hukum
atas benda tersebut, seperti menghibahkan, menjual, atau mewarisi.

Apa dalil landasan syariahnya? Tidak seperti zakat yang perintahnya jelas terdapat pada Al-Quran,
ajaran wakaf dalam konteks Al-Quran lebih dipahami sebagai sebuah amal kebaikan. Beberapa ayat
Al-Quran yang menjadi landasan wakaf di antaranya adalah:

1. Al-Baqarah (2) ayat 261: “Perbandingan (derma) orang-orang yang membelanjakan hartanya
pada jalan Allah ialah sama seperti sebiji benih yang tumbuh menerbitkan tujuh tangkai, tiap-tiap
tangkai itu pula mengandungi seratus biji. Dan (ingatlah) Allah akan melipat gandakan pahala bagi
sesiapa yang dikehendakiNya, dan Allah Maha luas (rahmat) karuniaNya lagi meliputi ilmu
pengetahuanNya Mengetahui.”
2. Ali Imran (3) ayat 92: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum
kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka
sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
3. Hadis Riwayat Muslim: Dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda: “Apabila
anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara : shadaqah
jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak soleh yang mendoakan orang tuanya.”
4. Hadis Riwayat Muslim. Dari Ibnu Umar ra. berkata: “Bahwa sahabat Umar ra. memperoleh
sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra. menghadap Rasulullah SAW. untuk meminta
petunjuk. Umar berkata: “Hai Rasulullah SAW., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya
belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?”
Rasulullah SAW. bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau
sedekahkan (hasilnya). “Kemudian Umar mensedekahkan (tanahnya yang dikelola), tidak dijual,
tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan.

Apa saja unsur dan rukun wakaf?

Pasal 6 dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 disebutkan bahwa wakaf dapat terlaksana
dengan memenuhi unsur sebagai berikut:

a. Wakif. Pihak yang melakukan wakaf pada harta benda miliknya. Wakif meliputi wakif
perseorangan; organisasi; dan badan hukum yang telah memenuhi ketentuan untuk mewakafkan
harta benda wakafnya sesuai dengan anggaran dasar pihak yang bersangkutan.
Seorang bisa melaksanakan wakaf apabila orang tersebut memiliki pengetahuan yang cukup
dalam membelanjakan hartanya. Pengetahuan bertindak dalam hal ini meliputi empat hal,
yaitu: merdeka; dewasa; berakal sehat; dan tidak berada dibawah pengampuan
b. Nazhir. Pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif dan kemudian dikelola serta
dikembangkan sesuai dengan peruntukan harta benda wakaf tersebut. Nazhir meliputi
perorangan; organisasi; serta badan hukum yang telah memenuhi persyaratan yang ditentukan.
c. Harta benda wakaf. Harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka
panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif. Pada pasal
16 telah dijelaskan secara detail bahwa harta benda wakaf terdiri dari harta benda tidak bergerak
dan harta benda bergerak.
Mauquf Bih (harta yang diwakafkan). Harta dapat diwakafkan apabila telah memenuhi syarat
seperti berikut:
 Harta bersifat mutaqawwam, artinya harta tersebut harus dapat disimpan dan halal
digunakan dalam keadaan normal.
 Diketahui dengan yakin ketika diwakafkan.
 Milik wakif, artinya harta yang diwakafkan milik penuh dan mengikat bagi wakif ketika ia
mewakafkannya.
 Terpisah, bukan milik bersama
d. Ikrar wakaf. Pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada
nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.
e. Peruntukan harta benda wakaf. Keinginan wakif dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi benda
wakaf. Benda wakaf yang dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya merupakan tujuan dari wakaf
itu sendiri. Sedangkan perwujudan dari potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf yang

bagaimana konsep wakaf uang?

