Anda di halaman 1dari 24

KONSEP NEGARA HUKUM INDONESIA

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Budaya Masyarakat Demokratis

Dosen Pengampu : Nurhikmah, M.Pd. Kons

Disusun Oleh :

Kelompok 4 (6D)

1. Fuadah Hasanah NPM. 037118104


2. Lia Audina NPM. 037118106
3. Novi Yulianti NPM. 037118114
4. Nizia Amanda Putri NPM. 037118119
5. Deska Yulis Susanti NPM. 037118122
6. Layli Putri Arfianti Harahap NPM. 037118123

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PAKUAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya kami
dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun tema dari makalah ini yaitu
‘Konsep Negara Hukum di Indonesia’.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih yang sebesar – besarnya kepada
dosen mata kuliah Budaya Masyarakat Demokrasi yang telah memberikan tugas terhadap
kami. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada anggota kelompok yang sudah
membantu, bekerja sama, dan berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, 14 Juni 2021

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1

A. Latar Belakang .................................................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah.............................................................................................................. 5

C. Tujuan Penulisan ............................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 6

A. Konsep Negara Hukum .................................................................................................... 6

B. Sejarah Lahirnya Negara Hukum ..................................................................................... 8

C. Jenis Dan Ciri-Ciri Negara Hukum ................................................................................ 11

D. Hubungan Negara Hukum Dengan Demokrasi .............................................................. 13

E. Negara Hukum Indonesia .............................................................................................. 15

BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 20

A. Kesimpulan...................................................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 21

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sepanjang sejarah kehidupan bernegara, negara sering dihadapkan pada
hukum besi kekuasaan, yaitu power tends to corrupt, absolute power corrupts
absolutely, seperti yang pernah dinyatakan oleh John E.E. Dalber Acton (1834-
1902) yang populer disebut Lord Acton. Dalam perkembangan teori asal mula
negara terdapat dua model negara, yaitu negara dengan nuansa kekuasaan absolut dan
negara hukum. Munculnya ide negara hukum merupakan hasil dari pergulatan
pemikiran yang panjang, bahkan berabad-abad, tentang negara dan hukum,
terutama berkaitan dengan persoalan hakekat, asal mula, serta tujuan negara.
Fokus permasalahannya terletak pada pertanyaan “dari manakah negara mendapat
kekuasaan untuk memerintah serta mengadakan tindakan-tindakan yang harus
ditaati oleh rakyat?”.
Pada abad pertengahan, konsep negara dimaknai sebagai suatu organisasi
masyarakat dengan konsentrasi persoalan-persoalan keduniawian yang disebut
civitas terena. Sementara itu terdapat juga organisasi masyarakat yang
berkonsentrasi pada persoalan keagamaan yang disebut civitas dei. Sedang
organisasi masyarakat yang berkonsentrasi pada persoalan keilmuan disebut
dengan civitas akademica. Dalam perkembangannya antaracivitas terenadan civitas
deiterjadi proses dualisme yang saling menguasai, sehingga dominasi gereja terasa
kental dalam kehidupan kenegaraan. Sebagian raja mengklaim bahwa dia bertahta
karena kehendak Tuhan, kekuasaan raja berasal dari Tuhan, raja adalah wakil atau
bayangan Tuhan di dunia.
Pemikiran para sarjana dan ahli filsafat kenegaraan seperti Machiavelli,
Jean Bodin, dan Thomas Hobbes mengenai teori kedaulatan telah memberi
kontribusi besar terhadap keabsolutan kekuasaan raja yang dikemas dalam teori
Kedaulatan Negara yang monistis. Pernyataan Jean Bodin, Ie Rai Cest, semakin
membawa kekuasaan ke arah absolutisme sebagai akibat dari adanya legitimasi
Doktrinal Teokratis atas kekuasaan raja yang mutlak.
Gagasan utama dari teori Kedaulatan Negara ini ialah bahwa kekuasaan
negara adalah tertinggi dan tak terbatas sehingga negara dapat memaksakan

1
kehendaknya tanpa menghiraukan pihak lain. Kekuasaan negara yang mutlak
tersebut dimanifestasikan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang
menuntut ketaatan masyarakat terhadapnya, sebab negara adalah pembentuk
undang-undang tertinggi (legal omni competence).
Menurut Machiavelli (1469-1527) dalam bukunya Il le Principe, tujuan
negara adalah terciptanya ketertiban dan ketenteraman. Tujuan mulia tersebut
hanya dapat dicapai manakala raja mempunyai kekuasaan mutlak yang tidak dapat
dihalangi dan dicegah oleh siapa pun atau lembaga mana pun. Untuk mencapai
tujuan mulia itu, raja atau negara dapat menghalalkan segala cara (the end justifies
the mean). Kebebasan bertindak seorang raja serta tiadanya lembaga yang dapat
merintangi atau menghalang-halangi karena negara mempunyai kekuasaan, sedang
kekuasaan itu identik dengan hukum.
Menurut Jean Bodin (1530-1596) dalam karyanya Sixlivies de la
Republicus, bahwa kedaulatan adalah atribut negara yang tidak dimiliki oleh
organisasi apa pun. Kemudian kedaulatan itu dipersonifikasikan pada diri seorang raja.
Konsekuensinya, raja tidak bertangung jawab kepada siapa pun selain kepada
Tuhan. Pandangan Bodin ini telah memberikan kontribusi besar terhadap terciptanya
absolutisme raja.
Pandangan Jean Bodin, mengenai absolutisme raja tersebut didukung oleh
Thomas Hobbes (1588-1679). Pandangan Hobbes berangkat dari fenomena
alamiah yang menurutnya tidak ada keadilan, kesentosaan, kesejahteraan,
ketertiban, dan kedamaian. Menurutnya secara alamiah, kehidupan itu tidak tertib, tidak
adil, dan kacau balau, yang diilustrasikan sebagai kehidupan hewani (homo homini
lupus). Dalam kondisi yang demikian, untuk dapat bertahan maka mereka saling
mengadakan perjanjian dengan menyerahkan sejumlah hak kepada raja yang
nantinya diharapkan dapat mengatur tata tertib kehidupan mereka. Karenaitu raja
harus diberi kekuasaan mutlak.
Pemikiran para filosof kenegaraan tersebut, mulai dari Machiavelli sampai
Hobbes, telah menempatkan posisi raja dengan kekuasaan absolut yang
dilegitimasi oleh teori kedaulatan negara. Hal ini ternyata telah membawa dampak
negatif berupa kesewenang-wenangan raja serta tak terlindunginya hak asasi
manusia. Hal ini telah mengundang berbagai tokoh untuk mencari solusi
dalammenghadapinya. Diantaranya adalah Leon Duguit dan Harold J. Laski yang
berpandangan bahwa negara adalah media untuk mencapai kesejahteraan umum

