Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH TEORI SOSIOLOGI KLASIK

Mengkaji Fenomena Kapiltalisme Di Indonesia Dengan Dua Teori Para


Filsuf

Dosen Pengampu :

Dra. Anita Damayantie, M.H,

Disusun Oleh :

Agustin Anggraisa 2216011009


Komang Danu Artha Arya W 2216011017
Arya Seta Yudayana 2216011025
Adi Setia Irawan 2216011091
Laili zabrina 2216011099
Nandita Firgiawati 2216011095

FAKLTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah Ta’ala yang
telah memberikan limpahan rahmat, nikmat dan karunia-Nya sehingga makalah
yang berjudul, "Mengkaji Fenomena Kapiltalisme Di Indonesia Dengan Dua Teori
Para Filsuf" dapat kami selesaikan dengan baik. Kami tim penulis berharap melalui
makalah ini dapat menambah pengalaman dan pengetahuan bagi pembaca tentang
bagaimana kapitalisme terjadi di Indonesia. Begitu pula atas kesempatan dan
kesehatan yang Allah SWT berikan kepada kami sehingga kami dapat menyusun
makalah ini melalui sumber media internet maupun kajian pustaka.

Pada kesempatan ini, kami tim penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
yang telah memberikan motivasi dan semangat dalam pembuatan makalah ini.
Kami berharap, materi dan informasi dalam makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi pembaca. Allah lah yang maha sempurna, tidak ada yg sempurna selainnya.
Oleh karena itu, kami tim penulis memohon kritik dan saran yang bersifat
membangun bagi makalah kami selanjutnya.

Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam ketidaksesuaian
materi, atau pun tulisan pada makalah ini, kami tim penulis memohon maaf sebesar-
besarnya.

Bandarlampung, 15 Maret 2023

Penulis

i
Daftar Isi

KATA PENGANTAR.......................................................................................... i

Daftar Isi .............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1

1.2. Rumusan Masalah .................................................................................. 2

1.3. Tujuan ..................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 4

2.1 Kajian Teori Thomas Hobbes ................................................................ 4

2.2 Kaitan Teori Thomas Hobbes Dengan Fenomena Kapilalisme Di


Indonesia ........................................................................................................ 5

2.3 Korelasi Antara fenomena dan teori John Lock ................................ 12

BAB III PENUTUP.......................................................................................... 13

3.1 Kesimpulan ............................................................................................ 13

3.2 Saran ....................................................................................................... 13

Daftar Pustaka ................................................................................................... 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Makalah ini menggambarkan pemikiran tentang politik dan Hukum
Thomas Hobbes, khususnya yang berkaitan dengan teori Hukum yang
dikemukakan serta relevansinya terhadap Hukum Tata Negara. Hobbes
mengibaratkan Negara sebagai Leviathan, sejenis monster (makhluk
raksasa) yang ganas, menakutkan dan bengis yang terdapat dalam kisah
perjanjian lama. Makhluk raksasa ini selalu mengancam keberadaan
makhluk-makhluk lainnya. Leviathan tidak hanya ditakuti tapi juga
dipatuhi. Hobbes menjuluki Negara kekuasaan (machtsstaat) sebagai
Leviathan. Negara ini menimbulkan rasa takut kepada siapapun yang
melanggar Hukum Negara, Negara leviathan tak segan-segan
menjatuhkan vonis Hukuman mati. Negara Leviathan harus kuat. Bila
lemah akan timbul anarkhi, perang sipil mudah meletus dan dapat
mengakibatkan kekuasaan terbelah. Menurut Hobbes keadaan yang
berpotensi menimbulkan anarkhi dan perang didasarkan pada hakikat
alamiah yang melekat pada diri manusia itulah yang melahirkan
persaingan sesama manusia. Dalam usaha memaksimalisasi kebahagiaan
dan meminimalisir penderitaan diri, manusia akan berhadapan dengan
manusia lain. Maka ada sebagian manusia yang akan lebih berhasil
mencapai lebih banyak kebahagiaan dan sedikit penderitaannya, tetapi di
lain pihak sebagian besar manusia lainnya lebih banyak menderita
daripada memperoleh kebahagiaan mereka yang kalah dalam persaingan
itu akan tersingkir dan mereka yang menang akan berkuasa. Hobbes
berpendapat bahwa kehidupan manusia akan selalu diwarnai oleh
persaingan dan konflik kekuasaan, kekerasan menjadi alat yang ampuh.
Dalam realisasinya tentang teori Johnlock mengenai “Hak Asasi
Manusia”pada dasarnya dibentuk dan dikonsepkan untuk melindungi
hak-hak bagi setiap manusia di dalam suatu negara. Hal ini didasarkan

1
karena sifat manusia yang sering melakukan tindakan di luar batasan
sehingga tidak jarang menimbulkan ketidak adilan bagi orang lain.

