Anda di halaman 1dari 8

Nautical : Jurnal Ilmiah Multidisiplin

Vol X No X Bulan Tahun


ISSN: XXXX-XXXX (Print) ISSN: XXXX-XXXX (Electronic)
Open Access: https://jurnal.arkainstitute.co.id/index.php/nautical/index

Problematika Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Dan Anak


Sebagai Korban Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT)
Gita Raudhatul Zanah 1, Siti Nurbaetillah2, Wafa Noer Afifah3
1
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
2
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
3
UIN Sunan Gunung Djati Bandung,
email: gitarzanah@gmail.com

Info Artikel : ABSTRAK


Diterima : Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi masalah yang serius pada lingkup perkawinan
DDMMYY di Indonesia, dimana KDRT terus meningkat pada setiap tahunnya. Adapun menjadi korban dari
Disetujui : KDRT dominannya adalah perempuan dan anak. Untuk mencegah dan menyelamatkan korban
DDMMYY dari tindakan KDRT maka korban wajib untuk diberikan perlindungan. Penelitian ini merupakan
Dipublikasikan : penelitian kepustakaan, dengan pendekatan kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan
DDMMYY bahwa faktor terjadinya KDRT terhadap perempuan dan anak disebabkan karena tingginya
budaya patriarki, sehingga banyaknya terjadi diskriminasi terhadap kaum perempuan. Selain itu,
juga karena faktor pendidikan dan kemiskinan. Serta lemahnya penegakan hukum terhadap
pelaku KDRT. Adapun bentuk perlindungan yang diberikan terhadap korban KDRT yaitu sarana
preventif berupa perlindungan sementara dari kepolisian dan pengadilan, selama 1x 24 jam dan
penempatan korban pada rumah aman dan tahap kuratif. Juga perlindungan refresif yaitu berupa
penangkapan dan penahanan terhadap pelaku, agar korban mendapatkan rasa aman. Adapun
hambatan dalam perlindungan KDRT yaitu korban cenderung menarik laporannya karena faktor
perasaan dan cenderung memikirkan beban hidup selanjutnya. Selain itu, sulit mengumpulkan
bukti dalam mengungkap kasus KDRT.

Kata Kunci: Perlindungan, Hukum, Korban, KDRT.

ABSTRACT
Domestic violence (KDRT) is a serious problem in the marriage sphere in Indonesia, where
domestic violence continues to increase every year. The dominant victims of domestic violence
are women and children. To prevent and save victims from acts of domestic violence, victims
must be given protection. This research is library research, with a qualitative approach. Based
on the research results, it was found that the factors causing domestic violence against women
and children were due to the high level of patriarchal culture, so that there was a lot of
discrimination against women. Apart from that, it is also due to education and poverty factors.
As well as weak law enforcement against perpetrators of domestic violence. The form of
protection provided to victims of domestic violence is preventive means in the form of temporary
protection from the police and courts, for 1 x 24 hours and placement of victims in safe houses
and curative stages. Also repressive protection, namely in the form of arresting and detaining
the perpetrator, so that the victim feels safe. The obstacles to domestic violence protection are
that victims tend to withdraw their reports because of emotional factors and tend to think about
the burden of life ahead. Apart from that, it is difficult to collect evidence in uncovering domestic
violence cases.

Keywords: Protection, Law, Victims, Domestic Violence.


©2022 Penulis. Diterbitkan oleh Arka Institute. Ini adalah artikel akses terbuka di bawah lisensi Creative
Commons Attribution NonCommercial 4.0 International License.
(https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/)

PENDAHULUAN
Perkawinan sebagai suatu perbuatan hukum antara suami istri, tidak sekedar untuk
mewujudkan ibadah kepada Allah SWT, namun sekaligus menimbulkan akibat hukum perdata antara
keduanya. Namun karena tujuan perkawinan yang mulia tersebut adalah untuk membina keluarga
yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan, maka perlu diatur hak dan kewajiban antara masing-
masing suami dan istri. Jika hak dan kewajibannya terpenuhi, maka keinginan pernikahan yang