Ulama Syafi’iyah, seperti al-Nawawi, dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab berpendapat boleh
mewakafkan benda bergerak, seperti hewan, di samping benda tidak bergerak, seperti tanah.
Namun mereka menyatakan tidak boleh mewakafkan dinar dan dirham karena dinar dan dirham
akan lenyap dengan dibelanjakan dan sulit akan mengekalkan zatnya. Berbeda dengan ulama
lainnya, Abu Sur, ulama dari kalangan Syafi’iyah membolehkan wakaf dinar dan dirham, namun
pendapat ioni ditepis oleh al- Mawardi dengan menyatakan dinar dan dirham tidak dapat dijarahkan
dan pemanfaatannya pun tidak tahan lama.Karena itu, benda ini tidak bisa diwakafkan.[15] Ibnu
Qudamah dalam Kitabnya al-Mughni menjekaskan, umumnya para fuqaha dan ahli ilmu tidak
membolehkan wakaf uang (dinar dan dirham) karena uang akan lenyap ketika dibelanjakan sehingga
tidak ada lagi wujudnya. Disamping itu, uang juga tidak dapat disewakan karena menyewakan uang
akan merubah fungsi uang sebagai standar harga.[16]Demikian juga makanan dan minuman karena
wakaf itu adalah menahan harta pokok dan menyedekahkan hasilnya (manfaatnya), sesuatu yang
hilang dengan memanfaatkannya, tidak sah diwakafkan.[17]al-Ramli dalam Nihayah al-Muhtaz ila
Syarh al-Minhaj, dan Muhammad al-Khathib al- Syarbini dalam Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani
al-faz al-Minhaj,mengemukakan bahwa wakaf adalah menahan harta yang dapat dimanfaatkan yang
bendanya tidak mudah lenyap, sehingga atas dasar pengertian tersebut, bagi mereka hukum wakaf
uang adalah tidak sah.[18]

Ulama Hanafiyah membolehkan wakaf benda bergerak asalkan hal itu sudah menjadi urf
(kebiasaan) di kalangan masyarakat, seperti mewakafkan buku, mushhaf dan uang.Dalam masalah
wakaf uang, Ulama Hanafiyah mensyaratkan harus adaistibdal (penggantian) dari benda yang
diwakafkan bila dikhawatirkan tidak tetapnya zat benda.Caranya adalah dengan mengganti benda
tersebut dengan benda tidak bergerak yang memungkinkan manfaat dari benda tersebut kekal.Dari
sinilah kalangan ulama Hanafiyah berpendapat boleh mewakafkan dinar dan dirham melalui
penggantian dengan benda tidak bergerak sehingga manfaatnya kekal.[19] Muhammad ibn Abdullah
al-Ansyari murid dari Zufar seperti yang dikutip Ibn Abidin dalam Rad al-Mukhtar, menyatakan boleh
berwakaf dengan uang seperti dinar dan dirham. Wakaf uang ini dilakukan demngan cara
menginvestasikannya dalam bentuk mudharabah dan keuntungannya disedekahkan pada mauquf
alaih.[20]Ulama Malikiyah berpendapat benda wakaf tidak hanya terhadap benda tidak bergerak
saja, tetapi juga dapat dilakukan terhadap benda tidak bergerak, termasuk didalamnya dinar dan
dirham.[21]
Perbedaan pendapat ulama fiqih diatas, tentang boleh atau tidaknya berwakaf dengan uangf
memperlihatkan adanya upaya terus menerus untuk memaksimalkan hasil dan manfaat harta wakaf.
Perdebatan ulama tentang unsur “kekal/abadi”nya benda wakaf sebenarnya tidak lepas dari
pemahaman mereka terhadap hadis Nabi (habasta ashlaha wa tashadaqta biha)(tahan pokoknya dan
sedeqahkan hasilnya) mengandung makna yang diwakafkan adalah manfaat benda dan benda itu
tahan lama (tidak lenyap ketika dimanfaatkan). Sebenarnya, pendapat ulama yang menekankan
bahwa barang yang diwakafkan harus bersifat kekal atau tahan lama, tidak terlepas dari paradigm
tentang konsep wakaf sebagai sedeqah jariyah yang pahalanya terus mengalir, maka tentu barang
yang diwakafkan itu harus bersifat kekal atau tahan lama.

