Anda di halaman 1dari 16

SEJARAH POLITIK HUKUM ADAT

Disusun Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah : Hukum Adat
Dosen pengampu : Dr. Sadiani, M.H.

Disusun Oleh :
Muhammad Diky Andreyansyah

(2112140543)

Nurul Ramadani

(2112140551)

Nurhayati

(2112140162)

PRODI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA


TAHUN AKADEMIK 2022

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya. Penyusun sangat
berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
pembaca.

Kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam


penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I.............................................................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................1
C. Tujuan Pembahasan...............................................................................................1
BAB II...........................................................................................................................2
A. Masa pemerintahan VOC......................................................................................2
B. Masa pemerintahan Jepang...................................................................................5
C. Periode 1945 s/d sekarang.....................................................................................8
BAB III........................................................................................................................11
A. Kesimpulan......................................................................................................11
B. Saran................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada hakikatnya, manusia telah dikaruniai suatu naluri untuk dapat
mengetahui bagaimana timbulnya gejala gejala dalam kehidupan bermasyarakat.
Keinginan tadi dapat berwujud sebagai hasrat untuk mengetahui secara langsung
maupun tidak langsung apa yang menjadi pengatur bagi perilaku atau sikap sehari
hari dari manusia itu sendiri. Akan tetapi, manusia tidak selalu mengetahui bahwa di
dalam kehidupan sehari harinya perilakunya diatur dalam suatu pola tertentu, karena
sejak lahir manusia telah berada di tengah tengah suatu pola tertentu melaui proses
imitasi (peniruan) maupun berasal dari pendidikan yang telah ia peroleh. Di samping
itu, sejak lahir manusia telah ditakdirkan untuk hidup bersama orag lain, sebagai
akibatnya kemudian timbul interaksi sosial yang dinamis. Interaksi tersebut berdasar
dari pola yang disebut perbuatan, tersebut kemudian dilakukan berulang-ulang dan
menjadi kebiasaan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Masa pemerintahan VOC
2. Bagaimana Masa pemerintahan Jepang
3. Bagaimana Periode 1945 s/d sekarang

C. Tujuan Pembahasan
1. Menjelaskan bagaimana Masa pemerintahan VOC
2. Menjelaskan bagaimana Masa pemerintahan Jepang
3. Menjelaskan bagaimana Periode 1945 s/d sekarang

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Masa pemerintahan VOC


Pada masa awal sakoku diterapkan, bangsa Barat yang boleh masuk ke
wilayah Jepang hanyalah Belanda. Tidak hanya dalam rangka hubungan dagang,
Belanda menjadi satu-satunya negara Barat yang menjadi penyuplai pengetahuan ke
Jepang. Hal ini disebut dengan rangaku , yakni ilmu pengetahuan dari Belanda.
Sebenarnya ilmu pengetahuan Barat yang masuk ke Jepang pada masa itu tidak
hanya rangaku, namun ada juga yang disebut nambangaku, yakni ilmu pengetahuan
Barat yang disebarkan melalui Siam, Luzon, dan Jawa oleh orang-orang Portugis,
Spanyol, dan Italia ke Jepang. Namun demikian, yang paling dikenal dan identik
dengan ilmu pengetahuan Barat adalah rangaku, yang dalam praktiknya tidak hanya
pengetahuan dari Belanda saja. Hal ini tidak mengherankan mengingat kesempatan
berdagang selama masa sakoku hanya diberikan kepada Belanda. Dalam makalah ini
akan dibahas mengenai hubungan perdagangan antara Jepang dan VOC (Vereenigde
Oost-Indische Compagnie), dan pengaruh rangaku yang dibawa VOC pada era
Tokugawa di Jepang.1
Pada zaman Tokugawa agama Kristen Katolik yang disebarkan bangsa
Portugis dilarang karena dianggap sebagai ancaman bagi pemerintahan bakufu
(pemerintahan militer), yakni berpotensi mengurangi loyalitas masyarakat dan
wibawa penguasa, juga sudah mulai menyentuh ranah politik. Ada dua hal yang
menyebabkan pelarangan terhadap agama Kristen Katolik, pertama adalah bersifat
ideologis dan kedua adalah masalah politik praktis. Kekristenan dianggap dapat
mengganggu otoritas bakufu karena masyarakat akan memiliki alternatif lain selain
yang saat itu ada dalam tradisi Jepang dan bakufu, dan individu akan menjadi
mandiri. Hal ini dikhawatirkan akan berpengaruh pada wibawa penguasa, sedangkan
untuk mempersatukan negara rezim Tokugawa membutuhkan loyalitas penuh dari
warganya. Sedangkan penganut agama Buddha dibiarkan karena mereka telah
diterima dan berakar di Jepang sudah sejak lama, serta tidak terlalu berpengaruh
pada tataran politis. Di samping itu, karena Shogun Toyotomi Hideyoshi juga
menganggap posisi agama.2
Saat portugis menduduki spanyol pada tahun 1580,praktis jalur perolehan
rempah-rempah belanda terputus total yang mengakibatkan Belanda terpaksa harus
berusaha menemukan jalur distribusi baru guna mencari pasokan rempah-
1
Bambang Wibawarta, “Dejima” 10, no. 2 (2008).
2
Laurensius Arliman, “Hukum Adat Di Indonesia Dalam Pandangan Para Ahli,” Jurnal Selat 5, no. 2
(2018): 178–90.

