Pendahuluan
Islamisasi pengetahuan merupakan isu yang tidak bisa dilewatkan begitu
saja dan telah lama diperbincangkan, termasuk di Indonesia. Banyak kalangan
yang mencoba mengusung gagasan ini dan banyak pula yang mengkritiknya,
namun tidak banyak yang memahaminya secara konseptual dalam konteks
pandangan hidup dan peradaban Islam.
Di antara bidang garap gagasan Islamisasi pengetahuan, ekonomi Islam
adalah subjek kajian yang paling maju secara teoritis maupun praktis kendatipun
masih berada di tahap awal perkembangan. Namun, sebagai ilmu, ekonomi Islam
yang dewasa ini semakin banyak menarik minat orang untuk mengkajinya,
ternyata masih sering disalahtafsirkan. Sebagian ada yang menganggap bahwa
ekonomi Islam itu a historis. Dengan kata lain, ekonomi Islam yang dibangun oleh
para pencetusnya belum dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu yang
mapan, karena dipandang tidak ditemukan adanya bangunan pemikiran ekonomi
yang utuh seperti halnya dalam ilmu ekonomi modern. Sementara itu, sebagian
yang lain menganggap bahwa perkembangan studi ekonomi Islam tidak lain
hanyalah sebagai reaksi sesaat dalam merespon modernisme.
Persepsi di atas muncul disebabkan karena ilmu ekonomi Islam sekarang
ini memang masih berada dalam tahap perkembangan dan hingga kini masih terus
mencari formulasi teori yang benar-benar mapan. Beberapa masalah yang penting
adalah munculnya debat metodologis yang mengiringi konstruksi teoritis ekonomi
Islam. Namun, di sisi yang lain justru sudah banyak bermunculan institusiinstitusi (keuangan) Islam yang mengaplikasikan teori ke dalam praktek sebelum
debat metodologi itu benar-benar diselesaikan (Hoetoro, 2007: 3).
Namun demikian, tidak dapat disangkal lagi bahwa berkembangnya studi
ekonomi Islam ini dipicu oleh gerakan Islamisasi pengetahuan yang dengan
intensif diaktifkan oleh Ismail Raji al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib al-Attas,
dan sebagainya (Hoetoro, 2007: 13). Atau dapat dikatakan bahwa ekonomi Islam
itu sendiri tidak lain adalah merupakan produk dari gerakan Islamisasi ilmu
ekonomi. Bagaimanapun juga nalar ekonomi memang harus di-Islamkan. Tetapi
pertanyaan yang muncul sekarang adalah apa yang harus di-Islamkan dan
bagaimana proses Islamisasi ilmu ekonomi itu dilakukan ? Pertanyaan-pertanyaan
seperti ini sering diajukan dan mau tidak mau memaksa sebagian orang untuk
mengupas lebih dalam masalah metodologi ekonomi Islam, sesuatu yang hingga
kini belum mencapai bentuknya yang final.
Untuk itu, tulisan ini berupaya untuk mengupas tentang pencitraan
kebangkitan Islam yang tertuang dalam gagasan Islamisasi pengetahuan,
bagaimana
konsepsi
Islamisasi
pengetahuan
dan
gagasan-gagasannya,
peradaban Islam masa lalu di alam modern. Aspirasi tersebut dituangkan dalam
beragam bentuk dan aktivitas yang oleh sebagian besar kalangan, terutama para
orientalis, diberi label sebagai gerakan fundamentalisme dan kebangkitan Islam
(Hoetoro, 2007: 153).
Gerakan kebangkitan Islam sebenarnya adalah sebagai usaha-usaha aktif
kaum Muslimin untuk membangun keseluruhan tatanan sosial yang sesuai dengan
visi ideologis Islam yang diilhami secara kanonik mengenai realitas. Islam, oleh
karena itu mempunyai formulasinya sendiri yang terkait dengan tatanan budaya,
sosial, politik dan ekonomi. Sementara itu, Chandra Muzaffar sebagaimana
dikutip oleh Hoetoro (2007: 154), melihat kebangkitan sebagai suatu perjuangan
untuk menyesuaikan diri dengan apa yang dipahami sebagai perilaku Islam, untuk
taat kepada sikap dan praktek-praktek tertentu, dan untuk memajukan pandangan
dunia Islam. Dengan kata lain, gerakan kebangkitan Islam merupakan upaya
untuk penegasan eksistensi diri dan aktualisasi Islam terhadap suatu keyakinan
universal di dunia temporal (Kuntowijoyo, 1994: 48).
