Anda di halaman 1dari 22

Pengantar Hukum Indonesia

Materi ke 1
Pengantar Hukum Indonesia

FAKULTAS HUKUM Dr. Hamdan, S.H., M.Si.


PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
A. Arti Penting Mempelajari Pengantar Hukum
Indonesia

Pengantar Hukum Indonesia (PHI) yang merupakan sinonim dari


Pengatar Tata Hukum Indonesia (PTHI) bagi mereka yang studi ilmu
hukum adalah sebagai matakuliah introduction dalam menelusuri
jagad raya tatanan hukum Indonesia. Melalui PHI ini, maka kita akan
mengetahui hukum posistif (= hukum yang berlaku saat ini/Ius
Constitutum) yang berlaku di Indonesia tentang perbuatan apa yang
sesuai dengan hukum dan perbuatan mana yang tidak sesuai
(bertentangan) dengan hukum serta sanksi-sanksi yang dikenakan atas
pelanggaran hukum.
Bukan cuma itu saja, melainkan kita juga dapat mengetahui
bagaimana kedudukan dan hak seseorang di dalam masyarakat, dan
apa pula yang menjadi kewajiban-kewajiban serta wewenangnya.
B. Perbedaan PHI Dengan PIH

Dalam perkuliahan-perkuliahan awal bagi mereka yang studi ilmu hukum,


selain mempelajari tentang Pengantar Hukum Indonsia (PHI), maka wajib
mempelajari juga Pengantar Ilmu Hukum (PIH). Oleh sebab, antara Pengantar
Ilmu Hukum (PIH) dengan Pengantar Hukum Indonesia (PHI) keduanya memiliki
obyek studi yang sama dan yang membedakannya hanya scoup/level (lingkup)nya
saja.
Kalau PIH obyek studinya, yaitu mempelajari tentang pokok-pokok, prinsip-
prinsip, maksud dan tujuan hukum pada umumnya tanpa batas negara
(universal). Sedangkan obyek studi PHI, yaitu mempelajari tentang pokok-pokok,
prinsip-prinsip, maksud dan tujuan hukum yang berlaku saat ini di Indonesia.
Atau dengan kata lain PHI mempelajari mengenai pokok-pokok, prinsip-prinsip,
maksud dan tujuan yang terdapat di dalam bidang-bidang hukum atau lapangan
hukum yang berlaku di Indonesia saat ini.
 Sebutan “hukum yang berlaku saat ini” biasanya dikatakan juga dengan sebutan
“hukum positif” atau juga dikenal dengan istilah Ius Constitutum sebagai lawan dari
Ius Constituendum (= hukum yang dicita-citakan).
 Oleh karena obyek studi Pengantar Hukum Indonesia (PHI) itu mempelajari tentang
pokok-pokok, prinsip-prinsip, maksud dan tujuan hukum yang terkandung di dalam
bidang-bidang (lapangan) hukum yang sedang berlaku di Indonesia saat ini untuk
mengatur tertib kehidupan masyarakat Indonesia, maka dengan demikian kita akan
mengatahui bagaimana susunan atau tata hukumnya Indonesia. Itulah sebabnya, PHI ini
disebut juga sebagai Pengantar Tata Hukum Indonesia (PTHI)
 Pengantar Ilmu Hukum (PIH) dan Pengantar Hukum Indonesia (PHI) sama-sama
merupakan pelajaran dasar dalam memahami ilmu hukum. Atau dengan kata lain,
sama-sama mempelajari dasar-dasar ilmu hukum. Oleh karena itu, PIH dan PHI
dijadikan sebagai pengantar atau pemandu dalam merebak cakrawala luasnya ilmu
hukum sesuai dengan lingkup (Scoup) nya masing-masing.
C. Sejarah Tata Hukum Indonesia

