Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Fenomena Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dipengaruhi


oleh Tergerusnya Nilai-Nilai Pancasila

Disusun untuk memenuhi tugas

mata kuliah Pendidikan Pancasila

Dosen pengampu:

Prof. Dr. Azainil, M.Si.

Oleh:
Aidil Fitriana (2202056019)

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MULAWARMAN
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Atas limpahan rahmat
dan hidayah-Nya serta berbagai upaya selaku penyusun dapat menyelesaikan makalah
ini tepat waktu tanpa ada halangan yang berarti dan sesuai dengan harapan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada bapak Prof. Dr. Azainil, M.Si.
sebagai dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Pancasila yang telah membantu
memberikan arahan dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini dari awal hingga
akhir.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan
karena keterbatasan kami. Maka dari itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran
untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga apa yang ditulis dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang membutuhkan dan dapat membangun semangat dalam
melaksanakan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Samarinda, 2 November 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pancasila sebagai dasar negara, asas tunggal, pedoman, jati diri serta sebagai dasar
filosofis negara yang memiliki pengamalan nilai-nilai berupa Ketuhanan yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, keadilan
sosial bagi seluruh rakyat indonesia, sudah sepatutnya menjadi teladan masyarakat
Indonesia dalam berperilaku dan menetapkan suatu kebijakan yang absolut di berbagai
bidang penunjang kehidupan berbangsa dan bernegara. Tindakan kekerasan terhadap
perempuan dan anak dalam rumah tangga merupakan bentuk pelanggaran hak asasi
manusia dan martabat kemanusiaan serta diskriminasi yang harus dicegah dan
dihapuskan. Bentuk kekerasan dalam rumah tangga termasuk fisik, seksual, psikologis,
penelantaran, ataupun ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Korban kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya dilakukan terhadap perempuan
dan faktor yang melatarbelakangi terjadinya tindak kekerasan dipicu antara lain
kurangnya komunikasi antara suami dan istri, tidak ada keharmonisan dalam rumah
tangga, ketidakmampuan suami secara ekonomi, kawin paksa, dan pengaruh minuman
keras. Di balik tindak kekerasan terhadap perempuan, penyebab utamanya adalah
budaya patriarki yang masih melekat dalam masyarakat yang menciptakan stereotype
yang merendahkan derajat perempuan. Sementara tindak kekerasan terhadap anak
sering kali disebabkan oleh kemiskinan dan lingkungan sosial yang buruk. Korban
kekerasan dalam rumah tangga dapat berdampak pada kecemasan, depresi,
penyalahgunaan obat-obatan, trauma, bahkan bunuh diri. Realitas menunjukkan bahwa
di Indonesia, kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan yang
signifikan dari tahun 2016 sampai dengan tahun 2022. Pada tahun 2016, jumlah kasus
kekerasan terhadap perempuan yaitu 259.150 kausus. 2017, jumlah kekerasan
terhadap perempuan sebanyak 348.446 kasus. 2018, jumlah kekerasan dalam rumah
tangga sekitar 335.062 kausus. Pada tahun 2019, jumlah kekerasan dalam rumah
tangga sekitar 431.471 kasus. kemudian menurun drastis menjadi 299.911 kasus. Pada
tahun 2021 jumlah kekerasan terhadap perempuan jika ditotalkan pada ahun ini juga
sekitar 27.335 korban. Namun Komnas Perempuan (2021) melaporkan bahwa
penurunan angka kasus tersebut bukan berarti adanya penurunan jumlah kasus yang
sebenarnya, melainkan karena beberapa keterbatasan dan hambatan selama pandemi
Covid-19. Peran pemerintah dalam kondisi ini sangat penting dalam mengurangi
fenomena tindakan kekerasan yang terjadi di Indonesia melalui program dan kebijakan
yang diatur dalam Undang-undang maupun peraturan tentang pencegahan tindakan
kekerasan serta langkah-langkah konkret yang dilakukan untuk meminimalkannya.
Sebagai upaya melaksanakan revolusi mental berbasis Pancasila melalui keluarga,
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menekankan
penguatan delapan fungsi keluarga, yang meliputi agama, sosial budaya, cinta kasih,
perlindungan, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, dan pembinaan
lingkungan. Pemerintah telah mengamanatkan melalui Undang-undang Nomor 52
Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 untuk memberdayakan
keluarga agar dapat menjalankan fungsi keluarga secara optimal. Pelaksanaan
kebijakan Undang-Undang tersebut merupakan upaya pembangunan keluarga yang
bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kenyamanan dan perlindungan agar terwujud
kehidupan berumah tangga yang bahagia. Upaya-upaya pembangunan keluarga untuk
dapat memenuhi jaminan keluarga yang harmonis telah dilaksanakan oleh aparat
pemerintah di indonesia melalui kegiatan penyuluhan bimbingan keluarga pra-nikah dan
sosialisasi Undang-undang kekerasan dalam rumah tangga walaupun hasilnya belum
dirasakan maksimal. Salah satu faktor kesulitan karena karakteristik demografi wilayah
dan perangkat Undang-undang yang terlambat ditindaklanjuti di daerah. Kendala lain
yang muncul adalah masalah penyediaan sarana khusus bagi korban tindakan
kekerasan dan alokasi dana yang memadai. Sistem penanganan yang cenderung
terlambat membuat korban tindakan kekerasan enggan untuk melapor serta kurangnya
dukungan dana dari pemerintah.
B.Rumusan Masalah