Dengan melihat sisi filosofis perbedaan pandangan ulama tentang wakaf uang dan nilai
gunanya, wakaf uang itu dapat dikembangkan. Pengembangan wakaf uang ini bukan berarti
menghilangkan watak “keabadian” wakaf sebagaimana yang dikhawatirkan oleh sebagian ulama
Syafi’iyah, tapi justru akan memberikan keabadian manfaat sebagaimana yang diajarkan oleh hadis
Nabi. Untuk menjaga kekekalan nilai uang (walaupun materimya habis ketika dibelanjakan), maka
uang wakaf itu diinvestasikan pada kegiatan ekonomi produktif dengan system bagi hasil atau
diinvestasikan dalam bentuk wakaf proferti.Nilai nominalnya tetap terjaga, hasil investasinya dapat
disalurkan kepada mauquf alaih.

Pengembangan wakaf dalam bentuk uang yang dikenal dengan cash waqf atau wakaf uang
sudah dilakukan sejak lama.Dalam catatan sejarah, wakaf uang ternyata sudah menjadi kebiasaan
dinegeri Romawi.[22]Pada masa Islam, wakaf ini sudah dipraktikan sejak abad kedua Hijriyah.Imam
al-Bukhari meriwayatkan bahwa Imam al-Zuhri (wafat 124 H),[23] salah seorang ulama terkemuka
dan peletak dasar tadwin al-hadits, menfatwakan bolehnya wakaf uang dalam rangka
untukpembangunan sarana dakwah, social, dan pendidikan.Caranya adalah dengan menjadikan
modal usaha dan menyalurkan keuntungannya dengan mauquf alaih.

Dimasa Dinasti Mamluk dan Utsmaniyah wakaf uang pun sudah dilakukan masyarakat.
[24]Namun sangat disayangkan, pada era revolusi Kemal Attaturk di Turki, peran wakaf yang
imperatif ini dimandulkan dalam kehidupan sosial masyarakat Turki.[25]Sehingga Murat Cizakca
menyatakan pemerintah adalah orang yang harus bertanggung jawab terhadap kemunduran wakaf
uang di masa ini.[26]Dalam perjalananya, dalam Undang-undang Wakaf Mesir, Undang-undang no
48 tahun 1946 tentang Hukum Wakaf, pasal 60-61 dinyatakan bahwa wakaf uang dibolehkan.
[27]Wakaf ini dikelola secara mudharabah kemudian keuntungannya disalurkan kepada mauquf
alaih.

Secara institusional, wakaf uang kembali dipopulerkan oleh MA Mannan tahun 1995 dengan
mendirikan sebuah badan investasi social yang bernama SIBL (SocialInvestment Bank Limited) di
Bangladesh. SIBL memperkenalkan produk Sertifikat Wakaf Tunai (Cash Waqf Certificate) yang
pertama kali dalam sejarah perbankan.[28] SIBL menggalang dana dari masyarakat dengan
membuka rekening deposito wakaf tunai yang disalurkan kepada rakyat dalam bidang pendidikan,
kesehatan kesejahteraan social, dan lain-lain. Sertifikat Wakaf Tunai (SWT) merupakan alternative
pembiayaan yang bersifat social dan bisnis yang bertujuan: 1) menjadikan perbankan sebagai
fasilitator untuk menciptakan wakaf uang dan membantu dalam pengelolaan wakaf. 2) Membantu
memobilmembantuisasi tabungan masyarakat dengan menjadikan wakaf uang. 3) Meningkatkan
investasi sosial dan menstranformasikan tabungan masyarakat menjadi modal. 4) Memberikan
manfaat kepada masyarakat terutama golongan miskin dengan menggunakan sumber-sumber
pendanaan dari golongan kaya. 5) menciptakan kesadaran diantara orang kaya tentang tanggung
jawab social mereka terhadap masyarakat. 6) Membantu mengembangkan social capital market.7)
Membantu usaha-usaha pembangunan bangsa secara umum dan membuat hubungan yang unik
antara jaminan social dan kesejahteraan rakyat.[29]

