Anda di halaman 1dari 17

SYARAT SAH PERJANJIAN MENURUT KUHPERDATA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah : Hukum Perikatan
Dosen pengampu : Hj.Tri Hidayati, M.H

Disusun Oleh :
Muhammad Diky Andreyansyah

(2112140543)

Muhammad Rahim

(2112140549)

Reza Ardianto

(2112140550)

PRODI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA


TAHUN AKADEMIK 2022

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya. Penyusun sangat
berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
pembaca.

Kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam


penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I.............................................................................................................................1
A.Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................1
C. Tujuan Pembahasan...............................................................................................1
BAB II...........................................................................................................................2
A. Syarat Sah Perjanjian menurut KUHPerdata........................................................2
B. Syarat Subjektif dan akibat hukumnya..................................................................3
C. Teori Kecakapan...................................................................................................5
D. Teori Kesepakatan.................................................................................................6
E. Teori Cacat Kehendak...........................................................................................9
F. Syarat Objektif dan akibat Hukumnya Teori Causa............................................10
BAB III........................................................................................................................12
A. Kesimpulan......................................................................................................12
B. Saran................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................13

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Negara Indonesia adalah Negara Hukum oleh karenanya di dalam dunia
hukum, setiap perkataan atau perbuatan orang (person) berarti menjadi pendukung
hak dan kewajiban yang juga disebut subjek hukum, tidak hanya orang (person) yang
dapat sebut subjek hukum, termasuk didalamnya adalah badan hukum (recht person).
Dengan demikian boleh dikatakan bahwa setiap manusia baik warga Negara maupun
orang asing adalah pembawa hak yang mempunyai hak dan kewajiban untuk
melakukan perbuatan hukum termasuk melakukan perjanjian dengan pihak lain.
Meskipun setiap subjek hukum mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan
perbuatan hukum, namun perbuatan tersebut harus didukung oleh kecakapan dan
kewenangan hukum yang lazim disebut dengan rechtsbekwaamheid (kecakapan
hukum) dan rehtsbevoegdlheid (kewenangan hukum).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Syarat Sah Perjanjian menurut KUHPerdata
2. Bagaimana Syarat Subjektif dan akibat hukumnya
3. Apa itu Teori Kecakapan
4. Apa itu Teori Kesepakatan
5. Apa itu Teori Cacat Kehendak
6. Bagaimana Syarat Objektif dan akibat Hukumnya Teori Causa

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui Syarat Sah Perjanjian menurut KUHPerdata
2. Untuk mengetahui Syarat Subjektif dan akibat hukumnya
3. Untuk mengetahui Teori Kecakapan
4. Untuk mengetahui Teori Kesepakatan
5. Untuk mengetahui Cacat Kehendak
6. Untuk mengetahui Syarat Objektif dan akibat Hukumnya Teori Causa

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Syarat Sah Perjanjian menurut KUHPerdata


Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian yang sah diakui dan diberi konsekuensi
yuridis (legally concluded contract).1 Pasal 1320K.U.H.Perdata merupakan
instrumen pokok untuk menguji keabsahan perjanjian yang dibuat para
pihak. Dalam pasal 1320K.U.H.Perdata terdapat empat syarat yang harus
dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (de toestemming van degenendie zich
verbiden);
b. Kecakapan untuk membuat perjanjian (de bekwaanheid om eneverbintenis aan te
gaan);
c. Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp);
d. Suatu sebab yang hal
R. Subekti menjelaskan maksud dari Pasal 1320 K.U.H.Perdata tersebut,
yaitu: ayat (1) mengenai adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri
adalah adanya kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk suatu perjanjian
yang sah. Dianggap tidak ada jika perjanjian itu telah terjadi karena paksaan
(dwang), kekhilafan (dwaling), atau penipuan (bedrog). Kemudian ayat (2)
mengenai kecakapan, maksudnya adalah kedua belah pihak harus cakap menurut
hukum untuk bertindak sendiri. Ada beberapa golongan orang oleh undang-undang
dinyatakan tidak cakap untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum.
Mereka itu, seperti orang dibawah umur, orang dibawah pengawasan (curatele). Jika
ayat (1) dan (2) tidak dipenuhi maka perjanjian ini cacat dan dapat dibatalkan.
Selanjutnya dijelaskan bahwa, ayat (3) mengenai hal tertentu maksudnya yang
diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau suatu barang yang
cukup jelas atau tertentu. Syarat ini perlu untuk dapat menetapkan kewajiban si
berhutang jika terjadi perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian,
paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Dan tentang ayat (4), dijelaskan bahwa :
undang-undang menghendaki untuk sahnya perjanjian harus ada oorzaak atau causa.
Secara letterlijk, oorzaak atau causa berarti sebab, tetapi menurut riwayatnya yang