2
rempah.Pencarian itu ternyata tidak sia-sia karena pada tahun 1589, satu armada
Belanda berlabuh di pelabuhan Banten.Banyak saudagar yang menjual langsung hasil
bumi secara barter dengan sistem perdagangan bebas.Mulailah dilakukan
inventarisasi terhadap daerah-daerah penghasil rempah-rempah dan hasil bumi
lainnya.Armada-armada Belanda mulai didatangkan dengan tujuan semata-mata
untuk berdagang diawali pembentukan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC)
tahun 1602 atas anjuran Van Oldenbarneveldt.Berdasarkan izin Staten General di
Batavia VOC diberikan “hak Oktroi”:
a) Hak monopoli berniaga.
b) Hak memiliki tanah tempat berdiam.
c) Hak mendiirikan benteng-benteng pertahanan.
d) Hak untuk membuat perjanjian dengan raja-raja di Hindia.
e) Hak untuk membentuk angkatan perang.
f) Hak untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman dan peradilan.3
Sejak semula kehadiran VOC menjadi perdebatan karena statusnya sebagai
lembaga dagang,namun memiliki hak istimewa dalam lapangan politik,pemerintahan
dan kewenangan militer. Dalam perkembangannya juga memiliki peranan yang
berlebihan termasuk mencampuri tatanan penerapan hukum di wilayah Hindia
Belanda.Hal ini tampak secara mencolok pada masa pemerintahan Gubernur J.P Coen
setelah penduduk Jayakarta dengan menggantinya menjadi Batavia. Dia membentuk
dewan khusus yang secara terpisah mengurus masalah politisi dan peradila.Struktur
Keanggotaannya mempergunakan perwakilan berimbang antara pegawai Vereenigde
Oost-Indische Compagnie atau VOC dan penduduk Batavia keturunan Cina.Dasar
hukumnya menggunakan VOC.4VOC sendiri mengalami beberapa kali perubahan
baik menyangkut nama,peranan,dan struktur akibat perang antara Inggris dan Belanda
serta dibubarkannya VOC yang diikuti dengan cabutan hak oktroi, pemerintahan
pusat Belanda menunjuk Gubernur Jenderal Mr.Herman Willem Daendels.Mneurut
Daedels dalam hal penghukuman hukum adat memiliki berbagai kelemahan.Oleh
karena itu ,Gubernur Jenderal berhak mengubah sistem penghukuman menurut
hukum pidana terhadap masyarakat adat ke dalam hukum pidana Eropa apabila:
a) Perbuatan pidana yang dilakukan berakibat mengganggu
kepentingan dan ketertiban umum.
b) Perbuatan pidana yang dilakukan bula dituntut berdasarkan atas
huku pidana adat dapat mengakibatkan si pelaku dinyatakan bebas
dari hukuman.

3
Ali Imron, “Menerapkan Hukum Islam Yang Inovatif Dengan Metode Sadd Al-Dzari’ah,” Jurnal Ilmiah
Ilmu Hukum QISTI 4, no. 1 (2010): 65–82.
4
Muliadin Iwan, Pasang-Surut Hubungan Buton – Voc: Studi Masa Sultan Himayatuddin Muhammad
Saidi (1751-1752, Dan 1760-1763), Paper Knowledge . Toward a Media History of Documents, 2014,
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36426/1/MULIADIN IWAN - FAH.pdf.