2
sehingga hukum bukan lagi sebagai kumpulan perintah dan larangan, tetapi
sekumpulan cara penyelenggaraan kesejahteraan umum. Dari pemikiran tersebut,
konsep negara berkuasa digeser menjadi negara bertanggung jawab, yaitu
bertanggung jawab terhadap tercapainya kesejahteraan umum. Ketaatan individu
kepada negara bukan disebabkan oleh kekuasaan negara, tetapi oleh tanggung
jawab negara untuk dapat menyelenggarakan pencapaian kesejahteraan bersama.
Penentang paham absolutisme juga datang dari John Locke yang
menyatakan bahwa kekuasaan raja tidak mutlak, dengan alasan pada saat
perjanjian penyerahan hak kepada para raja tidak semua hak masyarakat
diberikan, tetapi ada hak-hak yang tetap melekat pada diri individu, seperti hak
kodrat. Karena itu penguasa atau raja yang diserahi sebagian hak tersebut
seharusnya mengambil peran mengatur pergaulan individu agar tertib.
Dalamkonteks kenegaraan dan terhadap hak-hak kodrat, penguasa atau raja harus
menghormatinya. Dengan demikian funsgi dari perjanjian tersebut adalah untuk
menjamin dan melindungi hak asasi individu dari kemungkinan kesewenang-
wenangan penguasa. Karena itu kekuasaan raja menjadi tidak mutlak karena
dibatasi oleh hak asasi individu warga negara. Selanjutnya Locke juga
menyatakan, agar hak asasi individu tidak dilanggar dan tetap terlindungi, maka
kekuasaan negara harus dibagi menjadi tiga, yaitu kekuasaan: (a) eksekutif, yang
bertugas mempertahankan peraturan dan mengadili; (b) legislatif, yang bertugas
membuat peraturan-peraturan; (c) federatif, yang bertugas selain dari tugas
eksekutif dan legislatif, seperti mengadakan hubungan luar negeri.9Pemikiran
Locke ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Montesquieu dengan
membagi kekuasaan negara menjadi: (a) legislatif; (b) eksekutif; (c) yudikatif,
yang kemudian populer dengan konsep Trias Politica.
Upaya untuk memperjuangkan pembatasan kekuasaan dan menentang
absolutisme juga dilakukan oleh J.J. Rousseau (1712-1778) dengan gagasan
kedaulatan rakyatnya. Menurut pandangan Rousseau, kehidupan individu dalam
keadaan alamiah adalah bebas sederajat, otonom, aman, tertib, dan damai. Dalam
perkembangannya individu sadar bahwa ada ancaman potensial dalam hidupnya,
ada ketimpangan antara penghalang kemajuan dengan alat yang dimiliki individu.
Karenanya, keadaan alamiah (status natural) sulit untuk dapat dipertahankan,
sehingga diperlukan kontrak sosial yang dapat mengubah dari suasana alamiah
(status natural) menjadi suasana bernegara (status civitas). Dalam konteks

3
bernegara, pemerintah selaku pemegang pimpinan organisasi negara dibentuk dan
ditentukan oleh pihak yang berdaulat, yaitu rakyat lewat kehendak umum (volonte
general). Hasil dari perjanjian masyarakat tersebut melahirkan bentuk negara yang
kedaulatannya berada di tangan rakyat lewat kehendak umum atau pemilihan
umum. Dari sinilah lahirnya gagasan negara demokratis, di mana penguasa negara
tidak lain hanyalah wakil rakyat.
Hugo Krabe (1857-1939) juga menentang absolutisme raja dengan dasar
etis, yakni perasaan hukum yang bersumber pada individu yang bersifat etis
normatif yang merupakan manifestasi kesadaran individu tentang baik dan
buruk12. Krabe mengkritisi konsep hukum masa rezim absolutisme, yakni apa
yang diundangkan oleh negara harus berbarometer perasaan hukum masyarakat.
Menurut Krabe, perasaan hukum masyarakat merupakan sumber sekaligus
pencipta hukum. Negara, melalui proses legislasi, pada hakekatnya hanya
memberi bentuk pada perasaan hukum masyarakat tersebut. Suatu peraturan baru dapat
disebut hukum jika sesuai dengan perasaan hukum masyarakat. Dengan demikian,
maka posisi negara tidak berdaulat mutlak, melainkan hukumlah yang berdaulat
karena hakekat negara hanya memberi bentuk, sementara perasaan hukum
masyarakat adalah yang menentukan dan membatasi isi hukum.
Dalam perkembangan selanjutnya, pemikiran Krabe tersebut terkenal
dengan teori kedaulatan hukum yang kemudian menimbulkan bentuk negara
hukum, yaitu negara yang susunannya diformat sedemikian rupa sehingga segala alat
perlengkapan negara, termasuk warga negara, harus taat dan tunduk kepada
hukum.
Dari paparan sejarah perkembangan pemikiran di atas dapat disimpulkan
bahwa konsep negara hukum lahir melalui pemikiran para ahli hukum dan
kenegaraan sebagai reaksi terhadap negara kekuasaan yang absolut. Dari berbagai
pemikiran tersebut dapat disimpulkan pula bahwa ide pembatasan kekuasaanuntuk
mencegah kesewenang-wenangan harus dilakukan dengan cara: (1) memberikan
supremasi pada hukum, yaitu semua tindakan penguasa harus berdasarkan
pada hukum, (2) melakukan pembagian kekuasaan negara, (3) adanya jaminan
hak asasi warga negara, (4) negara berorientasi pada kesejahteraan umum;
(5) diperkuat dengan faham konstitusionalisme; dan (6) bertumpu pada paham
kedaulatan rakyat.