1
Devi Kumalasari and Dwi Wachidiyah Ningsih, “Syarat Sahnya Perjanjian Tentang Cakap Bertindak
Dalam Hukum Menurut Pasal 1320 Ayat (2) K.U.H.Perdata,” Jurnal Pro Hukum : Jurnal Penelitian
Bidang Hukum Universitas Gresik 7, no. 2 (2018), https://doi.org/10.55129/jph.v7i2.725.

2
dimaksudkan dengan kata itu adalah tujuan, yaitu apa yang dikehendaki oleh kedua
pihak dengan mengadakan perjanjian itu. Jika ayat (3) dan ayat (4) tidak dipenuhi
maka perjanjian ini batal demi hukum.
Pasal 1320 KUHPeradata menentukan adanya 4 (empat ) syarat sahnya suatu
perjanjian, yakni: (Subekti, 2003: 330): Pertama, Adanya kata sepakat bagi mereka
yang mengikatkan dirinya; Kedua, Kecakapan para pihak untuk membuat suatu
perikatan; Ketiga, Suatu hal tertentu; dan Keempat, Suatu sebab (causa) yang halal.
Persyaratan tersebut diatas berkenan baik mengenai subjek maupun objek
perjanjian. Persyaratan yang pertama dan kedua berkenan dengan subjek perjanjian
atau syarat subjektif. Persyaratan yang ketiga dan keempat berkenan dengan objek
perjanjian atau syarat objektif. Pembedaan kedua persyaratan tersebut dikaitkan pula
dengan masalah batal demi hukumnya (nieteg atau null and ab initio) dan dapat
dibatalkannya (vernietigbaar = voidable) suatu perjanjian. Apabila syarat objektif
dalam perjanjian tidak terpenuhi maka Perjanjian tersebut batal demi hukum atau
perjanjian yang sejak semula sudah batal, hukum menganggap perjanjian tersebut
tidak pernah ada. Apabila syarat subjektif tidak terpenuhi maka Perjanjian tersebut
dapat dibatalkan atau sepanjang perjanjian tersebut belum atau tidak dibatalkan
pengadilan, maka perjanjian yang bersangkutan masih terus berlaku. (Gunawan
Widjaja, 2003:68)2
a) Kesepakatan
Yang dimaksud dengan kesepakatan di sini adalah adanya rasa ikhlas atau
saling memberi dan menerima atau sukarela di antara pihak-pihak yang membuat
perjanjian tersebut. Kesepakatan tidak ada apabila kontrak dibuat atas dasar paksaan,
penipuan atau kekhilafan.
b) Kecakapan
Kecakapan di sini artinya para pihak yang membuat kontrak haruslah orang-
orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai subyek hukum. Pada dasarnya semua
orang menurut hukum cakap untuk membuat kontrak. Yang tidak cakap adalah
orang-orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang dewasa yang
ditempatkan di bawah pengawasan (curatele), dan orang sakit jiwa.3

B. Syarat Subjektif dan akibat hukumnya


1. Keabsahan Kontrak
2
Retna Gumanti, “Syarat Sahnya Perjanjian (Ditinjau Dari KUHPerdata) Retna Gumanti Abstrak,”
Jurnal Pelangi Ilmu 5, no. 1 (2012): 2.
3
Jofi Andraki, Peranan Notaris Dalam Penyelesaian Sengketa Akibat Wanprestasi Pihak Pengembang
Ruko Dalam Perjanjian Bangun Bagi, 2016.

