Anda di halaman 1dari 16

PERTEMUAN KE-1

SEJARAH, TUJUAN, DASAR DAN ASAS-ASAS PERADILAN TATA USAHA NEGARA


Dosen : Abdul Hayy Nasution

PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena berkat anugerahNya dan rahmatNya kita masih bisa
bertemu dalam materi kuliah Hukum Peradilan Tata Usaha Negera yang bekaitan dengan
Sejarah, Tujuan, Dasar dan Asas-asaas Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
perubahan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

TUJUAN PERKULIAHAN

 Menjelaskan tentang sejarah lahirnya UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara;
 Menjelaskan Tujuan Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN);
 Menjelaskan Dasar-dasar Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN);
 Menjelaskan Asas-asas Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN);
 Mengajak mahasiswa untuk aktif menyimpulkan tentang sejarah, tujuan, dasar dan asas-
asas Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN);
 Mengajak mahasiswa aktif dalam tanyak jawab;
 Pro test.

DISKRIPSI MATERI

SEJARAH PEMBENTUKAN PERADILAN TATAUSAHA NEGARA

Cita-cita terbentukya undang-undang peradilan tata usaha Negara adalah dimulai sejak
lahirnya UUD 1945, hal ini dapat diketahui dari ketentuan Pasal 24 menyatakan bahwa
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh suatu mahkamah agung dan lain-lain badan
kehakiman menurut undang-undang. susunan dan badan kehakiman diatur dengan
undang-undang.
PERIODE BERLAKUNYA UUD 1945(1945 s/d 1949)

Rencana pembentukan Peradilan tat usaha Negara sejak lahirya UUD 1945. Diwujudkan
dengan dikeluarkannya undang-undang nomor 19 tahun 1948. Tentang susun dan badan
badan kehakiman dan kejaksaan. Undang-undang ini dapat mengatur secara sepesifik
mengenai pengadilan tata usaha Negara, namun hanya dua pasal yang mengatur yang
mengenai peradilan administrasi, yaitu;

Pasal 66 berbunyi :

Jika dengan undang-undang atau berdasarkan atas undang –undang tidak ditetapkan
badan –badan kehakiman lain untuk memeriksa dan memutuskan perkara-perkara dalam
soal tata usaha pemerintahan,maka pengadilan tinggi dan tingkat pertama dan mahkamah
agung tingkat kedua memeriksa dan memutuskan perkara itu.

Pasal 67 berbunyi :

Badan-badan kehakiman dalam urusan tata pemerintahan yang dimaksud dalam pasal
66. Berada dalam pengawasan mahkamah agung. Dari bunyi ketentuan tersebut dapat
diketahui bahwa tidak menyebut sebagai peradilan tata usaha Negara. Akan tetapi sebagai
peradilan tata pemerintahan dan dalam operasionalnya pengadilan tinggi sebagai
pengadilan tingkat pertama dan mahkamah agung sebagai pengadilan tingkat ke dua.

Periode berlakunya konstitusi RIS


(27 Desember 1949 s/d 17 Agustus 1950)

Dalam konstitusi RIS yang mengatur peraturan tata usaha belum juga di atur secara pesifik
perkara yag mengadili diserahkan kepada pengadilan perdata atau alat –alat kelengkapan lain :

Pasal 161 berbunyi :

Pemutusan tentang sengketa yang mengenai hukum tata usaha diserahkan kepada pengadilan
yang mengadili perkara perdata ataupun kepada alat kelengkapan lain tetapi jika demikian
seboleh – bolehya dengan jaminan yang serupa dengan tentang keadilan dan kebenaran,

Pasal 162 berbunyi :

Dengan undang –undang federal dapat di atur cara memutus sengketa yang mengenai hukum tat
usaha dan yang bersangkutan dengan peraturan-peraturan yang diadakan dengan atau atas kuasa
konstitusi ini atau yang diadakan dengan undang- undang federal, sedangkan peraturan itu tidak
langsung mengenai semata mata alat-alat kelengkapan dan penghuni satu daerah bagian saja,
termasuk badan-badan hukum publik yang di bentuk atau diakui dengan atau atas kuasa undang
undang bagian daerah itu.
Periode UUDS( 17 Agustus 1950 s/d 5 juli 1959)

Dalam periode UUDS ini hanya satu pasal yang mengatur hukum tata usaha, yaitu: pemutusan
tentang sengketa yang mengenai hukum tata usah diserahkan kepada pengadilan yang
menggadili perkara perdata tatau pun kepada alat-alat kelengkapan lain,tetapi jika demikian
seboleh bolehya dengan jaminan yang serupa tentang keadilan dan kebenaran.

Periode 1959 s/d 1986

Rencana pembentukan pradilan tata usaha Negara hingga periode ini masih mengalami
perdebatan yang cukup panjang dan baru dapat diwujudkan melalui undang undang no. 5 thn
1986. Tentang peradilan tata usaha Negara, LNR. No. 77 tanggal 29 desember 1986. Undang
undang ini berlaku efektip penerapanya lima tahun kemudian dengan peraturan pemerintah no. 7
tahun 1991 tentang penerapan UU no.5 tajun 1986 tentang peradilan tata usaha Negara, tanggal
14 januari 1991.

Uapaya pembentukan peradilan tata usaha Negara dalam periode kini telah dilakukan melalui
upaya adanya ketetapan majelis permusyawaratan sementara (MPRS) nomor : II/MPRS/1960
yang menetapkan agar segera dibentuk peradilan administrasi. TAP MPRS tersebut selanjutya
ditinjak lanjuti dengan undag undang No.19 tahun 1964 tentang ketentuan ketuntuan pokok
kekuasaan kehakiman.