4
B. Rumusan Masalah
1. Apa konsep negara hukum ?
2. Bagaimana sejarah lahirnya negara hukum ?
3. Apa jenis dan ciri – ciri negara hukum ?
4. Bagaimana hubungan negara hukum dengan demokrasi ?
5. Bagaimana negara hukum di Indonesia ?

C. Tujuan Penulisan
1. Mahasiswa mampu menjelaskan konsep negara hukum.
2. Mahasiswa mampu memahami sejarah lahirnya negara hukum.
3. Mahasiswa mampu mengetahui jenis dan ciri – ciri negara hukum.
4. Mahasiswa mampu memahami hubungan negara hukum dengan demokrasi.
5. Mahasiswa mampu memahami negara hukum di Indonesia.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Negara Hukum


Negara Hukum adalah konsep yang merupakan produk sejarah. Karena itu
unsur-unsur negara hukum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan sejarah dan
perkembangan masyarakat dari suatu negara. Sementara itu sejarah dan
perkembangan masyarakat setiap negara tidaklah sama, sehingga pemaknaan dan
unsur-unsur negara hukumnya juga berbeda. Hal ini melahirkan adanya berbagai
tipe negara hukum, mulai dari Negara Hukum Anglo Saxon, Negara Hukum
Eropa Kontinenantal, Negara Hukum Sosialis, Negara Hukum Islam (Nomokrasi
Islam) sampai Negara Hukum Pancasila yang masing-masing mempunyai dasar
pemikiran dan ciri karakteristik sendiri-sendiri. Sampai saat ini, konsepsi
tentang Negara Hukum masih terus berkembang.
Istilah “negara hukum”, yang merupakan terjemahan dari rechsstaat,adalah
istilah baru dalam khasanah ketatanegaraan yang muncul pada sekitar abad ke-19,
dibandingklan dengan istilah demokrasi, konstitusi, atau kedaulatan. Istilah negara
hukum pertama kali digunakan oleh Rudolf von Gneist (1816-1895), seorang ahli
ketatanegaraan dan guru besar pada Universitas Berlin, Jerman, untuk menyebut
pemerintahan Inggris Raya pada waktu itu. Meskipun secara historis istilah negara
hukum baru populer abad ke-19, tetapi pemikiran dan konsepsi negara hukum
sudah dicetuskan sejak abad ke-17 di Eropa Barat bersamaan dengan munculnya
usaha untuk menggulingkan kekuasaan absolut para raja saat itu. Cita-cita dan upaya
untuk membebaskan dari kekuasaan absolut para raja tersebut banyak dipengaruhi
oleh faham individualisme yang diyakini telah membawa bangsa Eropa ke arah
pencerahan, renaissance, dan mengalami reformasi.
Secara historis ada dua istilah yang terkait dengan konsep negara hukum,
yaitu rechsstaatdan rule of law. Kedua istilah tersebut memang mempunyai
perbedaan arti materiil yang disebabkan oleh perbedaan latar belakang sejarah dan
pandangan hidup bangsa di mana kedua istilah tersebut lahir dan berkembang.
Namun keduanya mempunyai arah dan tujuan yang sama, yaitu mencegah
kekuasaan absolut demi pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia.

6
Konsep rechsstaat bertumpu pada sistem hukum civil law, yaitu sistem
hukum Romawi Jerman, dengan latar belakang kelahirannya sebagai perjuangan
untuk menentang absolutisme kekuasaan atau machsstaat. Sedang konsep rule of
lawbertumpu pada sistem hukum common law yang menekankan pada proses
pemutusan perkara di pengadilan secara bebas tanpa pengaruh dan tekanan dari
pihak mana pun.
Secara umum dapat diartikan bahwa negara hukum atau rechsstaat atau
rule of law adalah negara yang susunannya diatur dengan sebaik-baiknya dalam
peraturan perundang-undangan (hukum) sehingga segala kekuasaan dari alat-alat
pemerintahannya didasarkan atas hukum. Begitu pula rakyat tidak bisa bertindak
sekehendaknya yang bertentangan dengan hukum. Negara hukum ialah negara
yang diperintah bukan oleh orang-orang tetapi oleh hukum. Dalam negara hukum hak-
hak rakyat dijamin sepenuhnya oleh negara dan sebaliknya kewajiban-kewajiban
rakyat terhadap negara harus dilaksanakan sepenuhnya dengan tunduk dan taat pada
segala peratuan perundang-undangan negara. Dengan demikian, pemaknaan negara
hukum memang selalu dikaitkan dengan organisasi internal atau struktur negara
yang harus diatur menurut hukum. Setiap tindakan penguasa,dan juga rakyat, harus
didasarkan atas hukum.
Menurut Joeniarto, asas negara hukum mengandung arti bahwa dalam
penyelenggaraan negara tindakan penguasa harus didasarkan hukum bukan
didasarkan kekuasaan atau kemauan penguasa belaka dengan maksud untuk
membatasi kekuasaan penguasa serta melindungi kepentingan masyarakat, yaitu
perlindungan terhadap hak asasi anggota masyarakatnya dari tindakan sewenang-
wenang.16Begitu pula menurut Sudargo Gautama, bahwa dalam suatu negara
hukum terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan. Negara tidak
maha kuasa, tidak bertindak sewenang-wenang. Tindakan-tindakan negara terhadap
warganya dibatasi oleh hukum.
Dengan demikian, suatu negara dapat dikategorikan sebagai negara hukum
apabila tindakan dari pihak yang berwajib, penguasa atau pemerintah secara jelas
ada dasar hukumnya sebagai dasar dari tindakan yang berwajib, penguasa atau
pemerintah yang bersangkutan.