3
Setiap orang bebas dalam mengadakan kontrak, namun kebebasan berkontrak
tersebut ada batasnya, yaitu tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan
dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan masyarakat.
untuk menguji suatu kontrak sah atau tidak, perlu dipahami isi ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata. Pasal ini memuat empat syarat umum keabsahan suatu kontrak, yaitu:
kesepakatan pihak-pihak, kewenangan melakukan perbuatan hukum, objek tertentu
atau dapat ditentukan, dan kausa yang halal.4
a. Kesepakatan pihak-pihak
Kesepakatan pihak-pihak dianggap ada apabila pihak-pihak saling
menyetujui dengan bebas, tanpa pemaksaan, tanpa penipuan, tanpa kesalahan, atau
tanpa pengaruh dari pihak lain mengenai hal-hal yang mereka kehendaki bersama.
Hal-hal yang dimaksud telah dibuat rinciannya dan dipahami satu demi satu oleh
pihak-pihak sehingga apa yang ada dalam pikiran pihak yang lainnya; pihak yang
satu setuju, pihak lainnya juga setuju. Dengan kata lain, kesepakatan pihak-pihak
adalah persetujuan yang mengikat pihak-pihak mengenai isi kontrak yang mereka
buat. Persetujuan yang mengikat artinya sudah bersifat tetap, tidak ada lagi tawar-
menawar mengenai isi kontrak, dan wajib dipenuhi oleh kedua belah pihak.
Kesepakatan pihak-pihak tersebut dinyatakan dengan penerimaan yang tegas oleh
kedua pihak, baik dengan kata-kata, atau dokumen, seperti surat, faktur penjualan,
surat penyerahan barang, telegram, dan faksimile.
b. Kewenangan melakukan perbuatan hukum
Setiap pihak yang mengadakan kesepakatan membuat kontrak bisnis
dianggap mampu melakukan perbuatan hukum. KUHPerdata mengatur beberapa
syarat kewenangan melakukan perbuatan hukum antara lain:
1) Orang yang bersangkutan sudah dinyatakan dewasa;
2) Orang yang bersangkutan sehat jiwa, artinya waras, tidak gila, tidak sinting, tidak
miring, atau sudah sembuh total dari penyakit jiwa.
3) Orang yang bersangkutan tidak berada di bawah perwalian akibat suatu peristiwa
atau keadaan, seperti pailit, sakit ingatan, atau tidak mampu mengurus diri sendiri. 4)
Orang yang bertindak atas nama harus mempunyai surat kuasa.5
Secara yuridis, perjanjian terapeutik diartikan sebagai hubungan hukum antara
dokter dengan pasien dalam pelayanan medis secara profesional didasarkan
kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan tertentu di bidang

4
Novi Ratna Sari, “Komparasi Syarat Sahnya Perjanjian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Dan Hukum Islam,” Repertorium 4, no. Volume IV No. 2 (2017): 83.
5
Hukumnya Menurut Kuhperdata, “Pembuatan Kontrak Bisnis Dan Akibat Hukumnya Menurut
Kuhperdata,” Lex Et Societatis 3, no. 10 (2015): 109–16.

4
kesehatan. Terapeutik adalah terjemahan dari therapeutic yang berarti dalam bidang
pengobatan, Ini tidak sama dengan terapi yang berarti pengobatan (Hermien Hadiati
Koeswadji, 1993: 142). Persetujuan yang terjadi antara dokter dan pasien bukan
hanya di bidang pengobatan saja tetapi lebih luas, mencakup bidang diagnostik,
preventif, rehabilitatif maupun promotif, maka persetujuan ini disebut pejanjian 5
terapeutik atau transaksi terapeutik. Perjanjian terapeutik juga disebut dengan kontrak
terapeutik yang merupakan kontrak yang dikenal dalam bidang pelayanan kesehatan (
Salim H.S, 2006: 45 ). Dalam hal ini Salim mengutip pendapat Fred Ameln yang
mengartikan perjanjian terapeutik dengan kontrak dimana pihak dokter berupaya
maksimal menyembuhkan pasien (inspaningsverbintenis) jarang merupakan kontrak
yang sudah pasti (resultastsverbintenis).
Perjanjian terapeutik tersebut disamakan inspaningsverbintenis karena dalam
kontrak ini dokter hanya berusaha untuk menyembuhkan pasien dan upaya yang
dilakukan belum tentu berhasil. Harmien Hadiati Koswadji mengemukakan bahwa
hubungan dokter dan pasien dalam transaksi teurapeutik (perjanjian medis) bertumpu
pada dua macam hak asasi yang merupakan hak dasar manusia, yaitu ( Harmien
Hadiati Koeswadji, 1993: 143): a) Hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to
self-determination); b) Hak atas dasar informasi (the right to informations).6