John Locke menyatakan adanya hak kodrati (natural right) yang melekat
pada setiap diri manusia, yaitu hak atas hidup, hak kebebasan, dan hak
miliki. Hak kodrati ini terpisah dari pengakuan politisi yang diberikan
negara kepada mereka dan terlebih dahulu ada dari negara sebagai
komunitas politik. John Locke, menyebutkan bahwa individu oleh alam
dikarunia hak yang melekat atas hidup (hak hidup), kebebasan (hak
kebebasan), dan kepemilikan (hak kepemilikan) yang tidak dapat dicabut
oleh negara. Pemikiran tersebuat dituangkan dalam teori kontrak
sosialnya.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa arti serta makna dari teori yang dikemukakan oleh Thomas
Hobbes?

2. Bagaimana keterkaitan teori Thomas Hobbes dengan fenomena


terjadinya kapitalisme di Indonesia?

3. Apa saja contoh fenomena sosial dan dampak yang terjadi dari
fenomena tersebut?

4. Apa saja yang dikemukakan oleh John Locke mengenai Hak Asasi
Manusia?

5. Bagaimana teori Thomas Hobbes dan John Locke saling berkaitan?

1.3. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman yang lebih
mendalam mengenai konsep dasar dan aplikasi dari teori-teori para filsuf

2
dengan fenomena yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat
(khususnya kapitalisme). Beberapa tujuan khusus dari makalah ini antara
lain:

- Menggambarkan konsep dasar Thomas Hobbes mengenai sifat dasar


manusia, termasuk hubungan antara pengaruh dalam kehidupan
masyarakat dan pelaku yang bertindak di dalamnya.

- Menjelaskan konsep dasar John Locke mengenai teorinya serta latar


belakanhg dari terbentuknya teori tersebut.

- Menganalisis hubungan antara fenomena yang terjadi di masyarakat


dengan teori beberapa filsuf dan faktor-faktor yang menyebabkan hal
tersebut saling berkaitan.

- Memberikan contoh fenomena praktis dari penggunaan teori Thomas


Hobbes dan John Locke dalam realisasinya dalam kehidupan bernegara
dalam sebuah bangsa.

- Mengkaji mengenai keterkaitannya kapitalisme di Indonesia dengan


teori-teori yang dikemukakan oleh para tokoh filsuf serta dampak dari
fenomena tersebut.

-Melakukan evaluasi berupa sebuah kesimpulan dan saran pada teori yang
diterapkan di tengah-tengah masyarakat dan cara penyelesaiannya dari
penulis.

Dengan tujuan-tujuan ini, makalah tentang “Mengkaji Fenomena


Kapitalisme di Indonesia Dengan Teori Dua Filsuf”’ dapat memberikan
kontribusi bagi pemahaman dan aplikasi dalam berbagai bidang dan
membantu dalam memahami dinamika sosial dengan lebih baik.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kajian Teori Thomas Hobbes


Sebagai makhluk yang dipilih untuk menjadi pemimpin di bumi, Tuhan Yang
Maha Esa menciptakan manusia dengan kesempurnaan tertinggi. Akan tetapi,
di sisi lain manusia memiliki sifat yang buruk seperti berkeluh kesah, ambisi
yang menjadi obsesi, dan melakukan segala cara untuk mencapai obsesi
tersebut. Sifat merupakan karakteristik atau perilaku individu yang sulit untuk
diubah, sebab sifat merupakan perilaku bawaan manusia sejak lahir semakin
lama, sifat tersebut akan membentuk kepribadian yang melekat di
suatu individu. Hal ini sangat relevan dengan pernyataan Aristoteles bahwa
“Manusia adalah hewan yang berpolitik” jika kita membedah maksud dari
kutipan tersebut bahwa hal yang membuat manusia seperti hewan pada saat
berpolitik, sehingga manusia tidak dapat berpikir dari berbagai sudut pandang
salah satunya sisi kemanusian terutama pada empati dan simpati. Pemikiran ini
juga sesuai dengan teori pemikiran Thomas Hobbes dalam karyanya yang
terkenal Leviathan diawali dengan judul Of Man, yang berisi tentang jiwa
manusia. Hobbes menyadari apabila teori negara harus didasarkan dengan teori
watak manusia. Pada psikologi umumnya, Hobbes mendeskripsikan keinginan
manusia dan etika dari segi prilaku. Berpegang pada pandangannya bahwa
hanya objek dan gerakannya yang nyata, dia berpendapat bahwa sensasi harus
mencakup gerakan partikel. Objek eksternal menekan organ indera dan
menyebabkan gerakan yang berlanjut ke dalam hingga mencapai pusat organ
otak. Ini adalah reaksi terhadap gerakan yang menyebabkan subjek secara
sadar berusaha atau bertindak terhadap subjek yang ditangkap oleh Hobbes.
Menurut Hobbes, kemampuan manusia ini relatif sama untuk mencapai
tujuannya. Alam telah merancang manusia untuk menjadi setara, secara fisik
dan mental, apakah beberapa orang secara fisik lebih kuat, atau secara mental
lebih pintar dari yang lain, tetapi jika dinilai secara keseluruhan perbedaannya

