Anda di halaman 1dari 40

Kasus Pencemaran Lingkungan Hidup “Polusi Udara”.

Pengaruh Kabut Asap terhadap Pencemaran Udara dan Kesehatan


Lingkungan Kerja di Km 12 Gambut, Kabupaten Banjar

Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Hukum Lingkungan Hidup

Dosen Pembimbing :
Hanafi Ramsi, S.h., M.H.
Disusun Oleh:
Syarif Hidayatullah 2108010306

UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN


MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI
SARJANA ILMU HUKUM
BANJARBARU
2023

Dari 48 mahasiswa
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
DAFTAR TABEL..................................................................................................v
KATA PENGANTAR...........................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan...........................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan.........................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3
2.1 Faktor Penyebab Kebakaran..............................................................................3
2.1.1 Pembakaran Vegetasi......................................................................................3
2.1.2 Aktivitas Pembakaran dalam Pemanfaatan Sumber Daya Alam...................3
2.1.3 Pembakaran Lahan Tidur dan Penguasaan Lahan..........................................3
2.1.4 pengguna api yang bersifat insidentil..............................................................4
2.2 Kebakaran Lahan Gambut.................................................................................4
2.2.1 Penyebab Kebakaran Hutan Dan Lahan Gambut...........................................5
2.2.2 Faktor Yang mempengaruhi kebakaran Lahan Gambut.................................5
2.2.3 Faktor pendukung kerawanan terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut
6
2.3 Karateristik Asap Kebakaran........................................................................6
2.4 Komposisi Asap Kebakaran..........................................................................7
2.5 Dampak Kebakaran Hutan Dan Lahan........................................................8
2.5.1 Terdegradasinya kondisi lingkungan..............................................................8
2.5.2 Aspek sosial ekonomi.....................................................................................9
2.5.3 Pengaruh Kebakaran Hutan Dan Lahan Terhadap Indeks Pencemaran Udara
9
2.5.4 Pengaruh Kebakaran Lahan Terhadap Kesehatan........................................11
2.6 Penggunaan Alat Pelindung diri terhadap Polusi Asap Kebakaran.................14
2.7 Upaya Yang Harus Dilakukan Untuk Mencegah Kebakaran Lahan...............14
2.7.1 Pengelolaan Kebakaran Yang Dapat Dilakukan...........................................15

ii
2.7.2 Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan dan lahan....................................17
BAB III METODOLOGI....................................................................................20
3.1 Kerangka Konsep........................................................................................20
3.2 Jenis Penelitian............................................................................................20
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian.....................................................................21
3.4 Teknik Pengambilan Sampel......................................................................21
3.5 Sumber Data................................................................................................21
3.5.1 Sumber Data Primer.........................................................................21
3.5.2 Sumber Data Sekunder.....................................................................21
3.6 Metode Pengumpulan Data.........................................................................21
3.6.1 Uji Laboratorium..............................................................................21
3.6.2 Wawancara.......................................................................................21
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................23
4.1 Data Pemantauan Kualitas Udara Tahun 2014.....................................23
4.2 Hasil Pemantauan Kualitas Udara Tahun 2015....................................24
4.3 Dampak Pencemaran Udara Akibat Kebakaran Lahan Gambut.......26
4.4 Pengendalian, Pencegahan dan K3 Pencemaran Udara Akibat
Kebakaran hutan.................................................................................................27
4.4.1 Pencegahan kebakaran hutan dan pelindung diri akibat asap
kebakaran 27
4.4.2 Pengendalian kebakaran hutan.........................................................28
BAB V PENUTUP................................................................................................29
5.1 Kesimpulan.................................................................................................29
5.2 Saran............................................................................................................29
SOAL LATIHAN.................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................33

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Indeks Standar Pencemaran Udara di Indonesia........................................7


Tabel 2. Pengaruh polutan asap kebakaran pada sistem pernapasan dan organ lain
.................................................................................................................................9
Tabel 3. Laporan pemantauan kualitas udara tahun 2014 tahap I..........................15
Tabel 4. Hasil pemantauan kualitas udara tahun 2014 tahap I...............................15
Tabel 5. Laporan pemantauan kualitas udara tahun 2014 tahap II.........................15
Tabel 6. Hasil pemantauan kualitas udara tahun 2014 tahap II.............................16
Tabel 7. Laporan hasil uji pemantauan kualitas udara tahun 2015........................16
Tabel 8. Hasil laboratorium kualitas udara di Jl A. Yani Km 12 tahun 2015........16
Tabel 9. Standar baku mutu udara ambient............................................................17

iv
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
taufik dan hidayah-Nya maka usaha–usaha dalam menyelesaikan tugas mata
kuliah Hukum Lingkungan Hidup, penulis dapat terselesaikan sesuai harapan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Hanafi
Ramsi, S.H., M.H. selaku dosen mata kuliah Hukum Lingkungan Hidup.
Saran dan kritik yang konstruktif tetap diharapkan serta akan dijadikan
sebagai bahan perbaikan dan penyempurnaan Makalah “Pengaruh Kabut Asap
terhadap Pencemaran Udara dan Kesehatan Lingkungan Kerja di Km12 Gambut
Kab. Banjar” penulis mohon maaf apabila ada kekurangan dalam penyusunannya.
Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Banjarbaru, 29 Juni 2023

Penulis

v
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Udara merupakan faktor yang penting dalam hidup dan kehidupan. Namun
pada era modern ini, pencemaran udara merupakan salah satu kerusakan
lingkungan yang menyebabkan turunnya kualitas udara karena masuknya unsur-
unsur berbahaya ke atmosfer bumi. Unsur-unsur berbahaya yang masuk ke dalam
atmosfer tersebut bisa berupa karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida (NO2),
Chloro Fluoro Carbon (CFC), sulfur dioksida (SO2), hidrokarbon (HC), benda
partikulat, timah (Pb), dan karbon dioksida (CO2). Unsur-unsur tersebut bisa
disebut juga sebagai polutan atau jenis-jenis bahan pencemar udara. Masuknya
polutan  ke dalam atmosfer yang menjadikan terjadinya pencemaran udara.  Pada
Musim kemarau pencemaran udara paling sering ditimbulkan oleh kebakaran
hutan atau lahan.
Penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia secara umum disebabkan
oleh dua faktor. Pertama, karena faktor kelalaian manusia yang sedang
melaksanakan aktivitasnya di dalam hutan. Kedua, karena faktor kesengajaan,
yaitu kesengajaan manusia yang membuka lahan dan perkebunan dengan cara
membakar. Kebakaran hutan terjadi karena faktor kelalaian manusia dan faktor
kesengajaan membakar hutan. Seperti yang terjadi di Kalimantan Selatan terutama
di daerah sekitar Banjarmasin, Gambut, Banjarbaru dan Martapura dimana
pembukaan lahan dengan cara membakar dilakukan pada saat pembukaan lahan
baru atau untuk peremajaan tanaman industri pada wilayah hutan. Pembukaan
lahan dengan cara membakar dilakukan karena biayanya murah, tapi jelas cara ini
tidak bertanggung jawab dan menimbulkan dampak yang sangat luas. Kerugian
yang ditimbulkannya juga sangat besar. Kebakaran hutan dan lahan menyebabkan
terjadinya kerusakan lingkungan, kabut asap dapat menyebabkan ganguan
terhadap kesehatan.
Hal tersebut ditunjukkan dengan menurunnya kualitas udara di Kalimantan
Selatan dimana kadar TSP (Total Suspended Solid) di Jl. Ahmad Yani Km 12
mengalami peningkatan dari 6,4 µg/m3 pada pengukuran terakhir di tahun 2014
meningkat menjadi 356,67 pada pengukuran tahap I di tahun 2015. Adapun

1
partikel tersebut dapat menyebabkan gangguan pernapasan bagi manusia.
Diperlukan suatu perilaku agar dapat menjamin Kesehatan dan Keselamatan
dalam lingkup transportasi jalan raya. Maka dari itu, kami mengambil judul
Pengaruh Kabut Asap terhadap Pencemaran Udara dan Kesehatan Lingkungan
Kerja di Km12 Gambut Kab. Banjar.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan Masalah dari peneulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Apa dampak yang ditimbulkan dari Pencemaran Udara akibat kebakaran
hutan bagaimana ?.
2. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi pencemaran
udara akibat kebakaran hutan ?.
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari Penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari Pencemaran Udara akibat
kebakaran hutan.
2. Dapat mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi
pencemaran udara akibat kebakaran hutan.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan ini adalah :
1. Dapat Mengetahui suatu masalah di lingkungan dan dapat Memecahkan
masalah yang ditimbulkan akibat Pencemaran udara.
2. Diharapkan dapat mencegah penyakit akibat dari pencemaran udaran akibat
kebakaran hutan.
3. Diharapkan dapat menambah wawasan tentang pencemaran udara akibat
kebakaran hutan.