3
c) Perbuatan pidana yang dituntut tidak cukup bukti sehingga di
khawatirkan si pelaku dapat dibebaskan.
Pemerintahan Belanda akhirnya digantikan oleh Inggris (1811 – 1816) Ketika
Rffles menjadi Gubernur Jenderal,hal yang meninjol dilakukannya adalah
memberikaan kelelusaaan terhadap berlakunya ketentuan hukum adat dalam
lapangan hukum dan pengadilan pda umumnya.Namun demikian ,Raffles
memberikan suatu pembatasan asalkan ketentuan hukum adat tidak bertentangan
dengan universal and acknow ledged principles og natural justice atau the
acknowledged principles of substantial justice. Raffles sayangkan tidak memiliki
pengetahuan yang mendalam tentang hukum adat.Sering kali ia menyamakan hukum
agama identik dengan hukum adat.Menurut hukum adata itu belum sederajat dengan
hukum Eropa, tetapi ia tetap baik diperlakukan terhadap orang pribumi dan tidak
patut untuk orang Eropa.Pemerintahan Ingggris hanya bertahan sampai tahun
1816.Berakhirnya peraang Inggris – Belanda melalui Conventie London 13 Agustus
1814 memaksa Inggris menyerahkan semua daerah jajahan yang telah didudukinya
kecuali wilayah “Tanju pengharapan, Demarary, Esse Quedo, dan Berbice”.5
Tanggal 20 Maret 1602 didirikan VOC yang merupakan gabungan dari
maskapai dagang Belanda. Tahun 1619 VOC di bawah pimpinan Jenderal Jan Pieter
Zoon Coen menduduki Jakarta (Batavia). Wilayah VOC meliputi daerah di antara
Laut jawa dn Samudera Indonesia, dengan batas-batas, sebelah Barat: Sungai
Cisadane, sebelah Timur, sungai Citarum. Kedudukan VOC pada waktu itu:
1) Sebagai pengusaha perniagaan;
2) Sebagai penguasa pemerintahan.
Guna menjaga kepentingan VOC di Hindia Belanda, tahun 1609 Staten
General (Perwakilan Rakyat), Belanda memberikan kuasa kepada pengurus VOC di
Banten (Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia/Raad Van Indie) untuk membentuk
hukum sendiri. Adapun hukum yang ditetapkan pada waktu itu adalah hukum VOC,
yang terdiri dari unsur-unsur: a) Hukum Romawi; b) Asas-asas hukum Belanda
Kuno; c) Statuta Betawi. Statuta Betawi dibuat oleh Gubernur Jenderal Van Diemen
yang berisikan kumpulan plakat-palakat dan pengumuman yang dikodifikasikan.6
Menurut Van Vollenhoven: Kebijakan yang diambil oleh VOC dalam bidang
hukum tersebut disebutnya “Cara mempersatukan hukum yang sederhana”. Dalam
praktek/kenyataannya, peraturan yang diambil oleh VOC dalam bidang hukum
tersebut tidak dapat dijalankan, sebab: 1) Ada hukum yang berlaku di dalam pusat

5
Jurusan Pendidikan Sejarah and Fakultas Ilmu, “PERGESERAN KESULTANAN SUMENEP KE TANGAN
VOC TAHUN 1624-1705 AVATARA , E-Journal Pendidikan Sejarah” 4, no. 3 (2016).
6
Ahmad Ferdi Abdullah, “Blambangan People’S Resistance To Voc Year 1767-1773,” Santhet: (Jurnal
Sejarah, Pendidikan Dan Humaniora) 3, no. 2 (2019): 46–55, https://doi.org/10.36526/js.v3i2.695.

4
pemerintahan VOC, yaitu dalam kota Betawi/Batavia dan 2) Ada hukum yang
berlaku di luar pusat pemerintahan VOC, yaitu di luar kota Betawi/Jakarta.
Menurut Utrecht, Hukum yang berlaku untuk penduduk asli adalah hukum
adat. Kecuali untuk daerah Betawi/Jakarta, Sebab adanya kesulitan sarana
transportasi waktu itu dan kurangnya alat pemerintah. Sebagai jalan keluarnya, maka
dikeluarkan resolutie 21- 12-1708. Sebagian Priangan (barat, tengah dan timur)
diadili oleh Bupati dengan ombol-ombolnya dalam perkara perdata dan pidana
menurut hukum adat.
Hubungan antara VOC, Mataram, dan Sumenep dapat dijelaskan sebagai
sebuah hubungan di dalam sistem feodalisme. Dimana VOC yang memegang
kekuasaan tertinggi membawahi Mataram. Sumenep ada di bawah Mataram karena
Sumenep merupakan wilayah bawahan Mataram. Masa kepemimpinan Tumenggung
Yudanegara pun dirasa cukup membuat Sumenep menjadi salah satu wilayah yang
disegani karena keberhasilan Tumenggung Yudanegara dalam meredakan
pemberontakan yang dilakukan oleh Blambangan. 24 Berlakunya sistem
pemerintahan yang semuanya bermuara pada raja Mataram membuat bias bahwa
sesungguhnya penguasa di Sumenep hanya sebagai boneka yang menjalankan
pemerintahan di bawah pemerintah pusat. Penguasa Sumenep hanya membantu
mengendalikan kondisi pemerintahan di Sumenep. Fakta bahwa Sumenep
merupakan bentukan Trunajaya yang telah memberontak terhadap Mataram
menambah ketakutan Yudanegara jika sewaktu-waktu wilayah ini akan diserang oleh
Mataram dengan pasukan yang jauh lebih besar daripada pasukan dari Blambangan.7