C. Teori Kecakapan
Asas cakap melakukan suatu perikatan/perjanjian, adalah setiap orang yang
sudah dewasa dan sehat pikirannya. Ketentuan sudah dewasa ada beberapa pendapat,
menurut Pasal 330 KUHPerdata, dewasa adalah 21 tahun bagi laki-laki, dan 19 tahun
bagi wanita. Sedangkan menurut Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, dewasa adalah 18 tahun bagi laki-laki, 16 tahun bagi wanita.
Sebagaimana pada Pasal 1330 KUHPerdata menentukan bahwa setiap orang adalah
cakap untuk membuat perikatan, kecuali Undang-Undang menentukan bahwa ia tidak
cakap untuk membuat perjanjian.
3. Suatu hal tertentu; Dengan syarat perihal tertentu dimaksudkan bahwa
kontrak haruslah berkenaan dengan hal yang tertenu, jelas dan dibenarkan oleh
hukum. Mengenai hal ini perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang
yang paling sedikit ditentukan jenisnya.
4. Suatu sebab yang halal. Maksudnya adalah bahwa suatu kontrak haruslah
dibuat dengan maksud/alasan yang sesuai hukum yang berlaku. Karena berdasarkan
Pasal 1335 KUHperdata, suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang halal

6
Niken Setyaningtyas, “Tinjauan Yuridis,” Uniska Law Review 2, no. April (2021): 67–79,
https://news.detik.com/kolom/d-5046107/insentif-ekspor-impor-pada-masa-pandemi,.

5
atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan
hukum.7
Menurut 1330 Jo 330 KUHPerdata umur adalah salah satu parameter yang
digunakan sebagai syarat bagi subjek hukum untuk dapat dikatakan cakap bertindak.
Salah satu contoh bentuk kewenangan bertindak berdasarkan batasan umur adalah
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum perkawinan, sebagaimana
termaktub dalam Pasal 7 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU
Perkawinan). Klasifikasi umur dewasa menurut UU Perkawinan adalah “Perkawinan
hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 tahun dan pihak wanita mencapai
umur 16 tahun”.8
Istilah “kecakapan” dan “kewenangan” dalam hukum mempunyai arti dan
peranan yang sangat berbeda. Kewenangan Hukum (rechtsbevoegdheid) adalah
kewenangan untuk menjadi pendukung (mempunyai) hak dan kewajiban dalam
hukum. Kewenangan bertindak (handelingsbevoegdheid) adalah kewenangan
khusus, yang dipunyai oleh persoon tertentu, untuk melakukan tindakan hukum (atau
tindakan-tindakan hukum) tertentu. Konsep tentang kecakapan dan kewenangan
bertindak dalam hukum dipengaruhi faktor-faktor yang mempengaruhi kecakapan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut adalah :
1. Faktor psikologis adalah faktor yang berhubungan dengan kondisi rohani dan
mental.
2. Faktor fisiologis adalah faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik atau
keadaan jasmani, dan
3. Faktor lingkungan adalah faktor yang berpengaruh pada kehidupan seseorang
dalam proses perkembangannya. Faktor lingkungan dibagi menjadi 3 yaitu yang
bersifat fisik, kimiawi dan biologis.9

D. Teori Kesepakatan
Kata sepakat dalam suatu perjanjian dapat diperoleh melalui suatu
proses penawaran (offerte) dan penerimaan (acceptatie). Istilah penawaran
(offerte) merupakan suatu pernyataan kehendak yang mengandung usul untuk
mengadakan perjanjian, yang tentunya dalam penawaran tersebut telah
terkandung unsur esensialia dari perjanjian yang akan dibuat. Penerimaan

7
No Juli et al., “Ditinjau Dari Teori Perjanjian” 6, no. 3 (2022): 9854–59.
8
Kecakapan Bertindak et al., INDONESIA, 2018.
9
No Juli et al., “Ditinjau Dari Teori Perjanjian” 6, no. 3 (2022): 9854–59.

