Anda di halaman 1dari 256

POLIGINI DALAM PERSPEKTIF

HUKUM DAN SOSIOLOGI


(SEBUAH FENOMENA KASUS-KASUS POLIGINI DI DALAM MASYARAKAT)

Lilis Suaedah
Ya’kub HAR
POLIGINI DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN SOSIOLOGI
(SEBUAH FENOMENA KASUS-KASUS POLIGINI DI DALAM MASYARAKAT)
@2022, Lilis Suaedah, Ya’kub HAR

Penulis : Lilis Suaedah, Ya’kub HAR


Tata Letak : M. Baihaqi Lathif
Desain Sampul : Hanania Alfia Lathif

ISBN:
vi + 250 hlm; 15,5x23 cm
Cetakan Pertama, Desember 2022

Diterbitkan oleh:
Lembaga Ladang Kata
Jl. Garuda, Gang Panji 1, No. 335
RT 7 RW 40 Kampung Kepanjen, Banguntapan, Bantul
Email: cetakbukudiladangkata@gmail.com
Instagram: @cetakbuku.ladangkata
www.cetakbukumurah.id
Kata Pengantar

S
ecara empiris- sosiologis di masyarakat Indonesia dan
termasuk masyarakat dunia masih banyak terjadi kasus-kasus
Poligini menyimpang atau Poligini yg disimpangkan. Dimana
mereka mempraktekan Poligini akan tetapi tidak mau bertanggung
jawab secara penuh sebagai sebuah perkawinan Poligini yg telah
disyaratkan oleh semua aturan hukum yg berlaku, seperti hukum Islam
(syari’at Islam) harus berlaku adil dan penuh tanggung jawab layaknya
pada perkawinan monogini. Dalam hukum positif sudah jelas syarat
syarat Poligini harus dipenuhi baik syarat alternatif maupun syarat
komulatif dan baru pengadilan agama mengeluarkan izin Poligini.
Semua pakar hukum dan kaum agamis sadar Poligini tidak bisa
dilarang, apalagi dihapus selama masih ada perempuan yg rela,
mau serta ikhlas dimadu, diduakan cintanya, seperti Aliyah yg rela
berbagi suami dengan perempuan lain.
Bila Poligini dilarang akan terjadi jumlah perempuan usia
nikah lebih banyak dari pada laki-lagi dan juga semakin luas
penyimpangan-penyimpangan seksual. Masalah ini dapat dilihat
dan disaksikan di Negara-Negara maju baik di Asia dan Eropa. Di
Asia Tenggara saja Singapore, Malaysia, Tunisia, dll mengizinkan
Warga Negaranya berpoligini. Negara-negara Eropa, seperti Jerman,

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi iii


Rusia, Perancis, dll mulai membolehkan warga negaranya berpoligini.
Jika diperhatikan seksama Poligini itu hak perempuan dan kewajiban
laki-lagi. Jika ada seorang perempuan menerima pinangan dan
lamaran seorang laki laki dimana perempuan tersebut sudah tahu
bahwa, laki laki tersebut telah beristri akan tetapi diterima juga
lamaran itu, maka terjadi Poligini dan setelah perkawinan Poligini
itu baru lahir kewajiban laki laki atau suami.

iv Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Daftar Isi

Kata Pengantar.................................................................................. iii


Daftar Isi ............................................................................................. v

Bab I - Pendahuluan......................................................................... 1

Bab II - Sekilas Sejarah Poligini..................................................... 5


A.. Sepintas Sejarah Poligini................................................. 5
B.. Poligini dalam Masyarakat Adat.................................... 12

Bab III - Poligini Para Nabi dan Rasul.......................................... 51


A.. Poligini Nabi dan Rasul sebelum Rasulullah Saw..... 51
B.. Poligini Rasulullah Saw.................................................... 57

Bab IV - Dasar Hukum Poligini...................................................... 71


A.. Dasar Hukum Poligini...................................................... 71
B.. Pandangan dan Pendapat Tentang Poligini................ 89

Bab V - Poligini dalam Kenyataan................................................ 97


A.. Realita Poligini dalam Masyarakat............................... 97
B.. Sebab-sebab Terjadi Poligini.......................................... 102

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi v


C.. Faktor-faktor Terjadi Poligini.......................................... 146
D.. Hak dan Kewajiban Poligini........................................... 163
E.. Ekses-ekses yang Ditumbulkan Poligini...................... 174
F.. Manfaat dan Madharat Poligini..................................... 185

Bab VI - Analisa Putusan Hakim Tentang Poligini................... 191


A.. Kasus Hukum...................................................................... 191
B.. Analisa Kasus Hukum...................................................... 205

Bab VII - Penutup.............................................................................. 217


A.. Letak, kedudukan serta keberadaan Hukum Islam
. dalam Tata Hukum Indonesia........................................ 217
B.. Aturan Hukum Perkawinan
. sebelum lahir UU No, 1 Tahun 1974............................... 218
C.. Peraturan Hukum Tentang Poligini.............................. 219
D.. Penemuan Baru dalam Praktek Poligini...................... 224
E.. Pro – Kontra Poligini........................................................ 227
F.. Manfaat dan Mudlaratnya Poligini............................... 228
G.. Arti adil dalam Poligini.................................................... 229
H.. Poligini dalam Pandangan Sosiologis........................... 230
I.. Poligini dalam Segala Aspeknya.................................... 231

Daftar Pustaka................................................................................... 237


Tentang Penulis................................................................................. 248

vi Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


BAB I

PENDAHULUAN

S
udah menjadi kelirumologi di masyarakat Indonesia. Istilah
beristri lebih dari seorang disebut, “Poligami”. Istilah poligami
berasal dari Bahasa Latin, adalah: “Poly” berarti, “banyak” dan
“Gomein” atau “Gomos” berarti, “Kawin”. Dibanyak Kamus, seperti:
Kamus Besar Bahasa Indonesia, The New Encylopedia Brittanica,
dan juga, Webster’s – New World Dictionary. Kata poligami diartikan,
having two or more spouse at the same time1. Artinya, seseorang2
yang mempunyai dua atau lebih pasangan hidup dalam kurun waktu
yang bersamaan3. Jadi istilah poligami bisa bermakna, “Poligini” dan
bisa bermakna, “Poliandri”.
Dalam penelitian ini seterusnya akan menggunakan istilah,
“Poligini” yang diartikan, seorang suami mempunyai istri (pasangan
hidup) lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan, having two or
more wives at the same time. Sedangkan istilah, “Poliandri” adalah,
seorang istri mempunyai suami (pasangan hidup) lebih dari satu

1 The New Encyclopedia Brittanica (USA: Encycpedian, Inc., Fifth Edition}, Vol. XVII,
hal. 312.
2 Dimaksud kata seseorang di sini bisa bermakna suami atau istri yang mempunyai
pasangan hidup lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan.
3 Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi yang Diperbaharui), Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1988, hal. 417.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 1


dalam kurun waktu yang bersamaan atau having two or more
husbands at the same time4.
Di dalam literatur Hukum Islam kata poligini diistilahkan,
“Ta’addud az Zaujat” adalah, seorang suami mengumpulkan dua
sampai empat orang istri dalam kurun waktu yang bersamaan5.
Pemahaman ini didukung firman Allah, Surat an Nisaa, ayat 3 dan
ayat 129.
Firman Allah SWT, “Dan jika kamu tidak dapat berlaku adil
terhadap hak-hak perempuan yatim (bila kamu menikahinya), maka
nikahilah wanita-wanita yang lain yang kamu cintai dua, tiga dan/
atau empat. Namun kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap
istri-istri itu, maka nikahilah seorang saja atau budak-budak yang
kamu miliki, maka yang demikian itu kamu tidak berbuat aniaya”
(Q. S An Nissa, 3).
Firman Allah SWT, “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat
berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin
berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cederung
(kepada istri yang kamu paling cintai), sehingga kamu biarkan yang
lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari kecurangan sehingga kamu tidak berlaku adil),
maka sesungguhnya Allah Maha Penganmpun lagi Maha Penyayang”
(Q. S. An Nisaa, 129).
Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang mempunyai istri
lebih dari satu, lalu dia (suami) lebih condong (lebih cinta dan lebih
sayang) kepada salah satu di antara mereka, maka pada hari kiamat

4 Webseter’s New World Dictionary, hal. 10.


5 Mustafa as Siba’i; al Mar’ah baina al Fiqh wa al Qur’an (Nasyr Tauzi al Maktabah al
Arabiyah bi Halah, tt), hal. 71.

2 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


nanti, suami tersebut datang dengan wajah yang miring atau berat
sebelah” (H.R Abu Daud)6.
Sedangkan di dalam literatur Hukum Adat perkawinan poligini
dikenal dengan sebutan, “Perkawinan Bermadu” yang dikenal dan
didapat serta diketemukan hampir di seluruh masyarakat adat
Indonesia dan juga, sudah menjadi budaya dan tradisi masyarakat
dunia7.
Definisi awal mengatakan, poligini adalah seorang laki-laki
(suami) memiliki beberapa orang istri dalam kurun waktu yang
bersamaan. Definisi di atas tidak ada batasan jumlah istri dalam
kurun waktu yang bersamaan. Bisa saja dua, tiga, empat, lima
dan tidak terbatas jumlahnya, seperti masyarakat jahiliyah yang
melakukan poligini tanpa batas sebelum turun Agama Islam8. Setelah
Agama Islam turun, ummat Islam khususnya dibatasi kebolehan
poligini, yaitu hanya empat orang istri saja dalam kurun waktu yang
bersamaan. Dasar pembatasan itu, Surat an Nisaa, ayat 3. Itupun
dengan syarat ketat, yaitu adil.
Menurut pakar budaya dan sosiologi, seperti: G.P. Murdock,
J.J, Dormeler, H.T. Chobat, Koentjoroningrat, dan masih banyak
lagi yang lainnya menyatakan, poligini yang dibatasi jumlah istri
disebut, “Limited Polygyny”9, merupakan suatu sistem perkawinan

6 Imaduddin Husain; Zaujah Wahidah La Takfi, Ats Tsaniyah La Zaniyah, terjemah:


Abdul Kadir; Kiat Menghindari Perselingkuhan (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), cet
ke-1, hal. 83.
7 Muhammad Quraish Shihab; Perempuan (Lentera Hati, Tangerang, 2009), hal. 177-
178.
8 Lihat, Lilis Suaedah; Perspektif Pelaku Poligini Terhadap Poligini: Studi Kritis
Terhadap Perilaku Pelaku Poligini (Desertasi, 20012), Sekolah Pasca Sarjana UIN
Syarif Hidayutullah, Jakarta.
9 Koentjoroningrat; Poligami Ditinjau dari Segi Antropologi (Menindjau Masalah
Poligami, Tintamas, Jakarta, 1959), hal. 95.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 3


poligini paling umum di dunia. Di samping itu masih ada bentuk-
bentuk poligini yang lain, menurut ilmu antropologi, seperti: General
polygyny, Sororal polygyny dan Resental polygyny.
Praktek perkawinan poligini di masyarakat tetap tinggi dan terus
terjadi serta berkembang subur. Selama masih ada wanita yang mau
serta rela dimadu – dipoligini – maka selama itu praktek pernikahan
poligini tetap ada. Paling pemerintah dan masyarakat hanya bisa
mengurangi dampak poligini tapi tidak akan bisa menghilangkan,
apalagi menghapus poligini dari adat kebiasaan masyarakat, karena
adat dan tradisi poligini telah berurat akar di masyarakat.
Telah banyak teori yang berkembang dalam masyarakat tentang
poligini. (i). Ada pandangan yang mendaruratkan poligini, (ii). Ada
pandangan yang melegalitaskan poligini, (iii). Ada pandangan yang
membolehkan poligini dan (iv). Ada pandangan yang melarang
poligini. Seakan banyak teori itu hanya sebuah catatan teori yang
benar di atas kertas tapi dalam kenyataan di masyarakat poligini itu,
tetap ada dan terus berkembang, karena senyatanya perkawinan
poligini tetap disukai laki-laki dan diiyakan perempuan dengan
kata laian selama masih ada perempuan mau serta rela dimadu, -
dipoligini – maka poligini tetap ada di masyarakat.

4 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


BAB II

SEKILAS SEJARAH POLIGINI

A. Sepintas Sejarah Poligini

B
udaya dan tradisi poligini sejak lama sudah mendunia, jauh
sebelum Agama Islam datang. Tradisi ini terdapat hampir di
seluruh Suku Bangsa atau Ummat manusia di seluruh dunia
sebelum Agama Islam – Nabi Muhammad Saw lahir. Jadi, Agama
Islam bukan yang pertama kali membawa syari’at poligini dan bukan
satu-satunya ajaran Agama yang membolehkan poligini.
Kitab Suci Alqur’an sejak awal telah menjelaskan, sebagaimana
Allah SWT berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus
beberapa Rasul sebelum kamu (Nabi Muhammad) dan Kami
memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. Dan tidak ada
hak bagi seorang Rasul mendatangkan suatu mu’jizat melainkan
dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab tertentu” (Q.S Ar
Raid: 38).
Pada awal syari’at perkawinan itu satu Adam untuk satu
Hawwa, sebagaimana Allah SWT berfirman, “Hai sekalian manusia
bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu seorang
diri dan dari padanya Allah menciptakan istri-mu dan dari keduanya
Allah mengembang-biakan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan
bertakwalah kepada Allah dengan menggunakan nama-Nya kamu

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 5


saling bantu-membantu satu dengan yang lainnya, dan peliharalah
tali-siraturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi
kamu” (Q. S. An Nisaa: 1). Tapi anak cucu Adam yang laki-laki tidak
seperti Adam dan yang perempuan tidak seperti Hawwa, mungkin
saja mereka (yang laki-laki) banyak yang meninggal dunia dengan
pelbagai sebab dan keadaan, seperti diisyaratkan, ayat 3 Surat An
Nisaa yang disebut pertama, yatim perempuan bukan yatim laki-laki,
ini bermakna anak perempuan lebih banyak dari pada anak laki-laki.
Allah SWT firmankan, “Dan jika kamu takut tidak dapat
berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim (bila kamu
menikahinya), maka nikahilahan perempuan lain yang kamu cintai,
bisa dua, bisa tiga dan bisa juga empat……….” (Q. S. An Nisaa: 3).
Ayat 1-3 Surat An Nissa ini hanya berupa penerangan pembatasan
dibolehkannya poligini dengan diikuti pembatasan jumlahnya10 serta
syarat-syarat yang harus dipenuhi, syarat utama harus berlaku adil
terhadap istri-istri serta anak keturunan. Syarat yang cukup berat
yang harus dipenuhi pelaku poligini.
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Ali Syari’ati dan Muhammad
Quraish Shihab di dalam mengomentari ayat tersebut (An Nisaa,
ayat 3) adalah, Islam tidak memerintahkan, apalagi mewajibkan
poligini dan juga tidak secara mutlak mengharamkan. Namun tidak
pula memberikan kesempatan yang longgar kepada kaum muslimin

10 Menurut Ust. Abdul Somad dalam ceramah-ceramah tentang poligini menyatakan


bahwa, ayat 3 Surat An Nisaa, justru perintah untuk mengurangi jumlah istri bukan
untuk menambah istri. Masyarakat Arab jahiliyah sebelum datang Agama Islam
banyak yang mempunyai istri lebih dari empat dan bahkan ada yang sampai
sepuluh. Setelah sahabat itu masuk Islam diperintahkan Nabi hanya boleh beristri
empat orang saja.

6 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


untuk beristri lebih dari seorang11. Islam hanya membenarkan kepada
ummatnya untuk berpoligini bila syarat-syarat yang ditentukan
oleh syara’ dan perundang-undangan Negara dapat dipenuhi,
tidak dilanggar, sesuai dengan prosedural yang berlaku, makanya
Muhammad Quraish Shihab mengistilahkan sebuah darurat kecil.
Maka dengan kata lain, peluang untuk berpoligini kecil sekali12.
Adalah aneh bila kaum propaganda melempar isu dan fitnah
bahwa, Agama Islam dan Nabi Muhammad Saw orang yang pertama
kali memperkenalkan poligini di dunia ini13. Bahkan mereka
menuduh bahwa, fondasi Islam terletak pada poligini. Begitu kira-
kira tuduhan Anselmu (+ 1117), Wilhelm Champeaux (+ 1121), Thomas
Aquino dan masih banyak yang lainnya14. Lebih jauh Gustave le
Bon berkata, orang-orang yang anti poligini dus anti Islam berkata,
penyebab cepatnya penyebaran Agama Islam di kalangan pelbagai
suku bangsa dan masyarakat di dunia ini karena dihalalkannya
poligini; sementara itu penyebab utama kemunduran dunia Timur
(baca: Islam) juga karena poligini15. Keji sekali tuduhan kaum
propaganda Barat yang anti poligini dan anti Islam.

11 Sayyid Muhammad Rasyid Ridha; Nida’ Li Lathif (Kairo: Matha’ah al Manar, 1351
H/1931 M), hal. 55-56.
12 Muhammad Quraish Shihab; Wawasan Al Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Ummat (Jakarta: Mizan, 1996), Cet ke-3, hal. 200.
13 Bahkan ada yang berpendapat, Islam besar karena poligini dan Islam jatuh
juga masalah poligini. Pendapat ini sangat keliru, sebab poligini telah ada dan
berkembang jauh sebelum Agama Islam datang. Periksa, Jamal J. Naser; Perilaku
Melawan Hegemonia Barat, hal. 204-2-5.
14 Lebih jauh periksa, Al Purwa Hadiwardoyo, MSF; Perkawinan Dalam Tradisi Katholik,
(Jogyakarta: Pustaka Kanisius, 1994), Cet ke-4.
15 Murthada Muthahhari; The Rights of Women in Islam, terjemah, M. Hashem menjadi,
Wanita di Dalam Islam (Jakarta: Lentera Basritama, 1994), cet ke-4, hal. 221.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 7


Tuduhan propaganda Barat dibantah sendiri oleh pemikir Barat
lain, seperti Will Durant, Grouteus, Schopenhsuer, Dr. Lebon, Gustave
le Bon, dan yang lainnya. Sedangkan dikalangan pemikir perempuan
ada Anne Beazant, Lady Cocke, Anne Road, serta Jamilah Jones. Pada
umumnya pemikir-pemikir ini berpendapat bahwa, para teolog di
abad-abad pertengahan banyak yang berkata, Muhammadlah yang
memprakarsai poligini. Namun kenyataannya poligini telah ada
jauh mendahului Islam beberapa tahun sebelumnya. Poligini telah
menjadi adat kebiasaan serta budaya yang lumrah dalam perkawinan
masyarakat primitif dunia16.
Malahan Grouteus berani memastikan bahwa, poligini telah
ada sejak zaman nenek moyang Bangsa Ibrani dan Nab-Nabi masa
lalu sebelum Muhammad17. Hal ini telah dibuktikan al Qur’an dalam
Surat ar Ra’d ayat 38, sedangkan Surat an Nisaa ayat 3 hanya sebagai
penegas batas serta syarat bagi yang ingin berpoligini.
Lalu timbul pertanyaan: Apakah benar poligini itu hanya cocok
dalam perkawinan zaman primitif saja?
Pertanyaan ini langsung dijawab oleh Murtadha Muthahhari
dan Will Durant mengatakan, poligini itu praktis terus hidup dan
berkembang di kalangan bangsa-bangsa dewasa ini, bahkan di
kalangan mayoritas ummat manusia yang beradab suka serta banyak
yang melakukan poligini. Gustave le Bon memperkuat pendapat
Will Durant, ia berkata poligini Timur adalah suatu lembaga yang
cemerlang dapat mengangkat standar moral orang-orang yang
mempraktekannya, memberikan stabilitas besar kepada keluarga

16 Lihat Muhammad Rasyid Ridha, hal. 51.


17 Abdullah Nashih ‘Ulwan; Hikmah Poligami Dalam Islam, alih Bahasa Mohammad
Furqon Zahidi dan Fauzi Faishal Bahresy (Jakarta: Studi Press, 1997). Cet ke-1, hal.
18.

8 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


dan terakhir membuat wanita lebih terhormat dan lebih bahagia
ketimbang di Eropa18. Menurut kebanyakan orang berpandangan,
masyarakat Eropa merupakan sumber peradaban modern tapi
nyatanya masih banyak hak-hak wanita diinjak-injak terutama
hak untuk menikah19. Seperti pernyataan Schopenhauer, banyak
wanita-wanita Eropa yang tidak kawin, sehingga tidak ada yang
menjamin kehidupan mereka di hari tuanya. Termasuk di sini adalah,
perempuan perawan tua dari golongan bangsawan maupun wanita-
wanita lemah dan golongan masyarakat bawah. Mereka semua
menanggung beban kesulitan luar biasa. Mereka terjerumus dalam
kehidupan yang sulit lagi hampa20.
Wanita Eropa lebih memilih selingkuh atau diselingkui dan/atau
samenleven dari pada dinikahi yang bersifat legal dan benar. Bila
rumah tangga mereka gagal, kandas di tengah jalan mereka tidak
bercerai, karena bercerai dilarang oleh agama mereka. Maka untuk
memenuhi hasrat seksual mereka dengan jalan selingkuh, kumpul
kebo, memiliki WIL atau PIL, karena agama mereka melarang
perkawinan kedua. Asas perkawinan mereka monogami dengan
ajaran, kawin tidak terceraikan.
Abdullah Nashih ‘Ulwan memberikan contoh di Kota London
sendiri secara umum terdapat 80.000 wanita yang menyerahkan

18 Gustave le Bon; La Civilization des Arabes, hal. 421-422. Buku itu diterjemahkan
ke dalam Bahasa Arab menjadi, Hadaratul Arabi, hal. 419. Dikutip Murtadha
Muthahhari; The Right of Women in Islam, hal. 211. Abdullah Nashih ‘Ulwan; Hikmah
Poligami Dalam Islam, hal. 19.
19 Lebih jauh baca, Dale Carnegie; Petunjuk Hidup Tenteran Dan Bahagia, terjemah
Tim Hartaya (Jakarta: Gremedia Pustaka Utama, 2008).
20 Pendapat Schopenhauer ditambah oleh Shence mantan anggota Parlemen Prancis
yang menyatakan, perempuan Eropa lebih suka diselingkui dari pada dinikahi untuk
dijadikan istri kedua, ketiga atau keempat. Periksa buku, Poligami Dan Eksistensinya,
hal. 89.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 9


kehormatan mereka secara gratis sebagai akibat aturan perkawinan
yang membatasi satu orang wanita (monogami) dan juga sebagai
akibat dari kerusakan moral mereka. Wanita-wanita yang tidak
menikah menjadi penjajak seks di tempat-tempat prostitusi21.
Dari tesis Will Durant, Gustave le Bon, Murtadha Muthahhari,
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Ali Syari’ati, Abdullah Nashih
‘Ulawan sampai Muhammad Quraish Shihab jelas bahwa, Islam
bukan yang pertama membawa dan membenarkan poligini. Islam
hanya memberikan batasan jumlah istri yang boleh dinikahi serta
syarat-syarat poligini yang ketat dan Islam melegalitas lembaga
poligini dari tradisi serta budaya poligini sejak zaman Nabi-Nabi
dan Rasul-Rasul sebelum beliau (Muhammad Saw) terutama budaya
poligini zaman jahiliyah yang tanpa batas.
Islam datang lembaga hukum poligini disempurnakan
keberadaannya dari poligini tanpa batas, poligini liar dan tanpa syarat
menjadi poligini yang beradab. Sampai kapanpun poligini tetap ada
dan tidak bisa dilarang, apalagi dihapus, karena selagi ada wanita
yang mau dan rela dimadu lembaga hukum poligini tidak mungkin
bisa dilarang dan dihapus. Sifat hukum perkawinan lebih dominan
perempuan sebagai penentu daripada laki-laki. Seorang laki-laki
hanya berhak melamar, tapi perempuan yang lebih berhak untuk
memutus lamaran tersebut: “Diterima atau ditolak!” Perempuan
yang akan dilamar tahu kalau laki-laki yang akan melamarnya telah
beristri, tapi diterima juga, maka akan terjadi perkawinan poligini.
Setelah pernikahan poligini dilasungsungkan baru timbul kewajiban
suami untuk berlaku adil terhadap istri-istrinya.

21 Abdullah Nashih ‘Ulwan menulis buku, Hikmah Poligami Dalam Islam di tahun
1930-an, sedangkan sekarang sudah tahun 2023 kira-kira apa yang terjadi dengan
perempuan Eropa?

10 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Sahabat-sahabat Rasulullah Saw menawarkan anak
perempuannya kepada sahabat-sahabat yang lain, seperti Sahabat
Umar bin Khattab pernah menawarkan putrinya, Hafsah kepada
sahabat Abu Bakar dan sahabat Usman akan tetapi kedua sahabat
tersebut menolaknya dan akhirnya dinikahi Rasulullah Saw, maka ini
artinya peran perempuan lebih dominan dalam proses pernikahan.
Memilih lebih baik daripada dipilih dalam masalah perjodohan.
Perempuan dalam masalah perjodohan memilih bukan dipilih.
Pilihlah kali-laki yang baik agama dan akhlaknya22.
Menurut tesis Ali Syari’ati, poligini merupakan lembaga hukum
tua, yaitu setua usia ummat manusia23. Pernyataan Ali Syari’ati
dibantah golongan yang menolak lembaga poligini, kalau Tuhan
menghendaki lembaga poligini kenapa Tuhan hanya menciptakan
satu Hawwa untuk Adam. Ini artinya Tuhan hanya menghendaki
perkawinan monogami bukan poligini24. Tesis orang-orang anti
lembaga poligini dijawab langsung oleh Abdul Nashir Taufiq al Atthar,
memang untuk Adam hanya satu Hawwa, tetapi anak keturunannya
tidak akan seperti Adam bagi laki-lakinya dan tidak seperti Hawwa
bagi wanitanya. Di antara mereka ternyata ada yang ingin beristri
dua, tiga, dan bahkan empat dan ada juga perempuan-perempuan

22 Rasulullah Saw bersabda, “Apabila datang laki-laki untuk melamarmu, maka


yang kamu ridhoi agama dan akhlaknya, maka kawinilah dia dan bila tidak kamu
lakukan akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang luas lagi nyata” (HR
ath Tirmidzi dan Ahmad).
23 Ali Syari’ati; Women in The Eyes and Heart of Muhammad, terjemah Sofyan Abu
Bakar menjadi; Wanita di Mata dan Hati Rasulullah (Jakarta: Risalah Masa, 1992),
hal. 61. Lihat juga; Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, Jilid II: M-Z, terjemah dari The
Bible Dictionary (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1998.
24 Lebih jelas baca, Al Purwa Hadi Wardoyo; Perkawinan Dalam Tradisi Katholik
(Jogyakarta: Kanisius, 1975), cet ke-4.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 11


yang mau, suka dan rela dimadu. Di antara anak cucu Adam ada yang
meninggal suaminya sehingga ia hidup menjanda, ada juga yang
tidak mendapat pasangan dari pada mereka terjerumus ke lembah
kehinaan lebih baik mereka (wanita) menerima dipoligini. Setelah
anak cucu Adam berkembang biak ternyata diperlukan seorang
pembimbing (Nabi dan Rasul) dan Nabi serta Rasul itu banyak yang
hidup berpoligini25.
Sejarah telah membuktikan bahwa, poligini itu lembaga
hukum tua, setua usia ummat manusia. Adalah salah kalau ada
yang menyatakan, lembaga poligini produk Agama Islam dan
Muhammad, Rasulullah Saw sebagai aktor utamanya. Justru Agama
Islam meluruskan lembaga poligini dari liar, ilegal menjadi legal, dari
tidak terhormat menjadi terhormat dan yang jelas lembaga hukum
poligini bisa menangkat harkat, martabat dan derajat wanita.

B. Poligini dalam Masyarakat Adat


Para pakar budaya, sejarah, sosiologi dan anthropologi telah
membuktikan bahwa, lembaga hukum poligini dikenal serta didapati
hampir di seluruh lapisan masyarakat dunia, seperti penjelasan
berikut ini:
1. Masyarakat Yunani.
Bangsa Athena – Yunani – merupakan bangsa purba paling
banyak mencapai kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban.
Bangsa ini tempat lahir filsafat. Sudah banyak filosof-filosof besar

25 Abdul Nahir Taufiq al Atthar; Ta’addud al Zaujati min al Nawahid al Diniyyati wa al


Ijtima’iyyah wa al Qanuniyyati, terjemah Chadidjah Nasution menjadi, Poligami di
Tinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang-Undangan (Jakarta: Bulan Bintang,
1976).

12 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


lahir di sini, sebut saja: Sokrates, Plato, Aristoteles dan banyak lagi
yang lainnya26, sekalipun bangsa ini telah mencapai kejayaan ilmu
pengetahuan dan peradaban pada masanya tetap bangsa Yunani ini
di dalam memandang wanita masih sebelah mata. Wanita masih
dianggap sebagai barang dagangan yang bisa dijual-belikan di pasar
budak.
M.A Joda al Maula Byk, memberikan gambaran tentang wanita
Athena sebagai berikut, wanita itu digolongkan barang yang
najis atau kotoran dari bekas perbuatan syetan. Dia, wanita tidak
dibolehkan mengatur apa-apa kecuali hanya mengatur rumah
tangga dan mengasuh anak-anak. Mereka membolehkan kaum
pria untuk mengawini wanita berapa saja jumlahnya asalkan pria
tersebut menghendakinya27.
Lain di Athena lain pula di Sparta, di mana menurut Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha, masyarakat Sparta membolehkan wanita
untuk poliandri dan tidak berpoligini untuk prianya28. Senada dengan
Rasyid Ridha, M. A. Joda al Maula Byk berkata, kebanyakan kaum
wanita Sparta senang sekali membiasakan adat-istiadat poliandri
yang hina-dina. Itulah contoh kebejadan moral yang tak ada tolak
ukurnya29.

26 Periksa buku, Sari Sejarah Filsafat Barat, karya: Harun Hadiwijono (Jogyakarta:
Yayasan Kanisius, 1980).
27 M.A Joda al Maula Byk, Muhammad Saw al Matsalul Kamil, alih Bahasa, KH Aziz
Masyhuri menjadi, Status dan Peran Wanita Menurut Islam (Solo: Ramadhan,
1983), cet ke-2, hal. 8. Periksa juga, Musfir aj Jahrani, terjemah: Muh. Suten Ritonga
menjadi; Poligami dari Berbagai Persepsi (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal.
34-35.
28 Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, hal. 51.
29 M. A. Joda al Maula Byk, hal. 8.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 13


2. Masyarakat Romawi.
Di Romawi – Italia – sekarang, kebiasaan poligini sejak awal abad
ke-2 M sudah ada. Di Kerajaan Romawi sendiri telah terjadi polemik
hebat: Apakah kebiasaan poligini masih harus dipertahankan
ataukah perkawinan hanya mengakui asas monogami saja? Debat
hebat antara Ambrosiaster dengan H. Crrouzel30, polemik itu berakhir
setelah Agustinus menyatakan pendapatnya bahwa, poligini hanya
cocok untuk bapak-bapak bangsa (De Bono c)31. Jadi bagi rakyat biasa
tidak boleh poligini, begitu kira-kira pernyataan Agustinus yang
dikehendaki.
Agama Nasrani (Kristen) baru mencanangkan perkawinan tak
tercerai dan asas monogami pada awal abad ke-2. Berhasilkan mereka
dengan konsep dan teori tersebut; nyatanya sampai saat sekarang ini
poligini tetap ada dan berkembang di Italia. Kasus terbaru datang
dari seorang yang bernama, Luciano Pavaotti penyanyi tenor terkenal
Italia mempunyai dua istri32. Sewaktu zaman Raja-Raja Romawi
kebiasaan poligini sudah merebah ke seluruh Kerajaan Romawi
sampai mereka telah menjadi Negara Republik yang merdeka akan
tetapi kebiasaan beristri lebih satu satu terus berkembang secara
alami tanpa diatur Undang-Undang, sudah mentradisi yang akhirnya
menjadi adat kebiasaan yang terus turun-menurun hingga kini.
Lebih jauh Hamka berkata, masa kemerdekaan itu mereka
manfaatkan untuk mencari dan memiliki kekasih, gundik, selir dan
dayang-dayang berapa saja yang mereka suka. Akhirnya pemerintah
mengizinkan untuk memelihara gundik berapa saja (tanpa batas)

30 Al Pura Hadiwardoyo, hal. 32.


31 De Bono c adalah, De Bono Coniugali (400 AD), lihat Al Purwa Hadiwardoyo, hal.
53.
32 Harian Kompas, 10 September 2002.

14 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


yang mereka suka. Inilah salah satu cacat yang menjatuhkan kerajaan
besar itu, sebagaimana tersebut dalam sejarah33. Senada diucapkan,
Abu Hasan Ali al Hasanny al Nadwy bahwa, kehancuran kerajaan
Romawi karena menghambur-hamburkan harta untuk berfoya-foya
dan memuaskan hawa nafsu (nafsu seksual) tanpa batas34. Padahal
saat itu Bapa-Bapa Gereja telah mencanangkan perkawinan tak
terceraikan dan asas monogami.
Sejarawan dan sosiolog berpendapat bahwa, suatu bukti yang
paling jelas tentang merajalelanya kebiasaan poligini di masa
pemerintahan Maha Raja Valantinus II pernah mengeluarkan suatu
Instruksi Kerajaan yang intinya memberikan izin kepada segenap
rakyat Kerajaan Romawi untuk beristri lebih dari seorang wanita,
asalkan mereka menyukainya35. Di dalam buku, Muhammad Saw:
al Matsalul Kamil, pada Bab perkawinan, M. A. Joda al Maula Byk
menulis bahwa, kesukaan atau kebiasaan berpoligini ini berjalan
terus di tengah-tengah masyarakat sampai zaman pemerintahan
Yustinian. Kemudian di zaman ini, Yustinian menyusun suatu
peraturan resmi yang mencegah berlakunya poligini. Akan tetapi
peraturan pencegahan yang sudah disusun secara resmi tidak
sanggup mengendalikan kebiasaan, tradisi dan kesenangan adat
berpoligini.
Adanya peraturan pencegahan poligini merupakan sebuah
perubahan alam pikiran yang hanya terjadi di kalangan sekelompok
kecil dari kaum terpelajar waktu itu. Adapun kebanyakan masyarakat
masih belum memahami isi dan maksud peraturan larangan itu

33 Hamka; Sejarah Ummat Islam I (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), cet ke-5, hal. 201.
34 Abul Hasan Ali al Hasanny al Nadwy; Kerugian Apa yang Diderita Dunia Akibat
Kemerosotan Kaum Muslimin, terjemah, Abu Laila dan Muhammad Thohi (Bandung:
al Ma’arif, 1983), hal. 40.
35 Abul Hasan Ali al Hasanny al Nadwy, hal. 47.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 15


dan tidak pula memperoleh alasan untuk menghentikan kebiasaan,
tradisi dan kesukaan berpoligini36.
Ternyata Undang-Undang yang dibuat pemerintah Yustinian
itu tidak efektif dan Undang-Undang pencegahan poligini itu hanya
ditujukan kepada rakyat kecil saja, sedangkan para pejabat dan
pembesar kerajaan tidak terkena peraturan tersebut. Ini terbukti
dalam, L’Esprit des Loisnya Montesquieu yang meriwayatkan dari
perjalanan sejarawan Romawi, Agathias menulis bahwa, dalam
masa pemerintahan Yustinian banyak filosof yang tidak senang
terhadap kalangan Bapa-Bapa agama Kristen, banyak dari mereka
mengundurkan diri dan lari ke Persia. Yang paling menyolok
bagi mereka adalah, diberi izin berpoligini para pembesar, para
pejabat dan Bapa-Bapa Gereja, mereka juga tidak berpantang dari
perzinaan37.
Bukti lain, Maha Raja Gladius mempunyai permaisuri, Ratu
Massalina yang cantik jelita. Disamping itu Raja Gladius masih
memiliki beberapa orang gundik dan selir dan begitu juga Ratu
Massalina masih mempunyai beberapa orang kekasih pula38. Jadi,
imperium Kerajaan Romawi terdapat praktek poligini bagi laki-
lakinya dan poliandri bagi wanitanya.
3. Masyarakt Mesir.
Masyarakat Mesir seperti bangsa-bangsa lain di dunia yang
membolehkan poligini, begitu menurut, Abdullah Nashih ‘Ulwan.
Lebih lanjut Abd Nashir Taufiq al Atthar berkata, sejak dahulu

36 Lehi jelas periksa buku, Perkawinan Dalam Tradisi Katholik, karya Al Puwa
Hadiwardoyo, 1994. Periksa juga buku, Kerugian Apa yang Diderita Dunia Akibat
Kemerosotan Kaum Muslimin, 1993.
37 Murtadha Muthhari, 212.
38 M. A. Joda al Maula Byk, hal. 274.

16 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


poligini dibenarkan oleh masyarakat Mesir. Setelah Agama Islam
masuk ke Mesir masalah poligini terdapat tiga kelompok pandangan,
yaitu: (a). Orang Mesir yang beragama Islam, dan (b). Orang Mesir
yang beragama Yahudi membolehkan poligini, sedangkan (c). Orang
Mesir yang beragama Kristen melarangnya. Sampai lahirnya Undang-
Undang Keluarga Mesir tahun 1967 juga mengatur masalah poligini39.
Benar jauh sebelum Agama Islam masuk ke Mesir, poligini telah
mentradisi di kalangan masyarakat Mesir kuno. Musfir aj Jahrani
berkata, peraturan perkawinan poligini sudah dikenal jauh sebelum
Agama Islam masuk ke Mesir40. Tradisi itu awalnya dibawa Nabi-
Nabi orang Yahudi, karena banyak Nabi-Nabi orang Yahudi yang
menyingkir ke Mesir sewaktu dikejar-kejar kaumnya untuk dibunuh.
4. Masyarakat Persia – Iran.
Persia – Iran sekarang – merupakan sebuah Negara yang dapat
menandingi imperium Romawi pada zamannya. Masyarakat Persia
merupakan gelanggang lama peradaban dan tidak ada peradaban di
zamannya yang serusak Persia. Ya’kub HAR menyatakan, tidak ada
peradaban dunia sebelum itu yang membolehkan seorang laki-laki
mengawini keturunannya sendiri, kecuali di Persia. Raja Yazdegrid
II yang memerintah Persia pertengahan abad ke-V M mengawini
anak perempuannya sendiri. Kemudian anak dan sekaligus dijadikan
permaisuri, lalu dibunuhnya. Begitu juga Bahram Gobyan, seorang
raja yang memerintah Persia pada abad ke- VI M, kawin dengan
saudara perempuannya sendiri41.

39 Abd Nashir al Atthar; Ta’addud Zaujatil Minan Nawaahid Dinniyyati wal Ijtima’ wal
Qonuniyyati, terjemah Chadidjah Nasution, hal. 275.
40 Musfir aj Jahrani; Nadzarat fi Ta’addud az Zaujat, terjemah: Muhammad Suten
Ritonga, hal. 34.
41 Ya’kub HAR; Pelecehan Hak-Hak Wanita (Jakarta: Citra Harta Prima, 1996), cet ke-1,
hal. 7.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 17


Perkawinan semacam itu di kalangan masyarakat Persia pada
zaman Sassanid tidak dipandang kejahatan, bahkan dianggap
sebagai perbuatan baik agar lebih mendekatkan diri (bertaqarrub)
kepada Tuhan. Barang kali perkawinan seperti itu yang dimaksud
pengembara Cina, Huang Shuang mengatakan bahwa, orang-orang
Iran melakukan perkawinan tanpa pengecualian42.
Jauh kebelakang sebelum itu, sekitar abad ke-III M, muncul
seorang bernama, Mani43 yang kemunculannya membawa reaksi
luar biasa di bidang hawa nafsu syahwati di Negeri tersebut.
Kecuali itu, ada terjadi akibat persaingan khayal antara cahaya
dan kegelapan. Yaitu khayal kebenaran dan khayal kebatilan,
maka Mani berseru kepada manusia supaya hidup membujang,
tanpa nikah, tanpa keluarga guna meniadakan sumber-sumber
kerusakan serta kejahatan dari kehidupan dunia. Ia mengajarkan
bahwa, mencampuradukkan cahaya dengan kegelapan adalah, suatu
kejahatan yang harus dihindari44.
Berdasarkan prinsip-prinsip ajaran tersebut, Mani mengharapkan
agar manusia cepat musnah45 dan dengan memutuskan keturunan
itu berarti memenangkan cahaya atas kegelapan. Akhirnya Mani
dibunuh pada tahun 276 M, tetapi ajaran-ajarannya tetapi berjalan

42 Adul Hasan Ali al Hasanny al Nadwy, hal. 55.


43 Mani membawa ajaran “Manisme”, inti ajarannya manusia hidup harus membujang
tanpa kawin dan tanpa keluarga. Masalah kebutuhan seksual Mani menganjurkan,
“Komunisme seks”, yaitu, penolakan hidup berkeluarga. Namun laki-laki dibolehkan
bergaul (melakukan hubungan seks) dengan perempuan mana saja, asalkan mereka
suka sama suka. Mungkin kelompok hipis belajar dari ajaran manisme.
44 Murtadhi Muthhari, hal. V.
45 Yang dimaksud agar mereka cepat musnah, menurut ajaran manisme adalah,
agar kehidupan manusia seperti binatang tidak beradab, tidak berbudaya, tidak
bermoral, mereka hidup tanpa ikatan apapun juga.

18 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


sampai Agama Islam masuk Ke Persia46. Ajaran komunisme seksual
sampai sekarang masih ada di Iran. Sebagai mana yang digambarkan
Will Durant dalam, The Story of Civilization, Jilid I menyatakan,
komunisme seksual adalah, dimana ada sekelopok laki-laki
bersaudara menikahi sekelompok perempuan bersaudara, maka
pasangan suami-istri tersebut bebas berhubungan seksual dengan
perempuan dan laki-laki yang mana saja di dalam kelompok suami-
istri tersebut.
Jiwa dan watak Persia bangkit memberontak terhadap ajaran-
ajaran Manisme yang melampaui batas. Setelah itu muncul ajaran
Mazdak sekitar tahun 487 M. Mazdak mengajarkan bahwa, manusia
dilahirkan dalam keadaan sama tanpa ada perbedaan. Oleh karena
itu, manusia harus hidup secara sama dan tidak boleh ada perbedaan.
Mengingat kekayaan dan wanita acapkali membuat manusia
mementingkan diri sendiri, juga sebagai sumber perbedaan sosial,
maka menurut Mazdak kedua hal tersebut, merupakan persoalan
terpenting yang harus dipersamakan dan dikolektifkan47.
Asy Syahrastany mensinyalir di dalam kitabnya, Al Milal wa
an Nihal, Madzak membolehkan menggauli semua wanita, boleh
mengambil harta milik setiap orang, seperti kekolektifan manusia
dalam memanfaatkan air, api dan padang pengembalaan48.
Ajaran Mazdak mendapat sambutan luar biasa dari pelbagai
kalangan, pemuda, kaum hartawan, bangsawan yang hidup suka
berfoya-foya dan juga Negarawan, karena ajaran Mazdak sesuai
dengan selera nafsu syahwati mereka. Bahkan ajaran Mazdak itu

46 Ya’kub HAR, hal. 8 lihat juga, Abul Hasan Ali al Hasanny al Nadwy, hal. 61.
47 Halabi; Sejarah Agama-Agama Dunia (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal. 283.
48 Abul Hasan Ali al Hasanny an Nadwy, hal. 56.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 19


mendapat perlindungan istana Qubaids, Raja Persia waktu itu, turut
mendukung dan memperkuat ajaran Mazdak.
Membicarakan Persia pasti tak lupa dengan ajaran Majusi49.
Menurut Abul Hasan Ali al Hasanny an Nadwy, orang-orang Majusi
itu tidak ada bedanya lagi dengan orang-orang tidak beragama.
Majusi menghalalkan segala cara dalam berbuat. Pada masyarakat
Majusi inilah lahir benih-benih ajaran komunis50. Sedangkan menrut
Buya Hamka, benih-benih ajaran komunis berasal dari ajaran Manu
atau Mani51. Ajaran komunis dikembangkan Cina, Uni Sovyet dulu
dan Eropa Timur lainnya.
Seorang Iranologi asal Denmark, Arthur Christensen menulis
buku, L’Iran Saous Les Sassanides berpendapat, Iran di zaman
Sassania keluarga didasarkan pada poligini. Dalam prakteknya,
jumlah istri seorang pria berkaitan dengan kemampuannya dan pada
umumnya pria-pria yang kurang mampu hanya mempunyai seorang
istri. Sedangkan bagi pria yang mampu memiliki beberapa istri. Istri
tua dalam rumah, khadagh-khadhay, mempunyai hak patria potestas
(sandar’i dudhag). Istri utama, zanil padhenshayuha, atau istri yang
mempunyai hak istimewa52, dibedakan dari istri tingkat kedua (istri

49 Dinamakan ajaran Majusi, karena mereka menyembah “api”. Suatu ajaran dari
Zarathustra yang dibawa Zarathust. Menurut Shahen Maharis, sejarah Iran melarang
orang mengerjakan sesuatu yang menggunakan api, oleh karena itu mereka
membatasi dalam soal pekerjaan yang menggunakan api, karena api dijadikan
peribadatan.
50 Abul Hasan Ali al Hasani an Nadwy, hal. 60.
51 Hamka, hal. 128.
52 Untuk sekarang di Iran ada tiga status pernikahan, yaitu: (a). Ada istri yang dinikahi
secara biasa, (b). Ada istri dinikahi secara da’im, dan (c). Ada istri dinikahi secara
mut’ah. Istri dinikahi secara biasa sesuai dengan syari’at Islam menjadi istri utama
yang mempunya hak istimewa. Istri dinikahi secara da’im adalah, istri tingkat kedua,

20 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


dinikahi secara da’im) dan beda lagi dengan istri tingkat ketiga yang
dikenal istri pelayan (istri yang dinikahi secara mut’ah)53.
Kedudukkan hukum dari ketiga istri berbeda. Budak yang dibeli
dan perempuan yang dirampat dalam peperangan termasuk istri
dalam kelas ketiga. Kita tidak mengetahui, apakah istri-istri yang
diistimewakan ini jumlahnya tidak terbatas, tetapi seorang pria yang
mempunyai dua orang istri utama sering disebut dalam urusan-
urusan hukum. Belum lagi jumlah istri yang dinikahi secara da’im
dan secara mut’ah tidak ada yang tahu berapa jumlahnya. Setiap
istri yang diistimewakan adalah, wanita rumah (kadhagh-bunugh).
Istri di kelas ini tampaknya memperoleh rumah sendiri. Istri yang
diistimewakan berhak untuk diberi makan dan dipelihara oleh suami
sepanjang hidupnya dan berlaku juga dengan anak keturunannya
sampai usia dewasa dan bagi putri-putrinya sampai menikah. Bagi
istri pelayan dan istri yang dinikahi secara da’im hanya anak laki-
lakinya yang diangkat dan diterima dalam keluarga ayahnya.
Di dalam buku, Tarikh’e Ijtima’i Inwirad’e Sassaniyan ta Inqirad’e
Ummawiyah54, karya Sa’id Nafisi berkata, jumlah istri seorang pria
(Iran) boleh tidak terbatas, di dalam dokumen-dokumen Yunani
diketemukan bahwa, kadang-kadang seorang pria (Iran) mempunyai
beberapa ratus istri di dalam rumahnya55.

sedangkan istri dinikahi secara mut’ah adalah, istri pelayan. Seperti kasus Usup dan
Hesti yang dinikahi secra mut’ah. Hesti tidak bisa berkuasa apa-apa, tugas Hesti
hanya memuskan seksual Usup. Lihat, Majalah Syar’ah, 2002, hal. 20.
53 Bandingkan dengan Murtadhi Muthahhari dalam masalah ini dalam buku, The
Right of Women in Islam.
54 Biasa diartikan: “Sejarah Sosial Iran Sejak Kejatuhan Dinasti Sassania Sampai
Kejatuhan Dinasti Ummayah, karya Sa’id Nafisi.
55 Murtadhi Muthahhari, hal. 212.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 21


5. Masyarakat Yahudi.
Masyarakat Yahudi atau kaum Yahudi keberadaannya dapat
diselusuri di dalam Kitab Suci al Qur’an, seperti firman Allah SWT
dalam Surat Al Israa, ayat 4-8 yang jabaran penjelasan dibuat,
Nurcholish Madjid menyatakan, telah ditetapkan bahwa anak cucu
Israil (Bani Israil), yaitu Kaum Yahudi56. Kaum Yahudi suatu kaum
yang paling banyak menerima utusan Allah SWT57. Kaum Yahudi

56 Nurcholish Madjid; Islam Agama Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1995), cet ke-1,
hal. 21-22. Beliau (Nurcholish Madjid) dalam dalam menterjemahkan Surat Al
Israa, ayat 4-8 sebagai berikut: “Dan telah Kami takdirkan Bani Israil dalam Kitab,
kamu pasti akan membuat kerusakan di bumi dua kali, dan kamu akan menjadi
amat sangat sombong. Maka tatkala telah tiba janji (takdir) yang pertama dari
dua kerusakan itu, Kami bangkitkan hamba-hamba Kami yang memiliki kekuatan
dahsyat, lalu mereka merajalela di setiap pelosok negeri. Ini adalah janji (takdir)
yang telah terlaksanakan. Kemudian Kami kembalikan kepada kamu kekuasaan atas
mereka (musuh-musuhmu) dan Kami karuniakan pada kamu harta kekayaan dan
keturunan, serta Kami jadikan kamu lebih banyak jiwa (warga). Jika kamu berbuat
baik, maka kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Jika kamu berbuat jahat, maka
kamu berbuat jahat untuk dirimu sendiri pula, maka tatkala tiba janji (takdir) yang
kedua (dari dua takdir kerusakan), Kami utus hamba-hamba-KU yang memiliki
kekuatan dahsyat, agar mereka merusak wajah-wajahmu, agar mereka merusak
masjid seperti mereka dahulu (pada janji pengerusakan pertama), maka Kamipun
akan kembali (memberikan azab). Dan Kami jadikan jahanam sebagai penjarah bagi
mereka yang menentang (kafir)”.
Menurut tafsir al Qur’an milik Departemen Agama pada catatan kaki nomor 848
dinyatakan, yang dimaksud dua kerusakan adalah, kerusakan pertama, menentang
Hukum Taurat, membunuh Nabi Syu’ya dan Nabi Yahya AS. Kedua juga ingin
membunuh Nabi Isa AS, maka akibat dari perbuatan itu, Yerusalem dihancurkan
dan bagi mereka, penentang kelak akan di masukan ke dalam Neraka Jahanam.
57 Nabi dan Rasul yang pernah diutus ke kaum Yahudi adalah, Nabi Ya’kub As, Nabi
Yusuf As, Nabi Musa As, Nabi Harun As, Nabi Yahya As, Nabi Zakaria As dan Nabi
Isa As. Periksa buku, Perbandingan Agama Bagian Agama Masehi, karya Ahmad
Syalabi, terjemah Fuad Muhammad Fachruddin (Jakarta: Djajamurni, 1963), cet
ke-2, hal. 22-23.

22 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


menurut ahli sosio-historis berasal dari keturunan Nabi Ya’kub As58
adalah anak dari Nabi Ishaq As dan Nabi Ishaq As adalah, anak dari
Nabi Ibrahim As59.
Kaum Yahudi diberi petunjuk oleh Allah SWT melalui Agama
yang dikenal dengan nama, “Agama Yahudi” dengan Kitab Suci
Taurat. Di dalam Kitab Suci Taurat poligini dibolehkan tanpa ada
batasan jumlahnya. Nabi dan Rasul yang bersumber pada Kitab
Suci Taurat semua beristri banyak, namun patokan awalnya beristri
empat, sebagaimana yang dilakukan Nabi Ya’kub As.
Poligini dalam Taurat tidak dilarang, begitu pendapat Mustafa as
Siba’i60. seirama dengan as Siba’i, Abas Mahmud al Aqad berkata, di
dalam Taurat dan Injil poligini bukan sesuatu yang dilarang, bahkan
hal tersebut merupakan kebolehan yang turun-temurun dari Nabi-
Nabi mereka sendiri. Sejak zaman Nabi Ibrahim As sampai Nabi Isa
As61. Poligini dipraktekan setiap Raja Yahudi dan anak keturunannya,
serta para pembesar kerajaan. Seperti Nabi serta Raja Sulaiman As,
Raja kaum Yahudi mempunyai seratus (100) orang istri dari putri-
putri mahkota dan tiga ratus (300) orang gundik (Raja-Raja 9:16,
11:3) dan bandingkan dengan surat Amsal Solomon (Sulaiman)
(6:8). Anak laki-lakinya, David (Daud As) mempunyai 18 istri dan
60 gundik (Tawarikh 2, 11: 21).

58 Nabi Ya’kub As memiliki empat orang istri dari empat orang istri melahirkan dua
belas anak. Perkembangan seterusnya Bani Israil menjadi 12 kelompok dan mungkin
saja nama Yahudi diambil dari salah satu anak Nabi Ya’kub yang bernama, Yahudza
atau Yahudas.
59 Labib M.Z, et al; Kisah Teladan Dua Puluh Lima Nabi dan Rasul (Surabaya: Bintang
Usaha, 1995), cet ke-4, hal. 32.
60 Mustafa as Siba’i; al Mar’atu Baina al Fiqh wa al Qur’an, hal. 7 dan lihat juga, Abdullah
Nashih “Ulawan; hal. 32.
61 Abdullah Nashih “Ulwan; hal. 12. Periksa juga, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha,
hal. 53.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 23


Setiap Hakim di antara semua Hakim mempunyai beberapa
orang istri (Hakim-Hakim 8: 30, 10-45 dan 12-14). Setiap anak
Rehoboam yang berjumlah 28 orang memiliki beberapa orang istri
(Tawarikh 2, 11: 21)62. Bahkan orang-orang bijak, ulama Yahudi yang
mengajarkan Kitab Suci Taurat dan Talmud memberikan nasehat
agar setiap laki-laki tidak menikah lebih dari empat orang istri, yaitu
jumlah yang dimiliki Nabi Ya’kub As63.
Di dalam makalah, A. Nunuk Prasetyo Murniati berjudul,
“Kejahatan Kesusilaan Dan Pelecehan Seksual Dalam Perspektif
Agama Yahudi dan Katholik”, mengatakan bahwa, terdapat ajaran
atau aturan poligini di dalam Agama Yahudi, tetapi melarang
poliandri64. Nabi Yahya As dan ayahnya, Nabi Zakaria As mati
dibunuh oleh Raja Herodes yang berkuasa di Palestina65, karena
Raja Herodes ingin mempoligini saudara kandung sendiri bernama,
Herodea66.
6. Masyarakat Nasrani.
Prinsip awal orang-orang Nasrani67 sama halnya dengan orang-
orang Yahudi yang menerima poligini, karena Agama Nasrani masih

62 Jamilah Jones dan Abu Aminah Bilal Philips; Plural Marriage In Islam, terjemah:
Machnum Hussin menjadi; Monogami dan Poligini Dalam Islam (Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 1996), hal. 2. Lihat juga, Abd. Nasir Taufiq al Atthar, hal. 209.
63 Jamilah Jones dan Abu Aminah Bilal Philips, hal. 2..
64 Suparman Marzuki, et al; Pelecehan Seksual (Jogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1995),
hal. 13.
65 Riwayat Herodes ini ada yang mengatakan bahwa, Herodes ini bukan Raja tapi
seorang Gubernur di Palestina. Lihat dan periksa, Ahmad Syalabi, hal. 12
66 Ahmad Syalabi, hal. 13.
67 Agama yang dibawa Nabi Isa As dalam literatur Islam dikenal, “Agama Nasrani”
untuk kaum Nasrani. Sedangkan dalam literatur Barat dikenal, “Agama Masehi” yang
nanti dikenal juga menjadi, “Agama Kristen”. Dalam perkembangannya agama ini
pecah menjadi dua, yaitu: “Katholik dan Protestan”. Agama Nasrani sama dengan

24 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


satu rangkaian (satu rumpun) dengan Agama Yahudi bersumber
pada Kitab Suci Taurat68. Islam pun membenarkan bahwa, Nabi
Isa As diutus untuk kaum Yahudi69. Kedua ayat ini, ayat 72 Surat al
Maaidah dan ayat 48 Surat Ali Imran menerangkan kenabian Isa As
untuk kaum Bali Israil – Yahudi.
Di dalam Injil Markus tertulis bahwa, seorang juru tulis
menanyakan kepada Isa, “Wasiat apakah yang mendahului segala
sesuatu?”.
Isa menjawab bahwa, wasiat yang pertama sekali ialah,
“Dengarlah hai Israil! Tuhan yang menjadi Tuhan kita ialah, Tuhan
Yang Esa. Cintailah Tuhanmu dengan seluruh jantung hatimu, dengan
seluruh jiwamu, dengan seluruh pikiranmu, dan dengan seluruh
kesanggupanmu”. Inilah wasiat yang pertama. Sedangkan wasiat
yang kedua, yaitu: “Seharusnyalah engkau cinta kepada keluargamu,
sebagaimana kamu cinta kepada dirimu sendiri”.

Agama Yahudi masih rangkaian Agama samawi (Agamau Tauhid) yang dalam
literatur Islam, kedua Agama ini disempurnakan menjadi, “Agama Islam”.
68 Kitab Suci Taurat bagi orang Kristen disebut, “Injil Perjanjian Lama”, adapun surat-
surat dari rasul-rasul dan paus mereka sebut, “Injil Perjanjian Baru”. Keduanya
dirangkum menjadi satu kitab yang mereka sebut, “Kitab Injil”. Nersi Islam tidak
seperti itu, Taurat tetap Taurat yang diturunkan pada Nabi Musa As dan Injil tetapi
Injil yang diturunkan untuk umat Nabi Isa As serta ada satu Kitab lagi, yaitu: “Zabur”
yang diturunkan kepada Nabi Daud As. Ketiga Kitab tersebut disempurnakan oleh
Kitab Suci Al Qur’an yang diturunkan Nabi Besar Muhammad Saw.
Orang-orang Kristen tidak mau mengakui Muhammad Saw sebagai Nabi dan Rasul
akhir zaman, maka Kitab Injil Perjanjian Lama (Taurat) mereka buang, mereka
hilangkan, karena di dalam Kitab Taurat dan termasuk Kitab Injil yang asli mengakui
adanya Nabi dan Rasul setelah Nabi Isa As, yaitu: Nabi Muhammad Saw, seperti
terdapat pada Pasal 43: 15, 72, 14-19, 82, 11-15, 124, 11, 163, 7: 11, dan 191: 5-10, di dalam
Injil Barnabas.
69 Al Qur’an, Surat al Maaidah, ayat 72 dan Surat, Ali Imran, ayat 48.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 25


Juru tulis itu berkata kepada Isa, “Bagus, hai guruku! Benar apa
yang engkau ucapkan itu sebabnya, sesungguhnya Allah Esa dan tidak
terdapat lain dari padanya”70.
Sebagai mana telah dijelaskan di atas bahwa, Agama Nasrani
awalnya membenarkan poligini71. Di dalam Kitab Injil sendiri
tidak ada ketentuan yang jelas tentang pelarangan poligini, karena
tidak ada, maka itu artinya masyarakat Nasrani masih mengikuti
tradisi poligini pada masyarakat Yahudi. Bahkan menurut, Al
Purwa Hadiwardoyo dan Hammudah Abd al ‘Ati menyatakan,
dalam beberapa naskah Paulus membolehkan poligini. Dia, Paulus
menyatakan, lazimnya seorang uskup mempunyai satu orang
istri72. Pernyataan paulus ini bisa dimaknai saat itu para uskup dan
pemimpin agama yang lainnya beristri banyak – poliginis.
Sejarah telah membuktikan bahwa, di antara orang-orang
Kristen pada masa lalu ada yang menikah lebih dari satu orang istri73.

70 Injil Markus 12: 28-32.


71 Periksa kembali pada pembahasan tentang poligini di masyarakat Romawi – Italia
sekarang.
72 Perkataan, “Lazimnya seorang uskup mempunyai satu orang istri”. Pernyataan Paulus
bisa dimaknai bahwa, saat itu para uskup dan pemimpin agama mempunyai banyak
istri, misalnya dalam Injil Matius 19: 1-12 dan Injil Markus 10: 1-12. Yesus berkata,
“Suami yang menceraikan istrinya, kecuali karena PORNEIA dan mengawini orang
lain, ia berbuat zina.
Al Purwa Hadiwardoyo menafsirkan istilah, Porneia adalah, perkawinan yang belum sah
atau tidak sah. Hal ini berarti di samping mempunyai istri resmi yang tidak tahu
pasti berapa jumlahnya, para uskup juga mempunyai istri porneia dan bahkan sering
berbuat zina terhadap wanita-wanita yang hendak berdoa di Gereja. Periksa Abdul
Hasan Ali al Hasanny an Nadwy, hal. 47 dan Hammudah Abd al ‘Ati, The Family
Structure in Islam, hal. 144.
73 Raja-Raja yang beragama Kristen suka berpoligini, seperti Raja Dyar Matt dari
Irlandia mempunyai dua orang istri dan beberapa orang gundik. Raja Freddeick
William II mempunyai dua orang istri. Periksa, Abdullah Nashih ‘Ulwan, hal. 13,
juga Rasyid Ridha, hal. 52.