C.TUJUAN PENULISAN

BAB 2
PERMASALAHAN

A. Latar Belakang Permasalahan


Isu kekerasan terhadap perempuan telah menarik perhatian dari semua lapisan
masyarakat dalam beberapa tahun terakhir. Menurut data yang dihimpun
Komnas Perempuan, dari tahun ke tahun terlihat bahwa perempuan merupakan
kelompok rentan yang rentan terhadap kekerasan. Deklarasi Penghapusan
Kekerasan terhadap Perempuan yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada
tahun 1993 menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan
bagian dari pelanggaran hak asasi manusia. Sudah menjadi masalah global,
mendapat perhatian internasional, termasuk kesepakatan tentang kekerasan
dalam rumah tangga, yang didefinisikan sebagai kekerasan dalam rumah tangga
terhadap istri, anak dan anggota keluarga lainnya yang menjadi objek kekerasan.
Menyusul dikeluarkannya Deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan
terhadap Perempuan, Pasal 1 Deklarasi PBB tahun 1993 tentang Kekerasan
terhadap Perempuan mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai
berikut Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan
perbedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan bagi
perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis temasuk ancaman tindakan,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik
yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.Sehubungan dengan
itu, negara telah menjamin penghormatan terhadap hak-hak perempuan sebagai
salah satu bentuk perlindungan hak asasi manusia. Setiap warga negara berhak
mendapatkan rasa aman dan bebas dan segala bentuk kekerasan sebagaimana
telah di amanatkan dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara
Republik Negara Indonesia tahun 1945. Pasal 28G(1) menyatakan bahwa
“setiap orang berhak atas perlindungan diri sendiri, keluarga, kehormatan,
martabat dan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya, serta bebas
dari rasa takut untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
merupakan hak asasi manusia” . Oleh karena itu, untuk mencegah, melindungi
dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara membuat
undang-undang nomor RI. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Paradigma baru
yang dibawa oleh UU PKDRT adalah bahwa kekerasan dalam rumah tangga
yang sebelumnya merupakan persoalan dalam keluarga yang tidak layak
diintervensi oleh pihak luar, kini telah menjadi persoalan nasional dan publik.
Dari definisi tersebut, perempuan dapat mengalami kekerasan dalam berbagai
pola, di berbagai tempat, di berbagai daerah, dan oleh berbagai pihak.Dengan
ruang lingkup yang begitu luas dari wilayah publik sampai domestik, maka dapat
dipahami betapa tidak mudah upaya mengurangi apalagi menghapus tindak
kekerasan terhadap perempuan. Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh
si korban karena disebabkan adanya stuktur budaya, agama, dan sistem hukum
yang belum dipahami oleh masyarakat kita. Padahal negara memberikan
perlindungan kepada masyarakat melalui Undang - undang PKDRT diratifikasi
kedalam UU No. 23 tahun 2004 bertujuan untuk memberikan perlindungan dan
rasa aman terhadap korban dan menindak pelakunya. Komnas Perempuan
Indonesia mencatat, bahwa angka kekerasan tehadap perempuan secara
menyeluruh se-Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Jumlah
tersebut terungkap salah satunya karena faktor meningkatnya kesadaran
masyarakat untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya. Sehingga kondisi ini
memberikan konstribusi besar dalam upaya melindungi hak-hak perempuan
guna menjaga kesejahteraan dan keutuhan rumah tangga. Tercatat tahun 2016
terdapat 259.150, 2017 telah terjadi 25.522 kasus kekerasan terhadap
perempuan yang jumlahnya kemudian meningkat menjadi 54.425 kasus pada
tahun 2018. Pada tahun 2019 terjadi peningkatan jumlah yang signifikan sebesar
263 persen hingga mencapai 143.586 kasus. Dan berdasarkan Catatan Tahunan