6
(acceptatie) sendiri merupakan pernyataan kehendak tanpa syarat untuk
menerima penawaran tersebut.10
Kata sepakat dapat diberikan secara tegas maupun diam-diam. Secara
tegas dapat dilakukan dengan tertulis, lisan maupun dengan suatu tanda tertentu.
Cara tertulis dapat dilakukan dengan akta otentik maupun dengan akta di bawah
tangan.
Mengenai kapan saat terjadinya kata sepakat, terdapat 4 (empat) teori yang
menyoroti hal tersebut, yaitu :
1. Teori Ucapan (Uitings Theorie)
Teori ini berpijak kepada salah satu prinsip hukum bahwa suatu
kehendak baru memiliki arti apabila kehendak tersebut telah dinyatakan.
Menurut teori ini, kata sepakat terjadi pada saat pihak yang menerima
penawaran telah menulis surat jawaban yang menyatakan ia menerima surat
pernyataan. Kelemahan teori ini yaitu tidak adanya kepastian hukum karena
pihak yang memberikan tawaran tidak tahu persis kapan pihak yang menerima
tawaran tersebut menyiapkan surat jawaban.
2. Teori Pengiriman (verzendings Theorie)
Menurut teori ini, kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima
penawaran telah mengirimkan surat jawaban atas penawaran yang diajukan
terhadap dirinya. Dikirimkannya surat maka berarti si pengirim kehilangan
kekuasaan atas surat, selain itu saat pengiriman dapat ditentukan dengan tepat.
Kelemahan teori ini yaitu kadang terjadi perjanjian yang telah lahir di luar
pengetahuan orang yang melakukan penawaran tersebut, selain itu akan
muncul persoalan jika si penerima menunda-nunda untuk mengirimkan
jawaban.
3. Teori Penerimaan (Ontvangs Theorie)
Menurut teori ini, terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima
langsung surat jawaban dari pihak yang menerima tawaran.
4. Teori Pengetahuan (Vernemings Theorie)
Teori ini berpendapat bahwa kesepakatan terjadi pada saat pihak yang
melakukan penawaran mengetahui bahwa penawarannya telah diketahui oleh
pihak yang menerima penawaran tersebut. Kelemahan teori ini antara lain
memungkinkan terlambat lahirnya perjanjian karena menunda-nunda untuk

10
Glenn Biondi, “Analisis Yuridis Keabsahan Kesepakatan Melalui Surat Elektronik (E-Mail)
Berdasarkan Hukum Indonesia,” Tesis, 2016, 1–163.

7
membuka surat penawaran dan sukar untuk mengetahui secara pasti kapan
penerima tawaran mengetahui isi surat penawaran.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kesepakatan maka perlu
dilihat apa itu perjanjian, dapat dilihat pasal 1313 KUHPerdata. Menurut
ketentuan pasal ini, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Sebab Kesepakatan atau kata sepakat merupakan bentukkan atau
merupakan unsur dari suatu perjanjian (Overeenkomst) yang bertujuan untuk
menciptakan suatu keadaan dimana pihak-pihak yang mengadakan suatu
perjanjian mencapai suatu kesepakatan atau tercapainya suatu kehendak.11
Kata sepakat sendiri bertujuan untuk menciptakan suatu keadaan dimana
pihak-pihak yang mengadakan suatu perjanjian mencapai suatu kehendak.
Menurut Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian, adalah :
“suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata
sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”
Menurut Riduan Syahrani bahwa :
“Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung bahwa para pihak yang
membuat perjanjian telah sepakat atau ada persetujuan kemauan atau menyetujui
kehendak masing-masing yang dilakukan para pihak dengan tiada paksaan,
kekeliruan dan penipuan”.12
Jadi yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan
kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Tentang kapan
terjadinya persesuaian pernyataan, ada empat teori, yakni :
1. Teori Pernyataan (uitingsheorie), kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat
pihak yang menerima penawaran itu menyatakan bahwa ia menerima
penawaran itu.
2. Teori Pengiriman (verzendtheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak yang
menerima penawaran mengirimkan telegram.
3. Teori Pengetahuan (vernemingstheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak
yang menawarkan itu mengetahui adanya acceptatie, tetapi penerimaan itu
belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung).
4. Teori Penerimaan (ontvangstheorie), kesepakatan terjadi saat pihak yang
menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.