26 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Pendeta dan para Uskup dahulu menikah lebih dari satu orang istri74.
Dalam perjalanan waktu dan zaman Agama Nasrani (Kristen) pecah
menjadi dua kelompok besar. Kelompok yang satu menamakan
dirinya, Kristen Protestan – dikenal juga, Gereja Reformasi dan
kelompok yang menyebut dirinya, Kristen Katholik.
Dalam masalah perkawinan kedua kelompok Gereja itu saling
bertolak belakang, terutama dalam masalah poligini. Kristen
Katholik dan biasa disebut, Katholik saja menolak mentah-mentah
perkawinan poligini. Mereka tetap mempertahankan asas monogami
dan perkawinan tak terceraikan, keluarga bersifat unitas. Adapun
kelompok Kristen Protestan, Reformasi menerima perkawinan
poligini75.
Hammudah Abd al Ati berkata, sejumlah pemimpin Gereja
menuduh para Rabbi {pemimpin Agama Yahudi) suka berbuat
cabul, namun tidak ada sebuah Konsili Gereja pun pada abad-abad
pertama menentang poligini dan juga tidak menghalangi praktek
poligini itu. Bahkan, sebenarnya Santo Agustinus secara terbuka
menyatakan bahwa, ia tidak mengutuknya. Martin Luther, pada
suatu kesempatan telah membicarakan dengan penuh toleran dan
mengakui ia telah memberikan izin serta persetujuan kepada Philips
dan Hessen untuk beristri dua. Pada tahun 1531 para penganut sekte
Kristen Anabaptis secara terang-terangan mengajarkan bahwa, orang
Kristen sejati memiliki beberapa orang istri76.
7. Masyarakat Cina.
Pada masa dinasti-dinasti di Cina berkuasa sering wanita
dijadikan barang souvenir, hadiah dan sebagai upeti kepada Raja-

74 Abdullah Nashih ‘Ulwan, hal. 12, juga Abd Nashir Taufiq al Atthar, hal. 114.
75 Al Purwa Hadiwardoyo, hal. 16. Juga, Hammudah Abd al ‘Ati, hal. 114.
76 Hammudah Abd al Ati, hal. 144.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 27


Raja atau dari Raja-Raja bawahan dan jajahan. Jika pembesar
kerajaan berkunjung ke Daerah-Daerah selalu minta disediakan
wanita-wanita cantik dan wanita itu sendiri merasa bangga bisa
menemani para pejabat, terlebih bisa memuskan nafsu birahi para
pejabat77. Pada masyarakat Cina ada anggapan, wanita tidak bisa
dijadikan tiang kehidupan yang lurus lagi sentosa78. Karenanya
banyak perempuan Cina yang dijadikan budak dan pelacur dan pada
tahun 1930-an saja terdapat hampir 20 jita jiwa lebih budak wanita79.
Masyarakat Cina suka sekali berpoligini tanpa batas bagi laki-
lakinya dan berpoliandri bagi wanitanya. Will Durant berkata,
praktek seperti itu, - poligini dan poliandri – dapat ditemukan
pada suku Tuda dan beberapa suku bangsa di Tibet80. Lebih jauh,
Musfir aj Jahrani menyatakan, di Cina suami berhak mengawini
seorang atau beberapa orang wanita, jika ternyata istri pertama
tidak dapat memberikan anak (mandul), bagi mereka anak adalah
tumpuan harapan yang dapat mewarisi berbagai hal setelah ayahnya
meninggal dunia. Namun istri pertama menempatkan kedudukan
tinggi dan dominan, dan istri-istri lainnya harus tunduk serta patuh
kepada istri pertama81.
Di dalam Undang-Undang “Likai Cina” terdapat aturan pria boleh
berpoligini sampai 130 orang istri bagi seorang laki-laki. Menurut,
Abdullah Nashih ‘Ulwan, pernah terjadi seorang Raja di Dinasti Cina
mempunyai istri sampai 30.000 orang banyaknya82.

77 Ya’kub HAR, hal. 6.


78 Murtadha Muthahari, hal. 207.
79 Ya’kub HAR, hal. 6.
80 Abdul Hasan Ali al Hasanny al Nadwy, hal. 51.
81 Musfir aj Jahrani, hal. 35.
82 Abdullah Nashih ‘Ulwan, hal. 11.

28 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


8. Masyarakat India.
India tempat lahir Agama Hindu dan Budha tapi nasib
perempuan di India amat tercela. masyarakat India beranggapan
wanita adalah, suatu kutukan Dewa, sedangkan laki-laki cahaya
Dewa dari langit. Seorang yang tidak mempunyai anak keturunan
laki-laki tidak akan masuk surga. Anak perempuan bagi masyarakat
India bisa menyeret orang tuanya masuk Neraka. Untuk itu kelahiran
anak laki-laki sangat diharapkan dan dinantikan83.
Status janda pada masyarakat India dipandang aib besar, tercela
dan celaka. Janda harus dijauhi, diasingkan (diisolasi), karena janda
dianggap suatu najis. Untuk itu tidak mungkin seorang janda untuk
menikah lagi. Wanita yang berbakti, istri yang berbakti, taat, cinta
serta sayang suami adalah, apabila suami meninggal dunia dia ikut
dikramasi84.
Di dalam sejarah agama Hindu dan Budha tidak diperoleh
pelajaran yang pasti tentang masalah poligini. Hanya saja di dalam
kitab Mahabrata dan Ramayana banyak memuat cerita-cerita
tentang kehidupan keluarga Kurawa dan Pandawa serta beberapa
tokoh lain yang melakukan praktek poligini85. Terlebih-lebih dalam
masyarakat Hidup yang berkasta86. Biasanya orang yang berkasta
paling rendah rela diinjak-injak hak asasinya, rela dijadikan gundik,

83 Ya’kub HAR, hal. 10.


84 Dikramasi artinya dibakar. Setiap mayat dalam ajaran agama Hindu, terkadang
juga agama Budha harus dibakar. Tujuan kramasi untuk mensucikan jasad mayat
tersebut dari segala dosa agar bisa masuk nirwana. Abu mayat tersebut sebagian
disimpan dan sebagian lagi dibuang ke laut. Seorang istri yang berbakti, sayang,
cinta dan taat pada suami, maka pada jasad suami dibakar dia ikut dibakar puls.
85 Bibit Suprapto; Liku-Liku Poligami (Jogyakarta: al Kautsar, 1990), hal. 129.
86 Kasta yang terdapat dalam masyarakat Hindu India adalah: (1). Kasta Brahmana,
terdiri para pendeta agama dan pemuka agama lainnya, (2). Kasta Ksatria, terdiri
tokoh pentara, Negarawan, dan teknokrat lainnya, (3). Kasta Weisya, terdiri petani,

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 29


selir, menjadi pemuas nafsu dari orang-orang yang berkasta lebih
tinggi.
Pada ajaran agama Hindu, nafsu syahwati mempunyai
kedudukan istimewa. Di dalam kitab sastra yang terkenal, “Kama
Sutra”87. Pada bagian keempat Bab II dijelaskan tentang sikap istri
terhadap istri-istri lain dari suaminya. Dan tentang sikap istri yang
lebih muda terhadap yang lebih tua. Tentang sikap seorang suami
yang beristri lebih dari seorang88. Bagi seorang Raja dan pembesar
kerajaan lainnya di samping memiliki beberapa orang istri sah, masih
memiliki gundik, selir dan penari wanita yang bisa dikunjungi Raja
setiap saat di dalam kamarnya masing-masing89.
Bila seorang Raja bangun tidur siang, wanita petugas harus
memberikan Raja yang berhubungan dengan istri mana yang harus
menemaninya nanti malam dan harus datang bersamanya dengan
ditemani seorang pengasuh wanita, istri tersebut sampai pada

pedagang, dan yang sederajat, (4). Kasta Syudra, terdiri pekerja, buru, dan orang
awan lainnya, dan masih ada kasta ke-5, yaitu: orang-orang jahat, gelandangan.
Kasta dari ajaran Manu atau Mani. Ia berkata, “Yang mutlak maha kuasa telah
menciptakan orang-orang Brahmana dari mulutnya untuk kepentingan alam
semesta. Menciptakan Ksatria dari lengan-lengannya, menciptakan Weisya dari
pahanya, menciptakan Syudra dari lengan kakinya dan membagikan tugas-tugas
kewajiban kepada mereka untuk kemaslahatan alam semesta.
Orang-orang Bramana wajib mengajarkan Weda, menyediakan sesaji-sesaji kepada
tuhan-tuhan dan mengumpulkan sedekah serta mengendalikan nafsu. Orang-
orang Ksatria wajib melindungi rakyat. Orang-orang Weisya wajib mengembala
dan mengurus peternakan, membaca Weda, berdasagang dan bercocok tanam.
Adapun orang-orang syudra tidak mempunyai kewajiban lain, kecuali melayani
tiga kasta tersebut di atas (Manusastra Bab I).
87 Kitab Kama Sutra judul aslinya, “Watsyayana”, menurut pakar sastra, kitab ini
disusun dari abad ke- 6 SM sampai dengan abad ke-6 M.
88 Kitab Watsyayana, diterjemahkan oleh I Wayan Maswinara menjadi, Kama Sutra
(Surabaya: Paramitra, 1997), hal. 175.
89 Kitab Watsyayana atau Kama Sutra, hal. 181.

30 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


gilirannya dan dari mereka (istri-istri) mungkin secara tidak sengaja
terlewati pada gilirannya atau dari istri yang mungkin sedang sakit
ketika sampai pada gilirannya harus diganti dengan yang lainnya.
Para pengasuh itu harus menempatkan dihadapan Raja, salep
(semacam obat kuat dan pembesar alat vital) dan wewangian yang
dikirim oleh masing-masing istri yang ditandai cincinnya masing-
masing serta nama mereka dan alasan mereka mengirim salep
tersebut harus disampaikan kepada Raja. Setelah barang-barang itu
diterima. Kemudian Raja memberitahu bahwa, barang kirimannya
telah diterima, maka malam ini menjadi gilirannya menemani Raja90.
Orang-orang dari kasta terhormat di samping bisa memiliki
banyak istri sah masih ditambah lagi wanita-wanita pelayan yang
dikena, “Kancukiya mahallarika” yang siap melayani tuan-tuannya
kapan saja dan dimana saja. Bila ia seorang Raja masih ditambah
dayang, selir, gundik dan penari perempuan yang selalu siap melayani
Raja tersebut.
9. Masyarakat Eropa dan Amerika.
Ternyata poligini bukan saja digemari masyarakat primitif
pemiliki kebudayaan dan peradaban rendah akan tetapi masyarakat
paling beradab dan berbudaya tinggi serta kelompok terpelajar
suka poligini. Disamping itu juga, ternyata masyarakat Eropa dan
Amerika suka serta gemar poligini. Jadi bukan masyarakat Timur saja
(sebut: masyarakat Islam) masyarakat Barat suka dan gemar poligini.
Sebuat saja, Jerman misalnya yang pernah mewajibkan rakyat untuk
berpoligini setelah Perang Dunia ke- 2 berakhir.
Keputusan Pemerintah Jerman ini diambil setelah
diselenggarakan Konfrensi Pemuda di Munich tahun 1948. Dalam

90 Kama Sutra, hal. 182.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 31


Konfrensi itu dibahas masalah jumlah pria yang semakin berkurang
akibat perang dan jumlah wanita semakin banyak. Timbul pelbagai
gagasan untuk menangani masalah tersebut. Salah satu gagasan
dibolehkannya poligini bagi setiap laki-laki Jerman91.
Umar Ridha Kahalah dalam bukunya, “az Zawaj” dapat
disimpulkan bahwa, peraturan perkawinan poligini sudah
dikenal sebelum Agama Islam datang, di setiap masyarakat yang
berperadaban tinggi maupun masyarakat yang masih terbelakang,
baik penyembah berhala maupun bukan. Dalam hal ini, seorang laki-
laki diperbolehkan menikah dengan lebih dari seorang istri. Aturan
seperti ini sudah berlaku sejak dahulu pada masyarakat Cina, India,
Mesir, Arab, Persia, Yahudia, Italia (Roma), Sisilia, Rusia, Eropa Timur
lainnya, Jerman, Swiss, Australia, Belanda, Denmark, Swedia, Inggris,
Norwegia dan Negara-Negara Eropa lain dan termasuk Amerika
sekitarnya92.
Timbul satu pertanyaan: Kenapa orang-orang Barat secara
teoritis dan legalis menentang mati-matian poligini, sementara
mereka sendiri mempraktekannya?

91 Abdullah Nashih “Ulawan, hal. 16. Musfir aj Jahrani, hal. 28.


92 Umar Ridha Kahalah; az Awaaj, Juz I, hal. 100. Musfir aj Jahrani, hal. 34.

32 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Menurut pakar Eropa sendiri, seperti Gustave le Bon93, Ester
Talke Boserup94, Arthur Christensen95, Hudson96, Oswald Schwara97,
dan masih banyak pakar-pakar Eropa lainnya. Termasuk Jamilah
Jones dan Abu Aminah Bilal Philips berkata, orang-orang Eropa
bukan menolak lembaganya tapi yang ditolak Eropa tanggung
jawabnya dari lembaga poligini tersebut. Karena poligini akan
memaksa kaum pria untuk bersikap jujur dan setia serta adil. Poligini
akan mendorong mereka untuk memikul tanggung jawab besar
terhadap sosio-ekonomi demi terpenuhinya dorongan-dorongan

93 Gustave le Bon, seorang dokter, psikolog dan sosiolog melihat poligini itu sangat
baik dilihat dari ilmu kedokteran, dari sisi ilmu psikologi dan begitu juga dilihat dari
sisi sosiologi. Gustave le Bon berpendapat, adalah anggapan atau pandangan yang
keliru tentang poligini orang-orang Timur, hendaklanyalah orang-orang Barat harus
mengkaji ulang masalah tersebut. Saya lihat dan saya yakini bahwa, poligini itu
suatu lembaga yang cemerlang dapat mengangkat standar moral orang-orang yang
mempraktekkannya, memberikan stabilitas besar kepada duanya dan keluarga dan
terakhir membuat wanita lebih terhormat dari pada wanita Eropa yang melarang
poligini (La Civilization des Arabas), hal. 421-422.
94 Ester Talke Boserup, seorang ekonom pembangunan Denmark. Ia melihat poligini
dari kaca mata ekonomi. Ia mengatakan bahwa, poligini lebih terkontrol pengeluaran
keuangan ketimbang main perempuan jalang atau selingkuh. Masyarakat Afrika
melakukan poligini, karena pertimbangan sekonomi……(Women’s Role in Economic
Development, Newyork, St Martin’s, 1970), hal. 27.
95 Arthur Christensen, seorang sosiolog Denmark berpendapat bahwa, kehidupan
keluarga lebih terjamin bagi masyarakat yang membolehkan poligini, seperti Iran
misalnya, ketimbang orang-orang Eropa yang melarang poligini (Kopenhagen:
L’Iran Sous Les Sassanudes, Edisi ke-2), hal. 322.
96 Hudson, seorang dokter berpendapat bahwa, penolakan persoalan poligini bagi
dunia Barat mengakibatkan peradaban kita {Barat) telah goyah dan bahkan hampir
runtuh. Kita saksikan bahwa, pada dekade belakangan ini adanya kecenderungan
kedua bentuk permainan seks, yaitu homoseksual dan prostitusi di kalangan remaja
(Sex’s and Comensenses, p. 58).
97 Oswald Schawara, seorang dokter. Ia berkata bahwa, rata-rata kaum wanita yang
melahirkan di luar nikah setiap tahunnya delapan puluh ribu orang akibat pergaulan
bebas, karena mereka dilarang berpoligini (The Psychoology of Sex, 1982), hal. 96.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 33


poligini mereka dan untuk memberikan perlindungan kepada para
anggota masyarakat yang lebih lemah, yakni kaum wanita dan anak-
anak terhadap penyimpangan-penyimpangan mental maupun fisik
lainnya98.
Kenyataan sosial kenapa masyarakat Eropa menentang poligini
yang legal? Akan tetapi mereka melakukan dan menjalankan praktek
poligini secara tidak legal, ilegal dengan cara selingkuh dan yang
sejenisnya. Oleh Ya’kub HAR keadaan seperti itu mereka, orang Eropa
telah melakukan monogami ganda99. Kenyataan seperti ini dikuatkan
oleh Jamilah Jones dan Abu Aminah Bilal Philips dalam buku,
Plural Marriage in Islam. Pada kenyataannya memang demikian,
masyarakat Eropa disamping memiliki istri sah, ia juga memiliki
teman kencan, pacar gelap, selingkuh dan lain sebagainya100.
Praktek poligini juga terdapat di Negara-Negara Amerika,
Amerika Utara, Colombia dan sekitarnya. Di Negara-Negara
tersebut agak berbeda dengan tradisi poligini di Negara-Negara
lain. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, mensetir sebagai berikut,
yang amat mengherankan adalah, orang-orang yang melakukan
poligini dengan cara melakukan hubungan seksual dengan wanita-
wanita tawanannya dan tetap mempertahankan istri-istri pilihan
mereka serta mempersembahkan jariah-jariah mereka kepada
tamu-tamu dan para pembesar Negeri untuk digauli. Sementara itu

98 Jamilaj Jones dan Abu Aminah Bilal Philips, hal. 6.


99 Dimaksud “Monogami ganda” adalah, mereka melakukan ikatan pernikahan
hanya kepada satu orang saja (secara hukum) akan tetapi dalam kenyataan di
masyarakat mereka melakukan hubungan seks dengan siapa saja, dengan pacar
gelap, melakukan samenleven, selingkuh dan jajan di jalan dengan perempuan
liar (pelacur atau siapa saja) bagi laki-lakinya, sedangkan perempuannya selngkuh,
punya PIL serta jajan dengan jigolo, dan seperti itu mereka melakukan monogami
ganda.
100 Jamilah Jones dan Abu Aminah Bilal Philips, hal. 5.

34 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


disebut-sebut pula bahwa di kalangan pemeluk ajaran Idolatry101 di
Amerika Utara berlaku tradisi yang mengajarkan bahwa, apabila ada
seorang laki-laki mengawini seorang wanita, maka laki-laki tersebut
diperbolehkan pula melakukan hubungan seksual dengan semua
saudara perempuan dari istrinya. Tradisi semacam ini tersebar luas
di kalangan penduduk Negara Columbia dan lainnya102 masyarakat
Amerika terjebak dalam dua masalah besar sehingga nasib wanita
mereka tidak semakin terhormat malahan semakin terhina. Kedua
masalah tersebut adalah:
a). Berpegang teguh pada ide berlebihan tentang permasalahan
hak antara laki-laki dan perempuan, sehingga menyimpang jauh
dari yang diharapkan. Sehingga mengantarkan perempuan ke
jenjang kegelapan yang lebih dalam lagi. Kebebasan yang mereka
tuntut meluncur tanpa kendali, tidak ada tali kekang, sehingga
mengantarkan kaum lemah itu ke derajat paling rendah lagi
hina-dina. Dampak tuntutan itu banyak wanita yang tak sempat
menikah. Untuk menyalurkan hasrat biologisnya dengan cara
menjual diri, jadi pelacur103, wanita penghibur, menjadi pacar
gelap, teman selingkuh dan lain sebagainya.
b). Berpegang teguh ide asas monogami dan perkawinan tak
terceraikan yang selalu didengungkan Bapa-Bapa Gereja.
Mereka dengan tegas lagi lantang melarang poligini. Bahkan
Yustinus menyatakan, mereka yang menikah untuk kedua
kalinya adalah, pendosa. Clemens berkata, Gereja hanya
mengesahkan perkawinan pertama saja. Namun demikian tidak

101 Agama Idolatry adalah, agama asli orang A,merika Utara terutama di Columbia
yang menganut agama atau ajaran agama ini sebagai penyembah berhala.
102 Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, hal. 53.
103 Periksa lebih jauh, Nazhat Afza, The Position of Women in Islam (USA: The Books,
1089).

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 35


semua Bapa-Bapa Gereja menolak poligini, bahkan ada yang
mau menerimanya, seperti Agustinus berkata, poligini hanya
cocok untuk Bapa-Bapa bangsa saja.

Kedua ide itu bukan membawa kebangkitan bagi kaum lemah,


perempuan, justru sebaliknya mereka, kaum perempuan semakin
terhina karenanya.

10. Masyarakat Afrika.


Di Negara-Negara Afrika praktek poligini sudah ada sejak
lama. Sebagaimana dinyatakan oleh seorang peneliti, Ester Talkt
Bosserup asal Denmark telah membuktikan bahwa, poligini sudah
biasa dipraktekan di Benua Afrika, seperti di Wilayah Bwamba,
Uganda Afrika Timur, Siera Leon, Afrika Barat, Republik Atrika
Tengah, Negeria Utara, Pantai Gading, Sibegal, Mesir, Aljazair, dan
lain sebagainya104.
Tradisi poligini di Negara-Negara Afrikan sekarang bukan saja
dilakukam oleh Ummat Islam tapi hampir seluruh masyarakat Afrika
yang beragama di luar Islam mepraktekan poligini. Menurut seorang
peneliti dayatarik terhadap poligini bagi pria Afrika adalah, aspek
ekonomi. Pria yang beristri banyak lebih banyak menguasai lahan
pertanian dan dapat menghasilkan bahan makanan lebih banyak
untuk kebutuhan hidupnya, juga pria tersebut (yang berpoligini)
akan mendapat status lebih tinggi, karena kekayaannya105.

104 Ester Talke Boserup; Women’s Role in Economic Development, terjemah: Mien
Joabhaar dan Sunarto, menjadi: Peranan Wanita Dalam Perkembangan Ekonomi
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984), hal. 27-41.
105 United Nations Economic Commision for Africa Development Section; The Treatment of
non-Monetery (subsistence) transaction With in The Framework of Natiomal Accounts,
Addis Ababa, 1960. Lihat juga, Ester Takle Boerrup, 1984.

36 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


11. Masyarakat Arab.
Masyarakat Arab jahiliyah gemar sekali berpoligini. Di dalam
Shahih Imam Bukhari106, Aisyah ra meriwayatkan bahwa, di tanah
Arab pada zaman jahiliyah ada empat macam perkawinan. Satu
macam seperti yang berlaku sekarang, yaitu seorang pria datang
meminang seorang perempuan melalui walinya, setelah menentukan
mahar dinikahi perempuan tersebut dengan baik.
Jenis perkawinan kedua, seorang pria menikahi seorang
perempuan, kemudian istrinya tersebut dititipkan kepada laki-laki
lain selama jangka waktu tertentu (biasanya sampai ada tanda-tanda
kehamilan baru diambil istri tersebut) dengan maksud dan tujuan
untuk mendapatkan bibit unggul dari laki-laki tersebut, bisa saja
laki-laki yang dititipkan seorang bangsawan, ketua kabilah, panglima
perang, atau seorang Raja. Menurut kebiasaan adat setempat,
setelah istrinya hamil suami boleh menggauli dan boleh juga tidak
menggaulinya. Jenis nikah seperti ini dikensal, nikah al Istibdha107.
Jenis perkawinan ketiga, ada sekelompok pria, kurang dari
sepuluh orang melakukan hubungan seks dengan seorang wanita108.
Apabila wanita itu hamil dan si bayi telah lahir, maka wanita itu

106 Di kalangan Mazhab Sunni, Kitab Hadist Imam al Bukhari merupakan rangkir
pertama dan utama dalam, Kutub As Shittah (Kumpulan Kitab Hadist yang enam)
Kitab ini disusun oleh Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Isma’il al Bukhari dan
popilernya, Kitab Hadist Imam Bukhari (194-256 H/810-879 M).
107 Nikah al Istibbdha, menurut Murtadha Muthahhari adalah, nikah untuk mencari
keuntungan. Tujuan utama dalam pernikahan ini, untuk mendapatkan bibit unggul
yang nantinya diharapkan bisa mengangkat harkat dan martabat keturunan,
keluarga dan kabilahnya ke depan. Lihat, Murtadha Muthahhari dalam buku, The
Rights of Women in Islam, 1994.
108 Sistem perkawinan seperti ini, untuk sekarang ini banyak dilakukan remaja akibat
pergaulan bebas. Mereka melakukan free sex’s dan banyak juga dilakukan kelompok
hipis untuk sekarang ini.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 37


memanggil semua pria yang pernah menidurinya. Sesuai adat
kebiasaan yang berlaku saat itu. Pria itu biasanya semua hadir dan
saat itu ditentukan siapa yang menjadi ayah dari bayi tersebut sesuai
kecenderungan wanita tersebut. Pria yang dipilih tidak berhak untuk
menolaknya dan bayi tersebut menjadi anaknya.
Jenis perkawinan keempat, ada seorang wanita lacur yang
selalu berhubungan dengan setiap pria. Wanita tersebut biasanya
memasang bendera di depan rumah dengan tanda tersebut agar
mudah dikenal. Dengan tanda itu juga boleh siapa saja melakukan
berhubungan seksual pada dirinya. Apabila wanita itu hamil dan telah
melahirkan anak dari dirinya, ia (wanita) berusaha mengumpulkan
semua laki-laki yang pernah berhubungan seks dengan dirinya,
kemudian ahli nujum dan fisiognomis dipanggil untuk diminta
pendapatnya mengenai anak tersebut serta menentukan siapa yang
berhak untuk menjadi ayahnya109.
Tiga jenis perkawinan yang terakhir dari hadist di atas tersirat
bahwa, wanita-wanita Arab jahiliyah gemar sekali melakukan
praktek poliandri, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
Bukti ini menepis teori yang menyatakan bahwa, di Daerah tropis
beriklim panas membuat libido laki-laki lebih tinggi ketimbang
perempuan yang selalu dituduhkan para pemikir Barat tentang
dibenarkan praktek poligini di dunia Timur.
Arab jahiliyah mempraktekan poligini tanpa batas. Pria boleh
menikahi perempuan berapa saja asalkan kuat dan mampu dan,
juga perempuan mau serta rela dipoligini. Imam Taqiy ad Din Abi
Bakr Muhammad al Husainy merilis bahwa, Ghilan sebelum masuk

109 Shahih al Bukhari, Juz V, hal. 1970-1971.

38 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Islam memiliki istri sepuluh orang istri110. Begitu juga Naufal bin
Muawiyah, sebelum masuk Islam mempunyai istri lima orang.
Perintah Rasulullah Saw setelah mereka masuk Islam sisahkan
empat orang istri saja111.
Di masyarakat Arab jahiliyah di samping keempat jenis
perkawinan yang diterangkan hadist riwayat Aisyah ra di atas.
Masih ada bentuk-bentuk perkawinan pada masyarakat Arab
jahiliyah, yaitu: Istibdha, ar rahthum, al Maqtu, perkawinan badal,
asy Syigar, poliandri, perkawinan khadan, perkawinan baghaya, dan
perkawinan al Irits112, dari jenis-jenis perkawinan tersebut ada yang
bercorak poliandri dan ada yang poligini.
12. Masyarakat Indonesia.
Pendapat sejarawan, sosiolog dan budayawan dan termasuk juga
pakar hukum Adat113, poligini telah ada jauh sebelum Agama Islam
datang. Ia telah berkembang sejak zaman kerajaan-kerajaan Hindu
dan Budha. Para Raja berkuasa mutlak secara tirani. Kekuasaan Raja
tak terbatas, itu juga yang mencerminkan banyaknya istri dan selir
yang dimiliki. Selir itu pada umumnya sebagai hadiah, sauvenir dan
upeti dari Raja bawahan, dari bangsawan, dari rakyat, dan lainnya
sebagainya agar mereka mendapat perhatian serta perlindungan
Raja atau keluarga Raja. Serta mereka mengharapkan juga agar

110 Imam Taqiy ad Din Abi Bakr Muhammad al Husainy; Kifayah al Akhyar, Juz II, hal.
207-208. Lihat juga, Ya’kub HAR; Pelecehan Hak Wanita, hal. 37. Fiqh as Sunnah,
Sayyid Sabiq, hal. 11.
111 Musfir aj Jahrani, hal. 5-12.
112 Musfir aj Jahrani, hal. 10-12.
113 Periksa, Hilman Hadikusuma; Hukum Perkawinan Adat (Bandung: Citra Aditiya
Bakti, 1995), hal. 95.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 39


memiliki atau ada kaetan darah biru keturunannya kelak114. Para
Raja-Raja berkeyakinan semakin banyak selir, maka semakin kuat
kedudukan Raja dan kerajaannya tersebut.
Tradisi, budaya dan kebiasaan Raja-Raja berpoligini diikuti
pembesar-pembesar kerajaan sampai pada rakyatnya. Kebiasaan
berpoligini berkembang sampai zaman penjajahan. Berapa banyak
wanita-wanita pribumi dijadikan, “Nyai” dan “None-None” oleh
penjajah sebagai istri simpanan115, entah itu gundik, selir, pacar
gelap, dan lain sebagainya. Gundik yang paling terkenal di zamannya
adalah, “Nyai Dasimah”. Penjajah melakukan poligini terselubung
dengan wanita pribumi116.
Sebelum ada Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Pokok-
Pokok Perkawinan, poligini berjalan sebagaimana adanya. Poligini
merupakan suatu problema yang sulit dipecahkan dan sampai hari
ini belum terpecahkan, karena poligini merupakan satu masalah
yang amat banyak menyita perhatian publik di dalamnya banyak
kepentingan, ada pro, ada kontra dan ada juga yang anti poligini.
Masing-masing mereka memiliki argumentasi yang sama kuatnya.
Mereka yang pro poligini melahirkan teori keniscayaan. Dalilnya
poligini sudah tradisi dan budaya juga agama (Islam) membolehkan.
Mereka yang kontra poligini melahirkan teori darurat. Poligini baru
boleh dilakukan dalam keadaan darurat dan harus ada izin dari istri

114 Nurul Anggraini; Menyikapi Sisi Samping Liku-Liku Pelacuran (Jakarta: Golden
Trayon Press, 1996). Hal. 36.
115 Sebutan, Nyai dan None adalah, perempuan-perempuan simpanan, baik itu sebagai
gundik dan selir orang bule’ si penjajah.
116 Poligini terselubung adalah, poligini yang dilakukan tidak secara terang-terangan.
Bisa dengan nikah tanpa izin istri dan pengadilan dan biasanya dilakukan nikah
dibawah tangan, nikah tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA).

40 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


dan istri-istri. Sedangkan yang melarang poligini melahirkan teori
anti-pati terhadap poligini. Dalilnya poligini menyalahi hak-hak
perempuan.
Dari pandangan tersebut di atas kalangan ummat Islam
Indonesia sekarang ini terdapat dua pandangan besar, yaitu:
Pandangan Pertama, mereka yang menamakan diri “kelompok
feminis”117. Kelompok ini berusaha keras menentang dan bahkan
kalau bisa ingin menghapus Lembaga Perkawinan dan termasul
Lembaga Poligini. Perkawinan poligini sudah tidak sesuai untuk
sekarang ini, melanggar hak-hak perempuan. Abdullah Nashih
‘Ulwan berkata, kelompok ini mendapat pengaruh dari kaum
propaganda Barat118. Prapaganda Barat sejak lama menentang
poligini. Sejak zaman Pemerintahan Yustianus berkuasa di Rimawi119.
Yustianus sangking marahnya sampai berkata, mereka yang menikah
untuk kedua kalinya adalah, pendosa120. Kaisar Romawi itu berusaha
keras agar poligini tidak merembes ke dunia Barat. Kemudian kaisar
tersebut membuat satu aturan hukum yang dikenal sampai sekarang,
yaitu: Corpus Juris Civil atau dikenal juga, Corpus Juris Yustianus yang

117 Kelompok feminis adalah suatu krelompok, golongan dan/atau suatu organisasi yang
mengatas-namakan dirinya sebagai garda depan membela hak-hak asasi manusia,
khususnya membela hak asasi perempuan. Gerakan ini lahir sekitar abadi 19 yang
berupa emansipasi perempuan dan lalu berubah mebjadi frminisme. Gerakan ini
lahir di AS. Gerakan ini yang paling terkenal adalah, “Women’s Liberation”. Menurut
Arief Budiman feminis sekarang ini pecah menjadi tiga, yaitu: (i). Kaum feminis
liberal, (ii). Kaum feminis radikal, dan (iii). Kaum feminis sosial. Periksa, Arief
Budiman; Pembagian Kerja Secara Seksual, hal. 36.
118 Abdullah Nashih “Ulwan, hal, 56.
119 M. A. Joda al Maula Byk, hal. 10.
120 Al Purwa Hadiwardoyo, hal. 31.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 41


berisikan aturan-aturan hukum keluarga121 – Hukum Perdata – di
mana perkawinan berasaskan monogami. Asas ini dilengkapi Bapa-
Bapa Gereja dengan menambah, kawin tak terceraikan.
Kelompok kedua, kelompok yang menerima poligini. Kelompok
ini jika diperhatikan secara seksama terdapat tiga golongan
pandangan, yaitu:
a). Golongan yang menerima poligini dengan syarat ketat dan berat.
Hampit tidak ada peluang untuk berpoligini, karena mereka
tidak mampu untuk memenuhi syarat tersebut. Seperti pendapat
Muhammad ‘Abduh dan Imam Abu Hanifah yang memberikan
syarat adil sebagai berikut:
1. Adil dalam tempat tinggal.
Jika istri pertama tempat tinggal – rumahnya – bagus,
mewah, ada kendaraan dan ada pembantu, maka istri kedua
dan/atau ketiga atau mungkin juga keempat minimal ada
tempat tingga atau rumah tidak ngontrak. Bila istri pertama
isi rumahnya lengkap dan komplit, maka istri dua dan/atau
ketiga juga demikian dan minimal separuhnya dan begitu
seterusnya.
2. Adil dalam memberikan nafkah makanan.
Jika istri pertama sering makan di luar, di restoran mewah
dan mahal, maka istri kedua, ketiga dan/atau keempat juga
harus sering diajak makan di luar, di restoran. Memang
kesukaan makan tidak sama akan tetapi suami harus sebisa
mungkin dan seadil mungkin dan minimal istri ditanya

121 M. Deden Ridwan; Melawan Hegomoni Barat: Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendikiawan
Indonesia, Ed. (Jakarta: Lentera, 1999), hal. 200.

42 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


mau makan apa dan mau makan dimana, hari ini agar rasa
keadilan diantara istri-istri itu ada dan terjaga rapih.
3. Adil dalam memberikan pakain.
Jika istri pertama dibelikan pakaian bagus, dibelikan
perhiasan, gelang, cincin, kalung dan lain sebagainya, maka
istri kedua, ketiga dan/atau keempat juga sama.
4. Adil dalam masalah hubungan suami-istri.
Harus adil malam-malan giliran diantara istri-istri tersebut.
Meskipun suami lebih cinta dan lebih sayang kepada salah
satu istri tapi jangan berlebihan rasa cinta serta sayang
kepada istri tersebut ditunjukan, sehingga melahirkan
kecemburuan yang lainnya.
Memang rasa cinta serta kasih sayang tidak mungkin bisa berlaku
adil; sebab Rasulullah Saw sendiri mengakui beliau lebih cinta
dan lebih sayang kepada Aisyah daripada istrinya yang lain122.
b). Golongan yang menerima poligini dengan syarat ringan. Bahkan
syarat adil yang telah ditetapkan Allah SWT (Q.S an Nisaa, ayat 3
dan 129) ditinggalkan begitu saja tanpa merasa bersalah (Bahasa
Agama: Berdosa). Golongan ini beranggapan poligini itu hanya
berupa tradisi dan budaya belaka tanpa ada akibat dikemudian
hari bila tidak berlaku adil. Mereka menganggap hanya berakibat
sebuah konsekuensi moral saja123.

122 Hadist hasan diriwayatkan Abu Daud (No. 2134). At Tirmidzi (No. 1140), Ibnu Majah
(no. 1971), Ibnu Hibban (no. 1305) dan yang lainnya. Lebih jelas periksa, Yazid bin
Abdul Qadir Jawas; Panduan Keluarga Sakinah (Bogor: Pustaka At Taqwa, 2009),
cet ke-5, hal. 338.
123 Konsep dan tujuan Hukum Islam berbeda dengan konsep dan tujuan Hukum
Positif. Konsep dan tujuan Hukum Islam bukan saja pengaturan hidup di dunia
tapi yang paling utama untuk akhirat. Sedangkan konsep dan tujuan Hukum Positif

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 43


c). Golongan yang berpandangan moderat. Golongan ini menerima
poligini, karena ada pertimbangan-pertimbangan kemaslahatan
bagi subyek hukum (pelaku poligini) itu sendiri dan masyarakat
atau sosial lainnya dapat membenarkan subyek hukum tersebut
berpoligini.
Misalnya mereka menerima poligini karena pertimbangan
subyek hukum sebagai berikut:
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan; dan
3. Istri mandul124.
Di golongan ini menerima poligini karena ada kepentingan
Negara125, seperti Negara Jerman sehabis Perang Dunia II Pemerintah
Jerman mewajibkan seluruh warganya yang laki-laki untuk
perpoligini di tahun 1948. Pemerintah Jerman merasa prihatin terjadi
populasi yang tidak seimbang antara jumlah wanita dengan pria.
Dimana jumlah wanita lebih banyak daripada jumlah laki-laki. Jika

hanya untuk urusan dunia saja dan tidak ada hubungan dengan kehidupan akhirat.
Hukum Positif berintikan kepada kekuatan delik hukum, dilanggar atau sesuai
tidak delik itu dengan perbuatan subyek hukum. Bila dilanggar dan pelanggarannya
sesuai dengan delik tersebut, baru subyek hukum itu bisa dihukum dan dipenjaran.
Sedangkan pada Hukum Islam kekuatannya ada pada keyakinan atau iman subyek
hukum.
124 Periksa Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan PP No. 10 Tahun 1983.
125 Dimaksud dibolehkan poligini karena Negara menghendakinya. Dimana, sebenarnya
Negara tersebut menganut perkawinan asas monogami tapi dalam keadaan darurat
Negara mewajibkan rakyatnya untuk berpoligini, seperti Jerman pada tahun 1948.

44 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


hal itu tidak segera diatasi akan terjadi bencana lebih besar lagi
dikemudian hari126.
Termasuk unik pada golongan ketiga ini, mereka menerima
poligini karena perintah dari suatu ajaran agama atau suatu sekte
ajaran agama tertentu dan bisa juga perintah dari isme-isme
tertentu. Sebagai contoh di Columbia ada sekumpulan pemeluk
agama Idolatry yang memerintahkan kepada penganutnya untuk
berpoligini127. Keunikkan lain pada golongan ini, justru istri yang
meminta suami untuk menikah lagi. Mereka rela dan ikhlas sekalipun
tidak diperlakukan secara adil. Seperti kasus Aliyah yang rela berbagi
cinta dan berbagi suami dengan perempuan lain128.
Kelompok feminis masuk ke Indonesia berbarengan masuknya
Belanda ke Negeri ini. Penjajah Belanda membawa perubahan fisik
dan mental. Mereka membawa serta hukum mereka ke Indonesia.
Untuk Hukum Perdata yang di dalamnya ada hukum keluarga
diundangkan pada tahun 1848 (1 Mei 1848). Sumber utama hukum
ini dari Kitab Hukum yang dikenal, Burgelijk Wetboek (BW) berlaku
di Indonesia berdasarkan, Asas Konkordansi129. Berlakunya Hukum
Belanda di Indonesia dengan sedikit penyesuaian. Penyesuaian
pertama dilakukan oleh Mr. C. J Scholter van Oudhaarlem pada
tanggal 30 Mei 1847 sebelum berlakunya hukum tersebut di Indonesia.

126 Periksa, Mustafa as Siba’i, hal. 75. Juga M. Deden Ridwan, hal. 20, juga Musfir aj
Jahrani, hal. 35, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, hal. 29.
127 Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, hal. 53.
128 Periksa lebih jauh, Andre Syahreza; The Innocent Rebel: Sisi Aneh Orang Jakarta
(Jakarta: Gagas Media, 2006), cet ke-1.
129 Asas Konkordansi adalah, Hukum yang berlaku di Negeri Belanda dinyatakan
berlaku juga di Negara jajahan (Indonesia) meskipun harus ada perubahan-
perubahan di sana-sini demi untuk menyesuaikan kultur, budaya, adat istiada
dan krakter Bangsa Indonesia itu sendiri.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 45


Menurut C. S. T Kansil, penyesuaian tersebut untuk menyesuaikan
keadaan adat dan budaya Indonesia130.
Di atas telah dijelaskan bahwa, Burgerlijk Wetboek (BW) berasal
dari Code Napoleon 1911-1838 Hukum Perdata Prancis. Belanda dijajah
Prancis, maka Code Napoleon diberlakukan di Belanda. Code Napoleon
sendiri berasal dari Corpus Juris Civilis atau dikenal juga, Corpus
Juris Yustianus di Romawi131. Dalam masalah perkawinan Corpus
Juris Civilis menganut asas monogami dan kawin tak terceraikan
yang diambil dari ajaran Bapa-Bapa Gereja. Sehingga Code Napoleon
dan Burgerlijk Wetboek serta Perkawinan Hukum Perdata Indonesia
mengikuti asas tersebut. Namun mengingat tradisi serta budaya
ditambah lagi mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam,
maka masalah pelogini dibuat aturan sedemikian rupa melalui UU
No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 10 Tahun 1983 dan/serta didampingi KHI
untuk mengatur poligini.
Berhasilkan pemerintah Hindia Belanda melakukan itu semua?
Ternyata gagal total. Penjajah Belanda saja malahan ikut-ikutan
melakukan poligini terselubung. Di dalam mengatasi kegagalan
tersebut pada tahun 1937 Pemerinta jajahan Hindia Belanda secara
jelas-jelasan memonogamikan hukum perkawinan bagi masyarakat
Indonesia, seperti yang dinyatakan R. Soerojo Wingjodipoero,
asas monogami itu sesungguhnya telah pula direncanakan untuk
diintrodusir dalam masyarakat bangsa Indonesia oleh Pemerintah
Kolonial Belanda dahulu dengan rencana ordonansi tentang
perkawinan yang tercatat (tahun 1937). Pada waktu itu rencana

130 C. S. T Kansil; Penganter Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1980), cet ke-3.
131 C. S. T Kansil, hal. 195.

46 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


tersebut kandas di tengah jalan, karena ditentang oleh semua aliran
agama132.
Salah satu penentang rencana tersebut adalah, H. O. S
Tjokroaminoto. Beliau berargumen dalam buku: Islam dan Poligami,
sebagai berikut:
a). Argumen Historis.
I. Poligini ternyata sering diperlukan dalam waktu sehabis
perang, dimana lebih banyak pria yang gugur, juga pada
zaman Nabi-Nabi.
II. Raja-Raja yang disembah rakyat lazimnya memiliki istri
banyak, satu dan lain kerena istri banyak merupakan tanda
kebesaran pada waktu itu, dan hal lain dijadikan contoh
bawahannya.
b). Argumen Sosial.
I. Dalam Negara yang menganut monogami ternyata terjadi
banyak penyelewengan seks.
II. Poligami dalam Islam justru bertujuan untuk mencegah
penyelewengan-penyelewengan tersebut dengan
menetapkan ketentuan-ketentuan tentang kemungkinan
beristri lebih dari satu, tapi garis umumnya tetap seorang
istri, lebih seorang istri hanya hal-hal yang khusus.
c). Argumen Juridis.
Islam memperkenalkan beristri lebih dari seorang dengan
ketentuan-ketentuan yang tidak mudah, seperti diatur dalam
Hukum Fiqih.

132 R. Soerojo Wingjodipoero; Kedudukan Serta Perkembangan Hukum Adat Setelah


Kemerdekaan (Jakarta: Gunung Agung, 1983), cet ke-2, hal. 132-133.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 47


Gerakan feminisme Indonesia mendapat angin segar setelah
diundangkan UU No. 1/1974 jo PP No. 10/1983 jo Kompilasi Hukum
Islam, tahun 1995. Ketiga perangkat hukum ini menganut asas
monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan,
karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan
seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian
harus melalui prosedural yang benar dan berlaku, yaitu: Harus
memenuhi syarat yang telah ditetapkan dan harus ada izin dari
istri atau istri-istri dan disahkan dalam Sidang Pengadilan Agama133.
Angin segar itu datang dari feminis AS yang membentuk suatu wadah
terkenal: Women’s liberation. Di mana wadah ini menurut, Arief
Budiman terorientasi ke dalam tiga kelompok, yaitu: (i). Kelompok
femins libral, (ii). Kelompok feminis radikal, dan (iii). Kelompok
feminis sosial.

133 Pasal 3 UU No. 1/1974, ayat 2: Pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang
suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
Pasal 4 ayat 1 Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana
tersebut dalam pasal 3 ayat 2 UU ini, maka ia wajib mengajukan permohonan
kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Ayat 2 Pengadilan dimaksud dalam
ayat 1 pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri
lebih dari seorang, apabila:
Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5 ayat 1 Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 UU ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Adanya persetujuan dari istri/istri-istri;
Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan
anak-anak mereka’
Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak
mereka.

48 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Jadi dengan kata lain, gerakan women’s liberation lebih bersifat
revolusioner, karena orientasinya kearah sosial politik134. Angin gerakan
ini berhembus ke Negara-Negara berkembang, Negara-Negara Islam,
juga ke Negara-Negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Seperti
Filipina menghasilkan Presiden wanita, Ny. Qurazon Aquino, Pakistan
Ny. Benazir Bhuto, Nigaragua Ny. Violeta Chamoro, Bangladesh
Syaikh Hasyinah, dan Indonesia Ibu Megawati Soekarno Putri.
Dalam masalah hubungan suami-istri gerakan women’s liberation
bukan saja harus dihapuskan lembaga poligini tetapi dalam
hubungan suami istri harus ada keseimbangan.
Istri bukan hanya sebagai ibu rumah tangga yang harus mengurus
anak-anak, memasak, mencuci dan/serta mengurus rumah tapi istri
harus dipandang sebagai kemintraan dan partner dalam segala hal
terutama dalam urusan seksual. Suami tidak bisa memaksa dan
bila suami memaksa bisa dituntut pasal pemerkosaan. Gerakan ini
menerima wanita yang memilih hidup tanpa hubungan heterogen
seksual135. Mereka lebih suka melakukan free love dari pada menikah.
Kelompok yang menerima poligini lebih sebagai tradisi (adat
kebiasaan) dari pada pertimbangan rasional, hukum dan tuntutan
serta tuntunan ajaran agama, mereka beristri banyak hanya ingin
menaci kepuasaan kesual dengan cara berpetualang cinta, serta ingin
menunjukkan kehebatan dan keperkasaannya terhadap banyak
wanita. Maka acapkali mereka mempraktekan money love untuk
menaklukan banyak wanita. Hilman Hadikusuma dan R. Soerojo

134 Ibnu Ahmad Dahri; Peran Ganda Wanita Modern (t.tp., Pustaka al Kautsar, 1993),
cet ke-4, hal. 17.
135 Hetero-seksual adalah, melakukan hubungan seks bukan dengan lawan jenis
sebagaimana lazimnya antara laki-laki dengan perempuan.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 49


Wignjodipoero berkata, pandangan tradisional adat terhadap
poligini adalah, sebagai berikut:
A. Sebagai tanda kebesaran.
Memiliki istri lebih dari seorang dijadikan sebagai bukti bahwa,
laki-laki itu mempunyai kemampuan dan kekayaan yang
melebihi laki-laki lainnya. Buktinya laki-laki tersebut sanggup
dan mampu beristri lebih dari satu orang istri.
B. Sebagai sarana memperoleh kedudukan tinggi di masyarakat.
Zaman kerajaan dahulu banyak orang tua menyerahkan anak
gadisnya kepada Raja agar dijadikan selir atau gundik, orang tua
berharap agar anak keturunannya kelak memiliki kaetan dengan
keluarga raja yang berdarah biru. Status itu bisa mengangkat
harkat dan martabat orang tua di mata masyarakat luas.
C. Sebagai sarana mendapat kehidupan yang lebih baik.
Bagi seorang raja memiliki istri banyak, selir, gundik dan dayang
bisa menambah kekuasaan lebih luas dan tinggi karena banyak
pendukungnya. Di Negara-Negara Afrika laki-laki yang memiliki
banyak istri lebih kaya, lebih luas menguasai tanah pertanian dan
ladang peternakan dan lebih banyak tenaga kerja yang dimiliki,
maka dengan demikian akan semakin baik perekonomian
keluarga136.
D. Ester Telke Baserup menambahkan, poligini sebagai sarana
untuk meningkatakan perekonomian keluarga dengan
banyaknya tanah pertanian yang dikuasai, dengan luasnya
ladang pertenakan yang didapat dan dengan banyak tenaga
kerja yang dipunyai137.

136 R. Spoerojo Wignjodipoero, hal. 133-134.


137 Menurut Ester Telka Baserup seperti itu yang terjadi poligini di Negara-negara Afrika.

50 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


BAB III

POLIGINI PARA NABI DAN RASUL

A
l Qur’an mungkin satu-satunya Kitab Suci yang masih eksis
mencatat dan menceritakan sejarah poligini dan hukum
poligini, terutama poligini yang dilakukan serta dijalankan
para Nabi dan Rasul di zamannya dahulu. Dalam pembahasan ini
penulis membagi dua kelompok bahasan, yaitu:

A. Poligini Nabi dan Rasul sebelum Rasulullah Saw.


Allah SWT Maha Tahu dalam segalanya. Rangkain Agama samawi
yang selalu disebut dan dikatagorikan Agama tauhid sejak awal
diturunkan memuat aturan pernikahan, karena nikah merupakan
awal perjalanan hidup ummat manusia di dunia ini. Allah SWT
Maha Tahu ada dua keadaan bagi kehidupan manusia yang setiap
saat dan waktu terjadi, yaitu: (a). Masalah jumlah wanita setiap
saat dan waktu selalu lebih banyak dari pada pria dan (b). Masalah
kecenderung untuk menikah lagi pasti datang dari pria, meskipun
hak untuk menikah lebih dominan ada di tangan wanita.
Keadaan seperti itu yang disyariatkannya poligini bagi laki-laki
dan dilarang poliandri bagi perempuan. Beranjak dari itu, perlu
contoh dan suri-tauladan yang baik, bagaimana cara berpoligini yang

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 51


baik dan benar. Maka Allah SWT mewajibkan atau mengharuskan
untuk para utusan-Nya, Nabi dan Rasul untuk berpoligini.
Berikut akan dibahas poligini Nabi dan Rasul sebelum Rasulullah
Saw diutus.

a). Nabi Ibrahim As.


Al Qur’an menceritakan Nabi Ibrahim As mempunyai dua
orang istri, yaitu: (i). Istri pertama bernama, Siti Sarah masih
anak paman sendiri, dan (ii). Istri kedua bernama, Siti Hajar.
Istri pertama, Siti Sarah kelak akan melahirkan anak bernama,
Ishaq As138. Nabi Ishaq As itu adalah, ayah dari Nabi Ya’kub As139.
Sedangkan dari istri kedua, Siti Hajar akan lahir anak bernama,
Ismail As140. Menurut riwayat yang aktual Nabi Ibrahim As inilah
yang akan menurunkan bangsa-bangsa besar di kemudia hari141.
Anak keturunan dari Nabi Ishaq As akan lahir Bani Israil dari
Nabi Ya’kub As142, dan dari Nabi Ismail As akan lahir Bangsa Arab
yang selanjutnya akan melahirkan Nabi akhir zaman, yaitu: Nabi
Besar Muhammad Saw.

b). Nabi Ya’kub As.


Di atas telah dijelaskan bahwa, Nabi Ya’kub As anak dari Nabi
Ishaq As bin Nabi Ibrahim As melalui istri yang pertama, yaitu:

138 Periksa Al quran Surat al Anbiya dari ayat 48-112 mengisahkan tentang Nabi dan
Rasul.
139 Periksa Al quran Surat Maryam, ayat 49.
140 Periksa al quran Surat Maryam, ayat 54. Juga al quran Surat Ash Shaaffat ayat 101-111.
141 Bangsa Israil atau kaum Yahudi cikal-bakalnya dari Nabi Ishaq As dan bangsa Arab
cikal-bakalnya dari Nabi Ismail As.
142 Periksa al quran Surat An Naml ayat 112-113.

52 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Siti Sarah143. Ibnu Khaldun dalam kitabnya yang terkenal,
“Muqaddimah” menamakan Nabi Ya’kub As dengan sebutan,
“Bani Israil”144. Anak cucu Bani Israil dikenal, kaum Yahudi telah
termasuk dalam al kitab145. Menurut ahli tafsir berarti, Lawh al
Mahfuzh atau Kitab Taurat146.
Anak keturunan Nabi Ya’kub As di dalam kitab tafsir al
Khasysyaf147, Imam Zamakhsyari menyebutnya, Kaum Yahudi.
Begitu juga dalam Kitab Tafsir Ibnu Katsir148 dan Tafsir al Baidhawi
juga menyebut anak cucu Nabi Ya’kub As dengan sebutan Kaum
Yahudi149. Dan pada akhirnya Agama-Agama yang diturunkan
kepada kaum tersebut dinamakan, Agama Yahudi.
Menurut sejarah khikayat dalam Kitab Suci al Qur’an Nabi Ya’kub
As mengawini anak pamannya sendiri, yaitu: Laban Ibnu Batwail
yang mempunyai dua orang putri. Putri pertama bernama, Laiya
dan putri kedua bernama, Rahil. Keduanya dinikahi Nabi Ya;kub
As setelah menyelesaikan maharnya dengan cara mengembala
ternak pamannya tersebut dalam kurun waktu yang telah
disepakati150. Adapun Laiya dan Rahil masing-masing memiliki

143 Periksa al quran Ali Imran ayat 84-85.


144 Ibnu Khaldun; Muqaddimah, diedit kembali oleh Suhail Zikat dan diberikan anotasi
oleh Syahil Syahadah (Baerut: Daar al Fikr, 1401 H/1981 M), hal. 440.
145 Periksa al quran al Israa ayat 4-8.
146 A. Hassan; Al Furqan (Bangil: Persis, 1401 H), hal. 628 pada catatan kaki nomor 1838.
147 Al Zamakhsyary; Kitab Tafsir Kasysyaf, hal. 438.
148 Al Imam Abu al Faidah Ismail Ibnu Katsir al Qurasyi al Dimasyaqi; Tafsir Ibnu Katsir
(Beirut: Daar al Fikr, 1401 H/1981 H), hal. 26.
149 Al Imam Nashir ad Din Abi Sa’id Abdillah Ibnu Umar Ibnu Muhammad al Syairazi al
Badhawi; Anwar al Tanzil wa Asraa al Ta’wil, dikenal juga, Tafsir al Baidhawi (Beirut:
Mussasat Sya’ban, t.th), Jid #, hal. 196.
150 Tafsir Ibnu Katsir, hal. 71.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 53


dua orang hamba sahaya perempuan. Hamba sahaya Laiya
bernama, Zulfah dan hamba sahaya adiknya, Rahil bernama,
Balhah dan kedua hamba sahaya itu juga dinikahi Nabi Ya’kub
As151. Jadilah Nabi Ya’kub As memiliki empat orang istri, yaitu:
(i). Laiya, (ii). Rahil, (iii). Zulfah, dan (iv). Balhah.
Hikmah syari’i dari kasus Nabi Ya’kub As dapat diambil
kesimpulan bahwa, mungkin saja aturan poligini yang termuat
di dalam Surat an Nisaa, ayat 3 beranjak dari kisah Nabi Ya’kub
As dan dibatas ini, mungkin batas kekuatan dan kemampuan
seorang pria dalam berpoligini. Jadi empat itu batas maksimal
dibolehkannya poligini bagi seorang laki-laki atau suami.

c). Nabi Daud As.


Nabi Daud As seorang Nabi masih keturunan Bani Israil –
Kaum Yahudi. Allah SWT telah menyatukan antara kenabian
dan kerajaan pada diri Nabi Daud As, dan Nabi Daud As akan
memberikan kebaikan di dunia juga di akhirat kelak. Ia menjadi
Nabi dan sekaligus menjadi Raja. Untuk menjalankan kedua
misi yang berat itu, Nabi Daud As diberikan bimbingan yang
berupa Kitab Suci yang dikenal, Kitab Suci Zabur152. Nabi Daud
As menjadi Raja menggantikan Raja Thalut153. Dan Nabi Daud
As pertama kali tersebar kemasyhurannya ketika beliau menjadi
tentara di pasukan Thalut yang sedang berperang melawan Jalut
yang dikisahkan dalam surat al Baqarah ayat 247 sampai dengan
251.

151 Tafsir Ibnu Katsir, hal. 33.


152 Periksa al qur’an Surat al Israa, ayat 55.
153 Periksa al qur’an Surat al Baqarah, ayat 247-251.

54 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Nabi Daud As seorang Nabi yang taat dan luas kerajaannya. Beliau
dapat memerintahkan gunung-gunung untuk mempertahankan
kerajaan dari serangan musuh. Burung-burung berkumpul dekat
Istana untuk berkicau sambil memuji asma Allah SWT. Burung-
burung tersebut ada yang digunakan untuk menyampaikan surat
ke Daerah-Daerah yang jauh. Di samping itu beliau seorang ahli
hukum yang masyhur karena adilnya154.
Beliau mempunyai istri 99 orang banyaknya. Nabi Daud As
berkeinginan untuk mencukupi jumlah istri menjadi 100 orang,
namun ditegur Allah SWT dengan mengutus dua Malaikat yang
menyerupai manusia berselisih masalah kambing ternaknya.
Maka dua orang yang sedang berselisih datang kepada Nabi
Daud As minta diselesaikan kasusnya. Salah satu dari mereka
berkata, “Kami dua orang yang sedang berperkara, saudara saya
itu memiliki 99 ekor kambing dan saya hanya memiliki satu ekor
saja. Dia berkata kepada saya, berikan kambing mu kepada saya
akan saya pelihara bersama-sama dengan kambing saya. Tetapi
saudara saya tidak mau menyerahkan kambingnya kepada saya”.
Berkata Nabi Daud As, “Sesungguhnya aniaya kamu ini, karena
meminta secara paksa kambing saudara mu yang seekor itu”.
Setelah Nabi Daud As menjatuhkan hukuman terhadap kasus
tersebut. Nabi Daud As insyaf bahwa itu merupakan teguran
dari Yang Maha Kuasa155 bahwa beliau tidak diizinkan untuk
menikah yang keseratus kalinya156.

154 Periksa al qur’an Surat Shaad, ayat 26.


155 Periksa al qur’an, Surat Ash Shaaffat, ayat 21-25.
156 Ny Hadijah Salim; Qishasul Anbiya (Surabaya: al Maarif, t.th), hal. 167.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 55


d). Nabi Sulaiman As.
Nabi Sulaiman As adalah, putra Nabi Daud As. Nabi Sulaiman
As mewarisi kerajaan ayahnya sejak usia 13 tahun. Allah SWT
menganugerahkan kepadanya kepandaian dan kecerdasan yang
luar biasa, sehingga dapat menguasai angin157. Menguasai bangsa
jin dan syetan158 dan mengerti pelbagai bahasa binatang159, inilah
mukjizat Nabi Sulaiman As yang luar biasa.
Nabi Sulaiman As Raja yang agung memiliki banyak istri160. Di
dalam kitab suci orang Nasrani diceritakan bahwa, Raja Solomon
(Nabi Sulaiman) mempunyai 100 orang istri dari putri-putri
mahkota dan 300 orang gundik (Surat Raja-Raja 9: 16) dan
bandingkan dengan (Surat Amtsal Solomon 6: 8). Anak laki-
lakinya David (Nabi Daud As) mempunyai 18 orang istri dan 60
orang gundik (Tawarikh 2, 11: 21). Setiap orang anak Rebohoan
yang berjumlah 28 orang memiliki beberapa orang istri (Tawarikh
2, 11: 21). Setiap Hakim di antara semua Hakim mempunyai
beberapa orang istri (Hakim-Hakim 8: 30, 10: 45, 12: 14). Bahkan
orang-orang bijak yang mengajarkan kitab-kitab suci Talmud
memberikan nasehat setiap laki-laki tidak menikahi lebih dari
4 orang istri, yaitu jumlah istri yang dimiliki Jacob (Nabi Ya’kub
As)161. Sementara itu dalam Pasal 2 Raja-Raja 1 dikemukakan pula
(1) Nabi Sulaiman As mencintai banyak wanita lain, selain anak

157 Periksa al qur’an Surat al Anbiyaa, ayat 81 dan surat Saba ayat 12.
158 Periksa al qur’an surat al Anbiyaa ayat 82.
159 Periksa al qur’an surat An Naml ayat 19.
160 Hadji Ali Akbar; Apakah Benar Bahwa Laki-Laki itu Sifatnya Poligam (makalah)
dalam buku, Meninjau Masalah Poligami, Solichin Salam (Jakarta: Tinta Mas, 1959),
hal. 155.
161 Jamilah Jones dan Abu Aminah Bilal Philips, hal. 2.

56 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Fir’aun dari Moabiya, Amoniya, Adomiya, Shidon dan Hateya,
(2). Dari kalangan bangsa-bangsa yang disebut oleh Tuhan
Yehova, janganlah hendaknya kamu tunduk kepada mereka,
tetapi mereka akan tunduk kepadamu karena mereka telah
menjadikan hatimu dibalik orang itu dengan penuh cinta kasih,
(3) Nabi Sulaiman mempunyai 99 istri dan 300 selir (gundik)
dan ia tertarik pula oleh istri-istri mereka162

B. Poligini Rasulullah Saw.


Saat Agama Islam datang masalah praktek poligini di masyarakat
Arab jahiliyah sedemikian rusak, banyak orang-orang Arab jahiliyah
yang mempunyai istri lebih dari lima, seperti sahabat Ghilan sebelum
masuk Islam memiliki istri 10 orang163, sahabat Naufal bin Muawiyah
sebelum masuk Islam mempunyai istri 5 orang, dan banyak yang
lain164. Belum lagi poligini yang berselimut pernikahan, seperti hadist
yang diriwayatkan istri Rasulullah Saw sendiri, Aisyah di atas.
Rasulullah Saw masih keturunan Nabi Ismail As, anak dari
Abdullah bin Abdul Muthalib, ibunya Aminah binti Wahab
dari kalangan bangsawan Quraish yang terpandang. Menurut
sejarawan, Rasulullah Saw lahir hari senin, 12 Rabi’ul Awwal
Tahun 570 M165. Sedangkan menurut ahli falak bernama, Mahmud

162 Sayyid Muhammad Rasyid Ridho, hal. 54.


163 Ghilan sebelum masuk Islam memiliki istri 10 orang, setelah masuk Islam Nabi
Muhammad Saw menegurnya dengan sabda beliau, “Pilih 4 orang istri saja dan
ceraikan yang lainnya” (HR Abu Daud, at Tirmidzi dan Ibnu Majah).
164 Naufal bin Muawiyah sebelum masuk Islam memiliki istri 5 dan Nabi Muhammad
Saw memerintahkan menceraikan yang lain (yang satu) setelah Naufal masuk Islam,
hadist riwayat Abu Daud.
165 Tahun itu dikenal juga, tahun gajah, karena ada pasukan gajah yang dipimpin Raja
Abraha dari kerajaan San’an (Yaman sekarang) ingin menghancurkan Baitulallah

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 57


Pasya berkebangsaan Mesir berkata, ketika Nabi Muhammad Saw
dilahirkan pada tanggal 9 Rabi’ul Awwal tahun pertama pada tahun
gajah bertepatan tanggal 20 April 571 M, hari senin166.
Rasulullah Saw datang membawa ajaran Islam aturan hukum
perkawinan dikontruksi ulang yang dahulu (zaman jahilyah) banyak
bentuk dan macam perkawinan, seperti yang digambarkan hadist
Aisyah, setelah Agama Islam datang hanya ada satu bentuk dan
satu macam perkawinan. Seperti yang dikenal sekarang. Termasuk
masalah poligini dirobah total. Dahulu poligini tanpa batas dan
tanpa syarat setelah Rasulullah Saw datang dengan ajaran Islamnya.
Poligini dibatasi hanya boleh mempunyai istri 4 orang saja dalam
kurun waktu yang bersamaan dan harus bisa berlaku adil terhadap
istri-istri dan anak-anaknya, seperti yang termaktub dalam al Qur’an,
Surat an Nisaa dari ayat 1-3 dan ayat 129.
Lalu timbul satu pertanyaan yang sering menjadi bahan olokan
orientalis dan kaum propaganda Barat, yaitu: Kenapa Rasulullah
Saw sendiri beristri lebih dari 4 orang istri? Apakah hal ini tidak
menyalahi syari’at yang dibawanya? Sampai banyak orang-orang
kafir yang menuduh beliau seorang yang hyper seks!
Sudah cukup banyak para Ulama dan ahli hukum Islam yang
menjawabnya secara rasional dan ilmiah diantaranya, seperti
Murtadha Muthahhari, Abdullah Nashih ‘Ulwan, Ali Syari’ati,
Sayyid Muhammad Rasyid Ridho, Abd Nashir Taufiq al Atthar,
Musfir aj Jahrani, M A Joda al Maula Byk, dan yang lainnya. Pada
umumnya mereka memberikan jawaban untuk kepentingan da’wah.