Pencitraan kebangkitan Islam seharusnya didasarkan pada pemahaman
seperti di atas, sebab jika tidak, maka informasi berharga tentang sisi lain dari
kebangkitan Islam yang sangat penting, yaitu kebangkitan intelektualitas akan
hilang. Kebangkitan Islam ini dimotori oleh para cendekiawan Muslim terutama
mereka yang tergabung di lembaga-lembaga riset, seperti IIIT (the International
Institute of Islamic Thought), ISTAC (International Institute of Islamic Thought
and Civilization) dan lembaga-lembaga sejenis lainnya yang menandai sebuah
apresiasi yang positif terhadap perjalanan sejarah kebudayaan dan peradaban
universal umat manusia. Kebangkitan itu juga dipandang sebagai yang paling
esensial karena sebenarnya masalah kemunduran intelektualitas di dunia Islam
telah lama menjadi keprihatinan uatama para sarjana dan cendekiawan Muslim.
Gagasan kebangkitan Islam tersebut dituangkan ke dalam suatu proyek prestisius
yang
dikenal
luas
sebagai
Islamisasi
pengetahuan
(Islamization
of
banyak
kerancuan
dalam
memaknai
istilah
Islamisasi
Penguasaan disiplin ilmu-ilmu modern yang diikuti oleh penilaian kritis atas
metodologi, temuan ilmiah dan teori yang selaras dengan visi Islam.
b.
c.
sosial
modern
karena
disiplin
ilmu
pengetahuan
ini
dipandang
mempengaruhi langsung cara pandang, pola pikir, dan gaya hidup kaum
Muslimin.
meskipun
mereka
berbeda
dalam
metode
dan
strategi
b.
1. Perbedaan Worldview
Worldview berfungsi sebagai dasar bagi keseluruhan bangunan teori
pengetahuan. Dalam worldview itulah konsep, aksioma, hukum dan teori
ekonomi dimapankan, dan setiap sistem sosial memiliki visinya sendiri.
Worldview Barat sangat dipengaruhi oleh falsafah darwinisme sosial,
materialisme dan determinisme (Ahmadiono, 2003: 208). Tolok ukur
kebenaran, kesenangan dan aspek-aspek lain dalam hidup ditentukan oleh
parameter kebendaan. Oleh karena itu, apapun yang berada di luar jangkauan
indera, sudah pasti akan ditolak. Worldview Barat ini terefleksikan oleh visi
Adam Smith, Karl Marx dan JM.Keynes. Worldview kapitalisme klasik tidak
mungkin dapat dilepaskan dari visi Adam Smith yang menurunkan postulatpostulat hukum alam dalam hukum-hukum ekonomi. Jika Tuhan menciptakan
sebuah mekanisme yang bekerja secara harmonis dan otomatis tanpa ada
intervensi apapun, maka laissez faire merupakan kebijaksanaan yang tertinggi
dalam kehidupan sosial umat manusia (al-Faruqi, 1995: 179). Smith
selanjutnya mewacanakan pemuasan self-interest dan persaingan bebas
sebagai hukum alam yang menggerakkan motif-motif ekonomi manusia yang
dipandang selaras dengan kepentingan sosial. Pengembangan visi kapitalisme
kasik ini mencapai puncaknya ketika Leon Walras mengenalkan konsep
"Tatonnement" untuk menunjukkan bahwa seluruh kekuatan pasar dalam
ekonomi laissez faire secara simultan mampu menjaga keseimbangan
(economic equilibrium). Teoretisasi Walras ini kian memperjelas abstraksi
Smith tentang peran tangan tersembunyi (invisible hands) dalam pembentukan
harga pasar sebagai paradigma utama ekonomi kapitalis. Selanjutnya,
kelahiran Karl Marx mengoreksi visi ini bahwa dominasi kapitalisme telah
menciptakan struktur ekonomi yang sangat timpang, terutama terhadap
kelompok buruh dan kaum marjinal lainnya. Kemudian, visi Keynes tentang
peran pemerintah hadir ketika kapitalisme tengah diliputi great depression.
Sampai saat ini, meskipun belakangan juga menuai banyak kritik, teori
Keynes dipandang sebagai counter argument paling valid terhadap teori
ekonomi klasik (Hoetoro, 2007: 197-200).