1
Nautical : Jurnal Ilmiah Pariwisata
Vol X No X Bulan Tahun

dilandasi cinta dan kasih sayang akan terwujud.(Mulya Nurani, 2021) Pada dasarnya, Rumah tangga
hendaknya menjadi tempat yang aman bagi anggotanya, karena keluarga dibangun oleh suami istri
atas dasar ikatan batin dan lahiriah antara keduanya. Namun kenyataannya banyak rumah tangga yang
menjadi tempat penderitaan dan penyiksaan akibat kekerasan.
Karena kekerasan sering kali terjadi dalam rumah tangga yang dominan korbannya adalah
perempuan dan anak, maka problem ini telah menjadi fokus perhatian dan kekhawatiran internasional
sejak tahun 1990-an, dimana penyakit ini dianggap sebagai masalah sosial dan kesehatan masyarakat
yang besar, serta masalah hak asasi manusia. Lebih lanjut, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menyimpulkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan dan anak merupakan
penyebab serius terhadap gangguan kesehatan fisik dan mental.(Hayati et al., 2015)
Secara umum, pernikahan dan kehidupan dalam rumah tangga yang penuh dengan kekerasan
telah menjadi masalah dan fenomena yang kompleks serta dianggap sebagai peristiwa kehidupan yang
kronis dan penuh tekanan. Lebih lanjut, Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dan KDRT
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) melalui siaran pers
Nomor: B-046/Set/Rokum/MP 01/03/2 bahwa kasus KDRT saat ini cukup memprihatinkan.(Publikasi
dan Media Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2019) karena fenomena
kekerasan dalam keluarga dapat terjadi kapan saja, dimana saja, dan dalam kondisi apapun. Kekerasan
ini meliputi kekerasan fisik dan non fisik, kekerasan seksual dan ekonomi.
Kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia dipandang sebagai bentuk pelanggaran hak asasi
manusia dan tindakan diskriminasi berdasarkan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan perubahannya. Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Pemberantasan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai upaya untuk mencegah,
memberikan perlindungan, menyelamatkan korban, dan menghukum pelakunya. Menurut Pasal 4
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, tujuan pemberantasan kekerasan dalam rumah tangga adalah
untuk mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban, menindak
pelakunya, dan memelihara rumah tangga yang rukun dan sejahtera. Dengan dibentuknya UU tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, harapannya para korban akan mendapatkan rasa aman
melalui pemberian perlindungan dan penghukuman terhadap pelaku.
Dalam Diktum Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 menyatakan Komitmen Pemerintah
Indonesia dalam kaitannya dengan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (PKDRT), yang
berbunyi: a. Setiap warga negara berhak hidup dalam lingkungan yang damai dan bebas kekerasan,
sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
b. Negara dan masyarakat harus melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga yang sebagian
besar adalah perempuan, agar tidak terjadi kekejaman, ancaman kekerasan, dan penyiksaan, serta
terbebas dari kekerasan, dan bentuk-bentuk perlakuan lain yang merendahkan derajat dan harkat
kemanusiaan, c. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan hal yang umum di Indonesia, korban
kekerasan dalam rumah tangga tidak dilindungi oleh sistem hukum.(Yasser Arafat, 2022) Meskipun
Indonesia telah memberikan payung hukum terhadap perlindungan dan penegakan hukum terhadap
kasus KDRT melalui UU No. 23 Tahun 2004, namun praktiknya tidak ada jaminan perlindungan
hukum terhadap perempuan dan anak dari kekerasan fisik atau non fisik dalam lingkup keluarga.
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, ditemukan beberapa penelitian terdahulu yang
juga membahas tentang perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga antara
lain: penelitian oleh Sulastri, satino, Yuliana Yuli W,(Sulastri et al., 2019) adapun penelitian yang
dilakukan oleh Sulastri, dkk fokus membahas tentang perlindungan hukum terhadap istri sebagai
korban KDRT, dan upaya pemerintah dalam pencegahannya. Selanjutnya penelitian oleh Hana Fairuz
Mestika(Fairuz Mestika, 2022). Dan Aurellga Yudistira, Bintara Sura Primbda(Yudistira Priyadi &
Sura Primba, 2021). Adapun yang menjadi kebaruan (novelty) pada penelitian ini yaitu, bahwa
penelitian ini mengkaji tentang faktor terjadinya KDRT, Bentuk perlindungan hukum terhadap korban
KDRT, dan hambatan dalam pemberian perlindungan korban KDRT.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengetahui tentang problematika
perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, dimana dalam penelitian ini
akan mengkaji tentang faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak, Bentuk
perlindungan hukum terhadap korban KDRT dan hambatan dalam pemberian perlindungan hukum
korban kekerasan dalam lingkup rumah tangga.