Selanjutya, lintong O. siahaan dalam sachran basah secara kronologis menjelaskan bahwa
telah dilakukan berbagai upaya, baik dalam bentuk perundang-undangan, perencanaan (GBHN
dan repelita),simposium, lokakarya,pidato, kenegaraan peresiden, dan sebagainya diuraikan
sebagai berikut:

a. Undang undang no.14 tahun 1970, tentang ”ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.”
Sebagai pelaksana lebih lanjut dari pasal 10 ayat (1) sub (D). sebagai pepaksana
lebihh lanjut dari pasal 10 ayat (1) Sub(D), tersebut,telah dibentuk PTUN berdasarkan
UU no. 5 tahun 1986, LN.No.77 tahun 1986.

b. Repelita II bab 27 tentang” hukum.” Khusus mengeni langkah langkah kegiatan atau
saran saran dalam bidang perencanaan hukum dan perundang undangan menentukan:
“selanjutnya diusahakan pembentukan peradilan administrasi dalam rangka
terselenggaranya ketertiban dan kepastian hukum di bidang administrasi
pemerintahan.”

c. Laporan seminar hukum nasional ke-III tahun 1974 disurabaya, yang menyimpulkan
bahwa agar semua peradilan semu (kuasi peradilan) dihapus dan tugas tugasnya
diserahkan kepada peradilan umum, dan agar jangan dibentuk lembaga lembaga
peradilan lain diluar undang-undang No. 14 tahun 1970.
d. Simposium peradilan TUN yang diselenggarakan oleh BPHN di Jakarta pada tanggal
5 s/d 7 pebruari 1976, yang berjuang menampung inti/ pokok pokok permasalahan
pembentukan PTUN.
e. Laporan penelitian tentang peradilan administrasi Negara (1976) tentang
kompetensi/wewenang peradilan administarsi Negara (1977) sturuktur organisasi
badan peradilan indonesia (1977) susunan, kekuasaan, dan hukum acara TUN
(1978/1979).

f. Peresiden RI dalam pidato kenegaraan yang disampaikan di depan sidang DPR


tanggal 17 agustus 1978, dalam rangka menekankan pentingya usaha pemerataan
kesempatan memperoleh keadilan, menegaskan diantaranya:
Demikian pula akan diusahakan terbentukya pengadilan administarsi, yang dapat
menampung dan menyalesaikan perkara perkara yang berhubungan dengan
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat/petugas aparatur Negara,
maupun memberikan kepastian hukum bagi setiap pegawai negeri.”

g. Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang tanda kutif garis-garis besar haluan
Negara” pada “ pola umum pelita ke 3” dibagian “politik, aparatur bidang “ hukum”
sub (D) dinyatakan bahwa: “mengusahakan terwujudnya peradilan tata usaha
Negara.”

h. Seminar hukum nasional ke-IV tahun 1979 di Jakarta khususya mengenai masalah
pembentukan pengadilan tata usaha Negara, terdapat dua pendapat yag berbeda.

i. Berkaitan dengan TAP MPR no. IV/MPR /1978 dalam repelita III 1979/1980-
1983/1984( khususya dalam bab 23 tentang”hukum” menentukan antara lain:
“selanjutnya dalam rangka pembinaan peradilan ini akan diusahakan terwujudnya
peradilan tata usaha Negara(administasi), yaitu sebagai peradilan yang dapat
menyelesaikan perkara yang berhubungan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh
pejabat/petugas aparatur Negara.dengan demikian dapat lebih menjamin adanya
ketertiban , ketentraman dan kepastian hukum dalam menyelenggarakan pemerntahan
yang bersih, berkemampuan dan berwibawa,serta penuh dedikasi dan disiplin bekerja.

j. Repelita IV (1984/1985”1989/1990) pada bab 27, menentukan diantara nya:”dalam


rangka itu pembentukan peradilan tata usaha Negara dan peradilan anak perlu
mendapat perioritas perujudannya….”

k. Lokakarya yang dilakukan oleh mahkamah agung RI, tentang:


Pembangunan hukum melalui peradilan pada tanggal 30 mei-1 juni 1977 di lembang,
bandung.

l. Lokakarya:”hubungan mahkamah agung dengan peradilan TUN” masuknya perkara


ke mahkamah agung dari badan-badan PTUN, pada tanggal 28-30 Nopember 1978 di
Surakarta.

m. Pelantikan 6 (enam) ketua muda Mahmamah Agung RI, termasuk ketua bidang
PTUN, oleh Ketua Mahkamah Agung, pada tanggal 27 maret 1982.
Demikian kronologis perdebatan mengenai terbentuknya undang undang peradilan tata usaha
Negara sehingga sampai saat ini undang undang tersebut memiliki dua nama, peradilan tata
usaha Negara dan peradilan adminstrasi Negara,

Apabila dilihat dari judul nama undang undang No.5 tahun 1986 menyebutnya dengan undang-
undang peradilan Tata Usaha Negara, namun apabila dilihat ketentuan pasal 144 menyebutnya
dengan nama Peradilan Administrasi Negara.
Adanya dua nama tersebut dikarnakan pada waktu pembuatan undang undang di DPR dan
pemerintah tidak terdapat kesepakatan dalam pemberian nama UU No. 5 tahun 1986.

Usulan pihak pemerintah,menggunakan nama peradilan tata usaha Negara, sedangkan usulan
dari fraksi karya pembangunan (FKP) dan dari para akademisi (Universitas padjajaran,Gajah
Mada,Hasanuddin) menggunakan nama pradilan administrasi Negara.

TUJUAN PEMBENTUKAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Tujuan dibentuknya UU No.5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha Negara yaitu
untuk mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang badan atau pejabat tata usaha
Negara.

Di dalam melakukan tindakan hukm publik badan/pejabat tata usaha Negara mempunya
peranan sebagai pelaku hukum publik yang menjalankan kekuasaan hukum publik yang
di jelmakan dalam kualitas penguasa (authoritises) seperti halnya badan-badan tata
usaha negara dan berbagai jabatan yang diserahi wewenang penggunaan
kekuasaanpublik, Wujud dari pelaksanaan urusan pemerintah dapat berupa
tindakanhukum yang berkaitan dengan tindakan material dan berbagai tindakan hukum
yang berupa keputusan hukum tata Negara. PTUN menjalankan peranan yang sangat
penting dalam melakukan fungsi control terhadap tindakan badan atau pejabat
adminidtrasi agar tidak bertindak melampaui kewenangan yang dimilikinya.