7
B. Sejarah Lahirnya Negara Hukum
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa,
hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata
maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda
karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan
sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar
masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari’at Islam lebih
banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di
Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan
atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari
masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
a. Periode Kolonialisme Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar,
yakni: periode VOC, Liberal Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.
b. b.Periode liberal Belanda Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan
Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854) atau Peraturan tentang Tata
Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya melindungi
kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk
pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari
kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam
(Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap
eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses
peradilan yang bebas. Otokratisme administrasi kolonial masih tetap
berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi sebengis sebelumnya.
Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi ekonomi ini
ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih
terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi
oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta.
c. Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang Kebijakan Politik Etis
dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal politik etis
yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah:
1. Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan
hukum
2. Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi
3. Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi

8
4. Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas
5. Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada
kepastian hukum.

Hingga runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda


mewariskan: Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-
lembaga peradilan Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang
disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi. Masa
pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan
perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap
berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa
lainnya. Beberapa perubahan perundang-undangan yang terjadi:

Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang
setara, diberlakukan juga untuk orang-orang Cina Beberapa peraturan militer disisipkan
dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. Di bidang peradilan,
pembaharuan yang dilakukan adalah:

1. Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan


2. Unifikasi kejaksaan
3. Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan
4. Pembentukan lembaga pendidikan hukum
5. Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum
dengan orang-orang pribumi.

Periode Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal

a. Periode Revolusi Fisik Pembaruan hukum yang sangat berpengaruh di masa awal ini
adalah pembaruan di dalam bidang peradilan, yang bertujuan dekolonisasi dan
nasionalisasi: Meneruskan unfikasi badan-badan peradilan dengan melakukan
penyederhanaan Mengurangi dan membatasi peran badan-badan pengadilan adat dan
swapraja, kecuali badan-badan pengadilan agama yang bahkan dikuatkan dengan
pendirian Mahkamah Islam Tinggi.
b. Periode Demokrasi Liberal UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi manusia.
Namun pada masa ini pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang
ada adalah dilema untuk mempertahankan hukum dan peradilan adat atau
mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap

9
perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang berjalan
hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan dan
mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang
ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No.
1/1951 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan.
c. Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru
1. Periode Demokrasi Terpimpin Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi
Terpimpin yang dianggap sangat berpengaruh dalam dinamika hukum dan
peradilan adalah: Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan
mendudukan MA dan badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif,
Mengganti lambang hukum ?dewi keadilan? menjadi ?pohon beringin? yang
berarti pengayoman, Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan
campur tangan secara langsung atas proses peradilan berdasarkan UU
No.19/1964 dan UU No.13/1965 Menyatakan bahwa hukum perdata pada masa
kolonial tidak berlaku kecuali sebagai rujukan, sehingga hakim mesti
mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional dan kontekstual.
2. Periode Orde Baru Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di
bawah Orde Baru justru diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik
dan pemerintahan. Di bidang perundang-undangan, rezim Orde Baru?
membekukan? pelaksanaan UU Pokok Agraria, dan pada saat yang sama
membentuk beberapa undang-undang yang memudahkan modal asing
berinvestasi di Indonesia; di antaranya adalah UU Penanaman Modal Asing,
UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde baru juga melakukan:
Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif Pengendalian sistem
pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran
hukum; Singkatnya, pada masa orde baru tak ada perkembangan yang baik
dalam hukum Nasional.
3. Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang) Sejak pucuk eksekutif di pegang
Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi empat kali amandemen UUD
RI. Di arah perundang-undangan dan kelembagaan negara, beberapa pembaruan
formal yang mengemuka adalah:
Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan, Pembaruan sistem hukum dan
hak asasi manusia, Pembaruan sistem ekonomi. Penyakit lama orde baru, yaitu
KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) masih kokoh mengakar pada masa pasca

10
orde baru, bahkan kian luas jangkauannya. Selain itu, kemampuan perangkat
hukum pun dinilai belum memadai untuk dapat menjerat para pelaku semacam
itu.

` Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim (kini ditambah advokat) dilihat
masih belum mampu mengartikulasikan tuntutan permbaruan hukum, hal ini dapat dilihat
dari ketidakmampuan Kejaksaan Agung meneruskan proses peradilan mantan Presiden
Soeharto, peradilan pelanggaran HAM, serta peradilan para konglomerat hitam. Sisi
baiknya, pemberdayaan rakyat untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber
daya hukumnya secara mandiri, semakin gencar dan luas dilaksanakan. Walaupun begitu,
pembaruan hukum tetap terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.