2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Faktor Penyebab Kebakaran


Penyulut awal api (trigger) yang selama ini telah diketahui di hutan hutan
rawa gambut Indonesia umumnya adalah :
2.1.1 Pembakaran Vegetasi
Sudah menjadi tradisi kebanyakan masyarakat petani tradisional terutama di
luar Jawa, baik masyarakat tingkat petani penggarap maupun tingkat pelaku
usaha, pada saat persiapan lahan pertaniannya dilakukan dengan cara membakar
vegetasi gulma semak belukar. Akibat tidak dikendalikan, maka api menyebar
sangat luas. Peristiwa tersebut dapat ditemukan pada ladangladang masyarakat,
dalam pembukaan areal HTI yang melanggar peraturan, dan perkebunan yang
melanggar ketentuan.
2.1.2 Aktivitas Pembakaran dalam Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Kebakaran juga sering diakibatkan oleh api yang berasal dari aktivitas
manusia selama pemanfaatan sumberdaya alam, misalnya pembakaran semak
belukar yang menghalangi akses mereka dalam memanfaatkan sumberdaya alam
serta pembuatan api untuk memasak oleh para penebang liar dan pencari ikan
didalam hutan. Aktivitas pembakaran semak belukar untuk memasang perangkap
ikan, dan pembakaran untuk berburu hewan liar. Kelalaian mereka dalam
memadamkan api sering berakibat pada terjadinya kebakaran hutan.
2.1.3 Pembakaran Lahan Tidur dan Penguasaan Lahan
Pembukaan lahan tidur sering terjadi di kiri dan kanan jalan raya sepanjang
perbatasan Banjarbaru, Banjarmasin, Palangkaraya hingga Kota Sampit. Pemilik
lahan tidur membakar lahannya pada saat musim kering agar lahannya tidak
menjadi hutan dan untuk menunjukkan kepemilikan saat ada pembeli. Pohon-
pohon galam (Malaleuca leucadendron) atau gerunggang 5 (Cratoxylon
arborescens) tingkat pancang ditebangnya bersama semak belukar, kemudian
dikeringkan dan selanjutnya dibakar. Jika api sisa dibiarkan lebih dari satu hari ia
akan terus menjalar menuju bawah permukaan tanah gambut (ground fire).
Padahal tanah tersebut tidak digunakan sama sekali setelah dibakar. Kebiasaan
tersebut berlangsung setiap tahun saat musim kemarau. Api sering juga digunakan

3
masyarakat lokal untuk memperoleh kembali hak-hak mereka atas lahan yang
telah digunakan perusahaan perkebunan kelapa sawit.
2.1.4 pengguna api yang bersifat insidentil
Seperti perilaku merokok saat melakukan perjalanan dengan kendaraan
bermotor dan saat melakukan suatu kegiatan di dalam hutan yang kemudian
membuang sembarang puntung rokok yang masih menyala. Ketiga pengguna api
pertama tersebut biasanya berada di desa-desa sekitar hutan (Akbar, 2014).
2.2 Kebakaran Lahan Gambut
Kebakaran lahan gambut lebih berbahaya dibandingkan kebakaran pada
lahan kering (tanah mineral). Selain kebakaran vegetasi di permukaan, lapisan
gambut juga terbakar dan bertahan lama, sehingga menghasilkan asap tebal akibat
terjadi pembakaran tak-sempurna. Limin et al. (2003) menyatakan bahwa
kedalaman lapisan gambut terbakar rata-rata 22.03 cm (variasi antara 0 – 42.3 cm)
namun pada titik tertentu lapisan dapat terbakar mencapai 100 cm. Oleh karena itu
pemadaman kebakaran pada lahan gambut sangat sulit dan memerlukan banyak
air. Pengalaman TSA sejak 1997, Limin et al. (2003) melaporkan bahwa untuk
memadam total seluas 1m2 lahan gambut diperlukan air sebanyak 200 – 400 liter
sebagai pengaruh dari kerapatan limbak gambut. Dilaporkan pula bahwa ada 9 ciri
kebakaran pada lahan gambut berlangsung cepat dan mudah dipadamkan, yaitu :
1. kebakaran vegetasi di atas lapisan gambut
2. lapisan gambut terbakar tergantung kedalaman air tanah
3. kebakaran pada lapisan gambut sulit dipadamkan dan bertahan lama
4. kebakaran menghasilkan asap tebal karena terjadi pembakaran tak sempurna,
5. api dapat merambat melalui lapisan bawah, walaupun vegetasi di atasnya
belum terbakar atau masih segar,
6. banyak pohon tumbang dan pohon mati tapi masih berdiri tegak
7. terdapat jenis vegetasi mudah terbakar
8. bekas kebakaran gambut ditutupi arang, dan
9. penyemprotan air pada gambut yang sedang terbakar tidak hingga padam
total, akan menyebabkan produk asap semakin tebal (Limin, 2006)
Proses kebakaran adalah sebuah proses kompleks yang melibatkan api,
bahan bakar, faktor iklim termasuk ketinggian dan meteorologi. Pembakaran

4
bahan organik adalah proses oksidasi yang menghasilkan uap air dan
karbondioksida (CO2) sehingga terbentuk senyawa yang tidak teroksidasi
sempurna (misalnya karbon monoksida) atau terbentuk senyawa tereduksi
(misalnya metana dan amonia). Senyawa ini ditemukan dalam asap yang terdiri
dari partikel terhirup iritan dan gas serta dalam beberapa kasus mungkin
karsinogenik. Asap sendiri adalah kompleks campuran dengan komponen yang
bergantung pada jenis bahan bakar, kadar air, bahan bakar aditif seperti pestisida
yang disemprot pada dedaunan atau pohon.
2.2.1 Penyebab Kebakaran Hutan Dan Lahan Gambut
Lebih dari 99% penyebab kebakaran hutan dan lahan gambut adalah akibat
ulah manusia, baik yang sengaja melakukan pembakaran ataupun akibat kelalaian
dalam menggunakan api. Hal ini didukung oleh kondisi-kondisi tertentu yang
membuat rawan terjadinya kebakaran, seperti gejala El Nino, kondisi fisik gambut
yang terdegradasi dan rendahnya kondisi sosial ekonomi masyarakat. Penyebab
kebakaran oleh manusia dapat dirincikan sebagai berikut:
1. Pembakaran vegetasi Kebakaran yang disebabkan oleh api yang berasal dari
pembakaran vegetasi yang disengaja tetapi tidak dikendalikan pada saat
kegiatan, misalnya dalam pembukaan areal HTI dan perkebunan serta
penyiapan lahan pertanian oleh masyarakat.
2. Aktivitas dalam pemanfaatan sumber daya alam Kebakaran yang disebabkan
oleh api yang berasal dari aktivitas manusia selama pemanfaatan sumber daya
alam, misalnya pembakaran semak belukar yang menghalangi akses mereka
dalam pemanfaatan sumber daya alam serta pembuatan api untuk memasak
oleh para penebang liar dan pencari ikan di dalam hutan. Keteledoran mereka
dalam memadamkan api dapat menimbulkan kebakaran.
3. Penguasaan lahan Api sering digunakan masyarakat lokal untuk memperoleh
kembali hak-hak mereka atas lahan (Tacconi, 2003).
2.2.2 Faktor Yang mempengaruhi kebakaran Lahan Gambut
Indonesia memiliki lahan gambut sekitar 20,6 juta hektar, yang menempati
50% luas lahan gambut tropika dunia atau sekitar 10,8% dari luas daratan
Indonesia (Wahyunto et al, 2005). Lahan gambut di Indonesia menyebar di
beberapa pulau di Sumatra (41,1%), Papua (23,1%), Kalimantan (22,8 %),

5
Sulawesi (1,6%), dan Halmahera-Seram (0,5%). Hutan yang tumbuh di atas lahan
gambut sebagai hutan rawa gambut merupakan ekosistem yang memiliki
karakteristik khas yaitu memiliki lapisan tanah gambut dangkal (0,5 - 1m) hingga
dalam (>3m), dan keanekaragaman hayati yang berbeda dengan hutan hujan tropis
di lahan kering mineral. Tanah gambut dan vegetasi yang tumbuh di atasnya
merupakan bahan bakar potensial yang apabila mengalami kekeringan akan
mudah terbakar. Tanah gambut bersifat kering tak balik (ireversible drying) yang
apabila kekeringan dalam waktu lama akan sulit mengikat air kembali sehingga
rawan terbakar. Hutan rawa gambut yang telah terdegradasi juga sangat sulit
untuk dipulihkan. Sebagian kalangan pengamat kebakaran hutan dan lahan
menganggap bahwa terjadinya kebakaran hutan yang berulang merupakan gejala
pengelolaan hutan tidak bijaksana. Pada dasarnya anggapan ini berhubungan
dengan adanya faktor-faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan dan lahan di
Indonesia. Adanya bahan-bakar berlimpah pada lantai hutan dan lahan dan gejala
alam El-Nino telah menjadi pendukung utama terjadinya kebakaran. Faktor faktor
pendukung lainnya meliputi penguasaan lahan yang terlalu luas oleh masyarakat,
alokasi penggunaan lahan yang tidak tepat atau lemahnya kebijakan tataguna
hutan, degradasi hutan dan lahan yang terus berlangsung, pertimbangan ekonomi
lahan, dan dampak perubahan karakteristik kependudukan.
2.2.3 Faktor pendukung kerawanan terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut
Kerawanan terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut tertinggi terjadi
pada musim kemarau dimana curah hujan sangat rendah dan intensitas panas
matahari tinggi. Kondisi ini pada umumnya terjadi antara bulan Juni hingga
Oktober dan kadang pula terjadi pada bulan Mei sampai November. Kerawanan
kebakaran semakin tinggi jika ditemukan adanya gejala El Nino, Pembuatan
kanal-kanal dan parit di lahan gambut telah menyebabkan gambut mengalami
pengeringan yang berlebihan di musim kemarau dan mudah terbakar, Areal rawa
gambut merupakan lahan yang miskin hara dan tergenang air setiap tahunnya,
sehingga kurang layak untuk pertanian (Adinugroho,2008).
2.3 Karateristik Asap Kebakaran
Beberapa faktor yang berperan seperti cuaca, fase kebakaran dan struktur
tanah dapat mempengaruhi sifat api dan efek asap kebakaran. Secara umum cuaca