4
terlihat seperti tidak terlalu besar. sehingga setiap orang dapat menikmati diri
mereka sendiri. Terakhir, Hobbes menganggap manusia pada dasarnya egois,
suka bertengkar, haus kekuasaan, kejam, dan jahat. Kepribadian ini merupakan
hasil dari usaha manusia untuk terus meningkatkan kebutuhannya, karena
dengan terpenuhinya kebutuhan tersebut maka manusia akan bahagia. Namun,
objek keinginan manusia bukan hanya kenikmatan satu kali, tetapi juga
jaminan cita-cita selamanya. Sebab hal – hal itulah manusia memerlukan
kekuasaan untuk mencapai tujuan hidupnya.

2.2 Kaitan Teori Thomas Hobbes Dengan Fenomena Kapilalisme Di


Indonesia

Merujuk pada pernyataan hobbes bahwa manusia pada dasarnya egois, suka
bertengkar, haus kekuasaan, kejam, dan jahat. Kami sebagai penulis
mengaitkannya dengan fenomena kapitalisme yang marak terjadi di luar negeri
maupun di Indonesia. Kapitalisme jika dilihat secara makro telah berkembang
dengan berbagai praktik oligopoli dan monopoli yang mengontrol sektor-
sektor kunci berbagai perekonomian nasional, mengambil alih unit-unit usaha
domestik yang kecil, dan kian meningkatkan akumulasi kapital di negara asal
pemilik modal. Sehingga, penguasaan SDA lokal di banyak negara
berkembang, untuk menjamin kelangsungan produksi dan memenuhi tuntutan
pasar internasional, mutlak harus dilakukan.

Pada analisis ekonomi & politik jika dilihat dari relevansi, kapitalisme
internasional dan globalisasi percaya bahwa kebangkitan pesat globalisasi
akhir-akhir ini berdampak pada perkembangan dan struktur kapitalisme.
Anthony Giddens, misalnya, secara kritis mengamati bahwa globalisasi
perdagangan yang berlangsung belakangan ini, tidak menciptakan
“perkampungan global”, yang kemudian populer dengan istilah global village,
melainkan implikasi yang buruk, berupa Fenomena penjarahan lahan global
dalam kaitannya dengan hubungan antar-negara dapat secara jelas dapat

5
dijelaskan argumennya dengan pendekatan pluralisme dan globalisme, yang
sering digunakan dalam disiplin hubungan internasional. Dalam hal ini, aliran
liberal dalam pendekatan pluralisme berupaya menyoroti peran individual
pemilik modal, pelaku usaha, dan kelompok kepentingan dalam struktur
kapitalisme internasional. Interaksi lintas negara mereka (transnasional)
terjalin seiring dengan peran negara melakukan modernisasi pasca-
kolonialisme. Sebaliknya, integrasi negara dalam sistem kapitalisme
internasional menciptakan kesalingketergantungan yang kompleks dalam
jalinan pasar dunia.

Kasus penjarahan lahan sering dikaitkan dengan ambisi negara super power
dan perusahaan multinasionalnya yang tidak terkontrol untuk menguasai lahan-
lahan pertanian, perkebunan, dan kehutanan untuk dijadikan lahan komoditi
pangan (hortikultura) yang berorientasi pada market internasional, untuk
menjadikan nya sebuah usaha eksploitasi pertambangan, ataupun untuk dicuri
dan diekspor Sumber Daya Alam.