10
11
formulasi teoritis ekonomi Islam tidak hanya terfokus pada penjelasan yang
bersifat mekanistik atau positivistik terjadinya perilaku dan interaksi ekonomi,
sebagaimana terlihat dalam ekonomi modern, seperti dalam teori konsumsi,
pasar, upah, teori produksi, dan sebagainya. Namun, justru dalam ekonomi
Islam, perilaku ekonomi yang berimplikasi kepada etika, moralitas dan nilainilai normatif lainnya dipandang penting dan karena itu perlu dimasukkan
dalam pengembangan teori (Hoetoro, 2007: 207).
Tauhid merupakan konsep inti dalam worldview Islam, mendasari
keyakinan manusia atas keesaan Allah dan berperilaku sesuai dengan aturanaturan-Nya. Tawhid juga memberikan pemahaman bahwa Allah telah
menciptakan seluruh alam semesta secara sadar dan terencana. Penciptaan
alam ditundukkan Allah sebagai sumber daya ekonomis dan keindahan bagi
12
13
akal
tersebut
menunjukkan
bahwa
ekonomi
14
3. Persoalan Metodologi
Dalam proses Islamisasi ilmu ekonomi, metodologi ilmu ekonomi
merupakan hal yang penting dan mendasar karena melalui metodologi inilah
kebenaran hukum atau teori diharapkan tercapai. Perumusan teori-teori
ekonomi yang didasarkan kepada paradigma atau worldview Islam mau tidak
mau harus berangkat dari sebuah metodologi yang berbeda dengan metodologi
ilmu ekonomi saat ini. Secara prinsip, keduanya berbeda sama sekali dalam
banyak hal, terutama tentang tatanan nilai, filsafat dan pandangan dunia
(worldview) yang mendasari, alur sejarah perkembangannya serta posisinya
terhadap ilmu ekonomi itu sendiri. Oleh karena itu, proses Islamisasi ilmu
ekonomi diharapkan dapat mengintegrasikan keduanya yang meski berbeda,
namun juga memiliki sejumlah kesamaan yang bersifat natural (Muqorobin,
2005: 1).
Metodologi dalam ekonomi memuat seperangkat kriteria, aturan dan
prosedur yang digunakan untuk menguji sifat, ruang lingkup dan kinerja ilmu
ekonomi (Hoetoro, 2007: 245). Di bidang ilmu-ilmu sosial, termasuk
ekonomi, formulasi teori adalah pekerjaan yang berat karena terkait dengan
dinamika pelakunya dan seringkali terbatasi oleh dimensi ruang dan waktu.
Oleh karena itu, tujuan utama teori-teori sosial sebenarnya tidak untuk
memprediksi dan meramalkan apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi
lebih dimaksudkan untuk menjelaskan dinamika peristiwa yang sedang
berlangsung. Namun ironisnya, terutama di ekonomi, sudah lama muncul
kecenderungan untuk membuat banyak penelitian empiris yang digunakan
sebagai dasar pijak teoritis dalam memprediksi kemungkinan yang mungkin
terjadi.
15
16
Nampaknya,
pendekatan kedua ini lebih banyak diminati karena dipandang memberi ruang
yang fleksibel untuk melakukan modifikasi dan perbaruan metodologis sesuai
dengan ajaran-ajaran Islam. Pada umumnya, Islamisasi ekonomi menempuh
pendekatan ini (Hoetoro, 2007: 251).
17
Asumsi-asumsi ekonomi
Asumsi-asumsi normatif
Asumsi-asumsi positif
Asumsi-asumsi normatif
1
6
Asumsi-asumsi positif
18
semua ilmu pengetahuan tidak dapat menghindari fakta ini meskipun ilmu
pengetahuan Barat cenderung untuk mengingkarinya (az-Zarqa, 2003: 12).
Kedua: Asumsi Positif Islam (kategori 2 dan 4)
Asumsi ini menjelaskan realitas dengan merujuk pada relasi antar variabel
atau fakta-fakta yang terhubung. Beberapa contoh dapat diperhatikan dalam QS.
Ali Imron (3):15-16 mengenai kecintaan manusia terhadap kekayaan. Berdasarkan
ayat ini ditemukan adanya 2 (dua) pernyataan positif, yaitu (1) manusia memiliki
hasrat yang tak terbatas terhadap kekayaan (unlimited wants); dan (2) keimanan
kepada Allah membatasi hasrat tersebut pada tingkat moderasi yang dianjurkan.