– Ka’bah – dia ingin orang berhaji jangan di Mekkah lagi tapi di Negaranya (Surat
al Fiil, 1-5).
166 Abu Hasan Ali al Hassany an Nadwy, hal. 103.

58 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Pendidikan, masalah hukum syara untuk perempuan, sosial dan
masalah politik. Itupun beliau berpoligini setelah usia beliau lebih
dari setengah abad. Sebelum itu beliau tidak pernah berpoligini.
Bahkan di masa muda beliau menikah dengan seorang janda yang
usianya lebih tua dari beliau sendiri. Jika sekiranya beliau seorang
yang hyper seks tentunya sejak muda beliau sudah berpoligini dan
tidak mungkin beliau mau menikahi seorang janda yang usianya
lebih tua dari beliau sendiri.
Padahal awal kenabian beliau para ketua kabilah Quraish
berkumpul dan bermusyawarah dalam musyawarah itu para ketua
kabilah Quraish dan kabilah-kabilah lain yang ada di Mekkah sepakat
untuk menemui paman beliau, Abu Thalib untuk memberikan
tawan kepada beliau harta, tahta dan wanita cantik berapa saja yang
beliau suka, asalkan beliau mau berhenti berda’wah Agama baru,
Agama Islam. Beliau tegas menolaknya. Beliau berkata, “Andaikan
kabilah-kabilah bisa meletakan bulan di tangan kiri dan matahari di
tangan kanan, aku, Muhammad Rasulullah Saw tidak akan mungkin
meninggalkan da’wah ini”.
Cendikiawan muslim telah sepakat bahwa, ada beberapa hikmah
yang bisa ditarik dari poligininya, Rasulullah Saw diantaranya167:

167 Cendikiawan itu diantaranya, Muhammad Aly As Shobunny, Musfir aj Jahrani,


Abdullah Nashih ‘Ulwan, dll menyatakan bahwa, hikmah poligininya Rasulullah Saw
diantaranya: (a). Hikmah dalam bidang pengajaran dan pendidikan, (b). Hikmah
dalam bidang syari’ah atau hukum, (c). Hikmah dalam bidang da’wah, (d). Hikmah
dalam bidan sosial kemasyarakatan, (e). Hikmah dalam bidang politik, dan banyak
lagi.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 59


a). Hikmah dalam bidang pendidikan dan pengajaran.
Poligini yang dilakukan Rasulullah Saw tiada tujuan lain, selain
beliau ingin menciptakan wanita menjadi pendidik dan pengajar
yang handal dan hebat. Terutama untuk mendidik dan mengajar
putra-putrinya sendiri di dalam rumah tangganya. Dalam ajaran
Islam, ibu sebagai madrosatul’uula pendidik dan pengajar utama
bagi putra-putrinya. Sebagaimana telah dicontohkan istri-istri
beliau yang telah mengajar, pendidik, memberikan penerangan
serta contoh secara langsung. Sehingga Rasulullah Saw bersabda,
“Orang yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik
terhadap keluarganya dan aku adalah, orang yang paling baik
terhadap keluargaku” (H.R Ibnu Majah)168.
Sudah naluri wanita yang alami bahwa, wanita memiliki rasa
malu lebih besar ketimbang pria. Begitu halnya wanita-wanita zaman
Rasulullah Saw dahulu mereka malu untuk menanyakan masalah
kewanitaan, seperti haid, masa nifas, janabat, cara thaharanh yang
baik dan benar, dan masih banyak masalah kewanitaan yang lain.
Wanita-wanita itu merasa malu kalau mau bertanya langsung
kepada Rasulullah Saw. Masalah-masalah itu ada yang diterangkan
langsung oleh Rasulullah Saw dengan arif, bijak, sopa dan penuh
lemah-lembut sesuai dengan sifat beliau yang amat pemalu,169 pada
masalah-masalah beliau sulit menjelaskan (malu menjelaskannya),
maka dipanggil istri-istri beliau untuk menerangkannya masalah

168 Khairiyah Husen Thoha; Fii Tarbiyah Athfaal Muslim (t.th Daarul Mujtama, 1985),
hal. 40.
169 Dalam suatu hadist, Imam Bukhari meriwayatkan, adalah Rasulullah Saw itu sangat
pemalu lebih dari seorang perawan”. Periksa, Ibnu Soemadiy; Mengapa Rasulullah
Saw Berpoligami (t.th Bina Ilmu, 1981), hal. 23.

60 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


tersebut lebih mendetail lagi, seperti masalah darah haid cara
membersihkannya.
Ummul mukminin Aisyah binti Abu Bakar banyak meriwayatkan
hadist-hadist suaminya, Rasulullah Saw. Aisyah seorang yang cerdas
dan pintar. Ia satu-satunya istri Rasul yang gadis-perawan, dinikahi
Rasulullah Saw usia 6 tahun dan baru berkumpul diusia 9 tahun.
Waktu Rasulullah Saw wafat, ia baru berusia 18 tahun. Ia hidup
sampai usia 40 tahun170. Pernikahan Rasulullah Saw dengan Aisyah
di satu pihak untuk mempererat hubungan persahabatan Rasulullah
Saw dengan ayah Aisyah, yaitu: Abu Bakar as Sidiq dan begitu juga
pernikhan Rasulullah Saw dengan Hafsah binti Umar al Khottob.
Keduanya sahabat utama Rasulullah Saw disamping Ali dan Utsman
yang nanti keduanya sebagai menantu Rasulullah Saw.
Di sisi yang lain, pernikahan Rasulullah Saw dengan Aisyah
dalam rangka pendidikan serta pengajaran. Aisyah sering diminta
Rasulullah Saw untuk menerangkan dan menjelaskan masalah
hukum syara kepada wanita-wanita muslimah dimana Rasulullah
Saw sendiri tidak bisa untuk menjelaskan serta menerangkan lantara
malu untuk menerangkan serta menjelaskannya. Seperti masalah
darah haid bagaimana cara meletakan kain kasa ketempat darah
haid keluar171. Rasulullah Saw memerintahkan istrinya, Aisyah untuk
mengajarkannya.

b). Hikmah dalam bidang Syari’ah atau Hukum.


Istri-istri beliau berperan aktif dalam masalah perkembangan
syari’ah dan termasuk sebagai peletak dasar-dasar syari’ah.

170 Husin Naparin; Muhammad Rasulullah Saw (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hal. 138.
171 Periksa, Abdullah Nashih ‘Ulwan, hal. 74.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 61


1. Meluruskan tradis adopsi.
Ada suatun tradisi yang sudah berurat-akar di kalangan orang-
orang Arab jahiliyah mengadopsi anak, disebut, “tabanna”. Anak
angkat bagi mereka memiliki status sama dengan anak kandung,
bisa saling mewarisi diantara mereka, berhak memakai nasab ayah
angkatnya dan lain sebagainya172. Rasulullah Saw sendiri memiliki
anak angkat yang bernama, Zaid bin Hariysah. Sebelum turun Surat
al Ahzab, ayat 37 Zaid sering dipanggil, Zaid bin Muhammad oleh
orang-orang Arab. Sehingga Rasulullah Saw bersabda:
“Dari sahbat Abdullah bin Umar ra bahwasanya, Rasulullah Saw
bersabda, sesungguhnya Zaid bin Haritsah tidak lain hanyalah budak
Rasulullah Saw. Saya tidak memanggilnya kecuali dengan panggilan,
Zaid bin Muhammad, hingga ayat al Qur’an turun. Panggilah nama
bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah SWT, maka
Nabi bersabda, Kamu adalah, Zaid bin Haritsah bin Sarakhil” (H.R
Bukhari dan Muslim).
Rasulullah Saw menikahkan Zaid dengan anak bibinya, Zainab
binti Jahsyi al Asadiy akan tetapi pernikahan itu kandas ditengah
jalan, karena hubungan suami-istri tidak harmonis dan terus
memburuk, disebabkan Zaid hanya budak Rasulullah Saw, sedangkan
Zainab anak bangsawan Arab terkenal di zamannya. Ternyata Allah
SWT punya rencana lain dalam merubah adat-istiadat – tradisi –
masyarakat Arab jahiliyah. Allah SWT memerintahkan untuk
menceraikan keduanya (Zaid dan Zainab) serta memerintahkan

172 Muhammad Aly as Shobunny berkata, “Kamu adalah anak saya, aku telah
mewariskan sesuatu kepadamu dan kamu juga akan mewarisiku. As Shobunny;
Rawa’i al Bayan, Tafsir Ayatul Qur’an (Damaskus: Maktabah al Ghazali, 1977). Hal.
74.

62 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Rasulullah Saw untuk menikahi Zainab setelah jatuh masa iddahnya.
Awalnya Rasulullah Saw merasa takut, ragu dan was-was, takut
dibully masyarakat banyak, karena menikahi bekas istri anak
angkatnya. Beliau bisa dituduh melawan tradisi yang sudah berurat-
akar. Sehingga Rasulullah Saw terus mengulur waktu dan Allah SWT
menegurnya. Melalui Surat al Ahzab ayat 37 yang artinya:
“Dan kamu (Rasulullah Saw) takut kepada manusia, sedangkan
Allah yang seharusnya lebih kamu takuti. Maka ketika, Zaid telah
mengakhiri (bercerai) keperluannya terhadap istrinya (Zainab). Kami
nikahkan kamu kepada dia (Zainab), supaya tidak ada keberatan
bagi orang-orang mukmin untuk menikahi istri-istri anak-anak
angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan
keperluannya dari pada istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti” (Q.S
al Ahzab, 37).

2. Memberikan kontribusi besar pada ilmu pengetahuan.


Telah disinggung di atas bahwa, istri-istri Rasulullah Saw banyak
memberikan kontribusi besar serta nyata dalam meriwayatkan
hadist, baik yang berupa qauliyah, fi’liyah, takririyah dan utamanya
hadist-hadist sifatiyah, yaitu hadist-hadist dengan contoh langsung
dalam kehidupan berumah tangga. Sehingga sunnah-sunnah
yang sampai kepada para sahabat lebih akurat, karena istri-istri
beliau merasakan langsung dampak positif dari sunnah-sunnah
tersebut. Istri-istri beliau mendapat sebutan dari sahabat saat itu,
“Ummaahatul Mu’minin”. Sedangkan Allah SWT memanggil dengan
seruan, “Wahai para istri Nabi”173 dan banyak lagi gelar-gelar dan
sifat-sifat mulia lainnya.

173 Periksa al Qur’an Surat al Ahzab ayat 28.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 63


Banyak Perawi hadist yang berkata, jumlah hadist yang
diriwayatkan istri-istri Rasulullah Saw sangat banyak lebih dari
3000 buah hadist. Kontribusi terbesar datang dari Aisyah yang
meriwayatkan hadist sampai 2210 hadist. Diikuti Ummu Salamah
meriwayatkan hadist 378 buah. Sedangkan yang lainnya antara 11
hingga 26 hadist. Perbedaan ini disebabkan: (i). Masalah kepandaian,
kepintaran dan kecerdasan174, (ii). Lamanya hidup bersama Rasulullah
Saw175, (iii). Panjangnya usia setelah Rasul wafat176, Aisyahlah yang
memenuhi keempat syarat tersebut.

3. Memberikan kontribusi besar dalam masalah hukum (syari’ah).


Di atas dijelaskan bahwa, istri-istri Rasulullah Saw berkontribusi
besar terhadap perkembangan hukum syari’ah terutama masalah
hukum tentang kewanitaan. Zainab berkontribusi besar terhadap
perubahan hukum anak angkat. Dahulu anak angkat berstatus
sama dengan anak kandung, setelah kasus Zainab dengan Zaid bin
Haritsah hukum status anak angkat berubah seratus persen.

4. Memberikan contoh serta prinsip keadilan, kearifan dan akhlak


mulia.
Tak diragukan lagi bahwa, al Qur’an telah membenarkan
akhlak Rasulullah Saw itu sangat mulia dan kemulian akhlak itu
dicerminkan melalui Kitab Suci Al Qur’an. Surat al Ahzab ayat 21
menerangkan bahwa, “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah

174 Semua sahabat mengakui Aisyah itu istri Rasulullah Saw yang paling pintar dan
cerdas.
175 Aisyah termasuk cukup lama hidup bersama Rasulullah Saw.
176 Abdullah Nashih ‘Ulwan, hal. 87.

64 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Saw itu suri tauladan yang paling baik bagimu (manusia dan mahkluk
yang lainnya”177.
Dibanyak hadist dijelaskan bahwa, Rasulullah Saw orang yang
paling baik terhadap keluarga, seperti hadist riwayat Bukhari dan
Muslim. Beliau sangat perhatian terhadap anak yatim dan orang
miskin, seperti hadist riwayat Baihaqi. Beliau dalama masalah
poligini selalu berlaku adil dalam malam-malam giliran terhadap
istri-istrinya. Imam Bukhari meriwayatkan, “Cintailah orang lain
seperti kamu mencintai dirimu sendiri”178.

c). Hikmah dalam bidang politik.


Rasulullah Saw menikahi sejumlah wanita dari pelbagai suku
bangsa dan kabilah yang ada saat itu, karena ada unsur politis
yang tujuannya untuk memperlunak hati para kabilah yang dulu
memusuhi orang-orang Islam setelah salah satu putri dari suku,
kabilah, dan bangsa tersebutndinikahi Rasulullah Saw yang dahulu
musuh kini menjadi sahabat ummat Islam, seperti:

1. Menikahi Juwairiyah binti al Harits.


Orang tua Juwariyah adalah, al Harits bin Dharar. Seorang
pemuka Bani Mustalik. Mantan suami Juwairiyah bernama, Mustafa
bin Shafwan seorang penentang Islam yang kejam dan bengis. Dalam
suatu pertempuran suaminya meninggal dunia dan Juwairiyah
ditawan pasukan Muslim. Juwairiyah datang kepada Rasulullah
Saw menawarkan tebusan perang (tanahan) bagi dirinya. Namun
Rasulullah Saw memberikan tawaran yang lebih baik dari tawarannya,

177 Periksa terjemah al qur’an milik Dapartemen Agama, 1982.


178 Sayyid Ahmad al Hasyimi; Mukhtaaarul Ahaadiits Nabawiyyah (Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 2015), cet ke-1, hal. 31-32.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 65


yaitu menikahinya. Juairiyah menerima tawaran tersebut dengan
penuh suka-cita dan terjadilah pernikahan tersebut. Sesudah itu
seluruh tawanan Bani Mustalik dan seluruh suka (kabilah) Bani
Mustalik masuk Islam.

2. Menikahi Safiyyah binti Huyai binti Khatthab.


Safiyyah tertawan pada saat perang Khaibar. Safiyyah berasal
dari Bangsa (Kaum) Yahudi dari Bani Quraizhah. Rasulullah Saw
menawarkan dua alternatif kepada Safiyyah mau masuk Islam dan
menikah dengan Rasulullah Saw atau tetap beragama Yahudi, lalu
dikembalikan kepada keluarganya. Safiyyah memilih alternatif yang
pertama, yaitu menikah dengan Rasulullah Saw. Pernikahan tersebut
hampir separuh lebih Bani Quraizhah masuk Islam.

3. Menikahi Ummu Habibah binti Abu Sofyan.


Nama asli, Ummu Habibah adalah Ramlah. Orang tuanya Abu
Sofyan, musuh besar Islam yang kejam lagi bengis. Ummu Habibah
termasuk golongan yang pertama masuk Islam digelombang awal
bersama suaminya dan ia juga bersama suami ikut hijrah ke Habsyih
(Ethiopia sekarang di Afrika). Suaminya bernama, Ubaidillah bin
Jahsyi. Setelah suaminya meninggal dunia di Negeri Habsyih. Ia
– Ummu Habibah seorang diri, mau kembali ke ayahnya sangat
tidak mungkin, karena ayahnya termasuk musuh besar Islam.
Atas pertimbangan tersebut, Rasulullah Saw menikahinya dengan
perantaraan Raja Nagus, Raja Habsyih dengan mahar empat ratus
dinar.
Setelah menikah Ummu Habibah dibawa ke Madinah oleh
seorang sahabat Rasul bernama, Syarohbil bin Hasanah. Mendengar
putrinya dinikahi Rasulullah Saw rupanya hati Abu Sofyan luluh juga

66 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


yang dahulunya begitu keras memusuhi Islam, karena sudah merasa
dekat dengan Rasulullah Saw. Sejak saat itu ummat Islam selamat
dari kebengisan dan kekejaman Abu Sofyan.

4. Menikahi Mariyatul Qibtiyah.


Ia seorang wanita dari Mesir yang dihadiahkan oleh Gubernur
Mesir bernama, Mukaukis. Rasulullah Saw memuliakan dengan cara
menikahinya. Mariyatul Qibtiyah disediakan rumah yang dikelilingi
dengan pepohonan rindang agar kerasan tinggal di Madinah.
Tujuannya agar ia dapat mengurangi rasa rindunya dengan tumpah
darahnya, Mesir yang hijau. Dari Mariyatul Qibtiyah Rasulullah Saw
mendapatkan seorang putra yang diberinama, Ibrahim. Pernikahan
ini melicinkan jalan kabilah Qibti untuk memeluk agama Islam.

d). Hikmah dalam bidang sosial kemasyarakatan.


Masalah sosial kemasyarakatan dan da’wah menjadi faktor
utama berpoligininya Rasulullah Saw. Agama Islam turun di
tengah-tengah masyarakat jahiliyah yang serba kebobrokan dan
kerusakan luar biasa. Belum ada di dunia ini sebobrok, serusak
dan sebejad masyarakat Arab jahiliyah. Sangking bobroknya anak
perempuan hidup-hidup dikubur tanpa ada belas-kasihan. Islam
datang masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat ilmiah, rasional,
dan cerdas, termasuk memperbaiki masalah poligini yang tanpa
batas dan tak beradab dan tak manusiawi menjadi poligini yang
santun dan beradab.
Rasulullah Saw memberikan contoh dan suri-tauladan yang
benar dalam berpoligini; poligininya Rasulullah Saw bukan
mengumbar hawa nafsu, tapi:

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 67


1. Dalam menikahi Saudah binti Zam’ah.
Saudah seorang janda dari as Sakran bin Amru al Anshari.
Suaminya wafat sepulang dari hijrah ke Ethiopia. Sepeninggalan
suaminya, Saudah hidup sebatang kara kerena keluarganya dalam
kekafiran. Rasulullah Saw bersedia melindungi dengan cara
menikahi, padahal saat itu Saudah jauh lebih tua usianya dari pada
Rasulullah Saw sendiri. Saudah dinikahi Rasulullah Saw setelah
wafatnya, Khadijah ra.

2. Dalam menikahi Hafsah binti Umar bin Khatthab.


Hafsah janda dari Khunai bin Hazafah al Anshari yang wafat
pada perang Badar. Sepeninggalan suaminya, ayah Hafsah Umar bin
Khotthob merasa cemas akan kehidupan anaknya. Sehingga sahabat
Umar datang ke Usman agar mau menikahi putrinya dan kebenaran
Usman habis ditinggal mati istrinya, Ruqayyah putri Rasulullah Saw.
Ternyata sahabat Usman tidak bersedia. Usman tidak ada niat lagi
menikah setelah wafat istrinya.
Kemudian sahabat Umar datang ke sahabat Abu Bakar agar
bersedia menikahi putrinya dan ternyata sahabat Abu Bakar
menolaknya. Kekecewaan Umar itu terdengar oleh Rasulullah
Saw, sehingga beliau bersedia melamar Hafsah dan menikahinya.
Pernikahan itu demi menjaga hati sahabat utamanya jangan sampai
gelisah. Dan dia pun (Umar) telah berkorban begitu besar demi
jayanya Agama Islam.

3. Dalam menikahi Ummu Salamah al Makzumiyah.


Ummu Salamah seorang janda dari Abdullah bin Abdul al
Asad. Suaminya termasuk pemeluk Islam dari golongan pertama
dan ikut hijrah ke Ethiopia. Suaminya wafat pada perang Uhud dan

68 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


meninggalkan 4 orang anak yatim. Rasulullah Saw bersedia melamar
dan menikahi Ummu Salamah demi memelihara anak-anak yatim
tersebut. Awalnya Ummu Salamah menolak pinangan Rasulullah
Saw, karena merasa sudah tua. Tapi Rasulullah Saw meyakininya
demi memelihara anak-anak yatim tersebut.

4. Dalam menikahi Zainab bin Khuzaimah.


Zainab janda dari Ubaidah bin al Harits bin Abdul Mutthalib.
Ubaidah wafat dalam perang tanding pada perang Badar. Zainab
pada waktu itu ikut juga berperang mendampingi suami sebagai juru
rawat. Usia Zainab sudah mencapai 60 tahun. Tapi sepeninggalan
suaminya Rasulullah Saw bersedia menikahi Zainab untuk
melindunginya. Dua tahun kemudian setelah menikah Zainab wafat.

5. Dalam menikahi Maimunah binti al Harits al Hulaliyyah.


Nama asli Maimunah adalah, Barrah. Dia janda dari Abu
Rahm bin Abdul Uzza. Ia adalah, istri Rasulullah Saw yang terakhir
dinikahinya. Setelah memeluk Islam namanya diganti oleh Rasulullah
Saw menjadi, Maimunah. Dinikahi Rasulullah Saw demi melicinkan
jalan bagi Rasulullah Saw untuk mengislamkan pengikutnya.
Dari uraian tersebut, semakin jelas bahwa, Rasulullah Saw
menikahi banyak wanita bukan ingin mengumbar hawa nafsunya,
tapi demi penyebaran Agama yang dibawanya. Dengan jalan
pernikahan tersebut banyak musuh-musuh Islam menjadi sahabat
Rasulullah Saw dan mereka bersedia mengikuti agama baru tersebut.

e). Hikmah dalam bidang solideritas.


Sudah menjadi rahasia umum bahwa, pernikahan Rasulullah
Saw dengan banyak wanita bertujuan demi da’wah Agama baru.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 69


Pernikahan itu mengandung rasa solideritas tinggi, baik itu untuk
melindungi para janda syuhada, nafkah dan pendidikan serta
pengajaran untuk anak-anak yatim serta untuk memberikan
penghormatan dan penghargaan para syuhada, pejuang agama
sejati yang meninggalkan anak-istri. Jadi pernikahan tersebut boleh
dibilang salah satu perlindungan Rasulullah Saw terhadap mereka
dan terutama juga menjaga kemuliaan kaum wanita yang janda.
Persahabatan Rasulullah Saw dengan 4 orang sahabat utamanya,
memang agak unik dan mungkin hanya Rasulullah Saw sendiri yang
bisa. Persabatan itu bukan saja diikat agama juga diikat kekeluargaan.
Dimana 2 sahabat menjadi mertua Rasulullah Saw, yaitu: Abu Bakar
ra dan Umar ra. Sedangkan yang 2 sahabat lagi menjadi menantu
Rasulullah Saw, yaitu: Usman ra dan Aly ra.

70 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


BAB IV

DASAR HUKUM POLIGINI

A. Dasar Hukum Poligini

S
ebelum lahir Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 di Indonesia
terjadi pluralis hukum perkawinan yang disesuaikan dengan
golongan suku Bangsa dan Agama. Untuk mayarakat muslim
menggunakan syariat Islam, untuk ummat Kristen menggunakan
Hukum Perdata dan Ordonansi Perkawinan Kristen, untuk ummat
di luar ummat Islam dan ummat Kristen menggunakan Hukum Adat
masing-masing. Setelah diundangkan Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 terjadi unifikasi Hukum Perkawinan. Meski
dalam praktek masih menggunakan pularisme hukum dimana
(i). Untuk tata cara dan prosedur perkawinan menggunakan UU
No. 1 tahun 1974, (ii). Untuk rukun dan syarat sah perkawinan
menggunakan Hukum Agama, syari’ah untuk ummat Islam, Hukum
perdata serta ordonansi perkawinan Kristen untuk ummat Kristen
dan (iii). Untuk pelaksanaan perkawinan menggunakan hukum Adat.
Secara garis besar politik hukum positif Indonesia dalam urusan
perkawinan masih dipengaruhi tiga jenis hukum, yaitu:
1. Hukum Perdata.
Perkataan, “perdata” dalam arti luas meliputi, “privat material”,
yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 71


perseorangan179. Kata perdata seringkali digunakan sebagai lawan
kata, “pidana”180. Hukum perdata disebut juga, “Hukum Sipil”. Kata,
“sipil” lazim dipakai sebagai lawan kata, “militer”. Sedangkan kata,
“privat” lawan katanya, “publik”. Agar tidak rancu dalam pembahasan,
maka peneliti ini untuk seterusnya menggunakan istilah, “Hukum
Perdata”. Mengingat istilah hukum perdata sudah cukup populer
di masyarakat.
Sejak awal hukum perdata yang bersumber dari Burgelijk
Wetboek (BW) hukum dari Negeri Belanda yang berlaku di Indonesia
berdasarkan asas konkordasi menganut, “Asas Monogami” dalam
hukum perkawinan181. Satu pria hanya untuk satu wanita dan kawin
tak terceraikan.
2. Hukum Adat.
Di atas telah disinggung bahwa, poligini dalam literatur Hukum
Adat dikenal, “perkawinan bermadu”. Praktek perkawinan bermadu
sudah dikenal lama dan bahkan sebelum Nabi Muhammad Saw
dengan ajaran Islamnya datang. Menurut Sayyid Muhammad Rasyid
Ridho, poligini telah dikenal dan telah dipraktekan masyarakat
dunia182. Di Indonesia sebagaimana dinyatakan Kontjoroningrat,
poligini telah dikenal hampir di seluruh wilayah hukum adat

179 Subekti; Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 1983), cet ke-17, hal. 9.
180 Hukum pidana dikenal juga Hukum Publik adalah, hukum yang mengatur tentang
pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum,
perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan sesuatu ancaman
atau siksaan. Lihat, Kansil; Penganter Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hal.
242.
181 Periksa Pasal 26 BW, Burgelijk Wetboek atau Hukum Perdata.
182 Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, hal. 53.

72 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Indonesia 183. Hampi senada dengan Hilman Hadikusuma
menyatakan, hampir di semua lingkungan masyarakat adat terdapat
perkawinan bermadu, di mana seorang suami di dalam suatu masa
mempunyai beberapa orang istri184.
Namun demikian poligini di Indonesia dipengaruhi besar
ajaran suatu agama, seperti yang akui, R. Soerojo Wignjodipoero,
Bushar Muhammad, R. Soepomo yang pada umumnya mengutip
pendapat, H.O.S Tjokroaminoto menyatakan, Hukum Islamlah yang
mempengaruhi hukum Adat Indonesia185. Namun demikian masalah
poligini telah ada dan telah dikenal serta dipraktekan sebelum
Agama Islam datang ke Nusantara.
Masalah syarat adil dan syarat yang lainnya, seperti pembatasan
jumlah istri di dalam hukum Adat tidak dikenal. Lebih jelas, Hilman
Hadikusuma menyatakan, dalam bentuknya yang asli hukum Adat
tidak mengatur bagaimana seharusnya seorang suami berlaku adil
terhadap istri-istri, oleh karena kedudukan istri-istri berbeda-beda,
ada yang disebut, “istri ratu” (padmi, Jawa) dan ada “istri selir” (do-
omanga, pulau Sewu). Begitu juga ada istri berkedudukan sebagai
“ibu rumah tangga” dan ada istri berkedudukan sebagai “istri
pembantu”186.

183 Lebih jauh periksa, Kontjoroningrat; Manusia Dan Kebudayaan Indonesia (Jakarta:
Djembatan, 1983), cet ke-3.
184 Hilman Hadikusuma, hal. 93.
185 R. Soepomo; Bab-Bab Tentang Hukum Adat (Jakarta: Pradya Paramitha, 1986), cet
ke-10, hal. 3. Bushar Muhammad; Suatu Penganter Hukum Adat (Jakarta: Pradya
Paramitha, 1985), cet ke-3, hal. 15. R. Soerojo Wibnjodipoero; Kedudukan Serta
Perkembangan Hukum Adat Setelah Kemerdekaan (Jakarta: Gunung Agung, 1p83),
cet ke-2, hal. 212.
186 Hilman Hadikusuma, hal. 105.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 73


3. Hukum Islam.
Hampir semua cendikiawan muslim bersepakat bahwa, dasar
hukum poligini terdapat dalam al Qur’an dan beberapa hadist Nabi
Saw. Dalam al Qur’an dimulai Surat an Nisaa, ayat 1-4 dan ayat 127-
130 yang artinya sebagai berikut.
a). Al Qur’an.
“Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhan mu yang
telah menciptakan kamu dari yang satu, dan dari padanya
Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah
memperkembang-biakan laki-laki dan perempuan yang
banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
menggunakan nama-Nya kamu saling meminta satu
sama lain, dan peliharalah hubungan tali silaturahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi mu
(ayat 1).
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim yang sudak akil-
galiq harta mereka, jangan kamu menukar harta yang baik
dengan harta yang buruk, dan janganlah kamu makan harta
mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan
seperti itu sangat berdosa (ayat 2).
Dan jika kamu takut tidak akan (bisa) berlaku adil terhadap
hak-hak perempuan yatim bila kamu menikahinya, maka
hendaklah (Kamu menikah dengan) wanita lain yang kamu
cintai dua, tiga dan/atau empat. Kemudian jika kamu takut
tidak bisa berlaku adil, maka nikahi seorang saja atau budak-
budak yang kamu miliki. Yang demikian itu kamu tidak
berbuat aniaya (ayat 3).

74 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Berikanlah mahar pada wanita yang kamu nikahi sebagai
pemberian kerelaan. Kemudian jika mereka (istri-istri)
memberikan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan
senang hati, yang dimikian itu sangat baik akibatnya (ayat 4).
“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita.
Katakan, Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka
(wanita), tentang apa yang dibacakan kepadamu dalam
al Qur’an, juga menfatwakan tentang para wanita yatim
yang tidak tidak kamu berikan kepada mereka yang telah
ditetapkan untuk mereka, sedangkan kamu ingin menikahi
mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang
lemah. Dan Allah menyuruh agar supaya kamu mengurus
anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang
kamu kerjakan Allah Maha Mengetahuinya” (ayat 127).
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau bersikap
acuh tak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi
keduanya mengadakan perdamaian yang sebaik-baiknya,
berdamai lebih baik bagi mereka, walaupun manusia itu
menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan
istrimu secara baik dan memelihara diri dari nusyuz dan
bersikap acuh tak acuh, maka sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (ayat 128).
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di
antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berlaku
demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung
kepada yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri dari kecurangan, maka sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (ayat 129).

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 75


“Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberikan
kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-
Nya. Dan adalah, Allah Maha Luas lagi Maha Bijaksana”
(ayat 130).
Indah sekali rangkaian ayat-ayat yang mengatur masalah
poligini. Sesungguhnya Allah Maha Tahu dan Maha Mengerti apa
yang dikehendaki hamba-hamba-Nya. Rangkaian historis urusan
pernikahan hamba-Nya dimulai dari:
1. Awal penciptaan manusia.
Awal penciptaan manusia hanya seorang diri, yaitu: Adam.
Kalau hanya Adam hidup seorang diri, jelas manusia tidak bisa
berkembang-biak. Sedangkan tujuan diciptakan alam dunia
sebagai perkembang-biakan manusia yang tugasnya untuk
memakmurkan alam raya atau bumi.
Maka dari diri yang satu, Adam diciptakan manusia dalam
bentuk lain, yaitu perempuan bernama, Hawwa sebagai
pasangan hidupnya. Lagi Allah Maha Tahu; kenapa dinamakan,
Hawwa, karena perempuan pembawa nafsu pria. Makanya kata
hawa selalu dimajmukan dengan kata nafsu, yaitu menjadi:
“Hawa-nafsu”.
2. Asas perkawinan awal monogini.
Saat itu baru ada dua orang yang berlainan jenis, maka wajar kalau
saat itu asas pernikahannya monogami, karena bagi Adam (laki-
laki) tidak ada Hawwa lain (perempuan lain) dihadapannya saat
itu hanya Hawwa yang diciptakan Allah setelahnya. Andaikata
saat itu ada Hawwa lain, mungkin saja asas perkawinan bukan
monogami tapi poligini.

76 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Dilebah ini orang-orang yang anti poligini dan anti Islam
membuat fitnah serta alibi bahwa, satu Adam hanya untuk
satu Hawwa dan satu Hawwa hanya untuk satu Adam. Sehingga
mereka beralibi bahwa, asas dasar perkawinan monogami.
Jawabnya, betul! Karena saat itu baru ada Adam dan Hawwa tapi
dalam perjalanan hidup selanjutnya dan seterusnya bisa dilihat
poin-poin pembahasan berikutnya.
3. Janda.
Dalam perjalanan hidup manusia selanjutnya dan seterusnya
ternyata lebih banyak laki-laki yang meninggal dunia dari pada
wanita. Mereka meninggal dengan pelbagai sebab dan sebab
utama akibat, bencana alam187, peperangan sehingga jumlah
perempuan lebih banyak dari pada laki-laki, utamanya wanita
janda, seperti di Jerman telah terjadi sehabis Perang Dunia
II jumlah perempuan janda lebih banyak dari laki-laki duda.
Sehingga Pemerintah Jerman mewajibkan kepada laki-laki
Jerman untuk berpoligini.
Dalam suatu penelitian yang dilakukan, Lilis Suaedah untuk
Desertasi doktornya di Sekolah Pacsa Sarjana Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2012 menyimpulkan bahwa,
usia perempuan lebih panjang dari pada usia laki-laki, sehingga
lebih banyak janda ketimbang duda188. Akibat perang, bencana
alam dan konflik lainnya bukan saja jumlah janda semakin
banyak juga anak-anak yatim. Di atas telah dijelaskan bahwa,

187 Di Daerah bencana baik bencana alam atau bencana karena konflik lainnya laki-laki
selalu lebih banyak dari pada perempuan dan belum lagi ternyata usia perempuan
lebih panjang dari laki-laki.
188 Lilis Suaedah; Perspektif Pelaku Poligini Terhadap Poligini: Studi Kritis Terhadap
Perilaku Pelaku Poligini (Desertasi) (UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2012).

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 77


Rasulullah Saw menikahi Ummu Salamah bukan karena nafsu
tapi beliau ingin menyelamatkan anak-anak yaim Ummu
Salamah.
4. Anak-anak yatim perempuan.
Secara historis masyarakat Arab jahiliyah suka dan gemar
berpoligini dengan anak-anak yatim perempuan dengan alasan:
(i). Ingin menguasai harta anak yatim, (ii). Mereka menikah
tidak mau membayar mahar, dan (iii). Istri-istri yang yatim itu
tidak diperlakukan secara adil. Sehingga Allah mengancam, “Jika
kamu tidak bisa berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim
bila kamu menikahinya, maka nikahi perempuan lain…….” (Q. S.
An Nisaa, ayat 3).
5. Asas poligani.
Dalam mengatasi dua masalah tersebut, maka membolehkan
poligini. Tapi ini bukan alasan utamanya, karena sejatinya
poligini sudah ada sejak zaman Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul
sebelum Nabi Muhammad Saw dengan ajaran Islamnya
diturunkan. Allah SWT berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus berapa Nabi dan
Rasul sebelum kamu (maksudnya: Rasulullah Saw) dan Kami
memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan……..” (Q. S.
Ar Ra’d, ayat 38).
6. Asas keadilan.
Dari rangkain ayat-ayat tersebut jelas ada dua larangan utama,
yaitu: (i), Jangan kamu nikahi perempuan-perempuan yatim
kalau hanya ingin menguasai hartanya dan kamu tidak membayar
maharnya sebagai mana mestinya, jika kamu menikahinya juga
tidak berlaku adil diantara istri-istri yang yatim, dan (ii). Jangan

78 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


berpoligini kalau tidak bisa dan mampuh berlaku adil terhadap
istri-istri dan anak-anaknya. Dianjurkan menikah satu orang
perempuan saja, itupun bila tidak sanggup untuk menafkahi
istri satu itu, maka salurkanlah nafsu biologismu dengan budak
perempuan yang kamu punya. Andaikan budak juga kamu
tidak punya, maka berpuasalah untuk meredam gejolak birahi
tersebut.
Macam itu saran Rasulullah Saw melalui sunnahnya yang
diriwayatkan Imam Bukhari, “Wahai segenap pemuda,
barangsiapa yang telah mampu untuk menikah, maka menikahlah
(sanggup memberi nafkah), sesungguhnya pernikahan itu lebih
dapat menjaga diri (kesucian seksual), namun bila belum mampu
berpuasalah, karena puasa sebagai benteng penjaga hawa-
nafsu”189.
Ternyata syarat adil sangat berat sekali sebagaimana telah
dijelaskan di atas (Sub Bahasa Poligininya Rasulullah Saw).
Rasulullah Saw sendiri mengakui tidak bisa adil dalam cinta-
kasih, perasaan hati yang paling dalam. Meskin Rasulullah
Saw telah berusaha untuk berlaku adil terhadap cinta-kasih.
Sebagaimana hadist yang diriwayatkan Abu Daud, at Tirmidzi,
Ibnu Majah, Ibnu Hibban, al Hakim, Baihaqi. Setelah Rasulullah
Saw merasa gagal dalam urusan hati, maka Rasulullah Saw
berdoa, “Ya Allah, inilah pembagian pada apa yang aku miliki.
Maka janganlah Engkau mencelaku pada apa yang Engkau miliki,
sedangkan aku tidak memilikinya”.

189 Muhammad Faiz Almath; 1100 Hadist Terpilih Sinar Ajaran Muhammad, hal. 225.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 79


Pada Hadist lain, riwayat Aisyah, Rasulullah Saw bersabda,
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengistimewakan
sebagian kami atas sebagian yang lain dalam pembagian giliran”190
7. Selir.
Selir dan hamba sahaya ada bedanya, selir istri-istri Raja, Sultan
atau Amir yang dinikahi secara sah, hanya saja tidak bisa menjadi
permaisuri dan nantinya sebagai Ratu. Sedangkan hamba sahaya
adalah, budak yang statusnya bisa seperti barang atau harta,
karena bisa dijual-belikan, bisa diwariskan, bisa dihibakan,
bisa dihadiahkan, seperti Mariatul Qibtiyah yang dihadiakan
dari Guberbur Mesir. Tapi Mariatul Qibtiyah budak yang hebat,
beliau dinikahkan oleh Rasulullah Saw dan hamba sahaya bisa
dibebaskan, seperti Bilal yang dibebaskan Abu Bakar.
Zaman awal Islam datang masih ada perbudakan sehingga
orang-orang yang tidak mampu untuk menikah, jika dia punya
budak perempuan halal dijima’, karena budak atau hamba
sahaya termasuk barang atau harta kekayaan.
8. Mahar.
Dalam tafsir al Qur’an milik Departemen Agama, terbitan tahun
1983 pada halaman 143 dinyatakan, masyarakat Arab jahiliyah
sejak lama ada tradisi suka dan gemar mengawini anak-anak
yatim dan anak angkat yang perempuan, karena mereka tidak
mau membayar mahar, dan jika dipoligini mereka tidak berlaku
adil.
Mahar adalah, sesuatu yang diberikan suami kepada istrinya
diawal atau saat akad-nikah dilangsungkan. Allah SWT berfirman,

190 Yazid bin Abdul Qadir Jawas; Panduan Keluarga Sakinah, pada catatan kaki nomor
382, hal. 338.

80 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


“Dan berikanlah maha atau maskawin kepada perempuan yang
kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan”191.
9. Nusyuz.
Rangkaian ayat poligini ini memuat nusyuz dulu baru talaq.
Nusyuz arti harfiyah tempat yang tinggi. Sedangkan arti istilahan,
nusyuz adalah, kedurhakaan istri terhadap suami dalam hal-
hal yang Allah wajibkan atasnya untuk mentaatinya192. Dalam
kehidupan sehari-hari sering didengar gunjungan, “Kenapa Pak
haji Anu menikah lagi?”
Orang yang diajak bicara menjawab, “Ya, bagaimana tidak
menikah lagi; orang istrinya tidak mau shalat, misalnya atau
tidak mau kalau diajak jima’, misalnya dan lain sebagainya”.
Ini berarti istri Pak haji Anu telah nusyuz.
Dibanyak kasus karena alasan nusyuz suami cepat-cepat
menikah lagi. Islam tidak seperti itu cara mencari solusinya tapi
harus: (i). Dikasih tahu dan diajarkan jangan suka nusyuz, acuh
tak acuh dengan suami, bila sudah dikasih tahu tetap nusyuz,
maka tindakan selanjutnya, (ii). Berdamai melalui pihak ketiga,
entah itu orang tua, kakak, paman atau kiyai yang dipercaya,
mereka berembuk-musyawarah mencari jalan keluarnya. Bila
cara kedua juga gagal, maka tempuh sebagai berikut, (iii). Pisah
ranjang dan meja makan, jika cara ini juga gagal, baru boleh
menjatuhkan talaq pertama, dan (iv). Namun bila istri sudah
kembali lagi ke jalan yang benar, suami tidak boleh mencari-cari
kesalahan istri.

191 Periksa, al Qur’an Surat an Nisaa, ayat 4.


192 Yazid bin Abdul Qadir Jawas; hal. 291.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 81


10. Cerai.
Talaq atau cerai jalan terakhir karena tidak ada jalan lain,
selain cerai. Sebenarnya istri atau pihak ketiga, seperti mertua,
kakak ipar atau siapa saja, istri tidak bisa minta cerai lantara
suami poligini, kecuali sebelum menikah dahulu sudah ada
kesepakatan atau perjanjian perkawinan. Sekalipun suami
menikah diam-diam tanpa sepengetahuan istri atau istri-istri,
sesungguhnya istri tidak boleh minta cerai dengan alasan suami
menikah lagi.
Dalam syari’at Islam tidak ada aturan syarat istri minta cerai
lantaran suami menikah lagi. Serta tidak ada syarat suami mau
menikah lagi harus minta izin terlebih dahulu dengan istri
atau istri-istri. Hanya saja karena suami-istri telah membuat
perjanjian yang kuat lagi kokoh (Q.S an Nisaa, ayat 129) maka
wajar jika suami-istri ingin menerjakan sesuatu yang luar biasa
harus dikasih tahu, termasuk jika suami mau menikah lagi harus
dikasih tahu istri,
b). Al Hadist.
Banyak hadist-hadist tentang poligini, diantaranya:
1. Hadist riwayat Abu Daud dan at Tirmidzi, Rasulullah Saw
bersabda, “Barang siapa memiliki dua orang istri, kemudia
ia lebih cenderung kepada yang satu dari keduanya, maka ia
akan datang pada hari kiamat dalam keadaan pundaknya
miring sebelah”193.
2. Abi Kharasy ar Ra’ni daii ad Dailani berkata, “Saya katakan
kepada Rasulullah Saw bahwa, saya memadu dua wanita

193 Abi Daud; Sunnan Abi Daud, Jid II, hadist nomor 2133. At Tirmidzi; Sunnah At
Tirmidzi, hadist nomor 1141.

82 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


yang bersaudara di zaman jahiliyah, Rasulullah Saw berkata,
Apabila engkau nanti pulang dari sini, maka ceraikan salah
satu dari mereka” (H.R at Tirmidzi)194.
3. Hadist dari Anas, ia berkata, “Menurut sunnah, apabila
menikah dengan gadis perawan dipoligini dengan bukan
perawan. Suami berdiam di rumah istri yang perawan selama
7 hari, bila menikah dengan janda 3 hari” (H. R Muttafaq’
Alahi) lafadh dari Imam Bukhari195.
4. Diriwayatkan dari Abu Daud bahwa, Umairah al Asadi
berkata, “Aku masuk Islam mempunyai 8 istri. Lalu aku
ceritakan hal itu kepada Rasulullah Saw, maka beliau berkata,
pilih empat saja dari mereka”196.
5. Hadist dari Naufal bin Mu’awiyah ad Daili, ia berkata, aku
masuk Islam dalam keadaan beristri 5 orang. Aku bertanya
kepada Rasulullah Saw, beliau berkata, ceraikanlah salah
seorang dari mereka dan tahanlah 4 orang saja. Maka aku
ceraikan yang paling awal, karena dia sudah mandul sejak 6
tahun silam”197.
Masih banyak hadist-hadist tentang poligini peneliti hanya
menukil rangkaian hadist-hadist tersebut, karena: (i). Hadist pertama
memberikan aturan harus adil dalam berpoligini, (ii). Hadist kedua
memberikan aturan tidak boleh (haram) mempoligini dua bersaudara
dan termasuk dengan bibi, (iii). Hadist ketiga memberikan aturan,

194 Musfir aj Jahrani, hal. 63.


195 Lilis Suaedah, hal. 43, catatan kaki nomor 52.
196 Imaduddin Husain; Zaujah Wahidah La Takfi Ats Tsaniyah La Zaniyah, terjemah:
Abduk Kadir menjadi: Kiat Menghindari Perselingkuhan, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2002), hal. 68-69.
197 Lilis Suaedah, hal. 52.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 83


jika mempoligini dengan perawan malam giliran hari pertama 7
hari 7 malam, jika dengan janda 3 hari 3 malam, dan (iv). Hadist
keempat dan kelima memberikan aturan, poligini hanya boleh 4
orang istri saja.
4. Unifikasi Hukum Perkawinan Indonesia.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
Perkawinan mengaut asas perkawinan monogami, sebagai mana
yang diatur, Pasal 3 ayat 1. Dari ketentun tersebut jelas bahwa, UU No.
1/1974 menanut asas monogami dipertegas bahwa, pengadilan dapat
memberikan izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Sebagaimana yang dimaksud Pasal 3 ayat 2. Adapun Pasal 63 UU
No. 1/1974 dalam masalah izin poligini bisa dimaknai ke Pengadilan
Agama bagi yang beragama Islam dan bisa ke Pengadilan Umum
untuk yang lainnya. Pengadilan harus memberikan izin, apa bila
pemohon telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan Pasal
4 dan Pasal 5 UU No. 1/1974.
Menurut Pasal 4 ayat 2, pengadilan yang dimaksud (Pasal 4 ayat
1) hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri
lebih dari seorang, apabila:
(a). Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
(b). Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
(c). Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Sedangkan menurut Pasal 5 ayat 1 bahwa, untuk dapat
mengajukan permohonan kepada pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 UU No. 1/1974 harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:

84 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


(a). Ada persetujuan dari istri/istri-istrinya;
(b). Ada kepastian bahwa, suami mampu menjamin keperluan-
keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka;
(c). Adanya jaminan bahwa, suami akan berlaku adil terhadap
istri-istri dan anak-anak mereka.
Berkenaan dengan syarat, “adanya persetujuan dari istri/istri-
istrinya” sebagaimana termaktub dalam Pasal 3 ayat 1 adalah,
persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf (a) pasal ini tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak
mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak
dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama
sekurang-kurangnya 2 tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang
perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Adapun prosedur mengajukan permohonan untuk beristri lebih
dari seorang bisa tertulis kepada pengadilan dengan disertai syarat-
syarat dan alasan-alasan, seperti dimaksud Pasal 4 dan Pasal 5 UU
No. 1/1974 jo Pasal 41 PP No. 9/1975 kepada pengadilan Agama di
Daerah tempat tinggalnya dengan dilampirkan kutipan Akta Nikah
yang terhadulu serta Surat-Surat izin yang diperlukan.
Pengadilan Agama memeriksa berkas-berkas tersebut,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 41 PP No. 9/1975. Pengadilan
Agama dalam memeriksa berkas-berkas tersebut harus memanggil
dan mendengar keterangan istri/istri-istri pemohon sebagaimana
yang diatur Pasal 42 ayat 1 PP No. 9/1975. Apabila Pengadilan Agama
berpendapat bahwa, cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih
dari seorang, maka Pengadilan Agama memberikan ketetapan yang

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 85


berbentuk izin untuk beristri lebih dari seorang kepada pemohon
yang bersangkutan198.
Berkenaan tentang permohonan izin kepada Pengadilan seperti
yang diatur dalam UU No. 1/1974 bagi seorang suami yang hendak
menikah lagi (poligini) banyak sekali tanggapan dari pakar hukum
dan ulama. Salah satu yang paling menarik adalah, tanggapan
dari Daniel S. Lev dalam karyanya, Islamic Courts In Indonesia,
mengatakan diantara ketentuan yang perlu mendapat sorotan di
sini adalah, izin dari pengadilan bagi pria yang akan beristri lebih
dari seorang, maka masyarakat menganggap bahwa, ketentuan
itu sebagai “hukum yang baru”, apalagi seperti lazimnya dalam
pelaksanaan suatu undang-undang dikenakan sanksi pidana bagi
pelanggar, sebagaimana disebut dalam Bab IX dari PP No. 9/1975
tentang pelaksanaan UU No. 1/1974 Tentang Perkawinan199.
Tanggapan lain datang dari R. Soerojo Wignjodipoero karnya,
Kedudukan Serta Perkembangan Hukum Adat Setelah Kemerdekaan,
mengatakan dengan ketentuan-ketentuan sebagaimana ditetapkan
pada Pasal 4 dan Pasal 5 UU No. 1/1974, maka kehendak-kehendak
orang tua yang selalu mendasarkan pada kepemimpinan pribadi
(sendiri) serta kurang memperhatikan kebahagiaan anak gadisnya
sebagaimana sering terjadi pada zaman lampau, kiranya sudah
sangat terbatas ruang lingkupnya. Juga ketentuan-ketentuan Pasal
3 ayat 2 cukup memberikan jaminan kepada calon mempelai untuk
mencegah paksaan dari pihak-pihak tertentu, khususnya kepada
calon mempelai wanita200.

198 Lebih jauh periksa Pasal 41 PP No. 9/1975.


199 Daniel S. Lev; Islamic Courts In Indonesia, alih bahasa, H. Zaini Ahmad Noeh
menjadi, Peradilan Agama Islam di Indonesia (Jakarta: Intermasa, 1986), cet ke-2,
hal. 371-372.
200 R. Soerojo Wignjodipoero, hal. 134.

86 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Lebih tegas, Hazairin menyatakan, bagi ummat Islam di
Indonesia Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 UU No. 1/1974, merupakan
contoh pembaharuan tafsir. Tafsir lama sebagaimana yang berlaku
dalam praktek berdasarkan ajaran fiqh Syafe’i, tidak medudukan
poligini merurut maunya saja sampai dengan empat orang istri.
Sedangkan pelakuan suami yang tidak adil diserahkan kepada pihak
istri untuk menyelesaikan secara damai atau mengadukan kepada
hakim (qadi), seperti tidak adil dalam giliran berkumpul, tidak
adil dalam urusan nafkah hidup sehari-hari bagi si istri dan anak-
anak, tidak adil dalam perlakukan, seperti memukul istri sampai
meninggalkan bekas berupa cidera badan, luka, pendarahan di
bawah kulit dan sebagainya201.
5. Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sama dengan UU No.
1/1974 menganut asas monogami dalam perkawinan. KHI dibuat
sebagai pelengkap UU No. 1/1974 Tentang Perkawinan. Sebagaimana
termuat dalam Pasal 4 KHI perkawinan sah apabila dilakukan
menurut Hukum Islam. Ketentuan ini sama dengan Pasal 2 ayat 1
UU No. 1/1974.
Aturan tentang poligini terdapat pada Bab IX yang bertitel:
Beristri lebih dari satu orang. Terdiri 5 Pasal diawali Pasal 55 sampai
dengan Pasal 59, secara tersirat poligini telah disinggung dari Pasal
41, 42 dan Pasal 52. Terus berlanjut ke Pasal 70 huruf (a), 71 huruf (a),
82 dan Pasal 94. Dari Pasal-Pasal tersebut ada beberapa pemikiran
hukum baru, yaitu:

201 Hazairin; Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 (Jakarta:
Tintamas, 1975), hal. 13.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 87


i. KHI lebih mencanangkan pernikahan itu termasuk hukum
perikatan, seperti yang tercermin dalam Pasal 53. Menurut
KHI pada saat hendak dilangsukan pernikahan dengan
istri kedua, ketiga, dan/atau keempat, boleh diperjanjikan
mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah
tangga bagi istri yang akan dinikahi.
ii. Menetapkan batas yang pasti, yaitu hanya boleh menikahi
empat orang istri dalam kurun waktu yang sama, seperti
yang tercermin dalam Pasal 42 jo Pasal 55 ayat 1, hal ini sesuai
dengan ketentuan Surat An Nisaa, ayat 3.
iii. Mengklasifikasikan syarat-syarat berpoligini, ada syarat
utama harus berlaku adil (An Nisaa, 3 dan 129), juga syarat
tambahan yang tidak kalah pentingnya, yaitu diatur Pasal 4
ayat 2 jo Pasal 5 ayat 1 UU No. 1/1974 jo Pasal 41 PP No. 9/1975,
tercermin juga Pasal 55 ayat 2 dan Pasal 58 ayat 1 KHI.
iv. Peran Hakim Pengadilan Agama begitu dominan dalam
menentukan poligini, tercermin Pasal 56 ayat 3, menikah
dengan istri kedua, ketiga, dan/atau keempat tanpa
mendapat izin dari Hakim Pengadilan Agama dianggap liar
dan tidak sah.
v. Batas waktu boleh berpoligini tanpa izin istri adalah, 2
tahun, manakala istri tidak ada kabar beritanya, karena pergi
atau hilang yang tidak diketahui, tercermin dalam Pasal 58
ayat 3 KHI.
vi. Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila seorang suami
melakukan poligini tanpa izin pengadilan Agama, tercermin
Pasal 71 ayat 1. Pada Pasal ini ada kalimat “penipuan”, dimana
suami saat menikah istri kedua atau ketiga dan/atau juga
keempat mengaku, belum beristri (bujangan) dan mengaku

88 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


duda, ternyata setelah diketahui sudah dan sedang beristri
poligininya bisa dibatalkan.
vii. Dalam Kompilasi Hukum Islam juga diatur banding dan
kasasi bagi pelanggar-pelanggar poligini, Pasal 59 KHI.

B. Pandangan dan Pendapat Tentang Poligini


Tiap kurun dan waktu keberadaan poligini selalu menimbulkan
pro dan kontra antara yang setuju dengan yang tidak setuju. Untuk
sekarang ini ada 3 pandangan besar tentang praktek poligini, yaitu:
(i). Ada yang setuju dengan poligini, (ii). Ada yang setuju poligini
tapi bersyarat ketat, sehingga poligini dipandang untuk keadaan
darurat, dan (iii). Ada yang tidak setuju poligini.
I. Pandangan yang setuju poligini.
Golongan atau kelompok yang menerima poligini apa adanya
melahirkan pandangan atau teori skeptis-agamis202, mereka berdalih
karena agama (Islam) membolehkan. Golongan ini didukung
utama fuqaha tradisonal, tapi bukan berarti fiqaha kontemporer
tidak ada yang dukung. Ternyata untuk sekarang ini masih banyak
fugaha-fugaha serta cendikiawan dan Ulama kontemporer menjadi
pendukungnya, sebut saja: Muhammad Sa’id Ramadhan al Buti,
Saiful Islam Mubarok, Aly Syari’ati, Huzaimah Tahido Yanggo, Abd.
Nashir Taufiq al Atthar, Ibnu Baz, dan banyak lagi203.
Dalam hal ini menarik, apa yang dikatan, Ibnu Baz Ulama terkenal
Arab Saudi saat ini. Ibnu Baz berkata, Lebih lagi hal ini (maksudnya
poligini) akan mempermudah memperoleh banyak anak dan demi

202 Periksa Lilis Suaedah, hal. 98.


203 Periksa lebih jauh, Lilis Suaedah; Perspektif Pelaku Poligini Terhadap Poligini: Studi
Kritis Terhadap Perilaku Pelaku Poligini, Desertasi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,
2012.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 89


kebaikan kaum wanita itu sendiri, karena ada yang merawat dan
memelihara mereka. Tidak diragukan lagi bahwa bagi wanita adalah,
lebih baik mempunyai setengah, sepertiga atau seperempat suami
dari pada tidak mempunyai suami sama sekali. Meskipun demikian
suami harus berbuat adil dan sanggup menghidupi istri-istrinya itu.
Kalau ia takut bahwa, ia tidak sanggup berbuat adil, maka lebih baik
ia beristri satu dan memiliki beberapa budak204.
Memang tujuan dibolehkan poligini bukanlah tujuan asal dari
ayat-ayat Suci al Qur’an, demikian alibi Abd Nashir Taufiq al Atthar205,
ia memberikan alasan sebagai berikut:
(i). Poligini itu adalah suatu hal yang boleh pada waktu turunnya
al Qur’an. Bangsa Arab jahiliyah biasa melaksanakannya
tanpa batas, berapa saja banyaknya menurut kemauan laki-
laki. Orang-orang Yahudi juga tidak mengharamkannya, dan
demikian juga orang-orang Kristen pada waktu itu. Jadi,
tidaklah dibutuhkan seruan untuk menetapkan suatu hal
yang sudah boleh di dalam Kitab Suci al Qur’an yang mulia,
hanya semata-mata untuk mengatakan boleh. Sebenarnya
sudah cukup kebolehan poligini itu secara tradisi saja
tanpa dipertegas lagi oleh al Qur’an untuk menilai sebagai
perbuatan yang boleh.
(ii). Tidak ada satu statemen ilmiah pun yang sempurna melebihi
sempurnanya al Qur’an, walaupun hanya satu ayat saja, yang
sejelas-jelasnya menerangkan kebolehan poligini.
(iii). Redaksi yang biasa digunakan al Qur’an untuk membolehkan
sesuatu dengan kata-kata: (Artinya: Tidak ada salahnya

204 Lihat, Muhammad bin Abdul Azis al Musnad; Islamic Fatwa Regarding Women
(Riyad: Darussalam Publishing and Distributors, 1996), hal. 178-179.
205 Abd. Nashir Taufiq al Atthar. Hal. 106-107.

90 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


bagi kamu) dan (Artinya: Dihalalkan bagi kamu) dan lain
sebagainya, gaya bahasa yang menunjukan boleh atau tidak
boleh, dilarang. Akan tetapi dalam masalah poligini ini,
Allah SWT melalu Kitab Suci al Qur’an menggunakan kata:
(Artinya: Maka nikahlah kamu) dari bentuk perintah ini
dapat dimengerti bahwa, Allah SWT menghendaki ini suatu
yang harus diperhatikan, dan bukan hanya semata-mata
mengatakan boleh, tetapi di balik itu ada hikmah-hikmah
terpuji bagi kebaikan masyarakat.
Senada Musfir aj Jahrani dan Hammudah Abd al Ati memperluas
lagi pendapat Abd Nashir Taufiq al Atthar dalam menyimpulkan
nash-nash al Qur’an yang berhubungan masalah poligini sebagai
berikut:
(a). Poligini boleh samapai empat orang istri dalam kurun
waktu yang bersama, lebih dari empat orang istri haram
dan berdosa.
(b). Disyaratkan harus berlaku adil terhadap istri-istri serta anak-
anaknya. Barangsiapa yang belum bisa berlaku adil, dia tidak
boleh mengawini wanita lebih dari seorang. Seorang laki-
laki yang sebenarnya dia yakin tidak bisa berlaku adil, tapi
dia tetap berpoligini, dikatakan bahwa akad-nikahnya sah
tetapi dia telah berbuat dosa.
(c). Keadilan yang diisyaratkan dalam ayat di atas mencakup
keadilan tempat tinggal, makan, minum, pakaian serta
perlakuan lahir-batin.
Jamilah Jones, Abu Aminah Bilal Philip, Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha, Abdul Nashir Taufiq, al Atthar, Hammudah Abd
al Ati, Abdullah Nashih ‘Ulwan, Ali Syari’ati, dan yang lainnya
menambahkan:

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 91


(d). Kemampuan suami dalam hal menafkahi lahir dan bathin
untuk istri kedua, ketiga maupun keempat dan termasuk
anak-anaknya.
(e). Penulis tambahkan, Allah SWT tidak menuntut keadilan
bathin yang berupa cinta, kasih sayang dan juga mungkin
urusan seksual, karena Rasulullah Saw sendiri tidak bisa
berlaku adil dari urusan ini. Seperti dikatakan Aisyah ra,
“Setelah Ralullah Saw membagi giliran di antara istri-istri
beliau dengan adil, maka beliau pun berdoa, “Ya Allah, inilah
pembagianku pada apa yang aku miliki. Maka janganlah
Engkau mencelaku pada apa yang Engkau miliki, sedangkan
aku tidak memilikinya”206.
Sedangkan yang dimaksud dengan kata, “Apa yang Engkau miliki,
sedangkan aku tidak memiliki” adalah, hati207. Dihatilah tempat
bersemayamnya rasa cinta serta kasih sayang dan hanya Allah SWT
yang bisa membolak-balikan hati.
Ayat 3 dan 129 Surat an Nissa bila dihubungkan hadistriwayat
Imam Muslim dari Abdullah bin Amr bin Ash ra, Rasulullah Saw
bersabda: “Orang-orang yang adil di sisi Allah yaitu, orang-orang
yang berlaku adil dalam putusan mereka, keluarga mereka, dan
dalam apapun yang menjadi tanggung jawabnya”208.
Dari ayat 129 an Nissa dan hadist riwayat Imam Muslim di atas
dapat dimaknai bahwa, keadilan yang berkaitan dengan perasaan
cinta dan kecenderungan hati tidak mungkin manusia dapat berlaku
adil, bahkan Rasulullah Saw sendiri telah mengakui, beliau tidak

206 Hadist hasan, diriwayatkan Abu Daud, at Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, al
Hakim, al Baihaqi, dan banyak lagi.
207 Periksa Tafsir Ibnu Katsir, Juz II, hal. 431.
208 Sayyid Ahmad al Hasyimi, hal. 255.

92 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


bisa berlaku adil dalam urusan ini, beliau tetapi lebih cinta dan
lebih sayang kepada Aisyah daripada istri-istri yang lainnya. Namun
demikian jangan ditunjukan kecenderungan itu sampai melupakan
yang lainnya.
II. Pandangan yang mendaruratkan poligini.
Kebanyakan kelompok yang mendaruratkan poligini datang
dari fuqaha kntemporer yang menyatakan, poligini sebagai pintu
darurat yang hanya dibuka atau digunakan sewaktu-waktu saja209.
Hal senada dinyatakan, Muhammad Quraish Shihab, Muhammad
Ali Hasan, Abdurrahman I Do’i, Husein Muhammad, dan banyak
lagi, mengumpamakan poligini semisal pintu darurat yang ada di
pesawat210. Sedangkan, Alamsyah Muhammad Dja’far menyebut,
perkawinan poligini sebagai perkawinan abnormal211. Ditulisan yang
lain, Muhammad Quraish Shihab berkata, poligini itu bukan anjuran,
tetapi salah satu solusi yang diberikan kepada mereka yang sangat
membutuhkan dan memenuhi syarat-syaratnya. Poligini mirip
dengan pintu darurat dalam pesawat terbang yang hanya boleh
dibuka dalam keadaan emergency tertentu212.