C. Jenis Dan Ciri-Ciri Negara Hukum


1. Jenis Negara Hukum
Jenis negara hukum Indonesia dapat dimasukkan dalam konsep negara hukum materiil
atau negara hukum dalam arti luas. Tujuan negara sesuai dengan Pembukaan UUD 1945
alinea IV. Bab XIV Pasal 33 dan 34 UUD NKRI Tahun 1945. Penjelasan umum tentang
pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam negara hukum Indonesia
yang dinamis dan luas ini para penyelenggara negara dituntut untuk berperan luas demi
kepentingan dan kesejahteraan rakyat.
2. Ciri-Ciri Negara Hukum
Konsep negara yang tidak menggunakan hukum, tentu sangat berbeda dengan
negara hukum. Sebab, untuk menetapkan dan mengatur, negara hukum memiliki sebuah
puncak sistem berupa konstitusi atau UUD. Menurut pasal 1 ayat 3 UUD 1945,
Indonesia merupakan negara yang berlandaskan hukum dalam mencari keputusan
objektif dari pihak pemerintah dan rakyatnya. Berikut ini bunyi pasalnya: “Negara
Indonesia adalah negara hukum.”
Secara umum, negara hukum seperti Indonesia memberikan seluruh kepercayaannya
kepada kuasa negara yang berproses melalui hukum yang dianggap baik dan sifatnya
adil bagi seluruh bagian negara. Mulai dari rakyat, hingga pihak pemerintahan yang
memiliki jabatan di kekuasaan negara.
Setelah meninjau bentuk negara hukum Indonesia yang telah disebutkan pasal 1 ayat
3 UUD 1945, Azhary dalam buku Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif
Tentang Unsur-unsurnya (1995), mengungkapkan bahwa terdapat beberapa ciri yang
dapat mendeskripsikan mengapa Indonesia termasuk dalam negara hukum. Ciri-ciri

11
negara hukum menurut Azhary adalah Hukum bersumber pada Pancasila, Berkedaulatan
rakyat, Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi, Persamaan kedudukan di
dalam hukum dan pemerintahan, Kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh
kekuasaan lainnya, Pembentukan undang-undang oleh Presiden bersama-sama dengan
DPR, dan Dianutnya sistem MPR.

Ciri-ciri negara hukum adalah sebagai berikut :

a) Adanya sistem ketatanegaraan yang sistematis


Ciri-ciri negara hukum dapat dilihat dimana negara tersebut memiliki susunan
sistem ketatanegaraan atau kelembagaannya yang mengatur urusan kenegaraan
secara sistematis. Di setiap lembaga yang ada memiliki fungsi dan tugasnya
masing-masing dalam menjalankan pemerintahan negara tersebut agar sesuai
dengan aturan yang telah ditetapkan. Di Indonesia dapat dilihat bahwa Indonesia
memiliki kelembagaan seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Komisi Yudisial (KY), Makhkamah Agung
(MA), Komisi Yudisial (KY) dan lembaga di daerah lainnya.
b) Hukum sebagai patokan segala bidang atau Supremasi Hukum
Supremasi hukum adalah negara tersebut menggunakan hukum sebagai patokan
atau aturan dalam segala bidang. Ciri-ciri negara hukum satu ini merupakan upaya
untuk menempatkan hukum dalam tempat tertinggi sebagai alat perlindungan
rakyatnya. Tanpa adanya intervensi dan penyalahgunaan hukum termasuk para
petinggi negara.
c) Adanya perlindungan dan pengakuan hak asasi manusia (HAM)
Ciri-ciri negara hukum yang paling utama adalah adanya pengakuan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia bagi seluruh rakyatnya. Hak asasi
manusia adalah hak yang paling mendasar dan fundamental. Bagi para pelanggar
HAM bisa dijatuhi hukum secara tegas.
d) Sistem peradilan yang tidak memihak dan memiliki persamaan kedudukan di
hadapan hukum
Sistem peradilan ini meliputi para hakim dan jaksa serta para anggota administrasi
pengadilan yang telah ditentukan berdasarkan hukum yang berlaku. Tak hanya
peradilan pusat, sistem peradilan yang bebas dan tidak memihak juga berlaku di
peradilan-peradilan daerah. Peradilan harus berjalan sesuai dengan hukum dan

12
menerapkan hukum yang sama sehingga tidak adanya berat sebelah antara rakyat
dan para petinggi negara.
e) Adanya pembagian kekuasaan yang jelas
Ciri-ciri negara hukum selanjutnya yaitu adanya pembagian kekuasaan yang jelas.
Pembagian kekuasaan ini menjunjung tinggi nilai demokrasi. Setiap lembaga
memiliki tugas dan fungsinya masing-masing sehingga tidak adanya tumpang
tindih. Jika muncul permasalahan atau konflik, maka lembaga yang berwenang
mampu menerapkan hukum yang tepat sesuai yang berlaku. Seperti yang
disampaikan tokoh terkenal, John Locke, bahwa kekuasaan dibedakan menjadi tiga
yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif.
f) Adanya peradilan pidana dan perdata
Peradilan pidana adalah peradilan yang mengurusi tentang pelanggaran hukum
yang menyangkut banyak orang, sedangkan perdata yang mengurusi pelanggaran
hukum yang hanya melibatkan perseorangan saja. Adanya hukum pidana dan
hukum perdata inilah yang merupakan ciri-ciri negara hukum dan negara dapat
disebut sebagai negara hukum.
g) Legalitas dalam arti hukum itu sendiri
Legalitas dalam hukum adalah asas yang fundamental untuk mempertahankan
kepastian hukum. Asas legalitas ini ditetapkan dan kemudian digunakan untuk
melindungi semua kepentingan individu. Legalitas ini pula yang memberikan
batasan wewenang para pejabat negara untuk mempertanggungjawabkan jika
mereka melanggar hukum yang berlaku.