Pengawasan hukum melalui peradilan administrasi dilakukan menurut peroses secara


peradilan administrasi, bermula dari gugatan dan berahir dengan putusan. Di pandang
dari “kelembagaan” yang di control dan yang melaksanakan control dapat dibedakan
menjadi control intren (internal control) dan control ekstern ( external control). (1)
control intren (internal control) adalah pengawasan yang dilakukan oleh suatu
badan/organ yang secara structural masih termasuk organisasi dalam lingkungan
pemerintah. Misalnya pengawasan yang dilakukan oleh pejabat atasan secara hierarkis.
Bentuk control semacam ini dapat digolongkan sebagai jenis control teknis
administratif atau “built-in control,” ( 2) control ekstren (external control) adala
pengawasan yang dilakukan oleh badan/organ secara sturuktur organisasi yang berada
diluar pemerintah dalam arti eksekutif.misalya control yang dilakikan secara langsung
seperti control keuangan oleh BPK,konrol social yang dilakukan oleh masyarakat
melalui lembaga swedaya masyaakat (LSM) termasuk media masa dan kelompok
masyarakat yang berminat pada bidang tertentu. Kontrol politis yang dilkukan oleh MPR
dan DPR (D)terhadap pemerintah (eksekutif) control peradilan (judicial control)antara
lain peradilan umum,maupun peradilan administrasi, badan lain seperti ombudsman
nasional, dari perspektip Negara hukum, upaya meningkatkan perlindungan secara hak-
hak individu tersebut dilakukan dengan cara membatasi kekuasaan pemerintah
(penguasa).

Apabila dihubungkan dengan pengawasan terhadap pemerintah, terlihat bahwa


pengertian umum pengawasan masih tetap relevan,alasanya;

pertama, pada umumya sasaran pengawasan terhadap pemerintah yaitu pemeliharaan


dan penjagaan agar Negara hukum kesejahteraan dapat berjalan dengan baik dan dapat
pula membawa kekuasaan pemerintah sebagai penyelanggara keseahteraan masyarakat
kepada pelaksanaan yang baik pula dan tetap dalam batas kekuasaan.

kedua, tolak ukurnya yaitu hukum agar mengatur dan membatasi kekuasaan dan
tindakan pemerintah dalam bentuk hukum material maupun hukum
formal(rechtmatiggheid).

Ketiga,adanya pencocokan antara perbuatan dan tolak ukur yang telah di tetapkan,

Keempat, adalah jika terjadi tanda-tanda akan terjadi penyimpangan terhadap tolok ukur
tersebut dilakukan tindakan pencegahan,

kelima, apabila dalam pencocokan menujukan telah terjadi penyimpangan dari tolok
ukur, kemudian diadakan koreksi melalui tindakan pembatalan, pemulihan terhadap
akibat yang di timbulkan dan mendisiplinkan pelaku kekeliruan.

Untuk membatasi kekuasaan dan tindakan pemerintah dalam menjakankan fungsi


pemerintahan dan menciptakan iklim ketertiban dan kepastian hukum serta memberikan
pengayoman kepada masyarakat, maka dilahirkan undang-undang No.5 tahun 1986
tentang peradilan tata usaha Negara. Dalam konsiderans menimbang, lahirnya undang-
ndang dilatarbelakangi oleh :
1. Bahwa Negara republik Indonesia sebagai Negara hukum yang berdasarkan
pancasila dan undang-undang dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan
Negara dan bangsa yang sejahtera,aman,tentram,serta tertib,yang
serasih,seimbang,selaras antara aparatur di bidang tata usaha Negara dan para warga
masyarakat.

2. Bahwa dalam meujudkan tata kehidupan tersebut,dengan jalan mengisi kemerdekaan


melalui pembangunan nasional secara bertahap,diusahakan untuk membina
menyempurnakan dan menertibkan aparatur di bidang tata usaha Negara, agar
mampu menjadi alat yang efisien,epektif,bersih serta berwibawa,dan yang dalam
melaksanakan tugasnya lalu berdasarkan hukum dengan dilandasi semangat dan
sikap pengabdian untuk masyarakat.

3. Bahwa meskipin pembangunan nasional hendak diciptakan suatu kondisi sehingga


setiap warga masyarakat dapat menikmati suasana serta iklim ketertiban dan
kepastian hukum yang berintikan keadilan dalam pelaksanaanya ada kemungkinan
timbul benturan kepentingan, perselisihan, atau sengketa antara badan atau pejabat
tata usaha Negara dengan warga masyarakat yang dapat merugikan atau
menghambat jalanya pembangunan nasional.

4. Bahwa untuk menyelesaikan sengketa tersebut diperlukan peradilan tata usaha


Negara yang mampu menegakan keadilan, kebenaran,ketertiban,dan kepastian
hukum, sehingga dapat memberikan pengayoman kepada masyarakat, khususnya
dalam hubungan antara badan atau pejabat tata usaha Negara.

Dalam konteks pembatasan kekuasaan pemerintah (Negara) dengan tujuan untuk memberikan
pelindungan terhadap hak-hak individu seperti dikemukakan diatas, berlaku suatu perinsip dalam
peraktik penyelenggaraan Negara dalam perspektif asas Negara hukum modern( Negara hukum
kesejahteraan), yaitu bahwa tidak ada kekuasaan Negara yang boleh dibiarkan bebas tanpa
pembatasan dan pengawasan.
Mengingat begitu dominannya peran Negara dalam konsep wipare state, maka setiap kali perlu
ada control terhadap tindakan hukum aparatur Negara agar tidak menjauhkan dari usaha-usaha
meujudkan kesejahteraan masyrakat.