Komnas Perempuan tahun 2018 bentuk kekerasan terhadap perempuan yang
sering dijumpai selama ini berupa,(a) Kekerasan di ranah privat (korban dan
pelaku berada dalam relasi perkawinan, kekerabatan, atau relasi intim lainnya)
baik dalam lingkup rumah tangga maupun di luar rumah tangga, (b)Kasus
Kekerasan dalam rumah tangga tidak lagi dapat ditutupi dan siapapun yang
menjadi korban didalamnya dilindungi oleh undang-undang ini. Dan korban
KDRT tidak hanya menimpa kaum perempuan atau istri yang dilakukan
suaminya namun bisa saja terjadi pada anak atau pada setiap orang dalam
lingkup rumah tangga. Adapun yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah
tangga sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 1 butir
1 adalah Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan tehadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Sebagai upaya dari negara untuk melindungi warga negaranya terutama
perempuan dari tindakan kekerasan, UU PKDRT telah membedakan secara
tegas fungsi perlindungan dan fungsi pelayanan bagi korban KDRT. Tidak
semua institusi yang terlibat dalam penanganan KDRT ini dapat memberikan
perlindungan, apalagi mengambil tindakan hukum dalam rangka pemberian
sanksi kepada pelaku. Namun upaya pelayanan dapat dilakukan oleh institusi
non-penegak hukum seperti pemberian konseling, mediasi, pendampingan
sampai dengan rehabilitasi dan pemberdayaan terhadap korban. Kepolisian
sebagai aparat penegak hukum, pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat
merupakan salah satu unsur yang bertanggung jawab dalam rangka memberikan
perlindungan kepada korban KDRT sebagaimana yang tercantum dalam pasal
16 UU No. 23 Tahun 2004 yaitu “Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak
mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian
wajib segera memberikan laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian
wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban.” Dalam
memberikan perlindungan sementara ini, polisi dapat bekerja sama dengan
pekerja sosial, petugas kesehatan, relawan sebaya dan pembimbing rohani
untuk membantu korban dalam keputusan pengadilan mereka. Namun, masih
banyak kendala dalam praktiknya di tingkat kepolisian. Hal ini antara lain
menunjukkan masih kurangnya pemahaman masyarakat dan aparat penegak
hukum, fasilitas pelayanan terhadap implikasi KDRT itu sendiri dan masih
tertutupnya permasalahan kasus-kasus yang tidak ditandai oleh infrastruktur.
Upaya pemenuhan tugas perlindungan sesuai dengan tugas pokok kepolisian
menurut Pasal 13 UU Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002
yaitu “Menegakkan hukum, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
serta memberikan pelrindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyaraka.” Polri telah membentuk Unit Pelayanan Perempuan dan Anak yang
disingkat UPPA yang dulu bernama Ruang Pelayanan Khusus (RPK).
Perkembangan RPK menjadi UPPA dilatarbelakangi atas tuntutan masyarakat
kepada pemerintah agar memberikan perhatian yang serius terhadap kasus-
kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak yang semakin
berkembang. UPPA dibentuk melalui peraturan Kapolri No. Pol 10 Tahun 2007
pada tanggal 6 Juli 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan
Perempuan dan Anak sebagai salah satu upaya dalam memberikan
perlindungan dan pelayanan yang terbaik masyarakat yang mengalami tindak
kekerasan khusunya perempuan dan anak.

B. Pengertian Pemerintahan dan Pemerintah


Pemerintahan berasal dari kata “perintah” yang setelah ditambah awalan “pe”
menjadi pemerintah, dan ketika ditambah akhiran “an” menjadi pemerintahan, dalam
hal ini beda antara “pemerintah” dengan “pemerintahan”adalah karena pemerintah
merupakan badan atau organisasi yang bersangkutan, sedangkan pemerintahan
berarti perihal ataupun hal ikhwal pemerintahan itu sendiri. Kata perintah itu sendiri
paling sedikit ada empat unsur yang terkandung di dalamnya, seperti:

1. Ada dua pihak yang terlibat,


2. Yang pertama pihak yang memerintah disebut penguasa atau pemerintah,
3. Yang kedua adalah pihak yang diperintah yaitu rakyat,
4. Antara kedua pihak tersebut terdapat hubungan (Syafie, 2011:61)
Secara umum, pemerintahan dapat didefinisikan sebagai organisasi yang memiliki
kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang-undang di suatu
wilayah tertentu. Pemerintah merupakan sebuah organisasi yang memiliki:

1. Otoritas memerintah dari sebuah unit politik,


2. Kekuasaan yang memerintah suatu masyarakat politik (political),
3. Aparatus yang merupakan badan pemerintahan yang berfungsi dan menjalankan
kekuasaan,
4. Kekuasaan untuk membuat peraturan perundang-undangan, untuk menangani
perselisihan dan membicarakan putusan administrasi dengan monopoli atas
kekuasaan yang sah.
Definisi Pemerintahan menurut para ahli memiliki arti yakni

1. J.S.T Simorangkir
Pemerintahan adalah organ atau alat negara yang menjalankan tugas atau
fungsi dan pengertian pemerintahan sebagai fungsi daripada pemerintah itu
sendiri.

2. Muh. Kusnardi
Pemerintahan adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam
menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan yang tidak hanya
menjalankan tugas eksekutif saja melainkan juga meliputi tugas-tugas lainnya,
termasuk legislatif dan yudikatif.

3. U. Rosenal
Pemerintahan adalah ilmu yang menggeluti studi tentang penunjukan cara kerja
ke dalam dan keluar struktur dan proses pemerintahan umum.

4. Syafie Inu Kencana


Pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari bagaimana melaksanakan
pengurusan (eksekutif), pengaturan (legislatif), kepemimpinan dan koordinasi
pemerintahan (baik pusat dengan daerah maupun rakyat dengan
pemerintahnya) dalam berbagai peristiwa dan gejala pemerintahan, secara baik
dan benar.

C. Pengertian kekerasan dalam rumah tangga

Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka


(overt), atau tertutup (covert), baik yang bersifat menyerang (offensive) atau
bertahan (defensive), yang disertai oleh penggunaan kekuatan kepada orang lain.
UU no. 23 tahun 2004, mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan
atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga tidak ada definisi tunggal dan jelas yang berkaitan dengan
kekerasan dalam rumah tangga. Meskipun demikian, biasanya kekerasan dalam
rumah tangga secara mendasar meliputi, kekerasan fisik, yaitu setiap perbuatan
yang menyebabkan kematian, kekerasan psikologis, yaitu setiap perbuatan dan
ucapan yang mengakibatkan ketakutan, kehilanagan rasa percaya diri,hilangnya
kemampuan untuk bertindak dan rasa tidak berdaya pada perempuan, kekerasan
seksual, yaitu stiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual sampai kepada
memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan
korban atau disaat korban tidak menghendaki, dan atau melakukan hubungan
seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai korban dan atau
menjauhkannya (mengisolasi) dari kebutuhan seksualnya, kekerasan ekonomi,
yaitu setiap perbuatan yang membatasi orang (perempuan) untuk bekerja di
dalam atau di luar rumah yang menghasilkan uang dan barang; atau membiarkan
korban bekerja untuk di eksploitas atau menelantarkan anggota keluarga dan
adapula bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga antara lain.
Kekerasan ekonomi

 Kekerasan ekonomi berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian


lewat sarana ekonomi berupa:

1. Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran.


2. Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
3. Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan
atau memanipulasi harta benda korban.

 Kekerasan ekonomi ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang


menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak
terpenuhi kebutuhan dasarnya.
Kekerasan fisik

1. Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari


2. Pingsan
3. Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau yang
menimbulkan bahaya meninggal
4. Mendapat cacat pada tubuh korban
5. Menderita sakit lumpuh.
6. Kematian korban.
Kekerasan psikis
Kekerasan psikis berat, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi,
kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan
dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina;
penguntitan; kekerasan dan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis;
yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat berupa salah
satu atau beberapa hal berikut:

1. Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi
seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun.
2. Gangguan stres pasca trauma.
3. Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi
medis)
4. Depresi berat
5. Gangguan jiwa
6. Bunuh diri

