PROGRAM STUDI ILMU HUKUM A. Arti Penting Mempelajari Pengantar Hukum Indonesia
Pengantar Hukum Indonesia (PHI) yang merupakan sinonim dari
Pengatar Tata Hukum Indonesia (PTHI) bagi mereka yang studi ilmu hukum adalah sebagai matakuliah introduction dalam menelusuri jagad raya tatanan hukum Indonesia. Melalui PHI ini, maka kita akan mengetahui hukum posistif (= hukum yang berlaku saat ini/Ius Constitutum) yang berlaku di Indonesia tentang perbuatan apa yang sesuai dengan hukum dan perbuatan mana yang tidak sesuai (bertentangan) dengan hukum serta sanksi-sanksi yang dikenakan atas pelanggaran hukum. Bukan cuma itu saja, melainkan kita juga dapat mengetahui bagaimana kedudukan dan hak seseorang di dalam masyarakat, dan apa pula yang menjadi kewajiban-kewajiban serta wewenangnya. B. Perbedaan PHI Dengan PIH
Dalam perkuliahan-perkuliahan awal bagi mereka yang studi ilmu hukum,
selain mempelajari tentang Pengantar Hukum Indonsia (PHI), maka wajib mempelajari juga Pengantar Ilmu Hukum (PIH). Oleh sebab, antara Pengantar Ilmu Hukum (PIH) dengan Pengantar Hukum Indonesia (PHI) keduanya memiliki obyek studi yang sama dan yang membedakannya hanya scoup/level (lingkup)nya saja. Kalau PIH obyek studinya, yaitu mempelajari tentang pokok-pokok, prinsip- prinsip, maksud dan tujuan hukum pada umumnya tanpa batas negara (universal). Sedangkan obyek studi PHI, yaitu mempelajari tentang pokok-pokok, prinsip-prinsip, maksud dan tujuan hukum yang berlaku saat ini di Indonesia. Atau dengan kata lain PHI mempelajari mengenai pokok-pokok, prinsip-prinsip, maksud dan tujuan yang terdapat di dalam bidang-bidang hukum atau lapangan hukum yang berlaku di Indonesia saat ini. Sebutan “hukum yang berlaku saat ini” biasanya dikatakan juga dengan sebutan “hukum positif” atau juga dikenal dengan istilah Ius Constitutum sebagai lawan dari Ius Constituendum (= hukum yang dicita-citakan). Oleh karena obyek studi Pengantar Hukum Indonesia (PHI) itu mempelajari tentang pokok-pokok, prinsip-prinsip, maksud dan tujuan hukum yang terkandung di dalam bidang-bidang (lapangan) hukum yang sedang berlaku di Indonesia saat ini untuk mengatur tertib kehidupan masyarakat Indonesia, maka dengan demikian kita akan mengatahui bagaimana susunan atau tata hukumnya Indonesia. Itulah sebabnya, PHI ini disebut juga sebagai Pengantar Tata Hukum Indonesia (PTHI) Pengantar Ilmu Hukum (PIH) dan Pengantar Hukum Indonesia (PHI) sama-sama merupakan pelajaran dasar dalam memahami ilmu hukum. Atau dengan kata lain, sama-sama mempelajari dasar-dasar ilmu hukum. Oleh karena itu, PIH dan PHI dijadikan sebagai pengantar atau pemandu dalam merebak cakrawala luasnya ilmu hukum sesuai dengan lingkup (Scoup) nya masing-masing. C. Sejarah Tata Hukum Indonesia
Tata Hukum Indonesia tidak terbentuk begitu saja, melainkan
terbentuk melalui proses waktu yang panjang. Oleh karena itu, dalam mempelajari Tata Hukum Indonesia atau Pengantar Hukum Indonesia tidaklah mungkin kalau tidak menoleh juga kepada bagaimana riwayat (historical) atau sejarah terbentuknya tata hukum tersebut. Tata hukum itu selalu berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan masyarakat di tempat tata hukum itu berlaku. Karena itu, aturan-aturan yang terkandung di dalamnya pun turut berubah mengikuti kebutuhan masyarakat itu. Aturan demi aturan akan diganti dengan yang baru apabila aturan yang lama dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan, perasaan keadilan dan kepastian hukum. Penggantian aturan-aturan lama dengan aturan-aturan baru di dalam masyarakat atau negara merupakan kejadian penting dalam tata hukum suatu masyarakat atau negara. Oleh karena itu penting untuk dicatat/ditulis dan diingat. Pencatatan kejadian penting mengenai perubahan tata hukum dalam suatu negara agar diingat dan dipahami oleh bangsa dan penduduk yang mendiami negara yang bersangkutan itu pada masa kini disebut “sejarah tata hukum”. Dengan demikian, sejarah tata hukum Indonesia memuat/merekam kejadian- kejadian penting mengenai tata hukum Indonesia pada masa lampau. Catatan itu harus diingat dan dipahami oleh bangsa Indonesia, sebagaimana berikut ini : 1. Era Pra Kemerdekaan Era sebelum kemerdekaan, yaitu era dimana belum ada atau belum terbentuk yang namanya negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena dimasa itu adalah zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Merujuk kepada pendapat Profesor Soepomo, bahwa di era sebelum Proklamasi kemerdekaan dapat dikatakan belum ada sistem