Dibeberapa Negara yang berpenduduk Muslim obyek wakaf tidak lagio di dominasi dan hany
terbatas pada asset tetap seperti tanah dan bangunan.Akan tetapi telah berkembang pada asset
tidak tetap, seperti uang dan surat-surat berharga lainnya.Saat ini wakaf dalam bentuk uang telah
diterima luas diberbagai negara Islam di Turki, Mesir, India, Pakistan, Singapura, Malaysia termasuk
Indonesia.

Di Indonesia, secara institusional wacana wakaf uang mulai muncul pada tahun 2000an. Berdasarkan
pertimbangan bahwa wakaf uang mempunyai fleksibilitas (keluwesan) dan kemaslahatan besar yang
tidak dimiliki benda lain atas dasar ini, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, menetapkan fatwa
hukum tentang wakaf uang pada tanggal 11 Mei 2012 bahwa wakaf uang hukumnya boleh.
[30]Lahirnya fatwa ini, menjadi dasar disahkannya undang-undang wakaf tahun 2004. Dalam
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004, masalah wakaf uang dituangkan secara khusus dalam bagian
kesepuluh wakaf bendaberupa uang yang terdapat dalam pasal 28-31.

Dibolehkannya wakaf dengan uang tunai memperlihatkan adanya upaya yang terus menerus untuk
memaksimalkan sumber dana wakaf. Semakin banyak dana wakaf yang dapat dihimpun, berarti
semakin banyak pula kebaikan yang mengalir kepada pihak yang berwakaf. Hal itu jelas membuka
peluang bagi pengelola wakaf untuk memasuki berbagai macam usaha investasi seperti syirkah,
mudharabah dan sebagainya.Hanya saja, patut dipertimbangkan risiko yang terkandung dalam
investasi tersebut.

Agar kesalahan-kesalahan fatal jangan terjadi, maka mekanisme yang sesuai dengan aturan waqaf
secara menyeluruh perlu ada pengaturan.Umpamanya untuk memperkecil resiko mungkin perlu
berfikir konservatif.Umpamanya uang yang dikumpul digunakan untuk membangun harta waqaf
yang sudah ada. Mungkin ada sebidang tanah yang sudah diwakafkan terlebih dahulu, diatas tanah
ini tentu lebih baik dibangun klinik, sekolah,ruko dan sebagainya. Seandainya terletakpada posisi
yang strategis, ruko bisa disewakan, sewanya dimanfaatkan untuk kepentingan orang ramai. Atau
adanya klinik masyarakat Islam bisa memberikan pengobatan murah kepada orang Islam yang
membutuhkan, atau dengan adanya sekolah, anak-anak muslim bisa dididik dengan biaya rendah
dengan kualitas prima. Atau bisa saja uang waqaf dibelikan kepada bangunan atauapa saja yang bisa
melahirkan keuntungan.Dari keuntungan tersebut pengelola bisa mengeluarkan biaya pengelolaan,
bisa membiayai aktivitas, social, bisa memberikan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan.
Harta atau uang waqaf tunai bisa juga diinvestasikan kepada sektor lain yang menguntungkan
seperti obligasi sayariah. Adanya jaminan bahwa uang modal dari waqaf tidak hilang merupakan
prinsip utama yang harus dipegang.

Di samping pengelolaan resiko investasi, para pengurus harta waqaf mesti memastikan bahwa
investasi harta waqaf berada pada item-item yang dibenarkan secara syar’I, artinya mesti pada hal-
hal yang dihalalkan.

Siapa saja yang boleh berwakaf?