Tata Hukum Indonesia tidak terbentuk begitu saja, melainkan


terbentuk melalui proses waktu yang panjang. Oleh karena itu,
dalam mempelajari Tata Hukum Indonesia atau Pengantar Hukum
Indonesia tidaklah mungkin kalau tidak menoleh juga kepada
bagaimana riwayat (historical) atau sejarah terbentuknya tata
hukum tersebut.
Tata hukum itu selalu berubah-ubah sesuai dengan perkembangan
zaman dan perkembangan masyarakat di tempat tata hukum itu
berlaku. Karena itu, aturan-aturan yang terkandung di dalamnya
pun turut berubah mengikuti kebutuhan masyarakat itu.
Aturan demi aturan akan diganti dengan yang baru apabila aturan yang lama
dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan, perasaan keadilan dan
kepastian hukum. Penggantian aturan-aturan lama dengan aturan-aturan baru
di dalam masyarakat atau negara merupakan kejadian penting dalam tata
hukum suatu masyarakat atau negara. Oleh karena itu penting untuk
dicatat/ditulis dan diingat.
Pencatatan kejadian penting mengenai perubahan tata hukum dalam suatu
negara agar diingat dan dipahami oleh bangsa dan penduduk yang mendiami
negara yang bersangkutan itu pada masa kini disebut “sejarah tata hukum”.
Dengan demikian, sejarah tata hukum Indonesia memuat/merekam kejadian-
kejadian penting mengenai tata hukum Indonesia pada masa lampau. Catatan
itu harus diingat dan dipahami oleh bangsa Indonesia, sebagaimana berikut
ini :
1. Era Pra Kemerdekaan
Era sebelum kemerdekaan, yaitu era dimana belum ada atau belum terbentuk yang
namanya negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena dimasa itu adalah zaman
penjajahan Belanda dan Jepang. Merujuk kepada pendapat Profesor Soepomo, bahwa di era
sebelum Proklamasi kemerdekaan dapat dikatakan belum ada sistem hukum di Indonesia
sebagai tanah jajahan. Adapun aturan-aturan yang diterapkan dimasa itu, hanyalah lebih
mengatur kepentingan kompani dagang Belanda yang bernama Vereenigde Oost Indische
Compagnie (VOC), dan aturan yang menyangkut orang Belanda dan eropa. Sedangkan aturan
untuk golongan bumiputera (pribumi) dan golongan timur asing relatif sangat sedikit dan hanya
bersifat penundukan saja. Demikian pula dimasa penjajahan Jepang yang sangat singkat itu
(kurang lebih 3 tahun) keadaannya tidak berbeda dengan masa penjajahan Belanda.
Oleh karena belum ada suatu sistem hukumnya, maka otomatis tidak ada tata hukumnya.
Itulah sebabnya aturan-aturan yang berlaku di era penjajahan (sebelum proklamasi
kemerdekaan) tidak akan dibahas dalam kesempatan ini. Namun, disarankan anda bisa
dapatkan dan baca diliteratur yang lain.
2. Era Pasca Kemerdekaan
Ada yang berpendapat, bahwa era pasca kemerdekaan merupakan era terbentuknya
tata hukum Indonesia.
a. Masa 1945 – 1949 (18 Agustus 1945 s.d 26 Des 1949)
Sejak bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya di tanggal 17 Agustus 1945,
maka sejak saat itu Indonesia bebas dalam mengatur nasibnya sendiri, mengatur negara,
dan mengatur tata hukumnya. Dengan berpijak kepada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
yang berbunyi “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku,
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Dari Peraturan
peralihan ini dapat diketahui, bahwa hukum yang dikehendaki untuk mengatur
penyelenggaraan negara adalah peraturan-peraturan hukum yang telah ada dan berlaku
sejak masa sebelum Indonesia merdeka. Dengan demikian, maka jelaslah bahwa tata
hukum yang berlaku pada masa 1945 s.d 1949 adalah peraturan-peraturan yang telah ada
dan perah berlaku pada masa penjajahan Belanda dan Jepang serta produk hukum baru
yang dihasilkan oleh Pemerintah RI dalam kurun waktu 1945 s.d 1949.
b. Masa 1949 - 1950 (27 Des 1949 s.d 16 Agust 1950)
Bagaimana tata hukum dikurun waktu 1949 hingga 1950 ini, dapat dilihat dari
Pasal 129 Konstitusi RIS yang berbunyi : “Peraturan-peraturan, undang-undang
dan ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat konstitusi ini mulai berlaku
tetap berlaku tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-
ketentuan RIS sendiri, selama dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-
ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan
ketentuan tata usaha atas kuasa konstitusi ini”.
c. Masa 1950 – 1959 (17 Agust s.d 4 Juli 1959)
Konstitusi RIS hanya berlaku selama 7 bulan 16 hari,
kemudian diganti dengan UUDS 1950 yang berlaku sampai 4
Juli 1959. Tata hukum yang diberlakukan pada masa ini
adalah tata hukum yang terdiri dari semua peraturan yang
dinyatakan berlaku berdasarkan Pasal 142 UUDS 1950.
Kemudian ditambah dengan peraturan baru yang dibentuk
oleh Pemerintah negara selama kurun waktu dari 17 Agustus
1950 sampai dengan 4 Juli 1959.
d. Masa 1959 (5 Juli 1959) sampai dengan sekarang
Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 hanya berlaku
sampai dengan tanggal 4 Juli 1959. Oleh karena dengan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 UUDS 1950 dinyatakan tidak berlaku lagi dan
kembali kepada UUD 1945. Jadi UUD yang berlaku di Indonesia
sejak 5 Juli 1959 hingga sekarang adalah UUD 1945. Tata hukum
yang berlaku pada masa ini, adalah tata hukum yang terdiri dari
segala peraturan yang berlaku pada masa 1950 – 1959 dan yang
dinyatakan masih berlaku berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945, kemudian ditambah dengan berbagai
peraturan yang dibentuk setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu.
 Adapun tata urutan perundangan-undangan RI secara hirarkis yang
merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum berdasarkan
Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000, adalah sebagai berikut :
1. UUD 1945 : merupakan hukum dasar tertulis negara RI yang
memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara;
2. TAP MPR RI : merupakan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat
sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam siding-
siding Majlis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang (UU): dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat
bersama Presiden untuk melaksanakan UUD 1945 serta TAP MPR-RI;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) :
dibuat oleh Presiden dalam hal ihkwal dalam hal kegentingan yang
memaksa, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Perppu harus diajukan kepada DPR dalam persidanfan yang berikut.
b. DPR dapat menerima atau menolak Perppu dengan tidak
mengadakan perubahan.
c. Jika ditolak oleh DPR, maka Perppu tersebut harus dicabut.