Merambahnya arus globalisasi semakin menciptakan dunia terkoneksi tanpa


batas, peran kapital yang diatur oleh para pemilik modal domestik dan asing,
serta kolusi politisi dan pembuat kebijakan di parlemen dan pemerintahan,
telah menyebabkan menguatnya ancaman modal asing di sektor-sektor yang
menjadi hajat hidup orang banyak, yang berhubungan dengan penguasaan
lahan di kawasan pertanian, perkebunan, kehutanan, pertambangan dan
sebagainya . Pada kenyataan, penjarahan lahan didorong oleh lembaga
keuangan internasional, seperti Asian Development Bank (ADB), dengan
jumlah dana sebanyak 500 juta Dolar Amerika. Dihitung ada sekitar 600.000
hektar lahan pertanian harus dikonversi, belum termasuk 60 hektar lahan hutan
lindung di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Timur. Padahal, seperti
tercatat dalam data terakhir, tingkat konversi lahan di Pulau Jawa telah
mencapai rata-rata 40 ribu hektar setiap tahunnya, walaupun selama ini Pulau
Jawa memberi kontribusi sebesar 53% terhadap produksi padi nasional.

6
Penyitaan lahan masyarakat kecil dilakukan dengan memaksa mereka
menandatangani perjanjian yang berisi pernyataan bahwa mereka setuju
meninggalkan lahan milik mereka. Provinsi Papua, khususnya Kabupaten
Merauke yang dimekarkan dari tingkat kecamatan, yang masih tertutup, namun
sangat potensial ketersediaan lahannya, tidak luput dari sasaran perampasan
lahan pemilik modal domestik dan asing, ataupun kolaborasi keduanya.
Kabupaten seperti Merauke, menjadi rawan dari perampasan lahan, melihat
data-data terakhir perkembangan proyek food estate di sana. Sejak 2007
diketahui, paling sedikit terdapat 8 perusahaan modal domestik dan asing yang
berminat memasang target investasi di sana, terutama untuk perkebunan kelapa
sawit, yang sangat menguntungkan di pasar dunia, dengan luas lahan berkisar
antara 24 ribu sampai 62 ribu lebih hektar. Fenomena land grabbing oleh
pemilik modal domestik dan asing menjadi ancaman keamanan wilayah di
Indonesia , yang penting untuk ditelusuri , terutama di wilayah yang kaya SDA
dan padat dengan penduduknya.

Lahan perkebunan dan hutan tanaman industri yang dikuasai perusahaan


swasta besar, bahkan Multi National Corporation dan Trans National
Corporation, semakin merambah. Sebagai gambaran , terdapat TNC yang
menguasai 400 ribu hektar kebun kelapa sawit , dan ada grup perusahaan
tanaman industri yang menguasai sekitar 700 ribu hektar. Terdata ada nama
perusahaan modal asing asal negeri jiran Malaysia, yang melakukan investasi
mereka dalam bisnis kelapa sawit. Mereka dinilai ekspansif dalam kegiatan
bisnisnya, sehingga disinyalir sebagai pihak yang dinilai turut bertanggung
jawab atas kebakaran lahan hutan yang marak pada bulan Juni 2013 di Pulau
Sumatera, dan menimbulkan protes dari Malaysia dan Singapura, karena
melumpuhkan kegiatan di kedua negeri itu. Ada sekitar lebih dari tujuh
perusahaan kepala sawit Malaysia, yang memiliki lahan perkebunan kepala
sawit yang begitu luas tersebut seperti PT Langgam Hiberida, PT Bumi
Rakksa, PT Tunggal Mitra, Dll. LSM lingkungan internasional, Greenpeace,

7
memiliki dugaan yang menyatakan bahwa ada titik api di wilayah konsesi 3
perusahaan dari Grup Sime Darby, Malaysia, yaitu PT Sontang Sawit Permai,
PT Rokan Adi Raya, dan PT Tunggal Mitra Plantation. Sekalipun perusahaan
itu membantah telah melakukan pembakaran lahan, persoalannya, perusahaan-
perusahaan itu dengan aktifitas modal dan kegiatannya yang ekspansif tidak
dapat dilepaskan tanggung jawabnya dalam proses berlangsungnya konversi
atau penggunaan lahan dari pertanian berskala tradisional ke perkebunan
komersial berskala global.

Di luar pemberlakuan otoritas legal , ternyata ada perusahaan yang berusaha


memanfaatkan celah hukum yang ada di negeri kita , untuk terus melakukan
eksploitasi lahan Papua. PT Golden Agri Resources (GAR), anak perusahaan
Sinar Mas Group, diperbolehkan melakukan ekspansi usaha perkebunan
sawitnya di hutan Papua seluas lebih dari 20.000 hektar, tepatnya 20.143,30
hektar, di Kabupaten Jayapura. Sekitar lebih dari 36 Ijin diperoleh dengan
mengeluarkan areal seluas itu dari areal moratorium hutan primer. Ijin prinsip
pelepasan kawasan hutan datang dari Menteri Kehutanan (Menhut) pada tahun
2011. Padahal, areal itu termasuk yang disebut dalam Penundaan Izin Baru
pada Hutan Primer dan Lahan Gambut (peta moratorium) berdasarkan Inpres
10/2011 tanggal 20 Mei 2011.