B. Masa pemerintahan Jepang


Dalam perjalanan sejarah Indonesia, Jepang pernah memerintah Hindia-
Belanda (nama Indonesia dulu ketika masa kolonial). Selanjutnya setelah jatuhnya
daerah kekuasaan Hindia Belanda di daerah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan
Maluku, memudahkan Jepang untuk menaklukan pusat kekuasaan Hindia Belanda
yang berada di Batavia (Jakarta).8 Kemudian divisi ke-2 tentara Jepang yang
mendarat untuk pertama kalinya di Jawa Barat dan Divisi ke-48 di Jawa Tengah.
Tentara Jepang itu dipimpin oleh letnan jendral Hitoshi Imamura yang nantinya akan
bertugas melawan sekutu dalam memperebutkan Jawa. Pada akhirnya kekuatan
Jepang ditambah dengan Divisi ke-38 di bawah Kolonil Shoji. Pasukan Jepang yang
baru menaklukan daerah Indonesia utara juga kan bergabung. Ditambah angkatan

7
Eko Punto Hendro, “Perkembangan Morfologi Kota Cirebon Dari Masa Kerajaan Hingga Akhir Masa
Kolonial (The Development of the Morphology of Cirebon City from the Royal Period to the End of the
Colonial Period),” Paramita 24, no. 1 (2014): 17–30.
8
Ahmad Ferdi Abdullah, “Blambangan People’S Resistance To Voc Year 1767-1773.”

5
udara Jepang sangat kuat, sedangkan angkatan udara Belanda sudah dihancurkan
pada pangkalan-pangkalan sebelumnya.
Meluasnya militer Jepang yang disebarkan di seluruh daerah Jawa sekaligus
menunjukkan jumlah yang lebih besar daripada kekuatan Sekutu. Membuat
kekalahan dari pihak Belanda. Pada tanggal 1 Maret 1942 tentara ke-16 Jepang
berhasil mendarat di tiga tempat sekaligus, yakni di Teluk Banten, Eretan Wetan
(Jawa Barat), dan Kragan (Jawa Tengah). Setelah pendaratan itu, ibukota Batavia
(Jakarta) pada tanggal 5 Maret 1942 diumumkan oleh Jepang sebagai “kota terbuka”
dan tidak lagi berada dalam genggaman Belanda. Setelah itu tentara Jepang langsung
menguasai daerah sekitar, yaitu Bogor.
Setelah penyerahan kekuasaan dari Pemerintah Kolonial Belanda kepada
pemerintah militer Jepang, ekspedisi selanjutnya, pada tanggal 1 Maret Jepang telah
mendarat dan menyerbu kota Bandung dengan dipimpin oleh Kolonel Toshinori Shoji
dengan pasukan 5.000 orang yang sudah siap berada di Eretan, sebelah barat Cirebon.
Pada hari itu juga berhasil membekukan daerah Subang. tentara Jepang mulai
memasuki Kota Bandung, mereka masuk dari arah Lembang dan Sumedang dengan
berjalan kaki. Di sepanjang jalan rakyat Kota Bandung menyambut tentara Jepang
dengan banzai. Masyarakat Kota Bandung menyambut kedatangan tentara Jepang
dengan penuh kegembiraan, karena tentara Jepang dianggap sebagai saudara tua
yang akan membebaskan bangsa Indonesia dari cengkraman penjajahan Belanda
(Sofianto, 2014: 53). Maka Momentum seperti ini mereka gunakan untuk terus
berusaha menekan Belanda dan sekutunya dengan merebut lapangan terbang Kalijati
yang berjarak sekitar 40 km dari Bandung. Perebutan kembali daerah tersebut oleh
Belanda terus dilakukan sampai tanggal 4 Maret 1942, pada akhirnya Jepang berhasil
menguasai daerah tersebut.9
Operasi kilat Detasemen Shoji telah mengakibatkan tentara KNIL kritis. Pada
6 Maret 1942 keluarlah perintah dari panglima KNIL, letnan jendral Ter Poorten
kepada panglima di Jawa Barat, Mayor Jendral J.J. Pesman tentang tidak
diperbolehkannya melakukan pertempuran. Hal itu dikarenakan Bandung menjadi
kota mati yang penuh sesak dan banyak penduduk sipil, wanita, dan anak-anak. Tak
lama sesudah keberhasilannya Jepang mendudukan KNIL di Lembang, maka pada
tanggal 7 Maret 1942 tepat petang hari pasukan-pasukan Belanda di sekitar Bandung
menyerahkan diri (Poesponegoro dan Notosusanto 2008: 4).
Dengan demikian, pada 7 Maret 1942 pasukan Belanda di sekitar Bandung
meminta untuk penyerahan lokal. Kolonil Shoji menyampaikan usulan tersebut
kepada jendral Imamura, namun tuntutannya penyerahan lokal itu harus semua
pasukan Serikat di Jawa. Jìka pihak Belanda tidak mengindahkan ultimatum Jepang,
9
Kunto Sofianto, “Garut Pada Masa Pemerintahan Pendudukan Jepang (1942-1945),”
Sosiohumaniora 16, no. 1 (2014): 70, https://doi.org/10.24198/sosiohumaniora.v16i1.5684.