Apakah jika kita wafat, pahala wakaf akan berhenti?

Berapa nominal sesuatu bisa disebut wakaf? Bagaimana cara melakukannya? Harus kemana
menyalurkannya? Lembaga pengelola mana yang memiliki kemampuan untuk mengelola dana
wakaf?
Bagaimana manajemen resiko agar nilai wakaf tidak berkurang ataupun hilang? Wakaf harus
diinvestasikan dengan mempertimbangkan keamanan investasi dan tingkat profitabilitas usaha. Hal
itu dapat dilakukan dengan: (1) menganalisi sektor investasi yang belum jenih, melakukan spreading
risk dan risk management terhadap investasi yang akan dilakukan; (2) market survey untuk
memastikan jaminan pasar dari output/produk investasi; (3) menganalisis kelayakan investasi; (4)
menentukan pihak yang akan bekerja sama untuk mengelola investasi; (5) monitoring terhadap
proses realisasi investasi; (6) monitoring terhadap tingkat profitabilitas investasi tersebut

Apakah ada undang-undang yang mengatur pengelolaan wakaf ini? Apakah manfaat wakaf ini akan
Kembali kepada umat? Dan seluruh pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Bagaimana kita menyikapi isu ini? Sebenarnya, dari aspek teoritis banyak sekali kita akan
menemukan beragam literatur yang menyebutkan hal tersebut. Misalnya bicara soal defenisi wakaf
mazhab Abu Hanifah, Malikiyah, maupun Syafi’iyyah dengan beragam kalimat namun sampai pada
satu kesamaan bahwa bahwa wakaf merupakan perbuatan wakif dalam melepas hak kepemilikan
harta benda untuk dikelola agar menghasilkan manfaat yang dapat diberikan untuk kebaikan dan
wakif tidak memiliki hak untuk melakukan tindakan hukum atas benda tersebut, seperti
menghibahkan, menjual, atau mewarisi.

Dalam UU No.41 Tahun 2004, wakaf didefinisikan sebagai perbuatan hukum wakif untuk
memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah.

Bicara soal dalil, tidak sedikit ayat Al-Qur’an atau pun hadis Nabi yang menjelaskan hal tersebut.
Misalnya dalil hadis yang sangat popular misalnya tentang apabila anak Adam wafat, maka akan
terputus lah seluruh amalnya kecuali 3: sedekah jariyah, ilmu bermanfaat dan doa anak yang sholeh.
Wakaf sendiri secara bahasa artinya menahan dan mencegah, yakni menahan dan mencegah pokok
harta yang diwakafkan, agar tidak rusak apalagi habis, serta menafkahkan hasil/manfaatnya. Poin ini
yang menjadi kekhasan wakaf dibandingkan yang lainnya yaitu nilai pokok wakaf tersebut tidak
boleh berkurang apalagi hilang.

Sepertimana hadis dari Ibnu Umar ra. berkata: “Bahwa sahabat Umar ra. memperoleh sebidang
tanah di Khaibar, kemudian Umar ra. menghadap Rasulullah SAW. untuk meminta petunjuk. Umar
berkata: “Hai Rasulullah SAW., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan
harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW. bersabda: “Bila
engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya). “Kemudian Umar
mensedekahkan (tanahnya yang dikelola), tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ibnu
Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum
kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola
(nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang
lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta.”

Dalam catatan sejarah, wakaf tunai sudah dipraktikan sejak awal abad kedua hijriyah. Pada saat itu,
Imam al-Zuhri, salah satu ulama terkemuka, menganjurkan wakaf dinar dan dirham untuk
pembangunan sarana sosial, dakwah, dan pendidikan umat Islam. Selain itu, pada masa dinasti
Ayyubiyah di Mesir, wakaf tunai juga sudah mulai dipraktikan melalui pembayaran bea cukai yang
dilakukan oleh orang Kristen yang ingin berdagang. Di era modern saat ini, wakaf uang mulai
dikembangkan kembali oleh Prof. M. A. Mannan melalui sebuah lembaga yang disebut Social
Investment Bank Limited (SIBL) di Bangladesh.