Pengembangan energi biofuel yang juga mengandalkan perkebunan sawit turut


menjadi penyebab maraknya penjarahan lahan. Usaha patungan perusahaan
Malaysia dan Indonesia dalam wujud PT MAS, perusahaan subsidiary dari
perusahaan raksasa minyak sawit, Sime Darby, ditengarai telah memiliki
rencana pembebasan lahan, yang berdampak pada tercerai berainya masyarakat
dari lahan pemukimannya di beberapa wilayah yang akan menjadi targetnya .
Dengan Perda No. 3 Tahun 1993 dan UU No. 24 Tahun 1992 , praktik
pelaksaanaan market dalam pengelolaan SDA wilayah Papua menjadi sangat
tidak terkendali. Peran pemerintah provinsi lemah untuk bisa mengontrol tata
ruang. Beberapa Bupati di kabupatennya, dengan semangat otonomi daerah

8
yang besar, yang tidak bebas dari kepentingan, kerap kali memohon untuk
pengalihan lahan dari hutan lindung ke hutan produksi. Penjarahan lahan yang
berlangsung masif dalam era pasca-Soeharto telah menyebabkan banyak
konflik di berbagai daerah dan wilayah di Indonesia semakin sulit diatasi
pemerintah akibat kebijakan pemekaran wilayah yang tidak terkontrol, yang
inisiatifnya disetujui DPR. Pemerintah berpihak pada pihak korporasi (swasta)
soal penguasaan lahan ditunggangi kepentingan aparatnya, sehingga
menyebabkan ketimpangan kepemilikan lahan. Keberpihakan aparat
keamanan pada kepentingan korporasi, terutama modal asing, dengan “dana
keamanan” mereka, menjadikan “proyek-proyek penjarahan lahan” menjadi
lucrative, karena menyediakan pemasukan tambahan untuk jangka panjang
bagi peningkatan kesejahteraan mereka, ketika negara memiliki kemampuan
terbatas membiayai tugas-tugas operasional mereka.

Konversi lahan yang sebagian besar terjadi di Pulau Jawa secara langsung
akan berakibat pada turunnya produksi beras hingga 7,43%. Ini belum
termasuk dampak yang ditanggung oleh sektor terkait dan pihak-pihak lain,
non-petani, seperti pengecer, distributor, dan industri pengolahan pangan.
Lebih jauh, konversi lahan semakin meningkatkan terciptanya petani gurem,
dan bahkan buruh tani, yang tidak memiliki lagi alat produksi. Konversi lahan
pertanian banyak dilakukan untuk pembangunan pemukiman baru untuk
memenuhi kebutuhan akibat ledakan penduduk pasca-Soeharto, serta proses
urbanisasi yang cepat sekali, terutama di Pulau Jawa, yang pemanfaatannya
telah mencapai 80%. Kementerian Pertanian telah mengingatkan, bahaya
konversi lahan persawahan telah mencapai tingkat berbahaya untuk prospek
produk pangan strategis, seperti beras, kedelai dan jagung.

Sementara itu, akibat masuknya komoditas sawit dan ekspansi besarbesaran


yang mengorbankan lahan pertanian, perkebunan, dan kehutanan, yang
merupakan pusat kehidupan penduduk Papua, berlangsung proses eksklusi dari
lahan dan mata pencaharian mereka. Degradasi lingkungan yang berlangsung

9
dari tahun ke tahun mengancam kehidupan mereka setiap saat, terutama akibat
banjir dan longsor. Sementara, masuknya investasi domestik dan asing lewat
pembukaan lahan sawit besar-besaran tidak dapat mengatasi, tetapi justru
menciptakan kemiskinan yang semakin dalam. Sebab, mereka semakin banyak
kehilangan lahan sagu dan lahan untuk berkebun dan berburu mereka. Di
samping itu, pekerja migran berdatangan dari luar Papua, terutama Jawa,
sehingga, perkebunan kelapa sawit bukannya menciptakan pekerjaan, namun
malah membuat penduduk asli Papua semakin termarjinalisasi. Sebelumnya,
penduduk asli Papua sudah tersudut oleh kebijakan transmigrasi masif
Pemerintah Orde baru yang dilancarkan sejak tahun 1970. Sedangkan sektor
pendidikan dan kesehatan belum banyak diperhatikan. Untuk pembukaan
perkebunan kelapa sawit baru seluas 6.000.000 hektar, yang 1.600.000 hektar
untuk proyek MIFEE dibutuhkan sebanyak 4 juta pekerja dari luar Papua,
terutama Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Penduduk pribumi Papua sendiri
tidak dapat berkompetisi dengan pekerja migran, sehingga mereka tereksklusi
dari lapangan pekerjaan sektor modern dan mata pencaharian sehari-hari.
Tercatat, sebanyak 480.578 rumah tangga penduduk pribumi Papua, atau
sebanyak 81% (391.787) hidup di bawah garis kemiskinan.