Dengan demikian, ayat di atas tampak mengakui adanya kecenderungan
manusiawi untuk memuaskan keinginan yang tak terbatas sebagaimana definisi
ekonomi konvensional. Tetapi ekonomi Islam juga mengakui sisi lain dari hasrat
manusia ini bahwa moderasi adalah jalan yang terbaik sehingga pemuasan
keinginan ini tidak hanya didorong oleh pemuasan nafsu melainkan diletakkan
secara seimbang antara kebutuhan fisik dan spiritual (az-Zarqa, 2003: 13).
Ketiga: Asumsi Positif Ilmu Ekonomi (kategori 6)
Para ekonom sepakat bahwa teori-teori ilmu ekonomi menjustifikasi apa
yang sedang berlaku di masyarakat. Hal ini menandakan kuatnya pengaruh
positivistik dalam pengambangan teori ekonomi. Menariknya, dalam proses
teoretisasi fakta-fakta ekonomi tersebut sering berangkat dari perspektifnya
masing-masing, menandakan bahwa sebenarnya mereka juga dipengaruhi oleh
sistem nilai tertentu. Karena itu dapat diterima jika banyak orang menilai bahwa
teori-teori ekonomi positif pada dasarnya merefleksikan norma-norma, tata nilai
dan worldview Barat, tidak hanya merupakan sebuah analisis positif fenomena
ekonomi.
Berangkat dari uraian di atas, maka formulasi teori tidak hanya berangkat
dari aspek-aspek positif saja melainkan juga memasukkan aspek-aspek normatif
yang diambilkan dari ketentuan syari'at. Dengan demikian, ketika nilai-nilai
masuk dalam teori dan kebijakan ekonomi, pemisahan secara tegas antara aspek
normatif dan positif menjadi tidak relevan lagi karena pada dasarnya keduanya
saling berhubungan. Hal ini justru semakin memperkuat justifikasi ekonomi Islam
19
sebab model atau hipotesis yang dibangun ditentukan oleh kesesuaiannya dengan
asumsi dan prinsip-prinsip syari'at (Hoetoro, 2007: 267-268).
Namun demikian, pemaduan aspek normatif dalam perumusan teori
ekonomi Islam harus dilakukan secara cermat dan tidak boleh dilakukan secara
serampangan dan gegabah. Kesalahan dalam memadukan aspek normatif ke
dalam perumusan teori ekonomi akan menimbulkan dampak yang serius. Sebuah
hukum ekonomi yang sudah berlaku secara umum tidak perlu dipaksa untuk
menerima nilai normatif agama ke dalam formulasi teori. Misalnya, hukum
permintaan menjelaskan hubungan antara jumlah barang dan harga; bila
permintaan terhadap barang tertentu naik/turun, maka harga barang tersebut akan
naik/turun pula, ceteris paribus. Ini merupakan sebuah hukum ekonomi yang
berlaku bagi siapa saja, baik di Barat maupun di Timur atau fitrah yang ditemukan
dalam perilaku ekonomi manusia tanpa melihat atribut apapun yang dimilikinya.
Untuk itu, perumusan teori ekonomi Islam tidak perlu memaksa diri dengan cara
membuat inkonsistensi teori bahwa untuk konsumen Muslim hukum permintaan
tidak berlaku lagi karena adanya aspek-aspek religius yang menjadi bahan
pertimbangan dalam keputusan sehingga berdampak kepada kurva permintaan
yang berbeda antara konsumen Muslim dan non-Muslim (Hoetoro, 2007: 269).
Menurut penulis, kurva permintaan tidak akan mengalami perubahan, tetapi bisa
bergerak sesuai dengan definisi terhadap realitas yang juga senantiasa berubah.
Hal ini tergantung pada asumsi-asumsi yang dibangun, misalnya, zakat dapat
membuat pola permintaan berubah yang dengan sendirinya dapat menggeser
kurva permintaan. Namun jangan dibingungkan dengan pergeseran barang yang
diminta pada kurva permintaan yang sama.