5. Peraturan Pemerintah (PP) : dibuat oleh Pemerintah sebagai


peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang;
6. Keputusan Presiden (KEPPRES) : dibuat oleh Presiden dan bersifat
mengatur guna menjalankan fungsi dan tugasnya berupa pengaturan
pelaksanaan administrasi negara dan administrasi pemerintahan;
7. Peraturan Daerah (PERDA) : sebagai peraturan untuk melaksanakan
aturan hukum diatasnya dan menampung kondisi khusus dari daerah yang
bersangkutan.
a. Perda Provinsi, dibuat oleh Gubernur bersama DPRD.
b. Perda Kabupaten/Kota, dibuat oleh Bupati/Walikota bersama DPRD.
c. Peraturan Desa atau yang setingkat, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa
atau yang setingkat; sedangkan tata cara pembuatan Peraturan Desa atau
yang setingkat diatur oleh peraturan daerah Kabupaten/Kota yang
bersangkutan.
Kegentingan yang memaksa

Seiring dengan perjalanan waktu, maka urutan peraturan perundang-undangan


tersebut mengalami perubahan. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan,
sebagai sumber tertib hukum, maka hirarkisnya seperti berikut ini :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Derah Provinsi; dan
g. Peraturan Derah Kabupaten/Kota.
D. Politik Hukum Indonesia