209 Seperti pernyataan, Said Aqil Siraj, Mantan Ketua Umum PBNU dan Dosen Pasca
Sarjana UNI Syarif Hidayatullah, Jakarta. (Artikel), Said Aqil Siraj; Poligami Sama
Seperti Makan Pete (Jakarta: Majalah Syar’ah No. 61/VI/Januari, 2007 – Duzhijjah
1427), hal. 87.
210 Lihat, Muhammad Ali Hasan; Masail Fiqiyah al Haditsah: Pada Masalah-Masalah
Kontemporer Hukum Islam (Jakarta: Srigunting, 1995), hal. 21. Lihat juga, Muhammad
Quraish Shihab; Perempuan: Dari Cinta sampai Seks, Dari Nikah Mut’ah Sampai
Nikah Sunnah, Dari Biasa Lama Sampai Biasa Baru, hal. 201.
211 Alamsyah Muhammad Dja’far, Ketua Pamred Majalah Syari’ah dalam artikel;
Poligami, Majalah Syari’ah No. 61/Vi/Januari, 2007 – Duzhijjah 1427, hal. 96.
212 Muhammad Quraish Shihab dalam wawancara dengan Damanhuri dari Tabloid
Republika, hari Jum’at, 8 Desember 2006.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 93


Zamakhsyri dalam kitab tafsirnya, al Kasysyaf mengatakan
bahwa, poligini menurut syari’ah Islam suatu rukhshah (kelonggaran)
dalam keadaan darurat. Sama halnya dengan rukhshah bagi musafir
dan orang yang sakit dibolehkan untuk berbuka puasa ramadhan
ketika dalam perjalanan. Darurat yang dimaksud disini berkenaan
dengan tabiat laki-laki yang cenderung beristri lagi (berpoligini).
Kecenderungan yang ada pada laki-laki itu bila syari’at tidak
memberikan kelonggaran berpoligini, niscaya bisa membawa kepada
perzinaan oleh karena itu poligini dibolehkan dalam Islam213.
Ketika membicarakan dasar hukum poligini, Muhammad
Quraish Shihab mengutip al Qur’an Surat An Nissa 3 lengkap dengan
ashabunnuzul dan dasar hukum dari hadist dipetik hadis Ghalan
bin Mu’awiyah yang diriwayatkan Imam Malik, an Nasa’i serta al
Duruqutni. Rasulullah Saw bersabda, setelah Ghilan masuk Islam
disuruh oleh Rasulullah Saw untuk menceraikan salah satu istrinya.
Sebelum masuk Islam Ghilan memiliki lima orang istri214.
Adapun asbabunnuzul ayat 3 Surat An Nisaa yang diulas
Muhammad Quraish Shihab, seperti duraikan oleh istri Rasulullah
Saw, Aisyah menyangkut sikap sementara orang-orang yang ingin
mengawini anak-anak yatim perempuan yang kaya dan cantik,
berada dalam pemeriharaannya, tapi tidak mau dibayar maharnya,
bila dipoligini diperlakukan tidak secara adil. Ayat ini melaranh
melakukan hal tersebut dengan redaksi ayat yang tegas. Lalu Allah
SWT menyuruh mengawini wanita lain yang disukai, bisa dua, tiga
dan/atau empat sekaligus, asalkan bisa berlaku adil atas istri-istri

213 Muhammad al Bahy; al Islam Wa Tijah al Mar’ah al Mu’ashirah (Mesir: Maktabah


Wahbab, 1978), hal. 42.
214 Muhammad Quraish Shihab; Wawasan al Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai
Permasalahan Ummat (Bandung: Mizan, 1416 H/1996 M), cet ke-3, hal. 199.

94 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


mereka. Jika takut tidak dapat berlaku adil cukup satu orang istri
saja215.
III. Pandangan yang tidak setuju poligini.
Pandangan yang menentang poligini selalu berkata, poligini
sudah tidak cocok lagi untuk sekarang ini. Poligini sisa-sisa peradaban
primitif dan masa perbudakan dahulu. Pada umumnya penentang
poligini juga anti Islam, mereka menuduh maju dan berkembang
Agama Islam yang begitu cepat lantara diperbolehkan poligini, dan
lalu mundur serta hancurnya Agama Islam juga lantara poligini,
seperti itu tuduhan mereka yang anti Islam dan anti poligini216.
Penentang anti poligini telah ada sejak zaman Romawi kuno. Mereka
menentang secara teori di dalam kertas, tapi prakteknya mereka
melakukan poligini terselubung berkedok perkawinan, perceraian
akal-akalan, selingkuh, pergundikan, memelihara WIL, punya pacar
gelap, WIL untuk prianya dan PIL untuk wanitanya217. Di kalangan
masyarakat yang anti poligini dan termasuk di kalangan Bapa-bapa
Gereja, di istana-istana Raja, bangsawan, pembesar kerajaan suka
melakukan poligami hipokrit218, disamping memiliki pasangan sah,
suami-istri.

215 Muhammad Quraish Shihab, hal. 2001.


216 Abdul Hassan Ali al Hasany an Nadawy, hal. 217.
217 Periksa lebih jauh buku, Perkawinan Dalam Tradisi Katholik, kaya Al Purwa
Hadiwardoyo, Kanisius Yogyakarta, 1975.
218 Poligami hipokrit (di sini peneliti menggunakan istilah paligami, karena yang
melakukan dan/atau yang mempraktekan laki-perempuan). Menurut Gustave
le Bon, poligami hipokrit adalah, mereka (suami-istri) masih terikat dalam suatu
perkawinan tetapi disamping masih sebagai pasangan yang sah (kawin tak boleh
cerai), mereka juga memiliki kekasih, teman kencan, pacar gelap, teman selingkuh,
teman kumpul kebo, dan lain sebagainya. Jadi yang mereka benci lembaga nya,
prakteknya mereka suka.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 95


Bapa-Bapa gereja, filosof dan Raja-Raja Romawi, Yunani, Persia
dan termasuk Mesir, seperti Yustianus dari Roma berkata, mereka
yang menikah untuk yang kedua kalinya sangat berdosa (Lap. 15,5)219.
Seperti juga, Clemens dari Alexandria dan Teofilus dari Yunani
mengatakan, perkawinan itu harus monogami. Mereka melihat
poligini itu sebagai peninggalan sisa-sisa perbudakan wanita pada
zaman pradaban primitif220, untuk itu wanita harus dibebaskan
dari sistem perkawinan poligini, dan anehnya wanita lebih suka
diselingkuhi daripada dinikahi221, dijadikan wanita simpanan dari
pada dinikahi secara resmi dan sah222.
Dan anehnya banyak dari pemikir-pemikir Islam sendiri yang
anti poligini, sebut saja, Muhammad Abduh, Qamaruddin Khan,
Qosim Amin, Jamal J Nasir mantan Menteri Kehakiman Yordania,
dll. Mereka pada umumnya memberikan komentar ayat 3 Surat an
Nisaa sebagai berikut, sesungguhnya yang dimaksud Surat an Nisaa
ayat 3 bukan untuk membolehkan poligini tapi untuk menghapus
poligini dan bukan juga sebagai dasar hukum dibolehkannya poligini
dalam Islam223.

219 Al Purwa Hadiwardoyo, hal. 31.


220 Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, hal. 51.
221 Lebih jelas periksa, Rinaldi Daniel; Selingkuh “Budaya” Eksekutif Muda (Jakarta:
Grasindo, 2003).
222 Periksa, Dono Baswardono; Antara Cinta, Seks Dan Dusta: Memahami Perselingkuhan
(Yogyakarta: Galang Press, 2003).
223 Nsaruddin Umar; Islam Dan Masalah Poligami: Pemahaman Ali Syari’ati, dalam
buku: Melawan Hegemoni Barat, Editor, M. Deden Ridwan (Jakarta: Lentera, 1999),
hal. 204-205.

96 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


BAB V

POLIGINI DALAM KENYATAAN

P
embahasan terdahulu di atas telah dikupas sejarah poligini
dari zaman pra-sejarah, zaman sejarah, hingga zaman modern
yang berperadaban canggih. Diikuti status hukum poligin dari
pelbagai pandangan hukum serta termasuk padangan hukum positif
yang sedang berlaku. Pembahasan selanjutnya peneliti berfokus pada
kajian reslita poligini dalam masyarat moder, sekarang. Pembahasa
itu meliputi, adalah:

A. Realita Poligini dalam Masyarakat


Pro-kontra poligini tetap terus berlanjut sampai hari ini, tapi
senyatanya praktek perkawinan poligini masih ada dan terus
berlanjut selama masih ada wanita yang mau dan rela dimadu,
diduakan, ditigakan dan/atau diempatkan oleh seorang suami.
Praktek poligin tak lepas dari peran wanita itu sendiri atau dengan
kata lain praktek poligini tak lepas dari wanita yang mau menerima
lamaran laki-laki telah beristri, apa pun alasan dan alibinya. Ibu
Aliyah dalam buku, The Innocent Rebel: Sisi Aneh Orang Jakarta,
karya: Andre Syahreza, 2006, rela dan mau berbagi suami dengan
Anggi224. Benar apa yang dinyatakan Ibnu Baz, “Poligini itu untuk

224 Andre Syahreza, hal. 26.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 97


kebaikan wanita itu sendiri, karena ada yang merawat, ada yang
menjaga, dan ada yang mengasih nafkah, bagi perempuan lebih baik
ia mempunyai setengah, sepertiga dan atau seperempat dari pada
tidak menikah dan tidak memiliki suami225.
Di masyarakat yang menolak poligini lebih banyak terjadi
penyelewengan seksual. Seperti masyarakat Barat menganut
poligini hepokrit226. Sedangkan di masyarakat yang boleh menikah
lagi banyak yang melakukan bentuk-bentuk praktek poligini yang
diselewengkan dan bentuk-bentuk penyelewengan poligini227. Bentuk
penyelewengan poligini dan bentuk poligini yang diselewengkan
akan timbul permusuhan, marah, dendam, dan sampai bentuk KDRT
dalam kehidupan berumah tangga.

225 Lilis Suaedah, hal. 43.


226 Mereka mempraktekan perkawinan monogami dan kawin tak terceraikan, bila
terjadi tidak harmonisa, untuk bercerai tidak mungkin, karena ajaran agama
mengajarkan tidak perceraian dalam perkawinan. Sedangkan masing-masing
mereka masih membutuhkan seksual dan bila ingin menikah lagi juga tidak
mungkin takut berdosa. Maka untuk memuaskan hasrat seksual dangan cara
selingkuh, kumpul kebo, memiliki PIL dan WIL, punya pacar gelap, dll. Seakan-
akan mereka beristri dua, tiga, empat, dan tidak terbatas tapi mereka tetap dalam
ikatan perkawinan dengan istri, keadaan ini mereka sebut, “Pisah Ranjang dan
pisah menja makan”.
227 Dimaksud “poligini yang diselewengkan” adalah, bentuk poligini liar. Mereka
berpoligini tidak memenuhi syarat sah suatu perkawinan. Bila dilihat dari sisi mana
saja, seperti mereka menikah tanpa ada izin dari wali dan saat menikah walinya
orang lain, bukan ayah calon penganten perempuan. Mereak menikah karena
dorongan nafsu belaka atau lantara calon istri telah hamil atau tidak disetujui
tetapi mereka nekat menikah juga secara diam-diam.
Sedangkan bentuk “penyelewengan poligini” adalah, mereka menikah benar melalui
prosedural yang berlaku baik yang diatur dalam hukum positif maupun Hukum
Islam, tapi di dalam kehidupan berumah tangga mereka tidak adil, tidak bijak dan
tidak arif. Seringkali suami lebih sayang, lebih cinta dan lebih segalanya sama yang
muda, dan/atau sama yang tua. Banyak kita lihat istri tua punya rumah bagus, punya
mobil, dan punya segalanya, tapi istri muda ditelantarkan.

98 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Keadaan semacam itu, benar apa yang dinyatakan Murtadha
Muthahhari, Abd. Nashir Taufiq al Atthar berkata bahwa, titik lemah
dari poligini bukan terletak pada institusi (lembaga) poligini itu
sendiri, tetapi semua itu terletak pada laki-laki yang lebih bersifat
poliginis228. Setelah mereka berpoligini tidak mampu berlaku adil
terhadap istri-istri serta anak-anaknya yang telah menjadi tanggung
jawabnya. Poligini dijadikan pelampiasan hawa nafsu belaka. Bila
dilihat dari sisi mana saja, “Pak Madih belum termasuk pantas untuk
berpoligini, rumah saja masih tinggal, numpang sama mertua. Eh, dia
blagu make menikah lagi”229
Memang secara naluriyah biologis laki-laki bersifat poligini dan
perempuan lebih bersifat monoginis. Tapi apakah yang bersifat
monoginis tidak mau dipoliginis? Lilis Suaedah dalam desertasi
doktor telah membuktikan bahwa, banyak perempuan yang mau
serta rela dimadu, sekalipun tidak diperlakukan secara adil telah
mereka menikah dan menjalani kehidupan berumah tangga230.
Lilis Suaedah menemukan kasus ibu Yr (nama samaran) yang
menganjurkan suami, Pak G (nama samaran) untuk menikah lagi.
Ibu Yr rela dan ikhlas dimadu. Ibu Yr jujur merasa kurang bisa
memenuhi hasrad suami231.

228 Abd Nasir Taufiq al Atthar, hal. 205.


229 Kisah nyata pada masyarakat Betawi banyak yang berpoligini belum termasuk
katagori mampu tapi memaksa berpoligini, salah satunya kasus Pak Madih yang
tinggal di bilangan Jakarta Barat.
230 Desertasi Lilis Suaedah berjudul; Perspektif Pelaku Poligini Terhadap Poligini: Studi
Kritis Terhadap Perilaku Pelaku Poligini, 2012. Lilis melakukan studi lapanagn di
empat daerah dengan rincian, dua Daerah tinggi kasus poligininya, yaitu: Karawang
dan Banten. Satu daerah hanter – Daerah penyanggah Ibu Kota, yaitu: Bekasi
ternyata cukup tinggi kasus poligininya dan yang satu Ibu Kota Jakaerta yang sudah
tinggi budaya serta pradabannya dan ternyata juga, banyak kasus pologininya.
231 Lilis Suaedah, hal. 108.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 99


Dalam buku, Menindjau Masalah Poligami, karya Solchin Salim,
1959 banyak diketemukan perempuan yang ingin serta suka dimadu.
Jadi secara realita poligini bukan saja datang dari pihak laki-laki saja,
ternyata banyak wanita yang suka, mau, rela serta ikhlas diduakan
cintanya dalam kehidupan rumah tangganya. Walau banyak pakar
berasumsi, laki-laki bersifat poliginis dan perempuan lebih bersifat
monoginis, namun realita di masyarakat terbalik ada perempuan
suka serta mau dipoligini232.
Harapan dan intensitas untuk menikah diwarnai oleh apa yang
mereka lihat dari keluarga asal dan disertai mimpi-mimpi indah,
ingin lebih baik lagi. Setiap pasangan yang baru menikah selalu
berusaha melakukan apa saja yang mungkin bisa dilakukan agar
kehidupan rumah tangga mereka sampai ke arah dicita-citakan.
Berjalannya waktu, keadaan, serta yang lainnya, maka terjadi
perubahan-perubahan dalam hubungan hidup berumah tangga
antara suami-istri, misalnya timbul ketidak puasaan, perbedaan
prinsip dan pandangan, ada rasa kekecewaan, dan banyak lagi.
Lalu timbul konflik-konflik terbuka, sehingga tidak lagi dapat
dipertahankan. Suami –istri mencari jalan keluar masing-masing,
perbedaan semakin jauh, banyak diantara mereka mencari solusi
kepuasan bathin dengan cara selingkuh, main perempuan bagi suami
dan ke jigolo bagi istri. Orang ketiga telah masuk dalam kehidupan
rumah tangga mereka233. Mungkin bagi suami yang masih beriman

232 Norryamin Aini; Poligami Dalam Perspektif Islam dan Feminisme (Makala) yang
disampaikan dalam, Seminar Nasional Poligami dalam Perspektif Islam dan
Feminsme, PMII, Depok, 24 November 2000, Balai Pertemuan Djiko Sutono, UI
Depok.
233 Soesmalijah Soewondo; Poligami dan Permasalahan perkawinan (Keluarga) Ditinjau
dari Aspek Psikologi (Makalah), Seminar Nasional Undang-Undang Perkawinan
dan Perspektif Masyarakat Indonesia Kontemporer, Fakultas Hukum UI, Depok,
22-11-2000.

100 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


menikah lagi secara diam-diam dan menikah di bawah tangan akan
ditempuhnya dari pada selingkuh yang haram hukumnya.
Seringkali mereka mengambil jalan pintas, yaitu: “Berselingkuh”234
dengan dalih agar rumah tangga tetap utuh terjaga. Namun
kebutuhan akan seks tetap terjaga, maka selingkuh atau main
perempuan atau main dengan laki-laki mana saja asalkan keutuhan
rumah tangga tetap terjaga. Malu kalau sampai keluarga terhormat
berantakan tetapi mereka (suami-istri) tersebut tidak malu bila
diketahui sedang selingkuh. Cara ini mereka tempuh demi untuk: (i).
Menjaga perkawinan mereka tetap utuh dan tak bercerai, (ii). Merasa
malu kalau sampai bercerai, karena mereka orang terpandang,
orang yang terhormat, (iii). Kalau mereka sampai bercerai pasti
keluarga berantakan dan anak menjadi broken home, (iv). Apa kata
orang kalau sampai mereka bercerai, dan (v). Masih banyak lagi
alasan-alasan yang mereka lontarkan untuk pembenaran sebuah
perselingkuhan. Menurut Will Durant, Grouteus, Schopenhauer,
Lebon, Gustave le Bon, Murtadha Muthahhari, Abd Nashir Taufiq
al Atthar, Anne Beazant, Lady Cocke, Anne Road, Ichtianto, Jamilah
Jones, cara ini banyak dilakukan masyarakat Barat235.
Poligini terselubung penyebabnya kebanyakan sebagai yang
tersebut di atas. Sedangkan poligini yang dilakukan secara diam-
diam atau tersembunyi dan nikahnya di bawah tangan bisa
disebabkan suami tidak ada keberanian untuk menyatakan terang-

234 Menurut, Soesmalijah Soewondo, selingkuh (perselingkuhan) adalah, ketidak


setiaan terhadap pasangan, artinya kalau yang selingkuh suami berarti ia tidak
setia terhadap istrinya dan begitu sebaliknya.
235 Lebih jelas periksa buku, karya: Elizabeth Abbott; Mistresses A History of the
Other Women, terjemah: Anik Soemarni menjadi: Wanita Simpanan: Kontroversi
Selingkuhan Tokoh-Tokoh Dunia dan Orang Suci hingga Politisi, dari Zaman Kuno
hingga Era Kini (Jakarta Pustaka alvabet), cet ke-1, 2013.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 101


terangan kepada istri ingin menikah lagi akan tetapi suami tersebut
benar ingin menikah lagi, penyebab diantaranya: (i). Pacar telah
hamil, (ii). Dahulu menikah merasa dijodohi dan terpaksa menikah
dengan pilihan orang tua atau keluarga, (iii). Ingin mencari kepuasan
selsual, (iv). Tidak merasa cukup kalau hanya satu orang istri, (v).
Muncul merasa bosan hubungan seksual dengan istri, (vi). Ingin
membuktikan kalau mereka (suami) masih merasa jantan, (vii). Ada
sahabat lama (mantan pacar) perempuan minta dinikahi, dan (viii).
Banyak lagi. Benar klaim Departemen Agama dalam memaparkan
data perceraian bahwa, sepanjang tahun 2005/2006 kisaran 15
sampai 35 persen akibat praktek poligini tidak sehat236.

B. Sebab-sebab Terjadi Poligini


Di atas telah dijelaskan bahwa, masyarakat ada pro dan ada
kontra serta anti poligini. Kelompok atau golongan yang kontra
atau anti poligini jelas tidak akan mengakui adanya sebab-sebab
pendorong terjadinya poligini. Bagi mereka yang ada hanya keinginan
sebagian kecil laki-laki untuk mencari kenikmatan dan kepuasaan
seksual belaka dengan cara ilegal, seperti selingkuh, cari pacar gelap,
jajan di tempat-tempat prostitusi atau mencari perempuan kesepian
yang bisa dan mau diajak kencan sesaat. Sedangkan bagi mereka
yang bermoral dan masih memegang ajaran agama ketat lebih baik
menikah lagi dari pada melakukan hal-hal yang tidak terpuji lagi
ilegal. Mereka lebih memilih berpoligini sekalipun tanpa izin, atau
menikah lagi secara diam-diam, nikah di bawah tangan dan tidak
berlaku adil dari pada selingkuh atau main perempuan jalang di
rumah lacur.

236 Noeryamin Aini, (Makalah), 24 November 2007.

102 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Yang menjadi penyebab terjadinya poligini banyak sekali,
diantaranya237:
a). Seorang perempuan (istri) itu terkadang terkena penyakit yang
tidak bisa diharapkan kesembuhannya atau tertimpah penyakit
menular. Sedangkan suami masih butuh pelayanan perempuan
(istri), maka akan timbul dua pilihan menikah lagi atau main
perempuan.
b). Pada umumnya jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki.
Hal ini telah dibuktikan Lilis Suaedah dalam penelitian untuk
desertasi doktor tahun 2012238. Raullullah Saw telah memprediksi
dalam suatu hadist menyatakan, “Suatu hari nanti seorang laki-
laki akan didampingi empat puluh orang perempuan” (H.R al
Bukhari)239. Banyak sebab yang menyebabkan perempuan akan
lebih banyak jumlahnya dari pada laki-laki, diantaranya: (i).
Kebanyakan laki-laki bekerja di tempat-tempat yang berat dan
keras, sehingga banyak laki-laki yang wafat akibat kecelakaan
kerja, (ii). Di tempat-tempat bencana alam, di tempat-tempak
kebakaran banyak laki-laki yang bekerja di sektor itu, sehingga
banyak laki-laki yang tewas, (iii). Di Daerah konflik dan perang
kebanyakan laki-laki, dan (iv). Banyak sebab lain, diantaranya,
yaitu, usia perempuan lebih panjang dari pada laki-laki240.
c). Untuk memperbanyak keturunan. Rasulullah Saw bangga
mempunyai ummat yang banyak241. Dengan banyaknya ummat

237 M A. Joda al Maula Byk, 46.


238 Lilis Suaedah; Perspektif Pelaku Poligini Terhadap Poligini, 2012.
239 Musfir aj Jahrani, hal. 63.
240 Sebagaimana dibuktikan Lilis Suaedah bahwa, di RT 01 WR 016 Kelurahan Joglo,
Kembangan Jakarta Barat jumlah ada 7 orang, sedangkan jumlah duda 0 orang.
241 Seperti hadist yang diriwayatkan Abu Daud, Rasulullah Saw bersabda, “Nikahilah
wanita yang mencintaimu dan yang mampu beranak. Sesungguhnya aku akan

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 103


Islam akan: (i). Berdampak positif bagi perkembangan Agama
Islam, (ii). Banyaknya ummat Islam sebagai kekuatan Agama
Islam, (iii). Banyaknya Ummat Islam, maka kaum muslim
akan ditakuti dan disegani. (iv). Banyaknya Ummat Islam bisa
menguasai sektor-sektor strategis di semua sektor kehidupan,
dll.
Menurut, M. A. Joda al Maula Byk, jadi mencegah poligini bisa
mengakibatkan berkurangnya kaum muslimin. Berkurangnya kaum
muslimin bisa berakibat kekuatan ummat Islam berkurang, menjadi
lemah, bila sudah lemah muda diobrak-abrik ummat lain. Suatu
fakta yang paling menarik, dimana ada suatu kaum yang melarang
poligini, namun di mana kaum tersebut justru sering melakukan
kejahatan seksual secara ilegal, seperti selingkuh, atau menjual diri,
baik sebagai pelacur untuk perempuannya dan menjadi jigolo untuk
prianya. Rumah bordil selalu ramai setiap saat242.
1. Sebab-sebab yang umum.
Cendikiawan Muslim dan non-muslim yang menerima poligini
dengan sukarela mengakui ada sebab-sebab yang mendorong terjadi
poligini. Dari kalangan cendikiawan Muslim bisa disebut, Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha, Abd Nashir Taufiq al Atthar, Hammudah
Abd al Ati, Abdullah Nashih ‘Ulwan, Ibnu Baz, Huzaimah T. Yanggo,
dan lainnya. Sedangkan dari non-muslim ada, Anne Road, Lady
Cocke, Thomas, dll. Pada prinsipnya mereka menyatakan, sebab
yang umum dibolehkannya poligini adalah, (i). Istri mandul, (ii).
Istri menderita sakit berkepanjangan dan kemungkinan tidak

merasa bangga mempunyai ummat yang banyak”. Lihat, Muhammad Faiz Allmath;
Qobasun Min Nuri Muhammad Saw (Damsyik: Daarul Kutub Alaarabiyah, 1794).,
hal. 225.
242 M. A, Joda al Maula Byk, hal. 48. Juga, Abdul Nasir Taufiq al Atthar, hal. 221.

104 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


dapat disembuhkan, (iii). Istri pergi tidak diketahui, dan (iv). Istri
menghendaki itu, suami berpoligini.
Argumentasi ini ternyata digunakan politik hukum suatu Negara
dan termasuk politik hukum pemerintah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, sebagaimana tertuang di dalam UU No. 1/1974 Tentang
Pokok-Pokok Perkawinan, dimana diatur dalam Pasal 4 ayat 2,
Pengadilan dimaksud dalam ayat 1 Pasal 4 ini hanya memberikan
izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang istri:
a). Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b). Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
c). Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Dibolehkan poligini sebagai mana tersurat dalam al Qur’an tidak
disebabkan, karena istri mandul, atau istri mendapat cacat badan,
atau terkena penyakit yang tidak bisa membuh, sehingga tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Tetapi poligini itu
suatu aturan Allah atau bisa berupa perintah Allah, meski tanpa
ada darurat menurut istilah ulama kontemporer243, poligini boleh
dalam ajaran Islam.
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin bila mereka di
panggil Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di
antara mereka, ialah ucapankan: Kami mendengar dan kami patuh,
dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Q.S 24: 51).
Begitu juga dalam surat al Ma’idah, ayat 44 dinyatakan orang-
orang yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah SWT, maka mereka disebut: “Orang-orang kafir”. Pada ayat 45

243 Muhammad Quraish Shihab; Wawasan al Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Ummat, hal. 200.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 105


di surat yang sama, disebut: “Orang-orang yang dzalim”, sedangkan
pada ayat 47 di surat yang sama, disebut: “Orang-orang fasik”.
Sesungguhnya peraturan poligini ini menurut, Miftah Faridl justru
antara lain, untuk menyelamatkan kaum wanita itu sendirir 244.
Sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah Saw terhadap istri-
istrinya245.
Masalah atau aturan poligini bukan aturan baru dan bukan juga
aturan yang dibawa Islam. Masalah poligini jauh telah ada sebelum
Islam turun. Justru Islam memberikan batasan jumlah istri yang
boleh dinikahi serta syarat poligini yang tidak boleh dilanggar.
Poligini tanpa batas terjadi sebelum Islam datang. Sebagai bukti
banyak sahabat-sahabat Rasulullah Saw sebelum masuk Islam
beristri tanpa batas. Setelah masuk Islam istri-istri mereka dibatasi,
yaitu hanya boleh mempunyai empat orang istri saja.
2. Sebab-sebab yang khusus.
Kebanyakan orang menilai dalam masalah poligini ini acapkali
istri ditempatkan di posisi lemah tak berdaya, artinya bila suami
hendak menikah lagi, istri selalu disalahkan dan dituduh serta
dicari-cari kesalahan istri, seperti istri mandul, istri penyakitan, istri
tidak bisa mengurus suami, istri cerewed, dll, seakan-akan mereka
menjaktis istri yang salah. seakan-akan sebab-sebab itu yang tidak
bisa dipungkiri wanita (istri). Di dalam masyarakat sering didengar,
“Pantas Pak Hasan menikah lagi, karena istrinya tidak bisa mengurus
rumah, anak dan dirinya sendiri. Suami mana yang betah di rumah
kalau punya istri, seperti istri Pak Hasan”.

244 Miftah Faridl; 150 Masalah Nikah dan Keluarga (Jakarta: Gema Insani Press, 1999),
hal. 131.
245 Lutfiyah Sungkar; Sewaktu diwawancarai Majalah Syar’ah, 2008.

106 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Memang tidak dapat dipungkiri, dibanyak penelitian serta
pengkajian secara ilmiah ada benarnya juga pendapat seperti itu di
atas, hal ini membuktikan bahwa, wanita (istri) memiliki beberapa
kelemahan setelah menikah. Seperti yang pernah ditanyakan,
seorang peneliti, “Mpok tampil selebor amat di rumah?”. Apa jawabnya
seorang Mpok tersebut, “Dasaran gua udah laku”. Maknanya, sudah
menikah. Eh, setelah tahu suaminya menikah lagi, ia baru mau
berbena diri lagi, baru mau merias diri, baru mau berpenampilan
rapih246.
Disamping itu memang ada kelemahan perempuan (normal)
secara alami, yaitu: (i). Daur menstruasi setiap bulannya, (ii).
Masa kehamilan, dan (iii). Masa nifas yang cukup panjang pasca
melahirkan. Dua keadaan yang utama, yaitu haid dan nifas seorang
istri tidak boleh melayani suami. Bagi yang beriman lagi sholeh bisa
menjaga diri dengan berpuasa247 tapi bagi suami yang tipis iman lagi
nakal bisa saja ke rumah bordil atau selingkuh. Bila istri sedang tidak
bisa memuaskan hasrad seksualnya.
Dari pada itu juga, untuk sekarang ini mudahnya terjadi
pertemuan dan perkenalan antara pria dan wanita, mereka bergaul
lain jenis menjadi biasa di semua sektor formal dan informal yang
sering dikunjungi mereka. Di sektor formal, semakin banyak wanita
bekerja, wanita karier, wanita profesional dan mereka pada umumnya
bekerja di luar rumah hingga pulang larut malam, dan ditambah
semakin banyak perempuan yang keluyuran tanpa tujuan di luar

246 Periksa, Ya’kub HAR, Pelecehan Hak-Hak Wanita, hal. 19.


247 Rasulullah Saw bersabda, “Siapa yang sanggup di antara kamu menafkahi perempuan,
hendaklah menikah, karena menikah itu bisa menundukkan pandangan, memelihara
kehormatan, dan bagi yang belum sanggup menafkahi, maka berpuasalah, itu
sebagai pelindung terbaik bagimu“ (HR Muttafaqun alaih dari Ibnu Mas’ud). Periksa,
Muhammad Faiz Almath, hal. 98.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 107


rumah baik di siang hari maupun di malam hari. Di sektor informal,
seperti di tempat-tempat hiburan, pusat-pusat perbelanjaan, di
terminal-terminal, dan di halte-halte banyak dipenuhi laki-laki dan
perempuan. Di tempat seperti itu mereka bertemu dan berkenalan,
sering bertemu menimbulkan keakraban, yang masih lajang mungkin
terus berpacaran, yang memiliki pasangan mungkin selingkuhan.
Cara-cara seperti itu banyak mereka tempuh agar keluarga tetap
utuh tapi kebutuhan dan kepuasan seksual tetap mereka dapatkan
secara gratisan.
Pada umumnya wanita yang lemah mudah terpengaruh bujuk
rayu laki-laki jalang yang mata keranjang. Untuk menolak itu tidak
mungkin, mereka sudah merasa akrab, “tidak enak kalau ditolak” dan
akhirnya sudah merasa saling membutuhkan, maka perselingkuhan
yang mereka tempuh, “enak, nikmat dapat gratisan tapi keluarga
tetap utuh”.
Disinilah berat kontrol biduk rumah tangga di zaman ini.
Salah mengontrol bisa-bisa rumah tangga hanya sebagai tempat
persinggahan di malam hari yang diingin. Tak ubahnya rumah
tangga baikan, “halte” tempat persinggahan sesaat untuk mengganti
kendaraan lain. Untuk mengatasi masalah tersebut, hendaklah
masing-masing mereka (suami-istri) serta anggota rumah tangga
yang lainnya, berusaha memperbaruhi kelemahan yang terjadi dan
terdapat di masing-masing mereka, jika hal itu dibiarkan terus tanpa
adanya jalan keluar (solusi) sudah dapat dipastikan kehancuran
rumah tangga tinggal di depan mata. Terlebih mereka (suami-istri)
telah memiliki gacoan (pacar gelap) masing-masing, maka anak yang
menjadi korban utamanya.
Ternyata bukan saja istri yang memiliki kelemahan yang
menyebabkan ia (suami) ingin menikah lagi. Menurut, Abd Nashir

108 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Taufiq al Atthar, kadang-kadang laki-laki berpoligini, karena sebab-
sebab yang khusus bagi dirinya sendiri, umpamanya dia ingin
berketurunan, atau dia jatuh cinta lagi kepada perempuan lain, dan
kadang-kadang laki-laki tidak merasa puas dalam bergauul dengan
istrinya, karena istrinya tidak dapat meladeni sebagaimana yang
biasa diharapkan oleh para suami dari istri-istri mereka. Sehingga
suami terpaksa berpoligini248.
Banyak psikolog dan antropolog Barat, seperti Schmidt dari
Jerman, Robert Kinsey ahli riset dari Amerika Serikat dan Henri
de Montherlan dari Perancis berkata, bahwa pria sejak lahir
berwatak poliginis249. Pandangan ini diperkuat pendapat, Russell
Lee yang berkata, wanita menurut wataknya bersifat monoginis
akan tetapi kaum pria menurut bawaannya tidaklah monoginis
dalam pengertian bahwa, poligini tidaklah bertentangan dengan
wataknya250. Sedangkan Ahmad Syauqi al Fanjari memprediksi,
mungkin juga si suami ingin mencari variasi dalam hal hubungan
seksual terhadap wanita yang lain yang baru251.
Lalu timbul satu pertanyaan: Apakah yang bersifat dan watak
monoginis tidak suka dan tidak mau dipoliginis?
Ternyata dalam penelitian yang dilakukan Lilis Suaedah untuk
desertasi doktor banyak diketemukan bahwa, wanita banyak juga

248 Abd Nasir Taufiq Al Atthar, hal. 24.


249 Murtadha Muthahhari, hal. 218.
250 Murtadha Muthahhari, hal. 239.
251 Ahmad Syauqi al Fanjari; at Thibbul Wiqo’i, terjemah Ahsin Wijaya dan Totok
Jumantoro; Nilai Kesehatan dalam Syariat Islam (Jakarta: Bumiaksara, 1996), hal.
181.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 109


yang suka serta rela dipoligini sekalipun tidak diperlakukan secara
adil dan bijak252.
Berikut ini akan dijelaskan sebab-sebab yang khusus terhadap
pendorong terjadi poligibi, yaitu:
I. Pihak Istri.
Karena ada sebab-sebab tertentu sehingga seorang istri tidak
bisa melayani suami untuk sementara waktu dan/atau juga untuk
jangka waktu selama-lamanya, seperti:
1. Kelemahan perempuan itu sendiri.
Seorang wanita (istri) memang memiliki titik kelemahan. Titik
kelemahan itu ada yang bersifat alami dan ada juga yang bersifat
tidak alami (temporer). Kelemahan yang bersifat alami-mutlak,
seperti mandul253. Sedangkan kelemahan yang bersifat tidak alami

252 Desertasi doktor Lilis Suaedah, Perspektif Pelakuk Poligini Terhadap Perilaku Pelaku
Poligini, 2012.
253 Mandul adalah tidak dapat melahirkan anak keturunan. Mandul ini bisa datang dari
pihak istri dan bisa juga dari pihak suami. Sebenarnya norma sosial, norma agama
dan norma hukum telah memberik solusi atau jalan bagi keluarga mandul, seperti
mengangkat anak, mengasuh anak orang lain. Bila yang mandul dari pihak istri,
suami dipersilahkan untuk menikah lagi bila istri yang mandul tetap dipertahankan.
Bila tidak mau dimadu bisa menempuh bercerai dengan baik. Tapi bila suami yang
mandul, istri bisa minta dicerai dengan cara baik-baik atau mengangkat anak tapi
istri tidak boleh (haram) mempoliandri suami. Menurut peneliti Ahmad Syauqi al
Fanjari, kemandulan biasanya 70% dari pihak istri dan 30% dari pihak suami.

110 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


(temporer), seperti daur menstruasi254, masa kehamilan255, dan masa
nifas256. Ketiga jenis kelemahan ini tidak bisa ditolak oleh setiap
wanita yang normal.

254 Menurut pandangan Mazhab Sunni masalah menstruasi, sebagai berikut:


a). Mazhab Hanafi, haid itu paling sedikit 3 hari dan paling lama 10 hari. Haid itu pasti
terjadi pada setiap wanita. Kemudian bila terjadi ada perubahan dan penambahan,
maka tambahan dianggap haid asalkan tidak melebihi dari 10 hari. Misal, bisa masa
haidnya 3 hari, kemudian menjadi 4 hari atau 7 hari, maka tambahan itu tetap
dianggap haid, sebab tidak melebihi dari 10 hari. Namun bila lebihnya sampai 12
hari, misalnya, maka yang 2 hari itu bila darah masih keluar bukan darah haid lagi,
tapi darah istihadhah
b). Mazhab Maliki berpendapat bahwa, haid paling sedikit itu tidak ada batasnya dalam
hubungan peribadatan atau ibadah. Bukan dari segi darah yang keluar, bukan pula
dari segi zaman (waktu atau masa). Maka jika ada darah yang keluar sekali hanya
sebentar, itupun darah haid. Adapun hubungannya dengan iddah dan cerai, maka
paling sedikit haid itu selama sehari atau setengah hari. Dari segi darah yang keluar,
maka tidak ada batasan berapa banyak darah yang keluar itu. Tidak bisa ditentukan
1 liter, misalnya atau lebih sedikit. Adapun dari segi masa, maka haid itu 15 hari bagi
pemula selama orang hamil.
c). Mazhab Hambali berpendapat bahwa, masa haid itu paling sedikit adalah sehari
semalam.
d). Mazhab Syafi’i, masa haid yang paling sedikit semalam dengan syarat darah-darah
itu keluar pada masa haid yang biasanya dimana kalau disumbat dengan katun,
dan katun itu menjadi basah tercemar. Adapun masa haid yang paling lama 15 hari.
Mendapat ini sama dengan Mazhab Maliki dan Hambali, sedangkan Hanafi 17 hari.
Periksa, Syaikh Ali Jaad al Haq; Ahkam al Syari’ al Hadist al Islamiyah fi Masaa’il
Thibiyah ‘an Ammraadha al Nisaaiyyah, terjemah: Darsim Eraya Imam Fajaruddin,
menjadi: Kedokteran dan Masalah Kewanitaan dalam Islam (Jakarta: Khazanah
Ilmu, 1996). Hal. 55-56.
255 Memang tidak ada larangan melakukan hubungan seksual kepada istri yang sedang
hamil. Hanya saja masa kehamilan sudah memasuki usia tujuh bulanan mungkin
ada rasa iba bila masih melakukan hubungan seksual. Terus teruskan kelahiran dan
masa nifas yang cukup panjang. Mungkin logika hukum poligini sebagai solusinya
dari pada bermain serong.
256 Masa nifas, an Nawawi berkata, “Nifas adalah darah yang keluar sesudah masa
persalinan”. Fuqaha yang lain pun berkata demikian. Menurut ahli bahasa, nifas itu
berarti bersalin (melahirkan). Bila wanita melahirkan pasti mengeluarkan darah

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 111


Kelemahan wanita yang bersifat tidak alami, karena ada sesuatu
hal dan keadaan, seperti penyakit yang berkepanjangan sehingga
tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai seorang istri. Menurut
Ahmad Syauqi al Fanjari memang ada penyakit yang tidak bisa
disembuhkan, maka dalam kondisi seperti ini Allah mensyari’atkan
poligini agar dimana istri yang sedang keadaan sakit masih tetap
dalam pemeliharaan dan perlindungan suaminya, tentu yang
demikian lebih baik dari pada meninggalkan permasalahan tanpa
penyelesaian257.
Tak syak lagi kata Murtadha Muthahhari bahwa, haid bulanan
pada wanita, sebagaimana juga kelesuan sesudah melahirkan,
menempatkan wanita dan suaminya dalam posisi seksual berbeda
dan bisa menimbulkan situasi dimana pria cenderung mencari
wanita lain. Namun, tidak ada dari kedua faktor tersebut di atas
yang dengan sendirinya menjadi penyebab poligini, kecuali apabila
sungguh-sungguh ada halangan moral atau sosial yang mengekang
pria dari memuaskan nafsu seksualnya dengan mengambil wanita
simpanan secara bebas. Oleh karena itu, kedua faktor tersebut hanya
akan efektif apabila ada keadaan yang menghalangi pria untuk
bertindak bebas sepenuhnya dalam keserba-bebasan seksual258.
Status janda juga termasuk salah satu bentuk kelemahan seorang
wanita, dengan status tersebut banyak menimbulkan fitnah dan
prasangka buruk di masyarakat pada satu sisi. Di sisi yang lain,
seorang janda selalu mendapat gunjingan sebagai wanita “penggoda
yang sudah kegatelan”. Mereka sering dimaki, sering dicurigai dan
sering dicemburui perempuan-perempuan bersuami. Perempuan-

nifas. Hukum nifas sama dengan haid. Maka wanita yang sedang nifas tidak boleh
digauli.
257 Ahmad Syauqi al Fanjari, hal. 183.
258 Murtadha Muthahhari, hal. 216.

112 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


perempuan bersuami selalu curiga dan takut suaminya direbut janda
tersebut. Maka untuk itu, nasib janda harus diperhatikan. Begitu
kira-kira pendapat Sayyid Muhammad Rasyid Ridha yang berkata,
terutama janda-janda yang sudah tua renta harus diperhatikan
nafkah lahiriyah dan perlindungan pada hari tuanya259. Sebagaimana
telah dicontohkan Rasulullah Saw terhadap istri-istrinya yang
kebanyakan sudah tua renta dan bahkan istri pertama beliau seorang
janda yang sudah masuk katagori tua.
2. Istri yang telah dicerai ingin kembali lagi.
Rumah tangga yang tidak dibina dengan baik, arif lagi bijak,
sering terintimidasi keretakan dan terancam perceraian karena
rumah tangga tersebut tidak adanya keharmonisan yang mungkin
saja sejak awal pernikahan sudah ada masalah di keluarga itu. Padahal
diantara mereka (suami istri) telah mengirim utusan (hakim) untuk
melakukan musyawarah perdamaian. Sebagaimana telah syari’atkan
Islam dalam Surat an Nisaa, ayat 35 , “Dan jika kamu khawatir ada
persengketaan antara keduanya (suami istri), maka kirimlah seorang
hakam dari keluarga suami dan seorang hakam lagi dari keluarga
istri. Kedua orang hakam itu bermusyawarah untuk perbaikan, niscaya
Allah memberikan taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. Namun bila perdamaian itu
gagal, maka Allah memberikan solusi yang terakhir, yaitu: Cerai260.
Perpisahan sudah tidak mungkin lagi dapat dihindari hanya
cara itu yang dianggap paling baik. Sehingga perceraian itu suatu
perbuatan yang menyakitkan kedua bilah pihak dan membawa

259 Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, hal. 56.


260 Periksa buku, Javanese Divorce: A Study of The Dissolution of Marriage Among
Javanese Muslim, terjemah: Zaini Ahmad Noeh; Perceraian Orang Jawa (Jogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1989).

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 113


dampak buruk lagi luas, terlebih ada anak-anak akan menjadi
korbannya, hubungan dua keluarga besan menjadi pecah, status
istri menjadi janda dan status suami menjadi duda. Di mata
masyarakat rumah tangga tersebut dinamakan rumah tangga yang
berantakan. Mungkin, karena dampak-dampak tersebut agama
Kristen mengharamkan perceraian261. Sedangkan syari’at Islam
boleh bercerai sebagai jalan terakhir. Allah SWT sendiri sangat benci
perceraian, sebagaimana hadist riwayat Abu Daud dan Ahmad,
“Talak (cerai) adalah suatu yang halal sangat dibenci Allah”262.
Di dalam Hukum Positif Indonesia tentang perkawinan diatur,
perkawinan dapat putus, karena: (a). Kematian, (b). Perceraian, dan
(c). Atas putusan pengadilan263. Adapun alasan-alasan dibenarkan
melakukan perceraian, menurut Pasal 39 ayat 2 sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan
kembali.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua
tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa
alasan yang dibenarkan dan sah atau karena hal lain di luar
kemauannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun
atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung.

261 Dua ciri ajaran Gereja, yaitu: (i). Pernikahan menganut asas monogami, dan (ii).
Perkawinan tak terceraikan.
262 Muhammad Faiz Almath, hal. 235.
263 Periksa Pasal 38 UU No. 1/1974 tentang perkawinan.

114 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain264.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai suami atau istri.
f. Antara suami-istri terus menerus terjadi perselisihan,
pertengkaran, dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam rumah tangga.
Mahmud Yunus menyatakan perceraian dapat dibagi menjadi:
a. Hak talak (cerai) dapat dilaksanakan oleh suami: (i). Apabila
istri berbuat zina, (ii). Apabila istri tidak mau mentaati
suami untuk bertingkah-laku secara terhormat, (iii). Apabila
istri suka mabuk dan berjudi, (iv). Apabila istri bertingkah-
laku mengganggu ketenteraman rumah tangga, dan (v).
Apabila ada hal-hal atau masalah lain yang menyebabkan
tidak mungkin penyelenggaraan rumah tangga yang damai
dan teratur.
b. Hak khulu’ dapat dilaksanakan oleh istri: (i). Apabila ia
khawatir tidak dapat melakukan ibadah kepada Allah dalam
kelangsungan perkawinan, (ii). Apabila ia khawatir tidak
dapat taat kepada suaminya karena ia benci kepadanya, (iii).
Apabila suami berbuat zina, (iv). Apabila suami suka mabuk,
judi dan berlaku kasar, (v). Apabila ada hal-hal atau masalah
lain yang menyebabkan tidak mungkin penyelenggaraan
rumah tangga yang damai lagi teratur.
c. Hak fasakh dapat dilaksanakan oleh suami atau istri: (i).
Apabila suami atau istri menderita sakit gila, (ii). Apabila

264 UU No. 23/2004 Tentang KDRT.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 115


suami atau istri mendapat sakit kusta, (iii). Apabila
suami atau istri menderita sakit sopak (sakit belang di
kuliat), (iv). Apabila suami atau istri menderita penyakit
yang mengakibatkan mereka tidak dapat melakukan
persetubuhan (jima’), seperti peluh (impotent), hilang
zakar (suami) atau istri rataq (tertutup kemaluannya),
(v). Apabila suami terlalu miskin sampai tidak mampu
memberikan nafkah (makan, pakain dan tempat tinggal),
dan (vi). Apabila suami hilang tidak diketahui rimbanya
selama empat tahun juga tidak diketahui, apakah masih
hidup atau telah meninggal265.
Terkadang pradiksi dan teori para pakar berbeda dengan
kenyataan hidup yang ada di lapangan. Seorang janda ternyata lebih
bisa bertahan hidup menjanda (tidak kawin lagi) ketimbang duda
(laki-laki jarang atau laki-laki tidak mau kawin) hidup menduda.
Begitu perkawinan mereka kandas di tengah jalan, biasanya laki-
laki berusaha secepat mungkin mencari penggantinya. Terlebih bila
diserahi tanggung jawab anak-anak ia secepat mungkin mencari istri
baru agar anak-anak ada yang mengurus, mengasuh, merawat, ada
yang masak, mencuci, membereskan serta membersihkan rumah
dan lain sebagainya.
Tatkala mantan suami menikah lagi, mantan istri dengan
pelbagai pertimbangan mengajak rujuk kembali. Mungkin merasa
kesepian, merasa rindu saat-saat mesrah bersama, atau si kecil selalu
mencari-cari ayahnya, atau sulit untuk membagi harta bersama, dll.
Atas pertimbangan tersebut istri mengajak rujuk kembali. Di banyak

265 HM Djamil Latif; Aneka Hukum Perceraian di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1985), cet ke-3, hal. 33-34. Juha, Hisako Nakamura; Perceraian Orang Jawa (Jogyakarta:
Gadjah Mada Press, 1989), hal. 32-33.

116 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


kasus dahulu istri pertama berstatus menjadi istri tua setelah rujuk
pasca perceraian pertamanya berubah status, istru pertama menjadi
istri muda (istri kedua), sedangkan istri muda menjadi istri tua266.
Pada teori yang lain di dalam ajaran Islam ada kasus li’an (Q.S 24: 6-10)267.
Pada agama (sebut: Kristen) tertentu kasus li’an dijadikan cara untuk
bercerai, karena perkainan di dalam ajaran agama mereka tidak diperke-
nankan untuk bercerai dan baru boleh mereka bercerai asalkan salah
satu dari suami istri tersebut berbuat zina. Jadi cara seperti li’an di da-
lam ajaran Islam mereka manpaatkan untuk bisa bercerai. Padahal se-
mebarnya masing-masing mereka sudah memiliki teman selingkuh dan
sudah merasa cocok dengan teman selingkuh tetapi mereka tidak bisa
kawin lantara ajaran agama mereka tidak boleh poligini dan kawin tan-
pa perceraian. Di dalam ajaran Islam menuduh istri baik-baik berpuas
serong harus disertai empat orang saksi yang dipercaya (Q.S: 24:4)268.
Tuduhan seperti ini dikenal li’an dan kasus li’an tidak boleh rujuk.

266 Menarik disimak kasus Ibu Ani, setelah mengetahui suami menikah diam-diam
dengan istri mudanya. Ibu Ani minta cerai karena merasa tidak sanggup hidup
dimadu. Ibu Ani bercerai dengan suaminya, Pak Bambang. Entah pertimbangan
apa (penulis tidak tahu dan saat ditanyakan Ibu Ani tidak mau menjawab) Ibu Ani
minta rujuk dengan mantar suami, Pak Bambang. Ibu Ani rela menjadi istri muda.
Kamis, 23 Oktober 2008.
267 Li’an adalah seorang suami menuduh istri berzina tetapi tidak dapat
membuktikannya. Dalam keadaan ini untuk mempertahankan tuduhannya tidak
dapat dibuktikan itu agar luput dari hukum tuduhan, suami dapat berli’an, yaitu:
Bersumpah empat kali dengan nama Allah bahwa tuduhannya itu benar dan pada
sumpah yang kelima kalinya ia menyatakan bahwa, ia sanggup menerima laknat
Allah bila tuduhannya itu bohong (Q.S 24: 6-10). Istri dapat melepaskan diri dari
hukuman zina atas tuduhan suami dengan berli’an pula, yaitu: Bersumpah empat
kali atas nama Allah bahwa, tuduhan suami itu tidak benar dan pada sumpah kelima
ia mengatakan bahwa, ia sanggup menerima amarah Allah bila tuduhan suami itu
benar.
268 Al qur’an Surat an Nuur, ayat 4, “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang
baik-baik berbuat zina dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka
deralah mereka, orang yang menuduh delapan puluh kali sera dan janganlah kamu
terima kesaksiaan mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang
yang fasik”.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 117


3. Masa menopose.
Pada dasarnya masa subur laki-laki seakan tidak ada batasnya hal
itu terbukti laki-laki yang sudah berusia di atas 60 tahun menikahi
perempuan yang masih subur banyak yang mendapatkan anak
kembali269. Pada umumnya wanita memasuki masa tidak subur
lagi diusia 50 tahunan dan bahkan ada di bawah itu270. Menurut
Musfir aj Jahrani berkata, masa subur laki-laki terhitung dari usia aqil
baligh sampai kurang lebih 80 tahun. Sedangkan masa subur wanita
berhenti sampai usia sekitar 40 tahun atau 45 tahun. Sedangkan
yang wajar mencapai usia 50 tahun271. Dengan demikian terdapat
perbedaan yang cukup panjang antara masa subur laki-laki dengan
perempuan.
Disamping terdapat perbedaan masa subur yang panjang antara
laki-laki dan wanita, juga wanita secara empiris mengalami masa
manopause272, sedangkan laki-laki tidak mengalami masa tersebut.
Biasanya wanita yang sudah mengalami masa menopause mulai
enggan untuk melakukan hubungan seksual, karena ada rasa sakit
bila berhubungan seksual. Menurut Dian Nugraha ahli seksologi
berkata, wanita yang sudah menopause agak enggan untuk
melakukan hubungan seksial terhadap lawan jenisnya, karena setiap
melakukan hubungan seksual yang dilakukan tidak merasa nikmat

269 Abah haji Iyang sudah berusia di atas 60 tahun lebih menikah lagi dengan Bi
Hasanah yang berusia baru 30 tahunan. Belum sampai dua tahun usia pernikahan
Abah haji Iyang dan Bi Hasanah merndapatkan keturunan, anak. Ternyata banyak
kasus-kasus seperti ini diketemukan dalam kehidupan masyarakat.
270 Seperti penulis sendiri diusia 40 tahunan masa mestruasi sudah tidak teratur dan
itu berarti sudak mau masuk masa menopose.
271 Musfir aj Jahrani, hal. 71.
272 Menaopause adalah suatu masa seorang wanita (istri) telah berhenti masa haidnya.
Ini berarti wanita tersebut sudah tidak haid lagi. Jika wanita sudah tidak haid lagi
berarti ia sudah tidak mungkin hamil lagi.

118 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


lagi tetapi terasa nyeri dan sakit. Karena cairan yang terdapat di
vegina sudah mulai berkurang dan mengering273.
Dari asumsi tersebut nyatalah bahwa, banyak kasus permohonan
poligini yang diajukkan ke Pengadilan Agama hampir 75% dimohon
oleh suami-suami yang sudah berusia di atas 45 tahun, hal ini cukup
beralasan:
a. Di usia tersebut mungkin saja istri sudah mulai memasuki
masa menopause dengan pelbagai alasan istri berusaha
menolak ajakan suami untuk melakukan hubungan seksual.
Sehingga suami merasa tidak bergairah lagi dengan istri.
Kemarahan suami dibalas dengan cara mulai berani ke luar
rumah, keluyuran dengan alasan mencari angin dan padahal
ia ke rumah janda atau mencari hiburan dengan perempuan
jalang.
b. Di usia tersebut suami sedang mengalami puber kedua274.
Dipuber kedua biasanya laki-laki lebih ganas, lebih
berani dan lebih bisa menaklukan hati wanita, karena
sudah berpengalaman dalam segala hal termasuk cara
menaklukkan hati wanita dan ditambah ada harta, ada
kedudukan atau ada jabatan serta fasilitas lain sebagai
pendukungnya. Wanita-wanita materialistik, mengubar
harta dan kemewahan sangat suka mencari laki-laki
parubaya, karena menurut mereka (wanita) laki-laki macam

273 Dian Nugraha dalam forum tanya jawab di RCTI tentang Wanita Dan Seks yang
ditayangkan pada tanggal 25 Februari 2001, hari minggu.
274 Masa puber kedua biasanya lebih berbahaya dari pada puber pertama karena di
puber kedua seorang laki-laki (suami) sudah berpengalaman di dalam menaklukkan
hati wanita juga mereka sudah berpengalaman nikmatnya seksual. Ditambah
mereka sudah memiliki harta. Kedudukan dan fasilitas lainnya sebagai pendukung
dalam menaklukan hati wanita.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 119


ini sudah ada – sudah memiliki semuanya – ya harta, ya
kedudukan dan kehormatan. Bagi laki-laki (suami) yang
beriman tipis lebih mudah mengambil jalan pintas, yaitu:
Selingkuh dari pada menikah lagi. Poligini harus bertanggjng
jawab, sedangkan selingkuh tanpa ada rasa tanggung jawab
apa-apa lagi dan nikmatnya sama275
c. Di usia tersebut mungkin perekonomian keluarga sudah
mapan. Sudah menjadi tabiat laki-laki setelah merasa
kaya mulai bertingkah dan blagu ingin mencari suasana
baru, nuansa baru terutama dalam masalah seksual, maka
yang ada dalam pikiran mereka ingin menikah lagi, ingin
menambah istri. Terlebih-lebih terhadap laki-laki yang
memiliki kelamin menghasilkan lebih banyak testoveron dari
pada normal, maka laki-laki tersebut akan menjadi seorang
yang hyperseks, agresif terhadap wanita dan cenderung akan
berpoligini, seperti itu pernyataan, Priyana Suryadipura276,
terlebih kalau suami macam ini kurang diperhatikan dalam
masalah hubungan suami-stri atau mungkin juga istri telah
memasuki masa manopause, ia akan mudah tergelincir ke
lembah kedzaliman (perzinaan) untuk itu solusi terbaik
poligini.
d. Di usia tersebut sering diledek istri dianggap sudah loyoh
dalam masalah seksual. Jadi ia (suami) ingin membuktikan

275 HM Muadz D.; Tinjauan Psikiatris Tentang Perkawinan, Poligami (Poliandri),


Perkawinan Sejenis (Homoseks dan Lesbian) serta Permasalahan-Permasalahan
Dalam Perkawinan, Seminar Nasional Poligami dan Feminisme, 24-11-2004, UI
Depok.
276 Priyana Suryadipura; Pada Umumnya Kaum Pria Bersifat Poygaam ataukah
Mogogam, dilihat dari Segi Ilmu Kedokteran, Makalah dalam buku; Menindjau
Masalah Polihami, Sochechin Salam (Jakarta: Tintamas, 1959), hal. 115.

120 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


bahwa dirinya masih mampu dan kuat untuk melakukan
hubungan seksual walau dengan seorang gadispun. Menikah
lagi sering dijadikan tolak ukur kemampuan seksual.
e. Mungkin juga mereka (suami-istri) sudah merasa jenuh dan
bosan dalam segala hal dan utama masalah seksual. Terlebih
bila istri melayani suami dengan cara-cara monoton, klasik,
tanpa ada variasi dalam hubungan seksual, sehingga suami
merasa jemu dengan gaya tersebut. Sedangkan suami
menginginkan cara-cara lain yang baru, istri tetap tidak
mau, maka suami berusaha mencari di tempat lain dengan
perempuan lain.
f. Masih banyak alasan-alasan lain agar suami bisa menikmati
perempuan lain. Di masa puber kedua agak sulit untuk
menahan diri bagi seorang suami untuk beristri lagi. Pakar
mengakui di usia ini banyak suami yang menikah lagi
dengan pelbagai cara. Terkadang suami sendiri tidak tahu
apa sebabnya ia ingin menikah lagi. Tinggnya angan-angan
juga bisa menjadi sebab seorang suami ingin menikah lagi.
4. Jumlah wanita lebih banyak.
Pakar ilmu-ilmu sosial telah membuktikan bahwa, jumlah
wanita jauh lebih banyak dari laki-laki. Sebenarnya Islam telah
lama memberikan isyarat dalam masalah ini di dalam al Qur’an
ada Surat An Nasaa akan tetapi tidak ada Surat ar Rijal. Sewaktu
Rasulullah Saw melakukan haji wada’ beliau berkhutbah dengan
pesan kepada semua ummat Islam harus selalu berhati-hati terhadap
wanita. Kata wanita beliau ulangi sampai tiga kali ini memberikan
isyarat bahwa, wanita lebih banyak, lebih kompleks, dan lebih
segalanya dari laki-laki itu sendiri. Imam Muslim meriwayatkan,
“Dunia ini indah sekali akan tetapi ada yang lebih indah, yaitu wanita

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 121


sholehah”277. Akan tetapi di sisi yang lain, Imam Bukhari dan Imam
Muslim meriwayatkan, “Tidak aku tinggalkan suatu fitnah sesudahku
lebih berbahaya terhadap kaum laki-laki dari pada godaan wanita”278.
Amat delematis terhadap diri wanita, di mana di satu sisi dunia
akan baik bila wanita-wanitanya baik. Sedangkan di sisi yang lain,
dunia akan hancur lebur berantakan manakala wanita-wanitanya
rusak. Wanita bagaikan kertas putih yang bisa diwarnai apa saja
tergantung pelukisnya. Disamping itu Rasulullah Saw sendiri telah
memberikan isyarat dalam sabdanya, “Karena laki-laki akan terus
berkurang dan wanita semakin banyak sehingga terjadi kelak lima
puluh wanita berbanding seorang laki-laki”279.
Menurut data statistik yang ada di beberapa Negara, di mana
jumlah wanita jauh lebih banyak dari pada laki-laki; sebut Rusia,
Jerman, Italia, Arab Saudi termasuk di Indonesia, Singapure, dll.
Data ini diperkuat penelitian yang dilakukan Jamilah Jones, Abu
Aminah Bilal Philips dan termasuk Lilis Suaedah kesimpulan dari
penelitian itu dapat dikatakan, mengenai kelebihan jumlah wanita
dari pada pria di dunia ini, jelas merupakan fakta yang tidak dapat
dipungkiri. Karena angka kematian bayi laki-laki lebih besar dari
bayi perempuan, umur wanita lebih panjang dari pria280.
Sebab lain, kenapa jumlah wanita jauh lebih banyak dari pria.
Menurut Oswald, karena wanita yang melahirkan di luar pernikahan
setiap tahunnya mencapai 80 ribu orang dan satu dari setiap
delapan kelahiran adalah bayi laki-laki. Semakin banyak melakukan

277 Periksa, al Jami’ as Shoghir, hal. 210.


278 Al Jami’ as Shoghir, hal. 217.
279 Zakiuddin Sya’ban; Az Zawaj wa ath Thalaq fi al Islam (Kairo: Daarul Kutub, t.th),
hal. 42.
280 Jamilah Jones dan Abu Aminah Bilal Philips, hal. 15. Periksa juga, Lilis Suaedah
dalam desertasi doktor, 2012.