Kondisi ini meningkatkan ketidakpuasan atas pemerintah pusat, yang


kemudian meningkatkan kampanye dan gerakan separatisme di kalangan
penduduk pribumi. Fenomena land grabbing memunculkan ketidakamanan
lahan (land ownership insecurity) di mana-mana, khususnya di kalangan rakyat
bawah, yang memiliki lahan yang tidak luas. Ketidakamanan akibat berbagai
konflik sosial yang pecah karena berlarut-larutnya masalah dan tidak dapat
diselesaikan secara adil oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama
masyarakat bawah, sebagai pihak mayoritas yang sangat membutuhkan lahan
untuk mempertahankan hidup. Sehingga, sengketa lahan menjadi persoalan
hidup-mati bagi rakyat, bukan semata masalah hukum pidana dan perdata.

10
Pengaruh keberadaan korporasi TNC dan modal asing dirasakan di sektor
pertambangan, terdapat laporan mengenai adanya konflik lahan, perebutan
tanah ulayat, yang tidak jelas batasnya, di Kecamatan Adonara, Flores Timur.
Kasus lain adalah konflik antara pemerintah dan warga akibat perebutan hak
pengelolaan lahan hutan di kawasan yang telah atau baru ditetapkan sebagai
cagar alam (hutan lindung) setelah selama ini penduduk lokal mendiami dan
mengelolanya secara turun temurun. Adapun jumlah korporasi dan modal asing
di Provinsi NTT mengalami penurunan sejak 2012 setelah mengalami
kenaikan signifikan pada tahun 2011. Konflik agraria akibat fenomena
penjarahan lahan tidak hanya timbul di negara miskin, namun juga di Eropa
yang maju. Persoalan dan dampak yang diakibatkan di Eropa Timur jauh lebih
kompleks dan berat. Ini disebabkan oleh kondisi perekonomian di bagian
Timur yang belum semapan di Barat, selain dilatarbelakangi tingkat
pendidikan masyarakatnya yang jauh lebih rendah. Sehingga, para petani harus
melepas dan terusir dari tanah garapannya, dan terpaksa pergi bekerja di pabrik
dengan upah sangat rendah karena sangat membutuhkan pekerjaan.

Dengan banyak dan kuatnya modal yang diinvestasikan, perusahaan


MNC/TNC dapat menguasai lahan-lahan pertanian yang subur dari tangan-
tangan masyarakat tradisional yang tidak berdaya, yang telah mewarisinya
secara turun-temurun. Karena, para petani itu tidak didukung berbagai
kebijakan negara, termasuk atas harga pupuk, akses pasar, dan nilai tukar. Para
petani kecil pun terdesak sedangkan perusahaan-perusahaan perkebunan dan
pengolahan hasil hutan (HTI) berskala besar merajalela dan semakin berkuasa.
Penguasaan lahan secara sepihak oleh perusahaan-perusahaan MNC/ TNC
menutup akses petani ke pemanfaatan lahan. Sehingga, seperti dalam kasus-
kasus di Benua Afrika, konflik agraria dapat memicu masalah sosial yang lebih
luas di negara lain, termasuk Indonesia, yang berujung pada konflik vertikal
para petani dengan aparat negara yang mendukung perusahaan -perusahaan
MNC/TNC tersebut.Konflik sosial akibat penjarahan lahan juga berdampak
secara langsung ke para pekerja LSM yang memberikan pembelaan hukum,

11
khususnya para aktifis lingkungan hidup dan agraria, serta pembela HAM.
Dilaporkan, telah terjadi kekerasan dan penangkapan para aktifis, tidak hanya
petani atau warga yang hidup dari lahan-lahan pertanian. Ini sebagai upaya
membungkam tuntutan atas tanah dan SDA yang dikuasai berbagai perusahaan
besar yang beroperasi lintas negara. Sehingga, konflik pertanahan sangat
rentan dengan persoalan korupsi SDA, baik hutan dan perkebunan, yang
menjadi penyumbang kerugian terbesar Indonesia.