Politik Hukum, adalah suatu pernyataan kehendak penguasa negara


mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah
pembangunan hukum (Abdul Latif, 2010). Politik Hukum Pemerintah Indonesia
sebelum reformasi, dapat dibaca pada :
1. TAP MPR Nomor IV/MPR/1973 ditetapkan pada tanggal 22 Maret 1973;
2. TAP MPR Nomor IV/MPR/1978 ditetapkan pada tanggal 22 Maret 1978;
3. TAP MPR Nomor II/MPR/1983 ditetapkan pada tanggal 9 Maret 1983;
4. TAP MPR Nomor II/MPR/1988 ditetapkan pada tanggal 9 Maret 1988;
5. TAP MPR Nomor II/MPR/1993 ditetapkan pada tanggal 9 Maret 1993;
6. TAP MPR Nomor II/MPR/1998 ditetapkan pada tanggal 9 Maret 1998.
Sedangkan politik hukum pemerintah Indonesia di era reformasi sebagaimana
ditetapkan di dalam TAP MPR Nomor X/MPR/1998 ditetapkan tanggal 13 November
1998, meliputi :
1. Penanggulangan krisis di bidang hukum bertujuan untuk tegak dan terlaksananya
hukum dengan sasaran terwujudnya ketertiban, ketenangan, dan ketenteraman
masyarakat. Implementasinya berupa :
a. Pemisahan secara tegas fungsi dan wewenang aparatur penegak hukum agar dapa
dicapai proporsionalitas, profesionalitas, dan integritas yang utuh.
b. Meningkatkan dukungan perangkat, sarana dan prasarana hukum yang lebih
menjamin kelancaran dan kelangsungan berperannya hukum sebagai pengatur
kehidupan nasional.
c. Memantapkan penghormatan dan penghargaan terhadap hak-hak azasi manusia
melalui penegakkan hukum dan peningkatan kesadaran hukum bagi seluruh masyarakat.
d. Membentuk Undang-Undang Keselamatan dan Keamanan Negara sebagai
pengganti Undang-Undang Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Subversi yang akan dicabut.
2. Pelaksanaan reformasi di bidang hukum dilaksanakan untuk mendukung
penanggulangan krisis di bidang hukum. Implementasinya berupa :
a. Pemisahan yang tegas antar fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif;
b. Mewujudkan system hukum nasional melalui program legislasi nasional secara
terpadu;
c. Menegakkan supremasi hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara;
d. Terbentuknya sikap dan perilaku anggota masyarakat termasuk para
penyelenggara negara yang menghormati dan menjunjung tinggi hukum yang
berlaku.
 Seiring dengan perkembangan sosial dimana semakin tingginya tuntutan
keadilan dan kepastian hukum sebagai bagian dari dinamika social, maka
melalui TAP MPR Nomor IV/MPR/1999 yang ditetapkan pada tanggal 19
Oktober 1999 memuat 10 tolok ukur politik pembangunan hukum nasional,
yaitu :
1. Membangun budaya hukum disemua lapisan masyarakat guna tercitanya
kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan
tegaknya negara hukum;
2. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan
mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta
memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum
nasional yang diskriminatif, termasuk ketidak adilan jender dan ketidak
sesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi;
3. Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian
hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai hak
azasi manusia;
4. Melanjutkan ratifikasi konvensi internasional, terutama yang berkaitan
dengan hak azasi manusia sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan
bangsa dalam bentuk undang-undang;
5. Meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan apparat penegah
hukum, termasuk Kepolisian Negara RI, untuk menumbuhkan kepercayaan
masyarakatdengan meningkatkan kesejahteraan, dukungan sarana dan
prasarana hukum, pendidikan serta pengawasan yang efektif;
6. Mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh
penguasa dan pihak manapun;
7. Mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung
kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas
tanpa merugikan kepentingan nasional;
8. Menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah,
dan terbuka, serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme denagn tetap
menjunjung tinggi azas keadilan dan kebenaran;
9. Meningkatkan pemahaman dan penyadaran, serta meningkatkan
perlindungan, penghormatan, dan penegakkan hak azasi manusia
dalam seluruh aspek kehidupan;
10. Menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran
hukum dan hak azasi manusia yang belum ditangani secara tuntas.
TERIMAKASIH

FAKULTAS HUKUM
ILMU HUKUM

Anda mungkin juga menyukai