6
maka kota Bandung akan dibom melalui jalur udara. Jenderal Imamura pun
mengajukan tuntutan lainnya supaya Gubernur Jenderal Belanda ikut serta dalam
perundingan di Kalijati. Jika tuntutan ini dilanggar, maka pemboman atas kota
Bandung akan segera dilakukan. Namun pada akhirnya pihak Belanda memenuhi
tuntutan Jepang. Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer maupun
Panglima Tentara Hindia Belanda serta beberapa pejabat tinggi militer dan seorang
penerjemah pergi ke Kalijati. Di sana mereka kemudian berhadapan dengan Letnan
Jenderal Imamura yang datang dari Batavia (Jakarta). Hasil pertemuan antara kedua
belah pihak adalah kapitulasi tanpa syarat Angkatan Perang Hindia Belanda kepada
Jepang.
Dengan penyerahan tanpa syarat oleh Letnan Jenderal Ter Poorten, Panglima
Angkatan Perang Hindia Belanda atas nama Angkatan Perang Serikat di Indonesia,
kepada tentara ekspedisi Jepang di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi
Imamura. Pada tanggal 8 Maret 1942, berakhirlah pemerintahan Hindia Belanda di
Indonesia, dan dengan resmi ditegakkan kekuatan Kemaharajaan Jepang. Indonesia
memasuki suatu periode baru, yaitu periode pendudukan militer Jepang. Berbeda
dengan zaman Hindia Belanda di mana hanya terdapat satu pemerintahan sipil, maka
pada zaman Jepang terdapat tiga pemerintahan militer pendudukan, yaìtu:
Pemerintahan militer Angkatan Darat (Tentara Keduapuluh lima) untuk Sumatera
dengan pusatnya di Bukittinggi, Pemerintahan militer Angkatan Darat (Tentara
Keenambelas) untuk Jawa-Madura dengan pusatnya di Jakarta, Pemerintahan militer
Angkatan Laut (Armada Selatan Kedua) untuk daerah yang meliputi Sulawesi,
Kalimantan dan Maluku dengan pusatnya di Makassar (Poesponegoro dan
Notosusanto 2008: 5).10
Dengan Susunan pemerintahan militer Jepang terdiri atas: Gunshireikan
(panglima tentara), kemudian disebut Saikõ Shikikan (panglima tertinggi)
merupakan Pimpinannya, di bawah Saikõ Shikikan terdapat Gunseikan (kepala
pemerintah militer) yang dirangkap oleh kepala staf Tentara. Gunshireikan
menetapkan peraturan yang dikeluarkan oleh Gunseikan, namanya Osamu Kanrei.
Peraturan-peraturan itu diumumkan dalam Kan Põ (berita pemerintah), sebuah
penerbitan resmi yang dikeluarkan oleh Gunseikanbu. Panglima Tentara
Keenambelas di pulau Jawa yang pertama, ialah Letnan Jenderal Hitoshi Imamura.
Sedangkan kepala stafnya adalah Mayor Jenderal Seizaburo Okasaki. Dia diberi
tugas untuk membentuk pemerintahan militer di Jawa dan kemudian di angkat
menjadi Gunseikan. Staf pemerintahan militer pusat dinamakan Gunseikanbu, yang
terdiri dan 4 macam bu (semacam departemen) yaitu Sõmubu (Departemen Urusan
Umum), Zaimubu (Departemen Keuangan), Sangyobu (Departemen Perusahaan,
Industri dan Kerajinan Tangan) dan Kotsubu (Departemen Lalulintas), yang