6
berangin membuat konsentrasi asap lebih rendah karena asap akan bercampur
dengan udara. Sistem cuaca regional akan membuat api kebakaran menyebar lebih
cepat dan membawa dampak yang lebih besar. Intensitas panas, khususnya saat
awal kebakaran akan membawa asap ke udara dan menetap, kemudian turun jika
suhu menurun. Asap kebakaran pertama biasanya langsung dibawa angin
sehingga menjadi prediksi area yang terbakar. Beberapa produk pembakaran
dikategorikan sebagai berikut :
1. Partikel
2. Polynuclear aromatic hydrocarbon
3. Karbon monoksida
4. Aldehid
5. Asam organik
6. Semivolatile dan senyawa organik yang mudah menguap
7. Radikal bebas
8. Ozon
9. Fraksi partikel anorganik.
2.4 Komposisi Asap Kebakaran
Asap merupakan perpaduan atau campuran karbon dioksida, air, zat yang
terdifusi di udara, zat partikulat, hidrokarbon, zat kimia organik, nitrogen oksida
dan mineral. Ribuan komponen lainnya dapat ditemukan tersendiri dalam asap.
Komposisi asap tergantung dari banyak faktor, yaitu jenis bahan pembakar,
kelembaban, temperatur api, kondisi angin dan hal lain yang mempengaruhi
cuaca, baik asap tersebut baru atau lama. Jenis kayu dan tumbuhan lain yang
terdiri dari selulosa, lignin, tanin, polifenol, minyak, lemak, resin, lilin dan tepung,
akan membentuk campuran yang berbeda saat terbakar.
Materi partikulat atau Particulate Matter (PM) merupakan bagian penting dalam
asap kebakaran untuk pajanan jangka pendek (jam atau mingguan). Materi
partikulat adalah partikel tersuspensi, yang merupakan campuran partikel solid
dan droplet cair. Karakteristik dan pengaruh potensial materi partikulat terhadap
kesehatan tergantung pada sumber, musim, dan keadaan cuaca.
Materi partikulat dibagi menjadi:

7
1. Ukuran lebih dari 10 mm biasanya tidak sampai ke paru; dapat mengiritasi
mata, hidung dan tenggorokan.
2. Partikel kurang atau sama dengan 10 mm; dapat terinhalasi sampai ke paru.
3. Partikel kasar (coarse particles) berukuran 2,5 – 10 mm.
4. Partikel halus (fine particles) berdiameter kurang dari 2,5 mm.
Partikel debu atau materi partikulat melayang (suspended particulate matter)
merupakan campuran sangat rumit berbagai senyawa organik dan anorganik di
udara dengan diameter <1 μm sampai maksimal 500 μm. Materi partikulat akan
berada di udara dalam waktu relatif lama dalam keadaan melayang dan masuk ke
dalam tubuh manusia melalui saluran pernapasan. Karena komposisi materi
partikulat yang rumit dan pentingnya ukuran partikulat dalam menentukan
pajanan, banyak istilah digunakan untuk menyatakan materi partikulat di udara.
Beberapa istilah mengacu pada metode pengambilan sampel udara seperti
suspended particulate matter (SPM), total suspended particulate (TSP) atau
ballack smoke. Polutan lain yang berbahaya adalah karbon monoksida yang tidak
berwarna, tidak berbau, yang dihasilkan dari pembakaran kayu atau material
organik yang tidak sempurna. Kadar tertinggi karbon monoksida adalah saat
smoldering, khususnya dekat api.
2.5 Dampak Kebakaran Hutan Dan Lahan
Dampak kebakaran hutan dan lahan gambut Kebakaran hutan/lahan gambut
secara nyata berpengaruh terhadap terdegradasinya kondisi lingkungan, aspek
sosial ekonomi bagi masyarakat, indeks pencemaran udara dan kesehatan
manusia.
2.5.1 Terdegradasinya kondisi lingkungan
Perubahan kualitas fisik gambut (penurunan porositas total, penurunan kadar air
tersedia, penurunan permeabilitas dan meningkatnya kerapatan lindak). Perubahan
kualitas kimia gambut (peningkatan pH, kandungan N-total, kandungan fosfor dan
kandungan basa total yaitu Kalsium, Magnesium, Kalium, dan Natrium, tetapi
terjadi penurunan kandungan C-organik). Terganggunya proses dekomposisi
tanah gambut karena mikroorganisme yang mati akibat kebakaran, suksesi atau
perkembangan populasi dan komposisi vegetasi hutan juga akan terganggu

8
(benih-benih vegetasi di dalam tanah gambut rusak/terbakar) sehingga akan
menurunkan keanekaragaman hayati.
Rusaknya siklus hidrologi (menurunkan kemampuan intersepsi air hujan ke
dalam tanah, mengurangi transpirasi vegetasi, menurunkan kelembaban tanah, dan
meningkatkan jumlah air yang mengalir di permukaan (surface run off). Kondisi
demikian menyebabkan gambut menjadi kering dan mudah terbakar, terjadinya
sedimentasi dan perubahan kualitas air serta turunnya populasi dan
keanekaragaman ikan di perairan. Selain itu kerusakan hidrologi di lahan gambut
akan menyebabkan jangkauan intrusi air laut semakin jauh ke darat. Gambut
menyimpan cadangan karbon, apabila terjadi kebakaran maka akan terjadi emisi
gas karbondioksida dalam jumlah besar. Sebagai gas rumah kaca, karbondioksida
berdampak pada pemanasan global. Berdasarkan studi ADB, kebakaran gambut
1997 menghasilkan emisi karbon sebesar 156,3 juta ton (75% dari total emisi
karbon) dan 5 juta ton partikel debu. Kebakaran gambut juga menyebabkan
rusaknya kualitas air, sehingga air menjadi kurang layak untuk diminum.
2.5.2 Aspek sosial ekonomi
1. Hilangnya sumber mata pencaharian masyarakat yang masih
menggantungkan hidupnya pada hutan (berladang, beternak,
berburu/menangkap ikan)
2. Penurunan produksi kayu
3. Terganggunya kegiatan transportasi
4. Terjadinya protes dan tuntutan dari negara tetangga akibat dampak asap
kebakaran
5. Meningkatnya pengeluaran akibat biaya untuk pemadaman
2.5.3 Pengaruh Kebakaran Hutan Dan Lahan Terhadap Indeks Pencemaran Udara
Beberapa negara seperti Singapura dan Brunei Darusalam menggunakan
pollutant standard index (PSI) yang dikeluarkan oleh United States Evironmental
Protection Agency (USEPA) untuk melaporkan konsentrasi populasi udara sehari-
hari. Indonesia menggunakan istilah Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU)
atau PSI dengan pembagian sebagai berikut :

9
Tabel 1. Indeks Standar Pencemaran Udara di Indonesia

No. Kadar Kategori


1. PSI 0 – 50 Sehat
2. PSI 51- 100 Sedang
3. PSI 101 – 199 Tidak Begitu Baik
4. PSI 200 - 299 Tidak Sehat
5. PSI 300 – 399 Berbahaya
6. PSI ≥400 Sangat Berbahaya Udara
tercemar akan masuk ke dalam tubuh manusia dan mungkin mempengaruhi
paru dan saluran napas. Komponennya juga diedarkan ke seluruh tubuh; artinya
selain terhisap langsung, manusia dapat
menerima akibat buruk polusi ini dan secara tidak langsung dapat mengkonsumsi
zat makanan atau air yang terkontaminasi. Polusi udara lain yang berdampak
buruk pada kesehatan adalah Ozon (O3), radiasi pengion. Penilaian polusi udara
perlu memperhatikan beberapa hal meliputi :
1. Partikel: TSP, PM 10, PM 2,5, PM 1,0
2. Gas: CO, NOx , SO2
3. Variasi geografis
4. Variasi cuaca
5. Faktor meteorologi.
Asap biomassa yang keluar pada kebakaran hutan mengandung beberapa
komponen yang dapat merugikan kesehatan baik dalam bentuk gas maupun
partikel. Komponen gas dalam biomassa besar yang mengganggu kesehatan
adalah karbon monoksida (CO), sulfurdioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2),
dan aldehid. Beberapa senyawa lain seperti ozon (O3), karbon dioksida (CO2) dan
hidrokarbon juga mempunyai dampak buruk terhadap paru. Bebagai jenis gas
golongan nitrit dan nitrogen organik bisa terbang jauh dan dapat dikonversi
menjadi gas lain seperti ozon atau menjadi partikel dan nitrit organik. Partikel
akibat asap kayu yang terbakar hampir seluruhnya berukuran <1 μm, sebagian
besar antara 0,15 sampai 0,4 μm. Polusi di dalam rumah mempunyai dampak
lebih besar karena penghuni rumah akan terpajan asap dalam konsentrasi tinggi