D. Misperspektif Pemerintah dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga


Pemerintah telah menetapkan regulasi sebagai uapaya menanggulangi kasusus
kekerasan dalam rumah tangga di indonesia. Dari hasil pemantauan terhadap kasus –
kasus KDRT di indonesia selain menggunakan UU No. 23 tahun 2004 tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga juga menggunakan KUHP dan UU No.
23 tahun 2002 tentang perlindungan Anak. Tercatat sejumlah sanksi pidana penjara
antara 6 bulan hingga 2 tahun 6 bulan. Yang telah diputuskan oleh pengadilan negeri
dengan menggunakan pasal – pasal UU No. 23 tahun 2004 dianataranya pasal 49 jo
pasal 9 dan pasal 279 KUHP untuk tindak penelantaran dan suami menikah lagi tanpa
izin istri; pasal 44 untuk kekrasan fisik, pasal 45 untuk tindak kekerasan psikis berupa
pengancaman. Sedangakan putusan pengadilan dengan sanksi pidana penjara yang
lebi tinggi hingga 6 tahun diputuskan terhadap sejumlah kasus dalam relasi KDRT,
yang didakwa dan dituntut dengan menggunakan pasal – pasal KUHP (pasal 351,352,
285, 286 jo 287, 289 dan 335 untuk kasus penganiayaan anak dan pemerkosaan anak)
salah satu bentuk perlindungan hukum yang ja dirancang khusus untuk merespon
kebutuhan korban kejahatan KDRT dan anggota keluarganya adalah penetapan yang
berisi perintah perlindungan yang dapat ditetapkan oleh pengadilan sebagaimana diatur
dalam pasal – pasal 28-38 UU No. 23 tahun 2004. Sosialisasi mengenai Undang –
Undang pengahpusan KDRT dan peraturan pemerintahannya serta informasi teknis
mengenai penerapannya dikalangan penegak hukum dan masyarakat luas merupakan
kebutuhan mendesak yang perlu direncanakan dengan baik. Selain itu diperlukan pola
kondisi penegakan hukum yang bebas dan bersih dari korupsi, suap dan kolusi di
seluruh jajaran lembaga penegak hukum, layanan sosial dan layanan publik yang
terkait. dan telah melanggar penerapan hak asasi manusia dan jelas adanya ini telah
menggeser pengimplementasian nilai-nilai Pancasila sebagai jati diri bangsa dan
pedoman berperilaku.