D. Hubungan Negara Hukum Dengan Demokrasi


Dalam perkembangannya, paham negara hukum tidak dapat dipisahkan dari
paham kerakyatan, sebab pada akhirnya hukum yang mengatur dan membatasi
kekuasaan negara atau pemerintah diartikan sebagai hukum yang dibuat atas
dasar kekuasaan atau kedaulatan rakyat. Begitu eratnya paham negara hukum dan
kerakyatan, sehingga ada sebutan negara hukum yang demokratis. Atau
democratische rechtstaat.
Scheltema, memandang kedaulatan rakyat (democratie beginsel) sebagai
salah satu dari empat asas negara hukum disamping rechtszekerheidbeginsel dan het
beginsel van de dienendeoverheid. Dalam kaitannya negar hukum dan

13
kedaulatan rakyat merupakan unsur material negara hukum, disamping masalah
kesejahtaraan.
Di negara-negara Eropa Kontinental konsepsi negara hukum mengalami
perkembangan yang cukup pesat, utamanya perkembang terhadap asas legalitas
yang semula diartikan sebagai pemerintahan berdasarkan undang-undang
(wetmantigheidvan bestuur). Kemudian berkembang menjadi pemerintahan
berdasarkan atas hukum (rechtmatigheid van bestuur). Terjadi perkembangan
konsepsi tersebut merupakan konsekuensi dari perkembangan konsepsi negara
hukum materil, sehingga kepada pemerintah diserahi tugas dan dan tanggung
jawab yang semakin berat dan besar untuk meningkatkan kesejahtaraan warganya.
Akhirnya, kepada pemerintah diberikan juga ruang gerak yang semakin longgar
yang cenderung melahirkan pemerintahan bebas (vrij bestuur) dengan disertai
ruang kebijaksaan longgar berupa freies ermessen. Guna menghindari agar
pennggunaan kewengan yang bebas (Vrij bestuur )dan wewenang kebijaksanaan
(freies ermessen) tersebut tidak disalah gunakan dan tetap berada dalam batas-
batas hukum, maka kehadiran dan peranan hukum administrasi menjadi semakin
penting dalam penyelenggaraan pemerintahan.Salah satu asas penting negara hukum
adalah asas legalitas.
Subtansi dari asas legalitas tersebut adalah menghendaki agar setiap tindakan
badan/pejabat administrassi berdasarkan Undang-Undang. Tanpa dasar undang-
undang, badan/pejabat administrasi negara tidak berwenang melakukan suatu
tindakan yang dapat merubah atau mempengaruhi keadaan suatu hukum dalam
warga masyarakat.
Asas legalitas berkaitan erat dengan gagasan demokrasi dan gagasan negara
hukum ( het democrattish ideal en het rechtsstaats ideal). Gagasan demokrasi
menuntut agar setiap bentuk undang-undang dan berbagai keputusan mendapatkan
persetujuan dari wakil-wakil rakyat dan sebanyak munkin memperhatikan
kepentingan rakyat. Gagasan negara hukum menuntut agar penyelengaraan
kenegaraan dan pemerintahan harus didasarkan pada undang-undang dan
memberikan jaminan terhadap hak-hak dasar rakyat yang tertuang dalam undang-
undang.
Menurut Sjachran basah, asas legalitas berarti upaya mewujudkan duet
intergral secara harmonis antara anatra paham kedaulatan hukum dengan paham
kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualistik selaku pilar-pilar, yang

14
sifatnya hakikatnya konstitutif. Penerapan asas legalitas menurut Idroharto, akan
menunjang berlakunya kepastian hukum dan berlakunya kesamaan perlakuan.
Secara teoritis dan yuridis sumber asas legalitas asalnya dapat
memperoleh badan/pejabat administrasi melalui atributif (legislator), baik
ditingkat pusat maupun ditingkat daerah. Di indonesia, asas legalitas berupa
atributif tersebut pada tingkat pusat sumbernya dapat diperoleh (berasal dari MPR
melalui UUD dan dari DPR bersama-sama Presiden berupa Undang-Undang
sedangkan atributif yang asalnya diperoleh dari pemerintahan tingkat daerah yang
sumbernya dari DPRD dan Pemerintah daerah adalah peraturan daerah.
Kedua asal wewenang tersebut diatas original legislator atau berasal dari pembuat
undang-undang asli (originale wetgever). Atas dasar hal itulah kemudian
menjadi penyerahan suatu wewenang baru dari pembentuk undang-undang (rakyat
melalui wakil-wakilnya di parlemen) kepada badan/pejabat administrasi
Indonesia. Selanjutnya atas dasar atributif itu tindakan badan/pejabat administrasi
Indonesia menjadi sah secara yuridis dan mempunyai kekuatan mengikat umum
karena telah memperoleh persetujuan dari wakil-wakilnya di parlemen.

E. Negara Hukum Indonesia


Istilah negara hukum Indonesia sering dipadankan dengan rechtsstaat dan juga
istilah the rule of law. Jika dilihat dari sejumlah konstitusi yang pernah berlaku di
Indonesia, dapat dikatakan bahwa semua konstitusi dimaksud selalu menegaskan
bangsa Indonesia sebagai negara hukum. Terkait dengan hal itu, istilah yang digunakan
dalam UUD 1945 sebelum perubahan adalah “Negara yang berdasarkan atas hukum
(rechtsstaat)”. Di samping itu juga, dalam rangka menunjukkan ciri khas bangsa
Indonesia, juga dikenal istilah negara hukum dengan menambah atribut Pancasila
sehingga atas dasar itu, maka kemudian sering disebut sebagai negara hukum Pancasila.
Selanjutnya, dalam Konstitusi RIS 1949, istilah negara hukum disebutkan secara
tegas, baik dalam Mukadimah maupun di dalam Batang Tubuhnya. Dalam alinea ke 4
Mukadimah Konstitusi RIS, ditegaskan bahwa “Untuk mewujudkan kebahagiaan
kesejahteraan, perdamaian dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum
Indonesia Merdeka yang berdaulat sempurna”. Dalam Pasal 1 ayat (1) dipertegas lagi
bahwa “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara
hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi.” Hal itu menunjukkan bahwa konsepsi
negara hukum selalu dijadikan dasar dalam membangun kehidupan suatu negara.