11
Rahmad Hendra and Fakultas Hukum Unri, “Rahmad Hendra Fakultas Hukum Unri,” n.d.
12
Suyanto, S., & Ningsih, A. S. (2018). PEMBATALAN PERJANJIAN SEPIHAK MENURUT PASAL 1320
AYAT (1) KUH. PERDATA TENTANG KATA SEPAKAT SEBAGAI SYARAT SAHNYA PERJANJIAN. Jurnal Pro
Hukum: Jurnal Penelitian Bidang Hukum Universitas Gresik, 7(2).

8
Azas Consensualitas mempunyai pengertian yaitu pada dasarnya
perjanjian terjadi sejak detik tercapainya kesepakatan, dimana perjanjian tersebut
harus memenuhi persyaratan yang ada, yaitu yang tertuang dalam Pasal 1320
KUHPerdata.
Perjanjian seharusnya adanya kata sepakat secara suka rela dari pihak
untuk sahnya suatu perjanjian, sesuai dengan ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata
yang mengatakan bahwa : Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan
karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau tipuan.
Dengan demikian jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat-syarat
subyektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, sedangkan jika suatu
perjanjian yang dibuat oleh kedua pihak tidak memenuhi syarat objektif, maka
perjanjian itu adalah batal demi hukum.13

E. Teori Cacat Kehendak


Ketika pelaksanaan jual beli batu akik bongkahan dilaksanakan pihak penjual
dan pembeli menyatakan kehendaknya masing-masing agar memperoleh
kesepakatan (kata sepakat ialah kecocokan antara kehendak/kemauan kedua belah
pihak yang akan mengadakan persetujuan). Bahwa apa yang dikehendaki oleh yang
satu itu adalah juga dikehendaki oleh yang lain atau bahwa kehendak mereka adalah
“sama”, sebenarnya tidak tepat. Yang betul adalah bahwa yang mereka kehendaki
adalah “sama dalam kebalikannya”. Misalnya : yang satu ingin melapaskan hak
miliknya atas suatu barang asal diberi sejumlah uang tertentu sebagai gantinya,
sedang yang lain ingin memperoleh hak milik atas barang tersebut dan bersedia
memberikan sejumlah uang yang disebutkan itu sebagai gantinya kepada pemilik
barang. 14
Pada pernyataan-pernyataan kehendak yang menghasilkan kesepakatan
dibedakan antara penawaran (aanbod, offerte) dan penerimaan (aanvaarding,
acceptatie). Penawaran dapat dirumuskan sebagai pernyataan kehendak yang
mengandung usul untuk mengadakan perjanjian; unsur ini mencakup esensialia
(unsur yang mutlak harus ada, yaitu barang dan harga) perjanjian yang ditutup dan
pernyataan setuju dari pihak lain yang ditawari berlaku sebagai penerimaan
meskipun tidak harus dinyatakan secara tegas namun dapat dengan tingkah laku atau
hal-hal lain yang mengungkapkan pernyataan kehendak para pihak untuk melakukan
perjanjian.

13
Nurjannah, S. (2016). Lembaga Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Pembiayaan
Konsumen. Jurisprudentie: Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah Dan Hukum, 3(1), 119-125.
14
I Ketut Widia and I Nyoman Putu Budiartha, “Cacat Kehendak Sebagai Dasar Batalnya Perjanjian,”
Kertha Wicaksana 16, no. 1 (2022): 1–6, https://doi.org/10.22225/kw.16.1.2022.1-6.

9
Dalam kasus jual beli batu akik bongkahan, penawaran yang dilakukan
penjual harus dengan jelas dan benar terkait dengan harga dan kualitas batu akik
yang menjadi objek jual beli sesuai dengan pengetahuannya tanpa ada yang ditutup
tutupi dan misalnya diperlukan dapat ditambahkan bukti lain berupa keterangan
mengenai batu tersebut oleh lembaga yang berkompeten dan terpercaya agar pembeli
dapat mengetahui kualitas batu akik tersebut sesuai dengan kehendak pembeli.
Meskipun pernyataan kehendak tidak diharuskan secara tegas tapi kehendak ini
tetap harus ditunjukkan dengan cara yang lain, ketika kehendak atau keinginan
disimpan dalam hati, tidak mungkin diketahui oleh pihak lain15