BAB 3 PEMBAHASAN
A. Upaya Penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga
Pada tahun 2008 ini memasuki hitungan tahun keempat sejak pengundangan
dan pemberlakuan atas UU-PKDRT. Dalam pengaturannya, selain mengatur
ikhwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban
KDRT, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah
tangga dengan unsur-unsur yang berbeda dengan tindak penganiayaan yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Perubahan adanya
perbaikan hukum memang mulai nampak, diantaranya, keberanian
melaporkan perkara KDRT oleh korban atau pihak yang mewakilinya,
terbentuknya berbagai pusat pelayanan terhadap korban, baik untuk
kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri, kekerasan terhadap perempuan
maupun kekerasan terhadap anak, dan hal ini sudah mulai terjadi di berbagai
daerah. Namun demikian, masih banyaknya hambatan dalam proses
penanganan perkaranya sangat dirasakan adanya. Hal ini dapat diindikasi,
antara lain, masih kurangnya pemahaman mengenai apa yang dimaksud
KDRT itu sendiri, baik dari kalangan sebagian masyarakat maupun jajaran
aparat penegak hukum, sarana dan prasarana pelayanan yang belum atau
kurang memadai, hingga persoalan dark number atas kasus-kasusnya yang
tidak terungkap, maka hal ini menjadi sangat relevan untuk disikapi dan
dipecahkan solusinya, baik terkait dengan akar permasalahan maupun hal-
hal yang bersifat represif. Perubahan hukum merupakan masalah penting,
antara lain disebabkan karena hukum itu pada dewasa ini umumnya
memakai bentuk tertulis. Sejak diberlakukannya UU-PKDRT, semakin
nampak adanya peningkatan atas pelaporan kasus-kasus KDRT. Hal ini
dapat diindikasikan adanya keberanian masyarakat dalam mengungkapkan
hal yang selama ini dianggap tabu atau aib, atau juga dapat ditandai sebagai
munculnya kesadaran hukum dalam masyarakat akan perlindungan hak-hak
asasinya serta kewajibannya sebagai warga negara, utamanya dalam turut
serta menciptakan suasana kerukunan dan keharmonisan suatu keluarga
atau rumah tangga dan masyarakat disekitarnya, yang dilandasi atas
penghormatan harkat dan martabat dengan sesamanya baik dalam
kapasitasnya sebagai suami, isteri, maupun anak dan atau sebagai anggota
rumah tangga terkait. Kekerasan terhadap perempuan didalam rumah tangga
merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Merebaknya
tindak kekerasan sejenis ini di indonesia telah mendorong berbagai kalangan
mengembangkan strategi penangan untuk mengatasinya. Perbuatan yang
termasuk sebagai kekerasan domestik secara khusus memang belum diatur
dalam KUHP, sehingga kejahatan tersebut belum banyak terungkap di
pengadilan maupun dalam data statistik kriminal kepolisian. Selain memiliki
landasan konstitusional, penghapusan kekerasan terhadap perempuan juga
telah diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (selanjutnya disebut
UU PKDRT). UU PKDRT ini merupakan kemajuan nyata yang dihasilkan
perjuangan gerakan feminis di Indonesia. KDRT yang selama ini dianggap
hanya berada di dalam wilayah privat, kini telah dijadikan sebagai suatu
masalah publik. Dalam hal ini dikotomi publik-privat berhasil didekonstruksi.
Kehadiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga membuka jalan bagi terungkapnya kasus
KDRT dan memberikan upaya perlindungan hak-hak korban. Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga merupakan hukum publik yang didalamnya ada ancaman
pidana penjara atau denda bagi yang melanggarnya, maka masyarakat luas
khususnya kaum laki-laki, dalam kedudukan sebagai kepala keluarga
sebaiknya mengetahui apa itu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Penulis menyimpulkan bahwa implementasi Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
mendorong dan mengharuskan adanya rekonstruksi fundamental dalam
tatanan birokrasi. Peran elemen hukum justru berposisi dalam konteks wajib,
sebagaimana disebutkan dalam Bab 6 Pasal 11 yaitu Pemerintah
bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah
tangga. Rekonstruksi kebudayaan yang didorong Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah
pemaknaan ulang tentang keluarga yang selama ini dipandang sebagai
institusi tak tersentuh dalam hal relasi suami,istri,anak, dan pekerja rumah
tangga. Ada transformasi pemahaman secara fundamental, urusan-urusan
yang selama ini dianggap privat dan tersimpan rapi, diluluhlantakkan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga menjadi persoalan publik.
1. Peran Instansi Pusat dan Program Terkait KDRT (Pasal 10 dan Pasal 11)
a. Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KNPP), telah
mengeluarkan berbagai kebijakan terkait dengan pemberdayaan perempuan,
termasuk pemberdayaan untuk korban KDRT
b. Departemen Kesehatan, telah mengeluarkan kebijakan untuk membantu
pemulihan medis bagi korban
c. Departemen Sosial, membantu pemulihan psikososial bagi korban
d. Kepolisian R.I. melalui Ruang Pelayanan Khusus (RPK), melakukan
penangan hukum terhadap korban
e. Rumah Sakit Pemerintah, memberikan pelayanan medis bagi korban
f. Lembaga Swadaya Masyarakat, diantaranya, melakukan pendampingan
korban dan atau penanganan korban.
2. Kendala dalam Penanganan Korban kasus KDRT.
a. Kasus KDRT yang dilaporkan korban, kerapkali tidak ditindaklanjuti karena
korban ragu-ragu atau tidak mengerti bahwa hal yang dilaporkan itu adalah
tindak pidana. Demikian halnya bahwa terhadap kasus yang telah diproses
pihak Kepolisian pun seringkali ditarik kembali dengan berbagai macam
alasan, misalnya karena korban merasa sudah memaafkan pelaku,
ketergantungan ekonomi terhadap pelaku, demikian halnya bahwa KDRT
masih dianggap sebagai aib keluarga
b. Beda pemahaman antar penegak hukum terhadap KDRT
c. Lamanya rentang waktu antara kejadian dan visum , sehingga hasil visum
menjadi kurang mendukung terhadap proses hukum
d. Masalah penganggaran untuk sosialisasi ke daerah yang sulit dijangkau,
sehingga frekuensi tidak memadai, dan pendanaan shelter baik untuk
bangunan maupun operasionalnya
e. Bidang kesehatan, dinas kesehatan provinsi merasa kesulitan atau tidak ada
kekuatan perintah kepada dinas kesehatan kabupaten atau kota, sebagai
dampak dari pemberlakuan otonomi daerah, akibatnya pembentukan PPT di
RS dan Puskesmas hanya sebatas pembinaan dan saran saja
f. Penanganan kasus KDRT belum dianggap prioritas, sehingga pembentukan
PPT masih tersendat
g. Substansi pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 44 dan
Pasal 49 UU PKDRT menghambat penghapusan KDRT, karena terdakwa
dengan ekonomi mapan cenderung memilih hukuman denda ketimbang
hukuman penjara. Pada hemat penulis bahwa hal ini sebetulnya akan sangat
ditentukan oleh peran hakim yang akan menentukan berat-ringannya putusan
pidana terhadap pelaku dalam perkara KDRT. 66 Vol. 5 No. 3 - September
2008 Untuk hal itu sang diperlukan adanya pelatihan untuk peningkatan
sensitisasi gender di kalangan para hakim termasuk sensitisasi untuk
keberpihakan pada keadilan korban, hal mana korban lebih sering pada
perempuan dan anak.