Dalam pandangan lain, Anas az-Zarqa sebagaimana dikutip oleh
Ahmadiono (2003: 208) berpendapat konsep Islamisasi al-Faruqi juga dapat
memainkan peranan dalam proses Islamisasi ilmu ekonomi. Kedua belas langkah
dalam work-plan al-Faruqi merupakan langkah-langkah ideal dan sempurna
sebagai acuan Islamisasi ekonomi. Secara fundamental, kedua belas langkah
dalam work-plan al-Faruqi berkisar pada tiga wilayah prinsip, yaitu: penguasaan
terhadap disiplin tertentu pengetahuan modern (1, 2, 6), penguasaan dan
20
penentuan relevansi Islam yang dapat ditemukan dalam warisan Islam terkait
dengan disiplin tersebut (3,4,5,7) dan adanya upaya sintesis untuk membangun
disiplin dimaksud dalam perspektif Islam (10). Sedangkan langkah 8,9,11 dan 12
merepresentasikan komitmen moral individu terhadap pilihan persoalan dan
sumber. Secara jelas, kedua belas langkah dalam work-plan al-Faruqi adalah
sebagai berikut (Haneef, 2005: 59):
Disciplinary Survey
10
11
12
Disseminating Islamic
Knowledge
Islamisasi
pengetahuan
sebenarnya
tidak
perlu,
mengingat
21
22
23
24
dengan berbagai institusi Keuangan dan perbankan Islam yang semakin banyak
diminati masyarakat.
Catatan Penutup
Dari beberapa uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dibuat
beberapa catatan akhir sebagai berikut:
1.
2.
3.
diarahkan
untuk
mengkritisi
ekonomi
modern
dengan
25
DAFTAR PUSTAKA
Adnin Armas, "Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu", dalam Tsaqafah, Vol. 3,
No. 1, Dzulqa'dah 1427.
--------------, "Westernisasi dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer", dalam
Workshop Pondasi Epistemologi Untuk Ilmu Ekonomi, 11 April 2005.
Ahmadiono, "Islamisasi Ilmu Pengetahuan Dalam Bidang Ekonomi (Studi atas
Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan al-Faruqi dan Relevansinya dalam
Bidang Ekonomi)", dalam Antologi Kajian Islam, Juli 2003.
Ahmad Baidowi, "Islamisasi Ilmu Pengetahuan: Sebuah Respon Terhadap
Gagasan Ismail Raji Al-Faruqi" dalam Refleksi, Vol.2, No. 2, Juli 2002.
Akhyar Adnan, "Metodologi Ekonomi Konvensional dalam Penelitian Ekonomi
Islam, dalam Antologi Studi Islam, Teori dan metodologi, Yogyakarta:
Sunan Kalijaga Press, 2000.
Ali
Chapra, M. Umer, Masa Depan Ilmu Ekonomi Islam: Sebuah Tinjauan Islam,
Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Al-Faruqi, Ismail Raji, Islamization of Knowledge: General Principles and
Workplan, Herndon: International Institute of Islamic Thought, 1982.
-----------------, Tawhid, Terj. Rahmani Astuti, Bandung: Penerbit Pustaka, 1995.
Haneef, Mohamed Aslaam, A Critical Survey of Islamization of Knowledge,
Malaysia: International Islamic University Malaysia, 2005.
Hasan, Zubair, "Islamization of Knowledge in Economics: Issues and Agenda",
dalam IIUM Journal of Economics and Management, 1998,Vol. 6, No.2.
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1995.
26
27
BIODATA PENULIS
Anita Rahmawaty, M.Ag.: Lahir di Kudus, 12 Januari 1975. Putri kedua dari
ayahanda Drs. M. Saleh Rosyidi (alm) dan ibunda Hj. Sunifah ini meniti
pendidikan S1 di Fakultas Syari'ah Jurusan Peradilan Agama IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta (1993-1998). Pendidikan S2 di IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta Program Studi Hukum Islam Prodi Mu'amalah (1998-2000).
Semasa kuliah pernah aktif sebagai Ketua Bidang Keuangan KOPMA
IAIN SUKA Yogyakarta (1995-1997) dan Ketua Pengawas KOPMA IAIN
SUKA Yogyakarta (1997-1998). Sejak tahun 1999 mulai diangkat sebagai
staf pengajar di STAIN Kudus dan aktif sebagai pengurus LKBH STAIN
Kudus, PSG STAIN Kudus dan Ketua IV Jaringan Perlindungan
Perempuan dan Anak (JPPA) Kab. Kudus. Saat ini, penulis sedang
menekuni studi S3 Program Doktor Ekonomi Islam di UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
28