122 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


homoseksual sehingga semakain banyak laki-laki yang tidak menikah
dengan lawan jenisnya. Akhirnya wanita-wanita yang mestinya
dinikahi secara sah menjadi wanita penghibur di tempat-tempat
lacur. Sehingga, Hudson sangat ketakutan akibat homoseksual dan
prostitusi yang bisa menyebabkan hancurnya peradaban281.
Lebih jauh Jamilah Jones dan Abu Aminah Bilal Philips
berkata, maka dengan demikian jumalah wanita semakain besar
berpacu dengan semakin mengecilnya jumlah laki-laki. Maka
konsekuensinya akan selalu terdapat wanita dalam jumlah besar
yang tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan seksual
dan psikologis mereka melalui sarana yang sah dan benar dalam
masyarakat monogam. Sebelum mereka menjadi stress dan frustasi,
seperti yang diprediksikan, Nashat Afza, maka terimalah lembaga
poligini yang suci itu sebagai solusi terbaik dalam mengatasi jumlah
wanita yang semakain membesar.
Bukti lain, semakin sering terjadi kecelakaan kerja, kecelakaan di
jalan, di udara dan di lautan. Seperti kecelakaan kerja di penggalian
batu-bara di Rusia dan Cina beratus ribu jiwa pekerja laki-laki mati
terurug longsoran galian tambang tersebut. Setiap kecelakaan di
darat, udara dan di lautan lebih banyak laki-laki yang meninggal
dunia dari pada perempuan. Begitu juga pada saat terjadi bencana
alam lebih banyak pria yang meninggal dari pada wanita. Dalam
peperangan juga lebih banyak pria yang menjadi korban dari pada
wanita, maka wajar pemerintah Jerman selesai perang dunia II
mewajibkan setiap warga negara yang laki-laki harus menikahi lebih
dari satu perempuan.
Sejak zaman dahulu hingga masa kini kaum wanita belum pernah
mengungguli kaum pria dibidang militer. Misalnya di Australia

281 Nashat Afza, hal, 15.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 123


Negara yang tergolong modern dan telah memberikan persamaan
hak asasi antara pria dan wanita, tetapi jumlah wanita yang menjadi
militer baru 21% sejak bulan Juli-September 1990. Jumlah wanita
hanya 409 dibandingkan pria 1537 dari seluruh anggota militer pada
periode itu282. Di Indonesia jumlah wanita yang menjadi militer
masih kurang 1% begitu juga di Malaysia, dan Negara-Negara anggota
ASEAN lainnya283.
5. Istri merasa tidak sanggup melayani suami seorang diri.
Di atas telah dibahas bahwa ada laki-laki memiliki kelenjar
kelamin menghadilkan lebih banyak testoveron dari pada wanita
bila laki-laki tersebut dalam keadaan normal. Laki-laki yang
memiliki testoveron lebih banyak pada umumnya menjadi laki-laki
hyperseks. Laki-laki jenis ini sudah pasti tidak merasa puas kalau
hanya memiliki seorang istri, dan biasanya istri yang normal-normal
saja akan kewalahan di dalam melayani suami. Dalam penelitian,
Lilis Suaedah menemukan kasus di mana Ibu Aminah secara blak-
blakan menyatakan, “Merasa tidak sanggup dan tidak kuat melayani
kebutuhan seksual suaminya seorang diri. Sehingga Ibu Aminah
menyarankan suami untuk menikah lagi”284.
Dokter Ali Akbar pun mengakui memang ada kemampuan
seorang laki-laki dalam masalah seks yang luar biasa. Mereka tidak
pernah merasa cukup kalau hanya memiliki seorang istri285. Beda
dengan Ibu hajjah Ana asal Cikarang yang menyarankan suami
untuk menikah lagi dengan alasan: (i). Kalau dia (maksudnya, suami)
memiliki dua istri rasa tanggung jawab saya berkurang; bila dia gilir

282 Kompas, Jum’at 16 November 1990.


283 Siaran Press ABRI tahun 1990.
284 Wawancara peneliti dengan Ibu Aminah, Hari Sabtu, 2 Agustus 2011.
285 Ali Akbar, hal. 22.

124 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


di rumah saya itu menjadi tanggung jawab saya, tapi pas dia di istri
muda, itu tanggung jawab istri muda, (ii). Saya mau mengaji ke ta’lim
dan ibadah-ibadah lain lebih banyak, dan (iii). Kebutuhan seksual
bisa jarang-jarang dan tidak selalu dengan saya, ada istri yang lain.
Beda dengan alasan Ibu Aliyah yang menyuruh suami menikah lagi.
Katanya, “Allah telah menjamin istri yang rela dimadu dengan ridho’
dan ikhlas jaminannya, surga”286.
6. Karena janji Allah.
Di atas telah dijelaskan bahwa, perempuan ada yang mau serta
rela dimadu atau dipoligini, seperti kasus Ibu hajjah Ana, Ibu Aliyah,
Ibu Aminah, dll dengan pelbagai alasan serta alibi. Sebagian orang
menganggap Surat an Nisaa, ayat 3 sebuh perintah untuk berpoligini.
Seperti pendapat Ibnu Baz, poligini dianjurkan agama asalkan dapat
memenuhi rukun dan syarat sahnya poligini. Rukun poligini sama
dengan perkawinan bisa (saat monogini atau saat pertama kali
menikah), sedangkan syaratnya harus mampu menafkahi baik lahir
maupun bathin dan mampu berbuat adil terhadap istri-istri dan
anak-anaknya.
Dalam kenyataan di lapangan istri kedua dan seterusnya seakan
hanya dijadikan tempat pelampiasan hawa nafsu belaka. Acapkali
sejak saat pernikahan sudah tidak terbuka, tidak jujur, bohong dan
lain sebagainya. Seperti mengaku masih perjaka, duda, istri lagi
sakit, dll, sehingga perkawinan dilaksanakan secara diam-diam dan
dibawa tangan, bukan di KUA. Setelah menikah tidak berlaku adil
dalam segala hal, karena ada yang dirahasiakan. Cara poligini seperti
ini harusnya tidak sah dan berdosa. Tapi sayang Hukum Positif kita
baru mengatur perkawinan poligini tapi belum bisa mengatur

286 Andre Syahreza, hal. 79.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 125


pelanggaran poligini. Sejauh ini belum ada seorang suami dihukum
karena tidak berlaku adil dalam berpoligini.
Di sini lain, hendaklah wanita-wanita sadar dan melek hukum
bila ada laki-laki sedang beristri melamarnya – pinangannya – itu
diterima, maka tentunya akan terjadi poligini. Sebelum pernikahan
itu dilangsungkan hendaknya wanita tersebut berlaku cerdas,
adakan dulu perjanjian pranikah yang harus disetujui kedua belah
pihak, seperti, harus minta disamakan status istri-istri, harus berlaku
adil dalam segala hal, dan lain sebagainya seperti pernikahan pada
umumnya. Sudah banyak terjadi kasus istri pertama bertempat
tinggal di rumah besar dan mewah, sedangkan istri muda, istri kedua
tinggal di kontrakan, dan begitu seterusnya.
II. Pihak Suami.
Ada beberapa sebab khusus dari seorang suami yang menjadi
penyebab ingin menikah lagi, diantaranya:
1. Suami jatuh cinta lagi kepada perempuan lain.
Mudahnya sarana dan prasarana serta ditambah pergaulan
yang agak bebas termasuk interaksi di arena ruang publik menjadi
biasa, lumrah. Interaksi itu sangat berdampak dalam perjalanan
hidup seseorang, baik laki-laki (suami) maupun perempuan (istri)
untuk saling mengenal. Seringnya kebersamaan dan pertemuan,
maka benih-benih rasa cinta dan sayang akan tumbuh dengan
sendirinya. Ucup sering bertemu Hesti di saat pergi dan pulang
kerja di kereta yang menyebabkan mereka jatuh cinta, karena Ucup
telah beristri, Hesti mau serta rela dinikah mut’ah, kebenaran Ucup
seorang Syi’ah287. Istri pertama Ucup tidak tahu kalau suaminya telah
menikah lagi.

287 Seperti itu cerita Ucup dan Hesti yang dimuat dalam Majalah Syar’ah, hal. 20.

126 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Memang orang jatuh cinta itu tidak dilarang dan termasuk hak
privasi setiap individu. Namun masalahnya sekarang kalau wanita
yang dicintai itu masih lajang, gadis perawan atau janda kembang
dan janda pengalaman bisa diteruskan ke jenjang perkawinan tapi
jika yang dicintai istri orang; bisa menjadi masalah besar. Menikah
tidak mungkin karena istri orang, sedangkan cinta sudah terlanjur,
maka mereka mengambil jalan pintas selingkuh. Untuk sekarang
selingkuh bukan rahasia lagi, sudah menjadi asumsi harian. Mereka
istilahkan “WIL dan PIL” di masyarakat sekarang justru dilakukan
sudah hampir semua tingkatan strata kehidupan. Dahulu istilah ini
hanya dikenal di kalangan orang atas dan orang-orang terpelajar.
Sekarang si Ojol, si Ojek, sopir angkot, tukang beling dan tukang
rongsokan kenal selingkuh288.
Jatuh cinta bukan saja monopoli laki-laki (suami) ternyata
perempuan pun (istri) banyak yang jatuh cinta dengan laki-laki
lain. Seperti kasus perselingkuhan yang dilakukan pasangan yang
masing-masing telah memiliki teman hidup, entah itu suami atau
istri, berarti masing-masing telah jatuh cinta dengan orang lain.
Di dalam sebuah penelitian terakhir sudah mencapai titik krisis di
masyarakat kita yang melakukan affair289. Kalau laki-laki (suami)
jatuh cinta lagi kepada wanita lain, menurut Murtadha Muthahhari
sesuatu yang wajar, karena laki-laki bersifat poliginis. Pendapat ini
senada dengan pendapat Henri de Montherlan dan disamping itu
juga hukum membenarkan laki-laki berpoligini asalkan dilakukan
sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syara’. Kalau

288 Sedang viral perselingkuhan seorang ojol dengan pelanggannya. Di mana awalnya
pelanggan (perempuan) curhat dengan si ojol masalah kehidupan rumah tangganya.
Dari curhat sampai perselingkuhan, Kompas, Senin 2 Maret 2010.
289 Pos Kota Senin, 28 Juni 1999.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 127


wanita (istri) jatuh cinta lagi kepada laki-laki lain ini merupakan
pelecehan hukum dan pelecehan hak-hak suami yang harus dicegah,
menurut Rusell Lee menyalahi kodrat kewanitaan karena wnita
bersifat monoginis290.
Mudahnya perkenalan dilanjutkan persahabatan dalam
pergaulan hidup yang bisa menimbulkan benih-benih rasa cinta,
karena ditunjang pelbagai fasilitas, sarana dan prasarana yang cukup
memadai, antara lain canggihnya alat telekomunikasi, seperti telpon,
hendphone melalui WA, FB, Instagram, dll tinggal tekan tombol-
tombol lalu membuat janji untuk bertemu dan berkencan, dari kopi
darat sekedar basa-basi dilanjutkan ke kopi ranjang untuk berkencan.
Asas suka sama suka” tidak bisa diperkarakan. Disamping mudahnya
alat komunikasi, mudah juga fasilitas untuk berkenca dengan
jaminan privasi dijamin aman, seperti: Hotel, Motel, Café, Pub, Klab
malam dan tempat-tempat hiburan yang menjagi keamanan serta
privasi terjamin, tidak akan bocor ke luar.
Di alat canggih dan pintar selalu ada group WA wanita panggilan,
wanita penghibur, wanita sewaan teman kencan dan ada juga sampai
gratisan. Wanita-wanita ini dan termasuk ada prianya bisa dipesan
kapan saja dan bisa diajak kencan di mana saja asalkan perjanjian
telah disepakati bersama. Di HP kita sering masuk iklan untuk pria
dan wanita panggilan yang siap dikencani kapan saja, di mana saja,
dan oleh siapa saja. Contoh iklan yang sering kita lihat dan kita
baca: “Jalur sejoli jika anda pria ingin mencari pasangan hidup atau
hanya sekedar teman saja, maka hubungilah telpon 0809 1 0807 66

290 Murtadha Muthahhari, hal. 216.

128 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


khusus untuk pria, sedangkan untuk wanita hubungi telpon 2149 1486,
temukan teman pria-wanita idaman. Di akhir iklan tertulis “free”291.
Semakin majunya zaman manusia semakin banyak di luar rumah
dengan pelbagai keperluan serta kebutuhan. Sehingga rumah hanya
berupa tempat peristirahatan belaka, bahkan ada yang beranggapan
rumah hanya tempat persinggahan belaka (semacam halte tempat
mobil angkot singga) sementara. Penghuni rumah baru tiba di
rumah paling sore jam 11 malam dan jam 6 pagi mereka sudah keluar
lagi. Hampir 17 jam lebih mereka berada di luar rumah. Sampai ke
rumah sudah capek, relah dan ngantuk, perlu istirahat dan tidur,
sedangkan untuk kebutuhan yang lainnya bisa dilakukan di luar
rumah. Termasuk kebutuhan seksual bisa didapat di luar rumah.
Di banyak kasus suami terlalu sibuk dengan urusannya, terhadap
bisnis, terhadap pekerjaan, terhadap profesi, sehingga istri merasa
dicuekin, kurang diperhatikan, atau kasus lain, suami-istri pebisnis
handal, manusia karier, dan profesional ternama, sehingga mereka
(suami-istri) merasa berjasa dalam memperkaya pereokonomian
keluarga, bila salah satu dari mereka ada yang menyeleweng,
selingkuh atau punya simpanan pacar gelap, maka yang lain ikut
melakukan hal yang sama. Suami selingkuh – istri serong, maka yang
menjadi korban anak dan keluarga lainnya. Sudah cukup banyak
cerita dan berita menghiasi media masa istri seorang bos, pejabat
tinggi, pebisnis serong dengan sopir pribadinya sendiri292. Disinilah
mereka menunjukkan sifat egonya yang terhasut dan termakan

291 Pos Kota Senin, 28 Juni 1999.


292 Majalah Dwimingguan, “Ummat”, 8 Shafar 1417 H/24 Juli 1996 M. Kasus istri Ferdy
Sambo, putri Candrawathi yang selingkuh dengan sopir pribadinya, Kuat Ma’ruf,
Senin saat sidang di Pengadilan Negeri, Jakarta Selatan, 27 – 11- 2023.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 129


pradaban modern yang sudah sinting. Suami kawin lagi istri balas
selingkuh. Selalu katanya, “lu bisa gua juga bisa!”.
2. Suami benci terhadap istri.
Percekcokan dan konflik-konflik kecil dalam hidup berumah
tangga sebagai hal yang wajar, bisa dianggap sebagai penyedap
kehidupan suami-istri, tetapi bila konflik-kinflik itu sudah menjurus
ke arah yang membahayakan kelangsungan hidup berumah tangga,
sehingga tidak ada lagi ketentraman, keharmonisan dan kebahagiaan,
maka Islam sudah memberikan solusi jalan keluarnya. Seperti yang
dilukiskan Allah SWT dalam firman-Nya, Surat an Nisaa, ayat 34-
35, yaitu: (i). Laki-laki (suami) sebagai pemimpin, termasuk di
rumah tangga, (ii). Laki-laki (suami) diberikan kelebihan oleh Allah
sehingga ia dijadikan pemimpin, (iii). Laki-laki (suami) berkewajiban
untuk menafkahi keluarganya (termasuk nafkah bathin untuk istri),
(iv). Untuk itu wanita (istri) harus taat pada suami, (v). Istri wajib
menjaga kehormatan baik ada suami maupun tidak ada suami di
sisinya, (vi). Bila suami khawatir istri melakukan nusyuz, maka: (a).
Nasehati, (b). Bisa pisah ranjang dan meja makan, (c). Bila belum
sadar juga bisa dipukul yang tidak berbekas, (d). Bila sudah baik
dan taat kembali terimlah dia dengan baik, dan (e). Bila sudah taat
kembali janganlah suami mencari-cari kesalahannya.
Namun (ayat 35) dengan cara di atas belum istri belum sadar
juga dan bahkan suami khawatir lebih dalam lagi perselisihannya,
maka: (i). Utuslah juru damai dari pihak suami dan istri, (ii). Tugas
juru damai untuk mendamaikan keluarga yang sedang berselisih,
dan (iii). Berdamai itu lebih baik dari pada bercerai.
Begitulah cara Allah SWT di dalam memberikan solusi kepada
hamba-hamba-Nya yang rumah tangganya sedang berselisih.
Rasulullah Saw pernah memberikan nasehat kepada sahabat-

130 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


sahabatnya, “Perbaharuilah perahu-perahu rumah tanggamu,
sesungguhnya kita akan mengarungi lautan lepas-bebas”293. Rumah
tangga diibaratkan perahu atau kapal air oleh Rasulullah Saw
yang siap berlayar ke lautan bebas yang sudah barang-tentu akan
terhempas angin, terombang-ambing gelombang, dan badai siap
menerpanya. Tidak selamanya hidup berumah tangga akan baik
terus, akan mulus terus, akan berjalan lurus terus. Apalagi sebelum
perkawinan dilaksanakan ada sesuatu yang mengganjal, maka badai
rumah tangga siap menerpa di depan mata.
Ahamad Syauqi al Fanjari pernah memberikan nasehat kepada
para istri harus selalu menpercantik diri agar kelihatan selalu cantik
di mata suami294. Makna cantik di sini bukan saja cantik secara fisik
juga cantik secara rohani. Bila suami merasa puas atas kecantikan
serta pelayanan istrinya, maka suami tidak ada rasa bosan dan
benci dalam memandangi istrinya. Jika hal itu telah tercipta, maka
tidak mungkin lagi suami akan berpaling ke perempuan lain. Di
atas telah dijelaskan, karena perempuan sudah merasa, sudah laku,
telah bersuami, terkadang lupa mengontrol diri, tampil semuanya
dan seadanya, dan bila mendengar serta mengetahui suami jatuh
cinta lagi dengan perempuan lain, baru ia berbedah diri kembali.
Oleh karenanya Islam menteorikan kepada kaum Muslimin bahwa,
suami-istri diibaratkan sebuah “pakaian” (Q. S al Baqarah: 187)295
fimana fungsi pakaian, diantaranya: (i). Untuk menutup aurat, (ii).
Untuk keindahan dan kecantikan, (iii). Untuk menutup rasa malu
bila telanjang, (iv). Untuk menjaga kesehatan, (v). Sebagai tanda

293 Muhammad Nawawi; Nashoih al Ibaad (Semarang: Toha Putra, t.th), hal. 19.
294 Ahmad Syauqi al Fanjari, hal. 167.
295 Al Qur’an Surat al Baqarah: 187, “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari di bulan
puasa bercampur dengan istri-istrimu, mereka itu adalah pakaian bagi dirimu dan
kamu pun pakaian bagi mereka…….”.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 131


kesopanan, dan (vi). Untuk iri agar dikenali orang lain. Suami-istri
hendaknya seperti itu, saling menjaga kehormatan.
Ibun Abbas berkata, “Wanita itu penenang bagimu dasaan kamu
penenang bagi mereka”296. Interprestasi Ibnu Abbas ini diperkuat
firman Allah SWT, “Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang
satu dan dari padanya Dia menciptakan istrimu, agar kamu merasa
senang terhadapnya……” (Q. S al A’raaf: 189).
3. Suami menginginkan keturunan.
Salah satu tujuan pernikahan yang utama adalah, untuk
memperoleh anak keturunan, sebagaimana Zakiyah Derajat
menyatakan dalam kaitan ini, tujuan suatu perkawinan untuk
memperoleh keturunan297. Sesuai dengan firman Allah SWT, Surat
an Nahl, ayat 72, “Dan Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari
jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istrimu itu,
anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rizki dari yang baik-
baik”. Senada dengan Surat al Baqarah, ayat 187 di atas, “…..dari
istri-istrimu akan melahirkan anak keturunan”. Rasulullah Saw
bersabda, “Wanita yang banyak melahirkan lebih dicintai Allah
dari pada wanita yang cantik”298. Di hadist lain, datang seorang
laki-laki kepada Rasulullah Saw seraya berkata, “Sesungguhnya
saya mencintai seorang perempuan yang berasal dari keturunan
bangsawan, tetapi dia tidak dapat melahirkan (mandul). Apakah
saya boleh menikahinya? Rasulullah Saw melarangnya. Kemudian
laki-laki itu datang untuk yang kedua kalinya, dan Rasulullah Saw

296 Muhammad Ali as Shabuni; Az Waazul Islam Mubakhiran, terjemah: Mahsuri


Ichwani; Pernikahan Dini yang Islami (Jakarta: Pustaka Amani, 1996), hal. 5.
297 Zakiyah Derajat; Ketenangan dan Kebahagiaan dalam Keluarga (Jakarta: Bulan
Bintang, 1989) cet ke-5, hal. 56.
298 Asy Syaukani; Nail al Authar, Jud 6, hal. 231-232.

132 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


tetap melarangnya. Kemudian beliau bersabda, nikahilah wanita yang
penyayang dan bisa melahirkan keturunan. Sesungguhnya aku akan
merasa bangga dengan banyaknya ummatku” (H.R Imam Muslim).
Beranjak dari dalil-dalil tersebut para ahli hukum Islam
Indonesia (Ulama Indonesia) memberikan jalan keluar bagi suami
yang mendapat jodoh wanita mandul, yaitu untuk berpoligini. Pasal
4 ayat 2 huruf c UU No. 1/1974 jo Surat Edaran No. 8/SE/1983 tentang
izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, pada
angka IV mengenai Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih
dari seorang.
Dibanyak kasus di masyarakat suami menikah lagi lantara ingin
mempunyai anak laki-laki, karena semua anak yang ada di istri
pertama perempuan semua. Seperti kasus Pak haji JM pengusaha
rumah makan sate terkenal di bilangan Jakarta Barat yang menikah
lagi lantara belum mempunyai anak laki-laki. Kebalikan Pak Ustadz
AH yang menikah lagi lantara menginginkan anak perempuan.
Kedua pepoligini ini istrinya tidak mandul299. Lantara menginginkan
anak yang diinginkan dan dari pihak istri kayanya tidak mungkin
bisa memberikan keturunan anak yang diinginkan, seperti Pak haji
JM ingin anak laki-laki dan Pak Ustadz ingin anak perempuan, oleh
sebab itu mereka menikah lagi.
4. Istri sakit berkepanjangan dan tidak bisa melayani suami.
Hampir sama dengan di atas, Hukum Positif Indonesia melalui
UU No. 1/1974 memberikan peluang bagi suami untuk poligini
dengan alasan istri sakit yang berkepanjangan dan menurut analisa
medis tidak mungkin bisa disembuhkan. Disamping itu tujuan
pernikahan salah satunya ada hubungan perjimaan (hubungan

299 Lilis Suaedah, hal. 269.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 133


seksual) secara berkesenambungan, bila istri sakit, tujuan itu tidak
mungkin tercapai. Sedangkan suami sangat membutuhkan dari pada
terjadinya perzinaan, maka istri harus legowo untuk mengizinkan
suami menikah lagi. Suami juga tidak tega menceraikan istri yang
sedang sakit. Jalan terbaik izinkan suami menikah lagi dan ia (istri
yang sakit) tetap dalam ikatan perkawinan dengan suami agar
ada yang merawat dan mengurus juga ada yang berusaha untuk
mengobatinya.
Begitu sebaliknya, bila suami sakit berkepanjangan yang tidak
mungkin dapat disembuhkan lagi termasuk impoten, maka suami
harus rela melepas (ceraikan) istri dengan baik-baik. Mereka (istri)
juga butuh perjimaan secara berkesenambungan dari pada istri
selingkuh atau seorang. Penulis menemukan kasus seperti ini di
Daerah Pinang Tangerang, seorang Kiyai muda, sebut namanya S
yang ditabrak mobil pulang da’wah hingga impoten akut yang tidak
bisa disembuhkan lagi, dengan lapang dada ia menceraikan istri
tercintanya bermandikan air mata. Istrinya masih muda, masih
perlu kasih sayang seorang laki-laki dari pada berbuat yang bukan-
bukan yang jelas haram dan berdosa, ia ceraikan istri tercinta dengan
linangan air mata.
Alasan istri sakit yang berkepanjangan dan tidak bisa diharapkan
kesembuhannya sehingga istri tersebut tidak bisa melayani
kebutuhan suami, utamanya urusan seksual. Aturan seperti ini
tidak ada dalam ajaran Islam; suami mau menikah lagi, ya silahkan
asalkan bisa berlaku adil terhadap istri-istri serta anak-anaknya yang
menjadi tanggung jawabnya. Alasan seperti itu hanya alasan moral
kemanusiaan serta kemauan sosiologis masyarakat dan termasuk
Negara melalui aturan hukum positif suatu Negara. Aturan seperti
itu untuk memperkuat teori darurat poligini yang banyak dianut

134 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


dan pahami Ulama-Ulama kontemporer dan kelompok legalis yang
termuat dalam hukum positif suatu Negara300.
5. Untuk mencapai ketenteraman hidup suami.
Mungkin saja ada orang suami tidak merasa tenang, tentram
dan puas sepanjang hidupnya kalau hanya memiliki seorang istri.
Seperti Allah firmankan, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
adalah, Dia ciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri agar
kamu merasa cenderung (cinta dan sayang) dan merasa tenteram
kepadanya dan dijadikan-Nya di antara mu ada rasa kasih sayang.
sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi kamu yang mau berpikir” (Q. S. an Nuur: 21). Menurut
Musfir aj Jahrani, Allah SWT telah memberikan kekuatan dalam
bidang seksual kepada seorang laki-laki sehingga dapat terjadi
seorang suami tidak merasa puas dengan hanya seorang istri untuk
menyalurkan libido seksualnya apabila, saat istrinya sedang haid
(juga nifas) dalam waktu yang cukup panjang301.
Dalam kondisi seperti itu untuk menyalurkan hasrat libido
seksual dengan baik suami melalui poligini bukan serong (main)
lacur atau selingkuh. Bila mereka (suami) tidak diizinkan untuk
menikah lagi, mungkin saja suami akan terjerumus ke dalam
kemaksiatan yang sangat berbahaya. Perbuatan maksiat na’if sekali
bila dilihat dari sisi mana saja. Seperti yang dinyatakan, Sayyid
Quthub, adanya dorongan libido seksual seorang suami tidak
mungkin dapat dihindari. Padahal ada masanya seorang istri tidak

300 Lebih jelas periksa, Chibli Maallat dan Jane Connors; Islamic Family Law (London:
Graham & Trotman, 1993), cet ke-3. Lihat juga; Tahir Mahmood; Family Law Reform
In The Muslim World (London: Swfet And Maxwell. LTD, 1972). Lihat juga, Rubya
Mehdi; The Islamization of The Law In Pakistan (CP Curzon Press, 1994).
301 Musfir aj Jahrani, hal. 71.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 135


berhasrat lagi untuk melayani keinginan suaminya, mungkin karena
sedang sakit atau lanjut usia akan tetapi keduanya tetap ingin hidup
bersama, tidak menginginkan perceraian. Dalam keadaan seperti
ini, kita dihadapkan pada tiga kemungkinan, yaitu: (i). Memaksa
suami untuk mengekang hawa nafsu dari kegiatan seksualnya,
(ii). Memberikan kebebasan bagi suami untuk mengumbar nafsur
seksualnya dengan wanita lacur, dan (iii). Memperbolehkan suami
untuk menikah lagi (poligini) dan tetap hidup bersama sebagai istri
pertamanya302.
Jelaslah bahwa, kemungkinan pertama bertentangan dengan
fitrah diciptakannya manusia. Adam merasa kesepian hidup sendiri
di Surga, maka Allah SWT menciptakan Hawwa untuk teman hidup
Adam. Kemungkinan kedua, bertentangan dengan moralis-agamis
yang bersih lagi suci. Agama dan moral manapun mengecam
(bahasa agama) melarang manusia mengumbar hawa nafsu dengan
sembarang orang, kecuali dengan istri dan (dahulu) boleh dengan
hamba sahaya, dan kemungkinan ketiga, merupakan aturan suci
Islam yang sesuai dengan realitas kehidupan secara empiris-
sosiologis di dalam memelihara keutuhan keluarga, keseimbangan
masyarakat (sosial) termasuk bangsa dan Negara serta menjaga
kesucian ajaran agama, dalam hal ini Agama Islam.
6. Ingin membuktikan kejantanan.
Dibanyak kasus kehidupan rumah tangga sering terdengar
mereka (suami-istri) yang awalnya dianggap guyon (menggoda
suami dianggap tidak jantan lagi di ranjang) bisa menjadi petaka,
pertengkaran hebat dan berakhir dengan perceraian, manakala
istri di masa tuanya merasa kurang mendapat perhatian suami

302 Musfir aj Jahrani, hal. 72.

136 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


karena sudah ada kelelehan kehidupan seksualnya. Mungkin saja
suatu waktu istri berkata, “Payah sudah loyoh?”. Maksud perkataan
tersebut menggoda suami yang sudah tidak mampu kehidupan
ranjangnya. Mungkin suami tersinggung, marah dan dendam,
suami berusaha ingin membuktikan perkataan istrinya tersebut,
“Apakah benar dirinya sudah loyoh tidak mampu lagi urusan ranjang”.
Untuk membuktikan hal tersebut, banyak suami yang menikah
lagi (poligini) secara diam-diam hanya ingin membuktikan bahwa,
dirinya masih mampu, belum loyoh, masih perkasa dan hebat dalam
urusan seksual.
Pak Ja’ani pengusaha bengkel mobil di bilangan Ciledug Raya
tahu-tahu sudah menikah lagi dengan gadis muda yang pernah
mobilnya ditolong. Istrinya, Ibu Ani baru tahu suami menikah lagi
lantara ada gadis muda bersama anak bayinya mencari suaminya
yang katanya sudah hampir dua bulan tidak pernah pulang ke
rumahnya. Setelah Ibu Ani tanya, “Benar itu istri, Bapak?”. Pak Ja’ani
menjawab, “Benar; bapak sudah hampir dua tahun lebih menikahinya.
Semua itu salah kamu juga, bapak dibilang sudah loyoh”303.
7. Suami ingin mencari variasi dalam hubungan seksual.
Variasi dan fantasi seksual itu perlu untuk menghilangkan
kejenuhan hubungan seks dengan pasangan dalam hal ini istri.
Mungkin saja hidup berumah tangga sudah cukup lama sehingga ada
kejenuhan dan bosan kalau melakukan hubungan seks modelnya
itu-itu saja, monoton tanpa gaya dan tanpa variasi. Murtadha
Muthahhari dalam bukunya, Sexual Ethics In Islam And In The
Western World menyatakan dalam ajaran Islam boleh melakukan
variasi dan berfantasi dalam melakukan hubungan seks dengan

303 Lilis Suaedah, hal. 235.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 137


istri304. Senada diucapkan, Muhammad bin Ibrahim Az Zulfi dalam
karyanya, Al Fahisyatu A’ malu Qaumi Luth, variasi seksual dengan
istri sah-sah saja, tapi masalah fantasi seksual jangan sampai keluar
seperti kaum Nabi Luth305. Biasanya fantasi seksual berkonotasi
negatif dan bisa mengarah homoseks, lesbi, dan suami sedang
membayangan berhubungan seks dengan bintang film ternama dan
terkenal, daa lain sebagainya. Fantasi seperti dilarang oleh agama,
haram dan berdosa.
Sebagain ummat Islam masih beranggapan tabu melakukan
variasi, gaya dan model dalam hubungan seksual. Mereka anggap
melakukan variasi dalam bercinta (senggama) tidak atau kurang etis
dan dilarang oleh ajaran agama. Menarik apa yang dinyatakan, Erich
Fromm dalam karyanya, The Art of Loving menyatakan, dunia Barat
menciptakan ilmu bercinta, sedangkan dunia Timur menciptakan
seni bercinta306.
III. Kondisi Sosial.
Faktor sosial juga dapat mempengaruhi terjadinya proses poligini
sebagaimana yang akan dijelaskan, sebagai berikut ini:
1. Hubungan Kekeluargaan.
Dimaksud hubungan kekeluargaan di sini tidak terbatas pada
hubungan masih satu keluarga besar sendiri, dimana misalnya orang

304 Periksa, Murtadha Muthahhari; Sexual Ethhics In Islam And In The Western World,
terjemah: M. Hashem; Etika Seksual Dalam Islam (Bandar Lampung-Jakarta: YAPI,
1408 H/1988 M), cet ke-2.
305 Periksa, Muhammad bin Ibrahim Az Zalfi; Al Fahisyatu A’ malu Qaumi Luth, terjemah
Roni Mahmuddin menjadi; Homoseks Ih….Takut: Belajar dari Kisah Kaum Nabi Luth
( Jakarta; Kelompok Mizan, 1426 H/2005 M).
306 Periksa, Erich Fromm; The Art Of Loving, terjemah: Syafi’ Alielha (Jakarta: Fresh
Book, 2008).

138 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


tua (ayahnya) mempunyai dua, tiga dan/atau empat orang istri,
dan anak keturunan dikemudian hari ada yang mengikuti jejak
ayahnya beristri banyak307, dan rata-rata seperti itu. Orang yang
dimadu atau bermadu suatu saat kelak, ada saja anak keturunannya
yang bernasib sama dengan pendahulunya. Menarik disimak kasus
Pak T yang menikahi besannya sendiri. Anak laki-laki mendapat
anak perempuan istrinya dan Pak T sendiri berpoligini dengan
ibu menantunya308. Hubungan kekeluargaan ini tidak terbatas hal
tersebut di atas, termasuk juga hubungan antar anggota marga, clen,
suku, ras, Kampung halaman, dan bisa juga hubungan antar warga
Negara yang hidup di Negara orang, contoh sudah berapa banyak
TKW yang dipoligini di Negara tujuan, seperti di Arab, Malaysia,
Singapure, Hongkong, dll, baik dengan majikan maupun dengan
teman sesama buruh migran.
Benar apa yang dinyatakan Terence H. Hull, et, orang-orang
Eropa (sebut Belanda saat menjajah Indonesia) disamping memiliki
istri-istri sah dari Warga Negaranya sendiri juga masih memiliki
beberapa selir dari wanita pribumi309 yang mereka sebut, “Nyai”. Jika
mereka sudah merasa bosan dengan nyai-nyai tersebut, karena sudah
dianggap berumur, maka bisa mereka hadiakan kepada sardadu
bawahanya atau kepada sahabat-sahabatnya, seperti barang souvenir
dan banyak juga yang dijadikan pelacur.

307 Contoh, Pak haji Munadih beristri banyak dan ternyata ayahnya beristri tiga lalu
ke atas kaekeknya juga beristri empat. Kasus seperti banyak terjadi di dalam
masyarakat. Penulis teringat ada orang berkata, “Jangan menikah dengan keturunan
haji A, nanti kamu dimadu, karena keluarga itu semua beristri lebih dari satu”.
308 Kasus seperti ini banyak terjadi di masyarakat, “Besan dengan besan menikah lagi
perpoligini”. Salah satunya Pak T yang tinggal dibilangan Jakarta Barat.
309 Terrrence H. Hull, et al; Pelacuran di Indonesia, Sejarah dan Perkembangannya
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), hal. 4-7.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 139


Ada suku tertentu di Indonesia (sebut Suku Mandar) di Sulawesi
Tenggara menganut sistem perkawinan endogami, dimana seorang
pria diharuskan mencari calon istri dari lingkungan kerabat (suku,
clen, famili) sendiri dan dilarang menikah keluar lingkungan kerabat
tersebut310. Penulis mendapatkan kasus nyata dan kebenaran kasus
ini menimpa teman akrab penulis sendiri dari suku Mandar. Sebut
namanya, Pak Andi. Ia sudah puluhan tahun tinggal dan menetap
di Jakarta dan pernah menjadi anggota DPR-RI dari Fraksi P3,
pengusaha. Ia telah menikah dengan perempuan Jawa dan telah
dikaruniai anak. Sewaktu ia pulang ke Daerah harus menikah lagi
dengan perempuan sesukunya dan bahkan masih dari keluarga
dekatnya sendiri.
Di masyarakat adat Jawa masih mentradisi falsafah 3 B, yaitu:
Bibit – bobot dan bebet311. Pada golongan atau kelompok tertentu
falsafat ini masih dipertahankan oleh orang tua di dalam mencari
jodoh untuk anaknya. Orang tua selalu bilang, “Duren harus mendapat
duren – dan – mentimun harus dengan mentimun pula; jangan duren
mendapat mentimun – atau – mentimun mendapat duren, bahaya
pada keturunan kita kelak”. Duren mendapat mentimun cilaka dan/
atau metimun mendapat duren ada untung bagi mentimun. Duren

310 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, hal. 68.


311 Falsafah 3 B harus diperhatikan adalah, apakah bibit seseorang itu berasal dari
keturunan ningrat yang harus baik sifat, watak, prilaku dan kesehatannya. Terus
bagaimana keadaan orang tuanya; apakah anak itu “bukan anak kowar” dan
sebagainya. Bagaimana bobotnya, harta kekayaan. Apakah ia anak pengusaha,
bisnismen, anak pejabat dan sebagainya. Lalu bagaimana kemampuan, kepintaran,
anak terpelajar atau bukan dan anak itu bukan “anak kabur angin”. Bagaimana dari
segi bebetnya, apakah ia telah memiliki jabatan, kedudukan, pekerjaan, penghasilan
tetap, dll. Bila ia perempuan, apakah ia masih gadis perawan atau janda kembang,
dan ia pria, apakah ia masih perjaka tingting atau sudah duda. Periksa, Hilman
Hadikusuma, hal. 89-90.

140 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


mendapat mentimun atau mentimun mendapat duren bahaya,
dimana mentimur selalu menjadi bujang atau jongos di dalam
rumah tangganya sendiri.
2. Untuk menjaga Keutuhan Keningratan.
Hampir sama halnya dengan suku Mandar yang ada di Sulawesi
untuk menjaga keutuhan adat dan budaya suku tersebut dengan
menganut sistem perkawinan endogam, di kelompok tertentu
di masyarakat bilateral (sebut kelompok Ningrat atau kelompok
Tubagus) yang biasa sistem perkawinan eleuthrogamie secara
bebas tapi demi mempertahankan gelar kebangsawanan mereka,
kelompok Ningrat ini menggunakan sistem perkawinan endogam,
karena bila mereka menggunakan sistem perkawinan exsogam
dan eluthrogam, maka gelar kebangsawanan mereka (terutama
untuk perempuan) akan hilang pada anak keturunannya. Misal,
Ratu Asiah menikah bukan kepada Tubagus, maka anak keturunan
mereka tidak boleh menyandang gelar kebangsawanan, “Tubagus”.
Untuk mempertahankan gelar kebangsawanan tersebut, acapkali
perempuan ningrat berbarah biru rela dan ikhlas dimadu demi anak
keturunannya masih mendapat gelar kebangsawanan.
Dalam masalah ini (gelar kebangsawanan) seringkali perempuan-
perempuan yang bukan dari golongan ningrat mau, rela serta ikhlas
dimadu atau hanya dijadikan selir dan gundik oleh seorang pangeran,
raden, Tugabus, dll, mereka mengharapkan anak keturunan yang
akan lahir dari rahimnya kelak mendapat gelar kebangsawanan. Dari
kenyataan tersebut, Raja-Raja, Pangeran, Raden, Sultan, Tubagus dan
keturunannya beristri banyak, ada permaisuri, ada Ratu, ada selir,
ada gundik dan ada para dayang yang sewaktu-waktu bisa dan boleh
memenuhi hasras seksual junjunannya.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 141


3. Pengaruh Teman.
Sohib karib (teman akrab) mempunyai peran penting dalam
menata perjalanan hidup seseorang. Nabi Saw sendiri membenarkan
asumsi tersebut, sebagaimana beliau sabdakan, “Seseorang adalah
sejalan dan sepaham dengan kawan akrabnya, maka hendaklah
kamu berhati-hati di dalam memilih kawan” (HR Ahmad)312. Agama-
agama samawi sangat memperhatikan peran seorang sahabat313, tak
terkecuali Rasulullah Saw memiliki 4 orang sahabat utama yang
terkenal, “Khulafa ar Rosyidin”, yaitu: Abu Bakar as Sidiq, Umar Ibnu
al Khotthob, Utsaman bin Affan, dan Ali bin Abi Tholib.
Dalam kehidupan sehari-hari amat penting peran sahabat.
Seorang sahabat bisa mengangkat derajat sahabatnya dan bisa
menjatuhkan nama baik sahabatnya. Jika seseorang bergaul dengan
pencuri, pencopet, pencoleng, dan/atau bergaul dengan orang suka
kawin-cerai, maka secara otomatis ia juga ikut-ikutan suka kawin-
cerai atau kawin lagi. Kelihatan asumsi ini kurang rasional akan
tetapi kenyataannya seperti itu di lapangan. Pak haji M suka kawin-
cerai dan mempunyai teman akrab Pak L dan ternyata keduanya
suka poligini serta kawin-cerai.
Kawan pendamping yang baik (sholeh) ibarat penjual minyak
wangi. Bila ia tidak memberimu minyak wangi, kamu minimal akan
mencium keharuman baunya. Sedangkan berkawan yang buruk
ibarat tukang pandai besi. Bila kamu tidak terjilat apinya, pasti kamu
suatu saat akan terkena asep dan percikan apinya, seperti hadist
riwayat Imam al Bukhari314.

312 Muhammad Faiz Almath, hal. 218.


313 Nabi Isa memiliki 12 sahabat utama, sedangkan Rasulullah Saw memiliki 4 orang
sahabat utama, yaitu: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali.
314 Muhammad Faiz Almath, hal. 224.

142 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


4. Terlibat mata-mata, sepionase.
Seorang mata-mata atau sepionase (untuk sekarang bisa
pengawas atau mandor) biasanya tukang kawin, istri ada di mana-
mana. Di situ ia menjadi pengawas proyek atau mandor peroyek dan
di situ juga ia punya istri. Termasuk juga pekerja yang selalu pindah
tempat, dimana ia ditempatkan dan di tempat itu juga ia mempunyai
istri baru. Ya, minimal di tempat yang baru ia punya selingkuhan atau
suka jajan di tempat-tempat lacur. Dalam kenyataan di masyarakat
tempat prostitusi kebanyakan berada di pinggir pantai, karena di
pantai itu kapal-kapal bersandar. Para pelayar atau pekerja di kapal
berhari-hari di lautan dan sampai di daratan mereka akan mencari
hiburan.
Pada zaman perang dingin antara Blok Barat yang dipimpin AS
melawan Blok Timur yang dipimpin Uni Sovyet terdapat seorang
mata-mata atau sepionase perempuan terkenal dari Blok Timur
yang cantik jelita. Pernah suatu saat rahasia Blok Barat bocor lantara
sepionase tersebut. Dimana sepionase itu bisa merubah suasana dari
meja makan ke ranjang315. Berbulan-bulan sepionase perempuan
itu hidup bersama dengan petinggi Blok Barat tanpa diketahui
identitasnya.
5. Pengaruh sosial lainnya.
Di atas telah dijelaskan sebab-sebab terjadinya poligini, hal itu
merupakan sebagian kecil saja dari sebab-sebab terjadinya poligini
dalam masyarakat. Ternyata masih banyak sebab-sebab lain yang
tidak dapat di hitung jumlahnya, karena selalu banyak motif seorang
suami ingin menikah lagi juga berlainan tujuan mereka berpoligini

315 Periksa, Ya’kub HAR; Pelecehan Hak-Hak Perempuan, 1985.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 143


di setiap masa dan tempat. Misalnya pada masa (zaman) raja-raja
berkuasa poligini dianggap sebagai:
a). Sebagai tanda kebesaran.
Memiliki istri lebih dari seorang dianggap sebagai bukti bahwa,
raja tersebut mempunyai kekuasaan yang besar. Semakin banyak
jumlah istri dianggap atau dipandang semakin luas serta besar
kekuasaannya. Jika rakyat bisa berpoligini, maka orang tersebut
dipandang kaya raya dan mempunyai kedudukan penting di dalam
masyarakatnya. Buktinya orang tersebut kuat dan mampu beristri
banyak. Jadi istri banyak bisa dijadikan tanda kebesaran.
b). Sebagai sarana mempunyai atau memiliki luasnya lahan garapan
serta lebarnya ladang pengembalaan. Seperti diceritakan Ester
Talke Boserup poligini di Negara-Negara Afrika lebih kepada
kekayaan atau perekonomian. Seseorang beristri banyak itu
berarti banyak memiliki tenaga kerja. Banyaknya tenaga kerja
maka akan semakin banyak dan luas tanah yang akan digarap
serta semakin luas ladang peternakan, maka dengan demikian
akan semakin kaya keluarga tersebut.
c). Beristri banyak sebagai sarana memperoleh kedudukan tinggi di
masyarakat, bisa terpandang, bisa dihormati dari sebelumnya.
Jadi dengan kata lain, untuk meningkatkan status keluarga
besarnya. Banyak orang tua merasa bangga anak gadisnya
dikawini oleh seorang raja atau raden serta bangsawan lainnya
dari pada dinikahi rakyat biasa, meskipun anak gadisnya tersebut
hanya dijadikan selir dan gundik oleh raja.
d). Beristri banyak untuk memperoleh kesaktian lebih besar lagi. Di
kalangan dunia hitam (paranormal) ada ajaran semakin banyak
istri akan (semakin) menambah daya sakti.

144 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Beda lagi di zaman peperangan, poligini banyak dijadikan
solusi dalam menanggulangi kesulitan-kesulitan yang timbul saat
itu, seperti:
a). Timbul jumlah laki-laki yang semakin berkurang akibat gugur
di medan perang.
b). Semakin banyak jumlah perempuan dan terutama perempuan
janda yang suaminya gugur di medan perang.
c). Banyaknya jumlah anak-anak yatim yang perlu diperhatikan
dalam segala hal, utamanya dalam masalah nafkah dan
pendidikan, siapa yang bertanggung jawab.
Semua itu perlu diatasi, maka jangan heran Pemerintah Jerman
setelah Perang Duani ke-2 mewajibkan semua warganegaranya yang
laki-laki wajib berpoligini untuk mengatasi krisis tersebut, yaitu:
Krisis kemanusiaan.
Poligini di era konstitusi 316, seperti sekarang ini masalah
poligini bukan semakin suram tapi semakin tumbuh berkembang.
Meski poligini mendapat tantangan dari pelbagai pihak, seperti
dari kelompok feminisme, genderis, Ulama garis keras yang anti
poligini dan termasuk beberapa konstitusi serta hukum positif di
suatu Negara melarang poligini untuk warganegaranya. Hampir
kebanyakan Negara memposisikan melalui Hukum Positifnya
mendaruratkan poligini. Di Negara-Negara yang menerima poligini
saja masih banyak terdapat perilaku penyimpangan seks. Terus

316 Dimaksud era konstitusi adalah, dimana Negara-Negara telah memiliki Hukum Dasar
Negara yang tertulis, sedangkan untuk mengaturan pemerintahan menerapkan
Hukum Positif untuk setiap warganegaranya. Di dalam politik hukum suatu Negara
yang tertuang dalam Hukum Positif masalah poligini dijadikan masalah darurat.
Termasuk dalam Hukum Positif NKRI yang termuat dalam UU No.1/1974 Tentang
Pokok-Pokok Perkawinan.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 145


bagaimana keberadaan di Negara-Negara yang menolak poligini
tentang nasib wanita usia menikah? M. Idris Ramulyo dalam buku,
Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Pradilan Agama
dan Hukum Perkawinan Islam, memberikan contoh di Swedia yang
melarang poligini hampir 50% lebih setiap tahunnya lahir bayi-
bayi tak berdosa dari hasil proof marriage317. Yang dimaksud proof
marriage adalah, seks uji coba diluar pernikahan resmi, dimana
dilakukan sepasang kekasih untuk menyamakan pandangan hidup
bila mereka telah menikah nanti. Jadi sebelum menikah mereka
sudah hidup bersama layaknya suami-istri. Bila tidak ada kecocokkan
boleh bubaran di tengah jalan dan masing-masing pihak mencari
pasangan lain sampai mereka bertemu kecocokkan bersama, baru
menikah secara resmi.

C. Faktor-faktor Terjadi Poligini


Jika diperhatikan ada beberapa faktor alam dan kejiwaan yang
diyakini pakar ilmu-ilmu sosial yang bisa mendorong terjadinya
poligini, diantaranya adalah:
1. Faktor Iklim.
Kebanyakan pemikir Barat yang menentang poligini selalu
menghubungkan bahwa, poligini hanya cocok di Daerah-Daerah
yang beriklim panas, seperti yang dinyatakan Montesquieu dalam
karyanya, L ‘Esprit des Lois I. Karya tersebut diterjemahkan ke dalam
Bahasa Inggris menjadi, The Sperit of Laws. Lebih jauh Montesquieu
berkata, iklim kita (Eropa) tidak cocok untuk berpoligini hanya di iklim
panas poligini cocok318. Pandangan seperti ini tidak mendasar karena

317 Muhammad Idris Ramulyo; Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata
Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan (Jakarta: INO-HILL, CO, 1985), hal. 244.
318 Murtadha Muthahhari, hal. 208.

146 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


menurut, Gustave le Bon, poligini yang kebenaran dilegalitaskan di
Dunia Timur dengan Ajaran Islam hanyalah sebuah akibat dari suatu
iklim, ras, dan kondisi-kondisi lainnya dari kehidupan yang khas bagi
orang-orang Timur. Di Dunia Barat dimana iklim dan temperaturnya
jauh lebih dingin tidak menuntut keadaan monogami lebih tepat
dan lebih baik, kecuali hanya di dalam Perundang-Undangan belaka
dan tidak seorangpun akan menyangkal, saya kira bahwa, monogami
sangat jarang terdapat dalam prilaku orang-orang Barat319. Dengan
kata lain Gustave le Bon, menyatakan monogami hanya ada dalam
teori di atas kertas Perundang-Undangan, praktek keseharian orang-
orang Barat melakukan poligini terselubung, praktek poligini ilegal.
Seperti dinyatakan Al Purwa Hadiwardoyo, orang-orang Barat
banyak yang melakukan monogam poeneia320, sebagaimana yang
telah dicanakan dalam Injil Matius 19:1-12 dan Markus 10:1-12. Tuhan

319 Murtadha Muthahhari, hal. 211.


320 Beberapa ahli tafsir kitab suci Injil menafsirkan kata, “poeneia” adalah. Perkawinan
yang belum sah, belum diberkati gereja. Maka dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa, Tuhan Yesus mengizinkan perceraian pada pria-wanita yang belum menikah
secara sah. Walaupun mungkin mereka telah hidup bersama layaknya suami-tstri.
Namun ada juga yang menafsirkan kata poeneia berarti, “perzinaan”. Maka Tuhan
Yesus barangkali mau mengajarkan bahwa, suami-istri yang sah boleh bercerai,
apabila salah satu pihak dari suami-istri tersebut berbuat, zina atau kedua-duanya
telah berbuat zina dengan pria atau wanita lain. Periksa, Al Purwa Hadiwardoyo,
hal. 23.
Ada ahli tafsir lain menyatakan bahwa, karena ayat itu (tentang poeneia) hanya
ada di dalam Injil Matius, barangkali ayat itu bukan dari Yesus sendiri, melainkan
disisipkan oleh Matius atau orang redaktor. Entah alasan Pastoral yang praktis,
sebagai dispensasi seperti yang telah diberikan oleh Musa, atau mungkin juga
untuk menyesuaikan ayat itu dengan yang kemudian berlaku dalam gereja lokal
yang menggunakan Injil Matius itu.
Ahli tafsir lain lagi berkata, kata “poeneia” itu sama dengan “poligami hipokrit” yang
suka dilakukan oleh orang-orang Barat. Sedangkan yang dimaksud poligami hipokrit
dapat diartikan, perkawinan tetap menganut asas mobogami, sekali kawin untuk
seumur hidup dan tak terceraikan, tetapi di dalam memenuhi kebutuhan seksual

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 147


Yesus berkata, “Suami yang menceraikan istrinya, kecuali karena
poeneia, dan mengawini orang lain, ia berbuat zina321”.
Pendapat tersebut di atas ditangkis habis oleh Murtadha
Muthahhari, ia memberikan argumentasi sebagai berikut: Pertama,
adat poligini tidak hanya terbatas pada kawasan-kawasan panas
di Timur. Di Iran, sekalipun beriklim sedang terdapat poligini dari
zaman pra Islam. Kedua, sekiranya benar bahwa kaum wanita Timur
menjadi tua lebih dini dan bahwa gejolak nafsur syahwat pria Timur
adalah sebagai penyebab yang sebenarnya dari poligini, mengapa
pria Timur tidak menempuh jalan kehidupan seperti yang di tempuh
kaum pria Barat di abad-abad pertengahan. Mengapa ahli-ahli dan
orang-orang tertentu di Timur mempunyai beberapa orang istri,
mereka tidak mempraktekkan saja pola Barat tentang cinta bebas,
promiskuitas322, dan keserba bebasan seks. Karena menurut Gustave
le Bon, adat monogam di Negara-Negara Barat hanyalah sandiwara
belaka dan formalitas kosong yang hanya terukir indah dalam kitab-
kitab hukum dan tidak ada jejaknya dalam kehidupan sosial yang
nyata323.
Pengertian iklim di sini tidak terbatas kepada keadaan alam
atau cuaca dingin, panas atau sedang, akan tetapi pengertian iklim
di sini termasuk juga peradaban dan kebudayaan. Ahli ilmu-ilmu
sosial menyatakan bahwa, poligini yang dilakukan di banyak Negara
yang oleh penduduknya dianggap sebagai tradisi bukan karena iklim,

boleh dengan siapa saja selain dengan istri sah, asalkan asas suka sama suka tidak
boleh dikesampingkan. Lihat, Gustave le Bon, hal. 422.
321 Al Purwa Hadiwardoyo, hal. 23.
322 Promiskuitas adalah selain mereka memiliki istri sah, mereka juga memiliki pacar
gelap, teman kencan, selingkuhan dan yang sejenisnya. Jadi orang-orang Barat
dengan kata lain, pernikahan monogam tapi praktek seks poligin.
323 Murtadha Muthahhari, hal. 211.

148 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


adalah merupakan sisa-sisa perbudakan kaum wanita, dimana
orang-orang yang berkuasa dan para pemilik harta memperlakukaan
kaum wanita semata-mata sebagai pemuas nafsu seksual oleh para
raja, para pengeran, pada kepala-kepala suku dan para pemilik
harta. Praktek ini kebanyakan terjadi di Negara-Negara panas yang
penduduknya memiliki nafsu seksual lebih tinggi serta seringkali
melakukan perjalanan di mana mereka banyak bertemu dengan
wanita-wanita cantik dan gadis-gadis molek324.
Di samping iklim peradaban juga diartikan iklim budaya,
sebagaimana Montesquieu berkata bahwa, iklim atau kebudayaan
Eropa tidak patut untuk berpoligini. Pernyataan Montesquieu di
sambut hangat Bapa-Bapa Gereja, seperti Theodosius, Arcadius,
Honarious, dll yang beruasaha menghapus sistem perkawinan
poligini di Imperium Kerajaan Romawi. Di mana pada masa Raja
Valentine II pernah mengeluarkan suatu Intruksi kerajaan yang
memberikan izin pada segenap rakyat Kerajaan Romawi untuk
beristri lebih dari seorang perempuan, asalkan mereka menyukainya.
Sepanjang perjalanan sejarah bahwa, para uskup atau para kepala
Gereja tidak ada yang menentang intruksi tersebut sampai masa
pemerintahan Yustinian325.
Tak syak lagi, iklim, peradaban, kebudayaan, dan tradisi dan adat
dari budaya primitif bukan suatu alasan berbentuknya kebiasaan
poligini, halmana telah dibuktikan Gustave le Bon dan Murtadha
Muthahhari bahwa, poligini yang ditentang dunia Barat hanya
sandiwara belaka, mereka bukan menentang praktek poligininya
tapi yang ditentang mereka lembaga poligininya. Pernikahan poligini
resmi dan halal, karena halal dan resmi ada konsekuensi lain, yaitu

324 Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, hal. 51.


325 M. A. Joda al Maula Byk, hal. 10.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 149


tanggung jawab sebagai suami terhadap istri-istrinya. Ini yang
orang Barat tidak mau, mereke mengaggap berat tanggung jawab
tersebut, tapi praktek seksual orang-orang Barat melebihi praktek
poligini. Mereka beristri satu dan tidak boleh cerai tapi mereka bebas
berhubungan seks dengan siapa saja, asalkan asas suka sama suka
tidak dilanggar.
2. Faktor Ekonomi.
Pada pembahasan di awal telah dijeleskan bahwa dalam
kenyataan hidup sosial kemasyarakatan yang tampak terjadinya
perkawinan kedua dan seterusnya yang dilakukan seorang suami
setelah perekonomian mulai mapan326. Percis apa yang dinyatakan
Hussein Bahreisy, kebanyakan poligini di Negara-Negara Arab
sekarang ini dilakukan setelah mereka kaya, sedangkan monogami
pada suami-suami yang miskin. Seorang istri yang miskin selalu
berdoa agar suaminya tetap miskin agar kebahagiaan mereka tetap
terjalin. Alasannya jika suami mendadak jadi orang kaya, maka tidak
ada pikiran lain bagi suami kecuali ingin kawin lagi327.
Kemapanan perekonomian bisa menjadi faktor pendorong
terjadi poligini telah lama dibuktikan oleh Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha, Ali Syari’ati, Murtadha Muthahhari, Jamilah Jones,
Musfir aj Jahrani, dll. Bahkan seorang pemikir Inggris Lord Cramen
berkata agak ekstrim poligini yang dibolehkan Islam merupakan
rahmat bagi wanita miskin serta para pelacur yang menjalankan

326 Etos orang-orang Betawi sering berkata, “Seteh die kaya mulai bertingkeh, segala
ingin kawin lagi”. Harta kekayaan sering membuat orang gelap mata. Dia lupa istri
di rumah setia dan cantik jelita, eh dia kawin lagi sama janda beranak tiga.
327 Hussein Bahreisy; Dari Tepian Sejarah Islam (Surabaya: Bina Ilmu, 1988), hal. 11.

150 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


profesinya lantaran terpaksa keadaan serta kebutuhan hidup mereka
seterusnya328.
Kalau zaman dahulu di Negara-Negara agraris mereka melakukan
poligini untuk meningkatkan perekonomian keluarga. Sebagaimana
telah dijelaskan dan dibuktikan H.O.S Tjokroaminoto dan Ester Talke
Boserup. Boserup berkata, salah satu daya tarik terkuat terhadap
poligini bagi pria Afrika adalah, aspek perekonomian, pria yang
mempunyai banyak istri akan menguasai lahan pertanian lebih
luas lagi, dapat menghasilkan bahan makanan lebih banyak untuk
kesejahteraan keluarganya329
3. Faktor Keluarga.
Praktek poligini ada semacam keturunan, sebagai contoh kakek
peneliti (H. Sa’aba Joglo) beristri tiga banyak anak keturunannya
yang melakukan poligini. Anak seperti Haji Abd Gani (manta lurah)
beristri dua, Haji Abd Rahim beristri dua, Haji Minin beristri dua,
sedangkan ayahku sendiri pernah poligini hanya sebentar. Adapun
cucu-cucunya yang berpoligini Haji Munadi, Haji Akhir Zaman, Pak
Madih dan banyak lagi. Jadi dengan kata lain, poligini ada semacam
keturunan, dan ada saja sebabnya mereka berpoligini, seperti ayahku
sendiri diminta untuk menikahi seorang perempuan oleh keluarga
perempuan tersebut dan ibu memberikan izin, karena perempuan
itu kalau tidak dinikahi ayahku mau bunuh diri.
Sebab lain, Uwaku (Haji Abd Gani, Lurah) menikah lagi disuruh
istrinya sendiri untuk menikah lagi. Katanya, “Seorang kepala Desa
atau Lurah kurang berwibawah kalau hanya beristri satu”. Anehnya,

328 Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, hal. 61.


329 Ester Takle Boserup, hal. 27.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 151


istrinya yang mencarikan calon istri untuk suaminya330. Ternyata
faktor keluarga sangat dominan terhadap tumbuh kembangnya
poligini. Peneliti yakin kasus seperti itu banyak terdapat dalam
kehidupan bermasyarakat, buka pada keluargaku saja tapi pada
keluarga lainnya.
4. Faktor dari Istri Sendiri.
Seperti kasus Uwa hajiku (Haji Abd Gani) yang mantan Lurah
Joglo disuruh menikah lagi dan istrinya sendiri (Hajjah Rohani) yang
mencarikan calon istri. Di atas juga terdapat kasus kasus dimana istri
mau, rela serta ikhlas berbagi suami, berbagi cinta serta berbagi kasih
sayang dengan perempuan lain, seperti yang ditulis Andre Syahreza
dalam tulisannya, The Innocent Rebel: Sisi Aneh Orang Jakarta,
pertama kali terbit tahun 2006. Ibu Aliyah dan Ibu Hajjah Rohani
dalam keadaan sadar, tanpa ada tekanan atau paksaan dari pihak
suami, dan tanpa ada sebab sakit yang berkepanjangan serta tidak
mungkin bisa sembuh kembali juga tanpa istri mandul, merelakan
suami menikah lagi.
Hukum positif mengisyaratkan suami boleh kawin lagi harus
ada alasan alternatif dan alasan komulatif dan dikatagorikan,
“darurat” sehingga suami diizinkan oleh pengadilan Agama untuk
menikah lagi itu harus ada persetujuan tertulis dari istri/istri-istri
dan harus dibuktikan di dalam sidang pengadilan. Istri memberikan
persetujuan atas kehendak hukum, bukan dari lubuk hatinya yang
paling dalam. Ada unsur keterpaksaan, tapi Ibu Aliyah dan Ibu
Rohani menginginkan suami menikah lagi datang dari dalam lubuk
hatinya secara ikhlas.

330 Semua kasus ini benar bukan rekayasa. Tempat kejadian pada keluarga besar peneliti
sendiri di Joglo Jakarta Barat.

152 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


5. Faktor Kondisi Sosial.
Setiap perkawinan suami-istri menghendaki keluarga yang
sakinah, sejahtera, damai, tentram, kekal dan abadi sampai akhir
hayat dikandung bdan. Keluarga sakinah menurut Thabrani, al
Bazzari dan Hakim dalam suatu riwayat menyatakan harus ditunjang
3 (tiga) faktor, yaitu: (i). Wanita yang shalehah, (ii). Tempat tinggal
yang baik, dan (iii). Kendaraan yang baik pula331. Para ahli tafsir hadist,
seperti Abu Sulaiman ad Dahrani berkata, istri yang shalehah itu
bukan bagian dari dunia saja, karena sesungguhnya ia menolongmu
dalam urusan rumah tanggamu, keluargamu dan termasuk dalam
hal syahwat. Kata tempat tinggal yang baik, ditafsirkan lingkungan
keluarga yang tenteram, harmonis, bahagia dan lain sebagainya,
begitu juga lingkungan bermain, teman yang baik, dan miliue lainnya
sangat mendukung. Sedangkan kata kendaraan yang baik bisa
diartikan sarana dan prasarana serta fasilitas lainnya juga mendung
terciptanya keluarga sakinah332.
Dalam keluarga tersebut harus terjalin hubungan yang harmonis
diantara sesama anggota keluarga dengan penuh kasih sayang (Q.
S an Nuur, ayat 20-21) tidak terjadi konflik, cukup pembiayaan dan
kebutuhan rohaniah terpenuhi, dan pasangan suami-istri itu harus
selalu berdoa agar anak keturunan mereka menjadi anak yang shaleh
(Q. S al Furgon, ayat 74) ayah dan ibu merupakan cermin bagi anak-
anaknya. Bahkan Nabi Saw pernah bersabda, al ummu madrotsatul
ulaa, ibu merupakan sekolah yang pertama333.

331 Muhammad Ali as Shabuni; az Zawajul Islam Mubakkiran, terjemah: Mashuri


Ikhwani; Perkawinan Dini yang Islami (Jakarta: Pustaka Amani, 1996), hal. 32.
332 Muhammad Ali as Shabuni, hal. 32.
333 Sebagai bahan pertimbangan, lihat buku; Mendidik Anak dalam Kandungan, karya
Baihaqi AK (Jakarta: Raja Grafindo Press, 1997).