Pada asasnya,setiap bentuk campur tangan pemerintah dalam pergaulan social harus
berpedoman pada peraturan perundangan sesuai dengan tuntutan asas legalitas sebagai
konsekwensi dari asas Negara hukum akan tetapi,kelemahan asas legalitas yang sangat
mengutamakan kepastian hukum mengakibatkan asas ini cenderung membuat pemerintah
menjadi lambat dalam bertindak.dalam hal tertentu ketika situasi dan kondisi mengharuskan
pemerintah bertindak demi menghindari kerugian yang lebih besar yang secara logis
diperkirakan terjadi,pemerintah memiliki kewenangan dan keleluasaan untuk bertindak atas
inisiatif sendiri, meskipun harus menyimpang atau mengabaikan undang-undang. Oleh karena
itu, badan atau pejabat tata usaha Negara dalam melalukan tindakan administrasi Negara
diberikan kebebasan tanpa harus terikat oleh adanya peraturan perundang –undanngan yang
disebut dengan diskresi atau freies ermessen sepanjang tidak menimbulkan penyalahgunaan
kewenangan sehingga merugikan rakyat. Tentu saja dalam persepektif Negara hukum pejabat
tata usaha Negara dalam mengambil tindakan itu selalu ada batasan dan alasannya.

Jika ada pengakuan bahwa kekuasaan penguasa bersumber dari hukum, berarti
penguasaan penguasa bukan merupakan kekuasaan yang bersipat mutlak(absolut) atau
tanpa batas, melainkan kekuasaan yang dibatasi oleh hukum. Konsekwensi atas
pegakuan yang demikian mengandung arti bahwa penngasa tidak dapat bertindak
sewenang wenang. Dipihak lain, pembatasan kekuasaan penguasa oleh hukum
berdampak positif terhadap hak-hak rakyat atau warga Negara, sebab jika kekuasaan
penguasa dibatasi oleh hukum, penguasa dengan sendirinya tidak dapat bertindak
sewenang- wenang sehingga pengakuan dan perlindungan hak-hak rakyat akan dapat
diujudkan.

Pemerintah selaku pelaksana kekuasaan di bidang eksekutif dalam melaksanakan urusan


pemerintahan tidak boleh lagi ada penyimpangan kekuasaan, karena undang-undang
peradilan tata usaha Negara ini pembentukannya bertujuan:
a. Agar badan atau pejabat tata usaha Negara tidak bertindak sewenang wenang
melakukan perbuatan yang dapat merugikan warga Negara.
b. Agar badan/tata usaha Negara benar-benar melaksanakan tugas dan kewajiban yang
diberikan oleh undang-undang kepadanya.
c. Agar badan/ pejabat tata usaha negra dalam mengeluarkan produk berupa surat
keputusan sesuai dengan azas-azas umum pemerintahan yang baik(AAUPB)
Oleh karna itu, segenap tindakan pemerintah yang dilakukan oleh badan atau pejabat
tata usaha Negara harus di uji terhadap norma-norma kelayakan dan kepatutan.

Intinya, tata pemerintahan(tata kelola) yang baik sebagai konsep dari good
gopernance. Dan apabila dihubungkan dengan kepentingan rakyat bayak, maka
tujuan good gopernance itu yakni : pertaman , untuk meujudkan berbagai kepastian,
kemudahan dan “keberhasilan” (transparansi serta akuntabilitasi) dalam pelayanan
public dan kedua, untuk memberikan prelindugan kepada rakyat dari tindakan
sewenang-wenang dari pemerintah.

DASAR-DASAR HUKUM PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Eksistensi peradilan tata usaha Negara merupakan sarat mutlak dalam konsep
Negara hukum(rechtsstaat), karna menjadi indikator kualitas demokrasi dalam
pembagian kekuasaan Negara(machtsfeerdeling). Tidak perlu di tolak pendapat yang
menyatakan bahwa hehadiran peradilan tata usaha Negara di Indonesia di pengaruhi
oleh konsep konseil de`etat prancis dan administraieve rechtspraak nederlan, yang
dinegaranya juga dipengaruhi oleh kultur budaya dan sejarah hukum Negara asalnya.
Namun juga tidak perlu di munculkan superioritas kehasan peradilan tata usaha desa.
Negara republik Indonesia adalah Negara hukum, sehingga oleh karna itu segala
tindakan yang dilakukan oleh seseorang maupun badan atau pejabat tata usaha
Negara di Indonesia harus berdasarkan hukum, dalam Negara hukum, hubungan
penguasa dengan rakyat tidak didasarkan atas dasar kekuasaan, tetapi hubungan
yang sederajat atau setara yang diatur oleh atau berdasarkan hukum. rakyat bukan
hamba dan raja bukan tuan sehingga rakyat dapat meminta pertanggung jawaban
secara yuridis dari penguasa jika penguasa melakukan kesalahan dan menjalankan
kekuasaanya. Dalam rangka menyeimbangkan pengaturan kepentingan individu,
kelompok,sering dijumpai adanya perselisihan antara individu dan individu, maupun
individu dan kelompok, atau sebaliknya dan tidak jarang juga dijumpai perselisihan
tersebut terjadi antara kelompk atau individu dengan badan atau pejabat tata usaha
Negara.

Dalam amandemen undang-undang dasar 1945 pasal 1 ayat (3) berbunyi bahwa
Negara Indonesia adalah Negara hukum, dan selanjutnya dipertegas dalam pasal 1
angka 1 undang-undang No. 48 tahun 2009 tentang kekuaaan kehakiman bahwa
kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
pancasila dan undang-undang dasar Negara republik Indonesia tahun 1945, demi
terselenggaranya Negara hukum republic Indonesia.
Sebelum berlaku undang-undang No.48 tahun 2009 undang undang tentang
kekuasaan kehakiman dimaksudkan untuk mengadili adanya benturan kepentingan
antara individu ,kelompok,dan badan atau pejabat tata usaha Negara. dalam
ketentuan pasal 10 undang-undang No. 14 tahun 1970 tersebut peradilan tidak saja
peradilan tata usaha Negara, akan tetapi badan badan peradilan lain.