10
selama bertahun-tahun. Pajanan kebakaran hutan biasanya berlangsung selama 4 –
5 bulan dalam setahun dan intensitasnya tergantung pada luas kebakaran hutan.
2.5.4 Pengaruh Kebakaran Lahan Terhadap Kesehatan
Pengaruh asap terhadap kesehatan terjadi melalui berbagai mekanisme,
antara lain iritasi langsung, kekurangan oksigen yang menimbulkan sesak napas,
serta absorpsi toksin. Cedera termal (luka bakar) terjadi pada daerah terkena pada
permukaan eksternal tubuh, termasuk hidung dan mulut. Luka bakar di bawah
trakea jarang terjadi karena adanya efisiensi saluran napas bagian atas yang
menyerap panas. Kematian karena menghirup asap tanpa luka bakar jarang terjadi
(sekitar < 10 %). Sedangkan kematian karena menghirup asap dengan luka bakar
lebih sering yaitu sekitar (30-50%)
Penurunan kualitas udara sampai taraf membahayakan kesehatan dapat
menimbulkan dan meningkatkan penyakit saluran napas seperti infeksi saluran
napas akut (ISPA). Penderita ISPA di daerah bencana asap meningkat 1,8 – 3,8
kali. Pada saat kebakaran hutan tahun, kualitas udara pada tahap membahayakan
kesehatan dengan kadar debu >1.490 μg/m3 (batas yang diperkenankan 230
μg/m3. Istilah lain lebih mengacu pada tempat di saluran napas, tempat materi
partikulat mengendap yaitu inhalable thoracic particulate yang terutama
mengendap pada saluran napas bagian bawah.8,12 Partikel asap cenderung sangat
kecil dengan ukuran hampir sama dengan panjang gelombang cahaya yang terlihat
atau 0,4- 0,7 mm. Partikel asap tersebut hampir sama dengan fraksi partikel PM
2,5 sehingga dapat menyebar dalam cahaya dan mengganggu jarak pandang.
Partikel halus dapat terinhalasi ke dalam paru sehingga lebih berisiko
mengganggu kesehatan dibandingkan partikel lebih besar. Polutan udara lain yang
dapat mengiritasi saluran pernapasan yaitu akrolein, formaldehid, dan benzena -
karsinogen dalam jumlah lebih rendah dibandingkan materi partikulat dan karbon
monoksida. Secara umum, peningkatan kadar PM 10 μm di udara dihubungkan
dengan :
1. Peningkatan berbagai keluhan pernapasan.
2. Peningkatan kunjungan ke instansi gawat darurat.
3. Peningkatan rawat inap dan risiko kematian.
4. Eksaserbasi akut asma bronkial dan penyakit paru obstruktif kronik.

11
Asap menimbulkan iritasi mata, kulit dan gangguan saluran pernapasan
yang lebih berat, fungsi paru berkurang, bronkitis, asma eksaserbasi, dan kematian
dini. Selain itu konsentrasi tinggi partikel-partikel iritasi pernapasan dapat
menyebabkan batuk terus-menerus, batuk berdahak, kesulitan bernapas dan
radang paru. Materi partikulat juga dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh
dan fisiologi melalui mekanisme terhirupnya benda asing ke paru. Dampak yang
ditimbulkan tergantung dari individu seperti umur, penyakit pernapasan
sebelumnya, infeksi dan kardiovaskuler dan ukuran partikel. Zat asap kebakaran
yang mengenai saluran napas (Aditama, 1999)
1. Karbon monoksida (CO) beredar melalui aliran darah dan paru, mengurangi
pengiriman oksigen ke jaringan tubuh (anoksia) menimbulkan gejala sesak
napas, kebingungan, dan dada terasa berat.7 Konsentrasi CO pada penduduk
tertentu yang terpajan asap api tidak menimbulkan bahaya bermakna kecuali
pada individu yang sensitif; mereka yang memiliki penyakit jantung
mengalami nyeri dada dan aritmia. Pada tingkat pajanan lebih tinggi CO dapat
menyebabkan sakit kepala, lemah, pusing kebingungan, disorientasi, gangguan
penglihatan, koma dan kematian.
2. Sulfurdioksida (SO2), gas pedas yang bisa menimbulkan sesak napas, mengi
karena bronkokonstriksi selanjutnya mengiritasi mukosa pernapasan.
3. Nitrogendioksida (NO2) dikeluarkan selama kebakaran suhu tinggi seperti saat
kebakaran badai.
4. Ozon (O3) dapat mengiritasi tenggorokan.
5. Sianida (CN- ) dihasilkan oleh pembakaran bahan-bahan alami dan sintetik bila
kadar laktat tinggi; dapat berguna sebagai indikator di rumah sakit.
6. Hidrokarbon, contohnya gas benzene hasil pembakaran bahan organik yang
tidak sempurna.
7. Aldehid (akrolin, formaldehid/HCHO) hasil pembakaran bahan organik yang
tidak sempurna.
8. Materi Partikulat (PM), bisa padat atau cair, dihasilkan dari pembakaran tidak
sempurna dengan ukuran dari 0,005 μm sampai 100 μm, dapat menembus
saluran napas sampai ke paru. Inhalasi merupakan satu-satunya jalur pajanan
yang menjadi perhatian kesehatan. Pengaruh materi partikulat bentuk padat

12
maupun cair di udara sangat tergantung pada ukurannya. Ukuran materi
partikulat yang membahayakan kesehatan umumnya berkisar antara 0,1 – 10
μm. Partikulat 5 μm dapat langsung masuk ke dalam paru dan mengendap di
alveoli. Partikulat >5 μm juga berbahaya karena partikulat dapat menganggu
saluran pernapasan bagian atas dan dapat menyebabkan iritasi. Keadaan ini
akan bertambah parah apabila terjadi reaksi sinergis dengan gas SO2 di udara.
Kondisi kronik terpajan polusi udara beracun dengan konsentrasi tinggi sedikit
meningkatkan risiko kanker (Rumajomi,2006).
Tabel 2. Pengaruh polutan asap kebakaran pada sistem pernapasan dan organ lain
Polutan Mekanisme Efek Potensial pada
Kesehatan
Partikulat  Akut: iritasi bronkus,  Mengi, asma eksaserbasi
(partikel kecil < inflamasi dan  Infeksi saluran napas
10 μ, reaktivitas meningkat  Bronkitis kronik dan
diameter aero  Berkurangnya bersihan PPOK
dinamik < 2.5 μ mukosilier  PPOK eksaserbasi
 Mengurangi respons
makrofag
dan imunitas lokal
 Reaksi fibrotik
Karbon  Berikatan dengan  Berat badan bayi lahir
monoksida hemoglobin rendah
menghasilkan karboksi  Meningkatnya kasus
hemoglobin yang dapat kematian
mengurangi transport perinatal
oksigen ke organ vital dan
menyebabkan gangguan
janin
Hidrokarbon Karsinogenik  Kanker paru
aromatik  Kanker mulut, nasofaring dan laring
polisiklik
(benzo-a-pyrene)

13
Nitrogen dioksida  Pajanan akut  Mengi, asma eksaserbasi
menyebabkan reaktivitas  Infeksi saluran napas
bronkus  Berkurangnya fungsi paru
 Pajanan kronik dapat anak
meningkatkan kerentanan
infeksi bakteri
dan virus
Sulfur dioksida  Pajanan akut  Mengi, asma eksaserbasi
menyebabkan  PPOK eksaserbasi
reaktivitas bronkus  Penyakit kardiovaskuler
 Pajanan kronik sulit untuk
memisahkan efek partikel

2.6 Penggunaan Alat Pelindung diri terhadap Polusi Asap Kebakaran


Saat ini cara pencegahan yang banyak digunakan adalah pemakaian masker
karena relatif murah dan dapat disebarluaskan tetapi efektivitasnya masih
dipertanyakan. National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH)
telah melakukan pengujian di Amerika Serikat dan menetapkan beberapa jenis
masker yang mampu menyaring lebih dari 99% partikel silika berukuran 0,5 μm.
Beberapa badan kesehatan lain merekomendasikan masker yang baik yaitu
mampu menyaring lebih dari 95% partikel > 0,3 μm dan biasanya diberi kode
R95, N95, atau P95. Masker ini harus dipasang dengan cukup rapat sehingga
udara tidak dapat masuk di selasela pinggiran masker dan kulit wajah; hal yang
tidak mudah dilakukan. Alat bantu napas bisa digunakan setelah penata laksanaan
lain yang lebih efektif, antara lain dengan mengurangi pajanan, termasuk tinggal
di dalam rumah, dan mengurangi aktivitas, terutama pada individu yang sensitif
(Faisal,2012).
2.7 Upaya Yang Harus Dilakukan Untuk Mencegah Kebakaran Lahan
Upaya terbaik tentu mencegah kebakaran hutan, ini perlu jadi prioritas
utama. Karena keterbatasan sarana kesehatan dalam mencegah bahaya kebakaran
hutan maka usaha pencegahan paling utama adalah mengatasi sumbernya yaitu
memadamkan kebakaran itu sendiri. Perlu dibina kerjasama lintas sektoral

14
kesehatan, lingkungan hidup dan pihak meteorologi yang baik untuk memantau
polusi akibat kebakaran hutan. Kalau asapnya telah menyebar, perlu dilakukan
berbagai tindakan untuk melindungi masyarakat luas dari pajanan asap.
Masyarakat sedapat mungkin melindungi dirinya sendiri dari pajanan asap dan
pemerintah setempat memberikan penyuluhan tentang bahaya dan cara
pencegahan kebakaran hutan.