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 153


Terkadang kenyataan hidup berbeda dari teori di atas kertas
serta cita-cita, keluarga sakinah yang dicita-citakan menjadi keluarga
berantakan. Acapkali hukum causalitas berlaku dalam kehidupan
berumah tangga di banyak kasus dan kenyataan hidup seorang
ayah yang suka kawin-cerai serta suka berpoligini. Seringkali diikuti
oleh anak keturunannya melakukan hal yang sama. Ada saja salah
satu dari anak keturunan mereka yang hidupnya dipoligini atau
berpoligini. Ini bukan berarti poligini itu akan turun-menurun tetapi
kenyataan yang ada demikian, karena orang tua biasanya dijadikan
cermin serta tuntunan hidup bagi putra-putrinya. Meski hukum
tidak berpihak kepada keturunan yang ada hanya kenyataan hukum
serta fakta hukum yang berbicara dalam kehidupannya. Bekasnya itu
bisa bersifat positif dan bisa bersifat negatif, tergantung lingkungan
hidup yang ia saksikan, ia rasakan selama ini baik atau buruk.
Faktor teman juga bisa mempengaruhi seseorang untuk
berpoligini. Orang yang suka bergaul dengan maling, sedikit banyak
tahu ilmu permalingan, orang yang bergaul dengan teman yang
suka kawin-cerai akan ikut melakukan kawani-cerai. Begitu juga
orang yang suka berteman kepada penjudi, pemabuk, penzina,
dll akan ikut jejak temannya. Teman yang suka berpoligini akan
diikuti sahabatnya. Nabi Saw bersabda, “Bahwasanya seseorang itu
menurutkan teman bergaulnya, maka hendaknyalah ia memilih siapa
yang akan dijadikan teman bergaulnya” (H.R Ibnu Manii)334.
Begitu juga faktor lingkungan besar pengaruhnya dalam
membina dan membentuk watak, karakter, serta pribadi seseorang.
Bila ia lahir, tumbuh dan berkembang di lingkungan orang-orang
yang suka poligini secara tidak langsung orang tersebut dengan

334 Al Imam Abdurrauf al Manawi; Kuzuuzul Haqoo’iqi fil Hadist Khoirul Kholaa’iqi (tt,
ttp), hal. 100.

154 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


bagaimana caranya akan ikut berpoligini baik disengaja mau tidak
disengaja. Para ahli sosiolog, seperti Emile, Max Weber, Durkheim,
Eugen Ehrlich, dll berkata, lingkungan guru terbaik bagi kehidupan335.
6. Faktor Psikologi.
Menurut Murtadha Muthahhari dan Ahmad Syauqi al Fanjari
menyatakan, faktot psikologis sangat menentukan dalam poligini
yang dimaksud faktor psikologi meliputi:
a. Kejiwaan.
Sudah naluriah sebagai fitrah manusia dimana mencintai
serta menyayangi akan tumbuh dan berkembang secara alami
diantara dua anak manusia yang berlainan jenis. Namun acapkali
ada penyimpangan cinta dan kasih sayang dimana seorang suami
atau seorang istri mencintai serta menyayangi orang lain, bukan
kepada pasangan sahnya, seperti mencintai istri atau suami tetangga,
sahabat, teman dan suami atau istri orang lain. Ada beberapa alasan
yang menyebabkan hal seperti itu bisa terjadi, mungkin saja: (i).
Keluarga berantakan, (ii). Bebasnya bergaul dan bertemu, (iii).
Masing-masing pihak sudah berpengalaman menaklukan hati
orang lain, (iv). Masing-masing pihak sudah merasakan indah dan
manisnya bercinta, (v). Terasa istri atau suami tetangga, teman
dan sahabat lebih menggairakan, (v). Faktor perekonomian telah
mapan, (vi). Suka berfantasi yang negatif, (vii). Ingin menikmati dan
merasakan semua tipe laki-laki bagi perempuan dan tipe perempuan
untuk laki-laki, dan lain-lain.
Islam melalui Kitab Suci Alqur’an memerintahkan kepada
pemeluknya untuk menjaga, (i). Penglihatan atau pandangan mata

335 Soerjono Soekanto; Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 4.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 155


(ii). Pendengaran, dan (iii). Perasaan. Cinta dan sayang berasal
dari pandangan mata dan terus ke hati serta pikiran lalu timbul
persaan. Kata indah penuh kelembutan serta kasih sayang juga bisa
melahirkan rasa cinta serta kasih sayang. Maka Islam memerintahkan
untuk menjaga panca indera tersebut dengan baik lagi benar. Ada
pepatah lama mengatakan, “Rumput di halaman tetangga jauh lebih
bagi dan lebih indah dari pada di halaman rumah sendiri”. Hal ini bisa
dimaknai, “Istri atau suami tetangga lebih menarik dari pada istrin
atau suami sendiri”. Rasulullah Saw mengingatkan untuk berhati-
hati dengan tetangga336.
Menurut Will Durant, wanita yang suka dipoligini memberikan
alasan kemungkinan pengaruh anak-anak lebih lama, dan oleh
karena itu mengurangi frekuensi beranak tanpa menghalangi
kecenderungan erotis dan kecenderungan berkembang-biak dari si
pria. Kadang-kangan istri pertama yang dibebani kerja, membantu
suaminya untuk mencari istri tambahan, supaya ada yang turut
memikul bebannya, dan tambahan anak dapat meningkatkan
kemampuan produksi dan kekayaan keluarga337. Hal serupa
dinyatakan, TB Rony Abdurrahman Nitibarkara, ada satu suku
bangsa yang mendiami pulau Irian Jaya yang wanitanya lebih suka
dipoligini, karena dengan demikian ada teman bekerja di dalam
rumah tangganya338. Pada zaman raja-raja dahulu (dan termasuk
sekarang) banyak wanita yang ingin dan suka dipoligini oleh raja,
pangeran, bangsawan dll dengan alasan untuk meningkatkan status
keluarga, perekonomian, dan yang paling penting untuk mengangkat
derajat keluarga besarnya.

336 Muhammad Faiz Almath, hal. 250.


337 Murtadha Muthahhari, hal. 224.
338 Kuliah Umum di Fakultas Hukum Universitas Tarumanaga Jakarta, 12 Maret 1988.

156 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Faktor kejiwaan ini tidak terbatas hanya pada kepentingan
atau kehendak wanita saja, sering juga faktor kejiwaan ini pada
awalnya ada dorongan (kehendak) orang tua, dan keluarga. Seperti
yang dicontohkan oleh sahabat Umar bin al Khottob. Beliau pernsh
menawarkan putrinya yang sudah janda kepada sahabat Abu Bakar,
tapi Abu Bakar menolaknya, kemudian kepada sahabat Utsam bin
Affan, dan Utsman juga menolaknya. Nabi Saw mendengar berita
tersebut, kemudian Nabi Saw berkata kepada sahabat Umar, “Hafsah
akan mendapat suami lebih baik dari Abu Bakar dan Utsman. Laku
Rasulullah Saw melamar dan mengawininya”339
b. Libido tinggi.
Di dalam ilmu kedokteran orang berlibido tinggi dikenal, “frigid”
artinya orang yang terlalu kuat hawa nafsu birahinya. Ahmad Syauqi al
Farjari, ada orang yang mampu melakukan hubungan sekssual setiap
hari dan ia tidak mampu menahan lebih dari sehari340. Semisal yang
dinyatakan al Fanjari, seorang dokter dari Amerika, Dale Carnegie
yang banyak menulis buku menyatakan, masalah perkawinan dan
seks memang ada beberapa orang laki-laki yang berlibido tinggi atau
kuat dalam melakukan hubungan seks341. Dale Carnegie memberikan
contoh, seperti: Markies de Sade, Kaisar Nero dari kerajaan Romawia,
Kaisar Tiberius dan Kaisar Cara Calai, disamping kuat melakukan

339 H. Hussin Naparin; Muhammad Rasulullah Saw (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hal.
142.
340 Ahmad Syauqi al Fanjari, hal. 181.
341 Bale Carnegie; Cinta, Birahi dan Seks, alih bahasa, Suherman (Langgeng, tt), hal.
102-103.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 157


hubungan seks, mereka tergolong mengidap penyakit sadisme dalam
seks342.
Mengenai Libido tinggi, Montesquieu menisbahkan pada faktor
geografis. Montesqieu percaya bahwa iklim Timur memerlukan adat
poligini. Kaum wanita Timur mencapai usia baligh lebih dini dan
lebih cepat menjadi tua, oleh karena itu pria merasa prlu untuk
beristri dua , tiga, atau empat istri. Disamping itu seorang pria yang
dibesarkan dalam iklim Timur memiliki seksual yang demikian
tinggi sehingga seorang istri saja tidak akan memuaskannya343.
Lain pula menurut, Musfir aj Jahrani, Allah SWT telah
memberikan kekuatan dalam bidang seksual kepada seorang laki-
laki sehingga dapat terjadi seorang suami tidak merasa puas dengan
hanya seorang istri untuk menyalurkan libido seksualnya apalagi
jika istrinya sedang haid dalam waktu yang cukup panjang. Dalam
kondisi seperti itu, untuk menyalurkan libido seksualnya dengan
baik, suami melakukan poligini344. Senada dikatakan Sayyid Quthub,
adanya dorongan libido seksual sdeorang suami tidak mungkin
diingkari, padahal ada masanya seorang istri tidak berhasrat lagi
untuk melayani suaminya karena sakit atau sudah lanjut usia tetapi

342 Dimaksud sadisme seksual adalah, berasal dari namaMarkies de Sale seorang
bangsawan Perancis yang hidup antara tahun 1740-1814 M. ia pernah dipenjarah
selama 27 tahun akibat kejahatan selsual. Selama di penjarah, ia mengisi waktunya
dengan menulis buku tentang perversi seksual yang menyimpang dari biasa.
Orang yang menderita sadisme seksual baru merasakan kenikmatan seks (orgamus)
apabila lawan bermain seksnya disakiti lebih dahulu. Misalnya sebelum melakukan
hubungan seks lawannya disiksa fisiknya. Baru ia merasa puas bila lawan bermain
seksnya semaput kesakitan. Semakin kesakitan lawan bermain seksnya, maka ia
semakin kepuasaan.
343 Murtadha Muthahhari, hal. 220.
344 Musfir aj Jahrani, hal. 72.

158 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


keduanya tetap ingin hidup bersama dan tidak menginginkan
perceraian. Dalam keadaan seperti itu, kita dihadapkan pada tiga
kemungkinan, yaitu: (i). Memaksa suami mengekang hawa nafsu
seksualnya dari keinginan seksual, (ii). Memberikan kebebasan bagi
suami untuk mengumbar nafsu seksualnya dengan banyak wanita
pelacur, dan (iii). Memperbolehkan suami untuk berpoligini dan
tetap hidup bersama dengan istri pertamanya345.
c. Variasi hubungan seks.
Ada orang melakukan poligini karena ingin mencari atau
ingin bervariasi dalam hubungan seksual. Artinya ia ingin selalu
membanding-bandingkan, sekaligus ingin menikmati banyak wanita
dengan pelbagai bentuk fisik, ras, suku bangsa dan warganegara
yang berbeda. Misalnya istri pertama orang Sunda agak kurus, istri
kedua orang Jawa mungkin agak gemuk, istri ketiga orang Batak agak
tinggi dan kasar, dll atau mungkin saja istri pertama WNI dan istri
kedua orang Arab, Amerika, dll. Suami selalu mencari variasi dan
selalu berfantasi seksual dengan berpetualangan seksual kepada
banyak wanita.
Kasus kejahatan seksual seperti ini sejak dahulu sudah ada,
seperti kasus Machiavelli yang diceritakan Will Durant dalam
buku, The Story of Civilization, Machiavelli dan teman-temannya
tidak segan-segan untuk saling bertukar catatan tentang variasi
hubungan seks delam penyelewengan mereka terhadap beberapa
orang wanita346.
Seorang sahabat pernah bercerita bahwa, ia dalam mencari
kepuasan seksual dengan cara berfantasi seks terhadap banyak

345 Musfir aj Jahrani, hal. 72.


346 Murtadha Muthahhari, hal. 223.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 159


perempuan lacur. Ia mengaku belakukan hubungan seks dengan
pelbagai cara (pelbagai variasi) sampai yang tidak pernah ia lakukan
kepada istri, dilakukan pada perempuan lacur tersebut. Jujur hasilnya
luar biasa, seperti itu pengakuan laki-laki tersebut.
d. Mencari kepuasan.
Di atas telah dikutip pendapat, Murfir aj Jahrani dan Sayyid
Quthub bahwa ada laki-laki yang tidak merasa puas kalau hanya
mempunyai satu orang istri saja, oleh karena itu Murtadha
Muthahhari menyifati laki-laki seperti itu dikenal laki-laki
poliginis. Dari dahulu sampai sekarang ini laki-laki merasa bangga
bila memiliki istri lebih dari satu orang. Karena itu, ia dianggap
perkasa yang bisa memuaskan banyak perempuan, dianggap laki-
laki ganteng, gagah-perkasa dan dfianggap juga laki-laki kaya raya.
Sebagai bukti ia mampu menghidupi banyak istri.
Laki-laki yang suka tukar ganti pasangan hidup untuk mencari
kepuasan seksual, Dale Carnegie menamakan “lady killer”347.
Sedangkan wanita yang gila seks dengan cara bergonta-ganti
pasangan seks, dikenal “nymphomaniac”348. Carnegie memberikan

347 Dimaksud lady killer di sini bukan berarti perempuan pembunuh atau laki-laki
pembunuh wanita tetapi laki-laki yang suka sekali melakukan gonta-ganti pasangan
hidup wanita atau gonta-ganti pasangan seksual atau dengan kata lain, “kawin-cerai”
atau “berpetualangan seks dengan banyak wanita”. Tujuannya hanya ingin mencari
kepuasan seksual dengan banyak wanita. Lady killer termasuk salah satu penyakit
penyimpangan seksual yang harus mendapat perhatian oleh pakar seksologi.
348 Dimaksud nymphomaniac berasal dari kata Yunani yang berarti gila laki-laki.
Adalah penyakit nafsu birahi yang teramat berlebihan dan teramat kuat dorongan
seksualnya. Wanita yang terjangkit penyakit ini tidak pernah merasa puas delam
melakukan hubungan seksual terhadap banyak laki-laki mana saja. Bahkan menurut
dale Carnegie pernah berkenalan dengan gadis yang baru berusia 19 tahun dan ia
selama setahun sudah lebih dari dua ratus kali bersetubuh dengan laki-laki dari
pelbagai tipe. Dale Carnegie, hal. 53.

160 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


contoh wanita nymphomaniac adalah Ratu Valeria Messalina349,
dan Catharina van Medicia350. Kedua Ratu ini tidak pernah merasa
puas dalam melakukan hubungan seksual dengan laki-laki model
apa saja di zamannya.
Dibanyak kasus laki-laki yang mencari kepuasan seksual dengan
pelbagai cara, ada yang main dengan pelacur, ada yang melakukan
kawin-cerai, ada yang selingkuh dan hanya laki-laki yang bermoral
saja melakukan poligini. Ternyata perempuan juga seperti itu di
dalam memuaskan hasrat birahinya dengan berhubungan banyak
laki-laki. Awalnya kebanyakan mereka sering berfantasi seksual yang
berlebihan, sehingga keingin melakukan seks terus menggebu-gebu
tanpa ada kendali lagi.

349 Ratu Valeria Messalina anak perempuan dari Konsul Marcus V dengan Messalina
Berbatus. Ia menjadi permaisuri pertama dari Kaisar Claudius di Roma. Ratu
ini terkenal karena kelakuannya yang kelewat batas dalam masalah seksual.
Dia menyiksa serta menyakiti lawan bermain seksnya dengan cara-cara biadab,
antara lain: Bila laki-laki tersebut sudah merasa kesakitan, menjerit, melolong
kesakitan juga hampir pingsan karena penyiksaan itu, barulah gairah seksualnya
bangkit menggebu-gebu. Ia baru berhentik penyiksaan laki-laki tersebut dan baru
dicekoki obat perangsang dan obat kuat ke mulut laki-laki tersebut. Setelah itu
baru Ratu berhubungan seksual secara brutal dan hanya kematian laki-laki lawan
main seksnya Ratu tersebut sampai pada puncak birahinya. Semua laki-laki yang
pernah memuaskan Ratu Valeria Messalina berakhir dengan pembunuhan laki-laki
tersebut.
350 Catharina van Medicia adalah Ratu dari Kerajaan Perancis pada abad ke XV. Dialah
penganjur utama atas pembunuhan besar-besaran di Paris pada tanggal 22-24
Agustus 1512. Peristiwa itu dikenal dengan sejarah, “Malam Bertholomeus”. Karena
yang menjadi korban kaum “Hugenoot”. Catharina menikmati banjir darah sambil
bermain seks dengan para pria pemuas seksualnya. Kegemaran lain Ratu Catharina
adalah memerintahkan dua orang laki-laki bertarung saling membunuh dengan
pedang di tangan masing-masing dan dalam keadaan telanjang bulat. Pemenangnya
dijadikan laki-laki pemuas seksualnya dan setelah itu laki-laki tersebut di bunuh
algojo atas perintah Ratu tersebut.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 161


e. Menemukan ketentraman jiwa.
Banyak laki-laki merasa kurang puas dan kurang tentram bila
hanya memiliki satu orang istri. Menurut mereka pada saat-saat
tertentu merasa bosan berhubungan seks dengan istri dan mereka
membayangkan bisa berhubungan dengan perempuan lain. Yang ada
kebenarian mungkin menikah lagi, sedangkan tidak ada keberanian
jajan di tempat-tempat lacur atau selingkuh bila mendapatkan
perempuan atau laki-laki nakal yang mata keranjang. Memang
tujuan utama perkawinan untuk mendapatkan ketentraman jiwa.

7. Falsafah falisme.
Pandangan ini adalah, pandangan acuk tak acuh dari seorang
istri asalkan semua kebutuhan hidupnya baik materi maupun
imateri dapat dipenuhi suami. Di masyarakat banyak istri yang
berpendangan fatalisme yaitu, istri cuek saja suaminya mau menikah
lagi atau mau main perempuan mana saja yang ia suka asalkan tidak
lupa kewajibannya sebagai seorang suami, atau asalkan suami siap
memberikan apa saja yang dimintanya. Seperti Ibu Hajjah Masih
cuek saja, acuh tak acuh saat mengetahui suaminya menikah lagi.
Bahkan ia sering bilang, “Kalau di rumah dia suamiku dan bila ada
di istri muda atau perempuan lain, itu tanggung jawab perempuan
tersebut”.
Pandangan fatslisme yang membuat poligini dan pelacuran
tumbuh dan berkembang dengan subur. Istri acuh tak acuh atas
perbuatan serta tingkah laku suami di luar sana. Dalam penelitian
yang dilakukan Lilis Suaedah cukup tinggi istri yang berpandangan
seperti itu, hampir 7% lebih.

162 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


D. Hak dan Kewajiban Poligini
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa realita perkawinan poligini
memang menanggung beban kewajiban berlipat ganda bagi seorang
suami ketimbang ia hanya melakukan perkawinan monogini. Karena
menurut Ichtijanto, SA mencakup beban fisik mental lebih berat
bagi suami dan beban moralitas-agamis juga sangat berat351. Poligini
ada syarat adil yang tidak boleh diabaikan (Q.S an Nisaa, ayat 129),
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil terhadap istri-
istrimu…..”, karenanya Allah memperingati kepada laki-laki yang
hendak berpoligini. Seperti dinyatakan, Soesmalijah Soewondo
menyatakan, suami yang berpoligini sekarang harus mengurus,
bertanggung jawab dan memperhatikan dua unit rumah tangga ia
harus mengubah sikap dan prilakunya352. Sebenarnya bukan saja dua
unit rumah tangga itu yang harus diperhatikan; ia juga harus menjaga
hubungan baik dengan tiga keluarga besar, yaitu: Keluarganya sendiri
yang dua unit bila istrinya dua, keluarga mertua istri pertama dan
keluarga mertua istri keduanya.
Di dalam wacana fiqh suami adalah pemimpin rumah tangga
(Keluarga) (Q.S an Nisaa, ayat 34)353. Sebagai pemimpin wajar jika ia
mempunyai tanggung jawab dan kewajiban besar terhadap rumah
tangganya. Dalam kehidupan berumah tangga, suami meemiliki
kelebihan satu derajat terhadap istrinya, yaitu sebagai pemimpin

351 Ichtijanto SA; Perkawinan Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam dan Wacana
Jender (Makalah), Seminar Nasional tentang Poligini Dalam Perspektif Hukum
Islam dan Wacana Feminisme, PMII, Depok, 24 Nopember 2000, FH-UI Depok.
352 Soesmalijah Soewondo; Poligami dan Permasalahan Perkawinan (Keluarga) Ditinjau
dari Aspek Psikologi (Makalah), Seminar Nasional di FH-UI, Depok, 22-11-2000.
353 “Laki-laki (suami) adalah pemimpin bagi wanita (istri) oleh karena itu Allah telah
melebihkan sebagai laki-laki atas perempuan beberapa derajat karena laki-laki
wajib menafkahi perempuan (Q.S 4: 34).

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 163


rumah tangga atau keluarga. Menurut Mahmud Syaltout adalah,
mrupakan kelebihan derajat kepemimpinan rumah tangga atau
keluarga yang timbul sebagai akibat adanya ikatan pernikahan
serta kewajiban hidup bersama sebagai suami-istri354. Jadi kelebihan
suami hanya soal kepemimpinan dan tanggung jawab serta rasa
perlindungan, dan menjaga istri serta anak keturunan bukan saja
di dunia terlebih di akhirat kelak, jangan sampai anak dan istri
terjerumus ke dalam api neraka.
Jadi kelebihan suami atas istri hanya sebatas suami sebagai
pemimpin, pelindung dan penjaga di dalam rumah tangganya.
Sedangkan masalah hak dan kewajiban seimbang diantara suami-
istri (Q.S. al Baqarah, ayat 228 jo Pasal 31 UU No. 1/1974)355. Dalam
kehidupan berumah tangga baik dalam perkawinan monogam
terlebih dalam perkawinan poligin kewajiban seorang suami lebih
berat lagi.
Dengan demikian kedudukan suami istri dalam kehidupan rumah
tangga pada dasarnya adalah sama atau seimbang, tetapi mempunyai
tugas yang berbeda dalam penyelenggaraan fungsi kehidupan
keluarga. Suami sebagai pemimpin rumah tangga mempunyai
tanggung jawab dalam pemberian nafkah lahir-batin, sedangkan
istri mempunyai tanggung jawab mengasuh dan mengurus rumah

354 Mahmud Syaltout; Islam sebagai Akidah dan Syari’ah al Hadist, terjmah: H. Bustami
(Jakarta: Bulan Bintang, 1972), cet ke-2, hal. 135.
355 “Dan para wanita (istri-istri) mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya,
menurut cara yang ma’ruf akan tetapi laki-laki (suami) mempunyai kelebihan satu
derajat dari kaum wanita (istri) (Q.S. al Baqarah, 228).
Pasal 31 UU No. 1/1974 dinyatakan:
(1). Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2). Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3). Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.

164 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


tangga. Perbedaan peran ini hanya bersifat perbedaan fungsional,
sebagaimana Zarkowi Soejoeti berkata, “Perbedaan tugas antara
pria dan wanita ini bukan perbedaan yang tak dapat berubah. Ia
bisa berubah sesuai dengan kesepakatan bersama dalam keluarga
itu dan tentunya juga sesuai dengan nilai-nilai dan kebiasaan yang
lazim dalam masyarakat”356.
Secara kodrati alami suami tetap suami dan tidak mungkin
menjadi istri atau sebaliknya. Meski dalam kenyataan sekarang
sudah banyak istri lebih produktif dari suami dan banyak kehidupan
rumah tangga yang justru dinafkahi istri. Namun demikian istri tetap
sebagai istri dan suami tetap sebagai suami tidak akan berubah kodrat
alami tersebut. Untuk itu Hukum Positif melalui UU No. 1/1974 istri
diberikan peluang untuk mengajukan gugat-cerai manakala peran
itu dirasakan ada perubahan, misalnya karena istri yang merasa
menafkahi keluarganya sehingga istri bertindak seenaknya, mau
menang sendiri, mau berbuat apa saja selalu merasa di atas angin,
sehingga suami tidak ada wibawah lagi di mata istri dan keluarganya.
Keseimbangan hak dan kewajiban dalam rumah tangga bukan
hanya pada perkawinan monogami saja termasuk juga pada
perkawinan poligini. Rasulullah Saw bersabda, “Seorang suami
yang memiliki istri dua tidak boleh cenderung kepada salah satu dari
dua istri tersebut, (bila itu terjadi) ia (suami itu) akan menghadap
Allah SWT dalam keadaan miring sebelah”. Menurut Ichtijanto SA,
kedudukan istri dalam perkawinan poligini sama (tanpa kurang
sedikitpun) dengan istri dalam perkawinan monogami. Hak pada
istri terlindung oleh hukum, asalkan perkawinan poligini yang
mereka tempuh benar menurut Undang-Undang (Pasal 2 ayat 2) dan

356 Zarkowi Soejoeti; Peran Genda Wanita Ditinjau dari Agama Islam (Semarang:
Majalah Wali Songo, LP3M IAIN Wali Songo, 1985), edisi 17, hal. 13.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 165


sah menurut Hukum Agama (Pasal 2 ayat 1) UU No. 1/1974 tentang
Perkawinan.
Suami dan istri berkewajiban untuk saling menghormati, bergaul
dengan baik, memperlakukan pasangan dengan wajar. Sebab suami-
istri laksana pakaian yang saling melengkapi, saling menutupi, saling
menghiasi, saling mengindahkan dan saling mempercantik, bukan
saling menjatuhkan, bukan saling menjajah, bukan saling membuka
aib di depan umum. Suami-istri untuk saling mendahulukan
kepentingan yang harus didahulukan, bersikap sabar, lemah-lembut
agar hati masing-masing suami istri menjadi suri tauladan untuk
yang lain. Seperti Allah SWT firmankan, “…….bergaullah dengan
mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka,
maka bersabarlah….mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal
Allah menjadikkan padanya kebaikan yang banyak…(Q.S an Nisaa,
ayat 19).
Pasal 33 UU No. 1/1974 dinyatakan, “Suami istri wajib saling cinta-
mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir
bathin yang satu kepada yang lain”.
Pasal 34 UU No. 1/1974 berbunyi, “Suami wajib melindungi istrinya
dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai
dengan kemampuannya, (2). Istri wajib mengatur urusan rumah
tangga sebaik-baiknya, dan (3). Jika suami atau istri melalaikan
kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan”.
Tanpa mengurangi sedikitpun hak-hak para istri dalam
perkawinan poligini, seperti itu kurang lebih yang dinyatakan,
Ichtijanto SA357. Termasuk hak untuk menyediakan tempat tinggal
(rumah) bagi para istrinya, termasuk juga indikasi untuk berlaku adil

357 Ictijanto SA, (Makalah), 2000.

166 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


terhadap istri-istri serta anak keturunannya, seperti itu pendapat
Abd Nashir Taufiq al ‘Atthar358. Dalam Hukum Positif Indonesia
diatur dalam pasal 32 ayat 1 berbunyi, “Suami istri harus mempunyai
tempat kediaman yang tetap”, dan ayat 2 berbunyi, “Rumah tempat
kediaman yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini ditentukan oleh suami
istri bersama”.
Dari uraian tersebut di atas dapat kiranya dibedakan mana yang
menjadi hak suami (kewajiban istri) dan mana hak istri (kewajiban
suami) dan begitu seterusnya:
1. Hak istri atau istri-istri.
a). Hak mengenai harta, yaitu: (i). Mahar (Q.S an Nisaa, ayat
4)359, (ii). Nafkah (Q.S al Baqarah, ayat 215 dan 233)360, dan
(iii). Waris (Q.S an Nisaa, ayat 11-3)361.

358 Abd Nashir Taufiq al Atthar, hal. 211.


359 “Berikan mahar kepada wanita-wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan
ikhlas atas kerelaan” (Q. S 4:4), dalam suatu hadist Rasulullah Saw bersabda, “Carilah
maskawin walau hanya cincin besi” (H.R Bukhari-Muslim), Kifayatul al Akhyar, hal.
291.
360 “Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan, jawabnya, apa
saja harta yang kamu nafkahkan hendaknya diberikan kepada ibu-bapak, kaum
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan. Dan apa saja, kebijksanaan yang kamu buat, maka sesiungguhnya Allah
Maha mengetahuinya” (Q.S 2: 215).
“Para ibu hendaknya menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuannya. Dan kewajiban ayah memberikan
makan, pakaian kepada para istri dengan cara yang ma’ruf……….” (Q. S 2:233).
361 Alqur’an Surat an Nisaa adri ayat 11 sampai dengan ayat 13 tentang pembagian harta
warisan. Istri termasuk ahli waris dari suaminya.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 167


b). Hak kepemimpinan (Q. S an Nisaa, ayat 34)362, hak mendapat
perlakukan yang baik (Q.S an Nisaa, ayat 19)363, dan hak
berlaku adil terhadap istri-istri dan anak keturunannya (Q.
S an Nisaa, ayat 129)364.
c). Agar suami menjaga dan memelihara istri-istri dan anak-
anaknya (Q.S at Tahriim, ayat 6)365. Maksudnya adalah
menjaga kehormatan istri-istri tidak menyia-nyiakannya
dan menjaga agar selalu melaksanakan perintah Allah dan
memelihara segala yang dilarang-Nya.
2. Hak suami.
a). Istri haruslah taat kepada Allah dan kepada suami,
memelihara diri baik ada suami maupun tidak ada suami
dan jangan melakukan nusyuz terhadap suami (Q. S an
Nisaa, ayat 34).
b). Mengurus dan menjaga rumah tangga, harta kekayaan suami
dan termasuk didalamnya memelihara anak keturunan
dengan benar (Q. S Luqman 13)366. Bila ada sesuatu keper­
luaan harus minta izin suami

362 “Laki-laki adalah pemimpin bagi wanita (istri-istri) dan (anak-anak)-nya dalam
keluarga” (Q. S 4: 34).
363 “Dan pergaulilah dengan mereka (istri-istri) secara patut (baik). Kemudian jika kamu
tidak menyukai mereka (istri-istri), maka bersabarlah, karena mungkin kamu tidak
suka sesuatu, padahal Allah menjadikannya kebaikan yang banyak” (Q. S 4: 19).
364 “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, sekalipun
kamu ingin melakukan itu…………” (Q. S 4: 129).
365 “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah, manusia dan batu. Penjaganya malaikat-malaikat
yang kasar, keras yang tidak pernah mendurhakai Allah……” (Q. S. 66: 6).
366 “Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya. Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah, benar-benar
kezaliman yang nyata” (Q. S 31: 13).

168 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


3. Hak bersama suami istri atau istri-istri.
Ada beberapa hak yang harus dipenuhi serta dipikul bersama-
sama antara suami dan istri atau istri-istri bila suami berpoligini,
diantaranya:
a). Menikah artinya menghalalkan hubungan kelamin suami
istri367 dan kesempatan saling menikmati atas dasar cinta
kasih serta kasih sayang, “mawaddah wa rahmah” (Q. S ar
Ruum, ayat 21)368 dan saling ketergantungan (Q. S al Baqarah,
ayat 230 jo an Nuur, ayat 32)369. Terbentuk hubungan
perbesanan yang dahulunya orang lain kini menjadi
saudara dan keluarga. Dahulu ibu-bapak hanya satu setelah
menikah menjadi empat, bisa enam, bisa delapan dan bisa
juga sepuluh, yaitu ibu-bapak sendiri dan mertua. Mereka
menjadi muhrim (Q. S an Nisaa, ayat 23)370 diantara mereka
yang haram dinikahi.
b). Terjadi hak saling mempusakkan (saling mewarisi)
dfdiantara suami-istri (Q.S an Nisaa, ayat 11-12 jo Pasal 180

367 Abdul ar Rahman al Jaizri; Kitab Fiqh ‘Ala al Madzhab al Arba’ah, Juz 4 (Mesir: al
Tijariyah, 1979), hal. 1.
368 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah, Dia menciptakan untukmu istri-
istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya
dan dijaikan-Nya di antaramu kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terhadap tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (Q. S 30: 21).
369 “Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu
(istri itu) tidak halal baginya sampai ia kawin lagi (serta bersetubuh) dengan suami
yang baru itu” (Q. S 2: 230).
“Dan nikahilah orang-orang yang tidak mempunyai jodoh di antara kamu (gadis
atau janda) dan orang-orang yang sudah layak untuk dinikahi dari hamba-hamba
sahayamu yang laki-laki dan perempuan” (Q. S 30: 32).
370 “Dan ibu-ibu istrimu ……….” (Q.S 4: 23).

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 169


KHI)371. Apabila salah seorang diantara mereka (suami-istri)
meninggal dunia, maka salah satunya berhak mendapat
warisan dari yang meninggal, sekalipun keduanya belum
bercampur, melakukan hubungan kelamin.
c). Perlakukan dan pergaulan yang baik serta menciptakan
keharmonisan rumah tangga hak mereka bersama agar
tercipta keluarga yang sakinah.
4. Kewajiban istri atau istri-istri.
a). Hormat dan patuh kepada suami dalam batas-batas yang
telah ditentukan oleh norma-norma agama, hukum dan
susila.
Rasulullah Saw bersabda, “Tidak dibenarkan manusia sujud
kepada manusia dan kalau dibenarkan manusia sujud
kepada manusia, aku akan memerintahkan istri sujud kepada
suaminya, karena besarnya jasa suami terhadap istri” (H.R
Ahmad).
b). Mengatur dan mengurus rumah tangga, menjaga
keselamatan dan mewujudkan kesejahteraan keluarga.
Rasulullah Saw bersabda, “Sebaik-baik kamu adalah yang
terbaik terhadap keluarganya dan aku adalah yang terbik dari
kamu terhadap keluargaku. Orang yang memuliakan kaum

371 “Dan untuk dua orang ibu-bapak bagian masing-masing seperempat dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak” (Q. S 4: 11). “Jika kamu
mempunyai anak, mereka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat dan sudah dibayar hutang-
hutangnya” (Q. S 4: 12).
Pasal 180 KHI, “Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan
anak dan bila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat seperdelapan
bagian”.

170 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


wanita adalah orang yang mulia dan orang yang menghina
kaum wanita adalah orang yang tidak tahu budi” (H.R Abu
Asaakir).
c). Memelihara, merawat dan mendidik anak-anak sebagai
amanat Allah SWT.
Rasulullah Saw bersabda, “Tiap bayi dilahirkan dalam
keadaan fitrah – suci – ayah dan ibunyalah kelak yang
mebjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi (penyembah
api dan berhala)” (H.R Imam Bukhari).
d). Memelihara dan menjaga kehormatan serta melindungi
harta benda suami (keluarga) terutama harta suami yang
ada dalam diri istri.
Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa mengawini seorang
wanita karena memandang kedudukannya, maka Allah
akan menambah baginya kerendahan dan barangsiapa
mengawini wanita karena memandang harta bendanya,
maka Allah akan menambah baginya kemelaratan, dan
barangsiapa mengawini wanita karena ketrunannya, maka
Allah akan menambah baginya kehinaan, tetapi barangsiapa
mengawini seorang wanita karena bermaksud ingin meredam
gejolak mata dan menjaga kesucian seksualnya atau
ingin mendekatan ikatan kekeluargaan, maka Allah akan
memberikan baginya istri keberkahan” (H.R Imam Bukhari).
Allah ‘Azza wajalla berfirman dalam hadist qudsi, “Apabila
Aku menginginkan untuk menggabungkan dunia dan akhirat
bagi seorang muslim, maka Aku jadikan hatinya khusyuk
dan lidahnya banyak berzikir. Tubuhnya sabar dengan
menghadapi penderitaan dan Aku jodohkan dia dengan
seorang istri mukminah yang menyenangkannya bila ia

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 171


memandangnya, dapat menjaga kehormatan dirinya dan
memelihara harta suaminya bila suaminya sedang tidak
bersamanya” (H.R Ath Thahawi).
e). Menerima dan menghormati pemberian uami serta
mencukupi nafkah yang diberikan kepadanya dengan baik,
hemat, cermat lagi bijak.
Rasulullah Saw bersabda, “Allah SWT kelak tidak akan
memandang (memperhatikan) seorang wanita (istri) yang
tidak bersyukur kepada memberian suami, padahal selamanya
ia (istri) membutuhkan suaminya” (H.R al Hakim)372.
5. Kewajiban suami.
a). Memelihara kepemimpinan keluarga lahir dan bathin,
dunia-akhirat, serta menjaga dan bertanggung jawab atas
keselamatan dan kesejahteraan keluarga di dunia serta di
akhirat kelak.
b). Memberikan nafkah sesuai dengan kemampuan serta
menguasahkan keperluan keluarga terutama sandang,
pangan dan papan.
Rasulullah Saw bersabda, “Seorang sahabat bertanya
kepada Rasulullah Saw, Apa hak istri terhadap suaminya?
Nabi Saw menjawab, Memberi istri makan bila kamu makan,
memberikannya pakaian bila kamu berpakaian, tidak boleh
memukul wajahnya, tidak boleh menjelek-jelekkannya dan
jangan menjauhinya kecuali di dalam lingkungan rumahmu”
(H.R Abu Daud).

372 Semua hadist-hadist tersebut dipetik dari kitab hadist, 1100 Hadist Terpilih: Sinar
Ajaran Muhammad, karya Muhammad Faiz Almath, 1974.

172 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


c). Membantu tugas-tugas istri yang cukup berat terutama dalam
memelihara serta mendidik anak-anak dengan penuh rasa
tanggung jawab.
Rasulullah Saw bersabda, “Seorang datang kepada Nabi Saw
dan bertanya, Ya Rasulullah Saw apa hak anakku ini? Nabi
Saw menjawab, memberikan nama yang baik, mendidik adab
yang baik, dan memberikannya kedudukan yang baik pula”
(H.R Aththusi).
d). Memberikan kebebasan berpikir, bertindak serta berkreasi
kepada istri sesuai dengan ajaran agama dan perundang-
undangan yang berlaku dan tidak mempersulit istri, apalagi
membuat istri terkekang dan terus menderita lahir-bathin
yang akibatnya istri terjerumus ke dalam kesalahan.
e). Dapat mengatasi keadaan genting karena konflik, misalnya
dan berusaha mencari penyelesaian secara bijak, arif dan
adil agar semua pihak merasa puas. Suami juga tidak boleh
berlaku sewenang-wenang.
6. Kewajiban bersama suami istri atau istri-istri.
a). Saling menghormati orang tua dan keluarga kedua belah
pihak bila pernikahan monogam dan tiga atau empat pihak
bila berpoligini.
b). Memupuk rasa cinta serta kasih sayang, masing-masing
harus dapat menyesuaikan diri, seia-sekata, sering-sejalan,
saling percaya dan mempercayai dan bermusyawarah untuk
kepentingan bersama.
c). Saling menghormsti, saling menghargai, berlaku sopan-
santun, penuh pengertian serta bergaul dengan baik
terutama dalam perkawinan poligini lebih dituntut

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 173


kesabaran, keikhlasan, kerelaan, karena di dalamnya sering
terjadi konflik yang kompleks lagi majemuk.
d). Matang dalam berbuat dan bertindak tidak boleh merasa
benar sendiri, jangan bersikap emosional di dalam
memecahkan permasalahan yang sedang dihadapi.
e). Memelihara kepercayaan dan jangan suka membuka rahasia
pribadi dihadapan orang lain, sekalipun orang itu orang tua
atau mertua. Aib istri adalah aib suami sendiri.
f). Sabar dan rela atas kekurangan-kekurangan dan kelemahan-
kelemahan masing-masing suami-istri373

E. Ekses-ekses yang Ditumbulkan Poligini


Keluarga yang dibentuk secara poliginis sekalipun mendapat
restu dan izin dari istri sebelumnya sedikit banyak pasti timbul
gesekan-gesekan yang berupa ekses-ekses yang berupa tipu-muslihat
diantara istri-istri tersebut akibat praktek poligini suaminya. Ekses-
ekses akibat praktek poligini bisa, diantaranya:
1. Para istri cemburu.
Sudah dapat dipastikan, istri mana yang mau serta rela dimadu
atau wanita mana yang mau diduakan cintanya. Ibu Aliyah yang
katanya rela berbagi suami, pada awal pernikahannya sama
tidak mau dan tidak ada cita-cita mau di madu. Ia mau dan rela
dimadu setelah ikut paham suami dan ikut pengajian-pengajian
kelompok Arqom. Syekh Ashaari atau sering dipanggil juga, Abuya
Ashaari pendiri Darul Arqam merestui dan bahkan menganjurkan

373 Sebagai bahan pertimbangan periksa, M. Muadz D, Makalah, 2000. Dalam seminar
Nasional masalah perkawinan poligini, Depok, UI, 22-11-2000.

174 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


pengikutnya poligini374. Kendati demikian tetap saja rasa cemburu
itu ada, seperti dinyatakan, Ibu Aminah yang merelakan suami
menikah lagi. Padahal Ibu Aminah sendiri yang melamar dan yang
menikahi suaminya, karena Ibu Aminah sadar pada dirinya ada
kelemahan, yaitu, mandul375.
Rasa cemburu akan timbul dalam segala hal, seperti pada rasa
cinta, kasih sayang, saat suami sedang bersama istri yang lain, dan lain
sebagainya. Rasa cemburu tak dapat dipungkiri, siapapun orangnya.
Aisyah sendiri istri seorang Nabi dan Rasul tetap cermburu. Semua
madu-madunya tahu, Rasulullah Saw sangat mencintai Aisyah dari
istri yang lainnya. Sampai suatu hari Rasulullah Saw berdoa untuk
memohon ampun Allah SWT, doa beliau adalah, “Ya Allah bagian
yang aku miliki seperti ini (artinya Rasulullah Saw lebih cinta dan lebih
sayang kepada Aisyah dari pada istri-istri yang lain, setelah wafatnya
Khadijah376) dan janganlah Engkau menyalahi aku dalam hal yang
aku tidak miliki (cinta dan kasih sayang itu milik, Allah)”377.
Aisyah yang sangat dicintai dan disayangi Rasulullah Saw masih
tetap (pernah) cemburu kepada Khadijah dan padahal Khadijah saat
itu telah meninggal dunia. Aisyah pernah bercerita, “Hampir setiap
kali Rasulullah Saw akan keluar rumah, beliau selalu menyebut nama
Khadijah, seraya memujinya. Sehingga pada suatu hari, ketika beliau
menyebut nama Khadijah, timbul rasa cemburuku dan aku katakan
kepada beliau, “Bukankah ia hanya seorang wanita yang sudah tua;
sedangkan Allah telah memberikan pengganti yang lebih muda,

374 Lihat, Kumparan com, Selasa, 1 Nopember 2022.


375 “Hatiku tetap panas bila melihat suami seedang berjalan beriringan dengan istri
muda dan anak laki-laki kecilnya”, seperti itu pengakuan Ibu Aminah pada peneliti,
Rabu 12 Januari 2022.
376 Musfir aj Jahrani, hal. 59.
377 Shahih Muslim, Juz 10, hal. 46.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 175


lebih cantik daripada dia?”. Mendengar perkataan itu Rasulullah
Saw kelihatan agak marah, sehingga bagian depan rambutnya
bergetar. Lalu beliau berkata, “Tidak! Demi Allah! Aku tidak mendapat
pengganti yang lebih baik daripada dia; dia beriman kepadaku ketika
orang-orang lain masih dalam kekafiran. Dia menaruh kepercayaan
kepadaku ketika orang-orang lain mendustakanku. Dia membantu
perjuanganku dengan harta ketika tidak seorangpun melakukannya,
selain dia bersedia membantuku. Dan Allah telah menganugerakan
keturunanku daripadanya dan tidak ada dari istri-istriku yang
lainnya” (al Hadist)378.
Rasa cemburu merupakan tanda cinta dan sayang yang
mendalam, seperti itu nasehat, Zakiah Daradjat terhadap pasangan
suami istri yang mungkin saat itu lagi ada konflik379. Senada
pendapat, Musfir aj Jahrani pada dasarnya kecemburuan merupakan
suatu tanda kejiwaan yang wajar dan itu keluar dari hati nurani
yang murni, ia akan nampak dengan tiga gejolak, yaitu: (i). Adanya
kecintaan seorang istri kepada suaminya, (ii). Egoisme yang sangat
dalam, dan (iii). Dapat mempengaruhi suami untuk tidak berpaling
pada wanita lain380.
Selain itu, kecemburuan seorang istri beranjak dari adanya
rasa khawatir istri itu sendiri terhadap masa depannya takut tidak
disayang dan tidak dicinta lagi dan bahkan tskut ditinggalkan,
sehingga timbul rasa cemburu karena merasa adanya persaingan.
Di keluarga poliginis adalah, hal yang wajar mereka cemburu karena
satu suami dibagi orang banysk, istri-istri yang lain.

378 Jalaluddin Rachmat; Khotbah-Khotbah di Amerika (Bandung: Remaja Rosdakarya,


1997), cet ke-5, hal. 139-140.
379 Zakiah Deradjat; Ketenangan dan Kebahagiaan dalam Keluarga (Jakarta: Bulan
Bintang, 1997), cet ke-3, hal. 19.
380 Musfir aj Jahrani, hal. 49.

176 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


2. Suami dianggap tidak berlaku adil dan bijak.
Kebiasaan poligini sekarang ini lebih banyak pada kehendak nafsu
birahi sehingga lebih banyak mudlaratnya daripada manfaatnya.
Hendaklah poligini dijadikan I’tibar dan sekaligus dalam rangka
mensosialisasikan syari’at Islam dengan benar di bidang hukum
perkawinan bermadu. Malahan sebaliknya, mereka berpoligini
hanya dijadikan anjang melampiaskan nafsu birahi dengan cara
berkedok halal tapi sesungguhnya amat berdosa karena dijalankan
tidak berlaku adil dan bijak. Sampai dengan diri sendiri mereka tidak
berlaku bijak dan adil, dimana pada istri baru lagi muda diporsir
habis-habisan kemampuan seksualnya sampai melupakan istri yang
lainnya.
Praktek poligini tidak berlaku adil dan bijak bisa menyebabkan
perceraian yang datang dari istri sebelumnya. Wanita (istri) yang
paling taat sekalipun bisa antipati bila hendak dimadu suaminya,
kalau suami tidak bisa berlaku adil dan bijak. Mereka lebih rela
berpisah (bercerai) daripada dimadu. Abdul Nashir Taufiq al
Atthar mensinyalir semua itu bersumber dari tindak-tanduk laki-
laki (suami) yang tidak bijak terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
Karena laki-laki adalah kepala keluarga di dalam rumah tangganya,
dan dialah yang bertanggung jawab terhadap apa yang berada di
bawah pengayomannya itu381. Kalau sejak awal pernikahan poligini
suami sudah tidak berlaku adil dan bijak, berarti ia telah menyalahi
aturan poligini itu sendiri.
Akad nikah dalam al Qur’an disebut, “Mitsaqan ghalizha”382
diikrarkan, maka masing-masing pihak suami-istri terpatri satu

381 Abdul Nashir Taufiq at Atthar, hal. 51.


382 Kata mitsaqan ghalizha di dalam alqur’an terdapat di 3 tempat, yaitu: (i). Ketika
Allah SWT membuat perjanjian dengan para Nabi dan Rasul, yaitu: Nabi Nuh,

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 177


ikatan yang kuat lagi kokoh, dan menjadi satu bagian yang utuh halal
untuk melakukan hubungan seks dan tak terpisahkan kecuali ada
hal-hal tertentu saja mereka boleh dipisahkan. Itupun jalan akhir
yang bisa ditempuh. Di antara suami istri tercipta hak dan kewajiban
yang harus dipenuhi dan dijalankan. Masyarakat syi’i berpendapat,
bila suami ingin beristri lagi, pertama harus dimintai pertimbangan
istri pertama383, apakah suami boleh untuk menikah lagi; bila syarat
itu ditinggalkan, maka berarti suami telah berbuat, “zhalim dan
menghianati perjanjian agung (mitsaqan ghalizha) sewaktu ijab
kabul dahulu”.
Islam menerima poligini sebagai salah satu “alternatif” jawaban
terhadap keadaan sosial tertentu yang mesti terjadi, dimana suatu
saat dan keadaan jumlah wanita lebih banyak dari pria yang
disebabkan dengan pelbagai keadaan, seperti peperangan, bencana
alam, kecelakaan kerja, kecelakaan di jalan, dll, dimana korban selalu
lebih banyak laki-laki dari pada perempuan. Belum lagi ditambah
penelitian yang dilakukan, Lilis Suaedah dimana ternyata usia
perempuan lebih panjang dari pada laki-laki. Keadaan-keadaan
seperti ini pastinya jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-
laki. Kalau tidak dibolehkan poligini sudah barang tentu kejahatan
seksual akan terus meningkat. Namun demikian syarat adil lagi bijak
bola hendak berpoligini tidak boleh dikesampingkan.
Meski suatu saat nanti jumlah perempuan lebih banyak
daripada pria tapi syarat adil lagi bijak tidak boleh dikesampingkan,
karena syarat tersebut sudah merupakan satu kesatuan yang tak

Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Mahammad Saw (Q.S 33: 7), (ii).
Ketika Allah SWT mengangkat Bukit Thur di atas kepala Bani Israil dan menyuruh
mereka bersumpah setia kepada Allah SWT (Q.S 4: 154), dan (iii). Ketika Allah SWT
menyaksikan akad nikah (Q.S 4: 129).
383 Murtadha Muthahhari, hal. 252.

178 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


terpisahkan dari syari’at poligini. Untuk itu, Syeikh Muhammad
Abduh, Qamaruddin Khan, Jamal J. Nasir, dan banyak lagi sangat
berhati-hati sekali dalam menerima poligini. Mereka lebih suka
bila perkawinan monogini yang ditegakkan. Alasannya bahwa,
ayat 3 Surat an Nisaa tersebut, sesungguhnya yang dimaksud ayat
tersebut untuk menghapus poligini, bukan sebagai dasar hukum
dibolehkan poligini. Karena dalam ayat tersebut diisyaratkan adanya
kemampuan untuk berlaku adil serta bijak, sementara di dalam Surat
an Nisaa ayat 129 memustahilkan manusia dapat berlaku adil384.
Dalam kenyataan sekarang demikian adanya, seorang yang
dianggap paling alim sekalipun bila berpoligini tidak berlaku adil
lagi bijak terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Sudah banyak
contoh kasus poligini sekarang ini dilakukan tidak sesuai syari’at
Islam, seperti kasus istri-istri simpanan yang dinikahi secara diam-
diam dan banyak dipraktekan para elit-politisi, tokoh dan termasuk
tokoh agama dan orang-orang ternama serta terpandang lainnya,
seperti kasus YZ anggota DPR-RI yang menikahi artis penyanyi
dangdut secara diam-diam385. Semua itu mereka lakukan karena
merasa mempunyai kekuasaan, kekayaan lagi terpandang dan
terkenal. Menurut Wannimaq Hasbul, mereka dengan mudah dapat
menaklukan gadis-gadis cantik untuk dijadikan istri simpanan386.
3. Berebut pengaruh diantara istri.
Dalam keluarga poliginis sering terdengar ribut, bertengkar dan
bahksn sampai berkelahi di antara madu-madu (istri-istri) tersebut.

384 Jamal J Nasir; The Status of Women Under Islamic Law (London: Graham & Troman,
1990), hal. 26. Lihat juga, Nasaruddin Umar; Islam dan Masalah Poligami Pemahaman
Ali Syari’ati, dalam buku; Melawan Hegomoni Barat, hal. 205.
385 Harian Kompas, Minggu, 7 April 2004.
386 Wannimaq Hasbul, hal. 40.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 179


Terlebih pernikahan suami yang kedua, ketiga dan mungkin yang
keempat dilakukan secara tersembunyi; nikah diam-diam dibawah
tangan. Biasanya setelah istri tua atau istri pertama tahu suami
menikah lagi, lalu istri tua tersebut mendatangi madunya, istru muda
suaminya. Mereka ribut, bertengkar dan berkelahi sampai ditonton
orang banyak. Seakan mereka berebut, “suami”. Gesekan tersebut
tidak bisa dihindari lagi dan acapkali orangtua, mertua dan anak-
anak ikut serta menyerbu istri muda tersebut.
Sekalipun kelihatan adem-ayem keluarga poliginis dan tampak
tanpa konflik, namun sesungguhnya masing-masing mereka (para
madu – para istri suaminya) sedang mengatur strategi persaingan
untuk mendapat pengaruh dan perhatian suami lebih dari istri-istri
yang lainnya. Seringkali mereka menggunakan jasa dukun untuk
mempengaruhi suami dan melemahkan madunya. Ibu A istri muda
Pak B, biasa dstang ke dukun agar suami lebih sayang, lebih cinta dan
lebih memperhatikan dirinya dari pada madu-madunya yang lain387.
4. Timbul pertengkaran dan perselisihan.
Suami menikah lagi diam-diam dan dibawah tangan dan setelah
memiliki istri muda jarang pulang ke istri tua atau istri pertama.
Memberikan nafkah sudah tidak teratur lagi baik nafkah lahir
maupun nafkah bathin, maka mulai timbul gesekan, perang dingin
antara istri dengan suami serta madunya, antara anak-anak dengan
ayahnya dan termasuk juga dengan ibu tirinya. Pertengkaran dan
perselisihan diantara anggota keluarga tidak dapat dihindari lagi.
Hal itu mestinya sangat berdampak bagi kelangsungan keluarga serta
berdampak juga atas pertumbuhan dan perkembangan anak-anak

387 Ibu A cerita terang-terangan kepada peneliti, hari jum’at, 28 April 2010.

180 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


ke depan. Banyak kasus istri pertama melakukan gugat-cerai dan
anak-anak broken home dan marah kepada ayahnya.
Di banyak kasus juga istri-istri baik istri tua maupun istri muda
yang sedang marah kepada suami yang mulai jarang pulang dan
jarang memberikan nafkah bathin (seks) mereka (para madu) saling
curiga-mencurigai dan kemarahan tersebut seringkali dilimpahkan
kepada anak-anaknya. Anak yang sering menjadi sasaran kemarahan
orang tua, seperti itu kebiasaan ibu yang dimadu.
5. Keretakan keluarga.
Lembaga perkawinan di Indonesia bersifat majemuk, bukan
lembaga perdata murni, karena disetiap perkawinan banyak orang,
banyak keluarga dan banyak masyarakat ikut serta didalamnya.
Lihat saja, saat pinangan dan saat lamaran sudah melibatkan
anggota keluarga. Saat akad-nikah melibatkan lebih banyak lagi
orang, masyarakat, keluarga, tokoh agama, tokoh masyarakat dan
pejabat pemerintahan, yaitu: KUA. Tujuan utama pernikahan untuk
mempererat hubungan persaudaraan, minimal dua keluarga besar
besan. Jika perkawinan monogam tapi bila pernikahan poligin bisa
tiga, empat dan/atau lima keluarga besar besan. Bila pernikahan
harmonis, bahagia, tentram yang istilah agama, “sakinah”, maka
hubungan kekeluargaan tersebut sangat baik lagi harmonis. Namun
pada keluarga poligin tanpa restu akan terjadi keretakan antar
keluarga tidak dapat dihindari lagi.
Pernikahan yang bersifat majemuk bila terjadi konflik akan
tersebar luas dengan cepat. Mareka saling menghujat dan saling
memarahi masing-masing menganggap dirinya dan keluarganya yang
paling benar. Istri muda selalu dihujat sebagai pihak, “perebut suami
orang”. Kenapa pihak perempuan (istri) yang paling disalahkan,
karena pada pernikahan poligini pihak perempuan yang paling

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 181


menentukan. Perempuanlah yang berhak menerima dan menolak
lamaran laki-laki yang telah beristri. Jika lamaran laki-laki yang telah
beristri diterimanya, maka terjadi pernikahan poligini dan setelah
menikah baru laki-laki (suami) berkewajiban untuk berlaku adil dan
bijak terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya.
6. Kesulitan perekonomian.
Sudah cukup jelas semakin banyak istri, maka semakin banyak
anak-anak yang lahir dan tentunya semakin besar tanggung jawab,
semakin banyak kebutuhan hidup dan semakin banyak pengeluaran
anggaran belanja rumah tangga dan lain sebagainya. Nafkah wajib
hukumnya bagi seorang suami388 terutama nafkah bathin tidak
boleh diabaikan dan acapkali istri-istri tertentu yang kaya-raya tidak
menuntut banyak nafkah lahir yang berupa makan, pakaian dan
tempat tinggal tapi mereka lebih menuntut nafkah bathin yang
berupa kasih-sayang, cinta dan hubungan seksual389. Seperti wasiat
Rasulullah Saw pada saat “hajjatul wada”390. Di hadist lain, Rasulullah
Saw ditanya tentang kewajiban nafkah suami terhadap istri-istrinya,
beliau menjawab, “Beri makan dia jika kamu makan, beri pakaian dia

388 Sayyid Quthub, hal 582. Zaki Sya’ban; Az Zawaj wa ath Thalaq, hal. 40. Musfir aj
Jahrani, hal. 56.
389 Seperti pengakuan Ibu Hajjah Nur pengusaha toko emas tidak pernah menuntut
nafkah lahir tapi ia lebih menuntut perlindungan, kasih sayang, cinta dan tentunya
nafkah seksual. Seperti pengakui Ibu Hj. Nur pada peneliti, Sabtu, 7 Juli 2007.
390 Sunnan Abi Daud, Juz I, hal. 333. Sunnan ath Thirmizi, Juz III, hal. 304. Ibnu Hajjar;
Fathul Barri, Juz IX, hal. 313. Makna hadist tersebut, “Bertakwalah kamu dalam
urusan wanita, sesungguhnya kamu telah mengambil mereka dengan amanah
Allah, dan telah dihalalkan kepada kamu kesucian mereka dengan kalimat Allah,
dan bagimu atas mereka, yaitu tidak menginjak tempat tidurmu seseorang yang
kamu tidak sukai. Jika mereka berbuat demikian pukullah mereka dengan pukulan
yang tidak memberikan bebas. Kewajiban kamu atas mereks menafkahi mereka dan
memberikan pakaian yang baik”.

182 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


jika kamu berpakaian, jangan pikul muka (wajah), jangan menjelek-
jelekkan dia, dan jangan menjauhi dia kecuali di dalam rumah391.
Kedua hadist ini lebih menunjukkan pada unsur ekonomi keluarga.
Di atas telah di bahas bahwa, laki-laki yang ingin kawin lagi
biasanya setelah perekonomian keluarga sudah merasa mapan.
Namun demikian kesulitan-kesulitan perekonomian bila beristri
lebih dari seorang mungkin saja akan timbul (terlebih) lagi kalau
perkawinan yang kedua itu dilangsungkan secara sembunyi-
sembunyi, diam-diam dan nikahnya dilangsungkan di bawah
tangan. Setelah istri pertama mengetahuinya maka semua
penghasilan suami harus di setor kepadanya, kenyataan seperti
itu dirasakan benar oleh para suami yang beristri lagi. Untuk itu
pembentuk perundang-undangan sejak dini sudah mengantisipasi
bagi para suami yang hendak beristri lagi, salah satu persyaratan
yang ditetapkan perundang-undangan adanya permohonan dari
suami atas persetujuan istrinya dan di dalam permohonan itu harus
dilampirkan draft penghasilan atau daftar gaji. Tujuannya agar para
istri dan anak-anaknya tidak akan terlantar.
7. Berebut harta warisan.
Ekses poligini berdampak juga pada pembagian harta warisan.
Masalah harta waris termasuk masalah krusial dalam kehidupan
berumah tangga. Sudah banyak kasus-kasus pembagian harta waris
yang membawa petaka keutuhan keluarga. Di akhir-akhir ini sudah
tiga kasus orang tua (ibu) digugat anak-anaknya gara-gara pembagian
harta warisan yang dinilai tidak adil392. Sudah teramat banyak kasus-

391 Sunnan ath Thirmidzi, Juz III, hal. 304. Sunnan Abi Daud, Juz I, hal. 333.
392 Salah satu kasus terjadi di Bekasi di mana ada seoang anak perempuan, sebut
bernama TS menggugat ibunya, bernama Ibu K masalah pembagian harta warisan

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 183


kasus berebut harta waris baik dalam perkawinan monogini terlebih
dalam perkawinan poligini akan lebih ruwet lagi.
Mestinya perempuan mulai cerdas bila hendak menikah harus
diadakan perjanjian pra-nikah untuk menempatkan harta dalam
pernikahan. Harta dalam pernikahan bisa dikatagorikan tiga (3)
macam, yaitu: (i). Harta bawaan masing-masing, yaitu harta yang
diperoleh – didapat – sebelum pernikahan dilangsungkan, (ii).
Harta suami atau harta istri yang didapat atau diperoleh melalui
warisan, hiba, wasiat dan/atau hadiah, dan (iii). Harta bersama, yaitu
harta yang diperoleh dalam ikatan perkawinan, walau siapapun
yang menghasilkan menjadi harta bersama. Dua harta di atas
(no. 1 dan 2) menjadi tanggung jawab masing-masing suami istri.
Dalam pembagian harta warisan nanti terserah masing-masing cara
membaginya pada harta no. 1 dan 2. Namun agar adil dan sesuai
syari’at Islam harta warisan harus dibagi berdasarkan hukum waris.
Pada perkawinan kedua, ketiga dan/atau keempat harta bersama
harus dihitung setelah pernikahan kedua untuk semua keluarga baik
keluarga pertama maupun keluarga kedua dan begitu seterusnya.
Misal pada pernikahan pertama dengan istri pertama kekayaan
keluarga ditaksir sebesar Rp 5 M, maka yang Rp 5 M ini bukan masuk
harta bersama untuk perkawinan kedua, ketiga dan/atau keempat.
Tapi penghasilan yang didapat setelah perkawinan kedua, maka
harta tersebut termasuk harta bersama untuk istri dan keluarga istri
pertama atau istri tua.

yang dinilai tidak adil, Harian Kompas, Rabu, 17 Juni 2005. Di tahun berikutnya
terjadi di Tangerang, Banten seorang anak menggugat orangtuanya juga gara-gara
harta warisan.

