Dosen pengampu:
Oleh:
Aidil Fitriana (2202056019)
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Atas limpahan rahmat
dan hidayah-Nya serta berbagai upaya selaku penyusun dapat menyelesaikan makalah
ini tepat waktu tanpa ada halangan yang berarti dan sesuai dengan harapan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada bapak Prof. Dr. Azainil, M.Si.
sebagai dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Pancasila yang telah membantu
memberikan arahan dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini dari awal hingga
akhir.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan
karena keterbatasan kami. Maka dari itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran
untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga apa yang ditulis dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang membutuhkan dan dapat membangun semangat dalam
melaksanakan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pancasila sebagai dasar negara, asas tunggal, pedoman, jati diri serta sebagai dasar
filosofis negara yang memiliki pengamalan nilai-nilai berupa Ketuhanan yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, keadilan
sosial bagi seluruh rakyat indonesia, sudah sepatutnya menjadi teladan masyarakat
Indonesia dalam berperilaku dan menetapkan suatu kebijakan yang absolut di berbagai
bidang penunjang kehidupan berbangsa dan bernegara. Tindakan kekerasan terhadap
perempuan dan anak dalam rumah tangga merupakan bentuk pelanggaran hak asasi
manusia dan martabat kemanusiaan serta diskriminasi yang harus dicegah dan
dihapuskan. Bentuk kekerasan dalam rumah tangga termasuk fisik, seksual, psikologis,
penelantaran, ataupun ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Korban kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya dilakukan terhadap perempuan
dan faktor yang melatarbelakangi terjadinya tindak kekerasan dipicu antara lain
kurangnya komunikasi antara suami dan istri, tidak ada keharmonisan dalam rumah
tangga, ketidakmampuan suami secara ekonomi, kawin paksa, dan pengaruh minuman
keras. Di balik tindak kekerasan terhadap perempuan, penyebab utamanya adalah
budaya patriarki yang masih melekat dalam masyarakat yang menciptakan stereotype
yang merendahkan derajat perempuan. Sementara tindak kekerasan terhadap anak
sering kali disebabkan oleh kemiskinan dan lingkungan sosial yang buruk. Korban
kekerasan dalam rumah tangga dapat berdampak pada kecemasan, depresi,
penyalahgunaan obat-obatan, trauma, bahkan bunuh diri. Realitas menunjukkan bahwa
di Indonesia, kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan yang
signifikan dari tahun 2016 sampai dengan tahun 2022. Pada tahun 2016, jumlah kasus
kekerasan terhadap perempuan yaitu 259.150 kausus. 2017, jumlah kekerasan
terhadap perempuan sebanyak 348.446 kasus. 2018, jumlah kekerasan dalam rumah
tangga sekitar 335.062 kausus. Pada tahun 2019, jumlah kekerasan dalam rumah
tangga sekitar 431.471 kasus. kemudian menurun drastis menjadi 299.911 kasus. Pada
tahun 2021 jumlah kekerasan terhadap perempuan jika ditotalkan pada ahun ini juga
sekitar 27.335 korban. Namun Komnas Perempuan (2021) melaporkan bahwa
penurunan angka kasus tersebut bukan berarti adanya penurunan jumlah kasus yang
sebenarnya, melainkan karena beberapa keterbatasan dan hambatan selama pandemi
Covid-19. Peran pemerintah dalam kondisi ini sangat penting dalam mengurangi
fenomena tindakan kekerasan yang terjadi di Indonesia melalui program dan kebijakan
yang diatur dalam Undang-undang maupun peraturan tentang pencegahan tindakan
kekerasan serta langkah-langkah konkret yang dilakukan untuk meminimalkannya.
Sebagai upaya melaksanakan revolusi mental berbasis Pancasila melalui keluarga,
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menekankan
penguatan delapan fungsi keluarga, yang meliputi agama, sosial budaya, cinta kasih,
perlindungan, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, dan pembinaan
lingkungan. Pemerintah telah mengamanatkan melalui Undang-undang Nomor 52
Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 untuk memberdayakan
keluarga agar dapat menjalankan fungsi keluarga secara optimal. Pelaksanaan
kebijakan Undang-Undang tersebut merupakan upaya pembangunan keluarga yang
bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kenyamanan dan perlindungan agar terwujud
kehidupan berumah tangga yang bahagia. Upaya-upaya pembangunan keluarga untuk
dapat memenuhi jaminan keluarga yang harmonis telah dilaksanakan oleh aparat
pemerintah di indonesia melalui kegiatan penyuluhan bimbingan keluarga pra-nikah dan
sosialisasi Undang-undang kekerasan dalam rumah tangga walaupun hasilnya belum
dirasakan maksimal. Salah satu faktor kesulitan karena karakteristik demografi wilayah
dan perangkat Undang-undang yang terlambat ditindaklanjuti di daerah. Kendala lain
yang muncul adalah masalah penyediaan sarana khusus bagi korban tindakan
kekerasan dan alokasi dana yang memadai. Sistem penanganan yang cenderung
terlambat membuat korban tindakan kekerasan enggan untuk melapor serta kurangnya
dukungan dana dari pemerintah.
