Anda di halaman 1dari 2

Berdasarkan sejarah yang ada di zaman pemerintahan Hindia Belanda, tidak dikenal adanya Peradilan

Tata Usaha Negara sebagai suatu lembaga yang diberi kewenangan untuk memeriksa dan
menyelesaikan sengketa dibidang TUN. Peradilan saat itu dilakukan oleh hakim administrasi maupun
hakim perdata. Sampai tahun 1986 Indonesia belum memiliki lembaga peradilan administrasi negara
yang berdiri sendiri. Dalam praktiknya ada tiga lembaga yang melkaukan fungsi seperti lembaga PTUN
yaitu Majelis Pertimbangan Pajak, Peradilan Pegawai Negeri, Peradilan Bea Cukai.

Ketentuan penyelesaian sengketa TUN pada masa penjajahan Belanda didasarkan pada pasal 2 yang
menyatakan bahwa “pemeriksaan serta penyelesaian sengketa TUN menjadi wewenang dari lembaga
administrasi itu sendiri”.

Fase kedua, pada saat pemerintahan Jepang, tidak banyak perhatian pada kelengkapan perangkat
hukum. Saat itu diundangkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1942, dimana pemerintahan Jepang
menjalankan kekuasaan dan pemerintahan militernya. Pada pasal 3 UU tersebut menyebutkan dalam
aturan peralihan yakni “semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-
undang dari pemerintah yang terdahulu tetap diakui sah bagi sementara waktu asal tidak bertentangan
dengan aturan pemerintah militer”.

Fase ketiga, sejak tanggal 17 Agustus 1945 diproklamasikan untuk kali pertama tidak tegas menyatakan
adanya PTUN, tetapi didalam peraturan pelaksanaan pada Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yakni
pada pasal 10 ayat (1) dinyatakan adanya PTUN yang berlandaskan pada pasal 24 dan 25 UUD 1945.

Fase keempat, pada tahun 1948 berlaku Undang-Undang No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan
Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman dan Kejaksaan, dimana pada pasal 66 menyatakan “jika dengan
Undang-Undang atau berdasarkan Undang-Undang tidak ditetapkan badan-badan kehakiman lain untuk
memeriksa dan memutus perkara-perkara dalam soal Tata Usaha Pemerintahan, maka Pengadilan Tinggi
dalam tingkatan pertama dan Mahkamah Agung dalam tingkatan kedua memeriksa dan memutus
perkara-perkara itu”. Kemudian pada pasal 67 menyebutkan bahwa “badan-badan kehakiman dalam
Peradilan Tata Usaha Pemerintahan yang dimaksudkan pada pasal 66 berada dalam pengawasan
Mahkamah Agung”.

Fase kelima, saat diberlakukannya Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949 sampai
dengan 17 Agustus 1950, dalam ketentuan pasal 161 Konstitusi Indonesia Serikat disebutkan
“pemutusab tentang sengketa yang mengenai hukum Tata Usaha diserahkan kepada pengadilan yang
mengadili perkara perdata ataupun kepada alat-alat perlengkapan lain, tetapi jika demikian seboleh-
bolehnya dengan jaminan yang serupa tentang keadilan dan kebenaran”. Pada pasal 162 Konstitusi
Indonesia Serikat menegaskan bahwa “dengan Undang-Undang Federal dapat diatur cara memutuskan
sengketa yang mengenai hukum Tata Usaha dan yang bersangkutan dengan pertaturan yang diadakan
atau atas kuasa konstitusi ini”.

Fase keenam, diberlakukan Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 yang belaku sejak 17 Agustus
1950 sampai dengan 5 Juli 1959. Didalam UUDS 50 tersebut mulai dikenal adanya PTUN, dilihat dalam
ketentuan pasal 108 UUDS 50 yang berisi pemutusan tentang sengketa megenai hukum TUN diserahkan
kepada pengadilan yang mengadili perkara perdata ataupun alat kelengkapan lain, tetapi dengan
jaminan yang bisa mendapatkan keadilan dan kebenaran.
Fase ketujuh, saat berlalu ketentuan UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Pada pasal 10 ayat (1) menyebutkan bahwa “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan, pertama peradilan umum, kedua peradilan agama, ketiga peradilan
militer, keempat peradilan tata usaha negara”.

Anda mungkin juga menyukai