2.7.1 Pengelolaan Kebakaran Yang Dapat Dilakukan


Pencegahan kebakaran hutan dapat dimulai dari para pengguna api lahan.
Para pengguna api baik masyarakat maupun perusahaan dapat diperankan sebagai
pencegah api liar (wild fire) awal sebelum api menyebar ke lokasi-lokasi lain yang
tidak diinginkan. Apabila api liar telah menyebar secara luas ke seluruh arah, ia
akan menjadi bencana kebakaran yang sangat sulit untuk dipadamkan sekalipun
menggunakan alat teknologi tinggi. Beberapa kali peristiwa kebakaran besar di
rawa gambut telah menjadi pelajaran bagi pelaksana pengendali kebakaran untuk
menentukan strategi pengendalian melalui kegiatan pencegahan dan pemadaman
dini kebakaran. Untuk mengantisipasi bahaya kebakaran dapat dilakukan dengan
membangun hutan 6 tanaman atau kebun yang berisiko kecil kebakaran dan
memberdayakan masyarakat sekitar hutan.
1. Membangun Kebun/Hutan Tanaman Berisiko Kecil Kebakaran Dalam
membangun suatu kebun atau hutan tanaman, seorang petani atau pelaku
usaha akan menggunakan jenis pohon yang komersil, membersihkan lahan,
membuat jarak tanam, mendangir atau membuat gundukan, memberikan
kapur, memupuk, membuat jarak tanam, memelihara tanaman, dan memanen
hasil. Hasil panen dari tanaman pohon dapat berupa kayu, getah dan buah.
Untuk membangun kebun atau hutan tanaman yang memiliki risiko kecil
terhadap kebakaran.
2. Pengembangan Jenis dengan Sistem Agroforestry Jenis-jenis pohon hutan
memiliki ciri-ciri khas didalam mengantisipasi bahaya kebakaran. Secara
alami jenis pohon tertentu seperti gmelina (Gmelina arborea), ampupu
(Eucalyptus alba), angsana (Pterocarpus indicus) dan gamal (Gliricidia
sepium) di lahan kering dapat tumbuh kembali jika terbakar. Demikian pula

15
jenis pohon tanah-tanah (Combretocarpus imbricatus) dan galam (Malaleuca
leucadendron) di lahan bergambut memiliki sifat mudah tumbuh kembali jika
terbakar. Ini menunjukkan bahwa jenis-jenis tersebut tahan terhadap
kebakaran walaupun batangnya telah mengalami kerusakan. Beberapa jenis
pohon hutan yang memenuhi kriteria tepat secara teknis, sosial, ekonomi dan
lingkungan lahan gambut adalah jenis jelutung (Dyera polyphylla Miq),
belangeran (Shorea belangeran), punak (Tetramerista glabra), meranti rawa
(Shorea teysmaniana), nyatoh (Palaquium cochlearia), dan ramin (Gonystilus
bancanus). Pada lapisan gambut yang tipis (hutan kerangas) dan tanah
bergambut, galam (Malaleuca leucodendron) telah banyak dikenal
masyarakat dan diregenerasi secara alami. Dari sekian jenis pohon hutan yang
secara ekologis dianggap cocok di rawa gambut, jenis yang secara sosial telah
banyak dikembangkan dan secara ekonomi telah banyak menguntungkan
masyarakat adalah jenis jelutung atau pantung. Jenis jelutung di Indonesia
hanya terdapat di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan. Pengembangan
jelutung rawa berdasarkan yang berjangka panjang dan mencegah terjadinya
kebakaran. Pembuatan Sekat Bakar Peranan sekar bakar kebun di lahan
gambut pada prinsipnya sama dengan di lahan kering. Perbedaannya adalah
pada lahan gambut, api dapat menyebar lewat bawah permukaan tanah, tetapi
ini terjadi jika kebakaran berlangsung lama misalnya lebih dari 2 hari.
Pembuatan parit selebar 1 meter akan berperan ganda didalam kebun. Parit
dapat berfungsi sebagai sekat bakar bagi api bawah permukaan dan juga
sebagai simpanan air pada saat kemarau.
3. Pembuatan Sumur Air Sumur sebagai persediaan air pada saat musim
kemarau perlu di bangun. Pengalaman pembuatan sumur di Tumbang Nusa
menunjukan bahwa pada bulan Agustus, air masih ditemukan pada
kedalaman 1 meter dari permukaan tanah, sedangkan pada bulan September
kedalaman air tanah menurun menjadi 1,5 meter. Dengan demikian
kedalaman sumur yang mesti dibuat minimal 2,5- 3 meter. Bentuk sumur
dapat persegi empat dengan diameter 1 meter. Stok air tersebut cukup efektif
untuk pemadaman api kecil.

16
4. Pengadaan Alat Pemadam Sederhana Peralatan pemadam sederhana seperti
Kepyok pemukul api permukaan dan Semprot Punggung (Jufa, Indian,
Jetshooter dll) perlu dipunyai oleh kelompok Tani.
5. Pelaksanaan pemadaman dapat dilakukan secara bergotong royong atau
secara perorangan. Strategi pemadaman api dini harus tetap dipegang dan
tidak membiarkan api terlanjur besar yang tidak ramah. Jika memungkinkan,
Pembentukan Regu Pengendali Kebakaran (RPK) desa yang dibentuk melalui
musyawarah desa dapat dilakukan disertai pengadaan alat Pompa Statis untuk
mematikan api sedang. ( > 3 meter). Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
telah merekayasa alat-alat yang dapat dioperasikan dalam pemadaman
kebakaran. Alat-alat pemadam tersebut adalah pompa pemadam jinjing
tekanan tinggi dilengkapi selang 5 rol (100 m), selang isap 4 m, Saringan
(filter), alat gendong mesin, dan nozzle, kantong air portable 1000 liter,
pompa jufa, kepyok, stik jarum, cangkul garu mata panjang, cangkul garu,
cangkul api, dan kapak mata dua, parang dan gergaji tangan. Alat lain yang
diperlukan dalam pemadaman adalah alat komunikasi HT (handy transmiter),
ember, dan papan 2 meter. Berkembangnya teknologi HP (hand phone) dapat
menjadi pendukung komunikasi antar personil pemadam selama signal masih
ada. Personil yang diperlukan dalam mengoperasikan alat-alat tersebut
minimal 15 orang.
6. Pembuatan Tower Pengamat Asap Kebakaran Pada perkebunan berskala luas,
suatu rencana pegelolaan kebakaran (fire management plan) sangat
diperlukan diantaranya memuat keberadaan tower pengamat kebakaran. Di
dalam tower pengamat ditempatkan personil yang setiap saat mengamati asap
yang muncul di musim kemarau. Jika ditemukan asap maka staf jaga dapat
segera menginformasikan adanya api, lokasi api dan besar kecilnya api.
Untuk lahan datar, satu tower pengamat asap kebakaran dapat mengawasi
luasan lahan sekitar 6.000 ha. Pada saat kemarau, staf jaga harus bertugas
setiap saat yang dilengkapi dengan peralatan radio komunikasi, teropong
binokuler dan peta lokasi. Tetapi pada perkebunan rakyat bersekala kecil,
pembangunan tower pengamat kebakaran tidak perlu dilakukan karena
memakan biaya cukup mahal.

17
2.7.2 Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan dan lahan
Memberdayakan masyarakat untuk melakukan pengendalian kebakaran
secara mandiri merupakan kunci keberhasilan dalam pengendalian kebakaran
hutan dan lahan. Dengan berulangnya peristiwa kebakaran di beberapa wilayah
propinsi, dari fihak masyarakat pemerhati lingkungan dan masyarakat perduli api
telah timbul inovasi-inovasi baru tentang pengendalian kebakaran lahan dan
hutan. Pemikiran baru tersebut adalah bahwa kebakaran lahan harus ditangani
oleh masyarakat yang berdekatan dengan kejadian api awal. Api yang selama ini
timbul adalah berasal dari api kecil yang disulut manusia pengguna api di lahan.
Sedangkan lahan yang telah terbukti mengalami pembakaran setiap tahun adalah
lahan-lahan pertanian dan perladangan. Mungkin sebagian kecil saja adanya
kebakaran akibat kelalaian buang puntung 11 rokok, akibat asap mesin alat berat
dan penyebab kelalaian lainnya. Demikian pula adanya kebakaran akibat gesekan
alami, petir dan batubara sangat sulit dibuktikan di daerah tropis. Dengan dasar
api awal dari luasan-luasan kecil di desa-desa maka upaya pemberdayaan
masyarakat desa bahkan kampung menjadi penentu keberhasilan pencegahan
terjadinya kebakaran. Pertimbangan lain yang mendasari perlunya pengendalian
kebakaran berbasis masyarakat desa adalah sebagai berikut : (Marbyanto, 2003)
a. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia umumnya disebabkan oleh faktor
manusia. Oleh karenanya peran serta masyarakat dalam pencegahan
kebakaran akan mengurangi munculnya kebakaran hutan dan lahan.
b. Kelompok yang paling dirugikan oleh adanya kebakaran hutan dan lahan
umumnya adalah masyarakat yang tinggal di lokasi kebakaran, Oleh
karenanya sudah sewajarnya bila mereka terlibat secara aktif dalam upaya
pengelolaan kebakaran hutan dan lahan.
c. Masyarakat mempunyai potensi sumberdaya (tenaga, natura/barang) yang
sangat besar untuk menunjang kegiatan pengelolaan kebakaran sebagai
pelengkap dari sumberdaya pemerintah yang masih terbatas.
d. Masyarakat biasanya banyak berdomisili di daerah-daerah yang berdekatan
dengan areal rawan kebakaran sehingga mereka sangat potensial untuk
melakukan serangan dini (initial attack) dalam pengendalian kebakaran.