Pada tanggal 29 maret 2004, di undangkan undang-undang No. 9 tahun 2004 tentang
perubahan atas undang-undang No.5 tahun 1986, tentang peradilan tata usaha
Negara. Perubahan itu dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan undang-undang
No. 4 tahun2004 tentang kekuasaan kehakiman, sebagai lanjutan dari repormasi
kekuasaan kehakiman yaitu undang-undang No.35 tahun 1999 yang merevisi UU No
14 tahun 1970 tentang pokok-pokok kejuasaan kehakiman.
Undang-undang No 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman ternyata tidak sesuai
lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dan ketatanegaraan menurut UUD
Negara republik Indonesia tahun 1945, maka Undang –undang kekuasaan
kehakiman tersebut telah diganti dengan UU No 48 tahun 2009, tentang kekuasaan
kehakiman. Meskipun undang –undang No 4 tahun 2004 (lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 2004 NO 8, TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA Republik
Indonesian No 4358 ) telah di cabut dan dinyatakan tidak berlaku dan diganti dengan
undang-undang No 48 tahun 2009, namun ketentuan ketentuan pelaksanaanya
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan ini dinyatakan tetap berlaku. Hal ini
di jelaskan dalam pasal 63 undang-udang No 48 tahun 2009 tentang kekuasaan
kehakiman, menegaskan bahwa pada saat undang undang ini berlaku semua
ketentuan yang merupakan peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
unang –undang ini.

Dalam pasal 24 ayat 2 undang-undang dasar 1945 dan pasal 18 undang-undang No


48 tahun 2009, pada pokoknya menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh suatu mahkamah agung dan badan peradilan yang berada di bawahya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh suatu mahkamah konsitusi,

Disampinng itu dalam ketentuan pasal 21 disebutkan bahwa:


1. Organisasi, administrasi,dan financial mahkamah agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
2. Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan financial badan peradilan
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) untuk masing-masing lingkungan
peradilan diatur dalam undang undsng sesuai dengan keputusan lingkungan
peradilan msing-masing.
Sebelum di undangkan ketentuan tersebut dalam undang-undang No 14 tahun
1970 tentang kekuasaan kehakiman yang mengatur mengenai pembinaan
organisasi, administrasi, dan keuangan bagi para hakim dilakukan oleh
departemen kehakiman.
Mahkamah agung hanya diberikan kewenangan pembinaan dari segi teknis
yudisial terhdap para hakim. Hal itu membawa pada dualisme pembinaan
terhadap para hakim yang sering menimbulkan keraguan terhadap independensi
dan pembebasan para hakim. Selanjutnya, untuk menindak lanjuti ketentuan
tersebut, pasal 2 ayat (1) kepres RI No 21tahun 2004 menyatakan bahwa
organisasi, administrasi, dan financial pada direktorat jendral badan peradilan
umum dan peradilan tata usaha Negara departemen kehakiman dan hak asasi
manusia, pengadilan tinnggi tata usaha Negara, pengadilan negeri dan
pengadilan tata usaha Negara.terhitung sejak tanggal 31 maret 2004 dialihkan
dari departemen kehakiman dan hak asasi manusia ke mahkamah agung.

Dengan berlakunya ketentuan tersebut, maka pengadilan pengadilan yang


disebutkan diatas bukan lagi dibawah kekuasaan kementerian hukum dan HAM,
melainkan menjadi dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Hal ini di tegaskan
kembali dalam pasal 21 ayat 1 undang-undang No 48 tahun 2009 tentang
kekuasan kehakiman yang merumuskan bahwa organnisasi, administrasi,dan
financial mahkamah agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya
berada dibawah kekuasaan mahkamah agung.

Undang undang No.5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha Negara yang sudah
dilakikan dua kali perubahan yaitu undang-undang No 9 tahun 2004 tentang
perubahan atas undang undang No. 5 tahun 1986.tentang peradilan tata usaha
Negara dan undang-undang No. 51 tahun 2009 tentan perubahan ke dua atas
undang-undang No. 5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha Negara, memuat
peraturan tentang kedudukan, sususnan, kekuasaan, serta hukum acara yang
berlaku di peradilan tata usaha Negara. Undang-undang ini dapat disebut sebagai
suatu hukum acara dalam arti luas, karna undang undang ini tidak saja mengatur
tentang cara-cara berperkara dipengadilan tata usaha Negara, tetapi sekaligus
juga mengatur tentang kedudukan, susunan, dan kekuasaan dari peradilan tata
usaha Negara.

Undang – undang yang mengatur hukum acara peradilan tata usaha Negara
yang berlaku untuk pengadilan TUN dan pengadilan tinggi TUN yaitu:
a. Undang-undang No. 5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha Negara.
b. Undng-undang No.9 tahun 2004 tentang perubahan undang-undang No 5
tahun 1986 tentang peradilan tata usaha Negara.
c. Undang-undang No 5 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas undang-
undang No 5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha Negara,

Adapun undang-undang yang mengatur hukum acara bagi kasasi bagi dan
peninjauan kembali yaitu:

a. Undang-undang No 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung


b. Undang-undang No 5 tahun 2004 tentang perubahan atas undang-undang
No 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
c. Undang-undang No 3 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas undang-
undang No.14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Selain diatur dalam peraturan perundangan tersebut untuk mengisi
kekosongan hukum mahkamah agung telah mengeluarkan berbagai
macam surat edaran Mahkamah Agung.
Untuk dapat memahami hukum acara peradilan tata usaha ini,tidak cukup
hanya mempelajari pasal-pasal yang tersurat, tetapi kita juga harus
memahami asas-asas yang terkandung didalam dan sekaligus
mempelajari penjelasannya,disamping itu karna hukum acara peradilan
tata usaha Negara banyak mempunyai persamaan dengan hukum acara
perdata, tidak ada salahnya kita juga mempelajari hukum perdata sebagai
suatu perbandingan.