10
Miftahur Rohman, “Kebijakan Pendidikan Islam Masa Penjajahan Jepang,” Al-Hikmah: Jurnal
Pendidikan Agama Islam 2, no. Kebijakan Pendidikan Islam (2018): 15–33.

7
kemudian ditambah dengan bu yang kelima, yaitu Shihõbu (Departemen
Kehakiman). Selanjutnya, koordinator pemerintahan militer setempat disebut
Gunseibu, yang dibentuk di Jawa Barat dengan pusatnya di Bandung, di Jawa
Tengah dengan pusatnya di Semarang, dan di Jawa Timur dengan pusatnya di
Surabaya. Di samping itu dibentuk dua daerah istimewa (kõci) Surakarta dan
Yogyakarta (Poesponegoro dan Notosusanto 2008: 7).11
Pada setiap Gunseibu ditempatkan beberapa komandan militer setempat,
semuanya ditugaskan untuk memulihkan ketertiban dan keamanan juga menanamkan
kekuasaan yang sementara ini kosong. Selanjutnya, mereka juga diberi wewenang
untuk memecat para pegawai kolonial Belanda yang kurang bagus dalam membentuk
pemerintahan setempat. Namun, usaha dalam membentuk pemerintahan setempat
ternyata tidak berjalan dengan lancar. Sehingga Jepang mengalami kekurangan
tenaga pemerintahan, sebenarnya sudah dikirimkan tetapi kapalnya tenggelam karena
ketarkam torpedo Serikat. Jadi terpaksa diangkat pegawai-pegawai dari bangsa
lndonesia. Dengan kejadian itu (tanpa dikehendaki oleh pihak Jepang pada waktu itu)
sehingga menguntungkan pihak Indonesia yang dengan demikian memperoleh
pengalaman dalam pemerintahan.
Selanjutnya, dibentuklah pemerintahan daerah yang berdasarkan peraturan
No.27, berisi peraturan yang mengenai perubahan tata pemerintahan daerah yang
disebutkan di seluruh Jawa dan Madura kecuali Yogyakarta dan Surakarta. Peraturan
ini membagi pemerintahan daerah dalam syu (karesidenan), syi (kotapraja), ken
(kabupaten), gun (kawedanan), son (kecamatan), dan kun (desa). Para pemimpinnya
(co) disebut dengan syico (residen), kenco (bupati dan walikota), gunco (wedana),
sonco (camat), dan kunco (kepala desa). Terbitnya peraturan tersebut maka sistem
pembagian yang lama di masa pemerintahan Hindia Belanda, dalam lingkup
pemerintahan militer di Jawa, telah menghapuskan status provinsi atas Jawa Barat,
Jawa Tengah dan Jawa Timur (Bizawie, 2014: 113).12

C. Periode 1945 s/d sekarang


Pada periode ini, Indonesia sebagai negara merdeka mulai memproduksi
regulasi-regulasinya sendiri. Akan tetapi, regulasi-regulasi tersebut tidak mungkin
menjadi regulasi yang sama sekali baru dan terpisah dengan produk-produk era
kolonial, tetap ada bagian yang diadopsi bahkan masih dipertahankan
keberlakuannya. Berbicara tentang produk regulasi Indonesia, tentunya yang paling
11
Muhammad Rijal Fadli and Dyah Kumalasari, “Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pada Masa
Pendudukan Jepang,” Sejarah Dan Budaya : Jurnal Sejarah, Budaya, Dan Pengajarannya 13, no. 2
(2019): 189, https://doi.org/10.17977/um020v13i22019p189-205.
12
Lengsi Manurung, “Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan” 5, no. 2 (2019),
https://doi.org/10.5281/zenodo.2678137.