18
Initial attack tersebut sangat penting untuk mencegah terjadinya kebakaran
besar dan luas.
e. Masyarakat di Kalimantan dan Sumatera mempunyai budaya menggunakan
api untuk membuka lahan pertaniannya sehingga untuk menerapkan zero
burning (tanpa pembakaran) masih sangat sulit. Suatu kompromi yang paling
mungkin saat ini adalah ”bagaimana melakukan pengelolaan api” agar api
yang dibuat tidak berdampak negatif yang besar pada lingkungan
(Akbar,2014).

19
BAB III METODOLOGI

3.1 Kerangka Konsep


Kerangka konsep yang akan menjadi penunjuk dalam penelitian ini dapat
dilihat dari diagram alir berikut:

20
Gambar 1. Skema kerangka konsep penelitian

Observasi Lapangan

Uji Laboratorium

Baku mutu TSP


melebihi ambang batas

Studi literatur dan


Wawancara

Sumber, Dampak,
21Pengendalian, dan
Pencegahan Pencemaran
Udara
3.2 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriprif. Pada
penelitian ini menggunakan pemeriksaan laboratorium secara kualitatif dengan
bantuan BLHD Kab. Banjar. Penelitian kualitatif dilakukan bertujuan untuk
mengetahui kualitas udara ambien dengan parameter debu (TSP), SO 2, NO2, CO,
dan O3 apakah terjadi pencemaran udara atau tidak.

3.3 Tempat dan Waktu Penelitian


Pengambilan sampel dilakukan di Jl. A.Yani Km 12 Gambut Kab. Banjar
oleh Petugas Pengambil Contoh (PPC) Balai Riset dan Standarisasi Industri pada
tanggal 4 September 2015.

3.4 Teknik Pengambilan Sampel


Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel menggunakan
metode pasif oleh petugas pengambil contoh (PPC) Balai Riset dan Standardisasi
Industri. Metode pasif yaitu pengukuran kualitas udara amien dengan parameter
gas (CO, Sox, NOx, dsb) dan parameter partikulat.

3.5 Sumber Data


3.5.1 Sumber Data Primer
Data primer adalah data yang memberi informasi langsung kepada
pengumpul data (Andi, 2011). Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari
data uji laboratorium dengan bantuan BLHD Kab. Banjar.
3.5.2 Sumber Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang tidak memberikan informasi langsung
kepada pengumpul data (Andi, 2011). Data sekunder dalam penelitian ini
diperoleh dari data hasil pemantauan kualitas udara tahun 2014 dari BLHD
Kab. Banjar, wawancara serta hasil dokumentasi yang berupa foto dan
literatur terkait.

22
3.6 Metode Pengumpulan Data
3.6.1 Uji Laboratorium
Uji laboratorium atau riset laboratorium adalah melakukan eksperimen
melalui percobaan tertentu dengan menggunakan alat-alat atau fasilitas yang
tersedia di laboratorium penelitian (Rosady, 2004). Uji laboratorium pada
penelitian ini digunakan untuk memperoleh data kualitas udara ambien di
Gambut Km12 Kab. Banjar apakah terjadi pencemaran udara atau tidak.
3.6.2 Wawancara
Wawancara merupakan percakapan antara dua orang atau lebih dan
berlangsung antara narasumber dan pewawancara. Wawancara ini dilakukan
secara tidak terstruktur untuk memperoleh informasi tambahan yang
dibutuhkan oleh peneliti.

23
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengukuran kualitas udara oleh BLHD Kab. Banjar dilakukan di halaman Jl.
A. Yani Km. 12 Kab. Banjar. Pemilihan lokasi Jl. A. Yani Km. 12 mewakili
kawasan hutan dengan pemukiman penduduk yang relatif tidak padat. Km. 12
Gambut juga merupakan ruas jalan kota yang sering di lalui banyak kendaraan
bermotor.
4.1 Data Pemantauan Kualitas Udara Tahun 2014
BLHD Kabupaten Banjar melakukan kegiatan pemantauan kualitas udara
secara rutin setiap tahunnya. Data pemantauan kualitas udara tahun 2014 tahap I
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3. Laporan pemantauan kualitas udara tahun 2014 tahap I
HASIL PENGUJIAN
No. PARAMETER SATUAN
(Jl. A. Yani km. 12)
1 Suhu ᵒC 33
2 Kelembaban ᵒ0 74
3 Arah Angin - Timur Laut
4 Kecepatan Angin ms 0.82 - 1.93
Tabel 4. Hasil pemantauan kualitas udara tahun 2014 tahap I
HASIL PENGUJIAN BAKU MUTU
No. PARAMETER SATUAN LOD
(Jl. A. Yani km. 12)
1 Debu (TSP) µg/m3 0,1 7,6 230
2 Sulfur Dioksida (SO2) µg/m3 1 16,5 900
3 Nitrogen Dioksida (NO2) µg/m3 1 34,4 400
4 Karbon Monoksida (CO) µg/m3 114 1803 30000
5 Ozon (O3) µg/m3 6 24,6 235

Berdasarkan data hasil pemantauan kualitas udara tahun 2014 tahap I pada
Tabel 4, terlihat bahwa konsentrasi polutan TSP, SO 2, NO2, CO dan O3 masih
dalam batas normal, tidak melebihi standar baku mutu kualitas udara ambien.
Data pemantauan kualitas udara tahun 2014 tahap II dapat dilihat pada Tabel 5
dan 6 sebagai berikut:
Tabel 5. Laporan pemantauan kualitas udara tahun 2014 tahap II
HASIL PENGUJIAN
No. PARAMETER SATUAN
(Jl. A. Yani km. 12)

24
1 Suhu ᵒC 30
2 Kelembaban ᵒ0 77
3 Arah Angin - Timur
4 Kecepatan Angin ms 0.30 - 1.30
Tabel 6. Hasil pemantauan kualitas udara tahun 2014 tahap II
HASIL PENGUJIAN BAKU MUTU
No. PARAMETER SATUAN LOD
(Jl. A. Yani km. 12)
1 Debu (TSP) µg/m3 0,1 6,4 230
2 Sulfur Dioksida (SO2) µg/m3 1 11,0 900
3 Nitrogen Dioksida (NO2) µg/m3 1 2,7 400
4 Karbon Monoksida (CO) µg/m3 114 1356 30000
5 Ozon (O3) µg/m3 6 9,2 235

Berdasarkan data hasil pemantauan kualitas udara tahun 2014 tahap II pada
Tabel 6, terlihat bahwa konsentrasi polutan TSP, SO 2, NO2, CO dan O3 masih
dalam batas normal, tidak melebihi standar baku mutu kualitas udara ambien.
Hasil perbandingan antara pemantauan kualitas udara di Jl. A. Yani Km 12 tahun
2014 tahap I dan II yaitu beberapa parameter polutan yang diuji mengalami
penurunan konsentrasi dari tahap sebelumnnya.
4.2 Hasil Pemantauan Kualitas Udara Tahun 2015
Berdasarkan hasil uji laboratorium pemantauan kualitas udara tahun 2015
pada 4 September 2015, maka diperoleh kandungan parameter debu (TSP), sulfur
dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), karbon monoksida (CO), dan ozon (O 3)
di udara ambien sebagai berikut:
Tabel 7. Laporan hasil uji pemantauan kualitas udara tahun 2015
HASIL PENGUJIAN
No. PARAMETER SATUAN
(Jl. A. Yani km. 12)
1 Suhu ᵒC 29 – 33
2 Kelembaban ᵒ0 37 – 55
3 Arah Angin - U–S
4 Kecepatan Angin ms 0.82 - 1.93

25
Tabel 8. Hasil laboratorium kualitas udara di Jl A. Yani Km 12 tahun 2015
HASIL PENGUJIAN BAKU MUTU
No. PARAMETER SATUAN LOD
(Jl. A. Yani km. 12)
1 Debu (TSP) µg/m3 0,1 356,67 230
2 Sulfur Dioksida (SO2) µg/m3 1 37,2 900
3 Nitrogen Dioksida (NO2) µg/m3 1 1,1 400
4 Karbon Monoksida (CO) µg/m3 114 2380,4 30000
5 Ozon (O3) µg/m3 6 31,34 235