B. perspektif Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Bagaiamana tanggapan masyarakat mengenai perundang-undangan tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga tersebut, menurut salah satu
masyarakat dengan adanya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
dapat mencegah kekerasan dalam rumah tangga, adanya perlindungan
kepada korban KDRT,dan masyarat yang mendengar, melihat, mengetahui
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib membantu proses pengajuan
permohonan penetapan perlindungan,

C.Implementasi Nilai-Nilai pancasila dalam menangani kekerasan dalam rumah


tangga
Lalu, bagaimana Nilai-Nilai pancasila dalam menangani kekerasan dalam rumah
tangga, mari kita bahas dari sila pertama,
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Pancasila dilihat dari sejarah lahirnya yaitu dari nilai nilai luhur yang digali dari
kehidupan bangsa indonesia. Nilai-Nilai yang kemudian terkristal tersebut
adalah percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, menyayangi dan mencintai
sesama, bersatu dalam perbedaan, kekeluargaan dan adil untuk semua. kita
sebagai orang yang beragama wajib menerapkan Nilai-Nliai Ketuhanan Yang
Maha Esa dalam berumah tangga agar terhindar dari terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga yang sangat merugikaan perempuan sebagai korban
kekerasan dalam rumah tangga. Sebagai makhluk tuhan kita sudah
sepantasnya saling menyikapi secara manusiawi, banyak cara yang bisa
dilakukan untuk menghindari kekerasan dalam rumah tangga salah satunnya
meningkatkan komunikasi internal secara ramah dan santun antara suami
istri, saling menghormati dan menghargai antara suami istri, salah satu hadist
mengenai larangan melakukan kekerasan yaitu (sahih muslim, no.
hadist:2564) jadilah hamba hamba Allah yang bersaudara satu dengan yang
lain, karena seseorang muslim saudara bagi muslim yang lain, tidak
diperkenankan menzalimi, menipu, atau melecehkannya. Maksud dari hadist
ini adalah basis dari relasi sosial dalam kehidupan manusia Itu sebabnya
segala tindakan kekerasan seseorang terhadap yang lain adalah haram.
2.kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Perempuan sebagai Korban kekerasan dalam rumah tangga sepantasnya
diperlakukan secara manusiawi dan beradab, kekerasan dalam rumah tangga
sangat tidak menerapkan sila Ke-2 dimana manusia tidak mempunyai adab
kepada sesama manusia dan ini sangat tidak mengimplementasikan nilai nilai
panasila dalam sehari hari apalagi dalam berkeluarga. oleh karena itu kita
harus menempatkan manusia sebagai makhluk tuhan dengan martabat dan
hak asasinya. Maka untuk menegakan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan
bernegara sudah sepantasnya tindak kekerasan mendapat balasan yang
setimpal. Adapun perbuatan yang melanggar nilai-nlai panacasila baik dalam
sila ke-2 (khususnya) maupun sila sila lainnya.
1. telah mencederai kesakralan pernikahan dimana bertujuan untuk
menciptakan keluarga yang sakinah mawadah warahmah
2. telah melanggar nilai-nilai agama sebab dalam agama (islam) tidak
pernah diajarkan melakukan tindak kekerasan itu diperbolehkan.

Tindakan tindakan baik dari pemerintah maupun masyarakat yang bisa dilakukan untuk
mengatasi masalah kekerasan dalam rumah tangga yang selaras dengan pancasila.