Jama’ah yang dirahmati Allah SWT

Ditengah kondisi perekonomian kita yang sedang mengalami tekanan yang berat dan secara
langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi rakyat, maka instrument wakaf ini seharusnya
dapat menjadi satu harapan (katakanlah dalam jangka panjang) untuk dapat meringankan beban
yang ada tersebut. Tentu saja jika dikelola dengan baik, jujur dan amanah dan profesional.

Lalu masalahnya dimana? Bicara potensi, potensinya besar. Bicara teori, dalil, praktik sudah lengkap
dari masa dulu hingga sekarang. Lalu masalahnya dimana? Jika masalahnya lebih kepada persoalan
tingkat kepercayaan, kejujuran, amanah dan professional, maka ini menjadi tantangan bagi seluruh
Lembaga pengelola wakaf untuk dapat membuktikan dan memperlihatkan kinerja yang dilakukan.
Bisa saja dibentuk Lembaga hisbah atau Lembaga Pengawasan yang terdiri dari berbagai unsur dan
latarbelakang khususnya melibatkan unsur masyarakat secara langsung dalam proses pengelolaan
dan tentu saja yang mempunyai kemampuan yang dibutuhkan.

Syarat

Terkait hal ini, penulis mengusulkan untuk membentuk SWF (Sovereign Waqf Fund), yang
terinspirasi dari konsep Sovereign Wealth Fund. Tentu kedua SWF ini memiliki perbedaan mendasar,
namun memiliki tujuan yang sama, yaitu sama-sama ingin mengembangkan perekonomian,
mengatasi resesi dan mengeluarkan Indonesia dari perangkap middle income trap. Jika Sovereign
Wealth Fund direalisasikan dalam bentuk Lembaga Pengelola Investasi (LPI), maka sangat mungkin,
untuk Sovereign Waqf Fund juga didirikan Lembaga Pengelola Investasi Wakaf (LPIW).

Untuk memikat para wakif, maka dapat juga diberikan insentif pajak atas setiap wakaf uang yang
didonasikannya, misalnya, sebagai kredit pajak. LPIW ini dalam praktiknya, dapat mengumpulkan
dana wakaf, bukan hanya yang berasal dari dalam negeri, namun juga luar negeri, dimana banyak
filantropist muslim dunia yang dapat dibidik. LPIW ini hendaknya diawasi oleh suatu dewan
pengawas yang diketuai oleh BWI dan beranggotakan sejumlah kementerian dan unsur masyarakat.
Adapun pelaksananya, dapat direkrut para tenaga profesional dari unsur masyarakat.

Kedua, GNWU harus dijadikan sebagai momentum untuk memperkuat peran wakaf uang dalam
perekonomian nasional. Di tengah suasana resesi dan tekanan ekonomi yang sangat berat ini, kita
memerlukan keberadaan instrumen yang dapat membantu meringankan beban perekonomian yang
ada, termasuk beban defisit APBN, yang tahun ini diperkirakan mencapai angka 5,7 persen dari PDB.
Meski wakaf uang dalam jangka pendek belum tentu mampu mengurangi defisit ini, tapi jika dikelola
dengan baik, pada jangka panjang wakaf uang dapat menjadi instrumen fiskal yang potensial.
Apalagi menurut teori keuangan publik Islam, wakaf adalah bagian dari instrumen kebijakan fiskal
negara.