2.3 Korelasi Antara fenomena dan teori John Lock

John Locke (1632-1704) menyatakan bahwa penguasa tidak dapat memerintah


secara sewenang- wenang sepenuhnya, penguasa tidak dapat melimpahkan
kekuasaan membuat Undang- Undang kepada orang lain, penguasa tidak dapat
mengambil atau merampas hak milik seseorang begitu saja tanpa persetujuan
yang bersangkutan, penguasa berkewajiban untuk menegakkan keadilan dan
mengambil keputusan-keputusan tentang hak kaula-kaula
negaranya menurut Undang-Undang yang tetap. Di dalam negara harus ada
pemisahan antara kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan
federatif yang mengurus hubungan-hubungan luar negeri. John Locke
menghidupkan kembali pandangan tentang suatu ikatan kontraktual antara raja
dan para kaula negara, seperti Magna Charta di Inggris pada tahun 1215
maupun Blijde Inkonst pada tahun 1356 di Benua Eropa. Namun di bawah
kekuasaan raja-raja yang memegang kedaulatan absolut, hal tersebut
terkesampingkan dalam masyarakat. Hak-hak itu secara kodrati inheren,
universal dan tidak dapat dicabut. Hak-hak itu dimiliki individu semata- mata,
karena mereka adalah manusia dan bukan karena mereka adalah kaula hukum
suatu negara. Perlindungan terbaik terhadap hak-hak itu terdapat di dalam
kerangka yang demokratis.

12
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Fenomena yang terjadi di dalam masyarakat dasarnya di sebabkan karena ulah
manusia itu sendiri seperti yang di jelaskan dalam teori Thomas Hobbes
manusia adalah serigala bagi manusia yang lain. Hal ini di perkuat dengan
sebuah paradigma atau premis yang secara otomatis terbangun dari pihak
internal manusianya itu sendiri. Premis: “Manusia selalu bahagia dengan apa
yang tidak di miliki dan manusia tidak bahagia dengan apa yang mereka miliki
paradigma itulah yang mendorong manusia bersaing. Sifat manusia yang tidak
terduga inilah menyebabkan sebuah hukum atau aturan lahir dengan fungsi
mengawasi serta mengatur agar tidak ada sifat sewenang-wenangnya yang
dilakukan oleh manusia itu sendiri. Namun ada beberapa yang pastinya
melanggar hukum tersebut hingga merenggut hak-hak orang lain. Hak-hak
orang lain yang direnggut tersebut yang menyebabkan pada abad XVII istilah
natural rights berkembang menjadi Human Rights oleh para teori hukum antara
lain: Thomas Hobbes, John Lock, Montesquieu yang mengakui adanya hak-
hak yang dimiliki manusia. Pada kenyataannya hukum manusia cenderung
menguntungkan keinginan para pemilik modal besar (kapitalis) dan para
pejabat negara, Karena ada keterbatasan dari hukum yang diciptakan oleh
manusia, dimana hukum manusia gagal untuk memberikan rasa keadilan bagi
masyarakat kecil, maka kita sebagai manusia cenderung untuk lebih
mempercayai hukum tuhan dan hukum alam sebagaimana teori yang di
ungkapkan oleh Thomas van aquinas.

3.2 Saran
Sejatinya fenomena yang terjadi hingga menimbulkan kerugian bagi beberapa
pihak dikarenakan kurangnya pemahaman seseorang mengenai hak serta
kewajibannya sebagai masyarakat di dalam suatu bangsa. Pemerintah yang

13
menjadi kiblat srrta hukum-hukum yang berlaku dijadikan panduan untuk
memahami kodrat tentang hak dan kewajiban tersebut, kita sebagai individu
harus memahami hal ini dan merealisasikannya ke dalam kehidupannya
masyarakat. Pemerintah juga harusnya mengambil alih dalam peranan
pemahaman hak dan kewajiban seorang warga negara yang menjadi salah satu
upaya prefentif dan represif dalam menghadapi fenomena-fenomena di tengah
masyarakat agar tepat sasaran serta mampu diimplementasikan dalam
kehidupan bernegara maupun berbangsa.

14
Daftar Pustaka

“Australian PM’s offer for Papua raises suspicision,” The Jakarta Post, 7 July
2013.
Basuki, Tjuk Eko Hari. Menyemai Benih-benih Kehidupan, Menapaki Revolusi Hijau III
(Rekontsruksi Pembangunan Pertanian dan Ketahanan Pangan). Bogor: Sarana
Komunikasi Utama, 2010.
“Brimob dan Warga Bentrol di Kalteng, 5 Luka-luka,” International Media, 1 Juli 2013

“Capping land ownership,” the Jakarta Post, 8 April 2013

“Disesalkan, Pengesahan UU Anti-perusakan Hutan: Berpotensi Tingkatkan Konflik


Masyarakat Sekutar Hutan,” Kompas, 10 Juli 2013.