F. Syarat Objektif dan akibat Hukumnya Teori Causa


Pada pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian causa yang halal
(orzaak). Dalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya menyebutkan causa yang terlarang.
Suatu sebab bisa diartikan terlarang apabila bertentangan dengan UU, kesusilaan,
dan ketertiban umum. Sedangkan menurut Subekti: “Subekti menyatakan bahwa
sebab adalah isi perjanjian itu sendiri, dengan demikian kausa merupakan prestasi
dan kontra prestasi yang saling dipertukarkan oleh para pihak”.16
a. Asas Kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat
KUH Perdata, yang berbunyi. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas
yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
(1) membuat atau tidak membuat perjanjian;
(2) mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
(3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratan; dan
(4) menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Jika melihat pernyataan di atas, Asas kebebasan berkontrak merupakan
suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam membuat perjanjian.
Karena kebebasan ini pula sehingga Buku III yang mengatur tentang perikatan
ini juga dapat dikatakan menganut system terbuka. Artinya para pihak yang
membuat perjanjian bebas membuat perjanjian, walaupun aturan khususnya
tidak terdapat dalam KUH Perdata.
15
Ilham Akbar, “Akibat Hukum Cacat Kehendak Terkait Hakikat Benda Pada Perjanjian Jual Beli Batu
Akik Bongkahan,” Syariah Jurnal Hukum Dan Pemikiran 16, no. 2 (2017): 97,
https://doi.org/10.18592/sy.v16i2.1020.
16
Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., h.194

10
b. Asas Konsensualisme
Asas Konsensualisme merupakan asas dalam hukum perjanjian yang
penting karena asas ini menekankan pada awal mula penyusunan perjanjian.
Konsensus berasal dari kata consensus yang berarti persetujuan umum. Asas
Konsensualisme diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata.
Ketentuan Pasal 1320 ayat (1) tersebut memberikan petunjuk bahwa
hukum perjanjian dikuasai oleh “asas konsensualisme”. Ketentuan Pasal 1320
ayat (1) tersebut juga mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak
untuk menentukan isi kontrak dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan
kata, lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh asas konsensualisme.”
Menurut asas ini kesepakatan para pihak itu mengikat sebagaimana
layaknya undang-undang bagai para pihak yang membuatnya. Karena adanya
janji timbul kemauan bagai para pihak untuk saling berprestasi,maka ada
kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kewajiban kontraktual tersebut
menjadi sumber bagi para pihak untuk secara bebas menentukan kehendak
tersebut dengan segala akibat hukumnya. Berdasarkan kehendak tersebut, para
pihak secara bebas mempertemukan kehendak masing-masing. Kehendak para
pihak inilah yang menjadi dasar kontrak. Terjadinya perbuatan hukum itu
ditentukan berdasar kata sepakat, dengan adanya konsensus dari para pihak
itu, maka kesepakatan itu menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian
sebagaimana layaknya undang-undang (pacta sunt servanda). Apa yang
dinyatakan seseorang dalam suatu hubungan menjadi hukum bagi mereka.
Asas inilah yang menjadi kekuatan mengikatnya perjanjian. Ini bukan
kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib
ditaati.17

BAB III

PENUTUP

17
Endah Pertiwi, “Tanggung Jawab Notaris Akibat Pembuatan Akta Nominee Yang Mengandung
Perbuatan Melawan Hukum Oleh Para Pihak,” Jurnal Rechten : Riset Hukum Dan Hak Asasi Manusia
1, no. 1 (2019): 41–55, https://doi.org/10.52005/rechten.v1i1.5.

11
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwasannya Perjanjian adalah
bagian dari perikatan, perikatan akan timbul setelah adanya perjanjian. Perikatan
timbul tidak hanya karena adanya perjanjian, perikatan dapat timbul karena undang-
undang contohnya kewajiban orang tua terhadap anak meliputi pangan, sandang,
papan dan kewajiban menyekolahkan anak-anaknya hingga dewasa. Adapun syarat
sahnya perjanjian diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata, yaitu sebagai berikut ;
Pertama, Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya; Kedua,
Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan; Ketiga, Suatu hal tertentu;
dan Keempat, Suatu sebab (causa) yang halal.
Ayat ke 1 dan ke 2 adalah syarat subjektif perjanjian, apabila salah satu dari
kedua hal tersebut tidak terpenuhi atau mengandung cacat seperti adanya paksaan,
penipuan, kekeliruan dan penyalahgunaan keadaan.maka perjanjian tersebut dapat
dibatalkan, apabila para pihak tidak keberatan terhadap cacat tersebut maka
perjanjian masih dapat dilaksanakan.
Ayat ke 2 dan ke 3 adalah syatat objektif perjanjian, apabila salah satu dari
kedua hal tersebut tidak terpenuhi maka perjanjian dari awal dianggap tidak ada.
Yang berarti tidak timbul hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuatnya.
Suatu prestasi dalam perjanjian apabila tidak dilaksanakan oleh salah satu
pihak, maka pihak yang lainnya dapat membuat somasi, apabila 3 kali somasi tidak
diindahkan maka pihak yang tidak melaksanakan prestasi dapat dikatakan
wanprestasi atas putusan pengadilan.