ASAS-ASAS PERDILAN TATA USAHA NEGARA

Dalam ukum acara peradilan tata usaha Negara dikenal beberapa asas yang menjadi
landasan normatif operasional hukum, yaitu sebagai berikut:

1. Asas peraduga rechtmatig vermoeden van rechtmatigheid atau praesumptio


iustae causa
Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan pemerintah selalau dianggap
rechmatik sampe ada pembatalannya. Dengan asas ini ggatan tidak menunda
pelaksanaan KTUN yang di gugat (pasal 67 undang-undang No.5 tahun 1986)

2. Asas hakim aktif(dominus litis)


Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mangimbangi kedududkan para pihak,karna
tergugat ialah pejabat tata usaha Negara,sedangkan penggugat adalah orang atau
badan hukum perdata,penerapan asas ini antara lain terdapat dalam pasal 58,63,
pasal 1 dan 2 pasal 80 dan 85,
Dalam peroses pemeriksaan dengan hukum acara tata usaha Negara terlihat jelas
bahwa hakim berperan aktif dalam menentukan dan memimpin sidang sejak dari
permulaan peroses sampai akhir, bahkan sebelu peroses dimulai yaitu tahap
pemeriksaan persiapan guna melengkapi gugatan yang kurang jelas sebelum
pemeriksaan pokok perkara, hakim telah berperan aktif dalam meminta
penjelasan kepada badan atau pejabat TUN yang bersangkutan,demi lengkapnya
data yang diperlukan untuk gugatan. Untuk itu hakim dapat saja meminta KTUN
yang dipersengketakan unuk dikirimkan untuk ke pengadilan TUN (pasal 56
ayat 3, pasal 63 ayat 1,dan pasal 80 undang – undang No.5 tahun 1986)

Hakim memiliki wewenang unttuk memberikan penjelasan selayaknya kepada


para pihak dan memperingati merekan menengenai upaya – upaya hukum dan
alat-alat bukti yang dapat digunakan supaya pemeriksaan dapat berjalan lancer,
baik dan teratur, penjelasan tersebut antara lain materi gugatan, alasan-alasan
yang dijadikan dasar gugatan, posita dan petitum untuk lebih jelas dan terang
sebagaimana mestinya, perubahan tersebut tidak boleh melewati batas-batas
kejadian material yang menjadi dasar tuntutan(petitum) penggugat dan hak
tergugat untuk menambah tidak akan terkurangi atau terdesak.
Hakim berperan aktif dapat juga diartikan sebagai sikap hakim yang aktif dalam
memperoleh kebenaran material berkaitan dengan hukum pembuktian. dalam
hukum acara TUN dianut atas pembuktian bebas terbatas. disamping itu, asas ini
bisa juga dimaksudkan untuk mengimbangi dan mengatasi kesulitan bagi yang
mencari keadilan sebagai penggugat dalam mencari dan mendapatkan informasi
dan data yang diperlukan dari badan atau pejabat TUN untuk menghadapi
gugatanya, hal ini mengigat bahwa kedudukan penggugat terhadap badan dan
pejabat TUN sebagai tergugat tidak sederajat atau berada posisi lemah.

Asas keaktifan hakim merupakan instrument yang melepaskan hakim dari


perinsip actory incumbit probation yang menjadi pernsip dasar hukum acara
dalam peradilan umum(gewone rechatepraak), meskipun tentu hakim masih
terikat dengan prinsip iudex ne procedat ex officio. Kewenangan hakim
peradilan TUN yang dilandasi asas ultra petita, juga melepaskan hakim dan
prinsip iudex ultra petita.

3. Atas putusan pengadilan memiliki kekuatan mengikat erga omnes, sengketa


TUN adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian, putusan pengadilan
TUN berlaku bagi siapa saja, tidak terbatas hanya para pihak yang bersengketa,
dalam hal ini, tampaknya dalam pasal 83 undang-undang No 5 tahun 1986
tentang intervensi dirasakan agak bertentangan dengan asas erga omnes.

4. Asas acara dengan tulisan:


Pada hukum acara PTUN berlaku prinsip beracara dengan surat atau tulisan,
(schriftelijke procedure). Hal ini berarti bahwa pemeriksaan pokok perkara
berjalan dengan surat-menyurat dimuka hakim, gugatan yang diajukan
disyaratkan dalam bentuk tulis, karena gugatan itu akan menjadi pegangan
pengadilan dan para pihak selama pemeriksaan, demikian juga gugatan dapat
diajukan dengan suatu surat kawat, teleks atau faximile, asal jelas dapat di
anggap memenuri syarat tertulis.

Sekalipin prinsip beracara dengan surat atau tulisan tetap ada, namun tidak
menutup kemungkinan pemeriksaan dilakikan dengan lisan, yakni pada
kesempatan menerangkan kedudukan masing-masing pihak, pada saat ini kedua
pelah pihak dapat menjelaskanya dengan lisan, misalnya pada saat pemeriksaan
persiapan, mengajukan, bukti dan lain-lain. Bagi mereka yang tidak pandai
membaca atau menulis, dapat mengutarakan kehendakyan kepada panitera
pengadilan, selanjutnya panitera berkewajiban membantu merumuskan gugatan
dalam bentuk tulisan,
Setelah fase tekhnis administrative diselesaikan oleh panitera, gugatan ditanda
tangani oleh penggugat atau kuasanya atau dibubuhi cap jempol bagi mereka
yang tidak bisa tulis dan baca.