Berdasarkan hasil pemantauan kualitas udara tahun 2015 pada Tabel 8,


terlihat bahwa konsentrasi beberapa parameter yang diuji terjadi peningkatan yang
signifikan dibandingakan dengan data tahun 2014.
Parameter CO, O3 dan SO2 merupakan polutan yang konsentrasinya
meningkat meskipun masih dalam batas normal standar baku mutu udara ambien.
Peningkatan konsentrasi CO, O3 dan SO2 di Km. 12 Gambut disebabkan karena
lokasi tersebut merupakan jalan raya yang sering di lalui kendaraan bermotor.
Sebuah hasil penelitian yang dilakukan Rusdian Lubis dan Widodo Sambodo
(1994), dalam jurnal Sigit dan Jamyamah (2012) menyatakan bahwa kendaraan
bermotor menyumbang lebih dari 50% pencemaran udara di atas bumi ini.
Menurut Soedomo (1990), trasportasi darat memberikan konstribusi yang
signifikan terhadap setengah dari total emisi SPM10, untuk sebagian besar timbal,
CO, HC, dan NOx di daerah perkotaan, dengan konsentrasi utama terdapat di
daerah lalu lintas yang padat. Selain itu berdasarkan hasil observasi di lapangan,
ditemukan ± 5 kilometer dari titik pengujian terdapat kebakaran hutan. Menurut
Faisal, dkk (2012), sejumlah besar bahan kimia asap kebakaran hutan meliputi
partikel dan komponen gas seperti sulfur dioksida (SO2), karbon monoksida (CO),
formaldehid, akrelein, benzen, nitrogen oksida (NOx) dan ozon (O3) yang juga
berpengaruh terhadap peningkatan parameter CO, O3 dan SO2 seperti di km. 12
Gambut.
Saat pengambilan sampel oleh petugas pengambil contoh (PPC) Balai
Ristek Standardisasi Industri cuacanya berkabut akibat dari kebakaran hutan di
lahan gambut. Peningkatan TSP di Km. 12 Gambut menyebabkan pencemaran
udara. Konsentrasi debu (TSP) di Km. 12 Gambut tahun 2015 sebesar 356,67
µg/m3 telah melebihi standar baku mutu yang diperbolehkan berdasarkan PP No
41 tahun 1999 yaitu 230 µg/m3, seperti ditunjukan pada Tabel 9.

26
Tabel 9. Standar baku mutu udara ambient
Parameter Baku mutu yang diperbolehkan
NO2 400 µg/m3 / 1 jam
CO 30.000 µg/m3 / 1 jam
SO2 900 µg/m3 / 1 jam
O3 235 µg/m3 / 1 jam
TSP 230 µg/m3 / 24 jam
Sumber : (PP No. 41, 1999)
Data menunjukkan bahwa akibat kebakaran hutan di Indonesia, ambang
batas total suspended particulate (TSP) sebesar 230 telah terlampaui di beberapa
provinsi (Faisal. dkk, 2012).
4.3 Dampak Pencemaran Udara Akibat Kebakaran Lahan Gambut
Dampak dari kebakaran hutan dan pencemaran udara akibat kabut asap yang
berkepanjangan sangat berpengaruh terhadap terdegradasinya kondisi lingkungan,
aspek sosial ekonomi masyarakat, indeks pencemaran udara dan kesehatan
manusia.
Ekosistem hutan rawa di Jl. Gubernur Syarkawi dekat rumah sakit jiwa
Sambang Lihum telah rusak. Berdasarkan laporan dari pihak rumah sakit yang
mengeluh akan banyaknya hewan liar seperti monyet yang mengganggu dan
merusak fasilitas rumah sakit, hal ini terjadi karna habitatnya yang telah rusak
terbakar.
Menurut analisa Greenpeace (2015), terdapat kaitan antara kebakaran hutan
dengan deforestasi lahan gambut di Kalimantan dan Sumatera. Banyak dari lahan
gambut ini akan dibuka untuk sektor perkebunan. Lahan gambut Indonesia
merupakan salah satu tempat penyimpanan karbon terbesar di dunia. Pembukaan
dan pengeringan lahan gambut, terutama untuk sektor perkebunan menciptakan
kondisi dimana api akan membara, melepaskan banyak CO2 sehingga dapat
mencemari udara dan merusak iklim global.
Dampak lain juga dirasakan pada aspek sosial ekonomi yaitu, seperti
terganggunya aktivitas masyarakat karna kabut asap, meningkatnya pengeluaran
pemerintah akibat biaya untuk pemadaman dan tidak luput juga bidang kesehatan.

27
Asap dari kebakaran ini mengganggu kesehatan masyarakat, tidak hanya di
desa-desa tetapi juga daerah perkotaan diseluruh wilayah tersebut. Pengaruh asap
menimbulkan gangguan saluran pernapasan yang lebih berat, fungsi paru
berkurang, bronkitis, asma eksaserbasi, dan kematian dini. Selain tiu konsentrasi
tinggi partikel-partikel iritasi pernapasan dapat menyebabkan batuk terus-
menerus, batuk berdahak, kesulitan bernapas dan radang paru. Materi partikulat
juga dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dan fisiologi melalui
mekanisme terhirupnya benda asing ke paru. Dampak yang ditimbulkan
tergantung dari individu seperti umur, penyakit pernapasan sebelumnya, infeksi
dan kardiovaskuler dan ukuran partikel (Schwela, 2001).
Penurunan kualitas udara sampai taraf membahayakan kesehatan dapat
menimbulkan dan meningkatkan penyakit saluran napas seperti infeksi saluran
napas akut (ISPA). Penderita ISPA di daerah bencana asap meningkat 1,8 – 3,8
kali. Pada saat kebakaran hutan tahun, kualitas udara pada tahap membahayakan
kesehatan dengan kadar debu >1.490 μg/m3 (batas yang diperkenankan 230
μg/m3. Udara tercemar akan masuk ke dalam tubuh manusia dan mungkin
mempengaruhi paru dan saluran pernafasan bahkan berdampak kematian.
4.4 Pengendalian, Pencegahan dan K3 Pencemaran Udara Akibat
Kebakaran hutan
4.4.1 Pencegahan kebakaran hutan dan pelindung diri akibat asap kebakaran
Upaya terbaik tentu mencegah kebakaran hutan, ini perlu jadi prioritas
utama. Karena keterbatasan saranan kesehatan dalam menangani bahaya
kebakaran hutan maka pencegahan paling utama yaitu mengatasi sumbernya
dengan memadamkan kebakaran itu sendiri. Perlu dibina kerjasama lintas sektoral
kesehatan, lingkungan hidup dan pihak meteorologi yang baik untuk memantau
polusi akibat kebakaran hutan. Kalau asapnya telah menyebar, perlu dilakukan
berbagai tindakan untuk melindungi masyarakat luas dari pajanan asap (Aditama,
1999). Masyarakat sedapat mungkin melindungi dirinya sendiri dari pajanan asap
dan pemerintah setempat memberikan penyuluhan tentang bahaya dan cara
pencegahan kebakaran hutan (Brauer, 2007).
Saat ini cara pencegahan yang banyak digunakan adalah pemakaian masker
karena relatif murah dan dapat disebarluaskan tetapi efektivitasnya masih

28
dipertanyakan. National Institiute of Occuposional Safety and Health (NIOSH)
telah melakukan pengujian di Amerika Serikat dan menetapkan beberapa jenis
masker yang mampu menyaring lebih dari 99% partikel silika berukuran 0,5 µm.
beberapa badan kesehatan lain merekomendasikan masker yang baik yaitu mampu
menyaring lebih dari 95% partikel > 0,3 µm dan biasanya diberi kode R95, N95,
atau P95. Masker ini harus dipasang dengan cukup rapat sehingga udara tidak
dapat masuk di sela-sela pingguiran, masker dan kulit wajah; hal yan tidak mudah
dilakukan. Alat bantu napas bisa digunakan setelah penatalaksanaan lain yang
lebih efektif, antara lain dengan mengurangi pajanan, termasuk tinggal di dalam
rumah, dan mengurangi aktivitas, terutama pada individu yang sensitif (Englert,
2004).
4.4.2 Pengendalian kebakaran hutan
Salah satu pengendalian kebakaran hutan yaitu dengan pemandaman titik
api. Pelaksanaan pemadaman dapat dilakukan secara bergotong royong atau
secara perorangan. Strategi pemadaman api dini harus disiplin dilakukan dan tidak
membiarkan api terlanjur besar. Jika memungkinkan, Pembentukan Regu
Pengendali Kebakaran (RPK) di wilayah kebakaran yang dibentuk melalui
musyawarah warga dapat dilakukan disertai pengadaan alat Pompa Statis untuk
mematikan api sedang ( > 3 meter).
Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru telah merekayasa alat-alat yang
dapat dioperasikan dalam pemadaman kebakaran. Alat-alat pemadam tersebut
adalah pompa pemadam jinjing tekanan tinggi dilengkapi selang 5 rol (100 m),
selang isap 4 m, Saringan(filter), alat gendong mesin, dan nozzle, kantong air
portable 1000 liter, pompa jufa, kepyok, stik jarum, cangkul garu mata panjang,
cangkul garu, cangkul api, dan kapak mata dua, parang dan gergaji tangan. Alat
lain yang diperlukan dalam pemadaman adalah alat komunikasi HT (handy
transmiter), ember, dan papan 2 meter. Berkembangnya teknologi HP (hand
phone) dapat menjadi pendukung komunikasi antar personil pemadam selama
signal masih ada. Personil yang diperlukan dalam mengoperasikan alat-alat
tersebut minimal 15 orang.