hukum di Indonesia sebagai tanah jajahan. Adapun aturan-aturan yang diterapkan dimasa itu, hanyalah lebih mengatur kepentingan kompani dagang Belanda yang bernama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), dan aturan yang menyangkut orang Belanda dan eropa. Sedangkan aturan untuk golongan bumiputera (pribumi) dan golongan timur asing relatif sangat sedikit dan hanya bersifat penundukan saja. Demikian pula dimasa penjajahan Jepang yang sangat singkat itu (kurang lebih 3 tahun) keadaannya tidak berbeda dengan masa penjajahan Belanda. Oleh karena belum ada suatu sistem hukumnya, maka otomatis tidak ada tata hukumnya. Itulah sebabnya aturan-aturan yang berlaku di era penjajahan (sebelum proklamasi kemerdekaan) tidak akan dibahas dalam kesempatan ini. Namun, disarankan anda bisa dapatkan dan baca diliteratur yang lain. 2. Era Pasca Kemerdekaan Ada yang berpendapat, bahwa era pasca kemerdekaan merupakan era terbentuknya tata hukum Indonesia. a. Masa 1945 – 1949 (18 Agustus 1945 s.d 26 Des 1949) Sejak bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya di tanggal 17 Agustus 1945, maka sejak saat itu Indonesia bebas dalam mengatur nasibnya sendiri, mengatur negara, dan mengatur tata hukumnya. Dengan berpijak kepada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Dari Peraturan peralihan ini dapat diketahui, bahwa hukum yang dikehendaki untuk mengatur penyelenggaraan negara adalah peraturan-peraturan hukum yang telah ada dan berlaku sejak masa sebelum Indonesia merdeka. Dengan demikian, maka jelaslah bahwa tata hukum yang berlaku pada masa 1945 s.d 1949 adalah peraturan-peraturan yang telah ada dan perah berlaku pada masa penjajahan Belanda dan Jepang serta produk hukum baru yang dihasilkan oleh Pemerintah RI dalam kurun waktu 1945 s.d 1949. b. Masa 1949 - 1950 (27 Des 1949 s.d 16 Agust 1950) Bagaimana tata hukum dikurun waktu 1949 hingga 1950 ini, dapat dilihat dari Pasal 129 Konstitusi RIS yang berbunyi : “Peraturan-peraturan, undang-undang dan ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat konstitusi ini mulai berlaku tetap berlaku tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan- ketentuan RIS sendiri, selama dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan- ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan tata usaha atas kuasa konstitusi ini”. c. Masa 1950 – 1959 (17 Agust s.d 4 Juli 1959) Konstitusi RIS hanya berlaku selama 7 bulan 16 hari, kemudian diganti dengan UUDS 1950 yang berlaku sampai 4 Juli 1959. Tata hukum yang diberlakukan pada masa ini adalah tata hukum yang terdiri dari semua peraturan yang dinyatakan berlaku berdasarkan Pasal 142 UUDS 1950. Kemudian ditambah dengan peraturan baru yang dibentuk oleh Pemerintah negara selama kurun waktu dari 17 Agustus 1950 sampai dengan 4 Juli 1959. d. Masa 1959 (5 Juli 1959) sampai dengan sekarang Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 hanya berlaku sampai dengan tanggal 4 Juli 1959. Oleh karena dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 UUDS 1950 dinyatakan tidak berlaku lagi dan kembali kepada UUD 1945. Jadi UUD yang berlaku di Indonesia sejak 5 Juli 1959 hingga sekarang adalah UUD 1945. Tata hukum yang berlaku pada masa ini, adalah tata hukum yang terdiri dari segala peraturan yang berlaku pada masa 1950 – 1959 dan yang dinyatakan masih berlaku berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, kemudian ditambah dengan berbagai peraturan yang dibentuk setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu. Adapun tata urutan perundangan-undangan RI secara hirarkis yang merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum berdasarkan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000, adalah sebagai berikut : 1. UUD 1945 : merupakan hukum dasar tertulis negara RI yang memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara; 2. TAP MPR RI : merupakan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam siding- siding Majlis Permusyawaratan Rakyat; 3. Undang-Undang (UU): dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden untuk melaksanakan UUD 1945 serta TAP MPR-RI; 4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) : dibuat oleh Presiden dalam hal ihkwal dalam hal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan sebagai berikut : a. Perppu harus diajukan kepada DPR dalam persidanfan yang berikut. b. DPR dapat menerima atau menolak Perppu dengan tidak mengadakan perubahan. c. Jika ditolak oleh DPR, maka Perppu tersebut harus dicabut.