8
mula adalah konstitusi, sebagai undang-undang tertinggi, yaitu Undang-Undang
Dasar 1945 (UUD 1945). Meneruskan norma undang-undang kolonial yang
memberikan pengakuan langsung terhadap eksistensi kesatuan masyarakat adat
beserta hak-haknya, termasuk hak atas tanah ulayat, para pendiri Negara Republik
Indonesia pada umumnya, dan para perancang UUD 1945 pada khususnya, juga
memberikan pengakuan yang sama. Kesatuan-kesatuan masyarakat adat ini diakui
sebagai daerah yang bersifat istimewa, yang mempunyai hak asal-usul, yang harus
dihormati dalam membuat berbagai kebijakan dan peraturan negara setelahnya.
Norma hukum tentang pengakuan otomatis terhadap kesatuan masyarakat hukum
adat ini tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945.
Daerah-daerah yang memiliki hak-hak asal-usul adalah daerah-daerah yang
bersifat istimewa. Satu daerah dikatakan istimewa ketika ia mempunyai susunan asli.
Yang dimaksud dengan susunan asli ini adalah zelfbesturende landschappen dan
volksgemeenschappen sebagaimana dicontohkan dengan desa di Jawa, nagari di
Minangkabau, dusun dan marga di Palembang. Istilah zelfbesturende landschappen
dapat diartikan masyarakat yang mempunyai sistem pengurusan diri sendiri atau
kesatuan masyarakat hukum adat. Pengurusan diri sendiri itu terjadi di dalam sebuah
bentang lingkungan (landscape), sehingga kata zelfbesturende digabungkan dengan
landschappen hingga membentuk satu frase tersendiri (Pemohon dalam Putusan MK
Nomor 35/PUU-X/2012).13
Prinsip pengakuan terhadap masyarakat dengan susunan asli ini dijelaskan
secara implisit oleh AA GN Ari Dwipayana dan Sutoro Eko bahwa “pengakuan
terhadap daerah yang memiliki susunan asli ini mempergunakan asas rekognisi”.
Asas ini berbeda dengan asas yang dikenal dalam sistem pemerintahan daerah yang
meliputi asas dekonsentrasi, desentralisasi dan tugas pembantuan. Jika asas
desentralisasi didasarkan pada prinsip penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, maka asas rekognisi merupakan pengakuan dan penghormatan negara
terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionilnya
(otonomi komunitas).
Mengenai hak asal-usul, menurut Noer Fauzi Rachman (Ahli Pemohon dalam
Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012), di dalam konsepsi politik hukum, terdapat
macam-macam hak meliputi hak asal-usul, hak bawaan, dan hak berian. Jika hak asal-
usul membawa implikasi pada pengakuan secara otomatis oleh negara berdasarkan
asas rekognisi, maka hak berian adalah kewenangan pemerintah pusat menggunakan
asas dekonsentrasi, desentralisasi dan tugas pembantuan.

13
Penerapan Norma et al., “Penerapan Norma Dan Asas-Asas Hukum Adat Dalam Praktik Peradilan
Perdata *,” 2011.

9
Akan tetapi, tampak ada kontradiksi di dalam UUD 1945. Di satu sisi, Pasal
18 UUD 1945 dan Penjelasannya mengimplikasikan adanya pengakuan otomatis
negara terhadap daerah-daerah istimewa berikut hak asal-usulnya, tetapi di sisi lain
negara juga mengembangkan landasan teoretikal baru untuk menguasai tanah ulayat
kesatuan masyarakat adat melalui Pasal 33 ayat (3) Undang Dasar 1945 yang
menyatakan:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Pasal ini adalah konstruksi dari Hak Menguasai dari Negara (HMN), termasuk
atas tanah. Sekilas ini tampak berbeda dengan asas domein verklaring, jika domein
verklaring menyatakan kepemilikan negara atas tanah sehingga negara tidak
bertindak sebagai penguasa melainkan pemilik tanah, maka HMN menyatakan
“penguasaan”, bukan pemilikan.
Akan tetapi Dr. Saafroedin Bahar (Ahli Pemohon dalam Putusan MK Nomor
35/PUU-X/2012) menilai bahwa konstruksi hak menguasai negara atas tanah ini
adalah bentuk yang lebih buruk dari domein verklaring, oleh karena jika domein
verklaring masih mengakui adanya hak atas ulayat, maka hak menguasai negara atas
tanah malah menafikannya sama sekali. Jika ditelaah secara lebih teliti, baik secara
teoretikal maupun dari praktek pelaksanaannya, ternyata bahwa hak menguasai
negara atas tanah ini lebih merupakan pencabutan hak ulayat dari kesatuan
masyarakat adat, notabene tanpa ganti rugi sama sekali.14