Firmansyah, Fery. ”Singapura Desak Indonesia Sebutkan Nama Pembakar Hutan,”


Koran Tempo, 21 Juni 2013.

Giddens, Anthony . Runaway World: How Globalization is Reshaping Our Lives,


London: Routledge:, 2002.

Capitalism and Modern Social Theory: An Analysis of the Writings of Marx, Durkheim
and Max Weber. Cambridge: Cambridge University Press, 1973.

Green, Duncan. “The latest (big) numbers on land grabs, and some powerful case
studies,” From Poverty to Power, diakses pada 10 Januari 2013.

“Greenomics: Perusahaan Besar “Rambah” Hutan Primer di Papua,”Suara Pembaruan,


22 Juli 2013.

Hadi, Syamsul dkk. Kudeta Putih: Reformasi dan Pelembagaan Kepentingan Asing
dalam Ekonomi Indonesia. Jakarta: Indonesia Berdikari, 2012.

IFPRI Poicy Brief, 13 April 2009. ”Indonesian NGO coalition to stage protest during
ASEAN Summit,” Land Watch Asia-WALHI, 18 Nopember 2012, diakses pada
10 Januari 2013.

”Indonesia protest, land grab Indonesia,” Land Watch Asia-WALHI, 18 Nopember 2012,
diakses pada 10 Januari 2013.

Levitt, Tom. ”Palm oil giants target Africa in ‘and grab’ following Indonesia
deforestation ban,” 25 Maret 2011.

15
Manufandu, J. Septer.”West Papua’s long struggle for peace and justice,” paper
presented at Civil Society Briefing, Perspective on peace, conflict and the
ASEAN,” FOKER, 26 May 2010.

McCarthy, J.F., J.A.C Vel, and S. Affif,”Trajectories of land acquisition and enclosure:
development schemes, virtual land grabs, and green acquisitions in Indonesia’s
Outer Islands, Journal of Peasant Studies, 39 (2), 2012.

Nainggolan, Poltak Partogi (Ed.), Masalah-masalah Perbatasaan IndonesaiPapua New


Guinea, Jakarta: P3DI, 2009.

Komando Teritorial dan Budaya Politik TNI dalam Era Reformasi. Jakarta: P3DI, 2007.
Nurdin, Iwan. “Memberi Ujung pada Konflik Agraria,” KonsorsiumPembaruan
Agraria, Bahan FGD di P3DI Sekjen DPR, Jakarta, 30 Januari 2012.

“Perkembangan dan Profil PMA/PMDN di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2010
2012,” Kupang: BKPM Provinsi NTT, 2013.

Putri, Bunga Pertiwi Adek.”Dekade Mendatang RI Songsong Krisis Pangan,” Media


Indonesia, 9 Nopember 2012.

Pramono, Sidik.“Bencana Ekologis Terus Terjadi,” Media Indonesia, 4 Juni 2013.


Salim, Emil. “Kejar Cukup bagi Semua.” Kompas, 5 Juni 2013.

Steans, Jill and Lloyd Pettiford, International Relations: Perspectives and Themes,
Harlow: Longman, Pearson, 2001

“Tahun Ini, Ditargetkkan Penanaman Karet Seluas 690 ha,” Cenderawasih Pos, 30 Juli
2013. The Jakarta Post, 11 July 2013.

Vidal, John. “Fears for the world’s poor countries as the rich grab land to grow food,”
the Guardian online, 3 Juli 2009.

Viotti, Paul R. and Mark V. Kauppi, International Relations Theory: Realism, Pluralism,
Globalism. Boston: Allyn and Bacon, 1993.

Anhar Gonggong, dkk. 1995. Sejarah Pemikiran Hak Asasi Manusia di Indonesia. CV. Dwi
JayaKarya, Jakarta.

Antonio Cassese, Ed. 1993.Hak-hak Asasi Manusia di Dunia yang Berubah (Human Rights
in a Changing World). Diterjemahkan oleh A. Rahman Zainuddin.
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

16
Burns H. Weston. 1993. “Hak-hak Asasi Manusia”.Dalam Hak-hak Asasi Manusia dalam
Masyarakat Dunia: Isu dan Tindakan. Cetakan 1. Editor Todung Mulya Lubis.
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Undang-Undang HAM 1999, “UU RI NO.39 Th. 1999 tentang Hak AsasiManusia”,
(Jakarta: Sinar Grafika 2001), h. 38

Masyhur Effendi dan Taufani S Evandri, HAM dalam Dinamika atauDimensi Hukum
Politik, Ekonomi, dan Sosial (Bogor: Ghalia Indonesia, 2014), hlm. 7.

17

Anda mungkin juga menyukai