15
Hal yang sama dapat juga dilihat dalam UUDS 1950, dimana istilah negara hukum
secara jelas dicantumkan dalam Mukadimah dan Batang Tubuh. Alinea ke 4
Mukadimah UUD 1950 berbunyi: “Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami
itu dalam suatu piagam Negara yang berbentuk republik kesatuan, berdasarkan
pengakuan keTuhanan Yang Maha Esa, peri-kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan
keadilan sosial, untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia Merdeka yang berdaulat
sempurna”. Kemudian dalam Bab I bagian I, Pasal 1 ayat (1) UUDS 1950, ditegaskan
lagi bahwa: “Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum
yang demokratis dan berbentuk kesatuan”.
Jika dilihat dari kedua UUD tersebut, tampak dengan jelas bahwa istilah negara
hukum dicantumkan secara jelas dan tegas. Kedua UUD itu menggunakan pengertian
negara hukum dikaitkan atau dihubungkan dengan pengertian demokratis, sehingga
menjadi rumusan negara hukum yang demokratis. Selanjutnya, dalam UUD 1945
sebelum perubahan, khususnya sebagai perubahan ketiga yang dilakukan pada tahun
2001, baik dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh atau pasal-pasalnya, tidak
ditemukan rumusan atau istilah negara hukum. Istilah negara hukum hanya terdapat
dalam Bagian Penjelasan, yaitu “Sistem Pemerintahan Negara” disebutkan bahwa
“Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)”. Rumusan atau
ungkapan negara yang berdasarkan atas hukum hampir menyerupai terminologi yang
dikenal di Inggris atau Anglo Saxon, yaitu seperti the state according to law, sedangkan
istilah rechtsstaat di antara tanda kurung dalam Penjelasan UUD 1945 di atas,
merupakan istilah atau rumusan yang sering digunakan di negara-negara Eropa
Kontinental, seperti Jerman dan Belanda.
Oleh sebab itu, maka dapat dikemukakan bahwa penggunaan kedua ungkapan
tersebut dalam Penjelasan UUD 1945, menandakan bahwa substansi negara hukum
Indonesia tidak terlepas dari pengaruh paham Anglo Saxon dan Eropah Kontinental.
Kini, dalam UUD 1945 setelah perubahan, penegasan negara hukum bagi Indonesia
dilakukan melalui Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Namun demikian, tidak ditemukan
penjelasan terkait dengan negara hukum mana sesungguhnya yang bangsa Indonesia
saat ini. Apakah negara hukum dalam arti rechtsstaat atau negara hukum dalam arti the
rule of law atau justru merupakan negara hukum dengan ciri khas
tersendiri.Sebagaimana diketahui bahwa secara umum, lazimnya konsep negara hukum

16
selalu merujuk pada dua aliran utama, yaitu negara hukum dalam arti rechtsstaat dan
negara hukum dalam arti the rule of law.
Namun dalam UUD 1945 setelah perubahan, penegasan konsep negara hukum bagi
Indonesia tidak dibarengi dengan penjelasan lanjutan terkait dengan paham negara
hukum yang dianut. Hal demikian pada prinsipnya mengakibatkan paham negara
hukum yang dianut Indonesia menjadi kurang mengandung kejelasan serta kepastian.
Belum lagi ditambah dengan apa yang dikemukakan Dayanto (2013:498) bahwa
pembangunan hukum pasca reformasi terkesan tambal sulam.
Penerapan prinsip negara hukum di Indonesia dapat dikatakan dijalankan tanpa
berpatokan secara langsung pada prinsip rechtsstaat atau rule of law. Janpatar
Simamora (2016:26) mengemukakan bahwa terwujudnya negara hukum sebagaimana
yang dicita-citakan dalam UUD 1945 akan dapat direalisasikan bila seluruh proses
penyelenggaraan pemerintahan atau negara benar-benar didasarkan pada kaidah-kaidah
yang tertuang dalam konstitusi itu sendiri Negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri
tersendiri yang barangkali berbeda dengan negara hukum yang diterapkan di berbagai
negara. Hanya saja, untuk prinsip umumnya, seperti adanya upaya perlindungan
terhadap hak asasi manusia, adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan, adanya
pelaksanaan kedaulatan rakyat, adanya penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan adanya peradilan administrasi
negara masih tetap digunakan sebagai dasar dalam mewujudkan negara hukum di
Indonesia.
Berdasarkan pelaksanaannya kemudiannya, sejumlah unsur penting tersebut
diwujudkan dengan baik. Terkait dengan perlindungan hak asasi manusia, UUD 1945
setelah perubahan cukup mengakomodir masalah hak asasi manusia secara lengkap.
Bahkan dapat dikatakan jauh lebih lengkap dari pengaturan yang terdapat dalam
konstitusi yang pernah berlaku sebelumnya. Demikian juga halnya dengan pemisahan
atau pembagian kekuasaan, dilakukan melalui sejumlah lembaga negara yang diatur
dalam UUD. Presiden menjalankan kekuasaan eksekutif, DPR dan DPD menjalankan
kekuasaan legislatif serta adanya MA dan MK sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman
atau kekuasaan yudikatif (Janpatar Simamora, 2015:332).
Keberadaan lembaga-lembaga negara tersebut diatur secara jelas dan tegas untuk
menjalankan kekuasaan negara secara terpisah. Namun demikian dalam
pelaksanaannya, kendati disebut terpisah, masing-masing lembaga negara saling