184 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


F. Manfaat dan Madharat Poligini
Dalam menilai keberadaan Lembaga Poligini dilihat dari sudut
pandang pendapat pendukung poligini dan penentang poligini
dapat dikaji secara ilmiah dan bersifat netral tidak memihak
agar keberadaan poligini dapat dilihat secara empiris-kenyataan
benar-benar absah, apa adanya. Tidak menetapkan landasan
untuk kebebasan atau persamaan hak perkawinan poligini, berupa
ketentuan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan serta juga
antara perempuan dengan perempuan yang menetapkan istri tidak
dapat menjalankan fungsi serta kewajibannya sebagai seorang istri,
atau istri mendapat cacat badan, mendapat penyakit yang tidak
dapat disembuhkan lagi, atau istri tidak dapat melahirkan keturunan
(anak) tanpa memperhatikan keadaan sosial lainnya. Banyak terjadi
praktek poligini karena kepentingan sosial bersama antara laki-laki
dan perempuan serta antara perempuan dengan perempuan demi
terjaminnya kebaikkan bersama hidup bermasyarakat.
Benar apa yang dinyatakan Ibnu Baz, poligini itu untuk
kemuliaan wanita itu sendiri, dimana wanita lebih baik mendapat
setengah, sepertiga dan/atau seperempat suami dari pada tidak
memiliki suami. Dengan kata lain bisa dinyatakan, lebih baik wanita
dipoligini daripada melacurkan diri di tempat-tempat hiburan atau
daripada hanya diselingkuhi seorang laki-laki. Menikah artinya ada
rasa tanggung jawab, sedangkan diselingkuhi dan yang sejenisnya
tanpa komitmen apa-apa, puas dan selesai tinggal dan mencari
perselingkuhan baru. Menikah akan lahir hak dan kewajiban
suami-istri, sekalipun mungkin hanya istri kedua, ketiga dan/atau
keempat, dengan menikah utamanya hubungan seksual menjadi
halal, selingkuh tetap haram dan dalam katagori perzinaan.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 185


Para pengambil keputusan dalam menyusun peraturan
perundang-undangan tidak dapat, juga tidak pantas hanya berpegang
kepada perasaan perempuan saja dalam memperbolehkan atau
melarang poligini. Di samping itu pengambil keputusan tidak akan
memuaskan kalau ia hanya berusaha untuk menganggap sepi saja
faktor persamaan itu dalam usaha untuk membentuk susunan sosial
yang memuaskan hendak berlaku arif, bijak dan adil dari semua
sisi kehidupan sosial. Orang akan bingung menghadapi persamaan
yang bermacam-macam dikalangan kaum wanita itu sendiri yang
plus anti poligini di dalam menghadapi permasalahan poligini itu
yang satu umpamanya tidak punya anak dan memberikan izin
suami untuk menikah lagi, wanita kedua justru menganjurkan
suami untuk menikah lagi daripada suka main perempuan jalang
yang bisa berakibat fatal terhadap penyakit AIDS, mematikan
bagi pelaku, mungkin juga istri, anak akan menanggung rasa
malu berkepanjangan, wanita ketiga mungkin dengan senang hati
mengizinkan suami untuk menikah lagi dan wanita keempat mungkin
saja mendambahkan agar bisa menikah dengan seorang laki-laki
yang sudah beristri, karena faktor kemapanan perekonomiannya393.
Pengambil keputusan yang membolehkan poligini itu tentu saja
tidak dapat menghalangi terjadinya pertengkaran antara wanita
yang dimadu. Kecemburuan seorang istri dan keinginan untuk
memonopoli cinta serta kasih sayang suami tanpa ingin berbagi dngan
perempuan-perempuan lain juga tidak dapat dihalangi, karena hal
itu terjadi secara alami. Sayyidah Aisyah binti Abu Bakar as Shiddiq
pernah cemburu terhadap Sayyidah Khadijah binti Khuailid. Padahal

393 Justru saat ini banyak perempuan muda yang suka dengan laki-laki parubaya yang
tentunya laki-laki sedang beristri. Para wanita muda itu lebih mengincar harta dan
prestisenya mendapatkan seorang bos, misalnya, seorang direktur, misalnya atau
seorang pejabat tinggi.

186 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Sayyidah Aisyah sendiri belum pernah menyaksikan Rasulullah
Saw berkumpul bersama Sayyidah Khadijah, sebab sewaktu Aisyah
dinikahi Rasulullah Saw Sayidah Khadijah telah wafat394.
Asumsi-asumsi tersebut dapat ditarik satu kesimpulan,
mana yang termasuk manfaat poligini dan mana yang menjadi
mudlaratnya. Manfaat poligini diantaranya:
(i). Poligini dapat mengangkat persamaan hak antar wanita,
mereka sama-sama dinikahi dan sama-sama mempunyai
suami. Meski mungkin suami mereka laki-laki yang sama.
(ii). Hak dan kewajiban suami istri di dalam perkawinan poligini
sama dengan hak dan kewajiban pada perkawinan monogini
dan bahkan ada satu syarat tambahan, yaitu: Suami harus
berlaku adil terhadap istri-istrinya dan termasuk anak-
keturunannya.
(iii). Poligini masih merupakan solusi terbaik lagi akurat dalam
mengatasi problema sosial dimana jumlah perempuan jauh
lebih banyak daripada jumlah laki-laki diusia kawin.

394 Suatu hari Sayyidah Aisyah memotong cerita Rasulullah Saw sewaktu beliau
menceritakan hal ikwal Khadijah kepadanya, Aisyah berkata, “Bukankah ia hanya
seorang janda tua bangka, sedangkan Allah telah menggantikannya dengan yang
lebih baik (cantik dan muda) buat engkau ya Rasulullah Saw”. Rasulullah Saw berkata,
“Tidak, demi Allah! Sekali-kali Allah tidak akan menggantinya dengan orang yang
lebih baik daripadanya, karena ia telah beriman kepadaku seaktu orang-orang masih
kafir, ia telah mempercayaiku ketika orang-orang semua membohongiku, ia telah
membantuku dengan harta bendanya ketika semua orang-orang membaikutku,
daripadanya Allah memberikan keturunan yang tidak aku dapatkan dari istri-
istri yang lain”. Periksa, Muhammad Aly as Shabuni; Syubuhaatun wa Abaathilun
Khaula Ta’addudi Zaujaatirrasul, alih bahasa, Ibnu Sumadi; Mengapa Rasulullah
Saw Berpoligami (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hal. 14-15.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 187


(iv). Poligini dapat mengurangi angka pelacuran termasuk
perselingkuhan. Lebih baik menikah atau dinikahkan
daripada hanya diselingkuhi saja.
(v). Poligini secara sosio-politis bisa mencegah pertumpahan
darah (peperangan), sarana berda’wah, menjaga perdamaian,
mempererat tali persaudaraan, dll, sebagaimana poligini
yang dijalankan para Nabi-Nabi, Rasul-Rasul, Kiyai dan
tokoh masyarakat lainnya.
(vi). Poligini secara sosio-ekonomis dapat mengatasi kemiskinan.
Menikahi janda-janda tua dapat memberikan perlindungan
terhadap wanita tersebut di hari tuanya, ada yang mengurus,
ada yang merawat, ada yang memberikan makan, sandang
dan pangan, dll.
(vii). Poligini secara sosio-moralis dapat mengangkat harkat dan
derajat wanita, dan
(viii). Poligini secara sosio-kultur dapat menjamin pendidikan
anak-anak yatim.
Sedangkan manfaat yang dapat dipetik dari aturan Hukum
Positif melalui UU No. 1/1974, sebagai berikut:
(i). Poligini dapat mencegah kemusnahan keturunan dari
sebuah keluarga, bila istri mandul Undang-Undang dapat
memberikan izin kepada suami untuk menikah lagi dengan
cara dan prosedur yang telah ditetapkan.
(ii). Poligini dapat menjaga kemurnian seksual suami daripada
suami selingkuh atau main perempuan lacur bila mana
istri tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai istri, karena
bebera hal, seperti: (a). Sakit berkepanjangan, (b). Di vagina

188 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


istri ada masalah, (c). Istri tidak mau lagi melayani suaminya,
dll.
(iii). Poligini bisa menjaga berkesenambungan hubungan seksual
bila istri sedang berhalangan, seperti: (a). Haid, (b). Istri
sedang hamil tua, dan (c). Nifas, dan (d). Bisa saja untuk
sekarang ini, mungkin istri sedang menjadi TKW ke luar
Negeri atau sedang dinas ke luar Kota, dll.
Adapun yang dianggap mudlarat poligini, diantaranya:
(i). Banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan poligini dan
praktek poligini yang disimpangkan, seperti: (a). Suami
menikah lagi secara diam-diam, (b). Suami menikah lagi
dengan cara menipu, (c). Suami menikah lagi mengaku
masih lajang, dll.
(ii). Poligini dilakukan tidak secara adil terhadap istri-istri
sehingga timbul rasa cemburu, rasa kesal dan terus dapat
memicu perselisihan, konflik, bertengkar, berantem,
marahan, dll.
(iii). Poligini akan melahirkan suami suka berbohong.
(iv). Poligini melahirkan kekurangan ekonomi.
(v). Poligini sering menimbulkan perselisihan harta warisan.
(vi). Banyak tokoh Agama, tokoh masyarakat dan tokoh
pemerintahan begitu menikah lagi jatuh wibawahnya dan
banyak pengikut penatikanya yang meninggalkan dirinya.
(vii). Poligini penuh hujatan dan makian dari masyarakat
banyak, dan
(viii). Wanita-wanita yang berpandangan hidup fatalistik dapat
menyuburkan praktek poligini, seperti ada seorang wanita
berkata, “Memang sudah nasib ibu sejak muda dimadu”, atau,

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 189


“Ibu sudah tidak heran lagi hidup dimadu, sebab mamah,
nenek dan mungkin kakek-bulut ibu dimadu”. Jadi mereka
dimadu ada semacam faktor keturunan, dan
(ix). Segelintir Ummat Islam yang melakukan taqlid buta dalam
memahami syari;at Islam sehingga orang berpoligini, ia ikut-
ikutan poligini meski ia sebenarnya belum dianggap mampu
untuk berpoligini.
Masih banyak lagi orang melalukan poligin tanpa menggunakan
pertimbangan akal sehat. Di dalam mengikuti perkembangan
manfaat poligini dan mudlaratnya poligini masih bisa dikaji ulang
bila hendak berpoligini, apakah [oligini yang hendak kita lakukan
bermanfaat atau tidak bila dilihat dari pelbagai sisi. Perkawinan dan
termasuk perkawinan poligini bukan barang mainan.

190 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


BAB VI

ANALISA PUTUSAN HAKIM


TENTANG POLIGINI

A. Kasus Hukum

U
ntuk lebih menyemburnakan penelitian ini diadakan
observasi kasus-kasus hukum tentang poligini ke Pengadilan
Agama Jakarta Barat. Dalam studi ini tidak lain memuat
frekuensi dan prosorsi perkara yang diterima Pengadilan Agama
dari tahun ke tahun akan tetapi yang menjadi fokus kajian bukan
kepada jumlahnya berapa, dan di tahun yang mana yang diterima
Pengadilan. Namun dalam penelitian ini lebih berfokus masalah
izin poligininya baik yang diterima izin poligini tersebut maupun
yang ditolak pengadilan.
1. Prosedur izin poligini.
Dari suatu asumsi yang dikemukakan Jamilah Jones, Abu Aminah
Bilal Philip, Muhammad Rasyid Ridha, Ali Syari’ati, Muhammad
Quraish Shihab, Ichtijanto SA, Noeryamin Aini, dan banyak lagi,
menyatakan bahwa poligini itu sesuatu yang sulit dan berbelit.
Sehingga banyak mereka yang melakukan poligini dengan cara
sembunyi-sembunyi, diam-diam, atau menurut istilah hukum yang

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 191


baku melakukan perkawinan poligini di bawah tangan395. Hal itu
terjadi menurut Noeryamin Aini, mungkin disebabkan oleh syarat
teknis prosedural yang birokratis, berbelit untuk mendapatkan izin
poligini396.
Fakta di lapangan sangat mendukung asumsi tersebut. Simak
kasus izin poligini yang diajukkan Solihin bin Madrusman, umur 49
tahun, Agama Islam, pekerjaan karyawan swasta, tempat tinggal RT
05/RW 02 Kelurahan Kelapa Dua, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta
Barat. Ia mengajukkan permohonan izin poligini pada tanggal 1
Februari 1999 dan baru tanggal 2 Februari 1999 mendapat nomor
registrasi pendaftaran, No. 13/pdt.G/1999/PA. JB. Dan baru empat
bulan kemudian mendapat izin poligini dari Pengadilan Agama,
Jakarta Barat.
Bukan hanya memakan waktu lama dan panjang, pemohon397
juga harus bolak-balik ke Pengadilan Agama yang sudah pasti
memerlukan biaya dan waktu yang banyak. Disamping itu syarat
formal yang telah ditetapkan Undang-Undang Perkawinan Nomor
1 tahun 1974, Pasal 4 dan Pasal 5 harus dipenuhi. Apabila syarat
formal tersebut telah dipenuhi pemohon, maka tidak ada alasan bagi
Pengadilan Agama untuk menolaknya398, lebih jauh Undang-Undang

395 M. Idria Ramulyo; Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan
Agama dan Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: INO-HILL, CO, 1985), hal. 244.
396 Noeryamin Aini; Poligami Dalam Perspektif Islam dan Feminisme (Makalah), Seminar
Nasional Poligami dalam Perspektif Islam dan Feminisme, PMII, 24 Nopember 2000.
397 Dalam masalah izin poligini, pemohon adalah suami yang hendak menikah lagi
dan pada saat yang sama ia (suami) mengajukan surat permohonan ke Pengadilan
Agama diwilayah hukumnya atau di wilayah hukum pemohon.
398 Lebih jelas periksa penjelasan pasal 3 ayat 2, pengadilan dalam memberikan
putusan selain memeriksa apakah syarat yang tersebut dalam pasal 4 dan pasal 5
UU No. 1/1974 telah dipenuhi, harus memperhatikan pula apakah ketentuan hukum
perkawinan dari calon suami mengizinkan adanya poligini.

192 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Nomor 1 tahun 1974 dalam pasal 5 ayat 2 menyatakan tanpa adanya
persetujuan dari termohon399, bila syarat-syarat formal tersebut,
Pasal 4 dan pasal 5 ayat 1 UU No.1/1974 dipenuhi, maka Pengadilan
Agama dapat memberikan izin pemohon untuk berpoligini.
Di sisi yang lain (sebut, Pengadilan Agama) tidak boleh
mempersulit prosedural izin poligini asalkan syarat-syarat formal
yang telah ditetapkan UU No. 1/1974 dapat dipenuhi pemohon.
Menurut informasi dari Hakim, umumnya permohonan izin poligini
tidak ditolak jika ia telah memenuhi syarat-syarat formal yang telah
ditetapkan UU No. 1/1974, Pasal 4 dan pasal 5. Dengan kata lain,
asumsi tersebut dari sisi mana orang melihatnya. Bila dilihat dari sisi
analistis saja memang adak sulit, rumit dan berbelit akan tetapi bila
dilihat dari sisi empiriss poligini itu tidak masalah, boleh berpoligini.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah, bila keinginan seorang
suami hendak berpoligini melalui prosedural yang berlaku menurut
yang diatur UU No. 1/1974 diperlukan waktu cukup panjang dan
ongkos atau biaya cukup besar atau mahal, ditambah pemohon
harus mondar-mandir beberapa kali ke Pengadilan Agama, dan
tentunya juga syarat-syarat formal harus dipenuhi. Padahal masalah
poligini secara sosiologis-empiris tidak membutuhkan syarat teknis
prosedural yang biokratis, berbeli, rumit dan sulit. Seharusnya
masalah poligini lebih bersifat empiris-sosiologis biasa.

399 Pasal 5 ayat 2 UU No. 1/1974 adalah, persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf
a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak
mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian,
atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun
atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim
Pengadilan.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 193


2. Keputusan Hakim tentang Permohonan Poligini.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, apabila syarat-syarat
formal yang telah ditetapkan UU No. 1/1974 dalam pasal 4 dan pasal
5 dapat dipenuhi pemohon, maka tidak ada alasan Hakim untuk
menolaknya. Namun demikian secara empiris-sosiologis Hakim
juga tidak bisa menolak permohonan dari Pemohon dan begitu
juga Termohon tidak bisa menolaknya bila dalam permohonan itu
ada pertimbangan-pertimbangan moralis-agamis, seperti dalam
contoh-contoh putusan Hakim berikut ini.
a). Karena hamil.
Keputusan Pengadilan Agama Jakarta Barat tertanggal 23 Maret
1999 No. 13/Pdt.P/1999/PA.JB. Tentang pemberian izin poligini kepada
Salihin bin Madrusman, umur 49 tahun, Agama Islam, pekerjaan
Swasta, tempat tinggal di RT 005/RW 002 Kelurahan Kelapa Dua,
Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat400. Di dalam pertimbangan
Hakim ada alasan krusial yang harus diperhatikan bila Solihin bin
Madrusman tidak diberikan izin poligini. Alasan itu: Pertama bahwa,
hubungan pemohon dengan calon istri kedua telah intim sekali
bahkan calon istri kedua tersebut telah hamil empat bulan. Kedua
bahwa, kalau pemohon tidak segera menikah dengan calon istri

400 Lebih jelas ksusu izin poligini Solihin bin Madrusman, Umur 49 tahun, Agama Islam,
Karyawan Swasta, tempat tinggal RT005/RW002 Kelurahan Kelapa Dua, Kecamatan
Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Selanjutnya disebut Pemohon. Melawan Tukiyem binti
Parmoredjo, umur 40 tahun, Agama Islam, pekerjaan Ibu Rumah tangga, alamat
s.d.a. Termohon, Solihin bin Madrusman mengajukan surat permohonan poligini
untuk menikah lagi kepada Saidem binti Sakirat, umur 33 tahun, status gadis, Agama
Islam, tempat tinggal di Dukuh Kaligowok, RT 002/RW 004, Kelurahan Kejoran,
Kecamatan Warunggoyam, Kanupaten Kebumen, Jawa Tengah. Permohonan itu
dikabulkan berdasarkan No. 13/Pdt/1999/PA.JB, oleh Pengadilan Agama, Jakarta
Barat. Dengan dasar alasan, pacar Solihin bin Madrusman bernama, Saidem binti
Parmoredjoh telah hamil.

194 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


kedua tersebut, pemohon taklut akan terjadi hal-hal yang tidak
pemohon inginkan401.
b). Pisah ranjang.
Keputusan Pengadilan Agama Jakarta Barat tertanggal 3
Desember 1997 No. 326?pdt.G/1997?PA.JB Tentang pemberian izin
poligini kepada Drs Katidjo Tirtonegoro bin Bunyamin, umur 58
tahun, Agama Islam, pekerjaan Karyawan P2K, Alamat Kemanggisan,
Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat402. Dalam pertimbangan Hakim
ada alasan bahwa, antara pemohon dengan Termohon telah pisah
ranjang lebih kurang 10 tahun.
c). Ingin mempunyai keturunan (anak) lagi dari istri kedua.
Keputusan Pengadilan Agama Jakarta Barat tertanggal 21 April
1991 No. 186?pdt.P/1991/PA.JB. Tentang pemberian izin poligini
kepada H. Tabrani bin Nawi, umur 62 tahun, Agama Islam, pekerjaan
Buruh, Alamat Kampung Sukatani Bakti Mulya RT008/RW 002,

401 Hal-hal yang tidak inginkan pemohon, bisa saja pemohon prustasi, stres dan kecewa
atau mungkin juga bisa bunuh diri atau juga mereka melakukan kumpul kebo tanpa
nikah. Sebagaimana yang disinyalir, Icttijanto, hal ini pilihan yang paling sulit badi
termohon. Tidak diizinkan mereka (pemohon dan calon istrinya) bisa berbuat
nekat, seperti kabur dan menikah di bawah tangan secara diam-diam.
402 Kasus permohonan izin poligini Drs. Katidjo Tirtonegoro bin Bunyamin, umur 58
tahun, Agama Islam, Pekerjaan Karyawan P2K, Alamat Kemanggisan Ilir/Olah Raga
No. 31 C RT008/RW010 Kelurahan Kemanggisan, Kecamatan Palmerah, Jakarta
Barat, selanjutnya disebut, Pemohon, lawan Sarjiyah binti Muchtar Sucipto, umur 52
tahun, Agama Islam, Pekerjaan Sudin Olah-Raga, Alamat s.d.a. Selanjutnya disebut,
Terhomon. Untuk menikah lagi kepada Siti Juriyah, umur 25 tahun, Agama Islam,
Pekerjaan tidak kerja, pendidikan SMEA, alamat Desa Temuguruu, Kecamatan
Sampu Bayuwangi, Jawa Timur. Permohonan tersebut dikabulkan berdasarkan No.
326/Pdt.G/1997/PA. JB.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 195


Kelurahan Tegal Alur, Jakarta Barat403. Dari alasan yang diajukan
pemohon sebagai bahan pertimbangan Hakim adalah bahwa, setelah
Termohon dioperasi kandungan karena kanker rahim dan tidak
mungkin untuk melahirkan keturunan lagi, sedangkan pemohon
menghendaki keturunan404.
d). Libido suami tinggi.
Keputusan Pengadilan Agama Jakarta Barat, tertanggal 10
Maret 1990 No. 03/P/1990 Tentang pemberian izin poligini kepada
Sapruddin bin M. Nur, umur 33 tahun, Agama Islam, pekerjaan
dagang, Alamat Jalan Kemanggisan RT0014/RW008 Kelurahan
Kemanggisan, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat405.

403 Kasus permohonan izin poligini H. Tabrani bin Nawi, umur 62 tahun, Agama Islam,
Pekerjaan buruh, Alamat Kampung Sukatani Bakti Mulya RT008/RW002 Kelurahan
Tegal Alur, Jakarta Barat. Selanjutnya disebut, Pemohon lawan Hj Maria Ulfah binti
H Ahmad Hasan, umur 46 tahun, Agama Islam, Pekerjaan Ibu Rumah Tangga,
Alamat s.d.a selanjutnya disebut, Termohon. Untuk menikah lagi dengan Odah binti
Solihin, umur 21 tahun, Agama Islam, Status Janda asal Tasikmalaya, Jawa Barat.
404 UU No. 1/1974, Pasal 4 ayat 2 huruf c jo Pasal 57 huruf c KHI jo Pasal 41 huruf a PP
No. 9/1975 jo Pasal 10 PP No. 10/1983 di dalam pasal-pasal tersebut dimuat alasan
bolehnya seorang suami berpoligini dengan alasan istri tidak bisa melahirkan
keturunan. Aturan ini ditafsirkan melalui SE No. 8/SE/1983 tentang izin perkawinan
dan perceraian bagi PNS. Pada Bab IV PNS pria yang akan beristri lebih dari satu,
huruf a harus memenuhi syarat alternatif, pada angka 3. Istri tidak dapat melahirkan
keturunan setelah menikah sekurang-kurangnya sepuluh (10) tahun yang dibuktikan
dengan Surat keterangan dokter pe,merintah. Dalam kasus H. Tabrani bin Nawi,
pemohon tidak memenuhi unsur tersebut, karena sebelum dioperasi, Termohon
telah melahirkan anak, yaitu: Latifah, 17 tahun dan Bir Ali, 15 tahun.
405 Kasus permohonan poligini Sapruddin bin M. Nur, umur 33 tahun, Agama
Islam, pekdrjaan dagang, alamat Jalan Kemanggisan RT0014/RW008 Kelurahan
Kemanggisan, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat. Selanjutnya disebut,
Pemohon melawan Yeti Susanti binti TB A. Muchtar, menikah tanggal 15 Februari
1970 untuk selanjutnya disebut, termohon. Pemohon mengajukan untuk menikah
lagi dengan Rita Ferayanti binti M Syaf B, umur 19 tahun, Agama Islam, pekerjaan

196 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Dalam pertimbangan hukumnya Hakim sangat memperhatikan
alasan bahwa, pemohon telah memohon kepada Majelis Hakim
Pengadilan Agama, Jakarta Barat agar dizinkan menikah lagi dengan
calon istrinya yang keuda bernama, Rita Ferayanti binti M. Syaf B.,
dwngan alasan bahwa pemohon mempunyai kejantanan atau libido
lebih tinggi dari kemampuan istri sehingga tidak ada keseimbangan
dalam hubungan intim.
e). Berbuat zina.
Keputusan Pengadilan Agama Jakarta Barat tertanggal 27 Agustus
1990 No. 419/V/1990 Tentang pemberian izin poligini kepadaUdin
Kosasi bin Kosasih, umur 35 tahun, Agama Islam, Pekerjaan
Karyawan Swasta. Tempat tinggal Jalan Dr Susilo II/34, RT007/
RW005 Kelurahan Grogol Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta
Barat406. Salah satu alasan yang mebnjadi pertimbangan hukum
Hakim adalah bahwa, pemohon dikarenakan hilaf melakukan
hubungann sexsual dengan calon istrinya.
Kebanyakan izin poligini dikabulkan Pengadilan Agama dengan
pelbagai pertimbangan hukum oleh Hakim. Pertimbangan atau
alasan tersebut setelah diteliti oleh Majelis Hakim kebanyakan
akibat kecelakaan (calon istri kedua atau ketiga atau juga keempat
sedang hamil) sehingga izin terpaksa diberikan dan istri pertama

Mahasiswi ASMI, alamat Jeruk Nipis No. 1A RT009/RW007 Kepa Duri. Permohonan
dikabulkan.
406 Kasus permohonan poligini Udin Kosasoh bin Kosasih 35 tahun, Agama Islam,
pekerjaan Karyawan Swasta, Alamat Jlln. Dr. Susilo II/34 RT007/RW005 Kelurahan
Grogol, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat. Selanjutnya disebut,
pemohon melawan Nurlaela binti M. Jufri, alamat s.d.a selanjutnya disebut,
Termohon. Pemohon mengajukan izin menikah lagii kepada Sri Nurhayati binti
Ali, 25 tahun, Agama Islam, pekerjaan Swasta, Alamat Jln Jamlang No. 17 RT001/
RW 011 kelurahan Tanah Tinggi, Jawa Barat. Permohonan dikabulkan Hakim.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 197


terpaksa harus menerimanya dari suami dibui atau dihukum. Seperti
izin poligini yang diajukan, P Supang Ripto bin Uyek Suripto, umur 33
tahun, Agama Islam, Pekerjaan PNS, Alamat RT011/RW005 No. K/246
Komplekk KODAM Kelurahan Kalideres, Kecamatan Kalideres,
Jakarta Barat dalam pertimbangan Hakim permohunan tersebut
ditolak, pertama karena dia PNS dan kedua, belum memenuhi syarat
alternatif yang diatur Dalam Surat Edaran No. 08/SE/1983 Tentang
izin perkawinan dan perceraian bagi PNS. Akhirnya P Supang Ripto
bin Uyek Suripto berurusan dengan aparat keamanan, karena
pacarnya telah hamil407.
3. Keputusan Hakim tentang Perceraian Akibat Poligini.
Banyak kasus percraian yang masuk ke Pengadilan Agama
Jakarta Barat akibat poligini di bawah tangan. Suami menikah lagi
secara diam-diam tanpa memberi tahu istri, apalagi minta izin serta
persetujuan dari/istri-istrinya. Bila mendengar kata, “Nikah di bawah
tangan sana dengan nikah sirri” yang sering kita dengan diucapkan
orang banyak termasuk pakar hukum dan bahkan tokoh-tokoh
Agama408. Nikah dibawah tangan juga beda dengan hidup bersama

407 Permohonan P Supang Ripto bin Uyik Suripto ditolak, karena tidak memenuhi
syarat alternatif huruf 3, yaitu istri tidak adapat melahirkan keturunan setelah
menikah sekuarng-kurangnya 10 tahun yang dibuktikan Surat Keterangan dokter
pemerintah. Di dalam sidang terungkap bahaw, P Supang Ripto bin Uyik Suripto
baru melangsungkan pernikahan dengan Eni Ekawati binti H Ngadimin, umur 33
tahun, Agama Islam, Pekerjaan PNS, Alamat s.d.a baru 7 tahun belum dikaruniain
anak.
408 Padahal dua kata berbeda makna yang sangat bertolak belakang, (i). Istilah nikah
dibawa tangan adalah istilah yang digunakan atau literatur yang digunakan
pembentuk UU No. 1/1974. Nikah dibawa tangan sah menurut pandangan syari’at
Islam, hanya pernikahan itu bukan melalui KUA dan tidak tercatat di Kantor
Urusan Agama, dan (ii). Nikah sirri semua Imam Madzab, terutama yang empat:
Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Hambali dan Imam Syafi’i menyatakan,
pernikahan seperti itu (nikah sirri) tidak sah, karena tidak memenuhi syarat sahnya

198 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


tanpa nikah yang mulai “ngetren” sekarang ini di masyarakat akibat
embusan dari budaya luar, Eropa.
Sekarang ini di Eropa sedang terjangkit penyakit kronis di bidang
seksual. Putra-putri di Negara-Negara Eropa banyak melakukan
observasi seksual (menjajaki) sampai seberapa jauh diantara mereka
terdapat persesuaian paham baik ide maupun praktek di dalam
membina rumah tangga yang harmonis dikemudian hari. Untuk
itu mereka melakukan “froof marriage”409 dalam jangka waktu
tertentu, bila ternyata diantara mereka dalam jangka waktu tertentu

pernikahan. Sedang nikah dibawah tangan sah, hanya perkawinan tersebut tidak
melalui KUA dan tidak tercatat di KUA.
409 Froof Marriage bisa diartikan hidup bersama di masa pra-nikah atau kawin
percobaan tanpa nikah terlebih dahulu.
Menurut, Ya’kub HAR yang termasuk froof marriage adalah: (i). Kawin kontrak,
bentuk perkawinan ini tidak berlandasan mawaddah wa rahmah, tidak berdasarkan
cinta kasih serta kasih sayang. Mereka hanya butuh dan perlu seks belaka. (ii). Kawin
tamasya, yaitu bentuk perkawinan selama bertamasya atau selama pelesiran, selama
menjadi turis juga tanpa menikah dan selesai tamasya mereka bubaran. (iii). Kawin
semu;, yaitu bentuk perkawinan ingin mendapatkan sesuatu, misalnya artis siap
dinikahi sutradara asal mendapat peran utama di proyek film itu, banyak WNA
Cina menikah dengan gadis atau laki-laki pribumi (WNI) agar mendapat status
kewarganegaraan Indonesia, setelah yang diinginkan tercapai mereka bubaran.
(iv). Kawin percobaan dan bisa ada kecocokan baru kawin benaran, bila tidak ada
kecocokan mereka bubaran. Mahasiswa dan mahasiswi kita banyak melakukan
perkawinan seperti ini; selama study mereka menikah dan selesai studi mereka
bubaran. (v). Kawin lari, yaitu kawin nekat. Prinsip mereka setelah mendapat anak
dan cucu untu kakek-neneknya pasti dirstui. Bila tidak direstui juga mereka bisa
bubaran dan bisa meneruskan pernikahan tersebut tanpa restu orang tua. Ya’kub
HAR; Pelecehan Hak-Hak Wanita (Jakarta: Gema Harta Prima, 1994), hal. 41-43.
Di dalam literatur Hukum Islam ada yang hampir sama dengan froof mirriage,
yaitu nikah mut’ah. Dalam suatu hadist Rasulullah Saw bersabda, “Rasulullah Saw
melarang kawin mut’ah (H.R Imam Bukhari). Periksa, Muhammad Faiz Almath;
Qobasun min Nuril’ Muhammad Saw (Darul Kutub al Arabiyyah, Damsyik, Syiria,
1974), hal. 235. Muhammad Faiz Almath di dalam menafsirkan hadist ini adalah,
mut’ah sama dengan kawin kontrak.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 199


ada persesuaian dalam segala hal, seperti persamaan pandangan,
paham, ide dan lain sebagainya, maka hubungan mereka diteruskan
kejenjang perkawinan. Bila tidak ada persesuaian mereka bubaran
sampai di situ dan masing-masing mereka mencari pasangan baru.
Anak-anak yang lahir dititipkan ke panti-panti sosial milik negara.
Nikah di bawah tangan tidak sama dengan froof marriage, karena
nikah di bawah tangan sah secara moralis-agamin tapi menurut
Hukum Positif melalu UU No. 1/1974 belum dianggap sempur, karena:
(i). Perkawinan tersebut tidak melalui KUA, (ii). Perkawinan tersebut
belum tercatat, dan (iii). Di nikah di bawah tanggan tidak bisa
dibuktikan secara hukum, karena dalam pernikahan tersebut tidak
memiliki “akta nikah’ atau “buku nikah”. Meski awal pelaksanaan
nikah tersebut dilakukan di bawah tangan dan lalu kemudian didaftar
serta dicatat di Kantor Urusan Agama, KUA akan mengeluarkan akta
nikah, maka yang dulunya nikah di bawah tangan menjadi nikah
resmi atau sah menurut pandangan Hukum Positif tanpa harus
mengulangi pernikahan tersebut atau nikah baru.
Nikah di bawah tangan bukan soal, sah atau tidak sahnya
pernikahan tersebut, karena di dalam UU No. 1/1974 pada pasal 1
dinyatakan, perkawinan sah menurut agama dan kepercayaan
masing-masing. Dalam Agama Islam telah diatur rukun dan syarat
sahnya perkawinan. Namun dalam pandangan Hukum Positif nikah
di bawah tangan sangat berrisiko dan sangat berdampak pada

Kelompok Sunni dengan pelopor utamanya, Imam Maliki, Hambali, Hanafi dan
Imam Syafi’i mengharamkan nikah mut’ah. Sedangkan kelompok Syi’i atau Si’ah
membolehkan nikah mut’ah. Menurut, Murtadha Muthahhari nikah dalam Agama
Islam ada dua macam, yaitu: (i). Nikah daim, dan (ii). Nikah mut’ah. Nikah daim ada
hak dan kewajiban suami-istri, sedang nikah mut’ah tidak ada. Periksa, Murtadha
Muthahhari; The Rights of Women in Islam, 1981, hal. 15.

200 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


perjalanan kehidupan rumah tangga untuk seterusnya. Seperti yang
tersirat dan tersura dalam kasus-kasus perkawinan berikut ini:
1). Keputusan Pengadilan Agama Jakarta Barat, tertanggal 22 Oktober
2000 No. 298/Pdt.G/2000/PA.JB tentang gugat cerai akibat poligini di
bawah tangan (istri kedua) antara Nur Hasanah binti Muhammad Mi’an
menggugat suaminya, TB Somawidjaya bin TB Kartika Sinta Wijaya.
Salah satu alasan gugatan adalah, suami menikah lagi dengan istri krtiga
bernama, Siti Nuriah tanpa seizin istri pertama dan istri kedua. Begitu
juga kesaksian istri pertama, sewaktu kawin dengan istri kedua, ia (sua-
mi) juga tanpa seizin saya. Gugatan tersebut dikabulkan dengan pertim-
bangan hukum sebagai berikut:

a). Karena adanya korelasi laporan penggugat dengan para


saksi;
b). Penggugat dan tergugat sudah berpisah selama 1 tahun;
c). Dalam kehidupan rumah tangga sudah tidak ada unsur
saling mencintai dan saling menyayangi.
d). Diantara keduanya sudah kehilangan harkat, hakekat dan
makna perkawinan;
e). Dalil penggugat sudah memenuhi unsur yang terkandung
dalam pasal 39 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 jo pasal 19 huruf f
PP No. 9 tahun 1975 dan sejalan dengan KHI pasal 116 huruf
f410.
Peneliti dapati selama sepuluh tahun terakhir, kasus seperti itu
yang masuk ke Pengadilan Agama, Jakarta Barat, sebanyak 14 kasus.

410 UU No. 1/1974 pasal 29 ayat 1 dinyatakan, “Perceraian hanya dapat dilakukan di
depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
Pp No. 9/1975 pasal 19 huruf F berbunyi, “Antara suami dan istri terus menerus hidup
tidak rukun lagi dalam rumah tangga”.
KHI pasal 116 huruf f memuat, “Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan
dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga”.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 201


Mungkin yang terjadi di tempat lain (Pengadilan lain di seluruh
Indonesia) bisa ratusan kasus. Belum lagi kasus-kasus seperti itu
(nikah di bawah tangan) yang tanpa melalui Pengadilan lebih banyak
lagi.
2). Keputusan Pengadilan Agama Jakarta Barat, tertanggal 21 Maret
2000, Nomor 31/Pdt.G/2000/PA.JB tentang gugat cerai akibat
poligini antara Sawiji bnti Djaya Dja’far menggugat suaminya,
Syaifuddin bin Sainan. Alasan gugatan adalah: (i). Tergugat kawin
lagi dan penggugat tidak mau dimadu, (ii). Keduanya telah pisah
rumah selama 10 bulan, dan (iii). Sudah 15 tahun menikah antara
penggugat dengan tergugat belum mempunyai anak. Gugatan
tersebut dikabulkan Hakim dengan pertimbangan hukum:
a). Penggugat tidak mau dimadu;
b). Keduanya sudah kehilangan rasa cinta dan kasih sayang
sehingga sulit disatukan kembali;
c). Alasan penggugat telah memenuhi dalil-dalil dan unsur-
unsur yang terkandung dalam pasal 39 ayat 2 UU No. 1 tahun
1974 jo pasal 19 huruf (f) PP No. 9 tahun 1975 dan sejalan
dengan KHI pasal 116 huruf (f)411.
Pada kasus ini sayang tidak disebutkan apakah suami kawin
lagi dengan wanita lain melalui prosedural yang berlaku atau tidak,
karena di dalam kasus ini suami sangat berpeluang untuk berpoligini.
Mengingat sudah 15 tahun hidup berumah tangga dengan istri
pertama belum juga dikaruniakan anak keturunan. Andaikata yang

411 UU No. 1/1974 pasal 39 ayat 2 berbunyi, “Untuk melakukan perceraian harus ada
cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami-
istri”.

202 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


mandul istri, maka suami telah memenuhi syarat-syarat yang diatur
delam UU No.1 tahun 1974.
3). Keputusan Pengadilan Agama Jakarta Barat, tertanggal 8 Juli
2000 tentang poligini di bawah tangan antara Dra. Donna
Simanjuntak binti Ahmad Simanjuntak, menggugat suaminya
Drs. H.M Yanuar bin H Rahmat. Adapun alasan gugat cerai
adalah:
a). Tergugat menikah lagi tanpa seizin penggugat;
b). Disamping itu tergugat suka berzina dengan wanita lain;
c). Tergugat tidak mempunyai tanggung jawab terhadap istri
dan anak-anaknya.
Gugatan tersebut dikabulkan Hakim dengan pertimbangan
hukum yang paling utama: (i). Melakukan poligini tanpa seizin istri
(Pengadilan Agama), dan (ii). Masalah hukum zina412.
4). Keputusan Pengadilan Agama Jakarta Barat, tertangal 20 Maret
2000 Nomor 136?Pdt.G/2000/PA.JB tentang perceraian akibat
poligini antara Tarlim bin Kartomi memohon agar istri mudanya
bernama, Ria Marianah binti Tasrip untuk diceraikan di hadapan
Sidang Pengadilan Agama dengan alasan pemohon sudah
tidak dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya (istri kedua).
Permohonan ini dikabulkan Hakim dengan pertimbangan
hukum termohon menerima alasan pemohon tersebut.
5). Keputusan Pengadilan Agama Jakarta Barat, tertangal 5 Mei 2000
Nomor 142/Pdt.G/2000/PA.JB tentang perceraian akibat poligini
antara Drs. H. Tk Muhiduddien bin Tk Cut Din (Pemohon)
dengan Hj. Emmywaty M binti H. Muchtar Said (termohon)

412 Q.S 17 (al Isra): 32 “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang paling buruk”.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 203


ingin menceraikan termohon (istri kedua) dengan alasan sudah
tidak bisa berlaku adil. Permohonan itu ditolak Hakim dengan
pertimbangan hukum istri kedua rela dan ridho menjadi istri
kedua meskipun suami tidak bisa atau tidak dapat berlaku adil.
Dalam kenyataan sehari-hari baik poligini legal ataupun yang
ilegal mengandung dampak sosiologis yang positif dan nrgatif dari
sisi mana kita melihatnya, dampak-dampak tersebut adalah:
a). Di satu sisi perkawinan poligini dibawah tangan bisa berakhir
dengan perceraian, manakala istri pertama mengetahui
suami menikah lagi tanpa seizin dirinya, dan bila istri
pertama menerimanya namun dalam masalah pembagian
harta warisan sering timbul permasalahan, karena secara
legalitas keberadaan istri kedua dan anak-anaknya dalam
pandangan hukum tidak memiliki legalitas kuat di mata
hukum (dalam hal ini hukum positif), karena tidak ada
bukti tertulis. Kecuali istri pertama dan anak-anaknya
mau menerima secara legowo menurut syari’at Islam akan
memiliki kedudukan yang sama diantara mereka, istri-istri
dan anak keturunannya.
b). Jika poligini dilakukan menurut prosedur hukum, karena
ada izin istri pertama dan syarat-syarat yang ditentukan
hukum, baik Hukum Islam maupun Hukum Positif, maka (i).
Pengadilan Agama tidak ada alasan hukum untuk menolak
permohonan tersebut, (ii). Poligini telah dilaksanakan
karena telah memenuhi prosedur yang berlaku, akan
tetapi bila suami tidak dapat berlaku adil, maka istri yang
merasa dizholimi bisa melakukan gugat cerai dan gugatan
tersebut bisa dikabulkan dengan syarat alasan tersebut bisa
diterima suami atau hakim. Namun bila mereka ridho dan

204 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


menerimanya suami tidak bisa berlaku adil, hakim tidak
boleh menceraikan, dan (iii). Poligini awalnya dilakukan
di bawah tangan tapi ada izin dari istri pertamanya, maka
suami bisa melegalkan perkawinan kedua dengan bukti-
bukti akurat dan bukti-bukti sesuai dengan aturan hukum
positif.

B. Analisa Kasus Hukum


Dari kasus-kasus tersebut di atas dapat dianalisa sebagai berikut:
1. Permasalahan.
Ada beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasikan dalam
penelitian ini, antara lain:
a. Bagaimana pengertian dan rumusan poligini yang
sebenarnya, mengingat di Indonesia terdapat pluralisme
Hukum Perkawinan.
b. Dalam keadaan bagaimana dibolehkan poligini;
c. Hak siapa poligini itu, hak laki-laki atau hak perempuan;
d. Bisakah poligini murni dilangsungkan di Indonesia dan di
dunia untuk sekarang ini;
e. Bagaimana fungsi sosial dan Negara dalam masalah poligini
ini.
2. Pemecahan.
Dari idetifikasi masalah-masalah tersebut diperlukan jawaban
yang seoptimal mungkin, mengingat masalah poligini termasuk
masalah krusial dimana bukan sekedar boleh dan tidak boleh,
dihukum atau tidak dihukum, dan berdosa atau tidak bila poligini
dilakukan tanpa berlaku adil. Poligini termasuk lembaga hukum
besar, ruwet, rumit dan unik, karena semua kepentingan sosial ada

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 205


didalamnya, seperti masalah hukum, politik, da’wah, ekonomi, dll
permasalahan ada padanya.
Jawaban-jawaban permasalahan tersebut di atas dapat dijabarkan se-
bagai berikut, yaitu:

a). Bagaimana pengertian dan permasalahan poligini itu?


Di masyarakat hukum Indonesia telah terjadi kelirumologi
tentang memaknai istilah seorang suami beristri lebih dari seorang
mereka sebut, “poligami”. Padahal poligami bisa bermakna, “Poligini
dan poliandri”, maka untuk penelitian ini:
1). Peneliti menggunakan istilah poligini, dimana seorang
suami memiliki istri lebih dari satu dalam kurun waktu
yang bersamaan. Istilah ini telah digunakan di semua Kamus
Bahasa dan Kamus Hukum di seluruh dunia dan terkasuk
Kamus Bahasan Indonesia.
2). Poligini termasuk lembaga hukum tua terdapat di semua
ajaran agama413, semua masyarakat adat414, dan juga banyak

413 Agama monotaisme, seperti Agama-Agama Nabi dan Rasul terdahulu, yaitu:
Yahudi, Nasrani dan termasuk Islam membolehkan poligini tapi mereka melarang
poliandri. Nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad Saw kebanyakan mereka
berpoligini tanpa batas jumlahnya. Sampai Nabi Daud as ditegur Allah SWT untuk
poligini yang ke-100 kalinya. Dalam perjalanan waktu Agama Nasrani berubah
di Negara-Negara Eropa menjadi Agama Kristen yang membagi dua kelompok
besar, yaitu: Katholih dan Protestan. Katholik masih mempertahankan poligini,
sedang Protestan berusaha menghapus perkawinan poligini melalui Bapa-Bapa
Gereja (Hakim-Hakim 8:30, 10:45. 12:14). Berhasilkah mereka (Bapa-Bapa Gereja)
memonogamikan perkawinan, ternyata tidak sampai hari ini banyak pemeluk
Agama Kristen Protestan yang mempraktekan poligini baik yang legal maupun yang
ilegal, seperti yang telah dijelaskan pada Bab-Bab awal dalam penelitian ini. Agama
Islam jelas sampai hari ini membolehkan poligini asalkan syarat adil ditegakkan
(Q.S 4:1-3 dan 127-130).
414 Kontjoroningrat, Sayyid Quthub, Musfir aj Jahrani, Abd Nashir al Attar, dll telah
membuktikan bahwa poligini terdapat hampir di seluruh masyarakat dunia dan

206 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


sistem hukum positif suatu Negara membolehkan poligini
baik dengan syarat ketat, ringan dan ada tanpa syarat sama
sekali asalkan syarat yang ditetapkan suatu ajaran agama
tidak dilanggar415. Kebolehkan poligini hampir berlaku di
seluruh dunia, bahkan Negara Jerman pernah mewajibkan
Warga Negara yang laki-laki wajib poligini sehabis Perang
Dunia ke-2.
3). Di masyarakat Indonesia telah mengenal dan mempraktekan
poligini sejak zaman Raja-Raja Hindu dan Budha dan
bahkan menurut Kontjoroningrat jauh sebelum itu. Suami
yang beristri lebih dari satu dikenal perkawinan bermadu
dan istri yang dipoligini dikenal, “dimadu”.
4). Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pusta, 1999
pada halaman 779 memberikan istilah, “poligini”.
5). Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Pokok-
Pokok Perkawinan memberikan nama, “poligami”416.
6). Dalam literatur-literatur ilmiah yang ditulis para pakar
hukum kebanyakan menggunakan istilah, “Poligami”
untuk suami yang beristri lebih dari satu dalam waktu yang
bersamaan.

bahkan di masyarakat Cina di Tibet bukan saja poligini mereka kaum perempuannya
suka poliandri.
415 Ambil contoh, Hukum Positif Indonesia, Mesir, Aljazair, Maroko, Syria, dll
membolehkan poligini dengan syarat ketat dan tanpa syarat ketat, asalkan syarat
yang telah ditetapkan agama tidak di tinggalkan. Negara-Negara yang melakukan
syarat poligini diposisikan sebagai keadaan darurat baru boleh digunakan. Hukum
Positif Jerman dahulu, sehabis Perang Dunia II telah mewajibkan warga Negara
Jerman yang laki-laki wajib poligini.
416 Penjelasan autentik, Pasal 3 ayat 2.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 207


7). Sedangkan di dalam literatur-literatur Islam, bersitri lebih
dari satu dalam waktu yang bersamaan mereka sebut,
“ta’addud az zaujat”.
Ternyata masalah poligini bukan sekedar persoalan boleh atau
tidak boleh, sebagaimana telah diatur hukum, atau persoalan sah
atau tidak sah, sebagaimana telah diatur ajaran agama, atau masalah
memenuhi syarat atau tidak memenuhi syarat, sebagaimana telah
ditetapkan aturan hukum positif suatu Negara. Lepas dari itu semua,
masalah poloigini memang suatu lembaga hukum yang mesti ada
dan harus legal, meningat suatu saat dan waktu sangat dibutuhkan
di dalam mengatasi pelbagai persoalan hidup berkeluarga,
bermasyarakat, berbangsa, bernegara serta beragama. Poligini tetap
solusi terbaik untuk mengatasi itu semua tidak ada solusi lain selain
poligini untuk mengatasi jumlah wanita lebih banyak dari laki-laki.
Jika dilihat dari sisi hukum manapun di dunia ini.
b). Di Indonesia terdapat pluratitas Hukum Perkawinan.
Di masyarakat yang mejemuk, seperti masyarakat hukum
Indonesia yang terdiri dari pelbagai suku bangsa dan agama serta
aliran kepercayaan terhadap masalah perkawinan juga terjadi
pluralisme hukum perkawinan. Ada yang bersumber dari hukum
adat, hukum barat – BW – dari Negeri Belanda, dan Hukum Agama.
Dalam Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 dinyatakan, “Negara menjamin
kemerdekaan penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Agama-
agama yang banyak dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Agama
Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu417.

417 UU No. 1/PNPS/1965, penjelasan Pasal 1.

208 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Di dalam ajaran-ajaran agama tersebut masih ada yang memiliki
hukum perkawinan dan termasuk masalah poligini (Agama Islam),
sedangkan ajaran-ajaran agama yang lain, seperti Kristen: Protestan
dan Katholik hukum perkawinannya bersumber pada hukum perdata
dari Eropa (BW) ditambah Ordomansi Perkawinan Kristen serta
hukum adat masing-masing pemeluk agama Kristen. Hukum perdata
berlaku di Indonesia berdasarkan asas konkrodasi. Bagi pemeluk
agama Hindu, Budha dan Kong Hu Cu hukum perkawinannya
berdasarkan hukum adat masing-masing.
Pluralisme hukum perkawinan tersebut, Negara berinisiatif
untuk membuat persatuan hukum perkawinan, maka dibentuk serta
lahir UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Hukum Perkawinan
untuk semua masyarakat Indonesia dan dilengkapi beberapa
Peraturan-Pemerintah tentang perkawinan, dan bagi masyarakat
Muslim Indonesia masih ditambah KHI. Namun demikian dalam
praktek hukum perkawinan masih nampak jelas terjadi pluralitas
dalam pelaksanaan perkawinan dimana, (i). Syarat-syarat serta
rukun sahnya perkawinan diambil dari Hukum Agama, (ii). Nikah
harus di KUA dan nikah harus tercatat diambil dari Hukum Perdata,
dan (iii). Pelaksanaan akad-nikah serta pesta pernikahan digunakan
Hukum Adat.
c). Dalam keadaan bagaimana poligini baru dibolehkan.
Poligini telah mentradisi jauh sebelum Agama Islam lahir
dan datang ke Indonesia. Islam membawa aturan poligini hanya
bersifat mengevaluasi keberadaan poligini yang sudah berurat-akat
di pelbagai masyarakat dunia. Di tanah Arab sendiri tempat turun
Agama Islam tradisi poligini telah ada dan poligini dilakukan tanpa
batas jumlah istri, banyak sahabat-sahabat Rasulullah Saw sebelum

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 209


masuk Islam beristri tidak terbatas jumlahnya, seperti Ghilan, Naufal,
dan lainnya.
Agama Islam datang memberikan pembaruhan hukum
poligini dengan cara, (i). Poligini boleh dilakukan asalkan sanggup
memenuhi syarat adil terhadap istri-istri serta anak-anaknya, dan
(ii). Agama Islam memberikan batas pasti terhadap laki-laki yang
hendak berpoligini, yaitu empat orang istri saja dalam waktu yang
sama, lebih dari empat adalah, haram, berdosa. Agama Islam tidak
mewajibkan atau mengharamkan ummatnya untuk berpoligini. Juga
Agama Islam tidak memposisikan poligini pada tempat darurat.
Siapa yang hampu berlaku adil, boleh berpoligini. Poligini dalam
Agama Islam dalam bentuk penawaran untuk seorang laki-laki
daripada laki-laki tersebut menikahi anak-anak yatim perempuan
tanpa mahar dan tanpa beralu adil, maka ditawarkan untuk menikahi
wanita lain (yang bukan yatim, bukan hamba) bisa dua, bisa tiga dan
bisa empat yang ia cintai asalkan dapat berlaku adil, bila tidak adil
cukup satu saja, dan bila satu juga tidak mampu memberikan nafkah,
bisa dengan hamba-sahaya.
Tawaran yang sangat manis dari ajaran Islam, karena Islam
tahu manusia baik laki-laki maupun perempuan butuh hubungan
biologis, seks, siapapun orangnya. Urusan seksual masalah besar
dalam Islam, maka dari itu kebutuhan seks tidak boleh diumbar. Bila
diumbar bisa masuk ke dalam perbuatan fahisyah – zina. Hukum
zina termasuk dosa besar, karena di dalam zina bisa merusak atau
melanggar: (i). Hukum Zina, (ii). Hukum Perkawinan, (iii). Hukum
Nasab, (iv). Hukum Perwalian, (v). Hukum waris, dan (vi). Sosiologi
hukum. Anak hasil zina sering disebut, “anak haram jadah”.
Dari urain tersebut di atas, jelas bahwa seorang suami boleh
menikah lagi kapan saja asalkan syarat sahnya poligini dapat

210 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


dipenuhi serta dapat berlaku adil dalam segala hal kehidupan
rumah tangga poligini. Jika tidak dapat memenuhi syarat sah
poligini dan tidak akan dapat berlaku adil, jangan berpoligini karena
bertentangan dengan hukum positif, hukum Agama dan etika atau
moral kehidupan berumah tangga.
d). Hak siapa poligini itu.
Bukan hanya asumsi tetapi kenyataan bahwa, jumlah wanita
usia menikah jauh lebih banyak jumlahnya dari jumlah pria. Dari
kenyataan ini bisa dilihat bukti lain, dimana: (i). Lebih banyak wanita
yang menjadi penghibur, pelacur daripada laki-laki yang menjadi
jigolo, (ii). Lembih banyak janda daripada duda, dan (iii). Wanita
selingkuh kebanyakan hanya dengan satu laki-laki tapi laki-laki bisa
menselingkuhi banyak wanita dalam waktu yang sama. Alibi ini
menunjukan banyakan perempuan daripada laki-laki.
Lalu timbul satu pertanyaan, hak siapa poligini itu? Jawabnya,
Hak perempuan dan kewajiban laki-laki. Dalam soal perkawinan
pihak perempuan lebih berhak untuk menerima atau menolak
lamaran seorang laki-laki. Seperti dicontohkan Sahabat Umar yang
menawarkan putrinya kepada Sahabat Utsman dan Sahabat Abu
Bakar, tetapi kedua sahabat tersebut menolaknya, sehingga Rasulullah
Saw mengetahui hal tersebut. Untuk menjaga persahabatan baik
dengan sahabat Umar, Rasulullah Saw bersedia menikahi putri
sahabat Umar yang bernama, Habsah. Dari contoh kasus Sahabat
Umar dapat dimaknai bahwa, pihak perempuan yang lebih aktif
dalam mencari jodoh.
Bila perempuan yang hendak dilamar tahu bahwa, laki-laki yang
hendak dilamarnya seorang laki-laki telah beristri dan lalu lamaran
itu diterimanya dengan pelbagai pertimbangan masak serta pikiran
jernih lagi rasional. Kemudian terjadi pernikahan (poligini), maka

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 211


sejak saat itu juga baru timbul kewajiban suami untuk berlaku adil
terhadap istri-istrinya dan termasuk anak-anaknya.
Namun demikian calon suami poliginis tetap harus memenuhi
rukun dan syarat sahnya perkawinan dan ditambah syarat adil
terhadap istri-istri serta anak-anaknya. Bukan lantara hak perkawinan
itu lebih pada hak perempuan, sehingga laki-laki melakukan
seenaknya dalam berpoligini. Hak dalam pandangan hukum bisa
digunakan – bisa dipakai – dan bisa juga tidak digunakan dan tidak
dipakai.
Walhasil masalah poligini bukan hanya unsur legalis-positifis,
bukan hanya unsur moralitas-agamis belaka, namun secara empiris-
sosiologis lebih bersifat penegakan serta persamaan hak kewanitaan
– antar wanita. Seperti yang dinyatakan, Ichtijanto SA, poligini
adalah masalah antara perempuan. Walau laki-laki seolah-olah
lebih bersifat poliginis dan perempuan bersifat monoginis tetapi
nyatanya laki-laki hanya berfungsi sebagai pelaksana hak wanita
tersebut. Sebagai pelaksana hak, maka laki-laki sudah barang tentu
harus memenuhi kewajibannya.
Disamping alasan-alasan tersebut di atas yang mendukung
poligini sebagai hak perempuan dan kewajiban laki-laki, maka dapat
dilihat alasan-alasan lain sebagai hak tersebut:
1. Alasan pembentuk Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974, pasal 4 berbunyi, “Pengadilan dimaksud dalam ayat 1 pasal
ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan
beristri lebih dari seorang, apabila:
a). Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b). Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c). Istri tidak dapat melahirkan.

212 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


2. Alasan Agama (Islam) yang mendukung poligini hak perempuan,
adalah:
a). Dapat mengangkat derajat perempuan yatim (Q.S 4:3 dan
127)’
b). Dapat mengatasi problem banyak janda (Q.S 2:232) dan
Rasulullah Saw sendiri semua istrinya janda, kecuali Aisyah
yang gadis-perawan;
c). Dapat mengangkat derajat budak wanita (Q.S 4:3).
Biasanya budak-budak yang dinikahi tuanya secara hukum,
dimerdekakan;
d). Dapat mengatasi masa haid (Q.S 2:222 jo at Thalaq)
wanita yang sedang haid harus dijauhi, artinya tidak boleh
disetubuhi, haram hukumnya;
e). Dapat mengatasi masalah nifas, menurut Syaekh Ali Jaad al
Haq, wanita yang sedang nifas haram digauli418.
3. Alasan Sosiologis meliputi:
a). Jumlah wanita usia nikah jauh lebih banyak dari laki-laki,
sebagaimana yang dinyatakan, Murtadha Muthahhari;
b). Status perekonomian penyebab wanita suka, mau dan rela
dimadu, sebagaimana dinyatakan, Ester T. Boserup;
c). Pendidikan, pengajaran, hukum, politik, da’wah, dan
masalah sosial yang lainnya, seperti poligininya Rasulullah
Saw dengan banyak wanita;
d). Alasan kekuasaan, seperti poligininya Raja-raja dahulu.
e). Masalah tanggung jawab dan luas beribadah, seperti
pengakuan Ibu Hj. Masih istri tua Pak H. Munadi berkata

418 Syaekh Ali Jaad al Haq, hal. 49.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 213


mau dimadu karena bisa mengurangi rasa tanggung jawab
terhadap suami. Katanya, “Bila suami ada di istri muda itu
menjadi tanggung jawabnya dan kita bisa lebih leluas untuk
ke ta’lim”419.
e). Bisakah poligini dilakukan secara murni.
Yang dimaksud poligini murni adalah, perkawinan poligini yang
dilangsungkan tanpa adanya syarat formal yang terdapat di dalam
Hukum Positif. Yaitu UU No. 1/1974, pasal pasal 4 ayat 2 berbunyi,
Pengadilan dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hanya memberikan izin
kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang, apabila:
a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Nampaknya tanpa dapat memenuhi persyaratan terdsebut
hampir tidak mungkin seorang suami mendapat izin untuk menikah
lagi oleh Majlis Hakim Pengadilan Agama. Namun demikian atas
pertimbangan moral, kultur dan juga agama ternyata seorang suami
masih bisa mendapat izin untuk berpoligini, meskipun tanpa dapat
memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, seperti kasus izin poligini
yang diajukann Abdul Rasyid bin Mapparenta dengan nomor
register 10/Pdt.G/1995/PA.JB untuk menikah lagi kepada Misliah
binti Marwan.
Di dalam persidangan yang dihadiri pemohon (Abdul Rasyid
bin Mapparenta), termohon (istri pertama bernama, Nurlia binti
Muadjib), calon istri kedua, Misliah binti Marwan, serta dihadiri

419 Jawab Ibu Hj. Masiah sewaktu ditanya peneliti (Lilis Suaedah), Kenapa Mpok mau
dimad? Jawabannya seperti tersebut di atas. Senin, 2 Januari 2002.

214 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


dua orang saksi yang adil, terungkap termohon rela dimadu asalkan
suami bisa berlaku adil di dalam membina dua rumah tangga.
Ada suatu kasus yang menarik dalam masyarakat di mana teman
peneliti, sebut Ibu Hj. Masiah yang rela serta ikhlas dimadu. Entah itu
dijadikan istri tua (istri pertama) maupun muda (istri kedua). Alasan
yang dikemukakan cukup simpel sekali, “Kalau dimadu tanggung
jawab sebagai istri agak berkurang, karena ada dua orang (istri) yang
akan bertanggung jawab terhadap seorang suami”
f). Bagaimana fungsi sosial dalam masalah poligini.
Jika pertanyaannya dibalik, bagaimana fungsi poligini dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan? Mungkin jawaban yang akan
keluar adalah, lembaga poligini bisa dijadikan sebagai lembaga
penyeimbang keadaan sosial kemasyarakatan, dimana kita sudah
saling tahu bahwa, dalam keadaan bagaimanapun jumlah wanita
lebih banyak daripada laki-laki. Bila tidak ada lembaga poligini
sudah barang tentu banyak wanita yang tidak mendapatkan jodoh.
Untuk menjawab pertanyaan di atas memang agak sulit,
mengingat fungsi sosial terhadap poligini adalah, sebagai wahana
berkembang atau tidak berkembang lembaga poligini itu di dalam
suatu masyarakat yang majemuk, terlebih di dalam masyarakat
yang memiliki pluralitas hukum perkawinannya. Sudah barang
tentu memiliki wacana yang berbeda pula disetiap sistem hukum
perkawinan. Kesulitan tersebut bisa diakibatkan:
a. Wacana Hukum Perdata dalam masalah perkawinan
menganut Asas monogami secara mutlak.
b. Wacana Hukum Adati dalam masalah perkawinan
tergantung kepada masyarakat adat yang pluralistik, yaitu
(i). Ada yang menganut monogami karena pengaruh ajaran

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 215


Gereja dan ajaran Hukum Perdata. Sekalinya mereka
didalam memenuhi hasrat seksualnya dengan cara jajan
atau main perempuan, entah itu serong, ku,mpul kebo
atau yang sejenisnya. (ii). Ada melakukan poligini tanpa
batas, seperti yang dipraktekan ketua-ketua adat dan ketua
suku di pedalaman masih banyak yang berpoligin tanpa
batas, dan (iii). Ada yang berpoligini dengan batas tertentu,
karena telah dipengaruhi Agama Islam. Namun demikian
pada umumnya mereka berpoligini tanpa berlaku adil dalam
segala hal, seperti malam giliran, tempat kediaman, pakain,
dll.
c. Hukum Islam membolehkan poligini dengan syarat harus
dapat berlaku adil dalam semua hal hidup berpoligini.
d. Wacana Hukum Positif yang dapat dasarnya menganut asas
monogami tapi dalam keadaan tertentu (khusus) dibolehkan
berpoligini bagi seorang suami. Namun keempat (4) wacana
hukum tersebut melarang polindri.
g). Bagaimana fungsi Negara dalam masalah poligini.
Negara berfungsi memberikan landasan hukum yang pasti untuk
menjaga kepastian hukum bagi lembaga poligini. Sebagaimana telah
diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan
aturan pelaksanaannya yang berupa, Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975, serta konsensus hukum bersama antara Umaro dan
Ulama yang melahirkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada tahun
1997.