Journal Homepage : https://jurnal.arkainstitute.co.id/index.php/nautical/index


2
Nautical : Jurnal Ilmiah Pariwisata
Vol X No X Bulan Tahun

METODE PENELITIAN
Artikel ini merupakan artikel penelitian kepustakaan. Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan kualitatif dengan metode analisis deskriptif. Datanya berasal dari artikel jurnal, buku,
kebijakan/peraturan, laporan, dan berita dari media online. Teknik pengumpulan datanya adalah
dengan mencari, mengumpulkan, dan mempelajari bahan-bahan tertulis tersebut. Pencarian data
dilakukan dengan menggunakan internet pada database penelitian, website lembaga resmi, website
media online, dan buku bacaan atau e-book. Teknik analisis data dilakukan melalui beberapa langkah,
yaitu mengorganisasikan data, membaca (mencatat), mendeskripsikan, mengklarifikasi, menafsirkan
data ke dalam kode dan tema, menarik kesimpulan

HASIL DAN PEMBAHASAN


Faktor Terjadinya Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak dalam Keluarga
Budaya patriarki di Indonesia secara sistematis telah mempengaruhi masyarakat pola pikir yang
menempatkan laki-laki (suami) di atas perempuan (istri). Itu tidak bisa dipisahkan dari sebuah
rangkaian permasalahan yang berdampak pada tindakan diskriminatif terhadap perempuan.
Kondisinya bahkan lebih buruk lagi karena rendahnya pendidikan dan kemiskinan yang melingkupi
kehidupan perempuan, gelombang pasang surut semakin kuat fundamentalisme agama dan
absolutisme budaya saat ini membuat hidup semakin sulit wanita. Padahal, pembatasan kebebasan
bergerak dan berekspresi perempuan merupakan hal yang lumrah yang mengikat wanita itu.(Israpil,
2017)
Sebagaimana diketahui bahwa pada umunya, perempuan memiliki peran sebagai pengurus
keuangan keluarga, yang harus siap memanajemen segala kebutuhan rumah tangga. Selain itu, juga
harus siap dalam melayani segala kebutuhan orang tua, suami dan anak-anak dengan air dan makanan
serta menjaga rumah. Apabila seorang perempuan gagal dalam manajemen keuangan dan mengurus
rumah tangga, maka perempuan tersebut dianggap gagal sebagai ibu rumah tangga hingga diberikan
label atau stigma yang buruk terhadap perempuan tersebut oleh internal keluarga seperti suami,
mertua, ipar, dll, dan juga dari lingkungan sekitar.(Hadiati Soeroso, 2006)
Beban hidup perempuan terus meningkat dari hari ke hari. Ditambah tekanan ekonomi yang
mengakibatkan meningkatnya angka kemiskinan dari tahun ke tahun yang dampaknya telah
menyebabkan semakin banyaknya kecarut marutan dalam rumah tangga, sehingga dalam beberapa
kasus, perempuanlah yang menjadi sasaran kekerasan fisik serta kekerasan psikologis oleh laki-laki
secara umum, yang seringkali kekerasan tersebut telah melampaui toleransi sikap kemanusiaan. Fakta
yang terjadi di masyarakat, dimana korban kekerasan dalam rumah tangga terus meningkat.
Sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1.1
Jumlah Kekerasan Dalam Rumah Tangga Tahun 2019-2023

Tahun Korban Korban Laki- Jumlah Kasus


Perempuan Laki
2019 17.132 4.951 20.530
2020 17.574 4.396 20.499
2021 21.753 5.376 25.210
2022 25.052 4.631 27.593
2023 17.930 4.132 20.265
Sumber: Simfoni PPA Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak(Anak),
n.d.)
Berdasarkan data statistik Kemenppa tentang jumlah kekerasan dalam rumah tangga dalam 5
(lima) Tahun terakhir di seluruh wilayah provinsi di Indonesia, yang dapat dilihat bahwa jumlah kasus
KDRT yang fluktuatif. Dari jumlah kasus yang dominan menjadi korban kekerasan dalam rumah
tangga adalah perempuan dan anak.
Berdasarkan data kasus kekerasan rumah tangga di Indonesia, diketahui bahwa perempuan
mengalami banyak kekerasan yang sebagian besarnya terjadi di rumah mereka sendiri oleh orang-
orang yang mereka kenal. Kekerasan dalam rumah tangga, seringkali dianggap tidak terlalu 'kriminal'