1. penegakan hukum yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23


tahun 2004 yang tela dibuat tentang penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga khususnya pada pasal 44 mengenai ketentuan pidana
2. bekerjasam dengan masyarakat umumnya melakukan tindakan
pengucilan terhadap pelaku KDRT sebagai bagian dari efek jera,
mengingat efek jera dipenjara dewasa ini sudah tidak terlalu
bepengaruh bagi masyarakat.
3. Dibuatnya komisi nasional anti kekerasan terhadap perempuan
melalui peraturan presiden Republik indonesia Nomor 65 tahun 2005.
4. Dilakukanya penyuluhan-penyuluhan berkala mengenai tidak
diperkenankanya tindak kekerasan dalm keluarga dengan alasan
apapun serta penjelasan sejelas-jelasnya mengenai prosedur
pelaporan apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam hal
KDRT.
5. Meberikan perlindungan serta pemulihan kepada korban tindak
kekerasan dalam rumah tangga agar dapat melanjutkan kehidupan
normlanya melalui peraturan pemerintahan republk indonesia nomor 4
tahun 2006 tentang penyelengraan dan kerja sama pemulihan korban
kekerasan dalam rumah tangga.
3.Persatuan Indonesia
Suami istri, yang sebelumnya mempunyai latar belakang yang berbeda, suku
dan ras yang berbeda, dengan adanya sila ke-3 yaitu persatuan indonesia
perbedaan itu musti dileburkan jadi satu dalam ikatan suami istri. Dan
sanggup berkorban untuk kepentingan bersama, dan suatu perbedaan itu
seharusnya disatukan,didamaikan,dan diimplementasikan sebagaimana yang
sudah ada dalam sila ke 3.
4.Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan.
Dalam hal ini, pemerintah melakukan upaya preventif yakni dengan
penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada korban kekerasan dalam
rumah tangga dan memberikan mereka ruang kepercayaan agar korban
berani dalam mengungkap kebenaran mengenai KDRT yang dialaminya.
5.keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia
Dengan kerjasama anatara pemerintah dengan masyarakat menerapkan
undang-undang 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga, usaha dan upaya yang efektif dalam menanggulangi korban
kekerasan dalam rumah tangga secara komprehensif, dibantu dengan sifat
suportif dari masyarakat. Dengan adanya undang-undang ini masyarakat
dapat menunjang suatu sikap adil dalam menangani suatu problematika
dalam berumah tangga dan dapat menghindari kekerasan dalam rumah
tangga dan berbagai bentuk ketimpangan sosial bahkan suatu diskriminasi
terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, sehingga dengan adanya
undang-undang 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga, masyarakat indonesia khususnya mampu memperoleh
kondisi yang aman teruma bagi kalangan perempuan sebagai masyarakat
yang sejahtera di berbagai kehidupan.

BAB 4

KESIMPULAN DAN SARAN

Setiap keluarga pasti mendambakan kehidupan rumah tangga yang aman,


nyaman, sejahtera. Secara tidak langsung perbedaan individual dan
lingkunan soisal budaya berpotensi akan menimbulkan konflik. Kejadian
KDRT sendiri dapat terwujud dalam bentuk ringan hingga berat, bahkan dari
tindak kekerasan tersbut dapat menimbulkan kematian. Kemudian itu,
penulis dapat simpulkan bahwa UU No 23 tahun 2004 ini sangat berlaku di
indonesia dan dapat di implementasikan dalam menangani kasus kekerasan
dalam rumah tangga karena dengan adanya UU 23 tahun 2004 ini korban
kekaerasan dapat melaporkan kasus yang ia hadapi dan pelaku
mendapatkan hukuman yang sesuai dengan apa yang ia lakukan kepada
istri, anak dan orang terdekat. UU No 23 tahun 2004 ini sudah berumur 4
tahun dan mulai digunakan sebagai payung hukum penyelesaian kasus-
kasus kekerasan dalam rumah tangga jadi UU PKDRT ini sudah dijalankan
atau di implementasikan dalam kehidupan masyarakat untuk mencegah
kekerasan dalam rumah tangga. Dengan adanya UU PKDRT ini diharapkan
turunya angka KDRT dan bisa menjawab rasa keadilan pada korban. Tidak
hanya UU PKDRT saja, selain itu diperlukan sarana pendukung
pelakasanaan UU PKDRT seperti perlawanan bagi pemulihan korban.
DAFTAR PUSTAKA
Lestari,sri. 2021, ” pengertian keluarga,ciri,fungsi,tugas dan peran keluaga”
http://mimieconomy.blogspot.com/2015/06/kekerasan-dalam-rumah-
tangga.html
Nika, yohana. 2020, “implementasi perlindungan perempuan korban
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)”
http://repository.unisma.ac.id/handle/123456789/500

Anda mungkin juga menyukai