5. Tidak diwajibkan bantuan hukum dalam beracara


Pada dasarnya para pihak tidak wajib untuk meminta bantuan seorang kuasa
dalam beracara dipengadilan.namun demikian, para pihak dapat diwakili atau
didampingi oleh seorang atau lebih kuasa yang memahami ilmu hukum (pasal 57
undang-undang No.5tahun 1986).

6. Asas hukum pembuktian bebas terbatas


Hakim memiliki peranan yang bebas namun terbatas dalam proses pembuktian.
Hakim dalam pembuktian dapat membuktikan apa yang harus dibuktikan dan
kepasa siapa beban pembuktian tersebut dipikulkan, disamping itu, hakim juga
berwenang dalam menentukan alat bukti mana yang diutamakan untuk
digunakan dalam pembuktian dan kekuatan pembuktian yang telah
digunakan,sehingga penilaian pembuktian diserahkan kepada hakim. Namun
hakim dalam menerapkan pembuktian dibatasi oleh ketentuan pasal 100 undang-
undang No.5 tahun 1986.
Untuk sahnya pembuktian diperlukan paling kurang dua alat bukti berdasarkan
keyakinan hakim ( pasal 107 undang-undang No.5 tahun 1986).

7. Asas gugatan tidak menunda pelaksanaan keputusan tata usaha Negara


Bila suatu gugatan diajukan ke pengadilan tata usaha Negara, maka pada
dasarnya gugatan tersebut tidak bersipat menunda pelaksanaan keputusan tata
usaha Negara yang disengketakan, ( pasal 67 undang-undang No 5 tahun 1986).
Hal ini didasari dengan pemahaman bahwa keputusan badan atau pejabat tata
usaha Negara itu selalu sah menurut hukum, kecuali dapat di buktikan dengan
sebaliknya, oleh karna itu, selain KTUN yang disengketakan tersebut belum
diputus atau di uji sah tidakny oleh hakim,maka keputusan tersebut haruslah
dianggap sah menurut hukum, konsekuensinya adalah bahwa KTUN yang
disengketakan tersebut tetap dapat dilaksanakan menurut hukum,untuk
melaksanakan KTUN tersebut, pada dasarnya, kembali menjadi pertimbangan
badan atau pejabat TUN tersebut, apakah akan dilaksanakan dengan segera atau
di tangguhkan.

8. Asas perkara dengan Cuma-Cuma.


Pasal 4 ayat 2 undang-undang No 48tahun 2009 menganut prinsip bahwa
peradilan harus sederhana, cepat, dan biaya ringan, ternyata prinsip ini juga telah
di anut oleh hukum acara peradilan tata usaha Negara, namun tidak menutup
kemungkinan bagi pencari keadilan yang tidak mampu untuk perkara secara
Cuma-Cuma ( pasal 60 undang-undang No 5 tahun 1986 jo, pasal 57 ayat 2
undang-undng no 48 tahun 2009) ketidakmampuan seorang ditentukan oleh
tingkat penghasilanya yang relatif minim, sehinga dia tidak mampu membayar
biaya perkara/ biaya pembelaan di pengadilan, ketidakmampuan ini diajukan
oleh pemohon dengan melampirkan surat keterangan lurah atau kepala
desa,selanjutya ketua pengadilan TUN membuat penetapan berdasarkan
penilaian yang seobjektif mungkin.

9. Asas pengajuan gugatan kepengadilan terdekat dengan ke diaman penggugat.


Pada dasarnya gugatan sengketa tata usaha Negara diajukan ke pengadilan yang
berwenang dengan daerah hukumya meliputi tempat kedudukan tergugat, (pasal
54 undang-undang No.5 tahun 1986). Namun untuk melindungi kepentingan
penggugat, yang kediamanya tidak dalam daerah hukum tempat kediaman
tempat tergugat,maka gugatan tidak di ajukan ke pengadilan yang daerah
hukumnya tempat kedudukan tergugat, tetapi ke pengadilan yang paling dekat
dengan kediaman penggugat untuk kemudian diteruskan ke pengadilan yang
bewenang mengadilinya. (pasal 54 ayat 3 undang-undang No. 5 tahun 1986.)

10. Asas pemeriksaan dengan cepat


Pada umumya pemeriksaan di PTUN dilakukan secara biasa, kecuali bila
terdapat kepentingan penggugat yang mendesak, dalam hal ini ketua pengadilan
atas permohonan penggugat dapat menentukan dilakukannya pemeriksaan
dengan acara cepat ( pasal 98 undang-undang No,5 tahun 1986) tolok ukur “
kepentingan mendesak” dapat didasarkan pada alasan permohonan penggugat,
misalnya KTUN tentang perintah pembongkaran bangunan atau tempat tinggal
yang di diami penggugat, dalam hal ini acara cepat meliputi pemeriksaan dan
putusan.

11. Asas kemungkinan diadili oleh pengadilan yang dekat dengan kediaman
penggugat.
Dalam hal tertentu sesuai dengan sipat sengketa TUN yang bersangkutan, yang
diatur dengan peraturan pemerintah, gugatan sengketa TUN Dapat diajukan ke
pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnyameliputi tempat kediaman
penggugat (pasal 54 ayat 4)

12. Asas kesaksian badan atau pejabat tata usaha Negara


Setiap orang wajib menjadi saksi , seseorang yang dipanggil ke persidangan
untuk menjadi saksi, tetapi menolak, maka ia dapat dipaksa untuk dihadapkan ke
persidangan dengan bantuan aparat kepolisian ( pasal 86 undang-undang No 5
tahun 1986) hal ini juga berlaku bagi badan atau pejabat TUN yang dipanggil
sebagai saksi di wajibkan untuk datang guna memenuhi panggilan pengadilan
tersebut.