B.Rumusan Masalah
C.TUJUAN PENULISAN
BAB 2
PERMASALAHAN
1. J.S.T Simorangkir
Pemerintahan adalah organ atau alat negara yang menjalankan tugas atau
fungsi dan pengertian pemerintahan sebagai fungsi daripada pemerintah itu
sendiri.
2. Muh. Kusnardi
Pemerintahan adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam
menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan yang tidak hanya
menjalankan tugas eksekutif saja melainkan juga meliputi tugas-tugas lainnya,
termasuk legislatif dan yudikatif.
3. U. Rosenal
Pemerintahan adalah ilmu yang menggeluti studi tentang penunjukan cara kerja
ke dalam dan keluar struktur dan proses pemerintahan umum.
1. Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi
seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun.
2. Gangguan stres pasca trauma.
3. Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi
medis)
4. Depresi berat
5. Gangguan jiwa
6. Bunuh diri
BAB 3 PEMBAHASAN
A. Upaya Penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga
Pada tahun 2008 ini memasuki hitungan tahun keempat sejak pengundangan
dan pemberlakuan atas UU-PKDRT. Dalam pengaturannya, selain mengatur
ikhwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban
KDRT, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah
tangga dengan unsur-unsur yang berbeda dengan tindak penganiayaan yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Perubahan adanya
perbaikan hukum memang mulai nampak, diantaranya, keberanian
melaporkan perkara KDRT oleh korban atau pihak yang mewakilinya,
terbentuknya berbagai pusat pelayanan terhadap korban, baik untuk
kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri, kekerasan terhadap perempuan
maupun kekerasan terhadap anak, dan hal ini sudah mulai terjadi di berbagai
daerah. Namun demikian, masih banyaknya hambatan dalam proses
penanganan perkaranya sangat dirasakan adanya. Hal ini dapat diindikasi,
antara lain, masih kurangnya pemahaman mengenai apa yang dimaksud
KDRT itu sendiri, baik dari kalangan sebagian masyarakat maupun jajaran
aparat penegak hukum, sarana dan prasarana pelayanan yang belum atau
kurang memadai, hingga persoalan dark number atas kasus-kasusnya yang
tidak terungkap, maka hal ini menjadi sangat relevan untuk disikapi dan
dipecahkan solusinya, baik terkait dengan akar permasalahan maupun hal-
hal yang bersifat represif. Perubahan hukum merupakan masalah penting,
antara lain disebabkan karena hukum itu pada dewasa ini umumnya
memakai bentuk tertulis. Sejak diberlakukannya UU-PKDRT, semakin
nampak adanya peningkatan atas pelaporan kasus-kasus KDRT. Hal ini
dapat diindikasikan adanya keberanian masyarakat dalam mengungkapkan
hal yang selama ini dianggap tabu atau aib, atau juga dapat ditandai sebagai
munculnya kesadaran hukum dalam masyarakat akan perlindungan hak-hak
asasinya serta kewajibannya sebagai warga negara, utamanya dalam turut
serta menciptakan suasana kerukunan dan keharmonisan suatu keluarga
atau rumah tangga dan masyarakat disekitarnya, yang dilandasi atas
penghormatan harkat dan martabat dengan sesamanya baik dalam
kapasitasnya sebagai suami, isteri, maupun anak dan atau sebagai anggota
rumah tangga terkait. Kekerasan terhadap perempuan didalam rumah tangga
merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Merebaknya
tindak kekerasan sejenis ini di indonesia telah mendorong berbagai kalangan
mengembangkan strategi penangan untuk mengatasinya. Perbuatan yang
termasuk sebagai kekerasan domestik secara khusus memang belum diatur
dalam KUHP, sehingga kejahatan tersebut belum banyak terungkap di
pengadilan maupun dalam data statistik kriminal kepolisian. Selain memiliki
landasan konstitusional, penghapusan kekerasan terhadap perempuan juga
telah diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (selanjutnya disebut
UU PKDRT). UU PKDRT ini merupakan kemajuan nyata yang dihasilkan
perjuangan gerakan feminis di Indonesia. KDRT yang selama ini dianggap
hanya berada di dalam wilayah privat, kini telah dijadikan sebagai suatu
masalah publik. Dalam hal ini dikotomi publik-privat berhasil didekonstruksi.
Kehadiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga membuka jalan bagi terungkapnya kasus
KDRT dan memberikan upaya perlindungan hak-hak korban. Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga merupakan hukum publik yang didalamnya ada ancaman
pidana penjara atau denda bagi yang melanggarnya, maka masyarakat luas
khususnya kaum laki-laki, dalam kedudukan sebagai kepala keluarga
sebaiknya mengetahui apa itu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Penulis menyimpulkan bahwa implementasi Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
mendorong dan mengharuskan adanya rekonstruksi fundamental dalam
tatanan birokrasi. Peran elemen hukum justru berposisi dalam konteks wajib,
sebagaimana disebutkan dalam Bab 6 Pasal 11 yaitu Pemerintah
bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah
tangga. Rekonstruksi kebudayaan yang didorong Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah
pemaknaan ulang tentang keluarga yang selama ini dipandang sebagai
institusi tak tersentuh dalam hal relasi suami,istri,anak, dan pekerja rumah
tangga. Ada transformasi pemahaman secara fundamental, urusan-urusan
yang selama ini dianggap privat dan tersimpan rapi, diluluhlantakkan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga menjadi persoalan publik.
1. Peran Instansi Pusat dan Program Terkait KDRT (Pasal 10 dan Pasal 11)
a. Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KNPP), telah
mengeluarkan berbagai kebijakan terkait dengan pemberdayaan perempuan,
termasuk pemberdayaan untuk korban KDRT
b. Departemen Kesehatan, telah mengeluarkan kebijakan untuk membantu
pemulihan medis bagi korban
c. Departemen Sosial, membantu pemulihan psikososial bagi korban
d. Kepolisian R.I. melalui Ruang Pelayanan Khusus (RPK), melakukan
penangan hukum terhadap korban
e. Rumah Sakit Pemerintah, memberikan pelayanan medis bagi korban
f. Lembaga Swadaya Masyarakat, diantaranya, melakukan pendampingan
korban dan atau penanganan korban.
2. Kendala dalam Penanganan Korban kasus KDRT.
a. Kasus KDRT yang dilaporkan korban, kerapkali tidak ditindaklanjuti karena
korban ragu-ragu atau tidak mengerti bahwa hal yang dilaporkan itu adalah
tindak pidana. Demikian halnya bahwa terhadap kasus yang telah diproses
pihak Kepolisian pun seringkali ditarik kembali dengan berbagai macam
alasan, misalnya karena korban merasa sudah memaafkan pelaku,
ketergantungan ekonomi terhadap pelaku, demikian halnya bahwa KDRT
masih dianggap sebagai aib keluarga
b. Beda pemahaman antar penegak hukum terhadap KDRT
c. Lamanya rentang waktu antara kejadian dan visum , sehingga hasil visum
menjadi kurang mendukung terhadap proses hukum
d. Masalah penganggaran untuk sosialisasi ke daerah yang sulit dijangkau,
sehingga frekuensi tidak memadai, dan pendanaan shelter baik untuk
bangunan maupun operasionalnya
e. Bidang kesehatan, dinas kesehatan provinsi merasa kesulitan atau tidak ada
kekuatan perintah kepada dinas kesehatan kabupaten atau kota, sebagai
dampak dari pemberlakuan otonomi daerah, akibatnya pembentukan PPT di
RS dan Puskesmas hanya sebatas pembinaan dan saran saja
f. Penanganan kasus KDRT belum dianggap prioritas, sehingga pembentukan
PPT masih tersendat
g. Substansi pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 44 dan
Pasal 49 UU PKDRT menghambat penghapusan KDRT, karena terdakwa
dengan ekonomi mapan cenderung memilih hukuman denda ketimbang
hukuman penjara. Pada hemat penulis bahwa hal ini sebetulnya akan sangat
ditentukan oleh peran hakim yang akan menentukan berat-ringannya putusan
pidana terhadap pelaku dalam perkara KDRT. 66 Vol. 5 No. 3 - September
2008 Untuk hal itu sang diperlukan adanya pelatihan untuk peningkatan
sensitisasi gender di kalangan para hakim termasuk sensitisasi untuk
keberpihakan pada keadilan korban, hal mana korban lebih sering pada
perempuan dan anak.
Tindakan tindakan baik dari pemerintah maupun masyarakat yang bisa dilakukan untuk
mengatasi masalah kekerasan dalam rumah tangga yang selaras dengan pancasila.
BAB 4