Rubrik Iqtishodia, Republika 28 Januari 2020

GNWU dan SWF (Sovereign Waqf Fund)

Irfan Syauqi Beik*

Tidak dapat dipungkiri bahwa instrumen wakaf memiliki potensi yang sangat besar, baik wakaf aset
maupun wakaf uang. Untuk itu, berbagai upaya dan langkah yang mengarah pada penguatan
gerakan wakaf perlu disambut dengan baik, termasuk deklarasi Gerakan Nasional Wakaf Uang
(GNWU) yang dilakukan Presiden Jokowi bersama Wapres KH Ma’ruf Amin pada Senin 25 Januari
2021 lalu. Terlepas dari dinamika respon masyarakat yang bervariasi dalam menyikapi deklarasi
tersebut, baik pro maupun kontra, kita berharap bahwa deklarasi tersebut dapat dijadikan
momentum untuk terus meningkatkan kualitas pengelolaan wakaf di tanah air, khususnya wakaf
uang.

Topik wakaf uang ini adalah topik yang sangat menarik untuk dibahas, karena wakaf uang adalah
instrumen yang memungkinkan semua lapisan umat, baik yang kaya maupun miskin, untuk bisa
berwakaf tanpa harus terlebih dahulu memiliki aset tetap yang mahal seperti tanah dan bangunan.
Bahkan pembiasaan untuk berwakaf uang dapat dilakukan sejak dini pada anak-anak dengan
mengajarkan mereka untuk mewakafkan sebagian dari uang jajannya. Dengan wakaf uang, semua
lapisan umat memiliki kesempatan yang sama untuk bersama-sama melakukan sedekah jariyah yang
pahalanya tidak terputus meski seseorang telah meninggal dunia. Inilah yang menjadi kelebihan dari
wakaf uang yang harus terus menerus kita kampanyekan.

Untuk itu, deklarasi GNWU yang telah dilakukan, harus kita tempatkan dalam dua konteks utama.
Pertama, GNWU pada dasarnya merupakan momentum untuk melakukan penguatan sosialisasi
wakaf uang kepada masyarakat. Ini sangat penting karena masih banyak masyarakat yang belum
mengetahui konsep wakaf uang, bagaimana praktiknya, bagaimana cara menunaikannya, kemana
menyalurkannya, dan lembaga nazir mana yang memiliki kapasitas dalam menghimpun dan
mendayagunakan wakaf uang ini. Deklarasi GNWU hendaknya ditempatkan dalam bingkai edukasi
dan literasi, sebagai booster untuk meningkatkan kesadaran publik akan besarnya potensi wakaf
yang dimiliki umat ini, yang nantinya manfaatnya juga akan kembali kepada umat apabila dikelola
dengan baik, amanah dan profesional.

Kedua, GNWU harus dijadikan sebagai momentum untuk memperkuat peran wakaf uang dalam
perekonomian nasional. Di tengah suasana resesi dan tekanan ekonomi yang sangat berat ini, kita
memerlukan keberadaan instrumen yang dapat membantu meringankan beban perekonomian yang
ada, termasuk beban defisit APBN, yang tahun ini diperkirakan mencapai angka 5,7 persen dari PDB.
Meski wakaf uang dalam jangka pendek belum tentu mampu mengurangi defisit ini, tapi jika dikelola
dengan baik, pada jangka panjang wakaf uang dapat menjadi instrumen fiskal yang potensial.
Apalagi menurut teori keuangan publik Islam, wakaf adalah bagian dari instrumen kebijakan fiskal
negara.

Dalam konteks perekonomian Indonesia hari ini, wakaf juga telah mulai masuk ke dalam kebijakan
fiskal melalui instrumen sukuk negara, dengan skema CWLS (Cash Waqf Linked Sukuk), yang tahun
lalu diterbitkan dalam dua seri, yaitu SW001 dan SWR001. Menurut penulis, kita juga perlu
memikirkan mekanisme lain untuk mengkonsolidasikan potensi wakaf uang ini, tanpa harus
membebani negara untuk memberikan return atau yield sebagaimana dalam skema CWLS.  