Journal Homepage : https://jurnal.arkainstitute.co.id/index.php/nautical/index


3
Nautical : Jurnal Ilmiah Pariwisata
Vol X No X Bulan Tahun

dibandingkan pelanggaran yang dilakukan di jalan dan dilakukan oleh orang asing. Polisi dan
masyarakat sering kali menganggap keributan didalam rumah tangga sampai terjadinya kekerasan
baik fisik maupun psikis adalah suatu hal batas kewajaran, meskipun dampak dari kekerasan tersebut
terkadang lebih parah dari kejahatan yang terjadi diluaran.(Mandalan, 2019)
Penegak hukum khususnya kepolisian masih tidak melihat kekerasan dalam rumah tangga sebagai
urusan mereka dan mereka tidak melihat penuntutan secara pidana sebagai cara yang paling tepat
untuk mengatasi masalah tersebut.(Mandalan, 2019) Memang kekerasan dalam rumah tangga sering
kali terjadi dan cenderung tidak bersifat terang-terangan. Ada kecenderungan kekerasan fisik dan
seksual lebih mudah terlihat seperti luka atau lebam, sebaliknya korban yang mengalami kekerasan
fisik atau seksual sudah pasti mengalami kekerasan psikis, dan sebaliknya orang yang mengalami
kekerasan psikis belum tentu mengalami kekerasan fisik.
Dampak yang ditimbulkan dari kekerasan psikis adalah tentunya berbeda dengan kekerasan
lainnya, terdapat gambaran perilaku konkrit yang umumnya ditampilkan oleh korban sebagai bentuk
dampak psikologis dari kekerasan yang dialaminya. Tidak hanya rasa tidak berdaya saja, namun juga
hilangnya rasa percaya diri dan hilangnya kemampuan bertindak, rasa takut, hingga penderitaan
psikologis yang berat yang terlihat dari perilaku hilangnya minat untuk merawat diri sendiri,
kehilangan minat untuk berinteraksi dengan orang lain, depresi (misal : murung, mudah menangis,
mata tertutup, sulit tidur atau sebaliknya, dll), aktivitas atau pekerjaan menjadi terganggu dan kurang
percaya diri. Kekerasan dalam hal ini merupakan ancaman yang nyata, kekerasan yang terhadap psikis
yang bersifat tidak terlihat akan sangat sulit diketahui dan dibuktikan apabila tidak ada aduan
langsung dari korban,
Sedikitnya laporan kekerasan oleh korban dipengaruhi oleh faktor ketidak tahuan korban akan
macam-macam kekerasan dalam rumah tangga yang dapat dilaporkan, sedangkan sangat jelas diatur
dalam Pasal 1 Ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT yang menyatakan bahwa kekerasan
dalam rumah tangga yaitu perbuatan terhadap seseorang, khususnya perempuan, yang menimbulkan
penderitaan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikis, dan/atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan tindakan, pemaksaan, atau perampasan kebebasan. Batasan
undang-undang mengklasifikasikan 4 (empat) bentuk kekerasan, antara lain kekerasan fisik, psikis,
seksual, dan penelantaran rumah tangga yang menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan.
Dalam kekerasan rumah tangga perempuan pada umumnya dipandang sebagai entitas yang
terpisah, dimana penegak hukum berpandangan mempersatukan keluarga dengan cara tidak
mengedepankan proses pidana merasa lebih tepat untuk mempertahankan kesatuan tersebut, daripada
melindungi pribadinya korban dengan melakukan proses pidana terhadap pelaku kekerasan dalam
rumah tangga. Dan tidak sedikit juga korban kekerasan dalam rumah tangga khususnya perempuan
dan anak yang lebih memilih untuk tetap tinggal dengan pelaku yang terpaksa harus diam, demi
mempertahankan keutuhan keluarga meskipun secara terus menerus mendapatkan penganiayaan
secara fisik maupun mental oleh pelaku.(Kriminologis et al., 2020)
Selain dari faktor kurangnya perhatian penegak hukum, budaya patriarki, dan kemiskinan, juga
ditambah peraturan perundang-undangan Indonesia masih terjadi dualisme hukum yaitu dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 sudah menyatakan kekerasan dalam keluarga sebagai
kejahatan, secara hukum mengatur bahwa mereka yang melakukannya akan dituntut dan dihukum.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam secara tidak langsung masih memperbolehkan kekerasan
dalam rumah tangga terhadap istri, sebagaimana diatur berdasarkan pasal 48 Kompilasi tentang
Nusyuz (ketidaktaatan istri terhadap suami).(Rofiah, 2017) Pasal ini memberikan kewenangan kepada
suami untuk melakukan kekerasan terhadap istri. Karena islam memperbolehkan melakukan
kekerasan terhadap istri yang tidak taat, sehingga tidak sedikit para laki-laki (suami) yang menyalah
artikan bab nusyuz, dan melakukan pembelaan diri atas dasar tersebut.