216 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


BAB VII

PENUTUP

T
elah diuraikan panjang lebar di atas masalah poligini dengan
segala aspeknya, maka berikut ddapat ditarik beberapa
kesimpulan, diantaranya:

A. Letak, kedudukan serta keberadaan Hukum Islam dalam Tata


Hukum Indonesia.
Hukum Agama (khusus Agama Islam) di dalam tata Hukum
Indonesia telah ada sejak lama, sejak Negara Kesatuan Republik
Indonesia terbentuk – merdeka pada tanggal 17 tahun 1945 – sejak
zaman raja-raja hukum Agama Islam telah ada dan telah digunakan
secara pasti. Hukum Islam sebagai hukum yang dihormati dan
hukum yang bisa mempengaruhi masyarakat adat Indonesia.
Hukum Islam dan hukum (kebiasaan) adat masyarakat saat ini
telah berjalan secara serasi, sesuai dengan perasaan hati-nurahi serta
rasio-akal masyarakat adat sejak lama420. Sehingga banyak pepatah

420 Muhammad Daud Ali berkata, “dari penelitian sejarah, Hukum Islam telah ada di
Indonesia sejak bermukimnya orang-orang Islam di Nusantara”. Periksa, Muhammad
Daud Ali; Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1991), cet ke-2, hal. 7. Samsul
Wahidin dan Abdurrahman berkata, “Jadi masuk dan berkembangnya Hukum Islam
di Indonesia adalah, bersamaan dengan masuk dan berkembangnya Agama Islam
itu sendiri”. Periksa, Samsul Wahidin dan Abdurrahman; Perkembangan Ringkas
Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademik Pressindo, 1984), hal. 15.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 217


menyatakan, “Adat berlapiskan syara’ dan syara’ berlandaskan Kitab
Suci Alqur’an”. Setelah Indonesia merdeka, tanggal 17 Agustus 1945
Hukum Islam menjadi salah satu sumber hukum Nasional Indonesia.
Keberadaan Hukum Islam dalan tatanan Hukum Nasional Indonesia
berdasarkan teori eksistensi421. Teori eksistensi sebagai teori tata
hukum mengungkapkan keberadaan Hukum Islam dalam Tata
Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia422.

B. Aturan Hukum Perkawinan sebelum lahir UU No, 1 Tahun 1974


Sebelum lahir Undang-Undang Perkawinan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yaitu: UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
di Indonesia berlaku pluralisme Hukum perkawinan, seperti: Hukum
Perdata Belanda, Hukum Adat masing-masing dan Hukum Agama
Islam. Setelah diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974 terjadi unifikasi

421 Ichtijanto AS; Perkawinan Campuran Dalam Negara Republik Indonesia (Jakarta:
Program Pascasarjana UI, 1993), hal. 311. Periksa juga Makalah beliau; Konstribusi
Hukum Islam Terhadap Hukum Nasional, Makalah, Orrasi Ilmiah pada Pembukaan
Perkuliahan Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah Darunnajah, Jakarta, 17 Oktober 1993.
422 Teori eksistensi dalam kaitannya dengan Hukum Islam adalah, teori yang
menerangkan tentang adanya Hukum Islam dalam Hukum Nasional Indonesia.
Teori ini mengungkapkan pula bentuk eksistensi Hukum Islam dalam Hukum
Nasional Indonesia. Periksa, “Kenang-Kenangan Seabad Peradilan Agama di
Indonesia” (Jakarta: Direktorat Pembina Badan Peradilan Agama Dirjen Bimbingan
Islam, Departemen Agama, 1985), hal. 163. Menurut Ictijanto AS, teori eksistensi
dalam bentuk eksistensi Hukum Islam berada dalam Hukum Nasional Indonesia; (i).
Ada, dalam arti Hukum Islam berada dalam Hukum Nasional sebagai bagian integral
darinya, (ii). Ada, dalam arti adanya dengan kemandiriannya yang diakui dan
berkuatan Hukum Nasional dan sebagai Hukum Nasional, (iii). Ada dalam Hukum
Nasional dalam arti norma Hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring
badan-badan hukum Nasional Indonesia, dan (iv). Ada dalam Hukum Nasional
dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama Hukum Nasional Indonesia.
Periksa, Konstribusi Hukum Islam Terhadap Hukum Nasional, Makalah, Orasi
Ilmiah di Sekolah Tinggi Darunnajah, 17 Oktober 1993.

218 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Hukum Perkawinan di Indonesia. Hukum Perkawinan ini, UU No.
1/1974 diramu dengan apik berdasarkan serta bersumberkan Hukum
Adat, Hukum Islam, Hukum perdata serta ordonansi Perkawinan
Kristen dan pemikiran-pemikiran baru tentang Hukum Perkawinan
yang disesuaikan dengan adat kebiasaan asalkan tidak bertentangan
dengan Hukum Islam.

C. Peraturan Hukum Tentang Poligini


Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa di Indonesia
terdapat pluralitas hukum perkawinan dan termasuk perkawinan
poligini, sehingga pelbagai persepsi terjadi dan berkembangan
masalah poligini. Hal ini dapat dilihat dari masing-masing sumber
Hukum yang ada di dalam masyarakat hukum Indonesia, yaitu:
a). Hukum Adat.
Di dalam masyarakat adat banyak dijumpai praktek poligini.
Pandangan tradisional adat terhadap praktek poligini adalah sebagai
berikut:
1. Sebagai tanda kebesaran.
Di dalam masyarakat masih banyak pandangan atau anggapan
seorang laki-laki memiliki banyak istri sebagai bukti, ia orang kaya,
orang hebar atau laki-laki segala-galanya, sehingga ia mempu beristri
banyak.
2. Sebagai sarana untuk memperoleh kedudukan kemasyarakatan
yang lebih tinggi tingkatannya daripada yang diduduki sekarang.
Dahulu banyak orang tua yang menginginkan anak gadisnya
atau istrinya diserahkan kepada ketua-ketua kabilah, (seperti
masyarakat adat Arab jahiliyah), ketua suku atau kepada raja-raja
yang berkuasa agar mereka (orang tua atau suami) mendapatkan

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 219


turunan seperti orang-orang tersebut yang berdarah biru. Orang
tua dan suami merasa bangga bila memiliki kaitan dengan orang-
orang hebat tersebut. Banyaknya selir dan gundik karena hadiah dari
masyarakat banyak atau kerajaan-kerajaan jajahan.
3. Sebagai sarana untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Beristri banyak bisa dijadikan batu-loncatan agar mendapat
kedudukan tinggi dan perekonomian keluarga bisa diraih lebih tinggi
dan lebih maksimal. Banyak istri berarti banyak pendukungnya dan
banyak istri berarti lebih banyak menguasai lahan pertanian dan
ladang peternakan, seperti di Negara-Negara Afrika.
4. Sebagai sarana berbangga diri.
Banyak istri sebagai rasa kebanggaan diri, karena bisa dianggap
laki-laki hebat dan perkasa, buktinya bisa menaklukan hati banyak
wanita dan terlebih bisa memuaskan kebutuhan seksual istri-istrinya.
5. Dan masih banyak motifasi lain, kenapa seorang laki-laki beristri
banyak menurut pandangan masyarakat adat.
b). Hukum Islam.
Agama Islam bukan perancang dan pembawa ajaran poligini
yang pertama, karena poligini telah ada dan telah dipraktekan sejak
lama, sejak Agama Islam jauh belum diturunkan Allah melalui Nabi-
Nya, Muhammad Saw. Agama Islam hanya memberikan batasan
dari poligin tanpa batas menjadi poligini terbatas, dari poligini liar
tanpa syarat menjadi poligini bersyarat, dari poligini tanpa akad-
nikah menjadi poligini dengan akad-nikah, dan dari poligini dengan
siapa saja (dengan saudara, bibi) menjadi poligini yang beretika yang
sesuai dengan syari’at Islam.

220 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


1. pembatasan jumlah istri.
Sebelum Agama Islam turun poligini dijalankan tanpa batas
hampir di seluruh dunia, seperti di Masyarakat adat Indonesia
banyak raja-raja, pangeran, pembesar kerajaan, orang-orang
yang mempunyai istri sebanyak-banyaknya asalkan dii mau dan
mampu, di Eropa banyak raja-raja beristri banyak tanpa patas, di
Cina bahkan ada seorang raja beristri sampai 30,000 orang, di India
sekarang banyak laki-laki beristri lebih dari 17 orang dan termasuk di
masyarakat Arab jahiliyah sebelum Islam banyak yang beristri lebih
dari 5 orang. Agama Islam datang membatasi jumlah istri hanya 4
orang saja, Surat an Nisa, ayat 3.
2. Syarat adil dalam poligini.
Dahulu poligini dilakukan tanpa syarat apa-apa. Mereka
berpoligini, ya berpoligini tanpa ada aturan ini dan itu. Sebenarnya
rasa tidak ada adil bila berpoligini telah ada sejak Agama Islam belum
datang, ini terbukti orang-orang Arab jahiliyah suka mempoligini
anak-anak yatim dan anak-anak yatim asuhan mereka, karena
menurut mereka dengan mempoligini perempuan-perempuan
boleh tidak berlaku adil, boleh tanpa mahar, dan bertujuan ingin
menguasai harta mereka (istri yang yatim) dan minimal bisa
menukar harta anak yatim yang baik-baik, yang bagus-bagus dengan
harta mereka. Kelakukan tersebut diingatkan melalui ayat 3 Surat
an Nisa.
3. Poligini harus sesuai aturan nikah monogini.
Agama Islam menetapkan syarat adil diposisi utama dalam
praktek poligini agar tidak terjadi poligini membentuk kezahaliman
dalam berkeluarga. Untuk itu Agama Islam tidak mewajibkan
poligini dan tidak melarang poligini. Agama Islam hanya

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 221


memberikan solusi pada saat-saat tertentu, misalnya sebagai habis
peperangan dimana jumlah wanita lebih banyak dari laki-laki. Jika
itu terjadi dikhawatirkan tindak prostitusi semakin meningkat yang
dilakukan para wanita di dalam mencari kepuasan seksual. Siapapun
orangnya kebutuhan seksual amat diperlukan baik laki-laki maupun
perempuan.

4. Poligini dapat mencegah bahaya kezdhaliman.


Poligini bisa mencegah perbuatan faisyah’ – zina – dan bisa
mengatasi, minimal mengurangi wanita penghibur, menjual diri
demi uang, cinta dan kasih sayang. sebab kebutuhan biologis atau
seksual tidak selamanya bisa dikekang bagi manusia normal. Di
masyarakat yang membolehkan poligini saja masih banyak terjadi
penyimpangan-penyimpangan seksual dengan pelbagai cara dan
keadaan, apalagi di Negara-Negara yang melarang poligini kejahatan
seksual sudah dilakukan secara terang-terangan. Sudah lumrah
mereka sudah memliki pasangan resmi masih memelihara pacar
gelap dan suka jajan di tempat-tempat prostitusi.
Kejahatan seksual sekarang bukan lagi dilakukan pasangan-
pasangan lajang baik gadis-perawan maupun janda dengan bujang
baik perjaka maupun duda tapi pasangan-pasangan yang mempunyai
pasangan hidup baik suami mauoun istri juga melakukan kejahatan
seksual semakin berani, terbuka dan terang-terangan. Anehnya
pasangan mereka (suami atau istri) seakan merestui pasangannya
selingkuh atau serong. Mereka selalu memposisikan, “seks itu hak
privasi yang tidak boleh dikekang oleh siapapun juga, termasuk
pasangan”. Falsafat seperti ini yang dedengungkan kelompok
feminisme yang selalu meniupkan hembusan kebebasan seksual.

222 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


5. Harem atau selir.
Zaman Raja-Raja berkuasa dulu, baik di Timur maupun di Barat
seorang Raja bebas memiliki istri berapa saja, ada istri Ratu, ada istri
permaisuri, ada harem, ada selir, ada gundik dan ada wanita-wanita
penari istana yang harus selalu siap bila raja menginginkannya. Buka
hanya Raja termasuk para pangeran, Raden, Bangsawan, pembesar
kerajaan lainnya, dan termasuk para tokoh masyarakat dan tokoh
Agama sah-sah saja beristri banyak. Bahkan di masyarakat Arab
jahiliyah disamping mempunyai banyak istri juga banyak hamba-
sahaya bagi tokoh-tokoh kabila, bangsawan serta orang kaya-raya.
Agama Islam datang semua itu dibatasi, seperti: (i). Hanya boleh
mempunyai empat (4) orang istri, (ii). Harus berlaku adil, (iii). Nikah
kedua, ketiga dan/atau keempat harus sama aturan hukumnya, dan
termasuk harus dibayar maharnya. Masyarakat Arab jhiliyah dulu
tidak mau membayar mahar bila mempoligini perempuan yatim
dan anak angkat yang perempuan, (iv). Melarang menikah dengan
saudara istri (Ipar) dan bibi istri, kecuali istri dicerai atau meninggal
dunia, karena ipar dan bibi termasuk muhrim sementara423.
6. Poligini harus sesuai dengan syari’at.
Poligini dilakukan harus sesuai dengan syari’at Islam dan Hukum
Positif yang berlaku di suatu Negara. Islam mensyari’atkan: Pertama
hanya membolehkan seorang suami memiliki empat orang istri
dalam waktu yang bersamaan. Keuda, harus berlaku adil dalam

423 Dimaksud muhrim sementara adalah, bila kita masih terikat tali pernikahan
dengan istri, maka ipar dan bibi istri itu muhrim yang haram dinikahi, kecuali kita
sudah bercerai atau istri meninggal dunia, ipar dan bibi dari istri baru boleh untuk
dinikahi. Dalam literatur Hukum Adat dikenal, “naik ranjang atau turun ranjang”.
Jika kita menikahi adik ipar dikenal, “turun ranjang” tapi bila kita menikahi kakak
ipar disebut, “naik ranjang”.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 223


berpoligini. Ketiga, bila suami tidak mampu membiayai keluarga
lebih dari satu dan tidak mampu berlaku adil, maka cukup seorang
istri saja, Keempat, bila merasa tidak mampu membiayai keluarga
walau hanya seorang istri tapi punya hamba-sahaya, maka cukup
dengan hamba-sahaya tersebut, dan Kelima, bila miskin, tidak
mampu membiayai hidup berumah tangga lagi tidak memiliki
hamba-sahaya, maka bersabarlah sampai mampu untuk berkeluarga
dan untuk mengatasi gejolak biologis, berpuasalah.
c). Hukum Positif.
Dalam pandangan Hukum Positif melalui UU No. 1/1974 dan KHI
serta seperangkap aturan pelaksanaan Undang-Undang tersebut
berisikan: Pertama, perkawinan berasaskan monogami, Kedua,
perkawinan sah menurut agama masing-masing dan kepercayaan
masing-masing, Ketiga, Poligini sebuah pengecualian dari asas
monogami, Keempat, poligini dilakukan harus ada izin dari istri atau
istri-istri dan izin tersebut diungkap dalam sidang pengadilan agama,
Kelima, dalam izin berpoligini harus memenuhi syarat alternatif dan
syarat komulatif, Keenam, dalam keadaan lebih khusu pengadilan
agama pasti memberikan izin tanpa ada syarat alternatif dan syarat
komulatif, seperti istri tidak diketahui di mana rimbanya dan/atau
istri pergi tanpa izin suami selama 2 tahun, dan Ketujuh, dalam
keadaan istri mandul harus dibuktikan keterangan dokter dan lama
perkawinan 10 tahun, kurang dari 10 tahun tidak akan diizinkan.

D. Penemuan Baru dalam Praktek Poligini


Menurut hasil penelitian awal yang dilakukan, Pusat Studi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan Kantor Kementerian
Negara Pemberdayaan Perempuan menarik untuk diangkat kembali.
Hasil penelitian ini diperkuat penelitian peneliti berikutnya yang

224 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


dilakukan di Pengadilan Agama Jakarta Barat pada tanggal 4 Mei
2001. Ada dua (2) permasalahan yang perlu diangkat disini, yaitu:
Pertama, kasus permohonan poligini relatif rendah424, dan Kedua,
umumnya poligini dilangsungkan tidak secara resmi (ilegal) melalui
prosedural Institusi formal (KUA) atau PA dengan kata lain poligini
dilakukan secara “liar”425, nikah sembunyi-sembunyi dibawah tangan.
Menarik untuk dipertanyakan kenapa poligini lebih cenderung
dilakukan secara sembunyi?
Ada beberapa spekulasi di dalam menjawab pertanyaan tersebut:
Pertama, hal ini mungkin disebabkan oleh syarat teknis-prosedural
yang biokratis, berbeli lagi sulit di dalam mendapatkan izin poligini.
Fakta di lapangan tidak mendukung asumsi ini, karena menurut
informasi dari jawaban seorang Hakim426, umumnya permohonan
izin untuk berpoligini tidak ditolak jika telah memenuhi syarat-
syarat formal telah dipenuhi sesuai dengan UU No. 1/1974, Pasal 4 dan
Pasal 5 jo KHI, Pasal 57 dan pasal 58. Bahkan bila syarat alternatif427

424 Permohonan poligini rendah yang dilakukan melalui Pengadilan Agama akan tetapi
praktek poligini tetap tinggi dan cenderung terus meningkat. Ini artinya mereka
(suami-suami) melakukan poligini secara ilegal atau hanya berdasarkan ajaran
agama saja.
425 Menurut peneliti Noeryamin Aini, Poligami Dalam Perspektif Feminisme dan Syari’ah
Islam, Seminar, 2000.
426 Wawan cara peneliti dengan seorang Hakim, Hj. Nani Setiawati di Pengadilan Agama
Jakarta Barat, 12 Februari 2001.
427 Syarat alternatif meliputi: (a). istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
istri, (b). istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
lagi, dan (c). istri tidak dapat melahirkan atau mandul.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 225


dan syarat kumulatif428 sudah dipenuhi istri tetap tidak memberikan
persetujuannya, pasti pengadilan agama memberikan izin429.
Kedua, dalam hal memberikan izin poligini Pengadilan Agama
yang terpokok; bila izin diberikan seringkali Pengadilan Agama
didemo ibu-ibu, karena suaminya minta izin poligini. Jika tidak
diberikan izin wanita calon istri kedua suami sudah hamil430. Karena
masalah seperti itu banyak suami mengambil jalan pintas menikah
lagi secara diam-diam dan nikahnya pun dibawah tangan.
a. Emprik.
Praktek poligini terselubung, nikah diam-diam dan nikahnya
pun dilakukan dibawah tangan secara empiris di masyarakat cukup
banyak dan sudah menjadi fenomena hukum tersendiri. Hal ini
bisa dianggap wajar dan benar bila dilihat dari sudut pandang, (i).
Moralis dan (ii). Agamis daripada mereka selingkuh, serong atau
hanya kumpul kebo tanpa menikah. Menikah diam-diam dalam arti

428 Syarat kumulatif meliputi: (i). Adanya persetujuan dari istri/istri-istri baik tertulis
maupun lisan, (ii). Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak mereka. Bagi PNS, TNI, dan Polri harus memenuhi
syarat berikutnya, (iii). Adanya izin dari atasan, dan (iv). Harus dicantumkan slip
penghasilan.
429 Lebih jelas periksan, Pasal 59 KHI.
430 Menurut Ichtijanto AS, soal poligini memang sangat rumit dan manusiawi, BP-4
Pusat selalu didatangi ibu-ibu yang memprotes, karena suaminya minta izin
poligini di Pengadilan Agama. Yang paling sulit lagi berbelit, jika terjadi bahwa
si wanita calon istri kedua suaminya adalah janda kaya, cantik dan sudah hamil.
Problemnya, soal poligini pada hakekatnya adalah soal wanita dan wanita (antar
wanita). Kadang-kadang harus memilih alternatif antara memberikan izin kawin
lagi, (bercerai, pen. Peneliti) atau suaminya masuk penjarah. Seharusnya yang
paling pokok adalah bagaimana mengusahakan agar istri dan anak-anak mendapat
hak-haknya serta perlindungan hukum yang wajar dan adil. Periksa Ichtijanto AS;
Peranan Badan Peradilan Agama Dalam Pelaksanaan UUP, Makalah, tertanggal 19
s.d 22 Maret 1979.

226 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


kata tanpa izin suami dan dilakukan dibawah tangan, menurut sudut
pandang agama dan moral adalah, sah manakala telah memenuhi
rukun serta syarat sahnya sebuah pernikahan. Tapi bila dilihat dari
sudut pandang Hukum Positif tidak sah, karena tidak memenuhi
syarat alternatif dan syarat kumulatif dalam praktek poligini.
b. Normatif.
Nikah seharusnya dapat memenuhi aturan hukum yang berlaku
di suatu tempat atau Negara. Norma Hukum Perkawinan harus ada
rukun, syarat dan sahnya suatu pernikahan. Rukun nikah ada, (i).
Calon penganten laki-laki dan perempuan, (ii). Wali, (iii). Dua orang
saksi yang adil lagi merdeka, (iv). Syigot ijab-qabul. Sedang syarat
pernikahan ditujukan kepada rukun nikah, dan adanya kewajiban
awal dari suami kepada istrinya, yaitu mahar. Masalah mahar ini bisa
cash dan bisa utang, tapi wajib dibayar. Syarat lain ditetapkan hukum
positif, yaitu: (i). Menikah dan bercerai harus dihadapan pejabat
yang berwenang, dalam hal ini KUA dan Pengadilan Agama, dan
(ii). Setiap pernikahan harus tercatat agar tertib hukum. Pencatatan
Nikah untuk pembuktian di Pengadilan.
Bila seorang suami ingin menikah lagi, poligini disamping
harus memenuhi rukun serta syarat sahnya pernikahan tersebut
diatas, haru: (i). Mendapat izin dari istri/istri-istri, (ii). Ada jaminan
dapat berlaku adil terhadap istri-istri serta anak-anak. Adapun
untuk pejabat pemerintah harus ada izin dari atasannya dan harus
dimapirkan slip gaji atau penghasilan lainnya.

E. Pro – Kontra Poligini


Kelompok yang anti poligini selalu berkata, poligini itu warisan
pradaban primitif di zaman perbudakan dan tidak layak untuk
dipertahankan, karena sudah tidak sesuai lagi di era sekarang ini.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 227


Poligini sangat mengekang hak kebebasan wanita dan termasuk
melanggar hak asasi seorang wanita. Membebaskan wanita dari
sistem perkawinan poligini sebuah keharusan, dan bahkan
pandangan feminisme radikal bukan saja poligini yang dihapus,
termasuk juga sistem perkawinan pada umumnya, karena dapat
membelenggu kebebasan wanita, seperti wanita harus hamil,
mengurus suami, rumah, anak dan lain-lain. Tanpa ada perkawinan
semua itu bisa dihindari dan kebebasan wanita bisa terjamin.
Kelompok yang mendukung poligini tidak melihat, apakah
poligini itu produk zaman primitif, karena kenyataannya lembaga
poligini adalah, lembaga cemerlang yang bisa mengangkat harkat
dan derajat wanita itu sendiri. Seorang wanita jauh lebih baik, lebih
terhormat, lebih mulia, dan lain sebagainya daripada ia jadi wanita
penghibur, pelacur yang tidak menikah. Benar juga yang dinyatakan
Ibnu Baz, wanita lebih baik punyai suami separuh, sepertiga atau
seperempat daripada tidak bersuami. Wanita yang tidak berusmi
mudah sekali dilecehkan laki-laki, karena wanita juga butuh
kehangatan seks, maka ia rela serta mau hanya diselingkuhi.

F. Manfaat dan Mudlaratnya Poligini


Bila dilihat dari sudut padangan mana saja, sudut pandang
Hukum Positif, Hukum Agama, Hukum Adat maupun sosiologi
hukum, lembaga poligini itu baik dan dapat mengatasi segala macam
problema hukum, sosial, moral serta agama. Di era zaman manapun
ternyata jumlah perempuan tetap lebih banyak dari laki-laki. Lilis
Suaedah telah membuktikan, lebih banyak janda daripada duda.
Jauh sebelum itu, pemerintah Jerman telah membuktikan jumlah
perempuan lebih banyak daripada laki-laki akibat perang. Lebih jauh
lagi Rasulullah Saw membuktikan dalam suatu sabdanya, “Suatu

228 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


saat nanti laki-laki akan didampingi lima puluh orang perempuan”.
Pembuktikan lebih jauh lagi, zaman Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul
sebelum Rasulullah Saw diutus, Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul beristri
banyak, seperti Nabi Sulaiman, Nabi Daud, Nabi Ibrahim, dll dan
nyata mereka (laki-laki) tidak kekurangan stok perempuan.
Lembaga poligini yang indah lagi cemerlang, karena selalu
dijadikan solusi pelbagai masalah hukum dan sosial dirusak oleh
mereka, pelaku poligini yang sewenang-wenang. Mereka berpoligini
tanpa batas dan tanpa berlaku adil. Disamping itu mereka
mempraktekan poligini dengan ilegal, menipu dan berbohong.
Seperti Pak Haji JM menikah kedua mengaku duda. Untuk mengatasi
mudlaratnya praktek poligini hendaklah seorang perempuan berlaku
cerdas431, karena hak poligini ada di tangan mereka, perempuan.

G. Arti adil dalam Poligini


Dalam perkawinan poligini selalu beranjak pada Surat an Nisaa,
ayat 129 tentang keadilan poligini. Ayat 129 Surat an Nisaa ini amat
tegas, “Kamu sekali-kali tidak dapat berlaku adil, biarpun kamu ingin
melakukan hal itu; tapi dikelanjutan ayat tersebut, “(biarpun kamu
tidak dapat berlaku adil), namun kamu jangan terlalu berlebihan,
jangan terlalu condong (kepada istri yang satu) dalam mencintai,
sehingga melupakan atau melalauikan istri yang lain”. Rasulullah
Saw sendiri tidak bisa berlaku adil dalam urusan cinta-kasih,
sehingga Aisyah cemburu pada Khadidjah. Ayat ini diterangkan
oleh Rasulullah Saw melalui sabdanya yang diriwayatkan Abu Daud,

431 Buatlah perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum akad-nikah dilangsungkan,


misalnya saya mau menikah dengan Bapak dengan syarat berlaku adil, berika saya
dan anak-anak jaminan hidup layak, seperti dalam pembagian harta warisan kelak.
Karena sudah banyak kasus istri muda dan anak-anaknya tidak mendapat harta
warisan dari perkawinan poligini.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 229


“Seorang suami poliginis cintanya terlalu condong kepada salah satu
istri dan sampai melukapan istri-istri yang lain, nanti menghadap
Allah miring sebelah”.

H. Poligini dalam Pandangan Sosiologis


Dalam ilmu-ilmu sosial dan termasuk Hukum Adat tidak
dibicarakan bagaimana seharusnya seseorang suami melakukan
poligini. Juga tidak dibicarakan jumlah istri yang bisa dinikahi,
asalkan laki-laki mampu, kuat dan perempuan mau serta rela dimadu.
Mereka juga tidak membicarakan syarat sahnya poligini. Acapkali
poligini terjadi begitu saja. Seperti poligini Pak H. Munadih dengan
istri-istri mudanya terjadi begitu saja tanpa ada sebab yang pasti.
Pak H Munadih sendiri heran kenapa bisa menikahinya perempuan.
Misal, Pak Haji Munadih menikahi Teh Eny hanya diawali sebuah
guyonan saat Pak Haji mampir ngopi di warung Teh Eny menjadi
nikah benaran.
Secara empiris dibanyak penelitian dan termasuk perceraian
serta gugat cerai di Pengadilan melahirkan banyak janda. Hakim
selalu (kebanyakan) mengabulkan gugat cerai daripada kasusu
perceraian432. Tentu dengan demikian bertambah banyak janda dari
pada duda. Ditambah lagi umur perempuan jauh lebih panjang dari
laki-laki, seperti contoh di RT02/RW012 Kelurahan Joglo, Kembangan,
Jakarta Barat ada 7 orang janda dan tidak ada duda. Dari kenyataan
tersebut dapat dinyatakan bahwa, “jumlah perempuan lebih banyak
daripada laki-laki”.

432 Gugat cerai datang dari istri yang mengajukan perceraian, sedangkan perceraian
datang dari suami yang ingin bercerai dengan istrinya. Gugat cerai biasanya
langsung dikabulkan hakim, sedangkan perceraian kebanyakan ditolak oleh hakim.

230 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


I. Poligini dalam Segala Aspeknya
Poligini dapat dilihat dan dirasakan oleh para pelaku poligini
dan orang lain yang melihatnya, sebagai berikut:
a. Aspek hukum.
Aspek kepastian hukum sangat penting sekali dalam perkawinan
dan terutama perkawinan poligini yang selalu menyita perhatian
dari waktu ke waktu. Perkawinan merupakan langkah awal dalam
menata kehidupan manusia, keluarga, suku (kabilah) dan bahkan
hidup berbangsa-bernegara. Regenerasi yang sehat dan benar harus
dimulai dengan perkawinan yang sehat, benar dan sah. Banyaknya
suku bangsa dan adat kebiasaan, maka di Indonesia terjadi dan
terdapat pluralisme hukum perkawinan. Disamping itu juga di
Indonesia terdapat banyak ajaran agama yang dianut dan masing-
masing ajaran agama ada dan mengatur hukum perkawinan.
Sehingga di dalam UU No. 1/1974 Tentang Pokok-Pokok Hukum
Perkawinan yang katanya bersifat unifikasi hukum perkawinan
masih mengakui pernikahan yang berdasarkan ajaran agama serta
kepercayaannya masing-masing suku bangsa yang ada di Indonesia.
Poligini bila dilihat dari aspek ajaran hukum dapat dimaknai
sebagai berikut: (i). Hukum Islam, Hukum Adat, Ajaran Agama
Hindu, Budha dan Kong Hu cu membolehkan poligini, (ii). Ajaran
agama Kristen melarang poligini, dan (iii). Ajaran Hukum Positif
mengambil jalan tengah dimana dalam keadaan biasa masyarakat
Indonesia dilarang poligini tapi dalam keadaan tertentu boleh
berpoligni, maka poligini diposisikan dalam keadaan darurat.
b. Aspek ajaran agama.
Penjelasan di atas telah dijelaskan bahwa, (i). Agama Islam
membolehkan poligini dengan syarat adil dan membatasi jumlah

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 231


istri yang boleh dipoligini dengan tegas, yaitu 4 orang istri saja, (ii).
Agama Hindu, Budha dan Kong Hu Cu membolehkan poligini tapi
tidak jelas masalah syarat poligini dan pembatasan istri yang boleh
dipoligini, bahkan di India saat ini ada seorang suami beristri 39,
12 istri dan banyak lagi433, masyarakat Cina pernah seorang suami
beristri sampai 30.000 orang, dan (iii). Agama Kristen Protestan ada
yang membolehkan poligini dan ada yang melarangnya, dan (iv).
Penganut Katholik melarang poligini.
c. Aspek psikologi.
Sesuai kodratnya laki-laki lebih bersifat poligini dan perempuan
bersifat monoginis. Namun demikian yang lebih bersifat poliginis
tidak atau jarang melakukan poligini dan bersifat monoginis ternyata
banyak yang mau, suka rela dipoligini.secara psikologis hak poligini
ada di tangan perempuan yang menentukan dan bila poligini terjadi
baru timbul kewajiban suami untuk menafkahi dan berlaku adil
terhadap istri-istri serta anak-anak yang menjadi tanggung jawabnya.
Secara psikologis yang lain, selama masih ada perempuan yang mau,
rela serta suka dimadu, maka selama itu juga poligini tetap ada di
dalam masyarakat. Jadi poligini itu dipengaruhi kuat faktor kejiwaan,
faktor pengalaman keluarganya (dalam hal ini orang tuanya ke atas)
dan faktor keadaan.
d. Aspek ekonomi.
Pada umumnya seorang suami blagu ingin selingkuh, ingin ini
dan itu, dan termasuk ingin menambah istri, karena sudah merasa
mapan dalam segala hal, utamanya masalah perekonomian keluarga
sudah mapan.seperti Al Baresy ceritakan, “wanita-wanita Arab selalu
berdoa jangan sampai suami kaya-raya, bila mereka kaya-raya tidak

433 Periksa YauTube, Selasa, 12 Agustus 2009.

232 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


ada pikiran lain bagi suaminya, kecuali ingin menambah istri”. Secara
sosiologis-empiris memang seperti itu, istri kedua, ketiga dan/atau
keempat masuk ke dalam suatu keluarga, karena keluarga tersebut
sudah kaya”. Memang pendapat ini kurang akurat, karena banyak
juga suami yang miskin dan tinggal saja di kontrakan mereka hidup
berpoligini.
e. Aspek keutuhan keluarga.
Peran keluarga, pergulan, lingkungan baik lingkungan bermaian
(teman dan sahabat), lingkungan kerja serta lingkungan aktivitas
lainnya sangat mempengaruhi perjalanan hidup seseorang. Makanya
Rasulullah Saw amat memperhatikan dengan siapa ia bergaul
dan bersahabat. Begitu juga lingkungan keluarga memiliki peran
besar bagi kehidupan seseorang dan termasuk juga dalam masalah
perjodohan. Ambil contoh, anak seorang TNI banyak menikah
dengan TNI, anak polisi banyak menikah dengan polisis, anak kiyai
atau Ulama kebanyakan menikah dengan anak kiyai atau Ulama
juga. Seperti itu kenyataan di masyarakat, ayah tukang kawin banyak
anaknya ikut-ikutan, ayah beristri dua, tiga, dan/atau empat banyak
anak mengikut jejak orang tuanya. Menarik disimak, Ibu Hajjah
Sa’amah sejak muda dimadu dan bagaimana sebab, awalnya putri
sematawayangnya juga dimadu. Sedikit banyak poligini itu ada
semacam keturunan. Walau alibi seperti itu tidak bisa masuk ke
rana kajian ilmiah. Namun secara secara empiris ada yang seperti itu.
f. Aspek sosial lainnya.
Aspek sosial lainnya, seperti ada perempuan telah merasa
nyaman dan merasa terlindungi oleh seorang laki-laki sehingga
perempuan tersebut minta dinikahi, seperti kasus Abah Haji Imam
yang menikahi Mba Ayu. Dimana keluarga Mba Ayu merasa banyak

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 233


berhutang budi dengan Abah Haji Imam sehingga Ibu Lastri meminta
Abah haji Imam untuk menikahi putrinya. Beda dengan kasus Ibu
Ida janda muda yang lama gergaul dengan Mang Ukat. Ibu Ida sudah
merasa terlanjur sayang dengan Mang Ukat sehingga Ibu Ida minta
dinikahi sahabatnya itu. Mereka, Ibu Lastri dan Ibu Ida tahu kalau
Abah Haji Imam dan Mang Ukat telah beristri.
Beda lagi dengan kasus Pak Haji Neran yang dinikahi kepada Teh
Eues Mulyaroh lantara Pak Haji Marsani, ayah Teh Eues Mulyaroh
punya utang kepada Pak Haji Neran yang cukup besar dan sudah
dua kali jatoh tempok Pak Haji Marsani tidak bisa melunasi utang
tersebut. Banyak lagi kasus-kasus poligini yang terjadi di dalam
masyarakat dengan pelbagai versi dan keadaan sosial.
J. Pendapat Penulis
Dalam analisi peneliti; Pertama, poligini sampai kapanpun
masih diperlukan dan dibutuhkan. Lembaga Poligini bukan saja
suatu Lembaga Hukum yang menyatakan “boleh” atau “tidak boleh
poligini – dilarang” akan tetapi di dalam Lembaga Hukum ini ada
sesuatu yang positif bagi kehidupan berbangsa, bernegara dan
beragama. Secara empiris-sosiologis dan moralis-agamis poligini
merupakan solusi terbaik lagi akurat di dalam mengatasi problem
sosial antar wanita itu sendiri, seperti:
1). Poligini dapat mengatasi kelebihan jumlah perempuan;
2). Poligini dapat mengangkat harkat dan martabat perempuan;
3). Poligini dapat mengatasi kemusnahan generasi – poligini dapat
menciptakan regenerasi;
4). Poligini untuk mencegah suami berbuat serong, selingkuh atau
main perempuan;
5). Poligini dapat mengatasi jumlah janda;

234 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


6). Poligini dapat mengurangi pelacuran;
7). Poligini dapat melindungi perempuan-perempuan yatim;
8). Poligini dapat menjamin pendidikan dan pengajaran anak-anak
yatim;
9). Dan banyak lagi dari sudut mana kita memandangnya.
Pendapat peneliti yang kedua, walhasil masalah poligini
bukan saja masalah hukum, moral dan agama tapi lebih kepada
permasalahan antar wanita. Kalau meminjam istilah Ictijanto
AS, masalah antar perempuan. Pendapat ini dikuatkan Ibnu Baz,
“wanita lebih mulia, lebih terhormat dan lebih bermartabat, meski
hanya memiliki separuh, sepertiga dan/atau seperempat suami
dari pada tidak bersuami, tidak menikah”. Sekalipun pria adalah
polygam van aard dan wanita adalah monogaam van aard, menurut
istilah Fachruddin akan tetapi wanita yang memegang hak poligini,
sedangkan pria hanya sebagai pelaksana poligini. Sebagai pelaksana
poligini, maka pria tersebut disyaratkan harus berlaku adil.
Alasan-alasan yang dapat peneliti sampaikan sebagai berikut:

(i). Agama.
1. masalah anak-anak yatim terutama yatim perempuan (Q.S
4:2).
2. Janda (Q.S 4;3).
3. Haid (Q.S 2:222).
4. Nifas (al Hadist).
5. Masa hamil tua (al Hadist).
6. Masalah hamba sahaya (Q.S. 4:3).

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 235


(ii). UUP No. 1/1974 dan KHI.
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
(iii). Sosial.
1. Jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki.
2. Masalah kekuasaan.
3. Masalah perekonomian.
4. Masalah politik.
5. Masalah pendidikan dan pengajaran.
6. Masalah hukum
7. Dan masih banyak yang lainnya.
Peradilan Agama termasuk salah satu unsur penting dalam
izin berpoligini. Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman fungsi
Peradilan Agama, menerima, memeriksa dan mengadili perkara-
perkara yang menjadi kewenangannya, dan salah satu kewenangan
Pengadilan Agama memberikan izin permohinan poligini bila syarat-
syarat yang telah ditetapkan UU No. 1/1974 dapat dipenuhi.

236 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


DAFTAR PUSTAKA

A). BUKU DAN KITAB


Al Qur’an dan Terjemahnya, Milik Departemen Agama, Jakarta, 1990.
Abdurrahman; Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta:
Akademika Pressindo, Cet. Ke-2, 1995.
Ahmed, Leila; Women And In Islam, United States: Yale Universiyi,
1992.
Abd. Al Ati, Hammudah; The Family Straucture In Islam, American
Trut Publications, Sole Distributor In The Middle East And Asia,
International Isalamic Publishing House, 1997.
Ahmad, Khurahid dan Nazhat Afza, The Position of Women In Islam,
terjemah Rusyid M Yusuf, Jakarta: Gema Insani Press, Cet Ke-4,
1413 H/1993 M.
Ahmad, Maftuh, dkk; Kisah Teladan 25 Nabi Dan Rasul, Surabaya:
Bintang Usaha Jaya, 1995.
Ahyadi, Aziz; Psikologi Agama (Kesadaran Beragama Pada Masa
Remaja), Bandung: Martina, 1981.
Ali, Mohammad Daud; Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Cet Ke-2, 1991.
---------------------------; Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum
Indonesia, Jakarta: Yayasan Risalah, 1984.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 237


Al Bahi, Muhammad; Al Mu’ashra, terjemah Fathurrahman; Jakarta:
Gema Insani Press, Cet Ke-10, 1413 H/1993 M.
Al Bukhary, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail; Shahibul Bukhary,
Daaru Ikyaal Kutub al Arabiyyah, tth.
Al Dimasyqi, Abi al Fida Ismail Ibnu Katsir al Qurasyiy; Tafsir Ibnu
Katsir, Beirut: Daar al Fikr, 1400 H.
Al Mukaffi, Abdurrahamn; Pacaran Dalam Kaca Mata Islam, Jakarta:
Media Dak’wah, Cet ke-3, 1414 H/1994 M.
Al Math, Muhammad Faiz; Qaabasun Min Muhammad SAW, terjemah
Aziz Salim Basyyarahi, Jakarta: Gema Insani Press, 1992.
Al Gazali, Imam; Ihyaa Ulumu’ Ad Din, Semarang: Toha Putra, tth.
Al Gagi, Syaikh Muhammad Qosim; Fathul Qorrib al Mujjib ala Syarhi
al Imam Abi Syuja’i, Semarang: Toha Putra, tth.
Al Zajiiry, Abdurrahman; Kitab al Fiqh ‘Ala Mazahib al Arba’ah,
Beirut-Lebanon: Daar al Kutub al Ilmiyyah, tth.
Al Atthar, Abdul Nashir Taufiq; Ta’addudhuz Zaujaati Minan Nawaahid
Diiniyyati Wal Ijtimaa’iyyati Wal Qaanun Umiyyati, terjemah
Chadidjah Nasution: Polygami Di Tinjau Dari Segi Agama, Sosial
Dan Perundang-Undangan, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Al Umar, Nashar bin Sulaiman; Muquumat al Zhuriyyah, Beirut: Daar
al Kutub, tth.
Al Suyuthi, Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar; al Asybah
wal al Hadzair fi al Furu’, Semarang: Toha Putra, tth.
--------------------------------, al Jami’ as Shigor, Beirut-Lebanon: Daar al
Kutub al Ilmiyyah, tth.
Al Qurtuby, Imam Abu al Wahid Muhammad bin Ahmad bin Rusdy;
Bidayathul al Mujahid wa Nihaya al Mustashid, Syirkah Maktabah
Mushofa al Bab al Halabi, tth.

238 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Al Fajri, Ahmad Syauqi; At ‘Thibbul Wiqo’i, terjemah Ahsin Wijaya dan
Totok Jumantoro; Nilai Kesehatan Dalam Syari’at Islam, Jakarta:
Bumi Aksara, 1996.
Anggreni, Nurul Ys; Menyikapi Sisi Samping Liku-Liku Pelacuran,
Jakarta: Golden Terayon Press, 1996.
An Nadawy, Abdul Hassan Ali al Hassany; Kerugian Apa Yang Di
Derita Dunia Akibat Kemerosotan Kaum Muslim, ali bahasa Abu
Laila dan Muhammad Tohir, Bandung: al Ma’arif, 1983.
Arifin, Busthanyl; Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia (Akar
Sejarah, Hambatan Dan Prospeknya), Jakarta: Gema Insani Press,
1996.
As Shabuniy, Muhammad Aly, Tafsir Ayat al Ahkam Min al Qur’an,
Damaskus: Maktabah al Gazali, tth.
------------------------------------; Az Zawajul Islami Mubakkiran, terjemah
Mashur Ikhwani menjadi, Pernikahan Dini Yang Islami, Jakarta:
Pustaka Amani, 1417 H/1996 M.
----------------------------------; Syubuhaatun wa Abaathilun Khaula
Ta’addudi Zaujaati Rasul, terjemah Ibnu Soemadiy; Mengapa
Rasulullah Saw Berpoligami, Surabaya: Bina Ilmu, 1983.
As Syafi’i, Sayaikh Ahmad bin Ruslan; Mawajih al Shamad ‘Ala Matnu
al Zubad, Syirkah Nur Asia, tth.
Asy Syukaniy, Syaikh al Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad;
Nailul Authar, Beirut: Daar Ihya al Taraatai al Arabi, tth.
Ash Shiddieqy, Hasbi; Penganter Ilmu Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang,
cet ke-4, 1986.
Aj Jahrani, Musfir; Nazhratun fi Ta’addudi az Zaujat, terjemah Muh
Suten Ritonga, Jakarta: Gema Insani Press, 1417 H/1996 M.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 239


Bakar, Sayyid Abi; Hasyiyyah Ianantul’ Thalibin, Indonesia: Daar Ihya
al Kutub al Arabiyyah, tth.
Baihaqi; Mendidik Anak Dalam Kandungan, Jakarta: Raja Grafindo
Press, 1997.
Bisri, Hasan Cik; Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat
Indonesia, Bandung: Rosda Karya Remaja, 1997.
Byk, M.A Joda al Maula; Muhammad Saw al Matsalul Kamil, Beirut:
Daar al Firk, tth.
Dahri, Ibnu Ahmad; Peran Ganda Wanita Modern, Jakarta: Pustaka
al Kautsar, Cet ke-2, 1992.
Daradjat, Zakiyah; Ketenangan Dan Kebahagiaan Dalam Keluarga,
Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
Djamil, Fathurrahman; Filsafat Hukum Islam (Bagian Pertama),
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Dellyana, Shanti; Wanita Dan Anak Di Mata Hukum, Yogyakarta:
Liberty, 1998.
Dele, Cernegie; Sex Wanita, terjemah Gunadi Santoso, Jakarta:
Langgeng, tth.
------------------; Cinta, Birahi Dan Sex, terjemah Suherman, Jakarta:
Langgeng, tth.
Daw, Ing Colette; The Cinderella Camplex, terjemah Santi W.E
Soekanto menjadi, Tantangan Wanita Modern, Jakarta: Erlangga,
Cet ke-2, 1992.
Dwi, Putri Veranita; Penyebab Terjadinya Hubungan Seksual
Ekstramarital Pada Pria Berpendidikan Tinggi, Depok: Fakultas
Psikologi UI, 1990.
Faridl, Miftah KH; 150 Masalah Nikah Dan Keluarga, Jakarta: Gema
Insani Press, 1999.

240 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Gazali, A; Ilmu Juwa, Bandung: Ganaco Nv, cet ke-11, 1976.
Hadipermobo, Syaichul, KH; Bayi Tabung Dan Rekayasa Genetika,
Surabaya: Wali Demak Press, 1995.
Hadikusuma, Hilman; Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1995.
Hadiwardoyo, Purwa Al; Perkawinan Dalam Tradisi Katolik,
Yogyakarta: Kanisius, cetk ke-4, 1975.
Hazairin; Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta:
Universitas Indonesia, UI Press, 1981.
-----------; Demokrasi Pancasila, Jakarta: Bina Aksara, cet ke-5, 1985.
-----------; Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974, Jakarta: Tintamas, 1975.
Halwani, Abu Firdaus; Selamatkan Dirimu Dari Tabarruj, Surabaya:
Mitra Pustaka, 1975.
Hull, Terence H, Endang Sulistyaningsih dan Gavin W Jones; Pelacuran
Di Indonesia Sejarah Perkembangannya, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1997.
HAR, Ya’kub H; Manusia Modern Dan Penyakitnya, Jakarta: Andes
Utama Pres, 1995.
--------------------; Pelecehan Hak-Hak Wanita, Jakarta: Citra Harta
Prima Press, 1995.
Jaad al Haq, Syaikh Aly; Ahkam As Syari’ah al Islamiyyah fi Massa ‘al
Thibbiyyah an Amraadh al Niosaaiyyah, terjemah Darsim Ermaya
dan Imam Fajaruddin; Kedokteran Dan Masalah Kewanitaan
Dalam Islam, Surabaya: Khazanah Ilmu, 1996.
Jones, Jamilah dan Abu Aminah Bilal Philips; Plural Marriage In
Islam, terjemah menjadi; Monogami Dan Poligini Dalam Islam
(Ilmu Ushul al Fiqh), Jakarta: Raja Grafindo Press, Cet ke-4, 1994.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 241


Kusumaatmadja, Muchtar; Hukum, Masyarakat Dan Pembinaan
Hukum Nasional: Lembaga Penelitian Hukum Dan Kriminologi,
Bandung: Universitas Padjadjaran: Bina Cipta, 1976.
Kansil, C.S.T; Penganter Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia,
Jakarta: Armico, Cet ke-2, 1984.
Koentjoroningrat; Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, Jakarta:
Djembatan, cet ke-2, 1981.
Latif, Djamil; Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, Jakarta: Ghalia
Indonesia, cet ke-2, 1995.
Lapidus, Ira; A History of Islamic Societes, terjemah Ghof Ron A
Mas’adi; Sejarah Sosial Umat Islam (Bagian III), Jakarta: Raja
Grafindo Press, 1999.
Lev, Daniel S; Islamic Caurts In Indonesia, terjemah H Zaini Ahmad
Noeh; Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: Intermasa, cet
ke-3, 1986.
Madkur, Salam Muhammad; al Qodha Fil al Islamiy, alih bahasa
Imron AM; Peradilan Dalam Islam, Surabaya: Bina Ilmu, cet ke-
4, 1993.
Madjid, Nurcholish; Islam Agama Peradaban, Jakarta: Paramadina,
1995.
Muthahhari, Murtadhi; Sexual Ethica In Islam And In The Western
World, terjemah M Hashem; Etika Seksual Dalam Islam, Jakarta:
YAPI, cet ke-2, 1408 H/1988 M.
--------------------------; The Rights of Women In Islam, terjemah M.
Hashem; Hak-Hak Wanita Dalam Islam, Jakarta: Lentera
Basritama, cet ke-4, 1997.
Mustafa, Ibnu; Perkawinan Mut’ah Dalam Perspektif Hadist Dan
Tinjauan Masa Kini, Jakarta: Lentera, 1999.

242 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Naparan, Husain H; Muhammad Rasulullah, Jakarta: Kalam Mulia,
1994.
Nakamura, Hisako; Jevanese Divorce: A Study of The Dissoulution of
Marriage Among Javanese Muslim, Yogyakarta: Gadjah Mada
Press, 1983.
Noeh, Zaini Ahmad dan Abdul Basit Adnan; Sejarah Singkat Peradilan
Agama Islam Di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1983.
Ramulyo, Idris M.; Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata
Peradilan Agama Dan Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Ind-
Hill, Co, 1986.
Ridha, Muhammad Rasyid; Nida Li al Jina al Lathif, terjemah Afif
Mohammad; Panggilan Islam Terhadap Wanita, Bandung:
Pustaka Salman ITB, 1986.
Riwan, Deden M.; Melawan Hegemoni Barat: Ali Syari’ati Dalam
Sorotan Cendikiawan Indonesia, Jakarta: Lentera, 1999.
Russell, Bertrand; Principles of Social Reconstrution, London: Unwin
Paper Backs, 1980.
--------------------; Marriage And Morals, London: Unwin Paper Backs,
1976.
Icttijanto AS; Perkawinan Campuran Dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia, Jakarta: Program Pasca Sarjana UI, 1993.
Sabiq, Sayyid; Fiqh as Sunnah, alih bahasa Moh. Thalib, Bandung:
al Ma’arif, tth.
Salim, Salichin; Menindjau Masalah Polygami, Jakarta: Tinta Mas,
1959.
Salim, Hadidjah; Qishashul Anbiya, Bandung: al Ma’arif, tth.
Sarwono, Sarlito Wirawan; Penganter Umum Psikologi, Jakarta: Bulan
Bintang, cet ke-2, 1982.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 243


Sidqi, Ni’mat; at Tabaruj, terjemah Muhammad Ali dan Abdullah;
Make-Up Dalam Sorotan Islam, Surabaya: Bungkul Indah, tth.
Shihab, Muhammad Quraish; Wawasan al Qur’an (Tafsir Maudhu’i
Atas Pelbagai Persoalan Ummat), Jakarta: Mizan, cet ke-3, 1996.
----------------------------------; Perempuan, Banten Tangerang: Lentera,
cet ke-5, 1998.
Syalthout, Mahmoud; Islam Sebagai Akidah Dan Syari’ah Jilid II,
terjemah Bustami, Jakarta: Bulan Bintang, cet ke-2, 1972.
Syarifuddien, Amir; Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam,
Jakarta: Angkasa Raya, cet ke-2, 1993.
Soekanto, Soerjono; Sosiologi Suatu Penganter, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, cet ke-10, 1995, Edisi Baru Keempat, 1990.
-----------------------; Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka
Pembangunan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Penerbitan UI, cet
ke-3, 1976.
-----------------------; Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum,
Bandung: Citra Adity Bakti, cet ke-6, 1991.
Subekti; Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermas, cet ke-17,
1983.
Sunggono, Bambang; Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Studia
Press, 1997.
Wasit, H.A. Aulawi dan Arso Soeriaatmodjo; Hukum Perkawinan Di
Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Soerojo, R. Wignjodipoero; Kedudukan Serta Perkembangan Hukum
Adat Setelah Kemerdekaan, Jakarta: Gunung Agung, cet ke-2,
1983.
--------------------------------; Penganter Dan Asas-Asas Hukum Adat,
Jakarta: Gunung Agung, 1995.

244 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Zuhri, Muh.; Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996.
Yasir, Mahmud; Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: Hidakarya
Agung, cet ke-10, 1983.

B). MAKALAH DAN KERTAS KERJA


Aini, Noeryamin; Poligami Dalam Perspektif Islam Dan Feminisme,
Makalah, Seminar Nasional Poligami Dalam Perspektif Islam
Dan Feminisme, Depok: UI, 24 Nopember 2000,
Ictijanto AS; Perkawinan Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam Dan
Wacana Gender, Makalah, Seminar Nasional Poligami Dalam
Perspektif Islam Dan Fenimisme, PMII-UI, Depok, 24 Nopember
2000.
---------------; Konstribusi Hukum Islam Terhadap Hukum Nasional,
Makalah, Orasi Ilmiah Pembukaan Perkuliahan Sekolah Tinggi
Agama Islam Darunnajah Jakarta, 17 Oktober 1993.
Muadz D, M.H.; Tinjauan Psikiatris Tentang Perkawinan Poligami
(Poliandri), Perkawinan Sejenis (Homoseksual Dan Lesbian) Serta
Permasalahan-Permasalahan Dalam Perkawinan, Makalah,
Seminar Nasional Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam Dan
Feminisme, PMII-UI, Depok, 24 Nopember 2000.
Taufiq; Undang-Undang Perkawinan Dalam Perspektif Masyarakat
Indonesia Kontemporer, Makalah, Seminar Nasional Poligami
Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Feminisme, PMII-UI,
Depok, 24 Nopember 2000.
Katjasungkana, Nursyahbani; Undang-Undang Perkawinan Dalam
Perspektif Masyarakat Indonesia Kontemporer Menurut Para
Praktisi Dan Ahli Hukum, Makalah, Seminar Nasional Poligami

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 245


Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Feminisme, PMII-UI,
Depok, 24 Nopember 2000.
Prasetyo, A. Ninuk; Kejahatan Kesusilaan Dan Pelecehan Seksual
Dalam Perspektif Agama Yahudi Dan Katolik, Makalah, 1995.
Zarkasyi, Muchtar; Poligami (Poliandri), Perkawinan Sejenis, Dan
Permasalahan Perkawinan (Keluarga) Lainnya Menurut Tokoh-
Tokoh Agama Dan Akademisi, Makalah, Seminar Nasional
Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Feminisme, PMII-
UI, Depok, 24 Nopember 2000.
Salman, Otje; Masyarakat, Gender Dan Perkawinan Memahami
Subtansi Perkawinan Dalam Perspektif Sistem-Sistem Hukum
Di Indonesia, Makalah, Seminar Nasional Poligami Dalam
Perspektif Hukum Islam dan Feminisme, PMII-UI, Depok, 24
Nopember 2000.
Soewondo, Soesmalijah; Poligami Dan Permasalahan Perkawinan
(Keluarga) Ditinjau Dari Aspek Psikologi, Makalah, Seminar
Nasional Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam Dan
Feminisme, PMII-UI, Depok, 24 Nopember 2000.

C). ARTIKEL
Akbar, Ali H.; Apakah Benar Bahwa Laki-Laki Itu Bersifat Polygami?,
Artikel, Sholih Salim; Menindjau Masalah Polygami, 1959,
halaman 143.
HAR, Ya’kub; Pengaruh Hukum Islam Dalam Perkembangan Hukum
Adat Indonesia, Artikel, Majalah Ilmu Dan Kebudayaan UNAS,
Jakarta, Edisi, XI/1990.
____________: Sisi Lain Dari Peradilan Agama, Artikel, Majalah Ilmu
Dan Kebudayaan UNAS, Jakarta, Edisi ke-9, 1992.

246 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


_____________; Adopsi Menurut Hukum Islam Dan Hukum Adat,
Artikel, Majalah Berita Tarumanagara, Jakarta, Edisi ke-4, 1987.
Ali, Muhammad Daud; Hukum Islam Dan Undang-Undang Peradilan
Agama Dan Masalahnya, Artikel, Bulutin Darunnajah Jakarta,
Edisi ke-2, 1990.
Soejoeti, Zarkawi; Peran Ganda Wanita Ditinjau Dari Agama Islam,
Artikel, 1985.
Koentjoroningrat, R.M.; Polygami Ditinjau Dari Segi Antropologi,
Artikel, Menindjau Masalah Polygami, Soclichin Salim, 1959,
halaman 217.
Sukardja, A.H.; al Qur’an Dan Tiga Katagori Hukum Dalam Islam,
Artikel, Bulutin Darunnajah Jakarta, Edisi ke-15, 1994.
Ahadily, Hasan; Betulkan Kaum Pria Bersifat Polygam – Dilihat Dari
Segi Biologis – Sosiologis, Artikel, Menindjau Masalah Poligami,
Solichin Salim, 1959, halaman 109.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 247


TENTANG PENULIS

Dr. Hj. Lilis Suaedah, MA. SDN 01 Jujuluk Baru, Madrasah Mursyidul
Fallah Kampung Sawah, Alumni Darunnajah, STAID Semester V.
S1 dan S2 UMJ, dan S3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Banyak
mengikuti T.C al Qur’an, qiro’at.
Kegiatan sehari-hari: Dosen Universitas Darunnajah Jakarta,
UMJ dan pernah di UMB, Da’iyah, Qori’ah, Pembimbing Haji dan
Umrah Bersartifikat, Tenaga Ahli Hukum Keluarga di Firma Hukum
Dr. Supriyadi, SH., MH dan Rekanan, di Firma Hukum HY & CO yang
dipimpin suaminya, Tutor di beberapa Lembaga Kursus Da’wah,
Penggiat Majlis Ta’lim dan Pekerja Sosial, juga sering mengisi
Seminar-Seminar baik Nasional maupun Internasional.
Karya-karya yang sudah diantaranya, Perilaku Penyimpangan
Seksual Remaja: Studi Kasus Terhadap Santri Darunnajah, Jakarta,
(Skripsi), 1997. Poligini Dalam Perspektif Sosiologi: Studi Kasus di
Pengadilan Agama Jakarta Barat (Tesis), 2001. Perspektif Pelaku
Poligini Terhadap Perilaku Pelaku Poligini: Studi Kritis Terhadap
Pelaku Poligini (Desertasi), 2012. Santri Mengaji Pandemi: Refleksi,
Solusi Dan Aksi, 2021 Karya bersama Alumni Darunnajah Jakarta. KH
Mahrus Amin: Seribu Pesantren, Sejuta Santri, 2022, karya bersama
Alumni Darunnajah Jakarta. Tinjauan Yuridis Dan Sosiologis
Perwakafan Di Indonesia, 2022, karya bersama dengan, H. Ya’kub
HAR, Hj. Lilis Suaedah, dan Taufiq Ramadhan.

248 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi


Karya-karya yang berupa ceramah-ceramah dan Tilawah
al Qur’an serta shelawat telah banyak beredar di YouTube sejak
beberapa tahun yang lewat. Karya lagu-lagu rohani, qasidah sudah
melahir satu karya album, 2018 bersama suami.
Kegiatan-aktivitas lain, Ketua Yayasan Sosial Kharotul’Ummah
bergerak dibidang santunan, sejak tahun 1988 s.d Sekarang, Ketua
Bendahara Yayasan Pondok Pesantren Tarbiatu’ Atfal, Karawang, 1987
s.d Sekarang, Ketua Bendaharan Yayasan As Shobirin Tangerang Kota,
2008 s.d Sekarang, Ketua II Yayasan Pondok Pesantren Nurul’Waqiah,
2009 s.d Sekarang. Pernah aktif di Yayasan Cemerlang Bersama
yang dipimpin Al Ustdz Drs. H. Muhammad Noer, Ketua Dewan
Penyantun Yayasan Pondok Pesantren Mambaul’Ulum, Ceherang,
Wanayasa, Purwakarta, 2007 s.d Sekarang.
Aktif di beberapa Ormas - Partai dan ikut mendirikan Ormas
NasDem, Ketua KPJ (Kaukus Perempuan Jakarta), 2000 s.d 2005.
Ketua Al Hidayah, 1995 s.d 2000, Ketua LSQI, 2015 s.d Sekarang.
Pernah menjadi Anggota Legislatif/DPD DKI, mundur, DPR-RI dari
Fraksi PKB, Dapil VII Jawa Barat, mundur.

H Ya’kub HAR, Alumni Darunnajah Jakarta, Alumni FH-UNTAR. Kesibu-


kan sehari-hari, Dosen, Advokat, Pekerja Sosial, dan waktu luang men-
ganter istri kemanapun dia pergi.

Karya Ilmiah yang telah dipublikasikan adalah, Manusia Modern


Dan Penyakitnya (Andes Utama Prima, 1995), Pelecehan Hak-Hak
Wanita (Citra Harta Prima, 1996). 9 Kunci Hidup Kebahagiaan
(Pustaka Pribadi, 2008), KH Mahrus Amin: Seribu Pesantren, Sejuta
Santri (KSBM Publisher, 2022), karya bersama Alumni Darunnajah
Jakarta, Tinjauan Yuridis Dan Sosiologis Perwakafan Di Indonesia
(Lembaga Ladang Kata, 2022) karya bersama: H. Ya’kub HAR, Hj.

Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi 249


Lilis Suaedah dan Taufiq Ramadhan, Etika Profesi Hukum Dalam
Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Islam, 2022 Karya bersama
H. Ya’kub HAR dan Dr. Sapta.
Karya sastra berupa novel diantaranya: Sesuci Janji (Mata Kata,
2021), Lukisan Cinta Yang Indah (Mata Kata, 2022), Muallaf (Mata
Kata, 2022), Santri (Mata Kata, 2022). Akan terbit, Taubatnya Seorang
Genkser, dan Astuti Perempuan Ahli Surga.
Karya sastra berupa puisi sudah cukup banyak sejak dari Mts
Darunnajah, 1978 s.d Sekarang. Pernah mendapatkan penghargaan
penulis puisi terbaik tingkat SMA/Aliyah tahun 1981 dari Majalah
Sastra Horison. Puisi-puisi terkenal diantaranya, Puisi Dibatas
Waktu, 1980, Puisi Untuk Si Dia, 1983, Puisi Surat Buat Lisa, 1987,
Puisi Semalam Di Kota Kembang Bandung, 2000, Puisi Warisan
Cita-Cita, 2022.
Karya sastra berupa lagu-lagu rohani atau qasidah telah
melahirkan satu album bersama istri, Dr. Hj. Lilis Suaedah, MA
tahun, 2018 Produksi: LS dan Naviri.
Aktif di beberapa Yayasan Sekolah, Pondok Pesantren dan
Masjid, Ketua Yayasan Pondok Pesantren Tarbiatul’Atfal Karawang,
1988 s.d Sekarang, Ketua Yayasan Sosial Kharotul’Ummah Jakarta,
1988 s.d Sekarang, Ketua Yayasan Masjid As Shobirin Tangerang
Kota, 2005 s.d Sekarang, Ketua Yayasan Shofiyah Sholihah, 2008 s.d
Sekarang yang mengelolah Pondok Pesantren Nurul’Waqiah. Ikut
Mendirikan beberapa sekolah di Tangerang, NTB, dan banyak lagi.

250 Poligini dalam Perspektif Hukum dan Sosiologi

Anda mungkin juga menyukai