Terkait hal ini, penulis mengusulkan untuk membentuk SWF (Sovereign Waqf Fund), yang
terinspirasi dari konsep Sovereign Wealth Fund. Tentu kedua SWF ini memiliki perbedaan mendasar,
namun memiliki tujuan yang sama, yaitu sama-sama ingin mengembangkan perekonomian,
mengatasi resesi dan mengeluarkan Indonesia dari perangkap middle income trap. Jika Sovereign
Wealth Fund direalisasikan dalam bentuk Lembaga Pengelola Investasi (LPI), maka sangat mungkin,
untuk Sovereign Waqf Fund juga didirikan Lembaga Pengelola Investasi Wakaf (LPIW).

Sebagaimana LPI yang mencoba mengoptimalkan aset-aset BUMN, maka LPIW ini juga dapat
diarahkan untuk mengelola aset-aset wakaf yang masih idle saat ini. Untuk modal awal LPIW, ada 4
saluran yang dapat digunakan, yaitu : (i) penempatan dana negara (misalnya Rp 1 triliun) sebagai
bentuk political will pemerintah, (ii) sebagian cadangan devisa yang diwakafkan (Rp 1 triliun), (iii)
kontribusi dana abadi umat (DAU) yang dikelola BPKH yang notabene juga sebenarnya adalah sama
dengan wakaf uang (katakan Rp 1 triliun juga), dan (iv) kontribusi langsung wakif institusi maupun
individu masyarakat.
Untuk memikat para wakif, maka dapat juga diberikan insentif pajak atas setiap wakaf uang yang
didonasikannya, misalnya, sebagai kredit pajak. LPIW ini dalam praktiknya, dapat mengumpulkan
dana wakaf, bukan hanya yang berasal dari dalam negeri, namun juga luar negeri, dimana banyak
filantropist muslim dunia yang dapat dibidik. LPIW ini hendaknya diawasi oleh suatu dewan
pengawas yang diketuai oleh BWI dan beranggotakan sejumlah kementerian dan unsur masyarakat.
Adapun pelaksananya, dapat direkrut para tenaga profesional dari unsur masyarakat.

Penulis menyadari bahwa pembahasan LPIW ini memerlukan kajian yang mendalam, dan akan ada
banyak aturan yang memerlukan perubahan. Namun penulis optimis, dengan potensi aset wakaf
senilai Rp 2 ribu triliun dan potensi wakaf uang sebesar Rp 188 triliun, maka harusnya berbagai
hambatan regulasi bisa dicarikan jalan keluarnya, misalnya melalui amandemen UU wakaf atau
menerbitkan Perppu. Yang terpenting, harus ada political will yang kuat untuk memanfaatkan wakaf
uang ini untuk kesejahteraan masyarakat. Wallaahu a’lam. 

*Penulis adalah Ekonom Syariah FEM dan Peneliti CIBEST IPB

Hal itu dilakukan karena pengelolaan wakaf uang tetap menghadapi masalah seperti yang ditegaskan
Ah}mad bin ‘Abd al- Azi>z al-H{ada>d dalam Waqf al-Nuqu>d wa Istithma>ruha> 9 , seperti aset
wakaf tidak berkembang disebabkan penumpukan dana (idle fund), nilai uang turun karena inflasi,
dan aset wakaf hilang baik karena mismanagement ataupun i‘tikad tidak baik pengelolanya. Untuk
itu, agar nilai wakaf uang itu tetap jumlahnya dan tidak tergerus karena inflasi, perlu dilakukan
manajemen yang lebih prospektif yang dikelola secara profesional. Lembaga pengelola wakaf
sebagai badan hukum yang wajib dikelola berdasarkan prinsip kehati-hatian, agar dapat
mengamankan dan melindungi kepentingannya serta wa>kif yang mempercayakan dana kepadanya.
Apalagi Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf mengatur berbagai hal yang penting
bagi pemberdayaan dan pengembangan harta wakaf secara produktif. Dalam pasal 43 Undang-
undang ini ditegaskan bahwa pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh na>z}ir wakaf
dilakukan secara produktif.

Anda mungkin juga menyukai