Bentuk Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dan Anak Korban KDRT


Perlindungan menurut UU PKDRT adalah segala upaya yang dimaksudkan untuk memberikan
rasa aman bagi korban yang dilakukan oleh keluarga, advokat, lembaga sosial, polisi, jaksa,
pengadilan, atau pihak lain baik yang bersifat sementara maupun berdasarkan penetapan Undang-
undang. pengadilan. Sedangkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial untuk

Journal Homepage : https://jurnal.arkainstitute.co.id/index.php/nautical/index


4
Nautical : Jurnal Ilmiah Pariwisata
Vol X No X Bulan Tahun

memberikan pelayanan dasar dan khusus bagi perempuan dan anak dalam penyelesaian konflik
sebagai bagian integral dari kegiatan pengelolaan konflik.
Konsep perlindungan hukum diberikan kepada subjek hukum dalam bentuk instrumen baik yang
bersifat preventif maupun represif, baik lisan maupun tulisan. Dengan kata lain dapat dikatakan
perlindungan hukum sebagai gambaran tersendiri dari fungsi hukum itu sendiri, yang mempunyai
konsep bahwa hukum memberikan keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan ketentraman.
Dalam melaksanakan dan memberikan perlindungan hukum terhadap korban KDRT perlunya
suatu tempat atau wadah dalam pelaksanaannya yang sering disebut dengan sarana perlindungan
hukum, sarana perlindungan hukum korban KDRT dibedakan menjadi dua jenis yang dapat dipahami,
sebagai berikut:
1. Sarana Pencegahan (Preventif).
Tindakan preventif dimaksudkan sebagai upaya melakukan perubahan yang bersifat positif
terhadap kemungkinan terjadinya gangguan ketertiban dan keamanan (stabilitas hukum). Tindakan
pre-emtif ini merupakan salah satu cara yang paling tepat dilakukan oleh pihak kepolisian,
pemerintah, dan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh upaya-upaya yang telah dilakukan sebelumnya
sehingga dapat menurunkan kasus kekerasan dalam rumah tangga di masa yang akan datang.
(Ramadhon et al., 2020) Perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga menurut
hukum pidana Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 terdapat beberapa
tahapan, yaitu tahap preventif melalui perlindungan sementara dari kepolisian dan atau perlindungan
pengadilan, penempatan korban pada “rumah aman”, dan tahap kuratif baik kesehatan fisik maupun
psikis. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan KDRT yang terdapat pada pasal 16 yaitu
perlindungan sementara yang menyatakan bahwa: (1) Dalam jangka waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh
empat) jam sejak mengetahui atau menerima laporan adanya kekerasan dalam rumah tangga, pihak
kepolisian harus segera memberikan perlindungan sementara kepada korban. (2) Perlindungan
sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah korban
diterima atau ditangani. (3) Dalam jangka waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung
sejak tanggal pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib
meminta surat penetapan perintah perlindungan kepada pengadilan.(Wantu & Sarson, 2020)
Perlindungan sementara, yaitu perlindungan yang diberikan langsung oleh pihak kepolisian yaitu
dengan menggandeng tenaga kesehatan, salah satunya dari tenaga kesehatan yang memeriksa kondisi
korban. Kemudian dari pihak kepolisian melakukan penyelidikan setelah mengetahui dan menerima
laporan adanya kekerasan dalam rumah tangga. Lebih lanjut, perlindungan yang diberikan polisi juga
berupa pemberitahuan perkembangan kasus yang ditangani polisi kepada korban atau keluarga
korban. Dalam memberikan perlindungan sementara, polisi dapat bekerja sama dengan tenaga
kesehatan, pekerja sosial, pendamping relawan, dan/atau pembimbing spiritual untuk memberikan
bantuan kepada korban. Selain itu, polisi juga wajib memberikan informasi kepada korban mengenai
hak korban untuk menerima layanan dan bantuan. Polisi juga segera memberi tahu para korban
tentang identitas petugas, dan kewajiban polisi untuk melindungi korban. Agar perlindungan
sementara ini dapat ditingkatkan menjadi perlindungan, maka dalam waktu 1 x 24 jam sejak
perlindungan sementara diberikan, polisi harus meminta surat perintah perlindungan kepada
pengadilan. (Wantu & Sarson, 2020)
Selain perlindungan sementara dari pihak kepolisian, dan perlindungan tetap oleh pengadilan,
serta pendampingan proses bimbingan spiritual dan advokasi bagi korban dalam proses hukum, upaya
lain yang merupakan bagian dari perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga adalah pidana.
pelaku sesuai dengan bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukannya terhadap korban,
karena perbuatan kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu tindak pidana.
Kepolisian dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A)
berperan sebagai pelaksana pemberian perlindungan dan pemulihan terhadap korban kekerasan,
termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Unit PPA menjalin kerja sama dengan P2TP2A dalam
penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga karena merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan. P2TP2A menyediakan sarana dan prasarana untuk mendukung penyelesaian kasus
KDRT melalui komitmen dan anggaran yang memadai untuk menegakkan pemenuhan hak-hak
korban. Setiap kasus KDRT yang dilaporkan ke P2TP2A akan diteruskan ke pusat pelayanan
kepolisian sesuai yurisdiksi kasus KDRT tersebut. Para korban melapor ke P2TP2A dengan datang