14
Arief Rahman, “Sejarah Pengaturan Hutan Adat Di Indonesia,” n.d.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam sebuah perubahan yang terjadi pasti mempunyai sebuah kekurangan
dalam implementasinya, sehingga perubahan kurikulum yang terus terjadi pun tidak
bisa dihindari demi mewujudkan tujuan yang lebih baik. Dari masa ke masa
kurikulum di Indonesia sering berganti dan berkembang dari Awal Kemerdekaan
atau Masa Orde Lama (kurikulum 1947, kurikulum 1952, kurikulum 1964),
Kurikulum Orde Baru (kurikulum 1968, kurikulum 1975, kurikulum 1984,
kurikulum 1994), Kurikulum Masa Reformasi (kurikulum 2004 kurikulum berbasis
kompetensi (KBK), kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), kurikulum 2013).
Dari semua kurikulum ini memiliki tujuan yang sama yaitu untuk memajukan
pendidikan Indonesia dan membentuk generasi yang lebih baik.

B. Saran
Kami menyadari kemungkinan besar makalah ini masih belum sempurna dan
masih banyak kekurangan. Namun sedikit banyaknya kami berharap materi yang ada
pada makalah ini dapat menambah pengetahuan dari para pembacanya. Namun,
penyusun tetap menyarankan para pembaca untuk mencari lebih banyak referensi
untuk pembahasan tentang Sistem Peradilan pada Jurnal yang ada di situs-situs
terpercaya

11
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Ferdi Abdullah. “Blambangan People’S Resistance To Voc Year 1767-1773.”


Santhet: (Jurnal Sejarah, Pendidikan Dan Humaniora) 3, no. 2 (2019): 46–55.
https://doi.org/10.36526/js.v3i2.695.
Arliman, Laurensius. “Hukum Adat Di Indonesia Dalam Pandangan Para Ahli.”
Jurnal Selat 5, no. 2 (2018): 178–90.
Fadli, Muhammad Rijal, and Dyah Kumalasari. “Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Pada Masa Pendudukan Jepang.” Sejarah Dan Budaya : Jurnal Sejarah,
Budaya, Dan Pengajarannya 13, no. 2 (2019): 189.
https://doi.org/10.17977/um020v13i22019p189-205.
Hendro, Eko Punto. “Perkembangan Morfologi Kota Cirebon Dari Masa Kerajaan
Hingga Akhir Masa Kolonial (The Development of the Morphology of Cirebon
City from the Royal Period to the End of the Colonial Period).” Paramita 24, no.
1 (2014): 17–30.
Imron, Ali. “Menerapkan Hukum Islam Yang Inovatif Dengan Metode Sadd Al-
Dzari’ah.” Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI 4, no. 1 (2010): 65–82.
Manurung, Lengsi. “Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan” 5, no. 2 (2019).
https://doi.org/10.5281/zenodo.2678137.
Muliadin Iwan. Pasang-Surut Hubungan Buton – Voc: Studi Masa Sultan
Himayatuddin Muhammad Saidi (1751-1752, Dan 1760-1763). Paper
Knowledge . Toward a Media History of Documents, 2014.
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36426/1/MULIADIN
IWAN - FAH.pdf.
Norma, Penerapan, D A N Asas-asas Hukum, Adat Dalam, Djldq Xnxp, G D W Gdq,
Djldq Xnxp, Fdud Dnxowdv, et al. “Penerapan Norma Dan Asas-Asas Hukum
Adat Dalam Praktik Peradilan Perdata *,” 2011.
Rahman, Arief. “Sejarah Pengaturan Hutan Adat Di Indonesia,” n.d.
Rohman, Miftahur. “Kebijakan Pendidikan Islam Masa Penjajahan Jepang.” Al-
Hikmah: Jurnal Pendidikan Agama Islam 2, no. Kebijakan Pendidikan Islam
(2018): 15–33.
Sejarah, Jurusan Pendidikan, and Fakultas Ilmu. “PERGESERAN KESULTANAN
SUMENEP KE TANGAN VOC TAHUN 1624-1705 AVATARA , E-Journal
Pendidikan Sejarah” 4, no. 3 (2016).
Sofianto, Kunto. “Garut Pada Masa Pemerintahan Pendudukan Jepang (1942-1945).”
Sosiohumaniora 16, no. 1 (2014): 70.
https://doi.org/10.24198/sosiohumaniora.v16i1.5684.
Wibawarta, Bambang. “Dejima” 10, no. 2 (2008).

12

Anda mungkin juga menyukai