5. Peraturan Pemerintah (PP) : dibuat oleh Pemerintah sebagai
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang; 6. Keputusan Presiden (KEPPRES) : dibuat oleh Presiden dan bersifat mengatur guna menjalankan fungsi dan tugasnya berupa pengaturan pelaksanaan administrasi negara dan administrasi pemerintahan; 7. Peraturan Daerah (PERDA) : sebagai peraturan untuk melaksanakan aturan hukum diatasnya dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan. a. Perda Provinsi, dibuat oleh Gubernur bersama DPRD. b. Perda Kabupaten/Kota, dibuat oleh Bupati/Walikota bersama DPRD. c. Peraturan Desa atau yang setingkat, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau yang setingkat; sedangkan tata cara pembuatan Peraturan Desa atau yang setingkat diatur oleh peraturan daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Kegentingan yang memaksa
Seiring dengan perjalanan waktu, maka urutan peraturan perundang-undangan
tersebut mengalami perubahan. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, sebagai sumber tertib hukum, maka hirarkisnya seperti berikut ini : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Derah Provinsi; dan g. Peraturan Derah Kabupaten/Kota. D. Politik Hukum Indonesia
Politik Hukum, adalah suatu pernyataan kehendak penguasa negara
mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah pembangunan hukum (Abdul Latif, 2010). Politik Hukum Pemerintah Indonesia sebelum reformasi, dapat dibaca pada : 1. TAP MPR Nomor IV/MPR/1973 ditetapkan pada tanggal 22 Maret 1973; 2. TAP MPR Nomor IV/MPR/1978 ditetapkan pada tanggal 22 Maret 1978; 3. TAP MPR Nomor II/MPR/1983 ditetapkan pada tanggal 9 Maret 1983; 4. TAP MPR Nomor II/MPR/1988 ditetapkan pada tanggal 9 Maret 1988; 5. TAP MPR Nomor II/MPR/1993 ditetapkan pada tanggal 9 Maret 1993; 6. TAP MPR Nomor II/MPR/1998 ditetapkan pada tanggal 9 Maret 1998. Sedangkan politik hukum pemerintah Indonesia di era reformasi sebagaimana ditetapkan di dalam TAP MPR Nomor X/MPR/1998 ditetapkan tanggal 13 November 1998, meliputi : 1. Penanggulangan krisis di bidang hukum bertujuan untuk tegak dan terlaksananya hukum dengan sasaran terwujudnya ketertiban, ketenangan, dan ketenteraman masyarakat. Implementasinya berupa : a. Pemisahan secara tegas fungsi dan wewenang aparatur penegak hukum agar dapa dicapai proporsionalitas, profesionalitas, dan integritas yang utuh. b. Meningkatkan dukungan perangkat, sarana dan prasarana hukum yang lebih menjamin kelancaran dan kelangsungan berperannya hukum sebagai pengatur kehidupan nasional. c. Memantapkan penghormatan dan penghargaan terhadap hak-hak azasi manusia melalui penegakkan hukum dan peningkatan kesadaran hukum bagi seluruh masyarakat. d. Membentuk Undang-Undang Keselamatan dan Keamanan Negara sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi yang akan dicabut. 2. Pelaksanaan reformasi di bidang hukum dilaksanakan untuk mendukung penanggulangan krisis di bidang hukum. Implementasinya berupa : a. Pemisahan yang tegas antar fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif; b. Mewujudkan system hukum nasional melalui program legislasi nasional secara terpadu; c. Menegakkan supremasi hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; d. Terbentuknya sikap dan perilaku anggota masyarakat termasuk para penyelenggara negara yang menghormati dan menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Seiring dengan perkembangan sosial dimana semakin tingginya tuntutan keadilan dan kepastian hukum sebagai bagian dari dinamika social, maka melalui TAP MPR Nomor IV/MPR/1999 yang ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999 memuat 10 tolok ukur politik pembangunan hukum nasional, yaitu : 1. Membangun budaya hukum disemua lapisan masyarakat guna tercitanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum; 2. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidak adilan jender dan ketidak sesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi; 3. Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai hak azasi manusia; 4. Melanjutkan ratifikasi konvensi internasional, terutama yang berkaitan dengan hak azasi manusia sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa dalam bentuk undang-undang; 5. Meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan apparat penegah hukum, termasuk Kepolisian Negara RI, untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakatdengan meningkatkan kesejahteraan, dukungan sarana dan prasarana hukum, pendidikan serta pengawasan yang efektif; 6. Mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun; 7. Mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional; 8. Menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah, dan terbuka, serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme denagn tetap menjunjung tinggi azas keadilan dan kebenaran; 9. Meningkatkan pemahaman dan penyadaran, serta meningkatkan perlindungan, penghormatan, dan penegakkan hak azasi manusia dalam seluruh aspek kehidupan; 10. Menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan hak azasi manusia yang belum ditangani secara tuntas. TERIMAKASIH