Journal Homepage : https://jurnal.arkainstitute.co.id/index.php/nautical/index


5
Nautical : Jurnal Ilmiah Pariwisata
Vol X No X Bulan Tahun

sendiri, menyampaikan laporan melalui telepon, atau merujuk dari institusi lain. Oleh karena itu,
selain melapor ke polisi, korban KDRT juga bisa melapor ke P2TP2A.

2. Sarana Perlindungan Hukum Represif


Adapun bentuk sarana perlindungan hukum represif yang diberikan oleh penegak hukum yaitu
berupa penangkapan dan penahanan terhadap pelaku yang diduga keras melakukan tindakan
kekerasan dalam rumah tangga, yang sejatinya seorang suami harus memberikan perlindungan
terhadap keluarganya.(Wibowo, 2021) Penangkapan terhadap pelaku atau suami, pada dasarnya dapat
diberikan setelah dilakukan penangkapan yang diberikan dalam tenggang waktu 1x24 jam, guna
memenuhi kepastian hukum acara pidana. Sifat supremasi hukum yang kaku terkadang kurang
memberikan perlindungan terhadap korban, misalnya apabila Kepolisian harus menunggu dan
membawa surat perintah penangkapan terlebih dahulu maka akan dikhawatirkan pelaku akan
melakukan ancaman yang keras terhadap korban, sehingga korban akan merasan ketakutan dan
mencabut aduannya.(Soetoprawiro et al., 2012)

Hambatan Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dan Anak Korban KDRT


Pada dasarnya tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga merupakan delik aduan. Oleh karena
itu, pemberian perlindungan terhadap korban baik perlindungan preventif maupun perlindungan
represif baru diberikan apabila ada pengaduan terlebih dahulu dari korban. Korban KDRT sering kali
memiliki rasa takut dan kekhawatiran untuk melaporkan atau menceritakan tindakan yang dilakukan
oleh pelaku. Selain korban takut akan ancaman dari pelaku, juga takut dengan proses hukum yang
akan dijalani.(Hadiati Soeroso, 2006)
Secara normatif perlindungan terhadap korban KDRT patut diacungi jempol, namun
kenyataannya penanganan kasus KDRT belum berjalan sesuai peraturan perundang-undangan akibat
proses pemeriksaan kasus di pihak kepolisian yang belum berjalan dengan baik. Polisi biasanya
menunggu beberapa hari mengingat kemungkinan korban datang untuk mencabut laporan, atau polisi
kerap merekomendasikan berdamai dan tidak melanjutkan proses penegakan hukum. Dalam
masyarakat yang cenderung menggunakan sistem hukum adat patrilineal, penyelesaian kasus
kekerasan dalam rumah tangga seringkali menggunakan alternatif penyelesaian perkara di luar sistem
peradilan atau biasa disebut dengan Alternative Dispute Resolusi (ADR).(Alimi & Nurwati, 2021)
Ada persepsi kuat masyarakat bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan persoalan pribadi
atau rumah tangga yang proses penyidikannya. Anggapan bahwa sayang sekali keburukan sebuah
rumah tangga diketahui orang dan pengabdian seorang istri kepada suaminya masih mendominasi
rumah tangga di Indonesia. Alasan lainnya adalah mereka tidak tega membalas dengan melapor ke
polisi, serta adanya rasa ketergantungan terhadap pasangannya Korban sering kali mencabut
laporannya jika mereka merasa laporan tersebut menghalangi suami atau pasangannya. Oleh karena
itu, pihak berwenang tidak bisa memberikan perlindungan maksimal.
Hambatan pemberian perlindungan dalam kasus KDRT yang terjadi terhadap perempuan dan
anak memiliki kesulitan untuk dilakukan proses pemeriksaan dan mencari bukti-bukti, dimana
biasanya saksi yang dipanggil sering kali tidak memberikan keterangan secara jujur atau bahkan saksi
enggan dipanggil untuk memberikan keterangan di kepolisian, karena saksi tidak mau berurusan
dengan kepolisian. Karena tidak adanya saksi, sehingga menyulitkan untuk melakukan pemberkasan
dan lemahnya perkara jika sampai di pengadilan. Selain itu, dari pihak korban sendiri sering kali
mencabut laporannya karena masih ada rasa sayang terhadap pelaku, atau karena faktor penghidupan.
(Abraar, 2022)
Selain itu, Beberapa aparat penegak hukum belum memahami UU PKDRT sehingga terdapat
kendala dalam pengusutan kasus KDRT ketika korban melapor ke RPK (Ruang Pelayanan Khusus),
sehingga Akibatnya, petugas cenderung melepaskan pelaku tanpa sanksi sehingga pelaku mempunyai
peluang untuk mengulangi perbuatannya dan kemungkinan menimbulkan korban lebih banyak.
Penyidik yang kurang profesional menjadi salah satu permasalahan yang dihadapi penegakan hukum
Hukum berjalan sesuai fungsinya ketika pelaku KDRT sudah melakukan perbuatan berbahaya. Kasus
KDRT yang dampaknya ringan seperti memar di badan atau luka yang tidak menimbulkan hambatan
beraktivitas lebih sering dianggap remeh. Kekerasan fisik dikatakan berat jika korban tidak mampu
melakukan aktivitas sehari-hari, dan kekerasan fisik dikatakan ringan jika korban masih dapat
melakukan aktivitas sehari-hari. (Wibowo, 2021)Aparat penegak hukum juga kurang tanggap dalam