29
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah :
1. Berdasarkan hasil observasi lapangan pemantauan kualitas udara di Km. 12
Gambut Kab. Banjar tahun 2015 polutan gas CO, O 3 dan SO2 di udara
ambient meningkat namun masih dalam batas normal. Hasil untuk parameter
debu (TSP) sebesar 356,67 µg/m3 telah melebihi ambang batas yang
ditentukan (PP No 41 tahun 1999) yaitu 230 µg/m 3. Dampak yang
ditimbulkan dari pencemaran udara akibat kebakaran hutan, yaitu :
a. Terdegradasinya kondisi lingkungan
b. Berpengaruh pada aspek sosial ekonomi masyarakat
c. Berpengaruh pada indeks standar pencemaran udara
d. Menurunnya kesehatan manusia.
2. Upaya pencegahan kebakaran hutan yang menjadi prioritas utama yaitu
dengan mengatasi sumber kebakaran, melakukan pembinaan kerjasama antara
sektoral kesehatan, lingkungan hidup dan pihak meteorologi yang baik untuk
memantau polusi akibat kebakaran hutan, penyuluhan oleh pemerintah daerah
setempat tentang bahaya dan cara pencegahan kebakaran hutan kepada
masyarakat. Salah satu cara pencegahan penyakit yang ditimbulkan dari asap
kebakaran yang banyak digunakan adalah pemakaian masker karena relatif
murah. Masker yang baik yaitu mampu menyaring lebih dari 95% partikel >
0,3µ dan biasanya diberi kode R95, N95, atau P95 dengan pemasangan yang
tepat agar lebih efektif.

5.2 Saran
Adapun saran dari penelitian ini ialah :
a. Untuk hasil penelitian yang lebih akurat dan efektif diperlukannya data
dan referensi pendukung yang lebih banyak lagi agar peneliti mendapatkan
hasil perbandingan data yang lebih sempurna.
b. Untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat khususnya mengenai
dampak, pencegahan, pengendalian dan K3 dari pencemaran udara akibat
kebakaran hutan agar dapat menjaga kondisi lingkungan tetap baik.

30
SOAL LATIHAN

PERTANYAAN
1. Sebutkan dan jelaskan faktor – faktor yang mempengaruhi kebakaran
hutan dan lahan !.
2. Sebutkan apa saja dampak kebakaran hutan dan lahan gambut terutama
bagi lingkungan !.
3. Sebutkan apa saja karakteristik asap kebakaran hutan yang sangat
membahayakan kesehatan !.
4. Jelaskan pengaruh kadar debu (TSP) terhadap lingkungan dan kesehatan !.
5. Sebutkan upaya yang harus dilakukan untuk mencegah bahaya
kebakaran !.

JAWABAN
1. Faktor – faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan khususnya lahan
gambut di Indonesia ialah :
a. Pembakaran vegetasi : tradisi masyarakat daerah dalam
mempersiapkan lahan pertanian dengan membakar vegetasi gulma
semak belukar.
b. Aktivitas pembakaran dalam pemanfaatan SDA : pembakaran semak
belukar yang menghalangi akses dalam pemanfaatan SDA dan
pembuatan api untuk memasak oleh para penebang liar dan pencari
ikan di hutan.
c. Pembakaran lahan tidur dan penguasaan lahan : Pemilik lahan tidur
membakar lahannya pada saat musim kering agar lahannya tidak
menjadi hutan dan untuk menunjukkan kepemilikan saat ada pembeli .
biasanya pembukaan lahan tidur sering terjadi di kiri dan kanan jalan
raya.
d. Pengguna api yang bersifat insidentil : Seperti perilaku merokok saat
melakukan perjalanan dengan kendaraan bermotor dan saat melakukan

31
suatu kegiatan di dalam hutan yang kemudian membuang sembarang
puntung rokok yang masih menyala.
2. Dampak kebakaran hutan dan lahan bagi lingkungan adalah
terdegradasinya kondisi lingkungan, berupa :
a. Perubahan kualitas fisik gambut (penurunan porositas total, penurunan
kadar air tersedia, penurunan permeabilitas dan meningkatnya
kerapatan lindak).
b. Perubahan kualitas kimia gambut (peningkatan pH, kandungan N-total,
kandungan fosfor dan kandungan basa total yaitu Kalsium,
Magnesium, Kalium, dan Natrium, tetapi terjadi penurunan kandungan
C-organik).
c. Rusaknya siklus hidrologi (menurunkan kemampuan intersepsi air
hujan ke dalam tanah, mengurangi transpirasi vegetasi, menurunkan
kelembaban tanah, dan meningkatkan jumlah air yang mengalir di
permukaan (surface run off).
3. Beberapa faktor yang mempengaruhi asap kebakaran adalah cuaca, fase
kebakaran dan struktur tanah dapat mempengaruhi sifat api dan efek asap
kebakaran. Secara umum cuaca berangin membuat konsentrasi asap lebih
rendah karena asap akan bercampur dengan udara. Karakteristik dan
pengaruh potensial materi partikulat terhadap kesehatan tergantung pada
sumber, musim, dan keadaan cuaca.
Materi partikulat dibagi menjadi:
a. Ukuran lebih dari 10 mm biasanya tidak sampai ke paru; dapat
mengiritasi mata, hidung dan tenggorokan
b. Partikel kurang atau sama dengan 10 mm; dapat terinhalasi sampai ke
paru.
c. Partikel kasar (coarse particles) berukuran 2,5 – 10 mm.
d. Partikel halus (fine particles) berdiameter kurang dari 2,5 mm.
4. Materi Partikulat (PM), bisa padat atau cair, dihasilkan dari pembakaran
tidak sempurna dengan ukuran dari 0,005 μm sampai 100 μm, dapat
menembus saluran napas sampai ke paru. Inhalasi merupakan satu-satunya
jalur pajanan yang menjadi perhatian kesehatan. Pengaruh materi

32
partikulat bentuk padat maupun cair di udara sangat tergantung pada
ukurannya. Ukuran materi partikulat yang membahayakan kesehatan
umumnya berkisar antara 0,1 – 10 μm. Partikulat 5 μm dapat langsung
masuk ke dalam paru dan mengendap di alveoli. Partikulat >5 μm juga
berbahaya karena partikulat dapat menganggu saluran pernapasan bagian
atas dan dapat menyebabkan iritasi. Keadaan ini akan bertambah parah
apabila terjadi reaksi sinergis dengan gas SO2 di udara. Kondisi kronik
terpajan polusi udara beracun dengan konsentrasi tinggi sedikit
meningkatkan risiko kanker.
5. Pencegahan paling utama yaitu mengatasi sumbernya dengan
memadamkan kebakaran itu sendiri. Perlu dibina kerjasama lintas sektoral
kesehatan, lingkungan hidup dan pihak meteorologi yang baik untuk
memantau polusi akibat kebakaran hutan. Untuk menangani masalah asap
dari kebakaran dengan cara pemakaian masker karena relatif murah dan
dapat disebarluaskan tetapi efektivitasnya masih dipertanyakan. Masker
yang baik yaitu mampu menyaring lebih dari 95% partikel > 0,3 µm dan
biasanya diberi kode R95, N95, atau P95.

33
DAFTAR PUSTAKA

Adinugroho, C.W. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan. Wethleand internasional


indonesia. Bogor.
Aditama TY. 1999. Dampak asap kebakaran hutan terhadap kesehatan paru. YP
IDO & IDKI. Jakarta.
Akbar, C. 2014. Kebakaran Hutan dan Lahan Rawa Gambut: Penyebab Faktor
Pendukung dan Alternatif Pengelolaannya. Balai Penelitian Kehutanan.
Banjarbaru
Brauer M. 2007. Health Impact of Biomass Air Pollution. WHO.
http//www.firesmokeheealth.org
D Schwela. 2001. The WHO-unepwrno Health Guidelines for Vegetation Fire
Events. Department of Protection of the Human Environtment,
Occupational and Environmental.
Departemen Kesehatan. 2011. Parameter pencemar udara dan dampaknya
terhadap kesehatan. www.depkes.go.id/downloads/udara.pdf 14.
Englert N. 2004. Fine particle and human health – a review of epidemiological
studies. Toxicol Letters.
Faisal, F, Yunus F, Harahap F. 2012. Dampak Asap Kebakaran Hutan pada
Pernapasan. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Limin S.H, 2006. Pemanfaatan lahan gambut dan pemanfaatannya. UNPAR.
Palangkaraya.
Marbyanto, E. 2003. Pengembangan Program Pengelolaan Kebakaran Berbasis
Masyarakat. Pengalaman Proyek IFFM dengan GTZ di Kalimantan
Timur. Prosiding workshop. Kerjasama SCKPFP-EU dan Pemda Banjar.
Martapura.
P, Andi. 2011. Metode Penelitian Kualitatif dala Perspektif Rancangan
Penelitian. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 41. 1999. Tentang Standar
Kualitas Udara Ambien. Jakarta.

34
Pramono H. Sigit dan Jamyamah S. 2012. Alat Uji Emisi Gas Buang Kendaraan
Bermotor. Jurnal Penelitian Vol. 7. Yogyakarta.
R. Rosady. 2004. Metodologi Penelitian Public Relations dan Komunikasi. PT
Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Rumajomi HB, 2006. Kebakaran hutan di Indonesia dan dampaknya terhadap
kesehatan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Seodomo M., Usman K, Djajadiningrat, Darwin. 1990. Model Pendekatan dalam
Analisis Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara, Studi Kasus di
Jakarta, Bandung dan Surabaya. Penelitian KLH – Jurusan Teknik
Lingkungan ITB. Bandung.
Tacconi, L. 2003. Kebakaran hutan di Indonesia: penyebab, biaya dan implikasi
kebijakan. CIFOR.

35

Anda mungkin juga menyukai