17
melakukan pengawasan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki demi terciptanya
fungsi kontrol terhadap sesama lembaga negara.
Terkait dengan unsur berikutnya, yaitu pelaksanaan kedaulatan rakyat, unsur
tersebut juga diterapkan secara langsung di Indonesia. Dilakukannya proses pemilihan
secara langsung terhadap presiden dan wakil presiden serta para kepala daerah cukup
menunjukkan bahwa Indonesia sangat menunjung tinggi pelaksanaan kedaulatan
rakyat. Berdasarkan sistem demokrasi yang dijalankan di Indonesia, rakyat merupakan
pemegang kedaulatan tertinggi. Bahkan dilihat dari model pelaksanaan demokrasi
secara langsung di Indonesia, dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu
negara yang paling demokratis dalam menjalankan dan merealisasikan kedaulatan
rakyat.
Selanjutnya, terkait dengan unsur penyelenggaraan pemerintahan negara yang
didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau didasarkan pada hukum yang
berlaku, hal tersebut dapat dilihat dari pelaksanaan kekuasaan negara yang selalu
dilandaskan pada aturan yang sudah ada sebelumnya. Setiap aktivitas pemerintahan
tidak dimungkinkan dijalankan tanpa adanya aturan hukum yang menjadi acuan dan
dasar pelaksanaannya. Dalam konteks ini, sangat terlihat dengan jelas bagaimana
hukum dijadikan sebagai dasar dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selain itu, perwujudan unsur negara hukum berikutnya adalah dapat dilihat dari
adanya peradilan tata usaha negara sebagai jalan dan sarana dalam rangka melindungi
kepentingan individu dalam masyarakat dari pelaksanaan kekuasaan negara oleh
pemerintah. Oleh sebab itu, adanya peradilan tata usaha negara pada prinsipnya
dimaksudkan untuk melindungi kepentingan individu dalam masyarakat atas
pelaksanaan kekuasaan negara atau pemerintahan.
Dilihat dari sejumlah unsur tersebut, dapat ditegaskan bahwa penerapan prinsip
negara hukum Indonesia didasarkan pada prinsip tersendiri yang barangkali tidak selalu
sejalan secara utuh dengan prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana dikenal pada
masa awal lahirnya konsep negara hukum. Hal demikian dapat dimaknai sebagai bentuk
dinamika atau perkembangan perwujudan negara hukum dalam tataran kekinian.
Bagaimanapun juga bahwa prinsip negara hukum akan selalu mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang
dialami oleh suatu negara.
Seiring dengan adanya penerapan negara hukum dengan prinsip tersendiri di
Indonesia, tentu sangat diharapkan agar pelaksanaan negara hukum itu sendiri benar-

18
benar berjalan sesuai dengan unsur-unsur yang terkandung dalam prinsip negara
hukum. Penerapan negara hukum sangat membutuhkan konsistensi agar kemudian
dapat berjalan dengan baik serta mampu mencapai tujuan negara hukum itu sendiri.

19
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Indonesia merupakan negara hukum tertuang dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-
UndangDasar 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”, dimana
Indonesiamenggabungkan beberapa system hukum di dalam konstitusinya. Makna dari
pasal 1 ayat 3tersebut adalah Indonesia adalah negara hukum yang pelaksanaan
ketatanegaraanya dilaksanakanberdasarkan peraturan dan ketentuan yang berlaku.
Negara hukum sendiri berdiri di atas hukumyang menjamin keadilan bagi seluruh
warga negara. Untuk Indonesia, negara hukum didasarkanpada nilai-nilai Pancasila
yang merupakan pandangan hidup bangsa dan sumber dari segalasumber hukum.
Dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara
yangberkedaulatan rakyat didasarkan kepada suatu Undang-Undang Dasar. Dari
pernyataan tersebutIndonesia adalah negara demokrasi konstitusional. Menurut
konsep negara demokrasikonstitusional, kekuasaan penyelenggaran negara
dibatasi oleh konstitusi. Setiap Negaramemiliki konstitusi, salah satunya Negara
Indonesia memiliki satu dokumen yang memuatkesepakatan yang dirumuskan para
pendiri negara, yang memuat apa yang menjadi tujuan negarayang dibentuk, dasar
pemikiran di atas mana negara didirikan, cabang-cabang kekuasaan negarayang
dibentuk, bagaimana hubungan lembaga-lembaga negara itu satu sama lain serta
hubungannegara dengan rakyatnya. UUD 1945 itu merupakan konstitusi tertulis yang
merupakan hukumtertinggi di Indonesia.
Dalam sebuah negara hukum, kekuasaan akan dijalankan oleh pemerintah
berdasarkedaulatan hukum atau yang kita sebut sebagai supremasi hukum yang
bertujuan untukmenjalankan sebuah ketertiban hukum. Supremasi hukum sendiri
haruslah mencakup tigamacam ide dasar dari sebuah hukum, yaitu dasar keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian. Oleh sebab itu hukum tidak boleh mengabaikan keadilan
masyarakat, dan sebuah hukum tidak runcing kebawah dan tumpul ke atas karena
semua sama didepan mata hukum.

20
DAFTAR PUSTAKA

https://hanumbellablog.wordpress.com/2016/10/13/sejarah-lahirnya-hukum-di-indonesia/

https://www.liputan6.com/citizen6/read/3920171/mengetahui-ciri-ciri-negara-hukum-
dilengkapi-penjelasannya

Siallagan, H. (2016) ‘Ambiguity of Indonesia State Law Concept’, Sosiohumaniora, 18(2), pp.
131–137.

https://123dok.com/document/ynn8141y-negara-hukum-indonesia.html#fulltext-content

21

Anda mungkin juga menyukai