Journal Homepage : https://jurnal.arkainstitute.co.id/index.php/nautical/index


6
Nautical : Jurnal Ilmiah Pariwisata
Vol X No X Bulan Tahun

menindaklanjuti laporan kasus kekerasan, khususnya KDRT. Banyaknya laporan KDRT tidak
dilanjutkan ke proses penyidikan pelakunya, sehingga turut menambah keyakinan korban bahwa
meskipun ada yang melaporkan kasusnya, namun ia tidak mendapat perlindungan khusus dari
penegak hukum, khususnya polisi.
Aparat penegak hukum yang kurang responsif dalam memberikan pelayanan perlindungan korban
kekerasan dalam rumah tangga merupakan bentuk penolakan yang secara halus menghambat
implementasi kebijakan.

KESIMPULAN
Kekerasan rumah tangga kerap kali terjadi pada perempuan dan anak baik kekerasan fisik
maupun psikis. Terjadinya kekerasan dalam rumah tangga karena dipengaruhi oleh faktor budaya
patriarki, dimana masyarakat beranggapan laki-laki memiliki derajat lebih tinggi dari perempuan.
Selain itu, rendahnya pendidikan dan kemiskinan menjadikan perempuan sebagai objek kekerasan
dalam rumah tangga. Sedangkan faktor eksternal keluarga yaitu dimana masyarakat dan aparat
penegak hukum memberikan perspetif bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah privasi
sehingga upaya pidana tidak tepat untuk dijadikan upaya penyelesaian. Adapun bentuk perlindungan
hukum terhadap korban KDRT berupa perlindungan preventif yaitu perlindungan yang dilakukan
melalui perlindungan sementara yang diberikan oleh kepolisian atau pengadilan, penempatan korban
rumah aman, dan tahapan kuratif baik terhadap fisik maupun psikis korban. Selain itu, juga diberikan
perlindungan represif yaitu perlindungan yang diberikan kepada korban KDRT berupa penangkapan
dan penahanan pelaku KDRT. Adapun yang menghambat diberikannya perlindungan terhadap korban
KDRT yaitu dimana korban memiliki rasa takut dan kekhawatiran dalam melaporkan pelaku, ketika
tidak adanya aduan dari korban tentunya korban tidak mendapatkan perlindungan secara khusus.
Selain itu, dalam proses pemeriksaan sering kali penegak hukum kesusahan untuk mendapatkan
keterangan dari saksi, sehingga karena kurangnya bukti kasus tidak dapat dijalankan, dan juga tidak
sedikit korban berakhir pada perdamaian dan mencabut sendiri laporannya. Selain itu, masih
kurangnya responsif dari penegak hukum dalam menyelesaikan kasus KDRT.