13. Asas prosedur penolakan ( dismissal procedure)


Suatu hal yang khusus terdapat dalam hukum acara peradilan TUN,Yaitu adanya
kewenangan bagi ketua pengadilan TUN dalam rapat musyawarah untuk
menyatakan gugatan tidak diterima atau tidak berdasar, sebelum dilakukan
pemeriksaan diprsidangan, terutama dalam hal sebagai berikut:
a. Gugatan nyata-nyata tidak termasuk wewenang pengadilan yang
bersangkutan.
b. Syarat-syarat gugatan tidak dipenuhi
c. Gugatan menurut logika tidak rasional
d. Apa yang di tuntut dalam gugatan sudah terpenuhi dalam keputusan yang
di gugat
e. Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktu.

14. Asas pemeriksaan kesiapan


Hakim berwenang mengadakan pemeriksan persiapan sebelum memeriksa pokok
perkara. Dalam kesempatan ini hakim dapat memberi nasihat kepada penggugat
untuk memperbaiki gugatan atau meminta penjelasan kepada badan atau pejabat
tata usaha Negara yang bersangutan, guna melengkapi sesuai yang diperlukan
untuk gugatan tersebut(pasal 63 undang-undang No.5 tahun 1986) hakim tidak
dibolehkan menjatuhkan putusan lebih dari tuntutan (ultra petita partium) dan
hanya sebatas tuntutan pokok. Dalam menjatuhkan putusan dilakukan terlebih
dahulu musyawarah majelis hakim. Dalam musyawarah itu diusahakan dengan
sungguh-sungguh adanya kesepakatan bulat antra majelis hakim. Musyawarah
majelis hakim dilakukan dalam sidang tertutup. Putusan majelis hakim harus di
ucapkan dalam sidang terbuka untuk umum( pasal 97 ayat 6). Bila ketentuan
tidak terpenuhi, maka putuan tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan
hukum ( pasal 108 ayat 3 undang-undan No 5 tahun 1986,)

15. Asas tidak mengenal perdamaian


Hukum acara pengadilan tata usaha Negara tidak mengenal adanya perdamaian.
Sangat berbeda dengan beracara di peradilan umum sebelum majelis hakim
memasuki pemeriksaan perkara pihak-pihak yang berperkara di tawarkan untuk
melakukan perdamaian dengan melalui mediasi, namun beracara dipengadilan
tata usaha Negara tidak berlaku demikian.

Pada angka romawi V surat edaran mahkamah agung No 2 tahun 1991 tentang
petunjuk pelaksanaa beberapa ketentuan dalam undang-undang No 5 tahun 1986
tentang peradilan tata usaha Negara memberikan petunjuknya bahwa
kemungkinan adanya perdamaian hanya dapat terjadi diluar persidangan.
Sebagai konsekwensi perdamaian tersebut, penggugat mencabut gugatannya
secara resmi dalam sidang terbuka untuk umum dengan menyebutkan alasan
pencabutanya. Apabila pencabutan gugatan dimaksud dikabulkan, maka hakim
atau ketua mejelis memerintahkan agar panitera mencoret gugatan tersbut dari
register perkara. Perintah pencoretan tersebut diucapkan dalam persidangan yang
terbuka untuk umum.

RANGKUMAN

Beracara di pengailan tata usaha Negara dengan beracara di pengadilan umum pada
beberapa hal yang berbeda namun secara substansial dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:

No Hukum acara peradilan TUN No Hukum acara perdata


1 Asas peraduga 1 Tidak mengenal
rechtmatig(hubungan dengan pasal
67 UU peradilan TUN)
2 Asa pembuktian bebas 2 Pembuktian bebas /formal
terbatas/materiel
3 Asas hakim aktif(dominius litis) 3 Hakim pasif
4 Asas ergaomnes(putusan 4 Hanya mengikat pada pihak yang
pengadilan memiliki kekuatan berperkara
mengikat semua pihak)
5 Asas acara dengan tulisan 5 Acara bisa tulisan atau lisan
6 Perpekara dengan Cuma-Cuma bisa 6 Berperkara dengan Cuma-Cuma
sampai ke mahkamah agung setiap tingkat pengadilan
7 Juru sita surat menyurat dengan pos 7 Juru sita surat menyurat diantar
tercatat langsung ke pihak-pihak
8 pengajuan gugatan bisa di tempat 8 Gugatan diajukan ditempat tinggal
terdekat dengan penggugat tergugat
9 Mengenal adanya pemeriksaan 9 Tidak mengenal
dismissal
10 Mengenal adanya pemeriksaan 10 Tidak mengenal
persiapan
11 Pengajuan gugatan dengan 11 Tidak mengenal
tenggang waktu 90 hari
12 Adanya pemeriksaan cepat 12 Tidak mengenal
13 Adanya pemeriksaan singkat 13 Tidak mengenal
14 Adanya penundaan keputusan 14 Mengenal adanya permohonan
badan/pejabat TUN putusan provisi
15 Badan atau pejabat TUN selamanya 15 Siapa saja bisa tergugat
menjadi tergugat
16 Objek sengketa yaitu berupa 16 Objek gugatan bisa perbuatan
keputusan badan atau pejabat TUN melawan hukum/wanprestasi
yang bersipat positif/fiktif negatif
17 Tidak mengenal rekonpensi 17 Mengenal ugatan rekonpensi
18 Tidak ada putusan verstek 18 Mengenal putusan verstek
19 Tidak mengenal putusan di 19 Mengenal adanya putusan dapat
jalankan lebih dahulu dijalankan lebih ahulu(uit voerbaar
bijver raad)
20 Hakm ad hoc 20 Tidak ada
21 Tuntutan ganti rugi dibatasi Rp 21 Tidak ada batasan tuntutan ganti
250.000-Rp 5.000.000 rugi
22 Pengadilan tinggi TUN dapat 22 Pengadilan tinggi hanya bertindak
bertindak sebagai pengadilan sebagai pengadilan banding
tingkat pertama terhadap upaya
administratif yang sudah dilakukan
23 Tidak ada lembaga perdamaian( 23 Dikenal adanya perdamaian
tapi bisa dilakukan di luar sidang)

e-learning

Anda mungkin juga menyukai