B. Saran
Kami menyadari kemungkinan besar makalah ini masih belum
sempurna dan masih banyak kekurangan. Namun sedikit banyaknya kami berharap
materi yang ada pada makalah ini dapat menambah pengetahuan dari para
pembacanya. Namun, penyusun tetap menyarankan para pembaca untuk mencari
lebih banyak referensi untuk pembahasan tentang Sistem Peradilan pada Jurnal yang
ada di situs-situs terpercaya

12
DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Ilham. “Akibat Hukum Cacat Kehendak Terkait Hakikat Benda Pada
Perjanjian Jual Beli Batu Akik Bongkahan.” Syariah Jurnal Hukum Dan
Pemikiran 16, no. 2 (2017): 97. https://doi.org/10.18592/sy.v16i2.1020.
Andraki, Jofi. Peranan Notaris Dalam Penyelesaian Sengketa Akibat Wanprestasi
Pihak Pengembang Ruko Dalam Perjanjian Bangun Bagi, 2016.
Bertindak, Kecakapan, Bagi Penyandang, Disabilitas Autisme, Selaku Subyek, Dalam
Persefektif, and Hukum Perdata. INDONESIA, 2018.
Biondi, Glenn. “Analisis Yuridis Keabsahan Kesepakatan Melalui Surat Elektronik
(E-Mail) Berdasarkan Hukum Indonesia.” Tesis, 2016, 1–163.
Endah Pertiwi. “Tanggung Jawab Notaris Akibat Pembuatan Akta Nominee Yang
Mengandung Perbuatan Melawan Hukum Oleh Para Pihak.” Jurnal Rechten :
Riset Hukum Dan Hak Asasi Manusia 1, no. 1 (2019): 41–55.
https://doi.org/10.52005/rechten.v1i1.5.
Gumanti, Retna. “Syarat Sahnya Perjanjian (Ditinjau Dari KUHPerdata) Retna
Gumanti Abstrak.” Jurnal Pelangi Ilmu 5, no. 1 (2012): 2.
Hendra, Rahmad, and Fakultas Hukum Unri. “Rahmad Hendra Fakultas Hukum
Unri,” n.d.
Juli, No, Studi Kasus, Putusan Nomor, and Pdt G Pn. “Ditinjau Dari Teori Perjanjian”
6, no. 3 (2022): 9854–59.
Kuhperdata, Hukumnya Menurut. “Pembuatan Kontrak Bisnis Dan Akibat
Hukumnya Menurut Kuhperdata.” Lex Et Societatis 3, no. 10 (2015): 109–16.
Kumalasari, Devi, and Dwi Wachidiyah Ningsih. “Syarat Sahnya Perjanjian Tentang
Cakap Bertindak Dalam Hukum Menurut Pasal 1320 Ayat (2) K.U.H.Perdata.”
Jurnal Pro Hukum : Jurnal Penelitian Bidang Hukum Universitas Gresik 7, no.
2 (2018). https://doi.org/10.55129/jph.v7i2.725.
Novi Ratna Sari. “Komparasi Syarat Sahnya Perjanjian Menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata Dan Hukum Islam.” Repertorium 4, no. Volume IV No.
2 (2017): 83.
Setyaningtyas, Niken. “Tinjauan Yuridis.” Uniska Law Review 2, no. April (2021):
67–79. https://news.detik.com/kolom/d-5046107/insentif-ekspor-impor-pada-
masa-pandemi,.
Widia, I Ketut, and I Nyoman Putu Budiartha. “Cacat Kehendak Sebagai Dasar
Batalnya Perjanjian.” Kertha Wicaksana 16, no. 1 (2022): 1–6.
https://doi.org/10.22225/kw.16.1.2022.1-6.

13

Anda mungkin juga menyukai