DAFTAR PUSTAKA
Abraar, M. (2022). PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA ( Suatu Penelitian di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Sigli )
LEGAL PROTECTION OF WOMEN VICTIMS OF DOMESTIC VIOLENCE ( A Research in
The Jurisdiction of The Sigli State Court ) PEND. 6(1), 59–67.
Alimi, R., & Nurwati, N. (2021). Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Terhadap Perempuan. Jurnal Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat (JPPM), 2(2),
211. https://doi.org/10.24198/jppm.v2i2.34543
Anak), S. P. (Sistem I. O. P. P. dan. (n.d.). Peta Sebaran Jumlah Kasus Kekerasan Menurut Provinsi.
KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK
REPUBLIK INDONESIA. Retrieved October 6, 2023, from
https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan
Fairuz Mestika, H. (2022). Perlindungan Hukum Pada Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah
Tangga Di Indonesia Legal Protection for Women Victims of Domestic Violence in Indonesia.
Ikatan Penulis Mahasiswa Hukum Indonesia Law Journal, 2(1), 118–130.
Hadiati Soeroso, M. (2006). Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis Viktimologi.
Sinar Grafika.
Hayati, E. N., Eriksson, M., Hakimi, M., Ulf Högberg, & Emmelin, M. (2015). “Elastic band
strategy”: Women’s lived experiences of coping with domestic violence in rural Indonesia.
Global Health Action, 8(1). https://doi.org/10.3402/gha.v6i0.18894
Israpil, I. (2017). Budaya Patriarki dan Kekerasan Terhadap Perempuan (Sejarah dan
Perkembangannya). Pusaka, 5(2), 141–150. https://doi.org/10.31969/pusaka.v5i2.176
Kriminologis, T., Suami, T., Kerasan, M., Rumah, D., Kepada, T., Kematian, S. M., Review, C.,
Husbands, A., Commit, W. H. O., Violence, D., Wives, T. O., & In, R. (2020).
CRIMINOLOGICAL REVIEW AGAINTS HUSBANDS WHO COMMIT. II(September), 50–65.
Mandalan, G. P. (2019). Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Journal Homepage : https://jurnal.arkainstitute.co.id/index.php/nautical/index


7
Nautical : Jurnal Ilmiah Pariwisata
Vol X No X Bulan Tahun

Sebagai Implementasi Hak-Hak Korban. Jurnal Analisis Hukum, 2(1), 45–54.


http://journal.undiknas.ac.id/index.php/JAH/article/view/2168
Mulya Nurani, S. (2021). Relasi Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Perspektif Hukum Islam
(Studi Analitis Relevansi Hak Dan Kewajiban Suami Istri Berdasarkan Tafsir Ahkam Dan
Hadits Ahkam). Joruanl Al-Syakhsiyyah, 3(1), 98–116.
Publikasi dan Media Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2019). KASUS
MENINGKAT, KEMEN PPPA AJAK MILENIAL CEGAH KDRT. Kementerian Pemberdayaan
Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia.
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2089/kasus-meningkat-kemen-pppa-
Ramadhon, S., Tini, A. N., & Gorda, R. (2020). Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Sebagai
Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Secara Preventif Dan Represif. Jurnal Analisis
Hukum (JAH), 3(2), 205–217.
Rofiah, N. (2017). Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Islam. Wawasan: Jurnal
Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya, 2(1), 31–44. https://doi.org/10.15575/jw.v2i1.829
Soetoprawiro, K., Riyanti, R., & Idayanti, S. (2012). Upaya Perlindungan Hukumterhadapkorban
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Sulastri, Satino, & Yuli W, Y. (2019). Perlindungan Hukum Terhadap Isteri sebagai Korban
Kekerasan dalam Rumah Tangga. Jurnal Yuridis, 6(2), 73–92.
Wantu, F. M., & Sarson, M. T. Z. (2020). Legal Protection of Women as Victim of Domestic
Violence. Indonesian Journal of Advocacy and Legal Services, 1(2), 243–258.
https://doi.org/10.15294/ijals.v1i2.36093
Wibowo, D. (2021). Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Menurut Hak Asasi Manusia Selama Proses Penyidikan. Jurnal Usm Law Review, 4(2), 818.
https://doi.org/10.26623/julr.v4i2.4187
Yasser Arafat. (2022). Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Rumah Tangga Sebagai Korban Tindak
Kekerasan. Diktum: Jurnal Ilmu Hukum, 10(1), 42–60.
https://doi.org/10.24905/diktum.v10i1.182
Yudistira Priyadi, A., & Sura Primba, B. (2021). Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak
Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Viktimologi. Jurnal Hukum Delict,
7(2), 64–69.

Journal Homepage : https://jurnal.arkainstitute.co.id/index.php/nautical/index


8

Anda mungkin juga menyukai